Makalah PPIC [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS PRODUCTION PLANNING & INVENTORY PLANNING RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK PT PLN (PERSERO) TAHUN 2010-2019 Dosen Pengampu : Ika Atsari Dewi, STP. MP.



Disusun Oleh : Kelompok 7 kelas I HAZENDA BETA



(115100300111038)



SOLAGRATICA G.



(115100300111044)



ADI WAHYONO



(115100300111054)



AHMAD FUADI



(115100301111013)



MOCHAMMAD ULUL KHILMI (115100301111045) GAMMA ADICO



(115100301111053)



JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013



PERTANIAN



BAB 1 PENDAHULUAN PPIC merupakan singkatan dari Production Planning & Inventory Control. PPIC merupakan bagian dari organisasi perusahaan yang menjembatani



2



department



yaitu:marketing



&



produksi.



PPIC



menterjemahkan kebutuhan pengadaan produk jadi untuk marketing kedalam bentuk rencana produksi & ketersediaan bahan baku serta bahan pengemas. PPIC demikian penting peranannya dalam operasional perusahaan karena berkaitan erat dengan “cash flow/ aliran dana” & kinerja bagian produksi secara umum. Fungsi Planning dalam perusahaan (manufacture) dijalankan oleh bagian PPIC ( Production Planning and Inventory Control ). Disamping memiliki fungsi production planning, PPIC juga memiliki peranan dalam manajemen Inventory. Inventory atau barang persediaan merupakan aset perusahaan yang berupa persediaan bahan baku/raw material, barangbarang sedang dalam proses produksi, dan barang-barang yang dimiliki untuk dijual. Karena inventory disimpan di gudang, maka manajemen inventory



dan gudang sangat berkaitan. Pergudangan sendiri adalah



kesatuan komponen didalam Suplay Chain product. Gudang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang ya, sampai digunakan dalam proses produksi. Fungsi



penyimpanan ini sering disebut ruang persediaan,



gudang bahan baku, dll. Perusahaan besar atau kecil, untuk pengadaan dan penyimpanan barang ini diperlukan biaya besar. Biaya penyimpanan ini setiap tahun umumnya mencapai sekitar 20 – 40% dari harga barang (Indrajit, R,E., Djokopranoto,R., Manajemen Persediaan, 2003, Gramedia, hal.3). Untuk itu diperlukan strategi atau manajemen inventory yang baik agar biaya persediaan optimum. Perencanaan produksi dilakukan bersama oleh Departemen Production Planning and Inventory Control (PPIC) dengan Departemen



Produksi berdasarkan forecast yang diterima dari divisi marketing. Dengan forecast tersebut, disusunlah rencana pembelian dan PPIC mengeluarkan Order Requisition (OR) yang diserahkan ke Departemen Purchasing (pembelian), purschasing kemudian membuat Purshase Order (PO)/Purschase Request (PR), memilih suppliers yang cocok dan diketahui oleh manajer untuk diserahkan ke Supplier. Supplier kemudian mengirimkan barang yang sesuai dengan permintaan dan diserahkan ke gudang. Setelah barang diterima oleh bagian gudang, bagian gudang kemudian membuat Bukti Penerimaan Barang (BPB). Salah satu salinan Bukti Penerimaan Barang diserahkan ke Departemen Quality Control (QC) atau QA. Dalam dunia industry pengaplikasian PPIC dibagi dalam tiga kategori. Kategori tersebut adalah industry dagang . industry jaaa , dam industry manufaktur. Dalam hal ini di bahas tentang aplikasi dalam industry jasa . industry jasa adalah industry yang bergerak di bidang jasa seperti pendidikan , kesehatan dan transportasi. Dalam perusahaan industry jasa yang dikenal juga badan usaha milik Negara. Salah satunya adalah PLN. Dalam analisi tentang aplikasi PPIC dalam perusahaan tersebut terdapat pada perencanaan lokasi fasilitas dimana PT PLN Persero haru memenuhi semua pasokan listri di seluruh daerah di Indonesia.pernecanaan tersebut harus memperhatikan factor factor yang mempengaruhi.



BAB 2 PEMBAHASAN



A. RENCANA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK 2010-2019 Dalam perencanaan pengembangan pembangkit listrik, area Indonesia dibagi ke dalam tiga bagian yakni area wilayah operasi Indonesia Barat, Timur dan Jawa Bali. Pada area wilayah operasi Indonesia Barat meliputi area Sumatera dan Kalimatan Barat. Untuk wilayah operasi Jawa Bali meliputi area Seluruh Jawa dan Bali. Sedangkan wilayah operasi Indonesia Timur meliputi area Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas



lebih



mendalam



untuk



perencanaan



pengadaan



dan



pengembangan listrik area Jawa Bali. Pada



sistem



Jawa



Bali,



kandidat



pembangkit



yang



dipertimbangkan untuk rencana pengembangan adalah PLTU batubara supercritical 1,000 MW, PLTU batubara 600 MW11, PLTU batubara 300 MW, PLTGU gas 750 MW, PLTGU LNG 750 MW, PLTG minyak 200 MW, PLTP 55 MW dan PLTA pumped storage 250 MW12. Dalam optimasi sistem Jawa Bali, PLTA pumped storage baru dikompetisikan sebagai peaking unit mulai tahun 2014 karena mempertimbangkan masa konstruksinya yang membutuhkan waktu 6 tahun. Prakiraan kebutuhan tenaga listrik antara tahun 2010-2019 ditunjukkan pada tabel 1.1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan energi listrik pada tahun 2019 akan menjadi 334,4 TWh, atau tumbuh rata-rata 9,3% per tahun. Sedangkan beban puncak pada tahun 2019 akan menjadi 59.863 MW atau tumbuh rata-rata sebesar 9,5% per tahun. Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi, Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik dan Beban Puncak Periode 2010-2019



Proyeksi jumlah pelanggan pada tahun 2010 adalah sebesar 42,1 juta dan akan bertambah menjadi 66,0 juta pada tahun 2019 atau bertambah rata-rata 2,6 juta per tahun. Penambahan pelanggan tersebut akan meningkatkan rasio elektrifikasi dari 66,1% pada tahun 2009 menjadi



90,9%



pada



tahun



2019.



Proyeksi



jumlah



penduduk,



pertumbuhan pelanggan dan rasio elektrifikasi diperlihatkan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Proyeksi jumlah Penduduk, Pertumbuhan Pelanggan dan Rasio Elektrifikasi Periode 2010-2019.



Dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintah dalam RUKN tahun 2008-2027, rasio elektrifikasi dalam RUPTL ini pada



tahun 2015 diproyeksikan akan sedikit lebih tinggi daripada RUKN (0,3%) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.3 Prakiraan Kebutuhan Listrik, Angka Pertumbuhan dan Rasio Elektrifikasi



Proyeksi



prakiraan



kebutuhan



listrik



periode



2010–2019



ditunjukkan pada Tabel 1.3 dan Gambar 1. Pada periode 2010-2019 kebutuhan listrik sistem Jawa Bali diperkirakan akan meningkat dari 115,1 TWh pada tahun 2010 menjadi 252,5 TWh pada tahun 2019, atau tumbuh rata-rata 8,97% per tahun. Untuk Indonesia Timur pada periode yang sama kebutuhan listrik akan meningkat dari 11,3 TWh menjadi 20,1 TWh atau tumbuh rata-rata 10,6% per tahun. Wilayah Indonesia Barat tumbuh dari 21,4 TWh pada tahun 2010 menjadi 54,8 TWh pada tahun 2019 atau tumbuh rata-rata 10,2% per tahun.



Gambar 1 Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2010-2019



Proyeksi penjualan tenaga listrik per kelompok pelanggan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pada sistem Jawa Bali kelompok pelanggan industri mempunyai porsi yang sangat besar, yaitu 43% dari total penjualan. Sedangkan di Indonesia Timur dan Indonesia Barat porsi pelanggan industri adalah cukup kecil, yaitu masing-masing hanya 14% dan 19%. Pelanggan residensial masih mendominasi penjualan hingga tahun 2019, yaitu 50% untuk Indonesia Timur dan 52% untuk Indonesia Barat. Kategori Kandidat Pembangkit Pada sistem Jawa-Bali, kandidat pembangkit yang dipertimbangkan untuk rencana pengembangan adalah PLTU batubara supercritical kelas 1.000 MW dan 600 MW, PLTU batubara kelas 400 MW subcritical, PLTGU LNG/gas alam 750 MW, PLTG BBM pemikul beban puncak 200 MW dan PLTA Pumped Storage 250 MW. Selain itu terdapat beberapa PLTP kelas 55 MW dan 110 MW, serta PLTA. PLTN jenis pressurised water reactor kelas 1.000 MW juga disertakan sebagai kandidat dalam model optimisasi perencanaan pembangkitan. Pemilihan ukuran unit PLTU batubara untuk sistem Jawa-Bali sebesar 1.000 MW per unit didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan kesesuaian dengan ukuran sistem tenaga listrik Jawa-Bali yang beban puncaknya sudah akan melampaui 25.000 MW. Asumsi harga bahan bakar dapat dilihat pada Tabel 4.9. Khusus untuk PLTA pompa perhitungan optimasi baru dipertimbangkan mulai tahun 2013 karena masa konstruksi PLTA membutuhkan waktu 5 tahun. Tabel 1.4 Asumsi Harga Bahan Bakar



Proyek Strategis Jawa Bali PLTGU Muara Tawar Add-on (1.200 MW). Proyek ini sangat strategis karena pembangkit ini berlokasi sangat dekat dengan pusat beban dan dapat memperbaiki kualitas tegangan. Namun karena keterbatasan pasokan gas, maka untuk tahap pertama pengembangan dilakukan hanya untuk blok 2 (500 MW apabila dilengkapi supplementary firing) yang direncanakan beroperasi pada 2012-2013, sedangkan pada tahap selanjutnya akan dikembangkan blok 3-4 (700 MW dengan supplementary firing) yang direncanakan beroperasi pada 2016 apabila tersedia pasokan gas yang cukup. PLTU IPP Jawa Tengah (2x1.000 MW). Proyek ini sangat strategis karena dibutuhkan sistem pada tahun 2014 dan 2015, serta merupakan proyek kelistrikan pertama yang menggunakan skema Public Private Partnership (PPP) dengan PerPres No. 67/2005 yang diperbaharui dengan PerPres No. 13/2010. PLTU Indramayu (2x1.000 MW). Proyek ini sangat strategis karena dibutuhkan sistem pada tahun 2015, dan berlokasi relatif dekat dengan pusat beban industri di sebelah timur Jakarta. PLTA Pompa Upper Cisokan (1.000 MW). Proyek ini sangat strategis karena dapat meminimalkan biaya operasi sistem serta



memberikan banyak benefit dalam operasi sistem tenaga listrik, antara lain berfungsi sebagai pembangkit beban puncak, pengatur frekuensi, sebagai spinning reserve (cadangan putar), memperbaiki faktor utilitas pembangkit beban dasar dan memperbaiki load factor sistem. PLTU mulut tambang Sumatera Selatan dan transmisi 500kV HVDC Sumatera – Jawa dengan kapasitas 3.000 MW. Proyek ini sangat strategis karena merupakan solusi yang ekonomis dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Jawa dengan memanfaatkan cadangan low rank coal di Sumatra Selatan. Proyek ini hanya dilaksanakan setelah kebutuhan listrik Sumatera tercukupi sepenuhnya dengan cadangan yang cukup banyak. Pilihan proyek ini juga didorong oleh semakin sulitnya mendapatkan lokasi untuk membangun PLTU batubara skala besar di pulau Jawa. PLTGU Banten/Jabar. Sejalan dengan kenaikan harga-harga energi primer akhir-akhir ini, harga LNG telah meningkat sangat tinggi, yaitu diatas US$10/mmbtu. Pada harga tersebut, PLTGU bahan bakar LNG akan sulit berkompetisi melawan PLTU batubara yang dioperasikan untuk mengisi intermediate load. Regional Balance Sistem Jawa Bali Apabila dilihat reserve margin per region yang sangat berbeda antara Jawa Bagian Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur & Bali sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.17, maka pengembangan proyek pembangkit baru sebaiknya berlokasi di Jawa Bagian Barat agar dapat diperoleh regional balance. Tabel 1.5 Regional Balance Sistem Jawa Bali tahun 2009



Lokasi pembangkit yang diinginkan adalah di Jawa bagian barat sebelah timur (seputar Karawang, Indramayu, Cirebon) atau Jawa Tengah sebelah barat (seputar Tegal, Pemalang, Pekalongan). Pada saat ini region Jawa Timur mempunyai kelebihan pasokan dan belum mengalami kendala penyaluran listrik ke arah barat karena adanya transmisi 500 kV jalur selatan. Namun apabila penentuan lokasi pembangkit baru tidak mempertimbangkan regional balance, maka pada masa yang akan datang diperkirakan akan muncul kendala penyaluran. Penerapan regional balance dalam menentukan lokasi pembangkit dapat menghindari keperluan untuk membangun transmisi 500 kV pada jalur baru dari timur ke arah barat pulau Jawa. Lokasi PLTU batubara skala besar di pantai selatan pulau Jawa belum merupakan pilihan prioritas, karena pertimbangan kesulitan transportasi batubara pada musim-musim gelombang tinggi, diperlukan konstruksi breakwater yang relatif mahal, risiko tsunami dan gempa bumi yang lebih tinggi. B. KETERSEDIAAN ENERGI PRIMER Pengembangan Sistem Penyaluran Dan Gardu Induk Pada periode 2010-2019 pengembangan sistem penyaluran masih berupa pengembangan sistem dengan tegangan 500 kV dan 150 kV di sistem Jawa- Bali serta tegangan 500 kV, 275 kV, 150 kV dan 70 kV di sistem Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Pembangunan saluran transmisi secara umum diarahkan kepada tercapainya kesesuaian antara kapasitas pembangkitan di sisi hulu dan permintaan daya di sisi hilir secara efisien. Disamping itu juga sebagai usaha untuk mengatasi bottleneck penyaluran dan perbaikan tegangan pelayanan. Pengembangan transmisi 500 kV di Jawa pada umumnya dimaksudkan untuk mengevakuasi daya dari pembangkit-pembangkit baru maupun expansion, menjaga kriteria security N-1 baik statik maupun dinamik. Pengembangan Sistem Penyaluran Sistem Jawa-Bali



Pada Tabel 1.6 diperlihatkan kebutuhan fisik fasilitas penyaluran dan gardu induk di sistem Jawa-Bali. Tabel 1.6 Kebutuhan Fasilitas Penyaluran Sistem Jawa-Bali



Dari Tabel 1.6 terlihat bahwa sampai dengan tahun 2019 akan dibangun transmisi 500 kV AC sepanjang 2.498 kms. Transmisi tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi program percepatan pembangkit PLTU Suralaya Baru dan PLTU Adipala (tahun 2010, 2013), PLTU IPP Tanjung Jati Expansion dan Paiton Expansion (2012), PLTU Jawa Tengah Infrastruktur dan PLTU Indramayu (2014, 2015), Jawa-Bali Crossing dari Paiton hingga ke pusat beban di Bali (2015), PLTGU baru (2017) dan pumped storage Upper Cisokan (2014), Matenggeng dan Grindulu (2017, 2018). Selain itu dibangun juga transmisi 500 kV yang berkaitan dengan perkuatan pasokan Jakarta seperti Kembangan- Duri Kosambi-Muara Karang. Trafo interbus 500/150 kV yang direncanakan pada tabel 1.6 merupakan perkuatan grid yang tersebar di Jawa, utamanya seputar Jabotabek. Transmisi 500 kV DC pada Tabel 1.6 adalah transmisi HVDC interkonesi Sumatra – Jawa, di sini hanya diperhitungkan bagian kabel laut dan overhead line yang berada di pulau Jawa, selebihnya diperhitungkan sebagai pengembangan sistem transmisi Sumatra.



Pengembangan transmisi 150 kV yang sangat besar pada tahun 2010 dan 2011 adalah merupakan transmisi yang terkait dengan program percepatan pembangkit 10.000 MW. Pengembangan trafo-trafo distribusi 150/20 kV dimaksudkan untuk mengakomodasi pertumbuhan beban. Sistem transmisi 70 kV pada dasarnya sudah tidak dikembangkan lagi, bahkan di sistem 70 kV di Jawa Barat banyak yang ditingkatkan menjadi 150 kV terkait dengan proyek percepatan pembangkit 10.000 MW.



Rencana



pada



Tabel



4.27



hanya



menunjukkan



proyek



reconducturing SUTT 70 kV yang memasok konsumen besar dan saluran distribusi khusus. Program pemasangan trafo- trafo 150/70 kV dan 70/20 kV pada tabel tersebut juga hanya merupakan relokasi trafo-trafo dari Jawa Barat ke Jawa Timur. Pengembangan Sistem Distribusi Sistem Jawa-Bali Perencanaan kebutuhan fisik untuk mengantisipasi pertumbuhan penjualan energi listrik dapat diproyeksikan seperti pada Tabel 1.7. Tabel 1.7 Kebutuhan Fasilitas Distribusi Sistem Jawa-Bali



Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang dari tahun 2010 sampai dengan 2019 untuk sistem Jawa Bali diperlukan tambahan jaringan tegangan menengah sebanyak 80.063 kms, jaringan tegangan rendah 141.566 kms, kapasitas trafo distribusi 20.638 MVA dan jumlah pelanggan 15,8 juta.



Pengembangan Energi Baru Dan Terbarukan Energi baru dan terbarukan (EBT) skala besar seperti panas bumi dan PLTA telah dibahas dalam pengembangan kapasitas pembangkit yang hanya membahas pengembangan EBT skala kecil. Dengan pertimbangan wilayah usaha PLN yang sangat luas, keterbatasan infrastruktur transportasi untuk membawa energi primer ke lokasi terpencil khususnya di wilayah Indonesia Timur serta penyebaran penduduk yang tidak merata, maka pengembangan EBT oleh PLN dibagi dalam 2 tahap, yaitu : 1. Tahap I (2010 – 2014) : diutamakan untuk wilayah Indonesia Timur dengan menerapkan sistem hybrid (gabungan PLTD BBM dengan EBT). Pada perioda ini kemampuan keuangan PLN masih terbatas, dan pembangunan



EBT



dimaksudkan



untuk



dapat



mengurangi



penggunaan BBM sehingga dapat mengurangi biaya pokok produksi, terutama untuk daerah-daerah tertinggal, pulau-pulau terdepan (dekat perbatasan) dan pulau-pulau terluar. 2. Tahap II (2015 – 2019) : sejalan dengan membaiknya kondisi keuangan PLN pada perioda ini pembangunan EBT dapat ditingkatkan kapasitasnya di seluruh Indonesia, terutama untuk PLTS dan PLTB di daerah tertinggal, pulau terdepan dan pulau terluar atau terpencil, termasuk juga daerah yang belum dilistriki oleh PLN. Tabel 1.8 Rencana Pengembangan Pembangkit EBT Skala Kecil



Tabel 1.9 Biaya Pengembangan Pembangkit EBT Skala Kecil



C. ANALISIS RISIKO RUPTL 2010-2019 Analisis risiko RUPTL 2010-2019 ini dibuat untuk mengidentifikasi potensi kerawanan atau kelemahan yang dapat terjadi sebagai akibat adanya exposure atas peristiwa tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang yang dapat berpengaruh kepada implementasi RUPTL. Analisis risiko mencakup identifikasi



risiko, pemetaan risiko, dan



rekomendasi program mitigasi untuk risiko-risiko tersebut. Risiko yang diidentifikasi dapat mempengaruhi implementasi RUPTL meliputi aspek sebagai berikut : Risiko pengembangan ketenagalistrikan 1. Risiko keterlambatan proyek-proyek PLN Berupa risiko-risiko perijinan dan persetujuan, pendanaan pembangunan, keterlambatan penyelesaian pembangunan proyek, cost over- run, kesalahan desain, keselamatan ketenagalistrikan, performance instalasi,



dampak lingkungan dan sosial.



2. Risiko keterlambatan proyek-proyek IPP, termasuk PLTP Sama seperti pada risiko keterlambatan proyek-proyek PLN. 3. Risiko permintaan listrik



Kesalahan



dalam



(termasuk di



memprediksi



permintaan



tenaga



listrik



dalamnya risiko pertumbuhan ekonomi).



4. Risiko ketersediaan dan harga energi primer Meliputi risiko ketersediaan energi primer dan risiko harga energi primer. Risiko Keuangan 1. Risiko likuiditas, meliputi risiko likuiditas kas yaitu kelancaran penerimaan



subsidi, risiko pencairan



dana pinjaman untuk



investasi, dan risiko likuiditas aset. 2. Risiko Operasional a. Risiko produksi/operasi, seperti kekurangan/kelangkaan energi primer,



kerusakan



peralatan/fasilitas



peralatan/fasilitas operasi/kebocoran



operasi, informasi



kehilangan rahasia



perusahaan, risiko akibat kesalahan manusia . b. Risiko bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat manusia (a.l. sabotase) c. Risiko lingkungan, berupa tuntutan masyarakat terhadap transmisi karena pengaruhnya pada kesehatan, juga limbah, polusi dan kebisingan. d. Risiko regulasi, meliputi risiko tarif listrik, risiko kepastian subsidi dan risiko



perubahan



tatanan



sektor



ketenagalistrikan



Identifikasi risiko selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran.



BAB 3 PENUTUP