Makalah Psikologi Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARADIGMA PSIKOLOGI ISLAM MAKALAH



Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Psikologi Islam yang diampu : M. IKSAN,MA



Oleh : Kelompok 3 Psikologi Islam (E) M. Hasim Asyhari



(17410003)



Nurjayatri



(17410031)



Vina Anjarsari



(17410188)



Nabila rahmi oktaviani



(17410059)



Anadisti Shavika



(17410136)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2019



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmad, taufik, serta hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah dan semoga kita akan mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak. Dengan pertolongan dan hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Islam yang berjudul Paradigma Psikologi Islam. Kami menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak maka penulisan makalah ini tidak mungkin terlaksana dengan baik. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada:



1. M. IKSAN,MA. selaku dosen pengampu matakuliah yang juga telah membimbing kami dan mengarahkan kami dengan sabar agar memahami dengan benar mengenai mata kuliah ini. 2. Semua pihak yang telah membantu terselesainya penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi lebih sempurnanya makalah yang akan datang. Semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penyusun pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Maslahah fiidinni wadunya walakhirah.



Malang, 23 September 2019



Kelompok 3



II



DAFTAR ISI Kata Pengantar...................................................................................... II Daftar Isi ................................................................................................ III Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2 C. Tujuan Pembahasan Masalah...................................................... 2 Bab II Pembahasan A. Pengertian Psikologi Islam…..………………………………........... 3 B. Ruang lingkup psikologi islam ...................................................... 3 C. Sejarah Psikologi Islam ................................................................ 4 D. Paradigma Psikologi Islam ………………………………………….. 8 Bab III Penutup A. Kesimpulan .................................................................................. 16 Daftar Pustaka



III



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak dipungkiri, bahwa perkembangan keilmuan modern telah begitu didominasi oleh paham sekularisme. Paham yang sedemikian lama mendominasi sejarah peradaban modern hingga akhirnya telah menghantarkan jurang pemisah yang dalam antara kegiatan ilmu dengan spiritualitas agama, dan pada gilirannya menghantarkan pula pada terlepasnya semangat berilmu dari nilainilai spiritual. Pandangan yang dominan di kalangan ilmuwan modern adalah, bahwa ilmu bekerja pada dataran empirik dengan menafikan dataran mistis-non empirik. Karena objek studi antara keduanya berbeda, maka pembicaraan tentang keterkaitan antara ilmu dan masalah spiritualitas dianggap sebagai tidak relevan. Begitupula dengan disiplin ilmu psikologi modern. Sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan, psikologi merupakan disiplin ilmu yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai entitas dari representasi keilmuan yang bersifat empiris-realistis sehingga hanya mungkin didekati dengan pendekatan objektif. Sifatnya yang objektif itulah yang menjauhkannya dari disiplin ilmu keagamaan. Bahkan, di kalangan sebagian psikolog ada anggapan bahwa spiritualitas agama sebagai



penyebab



kemandekan



ilmu



pengetahuan.



Sebaliknya,



ilmu



pengetahuan dalam perspektif sebagian kaum agamawan merupakan ancaman terhadap dogma agama. Sejarah menuturkan bahwa sebagian besar dari psikologi modern, memang memisahkan Tuhan dari pengalaman subyektif manusia. Pengalaman subyektif-religius ini masih dipandang sebagai bukan ilmiah. Dalam perspektif mereka, kalau pengalaman tersebut mau diilmiahkan, maka ia harus memenuhi standar ilmiah : Logis-rasional-empiris. Sebagai pewaris elan modernisme, ilmu psikologi juga bernaung dalam kereta metode saintifik sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Hal tersebut tidak lain, karena para psikolog modern menafikan pentingnya dimensi spiritualitas, khususnya dalam memaknai fenomena perilaku unik manusia yang membutuhkan analisis khusus dari teori-teori psikologi kepribadian yang berbasiskan spiritualitas agama. Seperti perilaku radikalisme beragama yang marak dewasa ini, bom bunuh diri yang populer dengan sebutan bom syahid, maraknya jamaah zikir dan muhasabah, dan sederet perilaku keagamaan lainnya. Karena boleh jadi dalam teori Psikologi Kepribadian modern,



1



perilaku tersebut merupakan ekspresi patologis, sementara dalam perspektif spiritualitas agama diyakini sebagai perilaku yang mencerminkan aktualisasi atau realisasi diri. Berangkat dari fenomena kekinian di atas perlu kiranya upaya untuk melahirkan sebuah pendekatan baru dalam aras psikologi kepribadian, yakni psikologi yang mengakomodasi fenomena kepribadian manusia baik yang kasat mata (psikofisik) maupun tidak (spiritual-metafisik), psikologi yang berbasiskan budaya ketimuran dan sendi-sendi nilai spiritualitas agama. Hal ini selaras dengan preposisi Uichol Kim, sebagaimana dikutip oleh Achmad Mubarok, bahwa manusia tidak cukup dipahami dengan teori psikologi Barat, karena psikologi Barat hanya tepat untuk mengkaji manusia Barat sesuai dengan kultur sekulernya yang melatarbelakangi lahirnya ilmu itu. Untuk memahami manusia di belahan bumi lain harus digunakan pula basis kultur dimana manusia itu hidup. Karenanya, penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi gagasan segar seputar Paradigma Psikologi Islam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang dibahas sebagai berikut. 1. Bagaimana sejarah terbentuknya psikologi islam dalam dunia modern? 2. Bagaimana model berpikir atau paradigm psikologi islam? C. Tujuan Pambahasan Masalah Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini antara lain sebagai berikut: 1. Menjelaskan sejarah terbentuknya psikologi islam dalam dunia modern 2. Menjelaskan model berpikir atau paradigma psikologi islam



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian psikologi islam Psikologi Islam adalah suatu bentuk psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam kerohanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas hidup keberagamaan atas dasar nilai luhur Islami untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Psikologi Islam mendasarkan teorinya pada pemahaman ayat Alquran, Sunnah, khazanah pemikiran tokoh-tokoh Islam, dilengkapi dengan hasil pengkajian terhadap alam nafsani manusia baik secara rasional, obyektif-empirik maupun intuitif secara terpadu. Dengan keterpaduan antara wahyu dan sunnah, rasio, historik, empirik dan fenomena ruhaniah menjadikan ilmu ini sebagai sains tauhidullah atau menggunakan filsafat anthropo-religious-sentrisme. Psikologi Islam adalah satu pendekatan studi dalam memahami kejiwaan dan perilaku manusia yang berdasarkan konsep tauhid, dengan cara integrasi antara ilmu dan iman. Jangan sampai hati beriman kepada Allah tetapi cara atau pola berpikirnya tidak menopangnya. Artinya, kehadiran Psikologi Islam untuk mengintegrasikan pada semua hal. Karena sebagaimana diketahui, psikologi (sebagai disiplin ilmu) muncul bukan dari orang Islam tapi dari orang Barat dan karya-karya mereka telah banyak memberi kontribusi pada semua bidang kehidupan, sekalipun cara berpikirnya sekuler. Justru kehadiran psikologi Islam memberi nuansa transenden. B. Ruang lingkup psikologi islam Bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, alqalb, al‘aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masingmasing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui Alquran, Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam. Selain perilaku kejiwa-an, Psikologi Islam juga mempelajari hakikat jiwa sesungguhnya yang menjadi dasar lahirnya perilaku tersebut.



3



C. Sejarah Psikologi Islam Persentuhan Psikologi dengan Agama Sejarah persentuhan agama dengan psikologi mengalamai pasang surut. Bentuk persentuhan itu sangat dipengaruhi oleh model dan metodologi serta pergeseran paradigma yang dipergunakan psikologi. Pergeseran itu telah mewarnai pandangan psikologi tentang prilaku beragama. Pada priode awal pola persentuhan itu mengambil bentuk hubungan dimana teori psikologi digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah perilaku beragama. Menjelang awal abad ke 21 ini pola hubungan itu mengambil bentuk lain, dimana teori psikologi dilahirkan dari pemahaman terhadap perilaku beragama. Perubahan itu, seakan membalikkan pola hubungan sebelumnya. Hubungan sebelumnya saling “bermusuhan” sampai masa sekarang ini seakanakan keduanya berhubungan “mesra”. Dari “Bermusuhan” ke “Bermesraan” Berdasarkan perkembangan persentuhan keduanya, baik secara positif maupun negatif, dapat dibedakan kepada empat priode perkembangan. 1. Priode pertama berlangsung sekitar paruh kedua abad ke-19. Sejarah menceritakan bahwa psikologi sebagai sains dimulai sekitar tahun 1879 ketika Wilhelm Wundt (1248-1339 H/1832-1920 M) dari Universitas Leipzig di Jerman mendirikan Laboratorium untuk menganalisis tingkah laku manusia dan binatang melalui metode eksperimen. Pada priode awal ini, ciri utama perkembangan psikologi adalah pengembangan psikologi secara observasi dan eksperimen di laboratorium. Perhatian utama tertuju kepada tingkah laku manusia secara umum. Pada saat itu, perilaku agama tidak mendapat perhatian



yang



serius.



Robert



W.



Crapps



(…-…H/…-…M)



menjelaskan “During the formative decades of scientific psychology, religion did not occupy a significant place in the concern of researchers.” Artinya: selama priode pembentukan psikologi sebagai sains, agama tidak mendapat tempat yang penting dalam perhatian peneliti. Ringkasnya, bahwa persentuhan agama dan psikologi belum menemukan wujudnya pada priode awal ini. 2. Priode kedua berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Ciri utama priode ini adalah adanya usaha-usaha dari para psikolog untuk mengkaji dan menafsirkan perilaku beragama



4



berdasarkan konsep dan teori psikologi. Pada priode ini istilah “psychology of religion” (psikologi agama) sudah menjadi salah satu cabang dalam psikologi dengan objek kajian perilaku beragama. Pada priode kedua ini ada tiga tokoh utama yang dipandang sebagai orang yang berjasa besar dalam melahirkan Psikologi Agama. Ketiga tokoh itu masing-masing adalah Edwin Diller Starbuck, James H. Leuba, dan William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M). Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 menulis buku berjudul: The Psychology of Religion: An Empirical Study of The Growth of Religious Counsciousness. Buku ini merupakan hasil penelitian tentang pertumbuhan perasaan beragama di bawah bimbingan William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M). Sebenarnya, menurut Zakiah Daradjat (1348-... H/1929-… M), Starbuck adalah murid William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M), namun dalam bidang Ilmu Jiwa Agama, karya Starbuck tersebutlah yang menjadi titik awal berkembangnya penelitian di bidang psikologi agama. Penelitian William James (12581328 H/ 1842-1910 M) sendiri semakin mendalam dalam bidang perilaku beragama, justru setelah karya Starbuck tersebut diterbitkan. Jadi Edwin Diller Starbuck pantas dianggap sebagai tokoh perintis Psikologi Agama. James H. Leuba juga dipandang sebagai tokoh perintis Psikologi Agama. Menurut Zakiah Daradjat (1348-... H/1929-… M) hasil penelitiannya pernah diterbitkan pada Majalah di Monist Volume XI Januari 1901 dengan judul Introduction to a Psychological Study of Religion. Kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1912 berjudul A Psychological Study of Religion. Dalam penelitiannya itu, James H. Leuba menggunakan pendekatan fisik-biologis dalam menjelaskan fenomena agama. Misalnya, dikemukakannya persamaan antara orang yang fana` dalam mistik dengan seorang yang kena pengaruh minuman keras. Tulisan dan hasil penelitian lainnya yang paling berharga dalam Psikologi Agama adalah karya William James (1258-1328 H/ 18421910 M) berjudul The Variaties of Religious Experience yang ditulis pada tahun 1902. Buku ini merupakan bahan-bahan persiapan untuk memberikan kuliah tentang agama alamiah (natural religion) di



5



Universitas



Edinburgh.



Uraian-uraian



dalam



buku



tersebut



berdasarkan hasil penelitiannya terhadap catatan pengalaman orangorang penting tentang agama. Dalam uraiannya, William James (12581328 H/ 1842-1910 M) membuat perbedaan perilaku beragama kepada dua bentuk perilaku beragama, yaitu agama institusional (institutional religion) dengan agama pribadi (personal religion). Agama institusional adalah perilaku beragama dalam bentuk lembaga, organisasi, sekte-sekte, struktur sosial, dan lain-lain. Agama pribadi adalah penghayatan terdalam dan pengalaman spiritual yang bersifat pribadi. Menurut Zakiah Daradjat (1348-... H/1929-… M) karya William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) itulah yang membangkitkan semangat para psikolog untuk mengadakan penelitian-penelitian tentang perilaku beragama. Pada tahun 1904 terbit majalah The Journal of Religious Psychology dan kemudian menyusul pula The American Journal of Psychology of Religion and Education menyusul karya William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) tersebut. Jadi, pantaslah, jika William James dipandang sebagai tokoh perintis Psikologi Agama. 3. Priode ketiga berlangsung sejak tahun 1930 sampai dengan sekitar tahun 1950-an. Priode ini adalah priode kemerosotan hubungan agama dengan psikologi. Artinya, pada rentangan tahun-tahun ini, para psikolog tidak mengarahkan perhatiannya pada perilaku beragama. Ada dua faktor utama yang menyebabkan hal itu. Pertama, pada rentangan tahun-tahun tersebut psikologi cenderung semakin positivistik dan behavioristik. Telaah psikologi terarah pada tingkah laku objektif, yaitu tingkah laku yang dapat diobservasi dan dapat diukur. Sehingga tidak memberikan ruang pada tingkah laku di luar metode positivistik dan behavioristik. Akibatnya, perilaku agama tidak menjadi objek kajian. Kedua, para ahli agama memanfaatkan situasi



itu



untuk



membentengi



iman



umatnya



dengan



cara



menjauhkan diri dan menolak temuan-temuan sains modern. Akibatnya, terjadilah hubungan yang saling acuh dan menafikan antara agama dengan psikologi. Kecuali itu, masih dapat dikemukakan tiga faktor lainnya. Pertama, adanya rasa acuh tak acuh baik dari ahli agama maupun psikolog.



6



Kedua, banyaknya ahli agama yang tidak yakin bahwa hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari studi agama secara psikologis akan memberikan hasil dan kesimpulan yang akurat. Mereka yakin perilaku agama tidak dapat diteliti secara ilmiah. Ketiga, banyak psikolog yang sangat berhati-hati dengan perkara yang transendental, seperti keyakinan dan agama. Kesemuanya ini menyebabkan hubungan agama dengan psikologi mengalami masa ‘sakit’. Ringkasnya, pada priode ini hubungan agama dengan psikologi tidak saling menghargai, tetapi menganggap masing-masing dirinya benar dan menolak kebenaran yang lain. 4. Priode keempat dimulai sekitar tahun 1960-an M dan masih berlangsung sampai dengan sekarang (2007 M). Pada priode ini, pengembangan



psikologi



mengarah



pada



usaha-usaha



untuk



menjadikan nilai, budaya, dan agama, sebagai objek kajian psikologi dan juga sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan teoriteori psikologi. Dengan kata lain, hubungan agama dengan psikologi kembali bersemi. 5. Pada priode terakhir ini, lahir Psikologi Humanistik dan Psikologi Transpersonal. Kedua psikologi ini sering disebut sebagai kekuatan ketiga (the third force) dalam psikologi. Objek telaahan kedua psikologi ini adalah kualitas-kulitas khas kemanusian, berupa: pikiran, perasaan, kemauan, kebebasan, kemampuan potensi luhur jiwa manusia, dan lain-lain. Pada penghujung abad ke-20 ini muncul tema-tema baru dalam psikologi.



Diantara



(kecerdasan



tema



spiritual)



tersebut



dan



adalah



emotional



spiritual



intelligence



intelligence (kecerdasan



emosional). Ciri utama orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah adanya keinginan untuk memberi konstribusi bagi umat manusia. Kesalehan adalah kemampuan untuk berkhidmat pada orang lain, menghibur orang yang mendapat musibah, memberi makan fakirmiskin, menyayangi sesama manusia, dan lain-lain. Kebalikannya, disebut dengan spiritual dumb. Ciri utamanya adalah merasa diri paling saleh, memonopoli kebenaran agama pada dirinya atau kelompoknya, menolak dan merendahkan paham keagamaan orang lain, dan lainlain. Kecerdasan emosional adalah bagian penting dalam jiwa



7



manusia, yang selama ini telah diabaikan dalam wacana psikologi. Emosi sangat menentukan bahagia atau menderitanya seseorang. Emosi juga melindungi manusia dari berbagai bahaya. Emosi adalah hasil perkembangan evolusi manusia yang paling lama, dan emosi terpusat pada bagian salah satu otak manusia. Demikian ungkap Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence. Pada bagian lain, dia menjelaskan bahwa yang menentukan sukses kehidupan manusia, bukan rasio, tetapi emosi. Dari hasil penelitiannya, dia menemukan situasi yang disebutnya when smart is dumb, Artinya ketika orang cerdas jadi bodoh. Dia menemukan orang Amerika yang memiliki kecerdasan (IQ) 125 umumnya bekerja pada orang yang memiliki kecerdasan (IQ) rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai pada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang biasalah yang sukses dalam kehidupan. Jadi, apakah yang menentukan kesuksesan dalam kehidupan ini? Jawabnya adalah bukan kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ditandai dengan kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Orang yang paling mampu mengendalikan emosi dan menahan diri adalah orang yang paling tinggi kecerdasan emosionalnya. Dalam Islam, konsep yang demikian disebut dengan sabar. Orang sabar, tabah, tekun, ulet, pantang menyerah, optimis, dan tidak memperturutkan emosinya. Berdasarkan itu, Jalaluddin Rahmat (1368-… H/1949-… M) menjelaskan



bahwa



mengembangkan



Psikologi



kehidupan



Transpersonal



beragama,



tetapi



bukan juga



saja



menerima



sumbangan dari padanya. Tradisi mistikal dari berbagai agama: Zen Budhism, Yoga, Sufisme, Kabbalah, Shamanism, Tradisi mistik Kristen, dan lain-lain telah menjadi pusat penelitian dan sumber inspirasi pengembangan Psikologi Transpersonal ini.



D. Paradigma Psikologi Islam Modern 1. Paradigma Mekanistik Paradigma mekanistik adalah paradigma yang menjunjung tinggi prinsipprinsip atau hukum-hukum kausalitas dalam memahami manusia. Manusia dipandang sebagai objek dalam relasi ‘manusia-alam’. Manusia menjadi tunduk



8



kepada pengalaman, bahkan isi jiwa manusia itu sendiri adalah kumpulan pengalaman. Manusia menjadi mekanistik, determenistik, dan pessimistik. Psikoanalisa dan Behaviorisme berada pada paradigma mekanistik ini. Persoalan fundamental yang diyakini sebagai wilayah yang sangat berperan dalam



menentukan



tingkah



laku



manusia



bagi



Psikoanalisa



adalah



unconsciousness (ketidak sadaran). Wilayah ini,- unconsciousness (ketidak sadaran)-, merupakan wilayah yang paling luas dari ketiga wilayah kesadaran manusia yang diyakini dan diakui oleh Psikoanalisa. Ketiga wilayah kesadaran tersebut adalah consciousness (kesadaran), preconsciousness (ambang sadar), dan unconsciousness (ketidak sadaran). Ketiga wilayah kesadaran ini dapat digambarkan sebagai gunung es di dalam lautan luas. Wilayah consciousness (kesadaran) adalah puncaknya, sementara preconsciousness (ambang sadar) adalah persentuhan antara gunung dengan permukaan air, sedangkan unconsciousness (ketidak sadaran) adalah gunung es yang sangat luas yang tidak terlihat karena tenggelam di dalam lautan air. Bagi Psikoanalisa, semua tingkah laku manusia berhubungan dengan wilayah unconsciousness (ketidak sadaran) ini. Tingkah laku manusia memiliki korespondensi dengan isi unconsciousness. Isi unconsciousness itu adalah dimensi id dan pengalamanpengalaman troumatis manusia khususnya masa kanak-kanak. Oleh karena itu, Psikoanalisa dalam merumuskan, menjelaskan, menginterpretasikan, dan memprediksikan, tingkah laku manusia selalu merujuk kepada peranan wilayah unconsciousness ini. Untuk menemukan dan mengungkapkan akar terdalam dari tingkah laku manusia yang berada dalam wilayah unconsciousness ini, Psikoanalisa menggunakan beberapa macam metode. Metode-metode tersebut adalah hypnotis, intropeksi, atau retropeksi, dan analisis mimpi. Ringkasnya, bahwa persoalan fundamental objek telaahan dan keyakinan dasar Psikoanalisa dalam memahami, merumuskan, menginterpretasi, dan memprediksi tingkah laku manusia adalah unconsciousnes. Dengan demikian paradigma Psikoanalisa adalah paradigma unconsciousness (ketidak sadaran). Berdasarkan



asumsi-asumsi



inilah,



Psikoanalisa



memahami,



menjelaskan, dan memprediksi tingkah laku manusia. Jadi, tingkah laku manusia merupakan proses mekanistik untuk memuaskan sejumlah energi internal diri manusia. Ringkasnya, paradigma Psikoanalisa adalah paradigma mekanistik. Berbeda dengan Psikoanalisa yang memfokuskan perhatian pada wilayah unconsciousness.



Behaviorisme memusatkan perhatiannya pada wilayah



9



objektifitas. Behaviorisme memandang Psikoanalisa sebagai teori yang sangat spekulatif dan tidak ilmiah. Penjelajahan terhadap wilayah unconsciousness dengan menggunakan metode hipnotis, intropeksi, retropreksi, dan analisis mimpi, merupakan metode yang menggambarkan spekulatif-subjektif. Sebab,menurut Behaviorisme-, metode-metode itu tidak didukung oleh bukti-bukti empiris dan data-data faktual. Oleh karena itu Behaviorisme menetapkan paradigma objektif dalam psikologi. Paradigma objektif menekankan pada datadata yang dapat diuji secara faktual dan berdasarkan pengalaman (empiris). Behaviorisme yakin dan percaya bahwa seluruh tingkah laku manusia dapat dipahami (understanding), dirumuskan (formulasi), dan diprediksi (prediction), berdasarkan pandangan objektif. Maka rumusan tingkah laku bagi Behaviorisme merupakan hubungan stimulus-respon-bond. Pada dataran faktual-objektif ini tingkah laku manusia tidak berbeda dengan tingkah laku binatang. Inilah yang menyebabkan mereka meneliti tingkah laku binatang untuk memahami, merumuskan, bahkan untuk memprediksi tingkah laku manusia. Maka muncullah teori-teori dari Behaviorisme, seperti classical conditioning (pembiasaan klasik) oleh Ivan Petrovich Pavlov (1266-1355 H/ 1849-1936 M) dan J.B. Watson (12261378 H/ 1878-1958 M), Law of effect (hukum dari akibat) oleh Edward Lee Thondike (1291-1369 H/1874-1949 M), Operant Conditioning (pembiasaan operant) dari B.F. Skinner (1322-1411 H/ 1904-1990 M), dan Modelling (pentauladanan) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1344-…H/ 1925-…M). Semua teori-teori ini merupakan upaya memahami tingkah laku manusia melalui eksperimen terhadap binatang di laboratorium. Ringkasnya,



bahwa



paradigma



Behaviorisme



adalah



paradigma



‘mekanistik-objektif’. Paradigma ‘mekanistik-objektif’ adalah keyakinan mendasar terhadap fakta-fakta yang aktual, kongkret, dan menyentuh wilayah empirissensoris dalam memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan memprediksi, tingkah laku manusia. Kecuali itu, paradigma ‘mekanistik-objektif’ berarti fokus bahasan dalam Behaviorisme adalah data-data objektif. Hal-hal yang tidak berdasarkan data-data faktual selalu dihindari. Berdasarkan itu, jelaslah bahwa paradigma Behaviorisme adalah paradigma mekanistik. Semua tingkah laku manusia merupakan proses mekanistik stimulus dan respon. Manusia bagaikan mesin besar yang selalu siap memberikan respon terhadap stimulus yang menyentuhnya.



10



2. Paradigma Humanistik Sementara itu, Psikologi Humanistik,- yang tumbuh sekitar pertengahan abad



ke-20-,



memandang



Psikoanalisa



telah



menghilangkan



nilai-nilai



kemanusiaan. Behaviorisme, -menurut Humanistik-, dalam memandang manusia bersifat mekanistik, determenistik, dan otomatistik, sehingga menyebabkan manusia kehilangan kemanusiaannya. Manusia menjadi dehumanistik dan inpersonality. Maka Psikologi Humanistik lahir untuk membela nilai kemanusiaan. Maka muncullah paradigma humanistik (paradigma kemanusiaan) dalam psikologi. Berdasarkan paradigma kemanusiaan ini muncullah teori-teori personality and motivation (kepribadian dan motivasi) oleh William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) yang kemudian dikembangkan oleh Gordon W. Allport (1315-1387 H/1897-1967 M); client-centered-approarch (pendekatan yang berpusat pada klien) dalam menangani masalah terapi oleh Carl Rogers (1330-1408 H/19021987 M), self actualization (aktualisasi diri) oleh Abraham H. Maslow (1326-1390 H/ 1908-1970 M), dan teori the will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna) oleh Victor Frankl (1323-…H/1905-…M) dalam logoterapi-nya yang sering digolongkan sebagai Psikologi Transpersonal. Semua teori ini berdasarkan kepada pandangan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk unik yang harus dipahami secara holistik dari dimensi somatis (raga), psikis (jiwa), dan noetik (spiritual). Kecuali itu, eksistensi manusia berbeda dengan eksistensi lainnya. Karakteristik eksistensi manusia dapat disimpulkan pada adanya; spirituality (kerohanian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab). Untuk memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan memprediksi, tingkah laku manusia harus dirujuk kepada konsep-konsep manusia secara holistik seperti yang diuraikan di atas. Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap



bahwa



manusia adalah



segala



pusat



aktifitas



dengan



meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini. Humanisme



yang dimaksud di dalam



Islam



adalah memanusiakan



manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an



11



Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya. Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri’tikaf



ketika



bulan



ramadhan dan jangan mempergauli istrinyaketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali



Imran



3:47



yang



menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah



menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya. Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali. Term al-nas digunakan manusia



itu



sebagai



di



dalam



makhluk



al-Qur`an



sosial. Sebagai



makhluk sosial adalah firman Allah dalam menjelaskan



bahwa



manusia



untuk



itu



menjelaskan bahwa



contoh manusia sebagai



surat al-Hujurat, 49:13 yang



diciptakan



laki-laki



dan perempuan,



berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal. Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali. Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalamQS. al-Isra, 17:70. Pada ayat



ini



Allah



menjelaskan



bahwa



akan memuliakan



manusia



dan



memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi



melalui



akalnya



untuk



meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali. Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat, 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia. Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).



12



Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Jadi,



ringkasnya



bahwa



paradigma



Psikologi



Humanistik



adalah



paradigma kemanusiaan. Paradigma humanistik memandang bahwa manusia adalah makhluk khas, unik, yang harus dipahami secara holistik. Manusia memiliki raga, jiwa, dan spiritual dan eksistensinya sebagai manusia memiliki karakteristik spirituality, freedom, dan responsibility. Paradigma ini mengakui bahwa tingkah laku manusia merupakan produk bebas pikiran, perasaan, dan kemauan manusia. Kebebasan dalam segala hal, terutama menentukan pilihan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya.



3. Paradigma Fitrah Sementara itu, Psikologi Islami memandang bahwa Psikologi Humanistik terlalu optimis terhadap manusia. Manusia dianggap sebagai berkuasa penuh terhadap dirinya dan menafikan dimensi lain yang turut serta dalam membentuk dan menentukan dirinya. Menurut Psikologi Islami manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam (nature), manusia (sosial), dan Tuhan. Ketiga hal ini turut memberikan andil dalam membentuk tingkah laku manusia. Ini sejalan dengan dimensi-dimensi yang ada di dalam diri manusia. Untuk memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan memprediksi, tingkah laku manusia harus senantiasa memandangnya dalam hubungan yang seimbang dengan alam, manusia, dan Tuhan, seperti yang dijelaskan di atas. Jelasnya, bahwa menurut Psikologi Islami, ada sesuatu yang hilang dari Psikologi Humanistik dalam memandang manusia yaitu eksistensi Tuhan. Kecuali itu, menurut Psikologi Islami, bahwa Psikologi Humanistik, dalam memandang dimensi manusia belum sepenuhnya sempurna. Dua dimensi terpenting dalam hubungannya dengan esensi dan eksistensi manusia luput dari jangkauan Psikologi Humanistik,- apa lagi Psikoanalisa dan Behaviorisme. Kedua dimensi terpenting itu adalah dimensi al-ruh dan dimensi al-fitrah. Dimensi al-ruh beraktualisasi sebagai khalifah sementara dimensi al-fitrah beraktualisasi sebagai ‘abid dalam konteks ‘ibadah. Manusia dalam hubungannya dengan alam adalah sebagai aktualisasi khalifah, sementara dalam hubungannya dengan Allah adalah sebagai aktualisasi peran ‘ibadah. Manusia senantiasa dalam putaran hubungan kedua peran ini,- yaitu peran khalifah dan ‘ibadah.



13



Jadi, jelaslah bahwa dalam pandangan Psikologi Islami bahwa tingkah laku



manusia



bukanlah



hanya



sebatas



keinginan



manusia



untuk



mengaktualisasikan dirinya seperti dalam Psikologi Humanistik. Tetapi tingkah laku manusia juga merupakan aktualisasi dari rentangan dari rangkaian keterikatan dengan alam, manusia, dan Tuhan. Dinamika tingkah laku manusia adalah seberapa besar dominasi keinginan yang akan diaktualisasikan. Jika dominasi keinginan alam yang dominan maka akan muncul tingkah laku yang bersifat alamiah, seperti makan, minum, berhubungan seksual, dan lain-lain. Jika dominasi keinginan kemanusiaan, maka akan muncul tingkah laku yang berhubungan dengan aktualisasi diri, seperti ingin dihormati, menguasai orang lain, ingin mencintai dan dicintai orang lain, dan lain-lain. Sementara jika dominasi keinginan Tuhan yang akan diaktualisasikan, maka berbarengan dengan itu akan muncul tingkah laku berupa ‘ibadah. Pemahaman yang menyeluruh dan holistik tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan Tuhan, merupakan inti persoalan paradigma yang ditawarkan dalam Psikologi Islami. Paradigma itu disebut dengan ‘paradigma fitrah’. Istilah fitrah terambil dari istilah dalam Al-Qur’an Surat al-Rum/30: 30.



‫الدينُ ا ْلقَيِ ُم َو َٰلَ ِكنه أَ ْكثَ َر‬ َ ‫اس‬ ِ َ‫َّللا ۚ َٰذَ ِلك‬ ِ‫ق ه‬ ِ ‫ِين َح ِنيفًا ۚ ِف ْط َرتَ ه‬ َ ‫َّللا الهتِي فَ َط َر النه‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِللد‬ ِ ‫علَ ْيهَا ۚ ََل ت َ ْبدِي َل ِل َخ ْل‬ ۞ َ‫اس ََل يَ ْع َل ُمون‬ ِ ‫النه‬ Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar-rum 30 : 30).” Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa fitrah manusia berasal dari fitrah Allah. Berdasarka itu, fitrah manusia senantiasa menampilkan dua sisi, yaitu sisi asalnya (esensi) dan sisi keberadaannya (eksistensi). Fitrah dari sisi asalnya menampilkan



sisi



spiritual-transendental



(Allah),



sementara



dari



sisi



keberadaannya menampilkan sisi empiris-historis (manusia). Fitrah Allah adalah Esa dalam segala hal. Berdasarkan itu, maka haklikat paradigma fitrah adalah pengakuan terhadap kebenaran tunggal, satu, monistik, dalam wilayah transendental, namum pada saat yang bersamaan, dalam wilayah empirishistoris, tampilannya dapat beragam dan bervariasi. Jelasnya, paradigma fitrah mengakui kebenaran monistik-multidimensional.



14



Dalam memandang tingkah laku manusia, -sebagai objek kajian psikologi-, maka paradigma fitrah merujuk kepada konsep di atas. Berdasarkan itu, maka tingkah laku manusia senantiasa tampil sebagai akumulasi ekspresi aktualisasi potensi batin dan responsi pengaruh lingkungan. Ekspresi berarti bahwa tingkah laku menjadi media (sarana) untuk mengekspresikan kondisi psikis. Responsi berarti tingkah laku muncul sebagai respon (tanggapan) terhadap stimulus lingkungan. Tingkah laku manusia senantiasa menampilkan dua sisi ekspresi dan responsi. Perbedaan antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya terletak pada prosentase masing-masing sisi, apakah sisi ekpresi atau sisi responsi yang dominan.



15



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam dunia modern seperti sekarang ini, model berpikir tentunya perlu untuk dikuasai dalam bidang-bidang tertentu. Seperti layaknya keilmuan yang mempunyai system mempunyai dasar pemikiran yang kuat. Dalam ilmu psikologi islam sendiri paradigm yang dipakai bukan lagi paradigm psikologi agama maupun paradigm psikologi kontenporer. Tapi psikologi islam menggunakan paradigmanya sendiri dengan dasar yang jelas yakni Al-qur’an. Pada kenyataannya semua teori psikologi kontenporer dapat dikatakan sangat bertentangan dengan psikologi agama, terlebih lagi psikologi islam. Maka dari itu, psikologi islam muncul sebagai pembaharuan dengan model pemikiran yang khas bersumber dari Alqur’an. Paradigma yang banyak dipakai adalah paradigma fitrah. Sedangkan untuk paradigma-paradgma yang lainnya masih mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan islam itu sendiri.



16



DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Kareem. Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Dadan Jamaluddin, dkk. Psikologi Islami, Alternative Pendekatan Lewat Kacamata Islam, diskusi reguler jurusan Tasawuf Psikoterapi, (Bandung: Fakutas Ushuluddin, 2006), h. 3 Gumiandari, Septi. Kepribadian Manusia dalam Prespektif Psikologi Islam, (Telaah Kritis Atas Psikologi Kepribadian Modern). Imam al-Ghazali, Ihya “Ulumuddin (Bairut: Dar al-Fiqr, tt), juz. 4, h. 4. Nurjan, Syarifan. 2017. Refleksi Psikologi Islami dalam Dunia Psikologi di Indonesia.



ISTAWA:



Jurnal



Pendidikan



Islam.



FAI



Universitas



Muhammadiyah Ponorogo. Volume 2, Nomor 2, Januari-Juni 2017.



17