Makalah Psikologi Sosial "Prasangka" Universitas Mercubuana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Psikologi Sosial “Prasangka”



Disusun Oleh : Essy Tiara 46112010029 Andreas Fajar Nugroho 46112010089 Vidya Paramandita 46112010002 Joshua Herdi Alivian 46112010095



Latar Belakang Dalam berinteraksi antar individu atau kelompok terkadang kita memiliki prasangka negatif terhadap individu atau kelompok tersebut. Prasangka adalah sebuah sikap yang biasanya negative terhadap anggota kelompok tertentu. Objek dari prasangka itu bisa berupa manusia (individu) maupun kelompok atau ras (suku) tertentu.Prasangka yang berlebihan bisa menimbulkan suatu diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu. Prasangka dan diskriminasi merupakan dua istilah yang saling berkaitan. Orang yang memiliki sikap prasangka terhadap suatu ras pastilah melakukan tindakan diskriminatif pada ras tersebut. Bila mereka memiliki prasangka negatif terhadap suku atau ras itu baru dikatakan sebagai sebuah sikap.Sedangkan tindakan deskriminatif yang mereka lakukan merupakan tindakan nyata. Prasangka mengandung unsur emosi (suka-tidak suka) dan pengambilan suatu keputusan yang tergesa-gesa, tanpa diawali dengan pertimbangan yang cermat.Unsur ketidak adilan dalam pengambilan keputusan sebuah prasangka sering terlihat karena keputusan tersebut didasarkan oleh penilaian subjektif



atau emosional daripada



pertimbangan fakta objektif.Bila seseorang sering berprasangka negatif maka dapat menggangu interaksi dalam suatu kelompok.



PEMBAHASAN Prasangka Prasangka adalah Sikap yang negatif terhadap sesuatu, seseorang atau kelompok sosial tertentu. Dengan kata lain, Seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok social tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (secara negative) semata karena mereka anggota kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individual mereka memainkan peran yang kecil, mereka (disukai dan tidak disukai) hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu.Dan diskriminasi merujuk pada aksi negative terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka. Misalnya, karena memiliki prasangka buruk, seseorang bahkan meyakini dengan duduk bersama kelompok yang dianggap negatif akan menyebabkan dirinya terkena masalah. Calon pekerja pria juga mungkin akan di evaluasi secara negatif jika ia duduk disebelah seorang wanita gendut, meskipun pelamar pria itu tidak mengenal siapa wanita itu, dan meskipun nyatanya wanita itu adalah orang yang baik. Prasangka juga mempengaruhi preferensi tentang kebijkan publik. Misalnya, Prasangka terhadap kaum gay menyebabkan adanya pembatasan ruang gerak



pada



pengidap



HIV,



seperti



mewajibkan



mereka



membawa



identifikasi,



mengkarantina atau menato mereka



Jenis-Jenis Prasangka 1. Prasangka Agama Ketika berada pada lingkungan India, maka agama Hindu adalah agama yang paling baik, orang-orang yang memiliki agama selain Hindu di lingkungan orang yang mayoritas beragama Hindu maka agama lain seolah-olah memiliki penilaian jelak, seperti agama Islam menurut anggapan sekarang ini adalah kaum pemberontak, teroris serta memiliki sifat negatif lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika orang Islam yang tinggal dalam lingkungan seperti itu akan mengalami diskriminasi, misalkan mulai dari tidak boleh menyuarakan adzan terlalu keras.



2. Prasangka Etnik Indonesia adalah Negara yang sangat beragam etniknya. Berbagai penilaian antar etnik pun dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti etnis Jawa yang dikenal ulet, sederhana dan ramah. Sedangkan orang Batak, dikenal dengan kebudayaan yang keras, dan bersuara latang.



3. Prasangka Kelas Sosial Menurut pandangan orang kaya, orang miskin adalah orang yang pemalas, tidak rajin menabung dan suka berbuat nakal. Sehingga ia melakukan diskriminasi terhadap orang miskin misalnya dengan melarang anak-anak mereka bergaul dengan anak orang miskin. Sehingga orang miskin pun menilai orang kaya/ berprasangka kepadanya bahwa orang kaya adalah orang yang sombong dan tamak. Mereka pun mulai menilai negative, misalnya darimana asal-usul harta yang mereka dapatkan, apakah dari hasil korupsi atau tidak.



4. Prasangka Berdasarkan Gender Selain itu adapula prasangka terhadap gender di mana banyak budaya yang masih menempatkan wanita sebagai kaum minoritas. Prasangka yang dipengaruhi oleh gender ini disebut seksisme (sexism). Seksisme ada 2 jenis: 



Seksisme yang penuh kebencian: pandangan bahwa wanita, jika tidak inferior terhadap pria, memiliki banyak trait negatif (contoh: mereka ingin diistimewakan, sanngat sensitive, atau ingin merebut kekuasaan dari pria yang tidak seharusnya mereka miliki).







Seksisme bentuk halus: pandangan yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi, lebih superior daripada pria dalam banyak hal (contoh: mereka lebih murni dan lebih memiliki selera yang baik). Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh: tidak ada pria yang benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seorang wanita yang ia puja dalam hidupnya).



5. Prasangka berdasarkan Jenis Kelamin Sederhananya didalam kelas, sebagai contoh tiba-tiba ada mahasiswa baru, mahasiswa itu sangat ganteng. Banyak mahasiswi di kelas tiba-tiba jatuh hati kepadanya karena ketampanannya. Karena menimbulkan kekhawatiran bagi mahasiswa di kelas, bahwa mahasiswa itu mengancam perhatian mahasiswa yang telah memiliki pacar, maka semua mahasiswa berprasangka negatif



kepada mahasiswa baru itu, dan berusaha



menjauhkan pacarnya agar hubungan mereka tidak rusak.



6. Prasangka Politis Contohnya adalah anggota rezim komunis yang akhirnya diberi keterbatasan, karena mereka mereka pernah membahayakan keselamatan Negara melalui G30SPKI. Sehingga stereotip negatif terhadap anggota atau keturunan PKI, sehingga diskriminasi yang muncul adalah larangan anak-cucu anggota PKI untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil diwaktu itu.



7. Prasangka



Terhadap



orang



yang



memiliki



keterbatasan



fisik



(Disabilitas). Orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam fisik misalnya orang-orang cacat kaki dilarang mengikuti jurusan Keolahragaan karena dianggap tidak mampu, mereka mengalami diskriminasi sedemikian parahnya sehingga mereka tidak dapat memasuki jurusan itu, padahal jurusan keolahragaan sangat luas misalnya olahraga catur, pastinya orang-orang cacat pun bisa melakukan olahraga semacam itu, walaupun olah raga lainnya tidak bias mengikutinya.



Pembentukan Prasangka A. Faktor Utama Faktor utama dalam asal-usul prasangka adalah ketimpangan dalam kondisi sosial, ekonomi dan budaya kehidupan masyarakat etnis yang berbeda. Mereka muncul sebagai konsekuensi dari pemahaman tidak penuh atau terbentuk dari objek dalam kaitannya dengan yang mengatur. Sebagai contohnya ketika orang-orang Islam berkuasa di berbagai bagian pemerintahan, sementara banyak orang-orang Islam yang jahat seperti teroris, dan berkorupsi, sehingga muncul stereotip dan prasaka negatif terhadap semua orang Islam dsari sudut pandang agama lain.



B. Faktor Lainnya Misalkan suatu kejadian/ peristiwa historis yang benar-benar membekas, contohnya adalah permusuhan antara Orang Dayak dengan orang Madura, akhirnya banyak orang yang menilai negatif orang-orang Madura, karena terkait dengan konflik di Sampit, Kalimantan.



Cara Mengatasi Prasangka Cara mengatasi Prasangka Sosial antara lain Psikologi Sosial, Baron (2003): 



Memutuskan



siklus



prasangka:



belajar



tidak



membenci



karena



dapat



membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatic. 



Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: contact hypothesispandangan, bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu extended contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok tersebut. Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini,



orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat dipandang sebagai bagian dari in-group. Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan (belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotip). Pengaruh sosial sebagai cara untuk mengurangi prasangka. Maksudnya adalah seseorang akan termotivasi untuk merubah sikapnya jika ia menyadari bahwa sikap terhadap kelompok atau ras tertentu yang dimilikinya ternyata tidak disukai maka ia akan mengubah sikapnya agar sama dengan sikap orang yang disukai.



Peran Stereotip Peran stereotip dalam prasangka sama halnya dengan kita memberikan suatu penilaian terhadap kelempok tertentu karena kita tahu kebiasaan buruk dari kelompok tersebut. Stereotip berperan penting dalam prasangka negatif karena penilaian yang diperoleh tiap individu dari pengalaman mereka masing-masing.



Diskriminasi dan Bentuk Diskriminasi Diskriminasi merupakan bentuk tindakan nyata dari prasangka. Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain.







Diskriminasi kasar;aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama dan kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes), kriminalitass yang berdasar pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya. Contoh: James Byrd seorang lelaki afro-amerika yang diseret dibelakang truk hingga meninggal oleh seorang laki-laki berkulit putih dengan prasangka tinggi.







Diskriminasi halus; rasisme modern (rasial implicit) rasisme berusaha menutupnutupi prasangka di tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan dan tokenisme. contoh di mana individu menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok out-group kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian tingkah laku tokenistic ini digunakan



sebagai



alasan



untuk



menolak



melakukan



aksi



yang



lebih



menguntungkan terhadap kelompok ini. Contoh: sebuah bank yang mempekerjakan orang dari etnis tertentu, supaya tidak disangka melakukan diskriminasi juga mempekerjakan masyarakat pribumi. Namun, masyarakat pribumi ini nantinya akan dipersulit untuk kenaikan jabatan. Diskriminasi dapat terjadi tanpa adanya prasangka, sebaliknya orang berprasangka belum tentu mendiskriminasikan kelompok tertentu.



Komponen Prasangka Prasangka merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen: 



komponen afektif atau emosional , mewakili kedua jenis emosi yang berkaitan dengan sikap (misalnya, kemarahan, kehangatan) dan ekstremitas sikap (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsung).







komponen kognitif , yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran yang membentuk sikap.







komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap biasanya diikuti dengan perilaku (meskipun tidak selalu). Prasangka, menunjuk pada struktur sikap umum dengan komponen afektifnya



(emosional). Prasangka, bisa positif atau negatif, namun para psikolog sosial (dan orangorang pada umumnya) menggunakan kata prasangka terutama menunjuk pada sikap negatif terhadap orang lain. Prasangka dalam konteks ini didefinisikan sebagai Sikap negatif terhadap individu atau sekelompok individu tertentu, yang hanya didasarkan pada keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu.



Teori-teori tentang prasangka 1. Teori belajar sosial Teori belajar sosial merupakan salah satu teori dalam belajar, teori ini dikemukakan oleh bandura yang berpendapat bahwa belajar itu terjadi melalui model atau contoh. Prasangka seperti halnya sikap, merupakan hal yang terbentuk melalui proses belajar. Attitude-attitude yang dimiliki manusia tidaklah dibawa sejak ia dilahirkan. Tetapi bermacam attitude itu dipelajari dan terbentuk pada manusia selama perkembangannya. Awalnya



anak-anak



kecil



tidak



mempunyai



attude-attitude,



kemudian



mereka



memperoehnya untuk yang pertama melalui primary group yaitu orang tua dan keluarganya. Demikian pula dengan prasangka social, Prasangka social juga tidak dibawa manusia sejak manusia dilahirkan. Prasangka social juga terbentuk selama perkembangan manusia, baik dari didikan atau pun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka. Teori belajar sosial memandang prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari dengan cara yang sama, seperti bila orang mempelajari nilai-nilai social yang lain; prasangka disebarluaskan dari orang yang satu ke orang yang lain sebagai bagian dari sejumlah norma. Prasangka merupakan norma dalam budaya atau sub budaya seseorang. Prasangka



diperoleh



seorang



anak



melalui



sosialisasi.



Anak



mempelajari



sikap



berprasangka untuk dapat diterima oleh orang lain. Terakhir, penyebar luasan dan pengungkapan prasangka yang terus-menerus akan memperkuat peranannya sebagai norma budaya ( Ashmore & Delboca, 1980)



2. Teori Motivasional atau Decision Making Theory Teori ini memandang prasangka sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan individu atau elompok untuk mencapai kesejahteraan (satisfy). Teori ini mencakup beberapa teori yaitu; a.



Pendekatan psikodinamika Teori ini menganalisis prasangka sebagai suatu usaha untuk mengatasi



tekanan motivasi yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Jadi teori ini menekankan pada dinamika dari pribadi individu yang bersangkutan (specific individual personality). b.



Konflik Kelompok Realitas (Realistic group conflict) Teori ini menyatakan bahwa dua kelompok bersaing merebutkan kelompok



yang langka, mereka akan saling mengancam, dan akhirnya menimbulkan permusuhan diantara mereka sehingga menciptakan nilai negative yang bersifat timbal balik. Konflik antar kelompok akan terjadi apabila kelompok-kelompok tersebut dalam keadaan berkompetisi. Ini menyebabkan adanya permusuhan antara kedua



kelompok tersebut yang kemudian bermuara pada adanya saling berprasangka satu dengan yang lain, saling memberikan evalauasi yang negatif. Dengan demikian, prasangka tidak dapat dihindarkan sebagai akibat adanya konflik yang nyata antara kelompok yang satu dengan yang lain. c.



Kekurangan Relatif (relative deprivation) Teori ini berkaitan dengan ketidakpuasan yang tidak hanya timbul dari



kekurangan objektif , tetapi juga dari perasaan kurang secara subjektif yang relative lebih besar dibandingkan orang lain atau kelompok lain. Dalam konflik kelompok yang nyata, prasangka timbul sebagai respons terhadap frustasi yang riil dalam kehidupan antara kelompok satu dengan yang lain. Tetapi kadang-kadang orang mempersepsi diri sendiri atau mereka mengalami kerugian secara relatif terhadap pihak lain, walaupun dalam kenyataanya tidak demikian. Persepsi ini dapat membawa permusuhan antara kelompok yang satu dengan yang lain, dan sebagai akibatnya yaitu dapat menimbulkan prasangka.



3.



Teori Kognitif



Dalam teori ini, proses kognitif dijadikan sebagai dasar timbulnya prasangka. Hal ini berkaitan dengan; a. Kategorisasi atau penggolongan Apabila seseorang mempersepsi orang lain atau apabila suatu kelompok mempesepsi keompok lain, dan memasukkan apa yang di persepsikan itu ke dalam suatu kategori tertentu. Proses kategorisasi berdampak timbulnya prasangka antar pihak satu dengan pihak lain, keompok satu denga kelompok lain. b. Ingroup lawan Outgroup Ingroup dan outgroup ada apabila kategorisasi “kita” dan “mereka” telah ada, seseorang dalam suatu kelompok akan merasa dirinya sebagaiingroup dan orang lain sebagai outgroup. Dalam kategori ingroup memiliki dampak tertentu yang ditimbulkan, di antaranya yaitu; Similarity effect Anggota ingroup mempersepsi anggota ingroupyang lain lebih memiliki kesamaan apabila dibandingkan dengan anggota outgroup. Favoritism effect karena kategorisasi ingroup dan outgroup maka berdampak munculnya anggapan bahwa ingroup lebih favorit dari pada outgroup. Outgroup homogenity effect bahwa seseorang dalam ingroup memandang outgroup lebih homogeny daripada ingroup, baik dalam hal kepribadian maupun hal yag lain.



Bentuk-bentuk prasangka 1. Stereotip Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras. Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualianpengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang. Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara,: Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.



2. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.



Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang. Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu: Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihakpihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciriciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok



tersebut.



Generalisasi



mengenai



sebuah



kelompok



mungkin



memang



menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.



Jarak Sosial Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan berikut : 1) Keinginan untuk saling berbagi. 2) Keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan. 3) Keinginan untuk bekerja bersama. 4) Keinginan yang berhubungan dengan pernikahan.



Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada diantara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan. Sampai saat ini masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila anakanaknya menikah dengan orang yang berbeda etniknya. Masih mudah pula ditemui



orangtua yang membatasi pilihan anak-anaknya hanya boleh menikah dengan etnis sendiri atau beberapa etnis tertentu saja, sementara beberapa etnis yang lain dilarang. Kenyataan seperti itu merupakan cerminan dari adanya prasangka antar etnik. Saya pernah mendengar secara langsung ada petuah orang tua pada anaknya laki-laki, yang kebetulan etnis jawa, untuk tidak mencari jodoh etnis Dayak, etnis Minang, dan etnis Sunda. Diluar ketiga etnis itu dipersilahkan, tetapi lebih disukai apabila sesama etnis jawa.



Diskriminasi Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Lalu ada organisasi yang hanya mau menerima anggota dari etnik tertentu saja meskipun jelas-jelas organisasi itu sebagai organisasi publik yang terbuka untuk umum. Contoh paling terkenal dan ekstrim dalam kasus diskriminasi etnik dan ras terjadi di Afrika Selatan pada tahun 80an. Politik aphartheid yang dijalankan pemerintah Afrika Selatan membatasi akses kulit hitam dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Diskriminisi ras itu dikukuhkan secara legal melalui berbagai peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kulit hitam. Misalnya anak-anak kulit hitam tidak boleh bersekolah di sekolah untuk kulit putih, kulit hitam tidak boleh berada di tempat-tempat tertentu seperti hotel, restoran dan tempat publik lainnya. Kulit hitam juga tidak boleh naik kendaraaan umum untuk kulit putih, dan bahkan tidak boleh memasuki wilayah pemukiman kulit putih. Liliweri (1994) menemukan bahwa diskriminasi antar etnik terjadi di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja. Di sana, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, sedangkan di Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Akan sulit orang Flores masuk menjadi pegawai di Universitas Cendana, demikian juga sebaliknya. Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka



yang



dimiliki



terhadap



mendiskriminasikan kelompok tersebut.



kelompok



tertentu



menjadi



alasan



untuk



Sebab-sebab Munculnya Prasangka Prasangka merupakan salah satu fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Munculnya prasangka merupakan akibat dari adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam masyarakat. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain. Akan tetapi prasangka tidak semata-mata dimunculkan oleh faktor sosial. Faktor kepribadian turut berperan dalam menciptakan apakah seseorang mudah berprasangka atau tidak. Walaupun faktor sosial sangat



menunjang



untuk



menciptakan



prasangka,



belum



tentu



seseorang



akan



berprasangka karena masih tergantung pada tipe kepribadian yang dimiliki, apakah ia memiliki tipe kepribadian berkecenderungan berprasangka atau tidak. Lalu manakah yang lebih penting faktor sosial atau faktor kepribadian dalam menciptakan prasangka? Jawabannya bisa keduanya sama penting atau bisa salah satu lebih penting. Apabila tekanan dalam melihat prasangka adalah konteks sosialnya, tentu saja faktor sosial merupakan faktor terpenting. Sedangkan bila konteks individu yang ditekankan, maka faktor individual bisa jadi dinilai lebih penting.



Faktor Sosial Penyebab Prasangka Prasangka merupakan hasil dari adanya interaksi sosial, maka cukup mudah menemukan sebab-sebab prasangka dalam kehidupan sosial. Faktor sosial yang menciptakan prasangka antar kelompok setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni: akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka. Bagaimana faktor sosial di atas bisa menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial? Berikut adalah beberapa teori dalam ilmu psikologi yang bisa menjelaskan ; 1. Teori Kategorisasi Sosial 2. Teori Perbandingan Sosial 3. Teori Identitas Sosial 4. Teori Deprivasi Relatif 5. Teori Konflik-realistis 6. Teori Frustrasi-Agresi 7. Teori Belajar Sosial



1. Teori Kategorisasi Sosial Dunia merupakan kekomplekan yang tiada batas. Melalui kategorisasi kita membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Pembedaan kategori ini bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam warna kulit, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda. Mereka yang memiliki kesamaan dengan diri kita akan dinilai satu kelompok dengan kita atau ingroup. Sedangkan mereka yang berbeda dengan kita akan dikategorikan sebagai outgroup. Seseorang pada saat yang sama bisa dikategorikan dalam ingroup ataupun outgroup sekaligus. Misalnya Sandi adalah tetangga kita, jadi sama-sama sebagai anggota kelompok pertetanggaan lingkungan RT. Pada saat yang sama ia merupakan lawan kita karena ia bekerja pada perusahaan saingan kita. Jadi, Sandi termasuk satu kelompok dengan kita (ingroup) sekaligus bukan sekelompok dengan kita (outgroup) Kategorisasi memiliki dua efek fundamental yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan dan itu yang sering di ekspos sementara kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Disisi lain kesamaan yang dimiliki oleh kelompok cenderung sangat dilebih-lebihkan dan itu pula yang selalu diungkapkan. Sementara itu perbedaan yang ada cenderung diabaikan. Sebagai contoh perbedaan antara etnik jawa dan etnik batak akan cenderung di lebih-lebihkan, misalnya dalam bertutur kata dimana etnis jawa lembut dan etnis Batak kasar. Lalu, orang-orang seetnis cenderung untuk merasa sangat identik satu sama lain padahal sebenarnya diantara mereka relatif cukup berbeda. Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah diantara anggotaanggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok yang minoritas juga menilai dirinya lebih berada didalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Islam dan Hewstone (1993) hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain.



Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibanggakan untuk meningkatkan harga diri. Sementara itu disaat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, inferior, dan memalukan. Keadaan ini bisa menimbulkan konflik karena masing-masing kelompok merasa paling baik. Keadaan konflik ini baik terbuka ataupun tidak melahirkan prasangka. Oakes, Haslam & Turner (1994) menyatakan bahwa kategorisasi sosial juga akan melahirkan



diskriminasi



antar



kelompok



jika



memenuhi



kondisi



berikut



:



Derajat subjek mengidentifikasi dengan kelompoknya. Semakin tinggi derajat identifikasi terhadap kelompok semakin tinggi kemungkinan melakukan diskriminasi. Menonjol tidaknya kelompok lain yang relevan. Bila kelompok yang relevan cukup menonjol maka kecenderungan untuk terjadi diskriminasi juga besar. Derajat dimana kelompok dibandingkan pada dimensi-dimensi itu (kesamaan, kedekatan, perbedaan yang ambigu). Semakin sama, semakin dekat, dan semakin ambigu yang dibandingkan maka kemungkinan diskriminasi akan mengecil. Penting



dan



relevankah



membandingkan



dimensi-dimensi



dengan



identitas



kelompok. Semakin penting dan relevan dimensi yang dibandingkan dengan identitas kelompok maka kemungkinan diskriminasi juga semakin besar. Status relatif ingroup dan karakter perbedaan status antar kelompok yang dirasakan. Semakin besar perbedaan yang dirasakan maka diskriminasi juga semakin mungkin terjadi.



2. Teori Identitas Sosial Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat. Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif



itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi ingroup bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri. Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya Low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.



3. Teori Perbandingan Sosial Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat. Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang diantara kelompok-kelompok yang bertentangan (Manger, 1991). Dalam masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa



menggoyahkan



hegemoni



mereka.



Sementara



itu



kelompok



yang



didominasipun



berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi.



4. Deprivasi Relatif Deprivasi relatif



adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan



ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka (Brown, 1995). Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif. Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tesebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B. Contoh diatas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang yang cukup besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.



5. Teori Konflik-Realistis Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas (Baron & Byrne, 1991). Prasangka bisa muncul



dan



berkembang



sebagai



efek



samping



perjuangan



berbagai



kelompok



memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi. Terjadinya prasangka di daerah-daerah pertambangan rakyat, seperti pertambangan emas di Kalimantan, di Rejang Lebong, dan di beberapa tempat lain umumnya didorong oleh adanya konflik kepentingan untuk berebut sumberdaya tambang yang ada. Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas. Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik antara pihak-pihak yang berkompetisi. Konflik-konflik yang terjadi yang sering berupa kerusuhan dan kekerasan antar kelompok seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain. Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok, prasangka antara kelompok bertikai menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi, prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Sebagai contoh, kekerasan antara etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, seperti tragedi Sampit dan tragedi Sambas, telah menyebarkan prasangka diantara etnis Dayak terhadap etnis Madura dan sebaliknya diantara etnis Madura terhadap etnis Dayak. Padahal mungkin saja sebelum kerusuhan banyak diantara mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Prasangka tidak selalu melahirkan diskriminasi. Apabila prasangka yang ada pada masyarakat dibiarkan saja tanpa adanya kontrol dari pihak-pihak eksternal seperti institusi pemerintah, maka prasangka akan melahirkan diskriminasi. Dan bila diskriminasi dibiarkan berlanjut tanpa adanya kontrol maka bisa memunculkan terjadinya ketegangan sosial yang bisa berujung pada terjadinya kerusuhan dan kekerasan sosial. Namun apabila ada kontrol dari pihak eksternal yang cukup kuat, misalnya adanya tekanan dari pemerintah, dari negara-negara lain dan sebagainya maka prasangka tidak akan melahirkan diskriminasi.



Akan tetapi pada kondisi tidak melahirkan diskriminasi, prasangka tetap bisa memicu adanya ketegangan sosial yang berujung pada kerusuhan sosial.



6. Teori Frustrasi-Agresi Prasangka bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan mengalihkan ancaman terhadap harga diri (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak terancam. Frustrasi seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka (Berkowitz, 1995). Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis lainnya. Struktur sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas sosial vertikal yang terhambat. Dalam banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat terbatas, hal mana aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sangat sulit diwujudkan, prasangka yang ada diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat cukup tinggi. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak menfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.



7. Teori Belajar Sosial Menurut teori ini prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi, stereotip dan



juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anakanak berprasangka. Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis batak dengan kata-kata “dasar batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik batak secara keseluruhan. Ada bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Pengkategorian itu mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang dimiliki terhadap kelompok lain. Media massa juga merupakan alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tegantung pada isi pemberitaan media massa. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.



Faktor Individual Pemicu Prasangka Sangat sering kita temui ada seseorang yang begitu mudah berprasangka tetapi ada juga yang rendah tingkat prasangkanya meskipun mereka sama-sama berada dalam satu situasi yang serupa. Seolah ada kecenderungan individu tertentu lebih berprasangka daripada individu yang lain. Mengapa hal itu terjadi? Disinilah faktor individual berperan dalam memicu prasangka.



1. Kepribadian Otoritarian dan Dogmatik Dalam tataran individu, faktor kepribadian otoritarian merupakan faktor pemicu prasangka yang terpenting. Seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian dipastikan mudah berprasangka (Adorno, dalam Brown, 1995). Adapun ciri-ciri dari kepribadian otoritarian adalah :



Mempersepsi dunia secara bipolar, yakni selalu mengkontraskan segala sesuatu dalam dua kutub yang berlawanan; jika tidak hitam pasti putih, jika tidak benar pasti salah, jika tidak baik pasti buruk, jika tidak indah pasti jelek dan semacamnya. Tidak mampu toleran terhadap perbedaan, yakni tidak bisa menerima adanya orangorang yang berbeda dari dirinya. Perbedaan yang ditemui akan menimbulkan kecemasan. Karenanya orang bertipe ini menuntut kesamaan sebesar-besarnya dari orang lain. Orang dengan ciri ini cenderung untuk selalu bersikap negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya. Permusuhan berlebihan terhadap seseorang yang belum nyata anggota sebuah kelompok. Seseorang yang memiliki ciri ini memiliki kecurigaan tinggi tehadap orang-orang asing dan orang-orang yang belum jelas dikategorikan masuk kelompok mana. Hormat berlebihan dan memiliki kebutuhan kuat untuk mengidentifikasikan diri pada figur otoritarian. Orang dengan ciri ini akan sangat patuh dan merasa cemas jika pimpinan mengabaikannya. Para penjilat masuk dalam kategori ini. Mereka berupaya agar pimpinan selalu menyadari kehadirannya, dan berharap agar pimpinan lebih memperhatikannya ketimbang kepada orang lain. Stewart & Hoult, dalam Simpson & Yinger (1965) mengidentifikasikan delapan kondisi yang umumnya memunculkan seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian, yaitu: Kurang berpendidikan, Kaum tua, Kaum pedesaan Anggota kelompok yang tidak menguntungkan, misalnya anggota kelompok minoritas. Lebih dogmatik terhadap organisasi religius, misalnya sangat mengagungkan NUnya, Muhamadiyah-nya, Gereja-nya, dan lain-lain dan bukan pada ajaran agamanya. 



Status sosial ekonomi rendah







Secara sosial terisolasi







Tumbuh dalam keluarga otoritarian



Kepribadian dogmatik juga merupakan salah satu tipe kepribadian yang memiliki kecenderungan kuat untuk berprasangka. Orang-orang dengan kepribadian dogmatik memiliki pola pemikiran yang sempit (closed-mind). Mereka sangat mempercayai sistem yang anti terhadap perubahan informasi dan ditandai penggunaan daya tarik atau kekuatan wewenang untuk menjustifikasi apa yang mereka kira benar (Rokeach, dalam Brown, 1995). Dogmatisme memproposisikan bahwa orang yang dogmatik lebih banyak melakukan penolakan terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya daripada ia menolak orang lain karena identitas kelompok (ras,etnik) mereka. Secara umum orang dengan kepribadian dogmatik ini sangat konvensional. Mereka menentang setiap upaya perubahan yang terjadi jika mengakibatkan perubahan mendasar terhadap apa yang telah lama diyakininya.



Mereka



tidak



segan



menggunakan



kekuasaan



yang



dimiliki



untuk



membenarkan apa yang diyakininya. Pada titik ekstrim, orang dengan kepribadian dogmatik



ini menganggap hanya yang diyakinilah yang benar. Dogmatisme menurut Rockeach (dalam Simpson & Yinger, 1965) adalah mereka yang: Memiliki keteguhan yang relatif tidak bisa dirubah mengenai keyakinan dan ketidakyakinan terhadap realitas. Serangkaian kepercayaan yang dimiliki diorganisasikan oleh kekuasaan absolut sebagai pemilik otoritas dalam kepercayaan itu. Memiliki kerangka berpikir yang terpola terhadap intoleransi dan toleransi kepada orang lain. Jenis kepribadian lain yang mudah menderita prasangka adalah orang yang memiliki kepribadian yang keras hati atau cenderung kaku. Mereka yang keras hati ini lebih mampu memahami adanya ekstremitas, misalnya membenarkan terorisme. Mereka kurang terpengaruh keluarga dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihan politik. Karakteristik orang berprasangka secara umum bermental kaku (rigidity), dan memiliki infleksibilitas pikiran. Tipe kepribadian dogmatik dan otoritarian dapat dibentuk melalui keluarga. Kepribadian dogmatik misalnya, berasal dari sosialisasi dalam keluarga dan hubungan orangtua dan anak yang kurang harmonis. Orang tua otoritarian berkemungkinan besar sering mengalami konflik dengan anak-anak karena kaku, sangat asertif, dan tidak responsif terhadap kebutuhan anak hal mana membuat anak memiliki kecenderungan otoritarian, menjadi dogmatik, berpikir secara kaku, dan adanya sikap permusuhan terhadap kelompok minoritas Kepribadian otoritarian, kepribadan dogmatik, dan kepribadian yang kaku atau keras hati memberikan kecenderungan pada seseorang untuk lebih mudah berprasangka. Namun masih ada teori lain yang menganalisis prasangka dari sisi individual, yakni teori biologis dan teori psikodinamika.



2. Teori Biologis Menurut pendekatan ini prasangka memiliki dasar biologis. Hipotesisnya adalah bahwa kecenderungan untuk tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik kita merupakan warisan yang telah terpetakan dalam gen kita. Pendekatan biologis ini berasal dari sosiobiologi. Rushton dalam Baron dan Byrne (1991) mengistilahkan pendekatan ini sebagai genetic similarity theory. Asumsi dari teori ini adalah bahwa gen akan memastikan kelestariannya dengan mendorong reproduksi gen yang paling baik yang memiliki kesamaan. Bukti dari hal ini adalah bisa dilacaknya nenek moyang kita melalui DNA karena kita dengan nenek moyang kita memiliki kesamaan gen. Maka, menurut teori ini orang-orang yang memiliki kemiripan satu sama lain atau yang menunjukkan pola sifat yang mirip sangat mungkin memiliki gen-gen yang lebih serupa dibandingkan dengan yang tidak



memiliki kemiripan satu sama lain. Misalnya orang-orang yang berasal dari etnik yang sama memiliki gen yang relatif lebih mirip daripada dengan orang dari etnik yang berbeda. Menurut teori kesamaan gen, faktor kesamaaan gen dalam satu etnik dimungkinkan sebagai faktor yang menyebabkan individu berperilaku lebih murah hati terhadap anggota etniknya daripada kepada etnis yang berbeda. Rushton juga menyebutkan bahwa ketakutan dan kekurangpercayaan terhadap orang asing telah terpola dalam gen, sebab meskipun orang asing tidak membahayakan sama sekali, kecenderungan curiga dan tidak percaya tetap ada. Hal ini memberikan kontribusi nyata terhadap munculnya prasangka. Banyak



ilmuwan



menolak



teori



sosiobiologis.



Teori



ini



dinilai



tidak



bisa



dipertanggungjawabkan. Mereka yang menolak berpendapat bahwasanya prasangka semata-mata merupakan produk dari adanya interaksi sosial dan kecenderungan kepribadian tertentu.



3. Teori Psikodinamika Teori psikodinamika menganalisis prasangka sebagai hasil perkembangan dari ketegangan motivasional dari dalam diri individu. Prasangka menguntungkan secara psikologis karena meningkatkan perasaan superioritas (Myers, 1999). Sebagaimana yang sering kita rasakan tapi jarang atau malah tidak pernah kita ungkapkan, kita sering merasakan kepuasan bila mengetahui ada orang lain mengalami kegagalan. Hal ini merupakan cermin dari adanya tuntutan untuk merasakan superioritas atas orang lain. Dan prasangka berfungsi membantu memenuhi kebutuhan itu. Maka menjadi mudah dimengerti mengapa prasangka tumbuh lebih subur pada masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah serta berada dibawah ancaman seperti kelompok minoritas, hal itu karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi superior yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas keadaan mereka yang inferior. Teori psikodinamika mencakup teori frustrasi-agresi yang menyebutkan prasangka sebagai



hasil



dari



agresi



yang



dialihkan



(displacement).



Displacement



adalah



kecenderungan untuk mengarahkan kekejaman secara langsung kepada target yang tidak dapat secara nyata ditunjukkan sebagai sumber kesulitan. Artinya seseorang tidak dapat membuktikan bahwa seseorang atau sekelompok orang merupakan sumber dari kesulitan yang dideritanya. Akan tetapi ia merasa bahwa merekalah sumber kesulitan yang dideritanya. Sebagai kompensasi karena ia tidak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap sumber kesulitan maka ia memunculkan prasangka. Dalam diri indidividu ada kecenderungan untuk memproyeksikan karakteristik internal kepada orang atau objek lain. Misalnya sifat-sifat kasar yang dimiliki diproyeksikan kepada anggota kelompok lain. Dianggapnya kelompok lainlah yang memiliki sifat kasar



padahal sesungguhnya merupakan sifat-sifat kasar kelompok sendiri. Proyeksi umumnya hanya ada pada kelompok mayoritas. Kekejaman tehadap ingroup biasanya di projeksikan terhadap outgroup. Misalnya etnis Jawa membenci dan kejam terhadap etnis Cina, dalam perspektif teori dinamika hal ini karena etnis jawa memproyeksikan sifat-sifat impuls buasnya, dan etnis Cina mungkin tidak menyukai etnis jawa karena etnis jawa memproyeksikan impuls buasnya pada mereka Penggunaan proyeksi terhadap target etnik minoritas dan juga displacement sering ditunjukkan dalam bentuk-bentuk ekstrim oleh orang-orang yang menderita sakit mental, sadis dan paranoid. Mereka menggunakan prasangka untuk merasionalisasi dan menerangkan perilaku menyimpang mereka. Misalnya prasangka yang dimiliki dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang diprasangkai.



Ciri-ciri Prasangka Sosial Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagii dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kita ( in group) dan kelompok mereka (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (kelompok kami). Sedangkan out group adalah grup di luar grup sendiri (kelompok mereka). Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari perasaanin group dan out group yang menguat. Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah:



1. Proses Generalisasi Terhadap Perbuatan Anggota Kelompok Lain. Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negaitf tersebut tidak akan digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.



2. Kompetisi Sosial Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain.



3. Penilaian Ekstrim Terhadap Anggota Kelompok Lain Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.



4. Pengaruh Persepsi Selektif dan Ingatan Masa Lalu Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciriciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku, dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang



individu



memiliki



stereotype



yang



relevan



dengan



individu



yang



mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.



5. Perasaan Frustasi (Scope Goating) Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang



sehingga



membutuhkan



pelampiasan



sebagai



objek



atas



ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka.



6. Agresi Antar Kelompok Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berperilaku agresif.



7. Dogmatisme Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompo sendiri sebagai pusat segalagalanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.



Sumber-sumber Prasangka Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi : Konflik langsung antar kelompok. Berdasarkan Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) di mana prasangka muncul karena kompetisi antar kelompok social untuk memperoleh kesempatan atau komoditas yang berharga yang berkembang menjadi rasa kebencian, prasangka dan dasar emosi. Contoh: konflik antara para migrant dengan masyarakat setempat, masyarakat setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil wilayah barunya sehingga menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para migrant. Hal ini dapat dilihat pada konflik yang terjadi di Ambon, atau Kalimantan. Pengalaman



awal. Berdasarkan Teori



Pembelajaran



Sosial



(Social



Learning



Theory), prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan observasi/vicarious. Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar orangtuanya melontarkan komentar-komentar negatif terhadap orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga akan ikut meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam pembentukkan prasangka. Kategorisasi Sosial, yakni kecenderungan untuk membuat kategori social yang membedakan antara ingroup “kita” dengan outgroup “mereka”. Kecenderungan untuk memberi atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri dari pada anggota kelompok lain terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama (ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias hanya saja terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori social ini menjadi prasangka, dapat dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkanself-esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok social tertentu. Namun, hal ini terjadi hanya bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior dari pada kelompok lain yang menjadi pesaingnya. Stereotip, kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok social tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Ketika sebuah stereotip diaktifkan,trait-trait ini lah yang dipikirkan. Stereotip mempengaruhi pemrosesan informasi social (diproses lebih cepat dan lebih mudah diingat), sehingga mengakibatkan terjadinya seleksi pada informasi— informasi yang konsisten terhadap stereotip akan diproses sementara yang tidak sesuai stereotip akan ditolak atau diubah agar konsisten dengan stereorip. Reaksi lain terhadap informasi yang tidak konsisten adalah membuat kesimpulan implicit yang mengubah arti informasi tersebut agar sesuai dengan stereotip. Stereotip seperti penjara kesimpulan



(inferential prisons): ketika stereotip telah terbentuk, stereotip akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotip kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi. Mekanisme kognitif lain: 



Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu kecenderungan melebihlebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil. Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat.







ilusi homogenitas Out-Group (illution of



out-group homogeneity) yaitu



kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan tersebut



adalah perbedaan in-group



kecenderungan



untuk



mempersepsikan



(in-group anggota



differentiation) yaitu kelompoknya



dalam



menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen) daripada kelompok-kelompok lain



Cara Mengatasi Prasangka Pettigrew dan Tropp (dalam Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar ras merupakan hal yang baik. Dalam kenyataannya, kontak tidak selalu dapat mengurangi prasangka. Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh Sherif, dkk (1961) terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers) saling bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang dapat mengurangi prasangka: Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam suatu keadaan yang membuat mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence) (Kondisi pertama) untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya, peneliti membuat sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air. Satu-satunya cara untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya Eagles dan Rattlers.



Prasangka Modern: Berperilaku yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap mempertahankan sikap berprasangka di dalam diri. Kondisi ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya, maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada intinya, kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih berkuasa



dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat tereduksi (berkurang). Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda dalam satu ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi



prejudice



karena



masing-masing



individu



akan



tetap



terfokus



pada



kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana interaksi yang dilakukan lebih bersifat interpersonal. Melalui interaksi bersahabat dan informal dengan beberapa anggota outgroup, individu dapat lebih memahami bahwa stereotip yang dipercayainya ternyata salah. Kondisi kelima, melalui persahabatan, interaksi informal dengan berbagai anggota (multiple members) out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-nya tentang out-group adalah salah. Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang kuat, dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota kelompok luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan memperkuat norma penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas, anggota kelompok akan mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut. Sebagai ringkasan dari ilustrasi di atas, kelompokkelompok yang bermusuhan akan mengurangi stereotip, prasangka, dan diskriminasi ketika terdapat keenam kondisi kontak (Aronson & Bridgeman, 1979; Cook, 1984; Riordan, 1978): 1. Rasa saling ketergantungan 2. Suatu tujuan bersama 3. Status seimbang 4. Kontak informal, interpersonal 5. Beberapa kontak 6. Norma sosial dan kesetaraan Kerjasama dan Salingketergantungan: The Jigsaw Classroom Tahun 1971, Elliot Aronson menerapkan sebuah konsep yang dapat membuat suasana kelas lebih harmonis yang disebut jigsaw classroom. Aronson menyusun tempat duduk murid-murid dengan pola interasial, di mana setiap kelompok berisikan murid dengan ras dan etnis yang berbeda yang mempunyai tujuan yang sarna. Melalui jigsaw lassroom, murid-murid mulai saling memperhatikan dan menghormati satu sama lain karena adanya mutual interdependence di antara mereka. Jigsaw classroom dapat berhasil karena teknik ini membuat setiap anak berpartisipasi dalam kelompok yang kooperatif yang memecahkan persepsi in-group versus out-group, dan membuat individu mengembangkan kategori kognitif "kesatuan" antar murid. Alasan lain mengapa jigsaw classroom berhasil adalah karena jigsaw classroom mengembangkan hasil interpersonal yang positif, dimana anak mengembangkan empati melalui kegiatan kooperatif yang dilakukan dalam kelas.



JURNAL



INTERGENERATIONAL TRANSMISSION OF PREJUDICE, SEX ROLE STEREOTYPING, AND INTOLERANCE The attitudes of 111 ninth and eleventh graders and both of their biological parents were independently assessed for prejudice against people with HIV/ AIDS, homosexuals, Blacks, and fat people, as well as for male and female sex role stereotyping. This study corrected for two shortcomings in previous research: neglecting to assess both parents and assessing only a single domain of prejudice. We addressed the intergenerational transmission of prejudice and stereotyping using three competing models: same-sex, parent equivalent, and differential effects. Using multiple regressions in which parents' scores were entered separately, along with control variables, different maternal and paternal influences were detected. Mothers were the primary influence for prejudice regarding HIV/AIDS, fatness, and race, and fathers were the primary influence for male and female stereotyping and prejudice against homosexuals, supporting the differential effects model. We also established that prejudice and stereotyping in specific domains reflected a more general proclivity to be intolerant. In contrast to prejudice and stereotyping in specific domains, fathers and mothers about equally shaped the adolescents' intolerance, supporting the parent equivalent model. Traditional research indicates that parents and families are the primary social influences that model and communicate values to children (Benson, Donahue, & Erickson, 1989; Steinberg, 2001). This belief is explicit in many researchers' theories concerning the development of prejudice in children (e.g., Allport, 1954; Marger, 1991). People commonly believe that children's and adolescents' prejudiced attitudes are simply reflections of their parents' attitudes. However, these ideas have been challenged by research that finds inconsistencies in the effects of parents' prejudiced attitudes on the development of their children's prejudices (Aboud, 1988; Fishebein, 2002). Some studies have found that children's prejudiced attitudes are moderately influenced by their parents' attitudes, while others have found no significant systematic relationship. The research that has found moderate parental effects on their children's racial prejudices include Carlson and Iovini (1985) who examined the relationship between Black and White adolescent boys' attitudes and those of their fathers' (mothers' attitudes were not assessed). They found that White boys' prejudices were highly correlated with their fathers'. However, they did not find a significant relationship between Black boys' racial attitudes and those of their fathers. Mosher and Scodel (1960) found a positive relationship between white children's and mothers' racially prejudiced attitudes (fathers' attitudes were not assessed). On the other hand, Davey (1983) did not find a systematic relationship between White parents' prejudiced attitudes against Blacks and Asians and those of their seven- to tenyear-old children. Branch and Newcombe (1986) surprisingly found that among young Black children, ages four and five, the higher their parents' "pro-Black" attitudes, the higher the children's preference for White dolls as compared with Black dolls. Further, for six- and seven-year-old Black children, seven out of eight correlations between parents' and children's attitudes were not statistically significant. Finally, Aboud and Doyle (1996) did not find significant correlations between mothers' and children's racially prejudiced attitudes (fathers' attitudes were not assessed). Aboud (1988) contends that considering the conflicting data in the literature, the most that we can assert is that ethnocentric parents occasionally produce ethnocentric children. However, the inconsistencies in the findings concerning parental influence on prejudice may be attributable to two principal shortcomings in previous research. First, the above researchers have examined only a single domain of prejudice-race/ethnic prejudice. Assessing a variety of domains of prejudice, including race/ethnicity, would give a more accurate picture of parental influences. It is possible that parents will influence some, but not all domains. The second shortcoming is that both parents' attitudes were not always examined and by implication were assumed to be similar (e.g., Aboud & Doyle, 1996; Carlson & Iovini,



1985; Mosher & Scodel, 1960). There is no research indicating that both parents are in agreement in their prejudices, nor that they equally affect their children. This issue is especially critical for two-parent households because the child is exposed to both parents' values and beliefs. In the two studies in which both parents were assessed (Branch & Newcombe, 1986; Davey, 1983), the difference between the mother's and the father's attitudes was not considered. In the present study we attempted to overcome both of these shortcomings. We restricted the sample to adolescents who were living with both biological parents, and independently assessed all three. In addition, we measured six domains of prejudice and sex-role stereotyping rather than only race/ethnic prejudice. We then attempted to empirically and theoretically describe how mothers and fathers influence the prejudices and stereotyping in their adolescent children. Regression analyses were used to determine which of three theoretical models most accurately describes parental influences. An alternative characteristic to consider in evaluating the role of parental influences on adolescents' prejudice and stereotyping is the broader value of "intolerance." A number of studies have found significant correlations among several different domains of prejudice (Bierly, 1985; Ficarroto, 1990; Hoover & Fishbein, 1999; Quails, Cox, & Schehr, 1992), which suggests that there is a value or disposition that underlies most or all prejudices. We test this idea that intolerance is a higher ordered factor, which, to varying degrees, shapes or expresses itself through prejudices and sex-role stereotypes directed at various target groups (i.e., Blacks, homosexuals, people who are fat, those with HIV/ AIDS, and male and female sex-role stereotypes). The degrees of prejudice and stereotyping that an individual develops are shaped also by other factors unique to his/her experience. We also determined which of three theoretical models most accurately describes parental influences on intolerance. It is possible that the theoretical model that best characterizes parental influences on specific prejudices and stereotypes will not be the model that best characterizes intolerance. There is apparently no published research that has examined parental influence on children's intolerance. However, parents have been shown to have a substantial influence on other broad value systems, such as political party affiliation and attitudes (Adelson, 1986; Beck & Jennings, 1991; Torney-Purta, 1990) and religious identification and values (Altemeyer, 1988; Newport, 1979; Offer & Schonert-Reichl, 1992). Three Theoretical Models Considerable psychological theory and research suggests that one of the following theoretical models may adequately describe the relationship between mothers' and fathers' intolerance, prejudices, and sexrole stereotyping and that of their adolescent children: same sex, parent equivalent, and differential effects. The assumption of these models is that the primary direction of influence is from parents to children, and not the inverse. It is possible that some mutual influence occurs, but we believe that it is relatively minor. The same-sex model, based on psychoanalytic identification theory and social modeling, asserts that children are more likely to develop the intolerance, prejudiced attitudes, and beliefs of the same-sex parent than of the opposite-sex parent. Thus, boys will resemble their fathers, and girls will resemble their mothers. There is apparently no research on prejudiced attitudes or stereotypes to support or refute this theory; however, there is research in other psychological domains indicating that this phenomenon does frequently occur. For example, D'Angelo, Weinberger, and Feldman (1995) found that the adjustment of adolescent boys in two-parent families was influenced by fathers' and not mothers' subjective distress and self-restraint. Eisenberg, Fabes, Schaller, Carlo, and Miller (1991) found for several areas of children's empathie and sympathetic responding, that there were same-sex parental influences, although these same-sex effects did not hold in all areas of children's vicarious responding. Epstein and Lee (1988) and Finke and Hurley (1995) had college students and their parents separately complete tests for constructive thinking. In both studies significant, positive correlations were found between mothers' and daughters' (but not sons') categorical and superstitious thinking, and significant positive correlations between fathers' and sons'



(but not daughters') global constructive thinking. Smith, Burleigh, Sewell, and Krisak (1984) found same-sex similarities on the MMPI for mothers and daughters but not mothers and sons. And finally, Whitbeck, Simons, and Kao (1994) found that divorced mothers' sexual attitudes influenced their daughters' but not their sons'. The parent equivalent model is the consensus theory of developmental psychology (e.g., Cole & Cole, 1989; Conger & Petersen, 1984; Steinberg, 2002). Although these and other psychologists readily acknowledge that mothers and fathers do not always have the same effects on their sons and daughters (and they are aware of same-sex identification and modeling), much of the research reported in the literature indicates either similar parental influences on their children's development, or no systematic differences between parents. The assumed mediator of these similar effects is, in part, the close correspondence of mothers' and fathers' attitudes, values, and behavior. Thus, in this model, it is predicted that the pattern of mothers' and fathers' influences on the intolerance, prejudices, and stereotypes of their sons and daughters will be similar. The differential effects model assumes that mothers and fathers have different spheres of influence on the psychological development of their sons and daughters. Thus, in this model, mothers would have a greater influence than fathers in some domains of adolescents' prejudice and stereotyping, with the inverse holding for fathers. And, either father or mother, but not both, might influence the child's intolerance. As noted above there is assumed to be a fair amount of similarity between mothers and fathers in relation to their children. However, a substantial amount of research indicates important differences in these relationships (e.g., Fallon & Bowles, 1997; Holmbeck, Paikoff, & Brooks-Gunn, 1995; National Center on Addiction and Substance Abuse, 1999; Youniss & Smollar, 1985). These and other studies have shown that both male and female adolescents generally feel closer to their mothers than to fathers, talk more with their mothers, are more likely to rely on them for decisions, and report having a better relationship with them, despite having more conflict with them than with their fathers. Fathers tend to be seen more as authority figures and to be more concerned with long-range goals. Other research has shown that fathers, but not mothers, have a greater impact on their adolescent sons and daughters ego-development and self-esteem (Allen, Hauser, Bell, & O'Connor, 1994). Adolescents have been found to talk more with their mothers about substance abuse and health issues (National Center on Addiction and Substance Abuse, 1999). Fishbein (2002) has summarized research indicating that fathers have greater influence than mothers on the sex-role behavior and stereotyping of their sons and daughters. Jodl, Michael, Malanchuk, Eccles, and Sameroff (2001) have found that fathers have a greater influence than mothers on their adolescent sons' and daughters' values about sports. These findings suggest that the somewhat different values and roles that mothers and fathers play in a family will partly determine the relative influence they will have on their children. This explanation receives support from a recent longitudinal study of mainland Chinese adolescents (Chen, Liu, & Li, 2000). The adolescents reported separately on mother's and father's warmth, control, and indulgence, and these self-reports were related to adolescents' social, academic and psychological adjustment as determined from multiple sources. It was found that mothers and fathers had differential influences on their children. Moreover, many of these were in accord with cultural values about the relative roles of the parents. For example, mothers' warmth, but not fathers', was predictive of adolescents' emotional adjustment, and fathers' warmth, but not mothers', was predictive of later social and school achievement. The above set of findings for the third model suggests that in the present study fathers may have a greater influence than mothers in attitudinal domains related to sex roles and sex-role stereotyping, and that mothers may have a greater influence in domains concerned with health.



The Present Study The adolescents' and parents' attitudes that were measured include the following domains of prejudice: against Blacks, fat people, homosexuals, and people with HIV/AIDS, as well as male and female sex-role stereotyping. The regression analyses carried out on each of these measures includes both parents' scores entered separately in the same regression, allowing us to compare betas or standardized regression coefficients. To evaluate the notion that intolerance is a more general value underlying various prejudices and sex-role stereotyping, a confirmatory factor analysis was first conducted on the individual domains of prejudice and sex-role stereotyping. This model, then, treats intolerance as a higher ordered factor. To evaluate the role of parents on their children's level of intolerance, intolerance scores of children were then regressed on the intolerance scores of their parents. No prediction was made concerning whether the same theoretical model would characterize both the specific domains of prejudice and stereotyping and intolerance. METHOD Participants The target participants were 111 White adolescents and their biological parents from predominantly middle-class neighborhoods in a Mid-western city (mean reported household income = $60,000). In order to control for age effects, 48 were ninth graders (19 males, 29 females) and 63 were eleventh graders (38 males, 25 females) enrolled at all male and all female Catholic schools. Of the pool of 494 potential participants, 325 were living with both of their biological parents. Due to time constraints 266 sets of these parents were called and contacted by letter to participate in the study. We were able to arrange visits with only 120 sets of these parents. These visits resulted in 111 sets of parents who properly coded their forms to correspond to their child's forms and could be included in the analysis. A comparison of the adolescents' scores on the prejudice and sex-role stereotyping measures indicates that there were essentially no performance differences between those whose biological parents filled out the forms and those whose parents did not. These findings indicate that there were no selection biases among the adolescents living with both biological parents. Our exclusively White sample, as opposed to a mixture of White and minority groups, in no way implies that norms concerning parental influences should be based on White families. Our choice of the majority group in part reflects participant opportunity, and in part the knowledge that the overwhelming amount of research on prejudice and stereotyping involves White participants. Procedure On the basis of recommendations by the principals of the two schools, prior to testing, the females' parental consent forms were distributed in class and returned by the students. The males' consent forms were mailed home to the parents. There was a 90% return rate for both schools. The biological parents of the potential male and female target participants were sent letters requesting their participation and were contacted by phone the following week. Parents were called up to three times to insure their participation. In November 1996 the adolescent participants were administered the questionnaire in their English or history classes during school hours. During data collection the overall directions were read aloud by the research assistants, and students were then asked to respond at their own pace. The parents were tested in their homes during evenings and weekends and followed a procedure similar to that used in the classrooms. The adolescents were asked to write their names on the questionnaires, but not the answer sheets, which were coded for each student. The parents were not asked to write their names anywhere, but on completion of the questionnaire, their answer sheets were included with their child's answer sheet. All participants were assured that once the data were entered in the computer for analyses, the master list containing the names and codes would be destroyed.



Instruments The instruments were given in the order shown below, for both the adolescents and their parents. Each test item had a 6-point Likert response set: strongly agree, agree, mildly agree, mildly disagree, disagree, and strongly disagree. Items for each scale were summed and averaged. Racial prejudice. All of the participants were administered ten items taken from the Modern and Old Fashioned Racism Scales (McConahy, 1986). These items include those selected by Swim, Aikin, Hall, and Hunter (1995). A confirmatory factor analysis was conducted and two items were dropped. The resulting items assess the participants' attitudes toward racial integration, the extent to which Black people are viewed as unworthy or undeserving and as having lower capabilities than Whites (Cronbach's alpha = .80). Male and female sex-role stereotyping. To measure male sex-role stereotyping, all participants were administered 8 items taken from the 30-item Gender Stereotype Inventory (Kelly & Smail, 1986). These items form a list of behaviors in which each is characteristically masculine or feminine. Participants rated each of the 8 items' suitability for boys. A confirmatory factor analysis resulted in the formation of a scale consisting of 4 items. It measures the extent to which the participant thought that males should not engage in traditionally female activities (Cronbach's alpha = .65). Seven of the same items plus an additional eighth item from the 30-item Gender Stereotype Inventory (Kelly & Smail, 1986) were used to measure female sex-role stereotyping. A confirmatory factor analysis resulted in a scale consisting of 4 items. It measures the extent to which the participants thought that females should not engage in traditionally male activities (Cronbach's alpha = .84). Prejudice against homosexuals. All participants were administered six items from the Attitudes Toward Gay Men and Lesbians Questionnaire (Hoover & Fishbein, 1999). The items were modified to apply to both gays and lesbians. In addition, four items from a global measure of homosexual prejudice (Kite & Deaux, 1986) were included. A confirmatory factor analysis was performed and two items were dropped. The remaining eight items form the homosexual prejudice scale (Cronbach's alpha = .86) and measures the extent to which participants were rejecting of homosexuals. HIV/AIDS prejudice. A slightly modified 13-item version of the Fear of AIDS Scale (Bouton, Gallaher, Garlinghouse, Leal, Rosenstein, & Young, 1987) was used to measure prejudice against those with HIV/ AIDS. Following Hoover and Fishbein (1999) each item on this modified scale replaced the term "AIDS" with "HIV/AIDS." A confirmatory factor analysis was conducted and four items were dropped. The remaining items form the total AIDS/HIV prejudice scale (Cronbach's alpha = .75) which measures fear of contact with people with HIV/ AIDS and the belief that those people with HIV/AIDS are contaminated. Prejudice against fat people. Each participant was administered ten items from Crandall's (1994) Anti-Fat Attitudes Questionnaire. A confirmatory factor analysis was conducted and one item was dropped. The remaining items assess the extent to which participants dislike fat people and view them as incompetent and lacking willpower (Cronbach's alpha = .80). Controls. There were three control variables: the adolescent's grade and sex and the family's socioeconomic status (SES). SES was measured with the revised Duncan Socioeconomic Index using the adult participants' years of education, employment status, current occupation (coded as occupational prestige), and current annual family income (Featherman & Stevens, 1982). RESULTS We hypothesized that intolerance is an overarching factor that partially shapes the participants' prejudice and stereotyping scores in the different domains. We tested this conception with confirmatory factor analysis performed on all the scales (with male and female sex-role stereotyping combined to form a single scale). All of the scales loaded on a single factor, corroborating the idea of a higher ordered factor of intolerance reflected in the individual domains of prejudice and stereotyping. The model is a good fit of the data. The model had a chi square of 10.2 with 5 degrees of freedom yielding a p-value of .07 (a p-



value larger than .05 is desired). Both the goodness of fit and adjusted goodness of fit indices were high (.98 and .94, respectively). All of the standardized residuals of the fitted covariance matrix were between +2 and -2 (not shown). The critical N of 320 exceeds 200 by a substantial margin. Prejudice against homosexuals loaded most highly on intolerance (.74) followed by sex-role stereotyping (.65) and HIV/AIDS prejudice (.64). Race and fat prejudice had smaller loadings, .53 and .55, respectively. The participants' scores on the individual measures of prejudice and stereotyping were averaged to form the Intolerance scale (Cronbach's alpha = .77) used in subsequent analyses. Table 1 presents the means and standard deviations for the adolescents', mothers', and fathers' prejudice, stereotyping, and intolerance scores. The parents' and the adolescents' attitudes are reported in a manner that is reflective of the 6-point response set used to measure the attitude or value, with a higher score indicating more prejudice, stereotyping, and intolerance. Scores of 3.5 and higher indicate agreement with items, whereas scores below 3.5 indicate disagreement. On average, parents and adolescents score between mildly disagree and disagree with prejudice and stereotyping statements. However, the average standard deviation was above .50, indicating that some parents and adolescents agreed with the statements. All the adolescents' prejudice, stereotyping, and intolerance scores were individually correlated with mothers' and fathers' scores, respectively (see Table 2). They were followed by multiple regressions in which adolescents' prejudice, stereotyping, and intolerance scores were individually regressed on both parents' scores entered separately, as well as the three control variables. Through these analyses, we were able to determine the relative strengths of each parent's influence. We also conducted a variety of additional regression models to determine the robustness of our findings. Not shown are the correlations between mothers' and fathers' prejudices and stereotypes. With one exception they were negligible. There was a statistically significant correlation between mothers' and fathers' prejudices against homosexuals (r = .33). The correlations for their racial (r = .19), HIV/AIDS (r = .13), and fat prejudices (r = .06) and for their male (r = -.02) and female (r = .10) stereotyping were nonsignificant. As can be seen in Table 3, the regression analyses showed significant positive betas for the mother or the father in every domain. Findings for prejudices and gender stereotyping are highly consistent with the differential effects model. The pattern of influence was different for the father than for the mother; only one parent had a significant influence for each domain. For example, the mothers' beta for race prejudice was .25 (p < .01), while the fathers' beta (.03) was not significant. Thus, the adolescent's race prejudice increased as his/her mother's race prejudice increased. However, the adolescent's race prejudice did not vary systematically with her/his father's race prejudice. Mother's attitude had a significant influence on her adolescent's race, HIV/AIDS, and fat prejudice. Whereas father's attitude had a significant influence on his adolescent's male and female stereotyping and homosexual prejudice. It should be pointed out, however, that in the domain of male stereotyping, the betas for mothers and fathers were not very different. The explanatory power of mothers' and fathers' prejudices/stereotyping and the controls varied markedly across the domains, as indicated by the adjusted R^sup 2^s. For example, the model accounted for only 3% of the variation in adolescents' HIV/AIDS prejudice, but 21% of the variation in the adolescents' female stereotyping. Note that the betas for the parent who is having an influence on his/her adolescent did not vary as greatly as the R^sup 2^s, suggesting that the effect of the controls had more to do with the variation in R^sup 2^s than the effect of the parents' prejudice. Of course, one cannot exactly determine the contribution of specific predictors to the R^sup 2^ in regression. These findings are robust to the collinearity between mothers' and fathers' prejudices. To insure that the correlation between mothers' and fathers' prejudices did not mask the effects of one or both parents' influences on their adolescent's prejudices, we compared our results with those from models that included only one parent's prejudice scores (not shown). The Betas from these models were similar to those observed in Table 3.



The same-sex model predicts that mothers will affect their daughters' attitudes while fathers will affect their sons'. We tested these predictions using regressions by examining whether adolescents' gender interacts with mothers' and with fathers' prejudice and stereotyping. Thus, we had a regression equation with two additional interaction terms (results not shown) for each result presented in Table 3. Our procedure of analysis treated a result in Table 3 and its counterpart with the interaction terms as competing models of parental influence. The additive equations used in Table 3 treat the effects of mothers' and of fathers' prejudices as the same on both sons and daughters. The interaction versions of these equations allow the effects of each parent to be different for sons than for daughters. Generally, following the principle of parsimony, if competing models explain equally well, the more parsimonious model is preferred. Therefore, to accept the interaction version over its additive counterpart requires that the interaction model fit the data appreciably better. We used an increment to R^sup 2^ test (Cohen & Cohen, 1983, p. 145) to determine if an interaction model offered a better fit of the data, i.e., had more explanatory power than its additive counterpart. For each domain, the difference in R^sup 2^ was not statistically significant. Thus, our tests do not support the idea that mothers affect daughters and fathers affect sons. Rather, our analysis supports the idea that mothers and fathers influence their child's prejudices irrespective of the child's gender. However, even though our sample size appreciably exceeds those in the literature cited above, we caution that the statistical power of our tests is modest due to our sample size. Two domains, racial and HIV/ AIDS prejudices, had notable nominal differences in R^sup 2^-.045 and .062, respectively-higher R^sup 2^s for their interaction than for their additive model counterparts. In both domains, only mothers' prejudices had an effect, but only on their daughters' prejudices. Thus, for these two domains, it may be that the effects of mothers' prejudices on adolescents' prejudice shown in Table 3 result only from the effects of mother's prejudices on her adolescent daughter's prejudices. A special case of the Differential Effects Model may pertain to these two domains. Intolerance The intergenerational effects of parents' more general value of intolerance on that of their children is different from the parents' effects on their children's prejudices and stereotyping. This can be seen in Table 3. Fathers' intolerance, not mothers', shows a statistically significant effect on the intolerance of their child. However, the coefficient for mothers' effect was in the expected direction and only slightly smaller than the coefficient for fathers' affect. Also, this finding was not robust to collinearity between mothers' and fathers' intolerance. The correlation between fathers' and mothers' intolerance, while modest (.22), is significant; additionally, mother's intolerance had a statistically significant effect on her child's intolerance when father's intolerance was not controlled; that is, father's intolerance was omitted from the equation (not shown). Thus, both mother and father affect their child's intolerance very similarly, but there is a tendency for more intolerant mothers to be married to the more intolerant fathers, which masks mothers' effect on their child. Although complex, these findings indicate that the parent equivalent model accurately describes the intolerance findings. However, when we tested for the separate effects of each parent's intolerance on their sons versus their daughters, the findings do not allow us to confidently rule out the Same-Sex model. As with the statistical models dealing with prejudice and stereotyping, the increment to R^sup 2^ test did not reach statistical significance for the difference in R^sup 2^ between the additive model of adolescent intolerance presented in Table 2 and an interaction model with terms for child's gender and mothers' and fathers' intolerance. Again, the power of this test was very modest and while the increment to R^sup 2^ was not statistically significant, there was a notable nominal improvement in R^sup 2^ (.03) with the interaction model. The interaction model (not shown) revealed statistically significant effects for both mothers' and fathers' intolerance-mothers' intolerance affects only their daughter's intolerance and fathers' intolerance affects only their son's intolerance.



Finally, we note that parental effects on adolescents' prejudices, stereotyping, and intolerance were modest. Betas did not exceed .27 for the statistical models presented in Table 3. As one would expect, the unstandardized coefficients for the interaction models mentioned above were somewhat larger where a mother affects her daughter, and a father, his son, than those for their additive counterparts where mother or father affect their child regardless of the child's gender. Nevertheless, the influence of the parent(s) in the interactive models is still modest. DISCUSSION Through confirmatory factor analysis we showed that there is a general factor, intolerance, that underlies a variety of targets of prejudice as well as sex-role stereotyping. Of the three models presented that deal with parental transmission of prejudice and stereotyping, there was support for the differential effects model-race, HIV/AIDS, and prejudice against fat people were affected by mothers' but not fathers' prejudice, but homosexual prejudice and male and female sex-role stereotyping were affected by fathers, but not mothers. However, for race and HIV/AIDS prejudice, it may be that mothers affect their daughters' but not sons' prejudices. For intolerance, on the other hand, the parent equivalent model was supported. However, we could not exclude the same-sex model, with mothers affecting their daughter's but not son's intolerance, and fathers affecting their son's but not daughter's intolerance. It should be pointed out that in all cases, the effects of parents on adolescents' prejudice, stereotyping, and intolerance were modest. Our results strongly support the methodological concerns previously noted. In order to study the effects parents have on their children's prejudice, stereotyping, and intolerance it is necessary to use a variety of attitudinal domains and to assess both parents. Additionally, we found that the mother-father correlations for each of these domains was negligible to modest. Thus it is inappropriate to assume that one parent's attitudes is a proxy for both. For example, research that includes just one parent would not find a parental influence in those domains in which the measured parent is not the one with influence. We assume that these conclusions have more widespread implications than only for the intergenerational transmission of attitudes. Turning now to the differential effects model for the prejudice and stereotyping domains, the patterns of influence for the father and the mother are revealing. The father had a significant influence for homosexual prejudice and female and male stereotyping. The mother had a significant influence on the adolescents' race, HIV/AIDS, and fat prejudices. Prior literature does not provide much insight into the differing patterns of influence between mother and father. The greater influence of mothers for race, HIV/AIDS, and fat prejudice may reflect a closer bond between mother and child than between father and child. Adolescents spend more time in general and more quality time with their mothers than with their fathers (Fallon & Bowles, 1997). They are more likely to rely on their mothers than fathers for decisions, and overall have a better relationship with their mothers (National Center on Addiction and Substance Abuse, 1999; Holmbeck et al., 1995). Since adolescents have been found to talk with their mothers more often about such issues as substance abuse, perhaps they are more likely to talk with them about other health-related issues such as obesity and HIV/AIDS. Since adolescents have more opportunity to talk with their mothers than with their fathers about all issues, this probably includes talk about race prejudice. The greater influence of fathers for female and male sex-role stereotyping and homosexual prejudice suggests that fathers feel a larger responsibility than do mothers for communicating values surrounding issues of sexual identity. Other research has found that fathers are more likely than mothers to influence sex-role behavior and stereotyping (Fishbein, 2002). Fishbein speculates that fathers, as members of the dominant group, have a larger stake in upholding the sex-typed norms than do mothers. These explanations for the differing patterns of maternal and paternal influence suggest that mothers are, in effect, the default influence on prejudice, but fathers become



more ascendant in domains that are of central importance to them. There is a partial alternative explanation to the above. Perhaps mothers have a specialized interest in race, HIV/AIDS, and fat prejudice. Previous literature indicates that women place greater importance on their own body image than do males (e.g., McKinley, 1998; Polce-Lynch, Myers, Kilmartin, Forssmann-Falck, & Kliewer, 1998). Perhaps this concern influences the importance they place on prejudice against fat people. As noted above, mothers have a greater concern than do fathers in the realm of substance abuse. This health concern might extend to HIV/AIDS. We are not aware, however, of any special concern that mothers, as opposed to fathers, have for race prejudice. What about intolerance? Here the parent equivalent model was supported, and not the differential effects model. The most likely explanation is rooted in the fact that intolerance is a value whereas the domains of prejudice and stereotyping are attitudes; intolerance is more general or abstract. As noted in the Introduction, parents have been found to have a substantial influence on broad value systems such as political party affiliation and religious identification and values. Although the correlation between parents for intolerance was small, parents do tend to support each other's values in this area. Further, intolerance may have links to religious values, which parents generally have good agreement about. Thus, it is not surprising that the parent equivalent model was supported for intolerance. Limitations Since all of the participants were Catholic Whites from two-parent homes, results may apply only to this portion of the population, although it is a substantial portion of the United States population. Ideally, we would have included ethnicity and religion as study variables, but due to the severely limited sample size of other ethnic and religious groups in the schools to which we had access, this was not possible. Previous research on prejudice that has included other ethnic and religious groups has traditionally focused on race prejudice or sex-role stereotyping. A future study that includes various domains of prejudice and two or more ethnic and religious groups would be interesting and valuable. A second limitation pertaining to the generalizability of the sample is the lack of several different types of families. We restricted the sample to two-parent families because of our interest in the relative influence of mothers and fathers. Therefore, no other composition of families was included. Future research should compare the findings of this study with those of families with other compositions. For example it would be important to know whether stepparents or divorced parents have any influence on their adolescent's prejudice. A third limitation is the absence of the role of moderator variables, such as the congruence of parents' attitudes toward each other and the impact of authoritative parenting on parental influences. We carried out separate analyses using these two variables in interactive multiple regression models and found no significant effects. However, due to our relatively small sample size, the power of these analyses was weak and hence we did not report these findings. Future research should use larger samples as well as other potential moderating variables in order to determine the robustness of our findings. Additionally, a larger sample size might allow a more definitive conclusion to be drawn about the same-sex model's applicability to the inter-generational transmission of intolerance, where our results were highly suggestive, but not conclusive statistically.



Qualitative Research on Prejudice Central topics and challenges for current social research on prejudice and discrimination are outlined and discussed with special regard to how such research may benefit from a stronger focus on qualitative and mixed methods perspectives. Such a methodological approach is described as particularly fruitful in dealing with the contextsensitive flexibility and fragmentation of prejudiced behavior; the special role of ideological patterns of justification in such expressions of prejudice; and the normative character and reflexivity of prejudice research itself. The contributions to this issue are then presented against the backdrop of this theoretical and methodological framework. The discrimination and persecution of minority groups on the basis of stereotypical patterns of perception is still a highly relevant and prevailing problem in modern societies. Recent incidents such as the mass murder committed by Anders Breivik in Norway, the violent attacks against Romani people in the Czech Republic, anti-Semitic hate speech against intellectuals in Hungary, or the serial killing of immigrants by the right wing terrorist group Nationalsozialistischer Untergrund (National Socialist Underground) in Germany point to the urgent necessity of interdisciplinary research on prejudice and stereotyping. But the social issue of prejudiced behavior is not limited to fierce and open antipathy or violent hate crimes. Research must also face the challenge of coping with elusive and latent forms of prejudice that occur in a variety of different guises in complex sociopolitical contexts. Such contexts constitute the ideological framework in which more violent expressions of prejudice and discrimination are embedded. In conceptualizing for example subtle racism (Pettigrew and Meertens 1995), benevolent sexism (Glick and Fiske 2012; Jackman 1996), and institutional discrimination (Pager and Shepherd 2008), research has acknowledged "the inadequacy of defining prejudice solely as an antipathy" (Dovidio et al. 2005, 11). This concentration on the flexible, less easily defined expressions of prejudice and their embedment in everyday interaction coincides with a critical reassessment of two other "foundational assumptions of the prejudice problematic, notably its individualistic orientation and its assumptions about the role played by cognitive irrationality" (Dixon and Levine 2012, 3). The problem of individualism has been criticized as an "over-psychologization" (Billig 1991, 126) of the phenomenon in question and an indicator of disregard for prejudice as a social issue with fluid boundaries towards broader topics such as social inequality, nationalism, and ethnicity. The psychological monopoly on the notion of prejudice is thus criticized for misconstruing prejudice as "a personal pathology, a failure of innerdirected empathy and intellect, rather than a social pathology, shaped by power relations and the conflicting vested interests of groups" (Wetherell 2012, 165). Even though most of today's psychologicalprejudice research has acknowledged the situated and contextual character of prejudiced action, an integrated theory of social and psychological aspects of prejudice is still under development and is often hindered by rigid disciplinary cultures and boundaries. The criticism of an overly individualistic perspective on prejudice is closely connected to the question of the putative irrationality or falseness of stereotypes: The limits of the "classical" Allportian criterion of prejudice as based on "faulty and inflexible generalization [s]" (Allport [1954] 1979, 9) have been extensively discussed by authors who attempted to develop a more differentiated view on the propositional content of prejudiced expressions (Jussim et al. 2009; Wetherell and Potter 1992, 67 ff.). Proponents of "Rhetorical Psychology" have argued that the falseness of prejudice talk is not of a propositional but rather of a rhetorical or performative and ultimately normative nature (Billig 1991, 38-39). Although it cannot be denied that ignorance, false beliefs, and bigotry are important sources of discrimination, many instances of prejudice occur in the gray areas of normative rhetoric, which is typically concerned with what ought to be, not what can be settled by mere facts. This perspective has led many researchers in the field to reflexively reconsider their normative stance and the part they play in the rhetorical "game" of talk about prejudice and its (scientific) critique (Wetherell 2012, 176; Dixon et al. 2012).



But since egalitarian and anti-prejudice norms have - at least officially - become an established and widely accepted normative standard in most democratic societies, reflexivity is today a feature not only of prejudiceresearch but also of much of today's prejudice itself: An important feature of contemporary prejudiced action is often a contradictory, sometimes paradoxical, self-awareness by which justifications of prejudiced or discriminatory speech become an integral part of prejudiced rhetoric. Today a substantial portion of infractions of equality norms are not explicitly directed against equality, they rather present themselves as readings of egalitarian norms: Where "traditional" overt racism claims the natural inferiority of respective out-groups, modern racism seeks to legitimize its position by tropes of diversity and fairness; where "traditional" homophobia marks LGBT sexual orientations as pathological and immoral, its modern expressions present themselves as an egalitarian defense of traditional lifestyles. Thus, as Margaret Wetherell points out with regard to the analysis of racist discourse, "an important part of anti-racist practice is identifying the forms legitimation takes, and charting also the fragmented and dilemmatic nature of everyday discourse, because it is at those points of fracture and contradiction that there is scope for change and the redirection of argument" (Wetherell 2012, 176). The theoretical focus shift from prejudice as an individual attribute to prejudice as a social, context-embedded phenomenon that increasingly employs an ideologically reflexive rhetoric is strongly connected to methodological questions about empirical research into stereotyping and prejudice. In the wake of linguistic, cultural, and practical turns in the social sciences, qualitative research methods have long since become an integral part of prejudice research and have initiated considerable development in our understanding of stereotyping, prejudice, and discrimination. More strongly than the predominant quantitative methodology ofprejudice research, qualitative research is focused on prejudice as a variety of often ambivalent, fragmented, and particularly context-related phenomena. This focus section aims to fill a specific gap in the research literature on prejudice, stereotyping, and discrimination: While the methodological and methodical chapters in recent handbooks on prejudice almost exclusively deal with quantitative methods (Dovidio et al. 2010; Nelson 2009; Petersen and Six 2008), handbooks and monographs on qualitative methods show hardly any interest in the topic of prejudice. The present focus section seeks to add to this particular area of research by highlighting the specific potential and contributions of qualitative studies in prejudice research. However, the strengths of qualitative methods in reconstructing the interpretative repertoires (Wetherell and Potter 1992), rhetorical functions, and context specific flexibilities of prejudice should not be played off against standardized research methods. Recent debates about the relation between qualitative and quantitative methods have made clear that attempts to strictly separate qualitative and quantitative methodological paradigms are based on very shaky methodological foundations (Kelle 2008; Teddlie and Tashakkori 2009) and serve to constrain rather than foster critical and innovative social research. Furthermore, like quantitative research, qualitative approaches also exhibit weak points of their own and can profit from a quantitative perspective just as much as vice versa. Just as efforts to theoretically advance prejudice research clearly benefit from a crossing of disciplinary divides between psychological, sociological, historical and other approaches, the answer to the accompanying methodological questions can be neither strictly qualitative nor strictly quantitative. Instead, from a perspective of method triangulation, research designs in which qualitative and quantitative methods show "complementary strengths and non-overlapping weaknesses" (Johnson and Turner, quoted in Kelle 2008, 47) may advance prejudice research to a considerable degree. The introductory remarks above have outlined three major topics for "qualitative research on prejudice:" * the context-sensitive flexibility and fragmentation of prejudiced behavior; * its normative ambivalence with regard to egalitarian norms and the special role of the ideological patterns of justification emerging from it; and * methodological considerations concerning the strengths and weaknesses of qualitative and quantitative research methods and the normative character of prejudice research itself.



The contributions presented in this focus section deal with these aspects of prejudice research in various ways, highlighting the specific strengths of qualitative perspectives and multi-method approaches. Peter Martin's contribution shows that when anti-racism becomes a generally accepted cultural and societal norm, racialized practices of discrimination and identity construction may take on ambivalent and reflexive forms. Martin seeks to accommodate those new forms of racial prejudice through the concept of "differentialist racism," a form of out-group construction that relies mainly on rigid cultural distinctions while presenting itself as anti-racist. In his mixed-methods design, Martin initially shows how participants in a standardized survey of London residents simultaneously endorse anti-racism and differentialism. For this purpose, he uses a newly developed scale for everyday differentialism. In the second step, qualitative interviews conducted with members of a subsample from the survey show how the interview partners reconcile contradictory racist and anti-racist orientations. Martin argues for a mixed-methods approach and discusses strengths and weaknesses of qualitative and quantitative approaches towards prejudice: By employing and combining qualitative and quantitative methods, patterns of ambivalent prejudice can be extensively described and their prevalence in a certain population can be statistically estimated. Additionally, qualitative and quantitative methods proved to be productive for cross-validating the operationalization of differentialist racism. Jessica Walton, Naomi Priest, and Yin Paradies focus on lay conceptions of prejudice, a topic rarely addressed in current research, and seek to close this gap by drawing on cognitive interviews and focus groups. The data show that while manifest racism is predominantly conceived as offensive, strongly emotional, and violent, more subtle or even benevolent forms of racialized discrimination or stereotyping are often not recognized as problematic. Furthermore, participants' assessments of whether an utterance can be seen as racist speech focused on the assumed intentions of speakers, on the relation between speaker and addressees, and on the potential for direct offense. Racialized discourse is thus rated acceptable if it is uttered in a familiar social environment with no obvious intent of harming anybody and if it does not directly offend persons present. These results can also be differentiated with regard to the participants' class and social status: Interviewees with a working class background were more likely to regard racialized talk as non-racist if it was uttered in informal talk among friends (joking, etc.) or if it did not directly (physically) harm anyone. Benefits of the triangulation of data from focus groups and cognitive interviews are discussed with regard to their complementary character: While interviews were used to investigate individual understandings of examples of racialized talk, focus groups centered on the most consensual and common aspects of lay theorizing. Felix Knappertsbusch discusses the limits of current conceptualizations of antiAmericanism and in the process deals with the general problem of conceptualizing prejudice and operationalizing such concepts for empirical research. Typical attempts at deriving nominal definitions by naming core criteria often cause serious difficulties for empirical researchers, who must decide whether such criteria are met in the data. Furthermore, such definitions also display theoretical deficits since they often fail to account for the great variety and variability of anti- American utterances. Finally, this approach does not pay enough attention to the importance of the social and ideological context of prejudiced speech. To address these problems, Knappertsbusch proposes a practice theoretical turn in the conceptualization of anti- Americanism: Instead of searching for a "true essence" of anti- Americanism, empirical research should treat such prejudice as an open network of speech acts bound by family resemblances rather than by overarching criteria of identity. In this way, researchers are relieved of the insurmountable task of looking for a minimal set of criteria for, or a common denominator of, anti- Americanism. An adequate theoretical analysis and understanding of anti- American speech which considers its "situated use" and context-dependence requires its in vivo study through a close investigation of empirical instances. Adopting such a performative perspective, Knappertsbusch uses qualitative interviews to analyze the interplay between different conceptions of America in their situated use. In this way, different forms of "use in context" of



anti- American utterances are described where seemingly paradoxical strategies of stereotyping help to preserve and stabilize nationalist identity constructions. E. Rosemary McKeever, Richard Reed, Samuel Pehrson, Lesley Storey, and J. Christopher Cohrs investigated discursive means of legitimizing violence against (immigrant) minority groups. Within the theoretical framework of discourse analysis and rhetorical psychology, they provide an account of how violent attacks on a Belfast immigrant community are legitimized through the dehumanization of the target group and its construal as a threat to the racial-national in-group. The authors provide an exemplary analysis of a leaflet circulated in the loyalist Donegall Pass area of Belfast demanding the removal of the Chinese population. From a practice theoretical perspective, two main discursive effects can be reconstructed within the pamphlet: A "communityfocused discourse" serves to naturalize the ethnic and cultural boundaries between the in-group and the Chinese minority and marks the latter as morally inferior. A "martial discourse" then constructs the scenario of an immigrant threat to the local community and legitimizes violent action against minority members as a defensive strategy. This aggressive out-group construction is then discussed in relation to the corresponding in-group construction: The discursive strategy of the leaflet is shown to draw on fears that continually resonate in the history of loyalist culture. Vera King, Hans-Christoph Koller, and Janina Zölch address the victim perspective with regard to stereotyping and discrimination: What are the psychological and social consequences of being a target of prejudice, stigmatization and discriminatory practices? Their research focuses on Turkish families in Germany, who often experience a somewhat paradoxical life situation between mobility and immobility: Having covered huge geographical distances to start a new life, they find themselves trapped in highly segregated residential quarters and in a situation with rather limited prospects for social advancement. Under these circumstances, parents often develop great hopes and high aspirations concerning their children's success in the German educational system. However, their offspring may experience serious difficulties there - even children and adolescents who never migrated themselves are frequently treated as immigrants due to their families' ethnic background. Discrimination in schools and a lack of familiarity with dominant cultural codes impacts the educational careers of young Turks and may lead to disappointment, feelings of shame and guilt, and severe tension within families. To develop a better understanding of the coping strategies employed to deal with these problems, narrative interviews were conducted with young males and their parents. Koller and colleagues found that the strategies developed by families to cope with discrimination and marginalization are handed down to subsequent generations in remarkably different ways. Two types of dealing with marginalization are presented in detail: Parents may desperately strive to escape marginalization through perfect ("hyper"-)integration and thereby deny experiences of discrimination and conceal the resulting hardships and aggressions. As a consequence, children may display unfocused and explosive forms of rebellion at school which endanger their educational accomplishments. A contrasting case study presents parents who were allowed to talk freely about experiences of powerlessness and distress related to their marginalized situation as migrants. This openness also helped them to develop role models as active citizens who proactively work for the betterment of their situation. Oliver Decker, Katharina Rome, Marliese Weissmann, Johannes Kiess, and Elmar Brähler center their article on social psychological mechanisms which bring about the statistical correlation between right-wing orientations and economic disintegration. With their qualitative research, they follow up on a survey on right-wing extremism in Germany in which the well-known association of right-wing attitudes on the one hand and social and economic deprivation on the other hand was replicated. Quantitative and qualitative methods are integrated in a sequential mixed-methods design to understand and explain this statistical correlation through a psychoanalytically oriented analysis of focus group discussions. Interpreting data from those discussions, the authors conclude that the narcissistic trauma of German national identity caused by the Second World War was relieved and covered by the economic prosperity of the immediate post-war era. If, however, this "narcissistic filling" is removed, as is the case during the current recession, the economically deprived return to



their traditional means of restoring feelings of national strength and unity by ostracizing and blaming migrants and other supposedly harmful groups. Thus, by drawing on a mixedmethods design, the authors were able to interpret and explain findings from a quantitative study and develop a detailed and historically situated account of how deprivation and rightwing extremist attitudes are functionally connected in everyday discourse. Bjoern Milbradt's contribution deals with the syndrome character of prejudice from an epistemologica! and language theoretical perspective. He criticizes the traditional and still predominant psychological concept of stereotyping and prejudice as "inner states," offering instead a speech-acttheoretical approach. This perspective is developed along the lines of the Frankfurt School of critical theory as well as the rhetorical psychology of Michael Billig. In Milbradt's reading of the Dialectic of Enlightenment and the Authoritarian Personality, the notions of ticket-thinking and stereotyping are used as a theoretical framework to understand and depict a certain disintegration of the linguistic means of perception taking place in modern capitalist societies. However, language simultaneously offers the potential for emancipation through individual reference to particular objects and for coercion through their inflexible categorization. Consequently, the ability to reflect on this double potential is the precondition of free and flexible (and therefore accurate) perception. Stereotyping is defined as the loss of this reflexive ability, which results in perception becoming a mere "propaganda trial" in which any object is subjected to a preconceived judgment. This mechanism of "rigid notions" is carved out as the overarching feature leading to a syndrome-like coherence of different forms ofprejudice. Using excerpts from Norwegian mass-murderer Anders Behring Breivik's manifesto, Milbradt exemplifies such a reified and essentially imperceptive mode of speaking, in which every object is rigidly subsumed under the schemata of an overall world view. In this paper, qualitative methods of social research are discussed for their potential to reconstruct the different forms and expressions which such stereotypical language may take. As can be seen from the summaries given above, this focus section displays the wide theoretical and methodological diversity of current qualitative research on prejudice, which is nevertheless bound together by certain leitmotifs. Results from qualitative research in this field demonstrate, on the one hand, limits of quantitative monomethod research as well as of social psychological concepts like "attitude" or "stereotype." On the other hand, the contributions do not dismiss quantitative approaches, but rather stress their benefits. Although the focus section lays strong emphasis on qualitative methods, it also reflects current trends in social research to bridge the gap between methodological paradigms and to address research problems without reinforcing established disciplinary and methodological divides. Whilst surveys are able to tell us more about tendencies in the dissemination of attitudes, a closer examination of interviews or focus groups may tell us more about ambivalences of prejudice (cf. Martin in this issue) as well as of the discursive relation of a phenomenon that remains relatively unclear if it is solely researched in a quantitative paradigm (cf. Decker et al. in this issue). In the process of such an examination, both qualitative and quantitative approaches have to cope with the "systematic ambiguity" (Winch 2008 [1958], 25) of meaningful social action. This ambiguity cannot be dissolved by applying nominal definitions to the object of our research (cf. Knappertsbusch in this issue). That is, if we take seriously the linguistic turn and its epistemologica! consequences, we cannot reasonably speak of the prejudice or the stereotype (Milbradt) without methodically taking into account the flexibility of their situated expression. Standardization and nominal definitions are one way to cope with those challenges, but they have certain shortcomings that must be critically reflected. One possibility to foster such reflection is the use of mixed methods designs: The use of methods of survey research, experiments, interviews, focus groups, or ethnographic fieldwork should not be regarded as a mere consequence of the fact that researchers are rooted in mutually exclusive paradigms. Rather, these approaches can be seen as different but complementary expressions of the common theoretical goal of deepening our understanding of the phenomena in question. In accommodating recent efforts of social psychology to take into account ambivalences as well as situational factors and sociopolitical contexts, current research on stereotyping,prejudice, and discrimination intensifies its efforts to arrive at an interdisciplinary research program that deals with various



forms of social practices rather than with solely individual or mental phenomena. Thus, the handing down of experiences of stigmatization and discrimination between generations (cf. King et al. in this issue), the legitimization of racist violence (cf. McKeever et al. in this issue) and the situational development of acceptance or rejection of racist discourse (cf. Walton et al. in this issue) shed light on the necessity of developing an interdisciplinary research framework that does not level down the strengths of different approaches, but joins them together in a productive collaborative effort. References References Allport, Gordon W. [1952] 1979. The Nature of Prejudice. Reading, MA: Addison Wesley. Billig, Michael. 2012. The Notion of "Prejudice": Some Rhetorical and Ideological Aspects. In Beyond Prejudice: Extending the Social Psychology of Conflict, Inequality, and Social Change, ed. John Dixon and Mark Levine, 139-57. Cambridge: Cambridge University Press. Billig, Michael. 1991. Ideology and Opinions: Studies in Rhetorical Psychology. London: Sage. Decker, Oliver, Katharina Rothe, Marliese Weissmann, Johannes Kiess, and Elmar Brähler. 2013. Economic Prosperity as "Narcissistic Filling": A Missing Link Between Political Attitudes and Right-wing Authoritarianism. International Journal of Conflict and Violence 7 ( 1): 104-18. Dovidio, John R, Miles Hewstone, Peter Glick, and Victoria M. Esses, eds. 2010. The Sage Handbook ofPrejudice, Stereotyping and Discrimination. Los Angeles et al.: Sage. Dovidio, John F., Peter Glick, and Laurie Rudman. 2005. Introduction: Reflecting on The Nature of Prejudice: Fifty Years after Allport. In On the Nature of Prejudice: Fifty Years after Allport, ed. John F. Dovidio, Laurie Rudman, and Peter Glick, eds.), 1-15. Maiden, MA: Blackwell. Dixon, John, and Mark Levine. 2012. Beyond Prejudice. Cambridge et al.: Cambridge University Press. Dixon, J., M. Levine, S. Reicher, and K. Durrheim. 2012. Beyond Prejudice: Are Negative Evaluations the Problem and Is Getting Us to Like One Another More the Solution? Behavioral and Brain Sdences 35:41 1-66. Glick, Peter, and Susan T. Fiske. 2012. An Ambivalent Alliance: Hostile and Benevolent Sexism as Complimentary Justifications for Gender Inequality. In Beyond Prejudice, ed. John Dixon and Mark Levine, 70-88. Cambridge et al.: Cambridge University Press. Jackman, Mary R. 1996. The Velvet Glove: Paternalism and Conflict in Gender, Class, and Race Relations. Berkeley: University of California Press. Jussim, Lee, Thomas R. Cain, Jarret T. Crawford, Kent Harber, and Florette Cohen. 2009. The Unbearable Accuracy of Stereotypes. In Handbook of Prejudice, Stereotyping and Discrimination, ed. Todd D. Nelson, 199-227. New York et al.: Psychology Press. Kelle, Udo. 2008. Die Integration qualitativer und quantitativer Methoden in der empirischen Sozialforschung: Theoretische Grundlagen und methodologische Konzepte. Wiesbaden: VS. King, Vera, Hans-Christoph Koller, and Janina Zölch. 2013. Dealing with Discrimination and the Struggle for Social Advancement in Migrant Families: Theoretical and Methodological Aspects of a Study on Adolescent Generational Dynamics in Turkish Migrant Families Subjected to Marginalization. International Journal of Conflict and Violence 7(1): 1 36-46. Knappertsbusch, Felix. 2013. The Meaning of Anti- Americanism: A Performative Approach to Anti- AmericanPrejudice. International Journal of Conflict and Violence 7(1): 74-90. Martin, Peter. 2013. Racism, Differentialism, and Antiracism in Everyday Ideology: A MixedMethods Study in Britain. International Journal of Conflict and Violence 7(1): 119-35. McKeever, E. Rosemary, Richard Reed, Samuel Pehrson, Lesley Storey, and J. Christopher Cohrs. 2013. How Racist Violence Becomes a Virtue: An Application of Discourse Analysis. International Journal of Conflict and Violence 7 (1): 91-103. Milbradt, Bjoern. 2013. "I Am First and Foremost a Man of Logic" - Stereotyping, the Syndrome Character ofPrejudice, and a Glance at Anders Breivik's Manifesto. International Journal of Conflict and Violence 7(1): 150-63.



Nelson, Todd D, ed. 2009. Handbook of Prejudice, Stereotyping, and Discrimination. New York: Psychology Press. Petersen, Lars-Eric, and Bernd Six, eds. 2008. Stereotype, Vorurteile und soziale Diskriminierung: Theorien, Befunde und Interventionen. Weinheim: Beltz PVU. Pager, Devah, and Hana Shepherd. 2008. The Sociology of Discrimination: Racial Discrimination in Employment, I lousing, Credit, and Consumer Markets. Annual Review of Sociology 34 (1): 181-209. Pettigrew, Thomas F., and Roel W. Meertens. 1995. Subtle and Blatant Prejudice in Western Europe. EuropeanJournal of Social Psychology 25:57-75. Rudman, Laurie A. 2005: Rejection of Women? Beyond Prejudice as Antipathy. In On the Nature of Prejudice. Fifty Years after Allport, ed. John F. Dovidio, Laurie Rudman, anf Peter Glick, 106-20. Maiden, MA: Blackwell. Teddlie, Charles, and Abbas Tashakkori. 2009. Foundations of Mixed Methods Research: Integrating Quantitative and Qualitative Approaches in the Social and Behavioral Sciences. Los Angeles: Sage. Walton, Jessica, Naomi Priest, and Yin Paradies. 2013. "It Depends How You're Saying It": The Complexities of Everyday Racism. International Journal of Conflict and Violence! (1): 57-73. Wetherell, Margaret. 2012. The Prejudice Problematic. In Beyond Prejudice: Extending the Social Psychology of Conflict, Inequality, and Sodai Change, ed. John Dixon and Mark Levine, 158-78. Cambridge: Cambridge University Press. Wetherell, Margaret, and Jonathan Potter. 1992. Mapping the Language of Racism: Discourse and the Legitimization of Exploitation. New York: Harvester Wheatsheaf. AuthorAffiliation Felix Knappertsbusch, Department of Sociology, Justus Liebig University, Giessen, Germany Björn Milbradt, Institute of Social Work and Social Welfare, University of Kassel, Germany Udo Kelle, Faculty of Humanities and Social Sciences, Helmut Schmidt University Hamburg, Germany AuthorAffiliation Felix Knappertsbusch [email protected] Bjoern Milbradt bjoernmilbradt@uni-l l.de Udo Kelle [email protected] Word count: 4209 Copyright International Journal of Conflict and Violence 2013



DAFTAR PUSTAKA



Baron, Byrne. 2003. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga Baumeister, Roy F dan Bushman, Brad J. 2008. Social Psychology Human Nature. California: Thomson Wadsworth. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Departemen Pendidikan Nasional Lynne M. Jackson. Region, Meaning and Prejudice.Bruce Hunsberger, Article first



Jurnal: http://search.proquest.com/docview/195943749/14218D3A68269BE3409/ http://search.proquest.com/docview/1412576598/14218D0582B242B396C/