Makalah Pemikiran Politik Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Masa Penjajahan dan Orde Lama) Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran dan Sejarah Politik Islam Dosen Pengampu: Dr. Poniman, S.IP, MA Dr. Rahmat Ramdhani, M.Sos.I



Oleh : Muhammad Rusydi NIM : 1911560001



PROGRAM STUDI AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN BENGKULU) 1441 H/ 2020 M



Pendahuluan Penentuan dan pencarian sebuah konsep tentang negara merupakan salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran politik, yang ingin mencari landasan intelektual untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Persentuhan Islam dengan wilayah politik di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Sebagaimana narasi-narasi besar lainnya dalam sejarah, Islam ditafsirkan dan hadir dalam wajah yang majemuk dan plural. Persinggungan Islam dengan politik pun, baik dalam konteks Indonesia maupun dunia juga berwajah banyak dan beragam. Fenomena ini tergantung pada kecenderungan Islam seseorang maupun sekelompok orang. Ini menunjukkan ada kecenderungan Islam ekstrem, moderat, sekuler atau progresif, untuk menyebut sebagian kecil dari sekian banyak wajah Islam dalam pentas sejarah. Pada persentuhannya dengan wilayah politik, Islam dalam aplikasi sosiologisnya kadang mencerahkan sejarah dan peradaban atau sebaliknya menggelapkannya. Islam, seperti agamaagama dan narasi besar lainnya, kadang menjadi kekuatan positif dan kadang menjadi kekuatan negatif, kadang merawat dan memekarkan hidup, tapi kadang juga agresif dan destruktif. Islam bisa menjadi salah satu kekuatan demokratisasi atau sebaliknya menjadi penghambat demokrasi. Pendek kata, Islam bisa menjadi energi untuk humanisasi atau dehumanisasi. Kendati wacana politik Islam di Indonesia sudah ada sejak abad ke-17, akibat hubungan politis dengan dunia luar (Timur Tengah)1, namun pemikiran politik Islam dengan berbagai warnanya terartikulasikan secara konkret dimulai pada awal abad ke-20. Karena itu, tulisan ini akan memotret bagaimanacorak pemikiran politik Islam di era awal abad 20 (pra kemerdekaan) dan pasca kemerdekaan yang meliputi Orde Lama, Orde Baru serta Orde Reformasi secara singkat dan global.



Hubungan politis ini diakui oleh Azyumardi Azra, kendati lebih bersifat keagamaan dan keilmuan. Lihat lebih lanjut tulisan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung: Mizan, 1998), 16-17. 1



Perkembangan Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Masa Penjajahan dan Orde Lama) A. Pemikiran Politik Islam Masa Kesultanan dan Kerajaan Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad ke 7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan Kerajaan Majapahit di Jawa. Pada periode ini, baru dalam proses penyebaran Islam melalui para pedagang sekaligus mubalig. Menjelang abad ke 13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman muslim sebagai pengaruh persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India, yang sudah berlangsung lama. Akhirnya, di wilayah ini berdiri kerajaan Islam yang pertama pada pertengahan abad ke-13, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Berdirinya kerajaan Samudra Pasai merupakan awal terbentuknya kultur politik Islam di Nusantara dengan mengadopsi simbol-simbol tradisi Islam di Timur Tengah. Penggunaan gelar sultan, mengikuti tradisi politik Islam yang digunakan oleh penguasa nonArab yang sangat dominan setelah runtuhnya khalifah Abbasiyah pada 1258. Tradisi lain, dapat pula dilihat berupa pemakaian aksara Arab-Melayu untuk membuat dokumen resmi negara, penggunaan tahun Hijriyah untuk kalender resmi negara, dan adanya mesjid kerajaan tempat Sultan shalat Jum’at yang dalam setiap khutbah namanya disebut dan dido’akan.2 Dalam tradisi kultur politik Islam, Sultan menjalankan dua fungsi utama, yaitu sebagai penguasa dan sebagai pelindung agama Islam. Seorang Sultan ketika dilantik ia diberi julukan yang menggambarkan visinya. Misalnya, di Yogyakarta Sultan diberi julukan panata gama (pengatur/penjaga agama). Dalam kedudukan seperti itu, Sultan berkewajiban untuk menyebarkan dan mempertahankan agama Islam dan seluruh warga kerajaan harus beragama Islam.3 Di Jawa, kerajaan Demak (1518-1550 M) dipandang sebagai kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa. Kerajaan ini berdiri setelah kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada 1527 M. Menurut tradisi Jawa Barat (sejarah Banten), konfrontasi antara Demak dan Majapahit berlangsung beberapa tahun. Dua kekuatan yang berhadapan adalah antara barisan Islam Demak, yaitu para ulama dari Kudus, imam Masjid Demak, di bawah pimpinan Pangeran Ngudung, melawan Majapahit yang dibantu vasal-vasalnya dari Klungkung, Pengging, dan Terung. Reposisi perubahan pusat kekuasaan Islam terjadi setelah berdirinya kerajaan Pajang pada akhir abad XVI. Di mana, pusat kekuasaannya terletak di daerah pedalaman dan lebih bersifat agraris. Dengan berdirinya kerajaan Pajang ini maka berakhirlah dominasi kerajaan-kerajaan pantai dalam politik Islam di Jawa. Daerah pedalaman ini kurang begitu terlibat dalam perdagangan laut dan tidak begitu mudah ditembus oleh pengaruh Islam dari luar.4 M. Abduh Wahid (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar), PERGUMULAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA (Jurnal Politik Profetik Volume 7, No. 1 Tahun 2019 P-ISSN : 2337-4756 | E-ISSN : 2549-1784) h. 141 3 M. Shaleh A. Putuhena, Islam dan Politik, Pergumulan tanpa Akhir: Rekonstruksi Pantulan Pengalaman Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Adab IAIN Alauddin Kamis 11 Nopember 2004, h. 9 4 Yudi Armansyah (Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi), Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari Masa Tradisional Hingga Indonesia Modern, (Fokus : Jurnal 2



Di wilayah Indonesia Timur muncul kerajaan-kerajaan di Maluku, Makasar, Banjarmasin, dan sebagainya. Pada permulaan abad ke XVI, kerajaan Ternate mulai maju karena berkembangnya perdagangan rempah-rempah. Aktivitas perdagangan ini dijalankan oleh orang-orang Jawa dan Melayu yang datang ke Maluku, khususnya Ternate dan Tidore, perdagangan ini bertambah ramai setelah kedatangan para pedagang Arab. Hubungan antar kerajaan-kerajaan Nusantara juga terlihat dalam berbagai kesempatan dibidang politik, contohnya persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa, persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan. Jaringan komunikasi yang terbangun antara kerajaan Islam telah tercapai dengan sangat erat sehingga dalam beberapa periode lamanya kerajaan Islam dapat terus eksis hingga kehadiran para penjajah Barat.5 Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai masa kemunduran kerajaan Islam dan kondisi Nusantara yang terjajah. Dimana, deskripsinya terlihat dari keadaan kerajaankerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad-16 M dan awal abad-17 M ke Indonesia yang berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses Islamisasinya. Di Sumatera, penduduknya sudah Islam sekitar tiga abad, semetara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasi baru saja berlangsung. Dapat dikatakan masa kolonialisme menjadi fase berakhirnya dominasi politik Islam. Meskipun ada beberapa daerah yang tetap kuat mempertahankan diri dari serangan penjajah, namun superioritas Belanda menjadi semakin dominan dalam berbagai bidang. Hanya Sumatera yang diwakili oleh Aceh dan Sumatera Barat, yang mampu bertahan beberapa tahun lamanya untuk tidak dijajah. Selebihnya, kerajaan-kerajaan dan institusi Islam hampir pasti semua tunduk terhadap Belanda. Di awali dengan kehadiran orang-orang Portugis ke Indonesia dengan motif agama, ekonomi, dan pertualangan, mulai mengusik kerajaan Islam di Indonesia. Walaupun demikian banyak kerajaan-kerajaan Islam dapat mengatasi orangorang Portugis, karena bangsa Portugis hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebudayaan Nusantara yang bersendikan Islam. Kehadiran orang-orang Belanda di Indonesia juga sangat mengancam institusi perpolitikan umat Islam. Ancaman ini terlihat manakala keinginan memonopoli perdagangan timbul, orang-orang Belanda pun mulai mengintervensi institusi perpolitikan Islam yang pada umumnya tidak stabil. Pada Maret 1602, Belanda mendirikan VOC (Verrenigde Oost-Indische Compagnie) atau perserikatan Maskapai HindiaTimur untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan orang-orang Barat lainnya Dengan politik “belah bambu” satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih berdiri. Maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat disana. Karenanya kerajaan itu hanya sebagai bayangan dari VOC.6 Beberapa gerakan politik dalam rangka mengusir Belanda dari Nusantara yang dipelopori para ulama, diantaranya yang termasyhur adalah perang Paderi (1821-1837 M) di Minangkabau dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, perang Jawa (1825–1830 M) yang Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 01, 2017) h. 30 5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 224 6 Yudi Armansyah (Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi), Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari Masa... h. 32



dipimpin oleh Pangeran Diponegoro didampingi Kiai Mojo, perang Banjarmasin (1857 – 1905 M) dan perang Aceh (1873 – 1904 M) yang dipimpin oleh Panglima Polim dengan sebelas orang ulama Aceh. Para ulama tersebut menjadi konduktor perjuangan dengan memobilisasi massa Islam untuk mempertahankan tanah airnya dari penjajahan. 7 Lambat tapi pasti muncul kesadaran dari umat Islam untuk merubah bentuk perlawanan terhadap Belanda yang selama ini dilakukan dengan konfrontasi fisik. Trend baru perjuangan dengan organisasi menjadi pilihan strategis dimana banyak terdapat ruang yang bisa dimaksimalkan menjadi sebuah kekuatan. Bidang sosial dan pendidikan menjadi pilihan ideal kala itu sehingga dalam perkembangannya organisasi tersebut dapat menyatukan basis kekuatan massa baik di daerah maupun Nusantara secara luas seperti organisasi Sumatra Thawalib dan Syarikat Islam. Demikian juga K.H. Ahmad Dahlan di Jawa dengan gerakan Muhammadiyah dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan gerakan Nahdhalatul Ulama. Sebenarnya ide seperti ini timbul dari kalangan yang terpelajar yang pernah dididik di negeri Belanda. Sementara itu pendidikan Barat pada akhirnya melahirkan golongan nasionalis sekuler. Golongan ini bertemu dengan golongan Islam dengan rasa nasional, kemudian saling bahu membahu dalam memperjuangkan pembebasan tanah air mereka bersama, meskipun terjadi persaingan ketat antar keduanya.8 Dengan kata lain abad 20 banyak melahirkan berbagai pergerakan Nusantara yang lebih modern, perubahan sosial yang terjadi selama ini menggunakan kekuatan fisik dalam menghadapi penjajah tidak menjadi trend topic. Ide pergerakan melalui organisasi menjadi jawaban yang harus dipilih dan ternyata sangat tepat. B. Pemikiran Politik Islam Pada Pra Kemerdekaan / Masa Penjajahan Pada masa pra kemerdekaan, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh 1873-1903) dan lainlainnya, betapapun tidak terlepas kaitannya dengan ajaran agama Islam. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat tentang Islam, mulanya Belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung.(Suminto, 1996: 9). Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah Belanda mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam. Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakikatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Bagi Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Islam sering kali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Menghadapi medan seperti ini, Hurgronje membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan politik”.9 Ketika VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) berhasil menjadi pemegang hegemoni politik di Jawa, maka raja kehilangan kekuasaan politiknya. Bahkan, kewibawaan Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, 1991, hlm. 141 Lihat Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hlm. 19 9 Zaprulkhan, (STAIN Syeikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung) , DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA, Jurnal Review Politik Volume 03, No 02, Desember2013, h. 156 7 8



raja sangat tergantung kepada VOC. Campur tangan kolonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga ulama-ulama keraton sebagai penasehat raja tersingkir. Jika pada abad ke-16 dan ke-17, Sultan dan ulama menyatu dalam struktur kesultanan dan menempatkan posisi mereka sebagai pemimpin dan penanggungjawab Islam, maka abad ke19 aktivis Islam telah beralih kepada para tokoh dan ulama (Islamis) yang berada di luar struktur pemerintahan. Jadi dapat dikatakan bahwa pada abad ke-19 kesultanan, pemerintahan tradisional Islam, telah kehilangan kekuasaannya dan telah menjadi alat pemerintah Hindia Belanda. Karena itu simbol-simbol kultur politik sudah kehilangan makna dan fungsi, dan sultan tidak lagi dipandang sebagai pelindung dan piñata agama Allah serta pemelihara kemauan dan kesejahteraan masyarakat.10 Bersamaan dengan kemunduran politik tersebut, terjadi pula kemerosotan ekonomi dengan hancurnya pusat-pusat ekonomi yang pernah berkembang pada periode kejayaan Islam (abad ke-13-16). Sementara pemerintah Hindia Belanda makin mendominasi kehidupan politik dan mengeksploitasi ekonomi pribumi untuk kepentingan VOC. Dalam kondisi seperti itu rakyat bergabung kepada pemimpin non formal, yaitu para ulama dan bangsawan yang menggalang rakyat untuk melawan dan berjuang atas nama agama. Karena itu, pada abad ke 19 terjadilah beberapa peristiwa yang menunjukkan tuntunan terhadap pelaksanaan kekuasaan secara etis sebagai yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal tersebut terlihat dengan terjadinya perlawanan terhadap pemerintah colonial dalam perang. Tahun 1821-1837, terjadi perang Padri yang dipimpin oleh Imam Bonjol, dibantu delapan ulama yang bergelar “Harimau nan salapan”. Awalnya gerakan Paderi ini dilakukan melalui ceramah di Surau dan Mesjid untuk menentang dan memberantas kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Islam seperti judi, sabung ayam, minuman keras, dan lain-lain. Namun gerakan ini mendapat perlawanan dari kelompok penghulu, sehingga terjadilah konflik terbuka atas kaum Paderi melawan kaum adat atau penghulu yang dibantu oleh Belanda. Menurut kaum Paderi pemerintah colonial tidak etis, karena telah memihak kemungkaran.11 Demikian pula perang perlawanan yang terjadi di daerah-daerah lain seperti perang Aceh, perang Banjar, perang Banten, dan lain sebagainya. Semuanya merupakan bentuk perlawanan terhadap kemungkaran dan ketidakadilan. Walaupun perang tersebut selalu berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam Indonesia untuk menggalang persatuan atas nama Islam dan telah memupuk cinta tanah air dan anti kolonial. Dalam periode ini, hubungan Islam dan politik berada pada tataran Islam sebagai etika politik Periode pendudukan Jepang, kendatipun singkat, mungkin dapat dicatat sebagai episode pembukaan kembali keterlibatan umat Islam dalam dunia politik. Sumbangan terbesar Jepang bagi politik Islam Indonesia dapat dilihat dalam upayanya untuk menyatukan berbagai kekuatan Islam dalam suatu organisasi Masyuni, yang didukung oleh Muhammadiyah maupun NU.12 Tampaknya Jepang berusaha mempergunakan agama untuk M. Abduh Wahid (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar), PERGUMULAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA,,, h. 144 11 Ibid, h. 145 12 Awalnya pembentukan Masyumi dimaksudkan untuk menggiring kekuatan Islam agar mau membantu Jepang dalam perang. Namun beberapa pihak yang terlibat dalam kepemimpinan Masyuni, seperti 10



mencapai tujuan perangnya. Mereka memandang Islam sebagai salah satu sarana yang penting untuk memperoleh dukungan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam kaitan ini dapat dilihat dibentuknya kantor Urusan Agama, didirikan Masyumi dan pembentukan Hizbullah. Jadi berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda, politik Islam pemerintah. Pendudukan Jepang memandang umat Islam sebagai mitra dengan memberlakukan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Masa akhir pendudukan Jepang, beralih orientasi dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada kelompok rasionalis sekuler. Hal ini dapat dilihat dari wakil-wakil Islam yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI, hanya sedikit.27 Dalam komite inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara kelompok Islam dan kelompok rasionalis sekuler. Pihak Islam mengusulkan gagasan negara Islam, yaitu negara Indonesia yang berdasarkan syariat Islam. Sementara pihak nasionalis sekuler, Supomo, mengemukakan bahwa Indonesia mempunyai keistimewaan-keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syari’at Islam itu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat moderat.13 Untuk tidak menimbulkan perpecahan, karena perdebatan ideologis yang berlarut, maka kompromi pun diambil. Akhirnya tercapailah kesepakatan bersama sebagai terumuskan dalam Piagam Jakarta, bahwa Pancasila merupakan dasar negara, dan rumusan sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”.14 Perumusan Pancasila sebagai dasar negara tidak terlepas dari adanya janji pemerintah Jepang di Tokyo yang diucapkan oleh Perdana Menteri Koiso dihadapan parlemen Jepang pada 7 September 1944 untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai hadiah dari pemerintah Jepang.30 Namun, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta telah ditandatangani pada 22 Juni 1945 itu dibicarakan kembali. Karena alasan demi persatuan nasional, tujuh kata yang sangat berarti bagi umat Islam dihapus. Diterimanya pancasila sebagai ideologi negara serta dihapuskannya tujuh kata dari Piagam Jakarta dapat ditafrisrkan sebagai kekalahan politik Islam. Kendatipun demikian, para pendukung gagasan negara Islam tidak menyerah begitu saja. Gerakan Darul islam (1949) yang memproklamasikan berdirinya negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Marijan Kartosuwiryo, dan perjuangan wakil-wakil Islam di dalam sidang konstituante hasil pemilu 1955 untuk menggolkan kembali gagasan negara Islam, merupakan indikasi konsistensi perjuangan mereka.15 C. Pemikiran Politik Islam Pada Masa Orde Lama Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekret, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Wahid Hasyim dan lain-lain berusaha keras agar berdirinya Masyumi tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan Jepang, dan usaha ini tampaknya berhasil baik. Lihat ulasan selengkapnya B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1946-1972 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), h. 9-11. 13 Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 102-107 14 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Bandung: Pustaka, 1983), h. 26-27. 15 M. Abduh Wahid, PERGUMULAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA,,, h. 147



Indonesia, memaksa pembubaran partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respon yang beragama dari kalangan partai Islam. Ahmad syafi’i ma’arif membagi era Demmokrasi Terpimpin ini menjadi periode kristalisasi (hingga Desember 1960) dan Periode Kolaborasi (hingga Pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partaipartai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar penyangganya.16 Pada saat itu, Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri karena dianggap oposisi dan menentang revolusi. Presiden Soekarno menuduh bahwa Masyumi berada dibelakang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dibeberapa daerah, antara lain Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan. Daerah-daerah yang memberontak tersebut merupakan kantongkantong Masyumi seperti Natsir, Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap, yang dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI di sumatera Barat tersebut, namun Masyumi tidak mengeluarkan sikap atas keterlibatan tersebut. Mereka memberontak bukan atas nama partai, melainkan atas nama pribadi pemberontakan mereka pun untuk tujuan supaya Soekarno menyadari kekeliruaanya dan kembali ke jalan yang benar dalam melaksanakan pemerintahannya. Masyumi adalah ujung tombak penegak demokrasi yang hendak dikubur oleh Soekarno melalui Demokrasi terpimpin. Banyak mantan tokoh Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Hamka, Burhanuddin Harahap, Mohammad Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari dan Syafruddin Prawiranegara, yang mendekam dalam penjara tanpa proses hukum yang wajar akibat perlawanan terhadap Soekarno.17 Ahmad Syafi'i Maarif membagi era demokrasi terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember 1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965)18 1. Proses Kristalisasi Setelah Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinetnya yang baru menggantikan kabinet Djuanda pada 6 Juli 1959. Dalam kabinet ini, Djuanda tetap diberi posisi penting sebagai menteri pertama yang tugasnya tidak berbeda dengan perdana menteri. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan gagasan Soekarno dalam bentuk demokrasi terpimpin. sekitar enam setengah tahun sistim ini beroperasi dalam sejarah kontemporer indonesia, secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan berpecah-belah pada saat berhadapan dengan sistim yang diciptakan oleh Soekarno. Pilihan untuk turut atau tidak turut dalam suatu sistim kekuasaan telah membela umat menjadi dua kubu yang saling Jainuddin, M. Hum. (Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima) ISLAM DAN POLITIK ORDE LAMA; “DINAMIKA POLITIK ISLAM PASCA KOLONIAL SEJAK KEMERDEKAAN SAMPAI AKHIR KEKUASAAN SOEKARNO” (Sangaji Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum) h. 127-128 17 Ibid 18 Ibid, h. 233-240 16



berhadapan, sedangkan posisi politik mereka secara nasional sudah tidak diperhitungkan lagi. Pada bulan-bulan pertama pelaksanaan Demokrasi terpimpin terlihat proses kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang terhadap Demokrasi gaya baru ini. Secara makro, siapa yang mendukung akan dibiarkan hidup, sedangkan yang menentang harus disingkirkan. Secara mikro, dikalangan umat Islam, proses kristalisasi juga menjadi kenyataan. Pihak yang ikut serta dalam demokrasi ciptaan Soekarno dapat turut serta dalam jaringan kekuasaan, sekalipun sebagai peserta pinggiran. Sedangkan pihak yang melawan, bukan saja disingkirkan dari lembaga-lembaga politik formal, tapi juga partai mereka dibubarkan, dan tokohtokoh puncak mereka di penjarakan tanpa proses pengadilan. Dalam majelis konstituante, partai-partai Islam pada umumnya mampu menyatukan persepsi dalam memperjuangkan Islam “Piagam Jakarta” sebagai dasar negara. Tapi di DPR, partai-partai Islam belum memiliki bahasa yang sama dalam menilai perubahan politik yang sedang berlangsung. Lemahnya Sikap politik liga muslim (NU, PSII, dan Perti) terhadap move Soekarno dan partai Masyumi semakin terpojok terus melakukan perlawanan terhadap gagasan dan pelaksanaan Demokrasi terpimpin. Dimata Masyumi sistem demokrasi terpimpin dianggap tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sementara NU tetap memutuskan untuk masuk dalam sistem demokrasi terpimpin, betapapun kecil keuntungannya yang akan diraih. NU juga berpendapat bahwa keikutsertaan dalam sistem demokrasi terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis. Di samping itu kebijakan politik yang diambil oleh NU lebih mengutamakan harmoni atau ishlahil ummah (untuk kesejahteraan rakyat) lahir dan batin. 19 Setelah demokrasi terpimpin berjalan sekitar sembilan bulan, Soekarno membubarkan parlemen hasil pemilihan umum 1955 itu pada 20 Maret 1960. Kemudian ia membentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), dimana Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan. Pembentukan DPRGR. ternyata mempercepat proses kristalisasi dikalangan umat Islam di indonesia. Sebagai partai yang dikategorikan sebagai penghalang revolusi, Masyumi memang tidak sesuai dimasukan dalam DPRGR. Partai Masyumi dituduh sebagai partai yang turut mendalangi pemberontakan PRRI-Permesta, sekalipun secara hukum tuduhan ini tidak beralasan. Sementara NU yang menerima eksistensi DPRGR dalam rangka menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, dengan harapan bertambahnya perwakilan umat Islam dalam DPRGR secara keseluruhan agar seimbang dengan perwakilan golongan lain. Sementara Dalam DPRGR yang dibentuk oleh Soekarno umat Islam hanya 67 kursi, nasionalis 94 kursi, dan komunis 81 kursi. Partai Masyumi dianggap duri dalam daging yang mengganggu "jalannya revolusi" dan harus disingkirkan. Masyumi adalah ujung tombak penegak demokrasi yang hendak dikubur Soekarno melalui demokrasi terpimpin. Soekarno mengambil sikap tegas untuk membungkam tokohtokoh Masyumi. Mohammad Natsir, Hamka, Burhanuddin Harahap, Mohammad Yunan 19



Tim PBNU, Benturan NU – PKI 1948-1965 ( Jakarta: 2013) hlm. 32



Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari dan Sjafruddin Prawiranegara, yang mendekam dalam penjara tanpa proses hukum yang wajar.20 Dalam politik, kelompok modernis dan tradisionalis saling berkompetisi untuk mengungguli. Masyumi dapat dikatakan lebih unggul daripada NU, terutama pada periode 1950-an awal. Meskipun pada awalnya NU merupakan salah satu sayap terpenting dalam Masyumi pada 1952, dalam Muktamar NU ke-19 di Palembang, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan membuat partai sendiri. Menurut Maarif, keputusan ini diambil karena NU tidak mendapat posisi penting dalam struktur kepengurusan Masyumi. Apalagi pada 1952 tersebut posisi pimpinan Partai Masyumi beralih dari Soekiman Wirjosendjojo ke tangan Mohammad Natsir. Selain itu, Masyumi adalah partai politik Islam modernis yang memiliki pemikiran politik dan mekanisme organisasi yang teratur dan modern. Masyumi tidak terlalu terikat pada doktrin-doktrin politik Sunni yang sering akomodatif terhadap penguasa. Karena itu, dalam kamus Masyumi tidak ada konsep kepatuhan kepada penguasa yang despotik, sebagaimana dirumuskan oleh pemikir-pemikir Sunni klasik dan pertengahan seperti Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Bagi Masyumi, etika politik dan penegakan cita-cita demokrasi adalah cermin dari cita-cita politik Islam. Para tokoh Masyumi sadar sepenuhnya bahwa pilihan mereka akan menghadapi tembok tebal kekuasaan dan kelompokkelompok yang memanfaatkan situasi dan keadaan demikian. Perpecahan di tubuh partai-partai Islam dimanfaatkan oleh Soekarno. Soekarno membela NU dan partai-partai tradisional lainnya sebagai salah satu pilar penopang kekuasaannya, dan membubarkan Masyumi sebagai oposisi berbahaya bagi kelangsungan kekuasaannya. 2. Periode Kolaboratif Periode kolaboratif, partai-partai Islam yang mengikuti alur Demokrasi Terpimpin yakni partai NU dan partai-partai tradisionalis lainnya, doktrin politik Sunni klasik sangat berperan dalam mengarahkan perilaku politik mereka. Bersatu dengan politik Nasakom Soekarno mendapat pembenaran dari doktrin politik tokoh-tokoh Sunni masa klasik dan pertengahan. Ini merupakan kesempatan bagi NU dan partai-partai politik tradisional untuk berbuat lebih banyak. Apalagi selama ini NU kurang dapat mengekspresikan sikap politik mereka. Masuknya NU dan partai-partai politik tradisionalis Islam lainnya ke dalam struktur kekuasaan yang dibangun Soekarno merupakan kemenangan kelompok tradisionalis atas modernis. Pada periode ini partai-partai Islam dapat dikatakan sedang berada dibawah pengaruh kuat NU. Fenomena tersebut nampak pada perilaku politik NU: Pertama, strategi pokok NU dalam politik yang dikaitkan dengan doktrin pesantren yang menjadi rujukan utama mereka. Strategi dan taktik perjuangan politik NU tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kuat pesantren dalam arti konservatisme Islam, NU sering dilukiskan sebagai pesantren dalam politik. Kedua, karakteristik hubungan NU dan Soekarno. Ketiga, iklim persaudaraan 20



S.M. Amin, Indonesia di Bawah rezim Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 50



umat dalam kaitannya dengan perikau politik partai-partai Islam. Keempat, masa akhir demokrasi terpimpin dan sikap NU serta partai-partai Islam yang lain terhadapan. Kelima, kehancuran demokrasi terpimpin serta tragedi politik yang dialami PKI dan Bung Karno. Analisis tentang perilaku politik NU dari budaya pesantren sebagaimana yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier menjadi penghubung antara Islam tradisional dengan dunia nyata, suatu posisi spiritual yang hampir-hampir tidak memberikan kebebesan kepada santrinya berpikir mandiri. Ungkapan “tanpa Kiai Wahab bukan lagi Nahdhatul Ulama” hanya semakin memperkuat tesis bahwa seorang Kiai yang dipercayai memiliki kharisma adalah seorang yang berada dalam posisi untuk memberi “kata putus” dalam memecahkan suatu persoalan krusial dalam budaya pesantren. harus dicatat bahwa pesantren pada umumnya dan pesantren yang berada di bawah pengaruh NU khususnya, otoritas kiai begitu dominan dan sangat dihormati. Para santri merasa terikat dengan kiai sepanjang hidupnya, setidaknya sebagai sumber inspirasi dan bantuan moral bagi kehidupan individual mereka. Doktrin pesantren dalam implemnetasi perilaku politik praktis pada periode demokrasi terpimpin. Sebagaimana diketahui bersama bahwa NU merupakan gerakan para ulama. Peran ulama dalam menangani masalah politik adalah suatu peran yang serba baru bagi mereka, karena pada saat NU masih bertahan dalam masyumi, peran itu lebih dimainkan oleh kelompok intelektual hasil didikan barat yang berorientasi Islam. Setelah NU muncul sebagai partai politik, para ulamalah yang memegang posisi pengambil keputusan, sementara kaum intelektual yang jumlahnya sangat kecil hanya berperan sebagai pendamping para ulama. Konsep sesepuh atau tetua yang dijadikan dasar oleh Soekarno untuk tampil sebagai penguasa tertinggi diatas pentas politik nasional. Konsep politik paternalistik ini merupakan bagian penting dari sub kultur Jawa tentang hubungan bapak-anak dalam sebuah keluarga besar bangsa indonesia. Dalam terma Soekarno, konsep bapak di sini adalah seorang tetua yang serba bijak, yang tidak mendiktatori tapi memimpin dan mengayomi. Hal demikian juga terjadi pada subkultur pesantren, dimana posisi kiai dipandang begitu agung secara spritual. Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno adalah sesepuh bangsa indonesia secara keseluruhan, sementara dalam kubu NU, Kiai Wahab dan Kiai Idham Chalid adalah figur-figur puncak yang menentukan secara mutlak warna politik NU. Karakteristik ini berangkat dari doktrin ikraman lil-kabir warrahmah lisshagier (memuliakan yang tinggi dan mengasihi yang rendah). Bila doktrin ini kita kaitkan dengan perilaku politik NU, maka tokoh-tokoh seperti kiai Wahab dan Kiai Idham adalah pihak yang tinggi yang harus dimuliakan dan dipatuhi perintah-perintahnya dalam masalah agama dan politik. Doktrin ini dengan sendirinya telah memperkuat posisi para sesepuh ulama yang loyal kepada presiden Soekarno. Dengan demikian, tokoh-tokoh NU yang berada dalam posisi yang rendah tidak akan benyak berkutik menghapi Soekarno, sekalipun mereka misalnya mengerti bahwa pemerintahan Demokrasi terpimpin adalah pemerintahan tanpa demokrasi sikap taat yang di tunjukkan oleh sebagian besar warga NU terhadap pihak tinggi sebenarnya merupakan warisan pemikiran



politik Islam klasik yang tidak memberikan kemerdekaan kepada umat untuk bersuara lain dengan penguasa. Posisi politik NU khususnya dan partai-partai Islam umumnya dalam kerja sama Nasakom. Nasakom adalah singkatan dari Nasionalis, Agama dan Komunis. Formula ini dipopulerkan Soekarno dan pengikutnya sejak akhir 1960. Target sebenarnya yang hendak diraih Soekarno dengan Nasakom ialah agar PKI dimasukan dalam kabinet, suatu keinginan yang telah lama ia pendam. Keinginan ini tidak pernah menjadi kenyataan seperti yang didambakannya, sekalipun tiga serangkai tokoh puncak PKI: D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Nyoto dimasukan dalam kabinet pada 1962, tapi tanpa portofolio. Posisi politik ini jelas tidak memuaskan Soekarno, apalagi PKI.`namun itulah kenyataan yang dapat dicapai PKI pada waktu itu karena oposisi terhadap ide tersebut cukup berat. Oposisi keras datang dari angkatan darat. dan partai politik, dalam hal ini NU sebagai penentang utama bagi masuknya PKI dalam pemerintahan, setelah Masyumi tidak ada. Masuknya partai-partai Islam dalam kerja sama Nasakom, secara formal telah dianggap revolusioner. Pada masa itu, pertimbangan apakah suatu kekuatan politik revolusioner atau kontra revolusioner, akan sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap Nasakom. Semakin vokal suatu kekuatan politik atau siapapun dalam meneriakkan Nasakom, ia akan semakin dikategorikan sebagai revolusioner, meskipun mungkin teriakan itu hanya sekadar cara menyelamatkan diri dari kecurigaan Soekarno dan PKI. Karena Islam dipandang sebagai salah satu unsur Nasakom dengan NU sebagai wakil utamanya, maka partai ini tidak perlu cemas akan tersingkir dari logika revolusioner Soekarno, asal pandai-pandai menari sesuai dengan irama politik Nasakom. Partai-partai Islam yang lain dalam menghadapi berbagai isu politik lebih banyak meniru gaya NU sebagai kekuatan Islam terbesar saat itu. Pada permulaan 1961, doktrin pesantren yang dianut NU dalam berpolitik sebagai strategi pokoknya. Dibekali asumsi dasar bahwa berada didalam akan lebih afdal ketimbang berada diluar, apalagi berada di dalam itu dipadati oleh unsur agama, Zuhri membantah pendapat beberapa tokoh Islam bahwa Islam dalam bahaya. Lewat Duta Masyarakat, Sekjen NU itu menyatakan bahwa Islam tidak dalam bahaya.28 Kemudian dikutipnya pernyataan presiden Soekarno “bahwa pemerintah tidak membahayakan Islam, sebaliknya malah menagungkan agama”.21



21



M. Abduh Wahid, PERGUMULAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA,,, h. 239-40



Kesimpulan Islam politik masa kesutanan (abad ke 13-17 sudah terbentuk kultur politik Islam berupa pemakaian simbol-simbol tradisi politik Islam, seperti penggunaan aksara ArabMelayu untuk membuat dokumen resmi negara, penggunaan tahun Hijriyah untuk kalender resmi pemerintah, dan adanya masjid kerajaan. Sultan pada periode ini menjalankan dua fungsi utama, sebagai penguasa dan sebagai pelindung agama Islam. Pada zaman penjajahan Belanda, ketika Sultan kehilangan otoritas dan simbolsimbol Islam kehilangan makna pada abad ke 18, maka kekuatan Islam politik berada di tangan pribadi atau kelompok Islamis yang berada di luar struktur kesultanan. Dalam kondisi seperti ini, Islam digunakan sebagai acuan etika politik, sehingga kaum Islamis mengadakan perlawanan seperti diperlihatkan oleh kaum Paderi, ulama Aceh, Pangeran Diponegoro, dan ulama tarekat di Banten pada abad ke 19. Masa pendudukan Jepang (1942-1945), Islam dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan. Karena itu Jepang berusaha merangkul umat Islam, dan menjanjikan kemerdekaan



untuk bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Kelompok Islamis memperjuangkan Islam sebagai ideologi dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, tetapi tidak berhasil. Setelah Indonesia merdeka kelompok Islamis memperjuangkan Islam sebagai ideologi politik dalam sidang-sidang majelis konstituante (1956-1959) tetapi lagi-lagi tidak berhasil. Sementara itu sebagian Islamis menjadikan Islam sebagai ideologi negara dengan mendirikan Darul Islam/Negara Islam Indonesia, seperti yang dilakukan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureuh di Aceh. sistim politik Islam pada masa orde lama atau demokrasi terpimpin terbagi menjadi dua periode yaitu periode kristalisasi dan periode kolaborasi. Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partaipartai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar penyangganya. Secara makro, siapa yang mendukung akan dibiarkan hidup, sedangkan yang menentang harus disingkirkan. Secara mikro, dikalangan umat Islam, proses kristalisasi juga menjadi kenyataan. Pihak yang ikut serta dalam demokrasi ciptaan Soekarno dapat turut serta dalam jaringan kekuasaan, sekalipun sebagai peserta pinggiran. Sedangkan pihak yang melawan, bukan saja disingkirkan dari lembaga-lembaga politik formal, tapi juga partai mereka dibubarkan, dan tokoh-tokoh puncak mereka di penjarakan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Sementara pada proses kolaborasi, partai-partai Islam umumnya dalam kerja sama Nasakom. Nasakom adalah singkatan dari Nasionalis, Agama dan Komunis. Masuknya partai-partai Islam dalam kerja sama Nasakom, mereka secara formal telah dianggap revolusioner. Pada masa itu, pertimbangan apakah suatu kekuatan politik revolusioner atau kontra revolusioner, akan sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap Nasakom. Semakin vokal suatu kekuatan politik atau siapapun dalam meneriakkan Nasakom, ia akan semakin dikategorikan sebagai revolusioner, meskipun mungkin teriakan itu hanya sekadar cara menyelamatkan diri dari kecurigaan Soekarno dan PKI. Karena Islam dipandang sebagai salah satu unsur Nasakom dengan NU sebagai wakil utamanya, maka partai ini tidak perlu cemas akan tersingkir dari logika revolusioner Soekarno, asal pandai-pandai menari sesuai dengan irama politik Nasakom. Partai-partai Islam yang lain dalam menghadapi berbagai isu politik lebih banyak meniru gaya NU sebagai kekuatan Islam terbesar saat itu.



Daftar Pustaka Azyumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung: Mizan, 1998), Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1996), Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), M. Abduh Wahid (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar), PERGUMULAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA (Jurnal Politik Profetik Volume 7, No. 1 Tahun 2019 P-ISSN : 2337-4756 | E-ISSN : 2549-1784) M. Shaleh A. Putuhena, Islam dan Politik, Pergumulan tanpa Akhir: Rekonstruksi Pantulan Pengalaman Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Adab IAIN Alauddin Kamis 11 Nopember 2004



Yudi Armansyah (Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi), Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari Masa Tradisional Hingga Indonesia Modern, (Fokus : Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 01, 2017) Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, 1991, Zaprulkhan, (STAIN Syeikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung) , DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA, Jurnal Review Politik Volume 03, No 02, Desember2013 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Bandung: Pustaka, 1983), Jainuddin, M. Hum. (Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima) ISLAM DAN POLITIK ORDE LAMA; “DINAMIKA POLITIK ISLAM PASCA KOLONIAL SEJAK KEMERDEKAAN SAMPAI AKHIR KEKUASAAN SOEKARNO” (Sangaji Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum) Tim PBNU, Benturan NU – PKI 1948-1965 ( Jakarta: 2013) S.M. Amin, Indonesia di Bawah rezim Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),