Makalah Psikologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Erik Erikson terlatih sebagai seorang tenaga analisis lepas dalam tradisi pengikut Freud. Erik Erikson dan nego neo-Freudnya tentang perkembangan teori kepribadian telah dikenal secara luas melalui empat bukunya, risetnya, ajaran kuliahnya secara luas, dan lusinan artikel jurnal, Erikson adalah pengikut neoFreud yang terlatih sebagai psikoanalisis lepas, dan masih meneruskan secara luas



dalam



tradisi



teori



pengikut



Freud.



Bagaimanpun juga, kami mencatat beberapa perluasan karyanya terhadap kerangka acuan psikoanalisis. Sebagai contoh, secara kontras dengan posisi Freud, ia tidak merasa bahwa kepribadian dimulai setelah masa kanak-kanak. Seperti yang kita lihat, ia mempertimbangkan kepribadian agar tetap fleksibel di sepanjang usia dewasa. Erikson juga menggunakan prinsip kutub atau prinsip dikotomi yang digunakan Freud- dan , tentu saja, juga digunakan oleh Jung. Suatu ilustrasi mengenai perkembangan ego pada kedelapan perkembangan umur, dimana kehidupan individual berakhir, apakah sebagai pribadi yang sukses atau gagal dengan kata Erikson, integritas vs keputusasaan. Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada psikoanalisis Freud, yang digambarkan pada masing-masing 8 tahap perkembangan umur. Kualitas-kualitas ego tersebut inilah yang biasa dikenal dengan ego kreatif (Alwisol, 2005). Pada konsep ini ego bukanlah budak tetapi justru tuan atau pengatur dari id, superego dan dunia luar. Jadi ego di samping hasil proses faktor-faktor genetik, fisiologik, dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan historik. Ego yang sempurna digambarkan oleh Erikson memiliki tiga dimensi yaitu, faktualitas, uniersalitas, dan aktualitas (Alwisol, 2005). Selain hal tersebut erikson juga memperkenalkan tiga aspek ego



1



yang paling berhubungan : ego tubuh, ego ideal, dan eho identitas (Feist & Feist, 2010). Erikson percaya bahwa ego berkembang melalu tahapan kehidupan sesuai prinsip



epigenitk. Epigentik sendiri dipinjang dari istilah embriologi.



Perkembangan epigenetik menyiaratkan pertumbuhan langkah demi langkah dari organ janin. Embrio tidak dimulai dalam bentuk manusia kecil yang lengkap, menanti untuk mengembangkan struktur bentuknya. Dengan cara yang sama ego mengikuti perkembangan epigenetik, dengan tiap tahapan perkembangan pada waktu yang seharusnya. Satu tahapan muncul dibangun dari tahapan sebelumnya akan tetapi tidak menggantikan tahapan sebelumnya. Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representative dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian di dalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson? 2. Bagaimana tahap teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson ?



2



3. Bagaimana kritik dan revisi teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson ? 4. Bagaimana penerapan teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini diantaranya adalah: 1. Mengetahui konsep teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson. 2. Mengetahui tahap teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson. 3. Mengetahui kritik dan revisi teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson. 4. Mengetahui penerapan teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson Setiap organisme, baik manusia maupun hewan mengalami peristiwa perkembangan selam hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki organisasi tersebut, baik yang bersifat kongkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi arti peristiwa perkembangan tersebut khususnya perkembangan manusian tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis, karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Setiap organisme, baik manusia maupun hewan mengalami peristiwa perkembangan selam hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian



3



dengan keadaan yang dimiliki organisasi tersebut, baik yang bersifat kongkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi arti peristiwa perkembangan tersebut khususnya perkembangan manusian tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis, karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang positidf diantara aspek tersebut. Ada tiga fondasi yang digunakan Erikson dalam mengembangkan teori kepribadiannya. Khususnya terkait delapan tahap perkembangannya yaitu: a. Prinsip Epigenetik Dari delapan tahap perkembangan manusia dari lahir hingga meninggal, erikson menyimpulkan, urutan dalapan tahap ini sudah ditentukan secara genetik dan tidak bisa diubah-ubah. Urutan yang ditentukan secara genetik bagi perkembangan kepribadian manusia ini disebutnya karena mengikuti prinsip epigenik, istilah epigenik ini dipinjam oleh Erikson dari bidang biologi. Menurut Erikson seluruh kepribadian terbentuk disepanjang delapan tahap perkembangan, namun semua tahapan itu sudah ada dalam bentuk benih saat manusia lahir.Tahap perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan atas perkembangan sebelumnya, tetapi tidak mengganti perkembangan di tahap sebelumnya. Dengan kata lain, setiap tahap, ketika karakteristik-karakteristik baru muncul, dibangun dari karakeristik yang sudah mendahuluinya, dan menjadi dasar bagi pembentukan yang akan muncul sesudahnya. Erikson (1968) menyatakan, "semuanya yang berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagianbagian, masing-masing bagian mempunyai waktu khusus untuk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi. ”( Matthew H. Olson, Pengantar Tori-teori Kepribadian, hlm. 285).Menurut prinsip epigenetik,



4



karakeristik kepribadian yang jadi mengemuka di suatu tahap perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan terus eksis setelah tahap itu dilalui. b. Krisis Setiap tahap perkembangan ini dicirikan oleh sebuah krisis. Kata krisis yang digunakan erikson ini mirip dengan penggunaan oleh para dokter, yaitu berkonotasi dengan suatu titik balik yang penting. Jadi krisis yang mencirikan setiap tahap perkembangan ini akan memunculkan satu resolusi positif yang memungkinkan, atau jika gagal diselesaikan, sebuah resolusi negatif. Resolusi positif berkontribusi bagi penguatan ego dan karenanya memperbesar kemampuan manusia beradaptasi. Resolusi negatif sebaliknya melemahkan ego dan melemahkan manusia beradaptasi. Lebih jauh lagi, resolusi krisis yang positif disebuah tahap akan meningkatkan kemungkinan diraihnya resolusi positif bagi krisis yang muncul ditahap berikutnya dan sebaliknya. Meski Erikson sendiri tidak percaya bahwa suatu resolusi terhadap krisis di setiap tahap menjadi positif atau negatif dalam maknanya yang penuh, selain ia menegaskan bahwa setiap resolusi yang selalu mengandung element positif sekaligus negatif. Jadi ketika rasio suatu resolusi lebih besar positifnya barulah ia dikatakan positif, dan sebaliknya. Berdasarkan prinsip epigenetik, setiap krisis selalu eksis dalam tiga fase yaitu: 1. Fase tidak matang / dewasa ( immature ) Yaitu



ketika



perkembangan



krisis



kepribadian



2. Kritis



5



tidak



menjadi



titik



fokus



Fase kritis yaitu ketika disebabkan berbagai alasan biologis, psikologis,



dan sosial, ia menjadi titik fokus



perkembangan kepribadian. 3. Resolusi. Ketika resolusi atas krisis mempengaruhi perkembangan kepribadian ditahap selanjutnya. Jika krisis-krisis yang berkaitan dengan delapan tahap perkembangan ini terselesaikan secara positif, perkembangan kepribadian normal yang akan muncul. Jika satu atau lebih krisis terselasaikan secara negatif, perkembangan normal tersebut akan terhambat dengan kata lain, setiap krisis di suatu tahap harus bisa diselesaiakan secara positif ditahap tersebut sebelum individu sepenuhnya siap untuk mengatasis krisis lain yang akan mendominasi tahapa berikutnya. Kendati



faktor biologis yang menentukan kapan delapan



tahap perkembangan kepribadian ini muncul, yaitu karena proses pematangan fisiologis penetu kapan sebuah pengalaman jadi memungkinkan, namun lingkungan sosial yang menentukan benar tidaknya suatu krisis disebuah tahap pertahap perkembangan yang diusulkan Erikson dinami tahap-tahap psikososial perkembangan, untuk mengontrakskannya dengan tahap-tahap psikoseksual Freud. c. Ritualisasi dan Ritualisme Bagai



Erikson,



penting



sekali



mengakui



perkembangan



kerpibadian muncul dari sebuah seting budaya. Karena melihat manusia terjebak didalam buadayanya, seperti yang dilakuakan Freud, Erikson menekankan kesesuaian antara individu dengan budayanya. Faktanya, ditaraf yang lebih besar, kerja budaya adalah menyediakan cara- cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologis manusia. Menurut Erikson,pengalaman internal maupun eksternal manusia mestinya sama, minimal



6



dibeberapa tarafnya, jika seseorang individu berkembang dengan berfungsi normal di budaynya masing-masing.



2.2 Tahap Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami tahapan perkembangan dari bayi sampai dengan usia lanjut. Perkembangan sepanjang hayat tersebut diperhadapkan dengan delapan tahapan yang masing-masing mempunyai nilai kekuatan yang membentuk karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi kelemahan sehingga karakter negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang. Erikson menyebut setiap tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang mempunyai sifat sosial dan psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan perkembangan di masa depan. Delapan tahapan perkembangan tersebut sebagai berikut: a.Tahap I usia 0-2 tahun Pada masa bayi atau tahun pertama adalah titik awal pembentukan kepribadian. Bayi belajar mempercayai orang lain agar kebutuhankebutuhan dasarnya terpenuhi. Peran ibu atau orang-orang terdekat seperti pengasuh yang mampu menciptakan keakraban dan kepedulian dapat mengembangkan kepercayaan dasar. Persepsi yang salah pada diri anak tentang lingkungannya karena penolakan dari orangtua atau pengasuh mengakibatkan bertumbuhnya perasaan tidak percaya sehingga anak memandang dunia sekelilingnya sebagai tempat yang jahat. Pada tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhkan pada kepribadian anak ialah “harapan”. b.Tahap II, usia 2-3 tahun



Konflik yang dialami anak pada tahap ini ialah otonomi vs rasa malu serta keragu-raguan. Kekuatan yang seharusnya ditumbuhkan adalah “keinginan atau kehendak” dimana anak belajar menjadi bebas untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan tersebut dapat



7



terpenuhi melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri seperti belajar makan atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau mendapat jawaban dari sesuatu yang ditanyakan. c.Tahap III, usia 3-6 tahun Anak pada tahap ini belajar menemukan keseimbangan antara kemampuan yang ada dalam dirinya dengan harapan atau tujuannya. Itu sebabnya anak cenderung menguji kemampuannya tanpa mengenal potensi yang ada pada dirinya. Konflik yang terjadi adalah Inisiatif atau terbentuknya perasaan bersalah. Bila lingkungan sosial kurang mendukung maka anak kurang memiliki inisiatif. d.Tahap IV, usia 6-12 tahun Konflik pada tahap ini ialah kerja aktif vs rendah diri, itu sebabnya kekuatan



yang



perlu



ditumbuhkan



ialah



“kompetensi”



atau



terbentuknya berbagai keterampilan. Membandingkan kemampuan diri sendiri dengan teman sebaya terjadi pada tahap ini. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial dan akademis melalui kompetisi yang sehat dengan kelompoknya. Keberhasilan yang diraih anak memupuk rasa percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah inferioritas. e.Tahap V, usia 12-20 tahun Pada tahap ini anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas diri baik dalam lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan masa remaja adalah awal usaha pencarian diri sehingga anak berada pada tahap persimpangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Konflik utama yang terjadi ialah Identitas vs Kekaburan Peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya. f.Tahap VI, usia antara 20-40 tahun Pada tahap ini kekuatan dasar yang dibutuhkan ialah “kasih” karena



8



muncul konflik antara keintiman atau keakraban vs keterasingan atau kesendirian. Agen sosial pada tahap ini ialah kekasih, suami atau isteri termasuk juga sahabat yang dapat membangun suatu bentuk persahabatan sehingga tercipta rasa cinta dan kebersamaan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka muncullah perasaan kesepian, kesendirian dan tidak berharga. g.Tahap VII, usia 40-65 tahun



Seseorang telah menjadi dewasa pada tahap ini sehingga diperhadapkan kepada tugas utama untuk menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus. Konflik utama pada tahap ini ialah generatifitas vs stagnasi, sehingga kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan



ialah



“kepedulian”.



Kegagalan



pada



masa



ini



menyebabkan stagnasi atau keterhambatan perkembangan. h.Tahap VIII, usia 65 tahun-kematian Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatiannya sehingga kebutuhannya adalah untuk dihargai. Konflik utama pada tahap ini ialah Integritas Ego vs Keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu dibentuk ialah pemunculan “hikmat atau kebijaksanaan”. Fungsi pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial, memberi makna tentang kehidupan.



2.3. Kritik dan Revisi Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson Sekurang kurangnya ada lima kritikan yang dilontarkan pada teori kepribadian Erikson yaitu, Pertama, sulit untuk dites secara empiris. Erikson tidak begitu berminat untuk mengetes sendiri teorinya secara empiris, dan tidak bergitu peduli bahwa riset yang dilaporkannya seperti risetnya tentang



9



aktivitas-aktivitas bermain anak laki-laki dan perempuan tidak punya analisis kuantifikasi dan statistik yang benar. Namun para peneliti lain telah sukses memverifikasi



sejumlah



konsep



Erikson



tentang



tahap-tahap



perkembangannya, khususnya terkait identitas. Kedua, pandangannya yang terlalu optimis tentang manusia. Meski mengklaim sebuah afiliasi yang dekat dengan teori Freud, Erikson melukiskan sebuah gambar yang jauh lebih manusiawi. Sedikit saja di teori Erikson yang mendeskripsikan perjuangan intens mengendalikan sifat hewani manusia. Dengan menekankan dan meluaskan fungsi ego, Erikson berkonsentrrasi kepada persoalan-persoalan tentang identitas, penyelesaian masalah-maslah, dan hubungan antas pribadi lebih dari pada menjinakkan insting-insting seksualitas dan agresivitas. Potret Erikson tentang manusia terlalu optimis, tidak realistik dan simplistik. Ketiga, mendukung status Quo . Pada esensinya Erikson mendefinisikan pribadi yang sehat sebagai individu yang mampu menyesuaikan diri dengan, menerima, dan meneruskan ke



generasi



selanjutnya



elemen-elemen



budayanya. Definisi ini terdengar seolah Erikson mendukung sebuah kompromi. Bahkan Erikson menegaskan jika perkembangan ego terjadi setelah manusia terlibat didalam ritualisasi budaya yang tersedia dibanyak tahap perkembangan. Dengan kata lain, Erikson menegaskan ego yang sehat mensyaratkan dukungan terhadap peran-peran yang mendapat sangsi budaya, dan penitik beratan ini dinilai banyak pihak sebagai penguatan atas peran-peran itu. Bagi mereka yang melihat ketidakadilan, nilai-nilai yang tidak manusiawi dan kebodohan-kebodohan dibudayanya, tentulah sulit mengamini konsep bahwa kesehatan mental berarti penyesuaian deiri dengan situasi yang abnormal ini. (Matthew H. Olson, Pengantar Teori-Teori Kepribadian. hlm, 315) Keempat, moralisasi berlebihan. Definisi Erikson tentang penyesuaian positif bagi krisis-krisis setiap tahap perkembangan bersesuaian dengan etika kristiani dan institusi-institusi sosial yang ada dimasa itu. Erikson lebih



10



banyak mendeskripsikan nilai-nilai dianutnya daripada mendeskripsikan realitas objektif. Kelima, gagal mengakui pengaruh-pengaruh yang membentuk teorinya. Satu kritikan yang menyoroti klaim Erikson bahwa teorinya pasca Freudian padahal faktanya, sedikit saja kemiripan substansial antara teorinya dengan teori Freud. Kritik ini juga mengatakan bahwa Erikson sengaja melabeli teorinya



demikian



untuk



menghindari



pengecualian



dari



lingkaran



psikoanalitik, dengan kata lain, tujuannya semata-mata bersifat politisi dan pragmatis selain itu, meski Erikson banyak memuji kontribusi Freud bagi teorinya, namun jelas-jelas pemikirannya sam dengan para teorisi lain seperti Adler dan Horney, yang sama-sama menekankan pentingnya variabel social sebelum Erikson menggulirkan teorinya itu.



2.4 Penerapan Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson Dalam penyelenggaraan pendidikan metode pembelajaran ada berbagai metode yang dilakukan oleh para pendidik. Diantaranya adalah metode belajar sambil bermain ataupun bermain sambil belajar. Pada hakikatnya dua macam metode tersebut sama-sama saling mendukung dalam proses belajar anak didik. Pada umumnya dalam proses pendidikan pada anak balita atau usia dini lebih diutamakan pada metode bermain sambil belajar. Hal ini dilakukan karena metode ini lebih sesuai dengan kondisi anak-anak yang cenderung lebih suka bermain. Maka para pendidik memanfaatkan hal ini untuk mendidik mereka dengan cara bermain sambil belajar yaitu disamping mereka bermain mereka sekaligus mengasah ketrampilan dan kemampuan. Cara ini akan lebih berkesan dalam memori otak anak-anak untuk perkembangan pengetahuannya karena pada usia dini adalah masa-masa perkembangan memori otak sangat pesat. Di seluruh dunia anak bermain. Bermain bagi anak bagaikan bekerja bagi manusia dewasa. Ada anak-anak yang bermain dengan patut, namun ada



11



juga yang bermain “cukup berbahaya” mereka lakukan sebagai kanak-kanak. Peran pendidikanlah untuk mengawal bagaimana permainan dapat menumbuh kembangkan mereka secara patut dan utuh sebagai anak manusia. Anak-anak senantiasa tumbuh dan berkembang. Mereka menampilkan ciri-ciri fisik dan psikologis yang berbeda untuk tiap tahap perkembangannya. Masa anak-anak merupakan masa puncak kreativitasnya, dan kreativitas mereka perlu terus dijaga dan dikembangkan dengan menciptakan lingkungan yang menghargai kreativitas yaitu melalui bermain. Oleh karena itu, pendidikan di TK yang menekankan bermain sambil belajar dapat mendorong anak untuk mengeluarkan semua daya kreativitasnya. Seluruh potensi kecerdasan anak akan berkembang optimal apabila disirami suasana penuh kasih sayang dan jauh dari berbagai tindak kekerasan, sehingga anak-anak dapat bermain dengan gembira. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang efektif pada anak dilakukan melalui cara-cara bermain aktif yang menyenangkan, dan interaksi pedagogis yang mengutamakan sentuhan emosional, bukan teori akademik. Menurut Erikson, tahap perkembangan ketiga erikson adalah usia bermain, periode yang meliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic) sekitar usia 3-5 Erikson (1982) menyatakan bahwa selain mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah mengembangkan daya



gerak,



keterampilan



berbicara,



keingintahuaan,



imajinasi,



dan



kemampuan untuk menentukan tujuan. Pada tahap ini ada beberapa tugas yang dilalui oleh seorang anak. a.



Gaya Lokomotor Genital



Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus conplex adalah drama yang dimainkan dalam



imajinasi anak-anak mencakup pengertian yang



dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi, pertumbuhan, masa depan, dan kematian. b. Inisiatif Versus Rasa Bersalah



12



Tahap ini adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya. c.



Tujuan (Kekuatan Dasar Usia Bermain)



Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan moralitas. Ada tiga jenis kegiatan bermain yang mendukung pembelajaran anak, yaitu, bermain fungsional atau sensorimotor, bermain peran, dan bermain konstruktif. Bermain fungsional atau sensorimotor dimaksudkan bahwa anak belajar melalui panca inderanya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungannya. Kebutuhan sensorimotor anak didukung ketika anak-anak disediakan kesempatan untuk bergerak secara bebas berhubungan dengan



13



bermacam-macam bahan dan alat permainan, baik di dalam maupun di luar ruangan, dihadapkan dengan berbagai jenis bahan bermain yang berbeda yang mendukung setiap kebutuhan perkembangan anak. Anak dibina dengan berbagai cara agar mereka dapat bermain secara penuh dan diberikan sebanyak mungkin kesempatan untuk menambah macam gerakan dan meningkatkan perkembangan sensorimotor. Bermain peran disebut juga bermain simbolik, pura-pura, fantasi, imajinasi, atau bermain drama. Bermain peran ini sangat penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak pada usia tiga sampai enam tahun. Bermain peran dipandang sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar perkembangan daya cipta, tahapan ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan spasial, afeksi, dan keterampilan kognisi. Bermain peran memungkinkan anak memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan kembali masa lalu. Kualitas pengalaman main peran tergantung pada beberapa faktor, antara lain; (1) cukup waktu untuk bermain, (2) ruang yang cukup, dan (3) adanya peralatan untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan. Menurut Erikson terdapat dua jenis bermain peran, yaitu bermain peran mikro dan makro. Bermain peran mikro dimaksudkan bahwa anak memainkan peran dengan menggunakan alat bermain berukuran kecil, misalnya orang-orangan kecil yang lagi berjual beli. Sedangkan bermain peran makro, anak secara langsung bermain menjadi tokoh untuk memainkan peran-peran tertentu sesuai dengan tema. Misalnya peran sebagai ayah, ibu, dan anak dalam sebuah rumah tangga. Bermain konstruktif dilakukan melalui kegiatan bermain untuk membuat bentuk-bentuk tertentu menjadi sebuah karya dengan menggunakan beraneka bahan, baik bahan cair, maupun bahan terstruktur, seperti air, cat, krayon, playdough, pasir, puzzle, atau bahan alam lain. Bermain pembangunan menurut Piaget dapat membantu mengembangkan keterampilan anak dalam rangka keberhasilan sekolahnya dikemudian hari. Melalui



14



bermain pembangunan, anak juga dapat mengekspresikan dirinya dalam mengembangkan bermain sensorimotor, bermain peran, serta hubungan kerja sama dengan anak lain dan menciptakan karya nyata. Dalam kegiatan bermain, dikenal adanya konsep intensitas dan dentitas. Konsep intensitas menekankan pada jumlah waktu yang dibutuhkan anak untuk berpindah melalui tahap perkembangan kognisi, sosial, emosi, dan fisik yang dibutuhkan Misalnya anak-anak harus memiliki pengalaman harian yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan bahan yang bersifat cair, mendapatkan kesempatan untuk menggambar, melukis, dan keterampilan awal menulis. Bahan-bahan seperti kertas dengan tekstur, ukuran, dan warna yang berbeda, dengan spidol dan krayon, papan lukis dengan kertas berbagai ukuran dan kuas akan membantu anak sepanjang waktu untuk berkembang melalui tahap awal dari corat-coret menuju ke penciptaan sesuatu yang bermakna dan menuju ke menulis kata dan kemudian kalimat. Konsep densitas menekankan pada keanekaragaman kegiatan bermain yang disediakan untuk anak di lingkungannya. Kegiatan ini harus memperkaya kesempatan pengalaman anak melalui beberapa jenis bermain yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan perkembangan anak. Misalnya untuk melatih keterampilan pembangunan anak dapat menggunakan cat di papan lukis, nampan cat jari, cat dengan kuas kecil di atas meja, dan sebagainya. Anak-anak dapat menggunakan palu dengan paku dan kayu, sisasisa bahan bangunan untuk berlatih keterampilan pembangunan terstruktur. Dengan demikian berarti dalam kegiatan bermain harus mempunyai intensitas dan dentitas yang memadai. Dengan menyediakan beraneka jenis mainan yang tepat bagi anak, peralatan, dan tempat yang memadai, serta memberi kesempatan yang cukup kepada anak untuk bermain, misalnya anak mendapat kesempatan memilih serangkaian kegiatan bermain setiap hari untuk terlibat dalam bermain peran, bermain pembangunan, dan sensorimotor, hal itu berarti memberi layanan pendidikan kepada anak TK secara optimal.



15



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan



16



DAFTAR PUSTAKA



http://www.sttpb.ac.id/e-journal/indek.php/kurios/article/viewFile/20/21 http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10715/BAB%20.pdf?sq uence=4&isAllowed=y http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10715/BAB%20.pdf?sq uence=3&isAllowed=y



17