Makalah Penerapan Teori Orem Pad An A [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENERAPAN TEORI DAN MODEL KEPERAWATAN DOROTHEA OREM DALAM PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. A DAN KELUARGANYA DI RUANG MELATI 2 RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Di ajukan untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Aplikasi Teori Keperawatan dan Pendekatan NANDA, NIC, NOC dalam Keperawatan Anak



Dosen Pengampu : Anik R, S.Kep.,M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.An.



Oleh: Ambarwati (NIM 16/403409/PKU/16277) Anggi Kusuma (NIM 16/403412/PKU/16230) Candra Andodo (NIM 16/403421/PKU/16239) Ellen R. V. Purba (NIM 16/403428/PKU/16246) Enny Eko S (NIM 16/403429/PKU/16247) Gani Apriningtyas B (NIM 16/403435/PKU/16253) Husnaini Mardhiyah. AR (NIM 16/403439/PKU/16257)



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2017 KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan segala izin dan karunia dari Nya, kelompok dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas Penerapan Teori Dan Model Keperawatan Dorothea Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Pada An. A Dan Keluarganya Di Ruang Melati 2 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta pada mata kuliah Aplikasi Teori Keperawatan dan Pendekatan NANDA, NIC, NOC dalam Keperawatan Anak. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penulisan laporan kelompok ini. 1. Ibu Chritantie Effendy, S. Kp., M. Kes., PhD selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan FK UGM. 2. Ibu Sri Hartini, S.Kep., Ners.,M.Kes., PhD selaku koordinator Mata Kuliah Aplikasi Teori Keperawatan dan Pendekatan NANDA, NIC, NOC dalam Keperawatan Anak. 3. Ibu Anik R, S.Kep.,M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.An. selaku pembimbing kelompok yang telah bersedia membagi ilmu dan memberikan masukan kepada kelompok terkait dengan penyelesaian tugas kelompok ini. Semoga tugas ini bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya, serta dapat digunakan dan diaplikasikan dalam bidang keperawatan baik secara praktis maupun dalam bidang penelitian pengembangan keperawatan. Yogyakarta, April 2017



DAFTAR ISI Kata Pengantar...........................................................................................................ii Daftar isi.....................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang........................................................................................1 B. Rumusan Masalah...................................................................................2 C. Tujuan......................................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep teori Dorothea Orem.................................................................. B. Konsep Meningoensefalitis..................................................................... C. Asuhan Keperawatan Meningoensefalitis............................................... BAB III TINJAUAN KASUS A. Pengkajian keperawatan dengan pendekatan self care Dorothea Orem.. B. Diagnosis keperawatan............................................................................ C. Rencana keperawatan.............................................................................. D. Implementasi dan Evaluasi...................................................................... BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................... BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.............................................................................................. B. Saran........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA



BAB I



PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang sangat berbahaya adalah



infeksi



Susunan



Saraf



Pusat



meningitis/ensefalitis/meningoensefalitis.



(SSP) Setiap



termasuk hari,



ke



bakteri



dalamnya meningitis



mempengaruhi lebih dari 400 juta orang pada 26 negara, dan kejadian paling tinggi terjadi pada tahun 2009 di Negara Nigeria dengan 80.000 laporan kasus (WHO,2014). Menurut WHO (1996) dalam Malau, Ristari., Sarumpaet, Sori Muda (2011) bahwa di klinik Bucharest, Rumania telah terjadi peningkatan kasus meningoensefalitis sejak bulan Agustus tahun 1996 dan terdapat 281 kasus virus meningitis yang terjadi dari 1 Agustus sampai 2 September, dengan usia rata-rata pasien adalah 47 tahun dan 53% dari pasien dengan usia di atas 50 tahun. Disamping itu WHO (2011) melaporkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) dari meningoensefalitis di Asia yang disebabkan oleh Togavirus adalah sekitar 20% . Sedangkan di Indonesia, Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria. Meningitis/Ensefalitis merupakan penyakit menular pada semua umur dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%) dan pneumoni (23,8%). Proporsi Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%) dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu (10,7%) (Balitbangkes Depkes RI, 2008). Dengan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit meningoensefalitis tersebut maka perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan pasien dengan usaha



memenuhi kebutuhan dasar pasien diharapkan mampu memberikan



perawatan dengan menggunkan pendekatan yang dianggap paling baik. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan adalah dengan menggunakan konsep model Dorotea Orem dimana fokus utama dari model konseptual ini adalah kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri secara



mandiri sehingga tercapai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraannya. Teori ini juga merupakan landasan bagi perawat dalam memandirikan perawat sesuai tingkat ketergantungannya ((Muhlisin & Irdawati, 2010). Oleh karena itu maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai Penerapan Teori Dan Model Keperawatan Dorothea Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Pada An. A Dan Keluarganya Di Ruang Melati 2 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Bagaimana Penerapan Teori Dan Model Keperawatan Dorothea Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Pada An. A Dan Keluarganya Di Ruang Melati 2 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta C. Tujuan 1. Umum Untuk mengetahui bagaimana Penerapan Teori Dan Model Keperawatan Dorothea Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Pada An. A Dan Keluarganya Di Ruang Melati 2 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta 2. Khusus a. Menganalisis penerapan teori dan model keperawatan Dorothea Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Pada An. A Dan Keluarganya Di Ruang Melati 2 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta b. Menerapkan teori dan model keperawatan Dorothea Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Pada An. A Dan Keluarganya Di Ruang Melati 2 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP TEORI DOROTHEA OREM 1. Uraian Konsep Teori Dorothea Orem Model konseptual Dorothea E.Orem (2001) dalam Aliggod dan Tomey (2006) adalah tentang self-care deficit nursing theory (SCDNT) yang terdiri dari tiga konsep yang saling berhubungan yaitu theory self – care, theory self- care



deficit dan theory nursing system. Orem dalam teori ini menitikberatkan tentang bagaimana kebutuhan self-care dapat dipenuhi oleh pasien, perawat atau keduaduanya, teori ini pun memberikan gambaran bagaimana individu mampu melakukan aktivitas secara mandiri atau tergantung. Menurut Orem



Asuhan



Keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu dalam memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan mencapai kesejatraan. Teori Orem ini dikenal sebagai Self - Care deficit theory. Orem membagi teorinya sebagai teori umum yang terdiri atas tiga teori terkait teori Self - Care, Teori Self Care deficit theory, dan teori Nursing system. a. Teori Self – Care Self – Care ( perawatan diri ) merupakan suatu kontribusi berkelanjutan orang dewasa bagi ekosistemnya, kesehatannya, dan kesejatraannya, Self - Care ini



mengambarkan



dan



menjelaskan



manfaat



perawatan



diri



guna



mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraannya. Jika dilakukan secara efektif upaya perawatan diri dapat memberikan kontribusi bagi integritas structural fungsi dan perkembangan manusia. Kebutuhan Pearawatan diri menurut Orem meliputi pemeliharaan udara, air / cairan, makanan, proses eliminasi normal, keseimbangan antara aktifitas dan istirahat, keseimbangan antara solitude dan interaksi social, pencegahan bahaya bagi kehidupan, fungsi dan kesejatraan manusia serta upaya meningkatkan fungsi dan perkembangan individu dalam kelompok social sesuai dengan potensi, keterbatasan, dan keinginan untuk normal. Kebutuhan perawatan diri ini sifatnya umum bagi setiap manusia berkaitan dengan proses kehidupan dan pemeliharaan integritas struktur dan fungsi manusia. Kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri (Self -



Care



agency) merupakan kekuatan atau kemampuan individu yang berhubungan dengan perkiraan dan esensial operasi produksi untuk perawatan diri. Self - Care agency ini dipengaruhi oleh usia, status perkembangan, pengalaman hidup, orientasi social – budaya, kesehatan, dan sumber daya yang tersedia. Self - Care disebutkan mengenai Theraupetik Self - Care demand, yaitu totalitas aktivitas perawatan diri yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri dengan menggunakan metode yang valid. Teori selfcare terdiri dari:



a) Universal self-care requisites Perawatan diri sendiri memiliki beberapa prinsip, pertama, perawatan diri dilakukan secara holistic, mencakup delapan komponen kebutuhan perawatan diri diatas. Proses kehidupan manusia meliputi kebutuhan udara, cairan, nutrisi, eliminasi aktivitas dan istirahat, interaksi sosial, pencegahan risiko yang mengancam kehidupan / bahaya dan pengenalan fungsi hidup. b) Developmental self-care requisites Perawatan diri dilakukan sesuai dengan tahap tumbuh – kembang manusia. Proses perkembangan, proses-proses keehidupan dan pendewasaan. Teori ini dapat dipengaruhi oleh kondisi tertentu pada manusia tahapan perkembangannya dapat berbeda-beda. c) Health deviation self-care requisites Perawatan diri dilakukan karena adanya masalah kesehatan atau penyakit dengan



tujuan



mencegah



penyakit



dan



meningkatkan



kesehatan.



Penyimpangan dalam aspek struktur dan fungsi manusia misalnya seseorang yang sedang sakit atau yang sedang dalam pengobatan atau perawatan (Alligood, 2010). Teori ini juga berhubungan dengan pencarian terhadap bantuan medis, kesadaran terhadap potensi masalah yang muncul akibat



dari



pengobatan/perawatan,



penyesuaian



gaya



hidup



yang



mendukung status kesehatan (Fawcet, 2005) Faktor-faktor kondisi dasar adalah : umur, jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, orientasi sosio-kultural, faktor system pelayanan kesehatan (diagnostik dan pengobatan), faktor system keluarga, pola hidup (aktivitas secara teratur), faktor lingkungan serta sumber-sumber yang adekuat dan terjangkau. Secara normal, orang dewasa secara sukarela memelihara dirinya sendiri. Bayi, anak-anak, orang tua, orang sakit dan orang cacat membutuhan perawatan secara menyeluruh atau bantuan dalam aktivitas self-care. Istilah umum untuk persyaratan tersebut adalah aktivitas kehidupan seharihari (activity of daily living). Orem (1991) dalam Alligood,2010 mengidentifikasi persyaratan self-care sebagai berikut : (1) Pemeliharaan terhadap kecukupan udara (2) Pemelihraan teradap kecukupan air, (3) Pemeliharaan terhadap kecukupan makanan



(4) Perlengkapan yang berhubungan dengan proses eliminasi dan sisa eliminasi (5) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat (6) Pemeliharaan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi social (7) Pencegahan terhadap bahaya kehidupan, fungsi manusia dan kesejahteraan manusia (8) Peningkatan fungsi manusia dan perkembangan dalam kelompok social yang sejalan dengan potensi manusia, tahu keterbatasan manusia, dan keinginan manusia untuk menjadi normal. Penyimpangan kesehatan selfcare ditemukan dalam kondisi sakit, injuri, penyakit atau yang disebabkan oleh tindakan medis yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi. Penyakit atau injuri tidak hanya mempengaruhi struktur tubuh tertentu dan fisiologisnya atau mekanisme psikologis tapi juga mempengaruhi fungsi sebagai manusia. b. Teori Self – Care Deficit Teori Self - Care Deficit merupakan inti dari General Theory of Nursing yang menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat dibantu melalui ilmu keperawatan serta kapan keperawatan diperlukan. Defisit Perawatan diri ini terjadi ketika sesorang tidak dapat memelihara diri mereka sendiri. Asuhan Keperawatan diberikan pada saat kemampuan seseorang lebih kecil dari pada kebutuhannya tetapi kemungkinan akan terjadi penurunan kemampuan dikemudian hari yang tidak setara dengan peningkatan kebutuhan. Peran perawat dalam hal ini dibutuhkan ketika seseorang memerlukan asuhan



keperawatan



karena



ketidakmampuan



merawat



diri.Orem



mengidentifikasi lima metode bantuan: 1) Tindakan untuk berbuat untuk orang lain 2) Membimbing dan mengarahkan 3) Memberikan dukungan fisik dan psikologis 4) Memberikan



dan



mempertahankan



lingkungan



yang



mendukung



perkembangan individu 5) Pendidikan. Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan semua metode ini untuk memberikan bantuan self-care. Aktivitas yang melibatkan perawat saat mereka memberikan asuhan keperawaran dapat digunakan untuk menggambarkan domain keperawatan. Lima area aktivitas untuk praktek keperawatan, yaitu :



1) Masuk ke dalam dan mempertahankan hubungan perawat-klien dengan individu, keluarga atau kelompok sampai klien secara sah dikeluarkan dari keperawatan 2) Menentukan apakah dan bagaimana klien dapat ditolong melalui keperawatan 3) Berespons terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien akan kontak dan bantuann keperawatan 4) Merumuskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada klien dan orang-orang terdekat dalam bentuk bantuan keperawatan 5) Mengkoordinasi dan mengintegrasikan keperawatan dengan kehidupan sehari-hari klien, pelayanan kesehatan lain yang dibutuhkan atau diterima dan pelayanan sosial dan pendidikan yang dibutuhkan dan diterima klien c. Teori Nursing System Sistem keperawatan dibentuk ketika perawat menggunakan kemampuan mereka untuk menetapkan, merancang, dan memberi perawatan kepada pasien baik individu maupun kelompok melalui berbagai aksi. Teori Nursing System membahas bagaimana kebutuhan perawatan diri pasien dapat dipenuhi oleh perawat, pasien, atau keduanya. Sistem keperawatan ini ditentukan atau disusunberdasarkan kebutuhan perawatan diri dan kemampuan pasien untuk melakukan perawatan diri. Perawatan diri dilakukan dengan memperhatikan tingkat ketergantungan atau kebutuhan serta kemampuan pasien, oleh karena itu ada 3 klasifikasi system keperawatan dalam perawatan diri Wholly Compensatory nursing system, perawat memberikan bantuan kepada pasien karena tingkat ketergantungan pasien yang tinggi Partly Compensatory nursing system, Perawat dan pasien saling bekerjasama dalam melakukan tindakan keperawatan dalam hal ini peran perawat tidak total tapi sebagian. Supportive educative nursing system, pasien melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat ( supportive dan educative) saat pasien sudah mampu melakukannya. Ketiga tingkatan Nursing System tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Tindakan Perawat



 Penanganan pasien dengan perawatan diri teraupetik  Mengompensasi ketidakmampuan pasien untuk melakukan perawatan diri  Mendukung dan melindungi pasien



Wholly Compensatory Nursing System Tindakan perawat



Tindakan perawat



Menjalankan beberapa tindakan perawatan diri untuk pasien Mengkompensasi keterbatasan pasien untuk melakukan perawatan diri Membantu pasien sesuai kebutuhan



Menjalankan beberapa tindakan perawatan diri Mengatur kemampuan perawatan diri Menerima pearawatan diri dan bantuan dari perawat



Tindakan Pasien



Partly Compensatory Nursing System Mengerjakan perawatan diri



Tindakan Pasien pasien



Tindakan perawat



Mengatur latihan pengembangan perawatan diri Supportive-Educative Nursing System



2. Pemberian Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori Dorthea Orem 1. PENGKAJIAN Pengkajian atau pengumpulan data pada pasien anak diarahkan pada a) Basic conditioning factor atau faktor personal meliputi usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, sistem keluarga, pola kehidupn, lingkungan dan sumber keluarga (Tomey & Alligood, 2006) Kelengkapan data pengkajian residen menambahkan inisial pasien, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, pendidikan saat ini, jumlah saudara, suku, tanggal masuk rumah sakit, identitas orangtua (inisial ayah dan ibu, usia, pendidikan, alamat rumah), selain itu residen juga menambahkan tanggal masuk rumah sakit, nomor rekam medis, tanggal pengkajian, diagnosis medis pasien. b) Universal self-care requisites meliputi kebutuhan udara, cairan, nutrisi, eliminasi,



aktivitas,



dan



istirahat,



interaksi



sosial,



pencegahan



resiko/penyakit yang mengancam kehidupan/ bahaya dan peningkatan kondisi normal (Tomey & Alligood, 2006). Menurut orem data yang termasuk dalam deveomental self-care yaitu bagaimana individu dapat menjaga kondisi lingkungan yang menunjang perkembangan dan upaya pencegahan terhadap kondisi-kondisi yang mencegah proses perkembangan, sedangkan data health deviation self care requisite yaitu upaya untuk mencari bantuan medis, kesadaran terhadap potensi masalah yang muncul akibat dari pengobatan/perawatan, penyesuaian gaya hidup yang dapat mendukung perubahan status kesehatan (Alligood,2010) 2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan dibuat sesuai dengan theraupetic self care demand, tingkat keadekuatan dari self care agency, sesuai dengan self care deficit yang dialami oleh pasien, baru ditentukan diagnosa keperawatan. Diagnosis keperawatan terkait dengan gangguan aktivitas dan istirahat dapat ditetapkan berdsarkan data yang sudah dikumpulkkan pada universal self-care requisites. Diagnosis keperawatan yang diangkat bisa merujuk pada Doengoes, atau menggunakan prinsip NANDA NIC NOC.



3. TUJUAN DAN PERENCANAAN Perawat bersama pasien dan keluarga membuat perencanaan dengan tujuan untuk menentukan metode perawatan apa yang sesuai dengan kondisi pasien. Perencanaan terdiri dari tujuan yang ingin dicapai, hasil yang diharapkan, desain nursing system teori orem (Whooly compensatory, partly compensatory, atau supportive-educative), menentukan metode dalam menolong pasien dan rencana tindakan keperawatan. 4. IMPLEMENTASI Perawat melakukan tindakan keperawatan yang sesuai dengan rencana yang telah dibuat dengan melibatkan pasien dan keluarga dengan tujuan meningkatkan kemampuan self caredan menurunkan self care deficit pasien. 5. EVALUASI Perawat menilai keefektifan dari Regulatory operations dan outcome pasien. Perawat mengevaluasi apakah implementasi yang sudah dilakukan sudah benar atau sesuai. Untuk outcome pasien dapat dinilai dari peubahan kemampuan atau perkembangan selfcare deficit nursing theory (SCDNT) dalam proses keperawatan pada anak dengan masalah/gangguan yang didapat. B. KONSEP MENINGOENSEFALITIS 1. DEFINISI Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis (Dorland,d,2002) Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus (Slaven et all, 2007) 2. ETIOLOGI Penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut: a) Virus 1) Togaviridae 



Alfavirus : Virus Ensefalitis Equine Eastern, Virus Ensefalitis Equine Western, Virus Ensefalitis Equine Venezuela.







Flaviviridae : Virus Ensefalitis St. Louis, Virus Powassan



2) Bunyaviridae 



Virus Ensefalitis California : Virus LaCrosse dan Virus Jamestown Canyon



3) Paramyxoviridae  Paramiksovirus : Virus Parotitis dan Virus Parainfluenza 4) Morbilivirus 



Virus Campak



5) Orthomyxoviridae 



Influenza A







Influenza B



6) Arenaviridae 



Virus khoriomeningitis limfostik



7) Picornaviridae Enterovirus : Poliovirus, Koksakivirus A, Koksakivirus B, Ekhovirus



8) Reoviridae Orbivirus : Virus demam tengu Colorado 9) Rhabdoviridae : Virus Rabies 10) Retroviridae Lentivirus : Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2 Onkornavirus : Virus limfotropik T manusia tipe 1, Virus limfotropik T manusia tipe 2 11) Herpesviridae Herpes virus : Virus Herpes simpleks tipe 1, Virus Herpes simpleks tipe 2, Virus Varisela zoster, dan Virus Epstein Barr. Sitomegalovirus : Sitomegalovirus manusia 12) Adenoviridae Adenovirus b) Bakteri Haemophilus influenza, Neisseria menigitidis, Streptococcus pneumonia, Streptococcus



grup



B,



Listeria



monocytogenes,



Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberkulosa



Escherichia



coli,



c) Parasit Protozoa : Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii, Naegleria fowleri (Primary amebic meningoencephalitis), Granulomatous amebic encephalitis. Helminthes : Taenia solium, Angiostrongylus cantonensis Rickettsia : Rickettsia ( Rocky Mountain) d) Fungi Criptococcus neoformans, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Candida species, Aspergillus dan Paracoccidiodes. (Greenberg,2002) Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi. Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar terjadi penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan penularan virus Measles atau Varicella-zoster. Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci, tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas. Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO, Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis epidemika, Mononukleosis infeksiosa. Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV1), virus gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr. Di Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di Eropa



Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simplekstype 2 merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orangorang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus. Invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari infeksi di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang intrakranial, baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk granuloma yang besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses.Penyebab karena bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan memperbanyak diri dengan cepat karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H. influenzae eksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai infeksi pada CSS. Meningoensefalitis disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa varian hominis terjadi pada anak umur 6 bulan-5 tahun. Insiden meningoensefalitis mumps lebih banyak ditemui pada anak laki-laki yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak (Harsono, 2009). 3. PATOFISIOLOGI Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah,



penyebaran



langsung,



komplikasi



luka



tembus,



dan



kelainan



kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluhpembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang



kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan



mendapat



infeksi



melalui



plasenta



oleh



virus



rubela



atau



cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia. (Harsono,2009) 4. FAKTOR RESIKO Faktor resiko dari meningoensefalitis antara lain adanya fraktur terbuka didaerah kepala sehingga memungkinkan terpapar agen penyebab infeksi dan terdapat juga infeksi didaerah lain seperti sinusitis, otitis media, mastoiditis, dan tuberkulosis. Orang dengan kondisi immunocompromised seperti pada penderita HIV juga rentan terkena meningoensefalitis (Marjono,2008) 5. MANIFESTASI KLINIS Kebanyakan



pasien



meningoensefalitis



menunjukkan



gejala-gejala



meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tandatanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik (Tidy, 2012) Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,



minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia. Tanda khas untuk meningitis berupa demam mendadak, nyeri kepala berat, nausea atau muntah, diplopia, rasa mengantuk, sensitif terhadap cahaya terang, dan kaku leher. Ensefalitis dapat ditandai demam, kejang, perubahan sikap, kebingungan dan disorientasi dan tanda neurologis berdasarkan bagian otak yang terdaat proses ensefalitik. Meningitis muncul gejala seperi flu selama 1-2 hari sedangkan Ensefalitis menunjukkan gejala flu ringan. Pasien dengan kasus yang lebih parah biasanya mengalami gangguan berbicara atau pendengaran, diplopia, halusinasi, perubahan sikap, kehilangan kesadaran, kehilangan rasa sensorik pada bagian tubuh, kelemahan otot, paralisis parsial lengan dan kaki, demensia berat mendadak, kejang dan kehilangan memori ( National Institute of Neurological Disorders and stroke, 2015) 6. PENCEGAHAN MENINGOENSEFALITIS 1) Pencegahan Primer Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningoensefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan terhadap infeksi dilakukan dengan cara imunisasi pasif atau aktif. Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif. Imunisasi



aktif terhadap H. influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit invasif, dengan pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut. Imunisasi



untuk



pencegahan



infeksi



Haemophilus



influenzae



(menggunakan vaksin H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan secara rutin pada anak berusia 2, 3, dan 4 bulan. Amuba penyebab meningoensefalitis, yang hidup dalam kolam renang dapat dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam secara teratur, hindari berenang pada kolam air tawar yang mempunyai temperatur di atas 250C. Meningoensefalitis dengan penyebab Mycobacterium tuberkulosa dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), dan pencahayaan yang cukup. Pencegahan untuk Virus Japanese B Encephalitis yaitu vaksinasi inaktif diberikan pada anak-anak, karena kelompok tersebut sensitif terhadap infeksi virus. Selain itu dilakukan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dan dilakukan prosedur pengamanan tindakan dan pekerjaan laboratorium. 2) Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Deteksi dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangat penting karena adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal kelainan neurologik, pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan (Harsono, 2009). 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG a) Pemeriksaan Pungsi Pumbal 



Meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.







Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula menurun, klorida



menurun



Pemeriksaan



cairan



serebrospinal



pada



amuba



meningoensefalitis yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba. 



Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau MRI kepala.



b) Pemeriksaan darah 



Pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit. Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.







Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.



c) Pemeriksaan Radiologis 



CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.







Menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA virus.







Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak difusc (Ginsbrg,2007)



8. PENGOBATAN a) Pengobatan suportif Kasus meningitis virus dan ensefalitis, pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks.



Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari. Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan etambutol. Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba lainnya (Dewanto et all, 2007) b) Pencegahan tertier Aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli, ketidakmampuan belajar, oleh karena itu fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi kecacatan. C. ASUHAN KEPERAWATAN MENINGOENSEFALITIS 1. Pengkajian Klien Meningitis a. Biodata klien b. Riwayat kesehatan yang lalu: 



Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC?







Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?







Pernahkah operasi daerah kepala ?



c. Riwayat kesehatan sekarang:







Aktivitas



Gejala



:



Perasaan



tidak



enak



(malaise).



Tanda



:



ataksia,kelumpuhan, gerakan involunter. 



Sirkulasi Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, takikardi, disritmia.







Eliminasi Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.







Makanan/cairan Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.







Higiene Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.







Neurosensori Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat



hingga



koma,



delusi



dan



halusinasi,



kehilangan



memori,



afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada lakilaki. 



Nyeri/keamanan Gejala : sakit kepala (berdenyut hebat, frontal).Tanda : gelisah, menangis.







Pernafasan Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan. (Kusuma,2012)



2. Diagnosa keperawatan Meningitis a. Resiko



tinggi



terhadap



penyebaran



infeksi



sehubungan



dengan



diseminata hematogen dari patogen b. Risiko



tinggi



terhadap



perubahan



serebral



dan



perfusi



jaringan



dengan



kejang



sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia. c. Risiko



tinggi



terhadap



trauma



sehubungan



umum/fokal, kelemahan umum, vertigo. d. Nyeri akut sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi e. Kerusakan



mobilitas



fisik



sehubungan



dengan



neuromuskular, penurunan kekuatan f. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian. (Kusuma,2012)



kerusakan



3. Intervensi Keperawatan Meningitis a. Resiko



tinggi



terhadap



penyebaran



infeksi



sehubungan



dengan



diseminata hematogen dari patogen. 



Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan







Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.







Pantau suhu secara teratur







Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus







Auskultasi



suara



nafas



ubah



posisi



pasien



secara



teratur,



dianjurkan nafas dalam 



Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )







Kolaborasi Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin



b. Resiko



tinggi



terhadap



perubahan



cerebral



dan



perfusi



jaringan



sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia. 



Tirah baring dengan posisi kepala datar







Pantau status neurologis







Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang







Pantau



tanda



vital



dan



frekuensi



jantung,



penafasan,



suhu,



masukan dan haluaran. 



Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.







Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.







Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).







Pantau BGA. Berikan obat : steroid, clorpomasin, asetaminofen.



c. Resiko



tinggi



terhadap



trauma



sehubungan



dengan



kejang



umum/vokal, kelemahan umum vertigo. 



Pantau adanya kejang.







Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan.







Tirah baring selama fase akut







Kolaborasi berikan obat : venitoin, diazepam, venobarbital.



d. Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.







Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.







Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman (kepala agak tingi).



Berikan



latihan



rentang



gerak



aktif/pasif.



Gunakan



pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul. 



Kolaborasi Berikan anal getik, asetaminofen, codein



e. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler. 



Kaji derajat imobilisasi pasien.







Bantu latihan rentang gerak.







Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.







Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udara atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fungsional.







Berikan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.



f. Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis 



Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara, alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.







Kaji kesadaran sensorik : sentuhan, panas, dingin.







Observasi respons perilaku.







Hilangkan suara bising yang berlebihan.







Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.







Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.







Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi, wicara dan kognitif.



g. Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian. 



Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.







Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.







Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.







Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong. (Kusuma,2012)



4. Evaluasi Hasil yang diharapkan: a. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain. b. Mempertahankan



tingkat



kesadaran



biasanya/membaik



dan



fungsi



motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil c. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain. d. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat. e. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan. f. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi. g. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi. (Kusuma,2012)



BAB III



TINJAUAN KASUS



A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN DENGAN PENDEKATAN SELF CARE DOROTHEA E. OREM Tanggal masuk rumah sakit



: 18 April 2017 pukul 10.00 WIB



Tanggal pengkajian



: 19 April 2017 pukul 09.30 WIB



No. Rekam Medis



: 1-80-76-36



Diagnosa Medis



:



I.



-



tetra paresis spastik post ME susp. Bacterial DD Viral



-



Global developmental disoreder ec. Sekuel ME



Basic Conditioning Factor Identitas Klien 1. Nama



: An .AKL



2. Umur/TTL



: 4 tahun 2 bulan/ Tangerang, 18 Februari 2013



3. Jenis Kelamin



: Perempuan



4. Jumlah saudara



:1



5. Suku



: Jawa



Identitas Orang tua 1. Nama Ibu



: Ny. S



2. Usia



: 40 tahun



3. Pendidikan 4. Alamat



: SMU : Perangkokan RT 01 RW 01 Purwosari Kabupaten Kulon



progo 5. Nama Ayah



: Ahmad Afandi



6. Usia



:



7. Pendidikan 8. Alamat



: SMU : Perangkokan RT 01 RW 01 Purwosari Kabupaten Kulon



progo Status Kesehatan 1. Keluhan Utama : rewel 2. Riwayat penyakit klien :



Pasien rujukan dari RSUD wates dengan post meningoencephalitis + GMO 1 bulan SMRS anak demam sumer – sumer tanpa batuk pilek, tidak diare dan tidak muntah. 1 hari berikutnya demam naik , diberikan obat parasetamol, demam turun sebentar , kembali naik pada tanggal 22 maret 2017 kemudian demam tinggi 38 C kejang badan kaku ± 10 menit, mata melirik ke atas kemudian di bawa berobat ke PKU nanggulan, di rawat di IGD selama 6 jam, terjadi kejang berulang satu kali kejang seluruh tubuh kelonjotan ± 1 menit terus berhenti dengan diazepam per rektal, kemudian pasien di rujuk ke RSUD wates. Anak masih demam, kesadaran menurun,tidak mau makan, hanya minum air putih sedikit. Di RSUD wates di rawat selama 17 hari di diagnosa sebagai ME bacterial, riwayat pengobatan masih tanda tanya. Kemudian dilakukan CT scan tanpa kontras tanggal 4 April 2017. Hasilnya dalam batas normal. Selama perawatan pernah 2 kali kejang di bangsal hari perawatan ke 2 dan 3 kejang ± 5 menit, kaku, mata melirik keatas, berhenti dengan diazepam. Intake di bangsal 1 minggu pertama, susu LLM 8 x 50 cc, dianjutkan 8 x 75 cc, saaat ini dengan SGM eksplore 8 x 100 CC. Pasien sudah antri rawat inap sejak 12 April 2017. Riwayat : perkembangan anak normal sejak lahir s/d sebelum sakit gerakan aktif, aktif bisa berbicara, sudah bisa makan sendiri, sesuai dengan usia sebaya. Setelah sakit anak hanya berbaring dan miring –miring makan disuapi, bisa makan bubur 1 minggu terakhir. Intake susu lewat NGT. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada. 3. Riwayat penyakit Keluarga Riwayat kejang pada keluarga di sangkal. 4. Riwayat kehamilan dan persalinan Status GPA



: G4P3A1



Usia gestasi saat lahir



: 31 minggu



BBL



: 2400 gr



Jenis persalinan



: sectio cecaria dengan KPD



Tempat persalinan



: RS Dinda Tangerang Bekasi



Penolong persalinan



: Dokter



Penyakit selama kehamilan



: saat usia kehamilan 2 bulan keluar flek .



Riwayat post natal



: pernah melahirkan anak prematur dan pasca NICU



5. Riwayat Imunisasi



: Hep B II,Hep B III, Hep B IV, Hep B V, DPT II,



DPT III, BCG, Polio II, Polio III, Hep A II, Hep A III, campak. 6. Riwayat Alergi II.



: tidak ada



Universal Self care requisities 1. Kebutuhan udara atau oksigen Bentuk dada



: simetris



Gerakan nafas



: teratur



Penggunaan otot bantu nafas



: tidak ada



Alat bantu nafas



: tidak ada



RR



: 32 kali/menit



Nadi



: 104 kali/menit



Suhu



: 36, 6 0 C



2. Kebutuhan cairan dan elektrolit Mukosa mulut / bibir



: kering



Ubun –ubun



: datar



CRT



: kembali < 2 detik



Turgor kulit



: elastis



Frotanela



: datar



Kekeringan mata



: tidak kering



Air mata



: normal



Asupan cairan/hari



: 1150 cc



3. Kebutuhan nutrisi Diet



: Nutrisi enteral



Jenis makanan/minumam



: susu dan bubur



Jumlah/ frekuensi



: susu 8 x 100 mL



Cara pemberian



: melalui selang NGT tapi juga Dan kalau bubur melalui mulut.



Porsi yang disediakan



: susu 8 x 100 mL



Keluhan lain



:-



4. Kebutuhan eliminasi BAB



: Lewat anus, frekuens 1 kali sehari,



Karakteristik



: konsistensi fese kemarin padat, konsistensi feses



hari ini keras dengan adanya sedikt darah. Jumlah produksi



: tidak di ukur



Keluhan lain



: tidak ada



BAK



: spontan



Karakteristik



: kuning



Jumlah produksi



: 4-5 ganti pempers



Output cairan perhari



:



Perhitungan cairan Tgl 18/4/2017 Cairan masuk Tgl 18/4/2017



Cairan keluar Tgl 18/4/2017



Pkl 15.00 : 100 cc (susu)



Pkl 19.00 : 100 cc



Pkl 17.00 : 100 cc



Tgl 19/4/2017



Pkl 18.00 : 180 cc



Pkl 05.00 : 200 cc



IWL 260 ml/24 jam



Pkl 21.00 : 100 cc Pkl 24.00 : 100 cc Tgl 19/4/2017 Pkl 03.00 : 100 cc (susu) Pkl 04.00: 80 cc (susu) Total cairan masuk : 660



Total cairan keluar : 300



5. Kebutuhan aktivitas dan istirahat a. Kekuatan otot 4 3



:



4 3



b. Tonus otot



:



c. Aktivitas bermain



: tidak ada, anak rewel



d. Tingkat ketergantungan



: ketergantungan total



e. Alat bantu



: anak di gendong ibu



f. Keluhan lain



: anak rewel sering menangis tidak mau ditinggal sendiri.



g. Lama tidur siang/malam



: Ketika dirumah anak bisa tidur dengan nyenyak, tapi ketika di RS ketika tidur siang malam anak sering terbangun dan menangis, tidur hanya 1-2 jam lalu terjaga lagi



h. Waktu berangkat tidur



: sebelum tidur biasanya digendong dengan



diayun i. Kebiasaan sebelum tidur



: kebiasan sebelum tidur biasanya minum



susu j. Kesulitan tidur



: Ada



k. Perasaan setelah bangun tidur: Ibu mengatakan anak terlihat lelah l. Keluhan lain



: tidak ada



6. Keseimbangan sendiri dan interaksi sosial a. Interaksi terhadap lingkungan: semenjak sakit anak sangat rewel, hanya gendongan dan ingin terus bersama sang ibu. b. Dukungan keluarga



: dukungan ibu yang selalu ada saat anak



sakit, ayah an. A, nenek An. A. c. Kontak mata



: sudah mulai responsive



7. Pencegahan resiko yang mengancam kehidupan dan kesejahteraan a. Penggunaan siderail



: Siderail terpasang pada saat anak di tempat



tidur b. Kebersihan kamar mandi



: bersih



c. Pemberian tindakan



: terpasang NGT



8. Peningkatan dan perkembangan selama hidup a. Dampak hospitalisasi pada anak : anak takut berinteraksi (saat didekati pengkaji yang memakai seragam perawat putih, anak spontak menangis, adanya hambatan tumbuh kembang b. Pada keluarga



: aktivitas harian berubah



c. Persepsi dan harapan pasien



: ibu An. AKL yakin anaknya dapat



sembuh dan Ibu An. AKL berharap penyakit anaknya segera sembuh. III.



Developmental self care requsities 1. Motorik halus



: normal



2. Motorik kasar



: normal



3. Personal sosial



: normal



4. Bahasa



: normal



Penilaian pertumbuhan dan perkembangan An. A sebelum sakit diukur dengan denver II berdasarkan laporan dari Ibu, hasilnya Normal sesuai dengan usia pertumbuhan dan perkembangan (terlampir). Namun semenjak sakit anak belum duduk dan bicara dan belum bisa di tes denver secara langsung dengan anak karena anak masih sulit di ajak berinteraksi, anak masih rewel. IV.



Health deviation self care requesities Tanda vital



Antropometri



Kepala Rambut Mata



Mulut



Telinga Leher Dada



T : 36,6 0C S : 98 % RR : 32 x/menit N : 104 x/menit BB : 13 kg TB : 96 kg LLA : Lingkar kepala : 50 cm (normal) Lain –lain : Bentuk kepala : simetris Ubun –ubun : datar Lain-lain : tidak ada Warna rambut coklat dan tipis Palpebra : simetris Konjungtiva : anemis Sklera : putih Pupil : isokor Gerak bola mata : normal Lain –lain : tidak ada Mukosa : kering Gusi : tidak ada edem dan peradangan Lidah : tidak hiperemi Gigi : tidak karies Lain-lain : tidak ada Bentuk : normal Bentuk : normals Bentuk dada: normal



Paru -paru



Jantung Sirkulasi



Abdomen



Genitalia Anus Kuku Ekstremitas Neurologi



Pergerakan : simetris Retraksi dada : tidak ada Alat bantu napas : spontan Suara napas tambahan : tidak ada Bunyi jantung : S1 & S2 tumggal Sianosis : tidak ada Pucat : iya CRT : < 2 detik Akral : hangat Bentuk : simeris Tali pusat : sudah lepas Nyeri tekan : tidak ada Hepar dan lien tidak teraba Bentuk : normal Tanda sek sekunder : tidak ada Sekret : tidak ada Atresia ani : tidak ada Lain-lain : normal semua Normal Atas : lemah Bawah : lemah Kesadaran : kompos mentis Tangisan : lemah Kejang : tidak ada saat pengkajian , riwayat kejang Kekuatan otot : 4 4 3 3 Nyeri : tidak ada Gerak B B



B B



Tropi eu



Eu



Reflek fisiologis + + Reflek patologis Resiko jatuh 14 (Resiko Tinggi Jatuh) terlampir Hasil pemeriksaan penunjang



1. Masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium cek darah rutin, IgM, IgG, HSV, HSV2, BUN creatinin, SGOT, SGPT, elektrolit 2. CT scan di RSUD wates tanpa kontras hasil normal. 3. Masih menunggu hasil CT scan dengan kontras Penataksanaan : Tgl 18/4/2017 Terpasang NGT di poli anak Terapi obat Tgl 18 - 19 / 4/2017 1. Phenitoin 2 x 35 mg per oral 2. Piracetam 2 x 150 mg per oral 3. Haloperidol 2 x 0,2 mg per oral Rencana penatalaksanaan : 1. Konsul THT (tes BERA) 2. Konsul mata 3. Fisioterapi 4. Konsul tumbuh kembang



P



Lampiran



P



P



P



P



P



P



P



P P



P



P



P P P P



P P P P P



P



SKALA RISIKO JATUH HUMPTY DUMPTY UNTUK PEDIATRI Nama An. A usia 4 tahun 2 bulan parameter Usia     Jenis kelamin   Diagnosis  



Gangguan kognitif



Faktor lingkungan



      



  Respons terhadap:  1. Pembedahan/  sedasi / anestesi  Penggunaan  medikamentosa  



kriteria < 3 tahun 3 – 7 tahun 7 – 13 tahun ≥ 13 tahun Laki-laki Perempuan Diagnosis neurologi Perubahan oksigenasi (diagnosis respiratorik, dehidrasi, anemia, anoreksia, sinkop, pusing, dsb.) Gangguan perilaku / psikiatri Diagnosis lainnya Tidak menyadari keterbatasan dirinya Lupa akan adanya keterbatasan Orientasi baik terhadap diri sendiri Riwayat jatuh / bayi diletakkan di tempat tidur dewasa Pasien menggunakan alat bantu / bayi diletakkan dalam tempat tidur bayi / perabot rumah Pasien diletakkan di tempat tidur Area di luar rumah sakit Dalam 24 jam Dalam 48 jam > 48 jam atau tidak menjalani pembedahan / sedasi/ anestesi Penggunaan multipel: sedatif, obat hipnosis, barbiturat, fenotiazin, antidepresan, pencahar, diuretik, narkose Penggunaan salah satu obat di atas Penggunaan medikasi lainnya / tidak ada medikasi TOTAL



nilai 4 3 2 1 2 1 4 3 2 1



skor 3



1 4



3 2 1



1



4 3



2



2 1 3 2 1



1



3



2



2 1 14



DATA LABORATORIUM



B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN DATA FOKUS No 1.



Pengkajian



Etiologi



Masalah



DS :  Ibu mengatakan anaknya tidak bisa beraktivitas semenjak sakit  Ibu mengatakan semua aktivitas dibantu (ketergantungan total)



Penurunan kekuatan ekstremitas / Neuropati



Risiko Jatuh



Cedera Otak



Gangguan keterlambatan Perkembangan



Penurunan fungsi menelan (neuroligis)



Resiko Aspirasi



DO :  Kekuatan Otot 4 4 3 3  Pengukuran Risiko Jatuh Humpty Dumpty Untuk Pediatri dengan score 14 (Resiko Tinggi Jatuh)  Diagnosa medis tetra paresis spastik post ME susp. Bacterial DD Viral 2.



DS :   



Ibu mengatakan setelah sakit anak hanya berbaring dan miring –miring makan disuapi, Ibu mengatakan anaknya semua aktifitas dibantu Ibu mengatakan setelah sakit anaknya tidak mampu duduk dan berbicara (kesulitan komunikasi)



DO:  Anak susah berinteraksi  Diagnosa medis Global developmental disoreder ec. Sekuel ME 3.



DS : 



Ibu mengatakan anak belum bisa menelan dengan sempurna.



DO : 



Gangguan menelan







Terpasang selang NGT



4.







DS : 



Ibu pasien mengatakan pampers belum diganti sejak 6 jam yang lalu.



Kelembaban kulit



Resiko kerusakan integritas kulit



DO :



5.







Pampers sudah terlihat berisi cairan yang cukup banyak.







Area perianal masih lentur dan kulit bagus.



DS : 







Ibu mengatakan anak tadi pagi BAB keras dan ada darah sedikit.







Gangguan neurologi







Asupan cairan dan nutrisi rendah serat.







Perubahan tingkat kesehatan pasien







Kelemahan neurologis







Tingkat ketergantungan pasien pada keluarga



Ibu pasien mengatakan anak sebelumnya dalam 3 hari belum BAB.



Konstipasi



DO :



6.







Pasien gangguan neurologis dengan tetra parese dan ada imobilisasi.







Pasien mendapat diet sonde cair.







Pasien tampak cemas.



DS : 



Ibu pasien mengatakan bahwa selama sakit anaknya menjadi tidak bisa apa-apa.







Ibu pasien mengatakan bahwa sekarang tinggal jauh dari suaminya yg sekarang bekerja di Bekasi.







Ibu pasien mengatakan selama ini banyak dibantu oleh ibunya untuk mengurus anaknya.







Ibu pasien mengatakan tinggal dekat dengan kakak dan orang tuanya.



DO :



Kesiapan untuk meningkatkan koping keluarga







Ketika menjalani rawat inap ibu pasien ditemeni oleh ibunya







Ketika mengurus jaminan kesehatan dibantu oleh kakaknya. 



Proses hospitalisasi



Ansietas







Gangguan neuromuskular



Defisit perawatan diri: mandi/hygiene







Kelemahan /tetraparese



9 DS :







Ansietas











Faktor lingkungan : suhu yang terlalu panas



7 DS : 



Ibu pasien mengatakan pasien hanya tidur sebentar saja dan sering terbangun tadi malam.







Ibu pasien mengatakan jika dirumah pasien bisa tidur dengan nyenyak.



DO : 



Pasien terlihat gendongan







Pasien terlihat menangis jika didekati petugas kesehatan.







Pasien terlihat cemas dan takut.







Pasien masuk RS kemarin



8 DS : 



Ibu mengatakan membantu anaknya dalam memenuhi segala kebutuhan perawatan diri anaknya.



DO : 



Anak terlihat lemas







Diagnosa anak GDD dengan tetra parese dan penurunan fungsi neurologi



Ibu mengatakan anaknya sulit untuk tidur nyenyak dan sering terbangun.



DO : 



Anak terlihat capek dan rewel







Anak terlihat selalu gendongan



Insomnia



PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan Perkembangan berhubungan dengan penurunan fungsi neurologis. 2. Ansietas berhubungan dengan proses hospitalisasi. 3. Insomnia berhubungan dengan ansietas dan lingkungan yang tidak nyaman. 4. Defisit perawatan neuromuskular



diri:



mandi/toileting



berhubungan



dengan



gangguan



5. Konstipasi berhubungan dengan asupan cairan dan nutrisi rendah serat dan kurang aktivitas. 6. Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan fungsi neurologis 7. Resiko aspirasi berhubungan dengan kelemahan fungsi menelan 8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembaban kulit. 9. Peningkatan kesiapan koping keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anggota keluarga. C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN



N O 1



DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan Perkembangan



NOC



NIC



Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian perawatan dalam 5 x 24 kesehatan yang jam diharapkan keluarga saksama. memahami cara 2. Tentukan tingkat menstimulus pengetahuan, sumberperkembangan pasien dan sumber, system mengetahui therapi yang pendukung dan akan dijalani pasien keterampilan koping dengan kriteria hasil : pengasuh.  Anak akan mencapai 3. Identifikasi harapan penanda orang tua terhadap perkembangan, yaitu anak. tidak mengalami interaksi keterlambatan 25% 4. Pantau orang tua dan anak. atau lebih pada salah satu atau lebih area 5. Kaji adanya factor social atau perilaku resiko prenatal. pengaturan diri, atau keterampilan kognitif, 6. Kaji factor resiko pasca natal bahasa, motoric, kasar, atau motoric halus. 7. Ajarkan pada aorang tua penada  Keluarga mengetahui perkembangan cara menstimulus normal. perembangan pasien. 



Keluarga mengetahui 8. Demonstrasikan aktivitas yang therapy atau tindakan menunjang yang akan dijalani perkembangan. pasien untuk mengobtimalkan 9. Ajarkan cara-cara pertumbuhan dan memberikan perkembangan nya. rangsangan yang berarti untuk anak. 10. Ajarkan



tentang perilaku yang sesuai dengan usia anak.



11. Ajarkan



tentang mainan dan bendabenda yang sesuai dengan usia anak.



12. Berikan



aktivitas bermain sesuai, dukung aktivitas dengan anak lain.



13. Berkomunikasi



dengan pasien sesuai dengan tingkat kognitif perkembangan pasien. 14. Libatkan



pasien dalam perawatan diri dan aktivitas kehidupan sehari-hari sebanyak mungkin.



D. IMLEMENTASI DAN EVALUASI Tanggal Implementasi



: 19 April 2017 pukul 11.00 WIB



DX KEPERAWATAN



IMPLEMENTASI



1



1. Melakukan pengkajian kesehatan pasien. 2. Melakukan pengkajian tingkat kemampuan motoric kasar, halus dan kognitif serta bahasa yang dimiliki pasien sebelim sakit dan sesudah sakit. 3. Mengajarkan pada orang tua cara memberikan stimulus pada pasien dengan tetap menjak berbicara dan melakukan stimulus pijatan. 4. Memberikan edukasi pada orang tua mengenai terapy bermain dengan teman sebaya dengan pengawasan orang tua. 5. Memberikan edukasi cara bermain yang merangsang motoric kasar dan motoric halus seperti memegang pensil atau mainan yang lain.



EVALUASI S: 



Orang tua mengatakan sering mengajak



berbicara



sambil



memberikan makan. 



Orang tua mengatakan merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan pada anaknya yang sekarang menjad tidak bisa apa-apa.



O: 



Pasien tetra parese







Umur pasien 4th







Pasien hanya bisa menangis







Belum



dilakukan



program



terapi fisioterapi A : Masalah belum teratasiteratasi 2



1. Mengkaji tingkat kecemasan pasien. 2. Memberikan dorongan pada orang tua untuk selalu berada di deekat pasien. 3. Melakukan atraumatic care dengan bahasa verbal dan non verbal, sentuhan.



P : Lanjutkan intervensi S: 



Orang tua mengatakan pasien sejak tadi malam tidak bisa tidur dengan nyenyak.







Orang tua mengatakan pasien tidak mau ditinggalkan dan selalu



menangis



ketika



didekati tenaga kesehatan. O:







Pasien



terlihat



rewel



dan



gendongan. 



Pasien terlihat menangis setiap didekati



oleh



tenaga



kesehatan. A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan intervensi 3



4



1.



Mengurasi rasa cemas/takut pasien dengan menyapa pasien dengan ramah dan memegang dengan lembut. 2. Menganjurkan keluarga untuk memijit pasien ketika akan tidur. 3. Menganjurkan ibu pasien untuk memandikan pasien sehari 2x. 4. Menganjurkan ibu pasien untuk mencuci tangan dan kaki pasien sebelum tidur, 5. Menganjurkan keluarga untuk membawa kipas angin untuk lebih mendinginkan suhu lingkungan. 6. Tidak melakukan tindakan saat pasien sedang tidur. 7. Menjaga ketenangan saat pasien tidur. 1. Mengkaji kemampuan pasien untuk memenuhi ADL pasien 2. Mengkaji kemampuan keluarga untuk membantu aktivias pasien 3. Menjelaskan pada keluarga untuk membantu semua aktivitas pasien. 4. Memantau adanya perubahan status kemampuan fungsional. 5. Memantau kebersihan kuku, rambut,dan kulit berdasarkan kemampuan perawatan keluarga. 6. Melibatkan keluarga dalam menyusun rencana tindakan . 7. Memberikan edukasi untuk



S: O: 



Pasien terlihat tidur tapi hanya 30 menit.







Pasien



terlihat



tidur



saat



digendong. A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan intervensi



S: 



Ibu



mengatakan



membantu



semua



selalu kebutuhan



anaknya. 



Ibu pasien mengatakan tinggal bersama ibunya dan



sering



dibantu. O: 



Pasien terlihat bersih dan rapi







Pasien



belum



bisa



duduk



meletakan sabun, sikat gigi, sendiri. handuk dan sampo dideket kamar mandi.  Pasien belum bisa bicara dengan 8. Menjelaskan pada keluarga jelas. untuk selalu memberikan stimulus pada pasien dengan kolaborasi dengan fisioterapi. A : Masalah teratasi sebagian P : Lanjutkan intervensi 5



6



1. Mengkaji mengenail eliminasi BAB, Frekuensi dan konsistensi serta keluhan saat BAB. 2. Berkolanorasi dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi dan serat yang cukup dan dapat dicerna oleh pasien. 3. Memberikan edukasi pada keluarga untuk memberikan makan dan minum yang cukup, sesuai yang disediakan oleh dietizen. 4. Mengajarkan pasien dan keluarga untuk mencatat setiap kali pasien BAB. 5. Mengajarkan orang tua untuk memberikan stimulus gerakan yang dapat memfasilitasi aktifitas fisik pasien. 6. Memberikan informasi pada orang tua tentang efek cairan dan serat dalam proses BAB untuk mencegah konstipasi. 7. Memberikan lingkungan yang nyaman dan aman serta bersih saat pasien BAB. 8. Juka perlu kolaborasi dengan dokter dalam pemberian laksative untuk membantu proses BAB. 1. Mengorientasikan pada keluarga terhadap lingkungan RS. 2. Memberikan edukasi pada orang tua untuk selalu menaikan batas pengaman tempat tidur ketika ditinggal keluar kamar.



S: 



Orang tua mengeluhkan saat BAB tadi pagi terdapat darah sedikit, feses keras, dan pasien







BAB 3 hari yang lalu Orang tua mengatakan akan mencoba menlateni makan dan minum khususnya yang sudah







disediakan oleh ahli gizi. Orang tua mengatakan memahami fungsi serat dalam proses BAB.



O:   



BAB : 1x Pasien tetra parese. Pasien tampak kurang aktif



A : Masalah teratasi sebagaian P : Lanjutkan intervensi



S: 



Orang tua mengatakan tidak berani meninggalkan pasien sendirian.







Orang



tua



mengatakan



3. Membantu ADL pasien.



mengetahui



cara



mencegah



resiko jatuh.



O: 



Pasien terlihat selalu bersama ibunya,







Pasien tidak terjatuh







Pasien tetra parese.



A : Masalah tidak terjadi 7



1. Mengkaji pemahaman ibu mengenai pemasangan lat selang NGT. 2. Mengkaji pemahan ibu mengenai cara pemberian nutrisi melalui NGT. 3. Memeriksa residu ketika akan memberikan diet cairan sonde. 4. Memberikan contoh cara memasukan sonde lengkap per enteral dengan NGT dengan cara diangkat lebih tinggi tanpa didorong. 5. Memblias dengan air putih sampai selang terlihat bersih dengan air putih, lalu menutuo kembali selang NGT. 6. Memberikan edukasi mengenai cara pemberian nutrisi melalui selang NGT. 7. Memberikan edukasi mengenai tanda-tanda aspirasi. 8. Mengevaluasi tingkay kenyamanan keluarga tentang pemberian makanan, memberikan posisi semi fowler selama memberikan makan dan 1 sajm setelah



P : lanjutkan intervensi S: 



Orang tua mengatakan selang NGT sudah dipasang 2 hari yang lalu di RSUD wates.







Orang tua mengatakan biasa memasukan



minum



dari



selang sendiri. 



Orang tua mengatakan diet sonde yang barusan diberikan terlihat



lebih



kental



dari



biasanya. O: 



Terpasang selang NGT







Disediakan diet sonde lengkap 100cc per 4 jam







Tidak muntah







Tidak ada aspirasi







Diet Sonde masuk 75 cc.



A : Masalah tidak terjadi



9



8



makan. 9. Mengkaji tingkat kesadaran dan reflex batuk dan reflex muntah. 10. Membantu keluarga untuk membuat rencana kedaruratan bila pasien mengalami aspirasi di rumah. 11. Melibatkan keluarga selama pasien makan. 12. Menempatan pasien pada posisi semifowler saat makan dan selama 1 jam setelah makan. 1. Memberikan edukasi pada orang tua untuk mengganti pamper setiap 4 jam sekali. 2. Memberikan edukasi untuk memberishkan area perianal ketia setiap kali BAB atau mengganti pampers, membersihkan dengan air sabun yang dibilas air bersih lalu dikeringkan. 3. Mengoleskan VCO pada kulit dengan tipis. 4. Memberikan edukasi untuk memandikan pasien 2x setiap sehari. 5. Membentu orang tua mengganti pampers pasien.



1. Mengkaji sumber fisik, emosi dan pendidikan keluarga. 2. Mengidentifikasi pengaruh budaya. 3. Mengidentifikasi adanya deficit perawatan diri. 4. Mengidentifikasi bantuan dari keluarga lain, selain keluarga inti.membantu keluarga dalam perawatan pasien. 5. Mendukung keluarga untuk aktif bertanya mengenai diagnose penyakit, rencana tindakan therapy dan kemungkinan kesembuhan.



P : Pertahankan intervensi



S: 



Orang tua pasien mengtakan Pampers belum diganti sejak 6 jam yang lalu.



O: 



Tidak ada deaperasis



A : Masalah tidak terjadi P : Lanjutkan intervensi S: 



Orang tua bertanya apakah anak nya ada kemungkinan sembuh.







Orang tua menanyakan penyakit anaknya apa.







Orang tua bertanya apakah tindakan yang akan dilakukan terhadap anaknya.



O:



6. Menganjurkan keluarga untuk sering melakukan fisiotherapy di klinik atau RS terdekat. 7. Memberikan dukungan pada orang tua bahwa anak adalah rahmat yang harus dijaga dan dirawat dengan baik.







Belum ada diagnosa pasti mengenai penyebab GDD







Belum ada hasil lab dan CT Scan untuk mendukung diagnose penyakit.



A : Masalah belum teratasi P : lanjutkan intervensi



BAB IV PEMBAHASAN



A. Meningoenchepalitis Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.



Meningitis



adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada



beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa. Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, serta adanya kondisi patologik lainnya. Tingkat kematian virus mencakup 40- 75% untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok. Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta epilepsi. Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera berat seperti hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari rumah sakit akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan kehilangan pendengaran. Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus, epilepsi, gangguan jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV,



N.VI, hemiparesis. Komplikasi dari meningitis purulenta adalah efusi subdural, abses otak, hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik. Dalam kasus An A. yang diawali dengan kejang demam, dokter mendiagnosis meningoensephalitis. Dalam suatu penelitian juga oleh Tavasoli dkk tahun 2014, Penelitian kali ini dilakukan di RSUD Ali-Asghar pada anak-anak berusia 1 bulan 6 tahun dengan demam dan kejang dirawat di rumah sakit dari Oktober 2000 – 2010. Hasil Sebanyak 681 pasien dengan kejang demam diketahui dari 422 (62%) dilakukan tusukan lumbal (LP), meningitis (bakteri atau aseptik) diidentifikasi pada 19 kasus (4,5%) dan meningitis bakteri pada 7 (1,65%). Dari kasus AN.A, dokter juga melakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan HSV2, untuk mengidentifikasi Herpes Simplex Virus. Dalam suatu penelitian oleh Seltz dkk (2009) juga dikemukaan bahwa dari 366 anak-anak demam kompleks, 75 (19%) dipindahkan dari sebuah rumah sakit terpencil. Riwayat kejang demam tercatat pada 140 (36%). Tusukan lumbal dilakukan pada 146 pasien (37%). Enam pasien (semua kecuali satu ditransfer) didiagnosis dengan meningitis bakteri (semua karena Streptococcus pneumoniae). Satu pasien yang ditransfer didiagnosis menderita ensefalitis HSV. Pada pasien yang awalnya datang ke gawat darurat, tingkat meningitis bakteri dan ensefalitis HSV adalah 0,3% (interval kepercayaan 95%, 0,0-1,8) dan 0,0% (95% confidence interval, 0,0-1,2). Dalam kasus An. A, dokter mempertimbangkan untuk dilakukan CT scan dengan menggunakan kontras. Dalam penelitian yang dilakukan Phuttharak dkk (2011) pada penderita epilepsi usia lebih dari 15 tahun di Klinik Epilepsi, Rumah Sakit Srinagarind Thailand antara tanggal 1 November 2003 dan 30 Januari 2005. Sebanyak 180 dari 370 penderita epilepsi memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 101 pria (56,1%) dan 79 wanita (43,9%). Ada 75 penderita epilepsi yang hanya menjalani CT imagings, 85 penderita epilepsi yang hanya menjalani MRI dan 20 PWE yang menjalani studi CT dan MRI. CT scan secara signifikan mendeteksi kelainan otak lebih banyak dari MRI pada penderita epilepsi (P = 0,0131). Juga ditemukan bahwa CT scan lebih unggul daripada MRI dalam mendeteksi stroke dan sistiserkosis pada PWE, sedangkan MRI secara signifikan lebih baik dalam diagnosis sklerosis hippocampal. Mengingat begitu banyaknya masalah yang ditimbulkan, maka diperlukan penanganan yang serius dari sejak awal timbulnya gejala agar didapatkan hasil yang optimal. Termasuk didalamnya adalah tatalaksana keperawatan.



B. Asuhan keperawatan Asuhan keperawatan yang kami lakukan pada pasien di RSUP DR Sardjito di Ruang Melati 2, kami dapatkan data pengkajian dari basic conditioning factor didapatkan data riwayat demam, kejang berulang, riwayat kehamilan ada perdarahan, riwayat lahir ketuban pecah dini, serta riwayat masa lalu kelahiran prematur, hal ini sesuai dengan faktor pencetus dan faktor risiko dari meningoenchepalitis. Dari pengkajian universal self care requisites didapatkan data bahwa pemasukan nutrisi sebagian besar menggunakan selang NGT, terdapat kelemahan ektrimitas atas dan bawah, anak dalam ketergantungan total, semua kebutuhan dilayani, tidur dan istirahat tidak seperti waktu di rumah, sebentar-sebentar bangun. Pengkajian health deviation self care requisites yang termasuk di dalamnya adalah data vital sign, antropometri dan pemeriksaan head to toe, didapatkan hasil kelemahan pada ekstrimitas atas dan bawah, hal ini menunjukkan kesesuaian dengan teori bahwa pada kasus meningoenchepalitis terdapat kejadian hemipharese dan hemiplegi, kelemahan otot-otot ekstrimitas. Diagnosa keperawatan yang kami dapatkan 1. Gangguan



Perkembangan berhubungan dengan penurunan fungsi



neurologis. 2. Ansietas berhubungan dengan proses hospitalisasi. 3. Insomnia berhubungan dengan ansietas dan lingkungan yang tidak nyaman. 4. Defisit perawatan diri: mandi/toileting berhubungan dengan gangguan neuromuskular 5. Konstipasi berhubungan dengan asupan cairan dan nutrisi rendah serat dan kurang aktivitas. 6. Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan fungsi neurologis 7. Resiko aspirasi berhubungan dengan kelemahan fungsi menelan 8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembaban kulit. 9. Peningkatan kesiapan koping keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anggota keluarga.



Diagnosa keperawatan yang bersesuaian dengan teori yang telah diaplikasikan adalah gangguan perkembangan berhubungan dengan penurunan fungsi neurologis, defisit perawatan diri, risiko tinggi jatuh, risiko aspirasi dan ansietas hal ini sesuai dengan diagnosa kerusakan mobilitas fisik, risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan otak, risiko tinggi terhadap trauma, serta ansietas. (Kusuma,2012). Diagnosa keperawatan yang tidak bersesuaian dengan teori adalah insomnia, konstipasi, gangguan integritas kulit dan peningkatan kesiapan koping keluarga, hal ini karena tidak semua pasien meningoenchepalitis mengalami masalah tersebut, tetapi pasien ini bisa mengalami masalah tersebut sebagai akibat lanjut dari meningoenchepalitis. Menurut teori Orem diagnosa yang kami ambil lebih banyak ke masalah therapeutic self care demand dan self care agency daripada universal self care requisites. Hal ini karena pasien sudah dalam taraf penyembuhan, jadi tinggal gejala sisa. Dalam suatu naskah publikasi tugas akhir Budiasih (2013) yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Meningitis: Cerebral Palsy Di Ruang Melati II Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta”, masalah keperawatan yang muncul antara lain Hipertermia, Hambatan mobilitas fisik, Hambatan komunikasi verbal, Hambatan tumbuh kembang. Hampir sama halnya dengan permasalahan keperawatan yang muncul dalam kasus An. A ini, kita juga mengambil permasalahan keperawatan diantaranya gangguan perkembangan dan defisit perawatan diri: mandi/toileting yang berkaitan dengan hambatan mobilitas fisik, karena fisik mengalami kelemahan. Kelompok kami tidak mendapatkan rencana outcome dalam teori yang telah diaplikasikan , tetapi yang kami dapatkan adalah rencana intervensinya. Rencana intervensi yang bersesuaian dengan teori adalah juga yang bersesuaian dengan masalah keperawatan, demikian sebaliknya. Sedangkan tindakan keperawatan yang sudah kami lakukan lebih banyak berfokus pada monitor, suport dan edukasi. Proses kolaborasi kami lakukan dengan ahli gizi untuk diit yang mudah dicerna dan tinggi serat. Kolaborasi dengan fisioterapi masih dalam bentuk usulan dan belum direalisasikan oleh tim. Kolaborasi terapi tidak ada karena pasien sudah tahap penyembuhan dan hanya evaluasi penyakitnya, yaitu rencana dilakukan Head CT Scan dengan kontras. Sehingga dapat disimpulkan menurut teori Orem,



tindakan yang kami lakukan lebih banyak di tatalaksana supportive educative daripada di Whooly compensatory dan partly compensatory. Hal ini karena pasien masuk ke rumah sakit berdasarkan rujukan untuk proses evaluasi dari penyakitnya. Hasil evaluasi pelaksanaan tindakan yang kami lakukan atau outcome yang kami dapatkan adalah tingkat pemahaman orang tua yang sudah mendapatkan informasi dan edukasi tentang pemecahan masalah yang ada. Kelompok kami tidak bisa mengamati sampai proses asuhan keperawatan berakhir, sehingga tidak bisa menilai perubahan kemampuan atau perkembangan self care deficit atau sesuai SCDNT (Self Care Deficit Nursing Theori)



BAB V PENUTUP i.



Kesimpulan Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa pada pasien An. A dengan meningoensefalitis dapat dilakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori self care deficit dari Dorothea Orem, dimana pada pasien tersebut didapatkan diagnosis keperawatan yang lebih mengarah kepada therapeutic self care demand dan self care agency daripada universal self care requisites. Oleh karena itu tindakan keperawatan yang dilakukan lebih banyak pada tatalaksana supportive educative dikarenakan tingkat pemahaman orangtua pasien yang sudah cukup memadai karena sudah mendapatkan informasi dan edukasi tentang pemecahan masalah yang ada pada anaknya.



ii.



Saran 1. Bagi Perawat Diharapkan perawat dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar dapat melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan teori self deficit Dorothea Orem. 2. Bagi Institusi Pendidikan



Diharapkan institusi pendidikan dapat memberikan bimbingan kepada mahasiswa untuk mengaplikasikan teori keperawatan lainnya dalam melakukan asuhan keperawatan. 3. Bagi Lahan Praktek Diharapkan lahan praktek dapat melanjutkan asuhan keperawatan dengan pendekatan teori self care deficit Dorothea Orem.



DAFTAR PUSTAKA Alligood, M.R. (2010). Nursing theory utilization & application (4 th ed). St. Louis: Mosby Elsevier. Balitbangkes



Departemen



Kesehatan



RI.



2008.



Riskesdas



2007.



https://www.k4health.org/search/site/system%20files%20laporanNasional %20Risk%20esdas%202007%20pdf Budiasih, A. R. 2013. Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Meningitis: Cerebral Palsy Di Ruang Melati II Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Program Studi Diploma III Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan. http://eprints.ums.ac.id/25876/12/NASKAH_PUBLIKASI.pdf



Dewanto, George, Wita J.S., Budi R., Yuda T.2007. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Syaraf. Jakarta : EGC Dorland,W.A.Newman,2002. Kamus Kedokteran.EGC : Jakarta Ginsbrg, L.2007. Lecture Notess Neurologi. Edisi 8. Jakarta : Erlangga Greenberg,David.2002. Alange Medical Book Clinical Neurology, edisi 5. McGraw Hill :USA Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006. Lumbar Puncture.



The



New



England



Journal



of



(http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf)



Medicine.



12



:



355



Harsono.



2003.



Meningitis.



Kapita



Selekta



Neurologi



2.



Online,



(http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.html) http://www.who.int/gho/epidemic_diseases/meningitis/en/ Jevuska. 2012. Penyakit Meningitis (Radang Selaput Otak) : Pengertian, Penyebab & Jenis. Artikel Kedokteran, Neurologi. Online (http://jevuska.com) Kusuma H, Nurarif A H. 2012. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: media hardy. Malau, Ristari., Sarumpaet, Sori Muda., J. (2011). Karakteristik Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan di tahun 2007-2011. Sumatera Utara. Mardjono dan Sidharta,2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat Muhlisin, A., & Irdawati. (2010). Teori self care dari Orem dan pendekatan dalam praktek keperawatn. Berita Ilmu Keperawatan, 2(2), 97–100. Retrieved from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/2044/BIK_Vol_2_No _2_9_Abi_Muhlisin.pdf?sequence=1 National Institute of Neurological Disorders and Stroke.2015. Meningitis and Encephalitis. www.ninds.nih.gov Phuttharak, W• Kittisak S. Angkana K . Somsak T. 2010. The appropriate neuroimaging study in persons with epilepsy, Neurol Sci, 32:969–971. 2011. http://content.ebscohost.com.ezproxy.ugm.ac.id/ContentServer.asp? T=P&P=AN&K=21647630&S=R&D=mdc&EbscoContent=dGJyMNXb4kSeprE4y9f 3OLCmr0%2Bepq9Ssai4SraWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGqt1Czr65LuePfg eyx44Dt6fIA



Price S A, Wilson L M. 2002. Phatophysiologi: Clinical Concepts Of Disease Processes, 6/E. Elsevier Science Seltz, L. B., Cohen, E., Weinstein, M. 2009. Risk of Bacterial or Herpes Simplex Virus Meningitis/ Encephalitis in Children With Complex Febrile Seizures, Pediatric Emergency Care, 25 (8), 494-497. August, 2009. http://zeze.scihub.cc/7afccca6c57b7e723fa7a885e4d89be8/seltz2009.pdf



Slaven, Ellen M.t all 2007. Infectious Diseases : Emergency Department Diagnosis and Management. Edisi Pertama.McGraw Hill : North America Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC



Suriadi,dkk. ( 2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : Sagung Seto Tavasoli, A., Ladan Afshar Khas, Abdolmajid Edraki. 2014. Frequency of Meningitis in Children Presenting with Febrile Seizures at Ali-Asghar Children's Hospital. Iranian



Journal



of



Child



Neurology,



8(4),



51-56.



2014.



http://web.b.ebscohost.com.ezproxy.ugm.ac.id/ehost/detail/



Tidy, Colin, 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis. www.patient.co.ik/ doctor/EncphalitisandMeningoencephalitis.html. Tomey, A, M & Alligood, M.R. (2006). Nursing theorist and their work. (6 th.ed). USA: Mosby Tomey, A.M. & Alligood, M.R. (2014) Nursing theorist and their work. (6 th.ed). USA: Mosby WHO.



2011



.



Tickborne



.



Encephalitis.



http://www.who.int/biological/vaccine/tick_borne_encephalitis/ en/