Makalah Radang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PATOFISIOLOGI Pertemuan ke-1 Radang



Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisologi Dosen Mata Kuliah : dr. Rovika Trioclarise, M.K.M.



Disusun Oleh : KELOMPOK 1



1. Annisa Ikhlas Herawati 2. Mita Puspita Sari 3. Nuria Gayosi



NIM P3.73.34.2.18.006 NIM P3.73.34.2.18.020 NIM P3.73.34.2.18.023



DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK SEMESTER 2



POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III TAHUN AKADEMIK 2018/2019



KATA PENGANTAR Pertama-tama, kami ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Radang ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Adapun penyusunan makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna.Untuk itu, kami ucapkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat memberikan kritik dan sarannya kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada segala pihak yang tidak bisa disebutkan satu demi satu atas bantuan yang telah diberikan dalam penyusunan makalah ini. Bekasi, 9 Februari 2019



Kelompok 1



1



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................... i DAFTAR ISI …….......................................................................................................... ii D AF T AR I SI .. ... ... .. ... ... .. ... ... ... .. ... ... .. ... ... ... .. ... ... .. ... ... .. ... ... ... ..



... ... .. ... ... .. ... ... ... .. ..



BAB I



PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah …................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................... 2



BAB II



PEMBAHASAN 2.1 Definisi Radang ………......................................................................... 3 Fungsi 2.2 Peradngan..................................................................................... 3 2.3 Peran Peradangan ………...................................................................... 4 2.4 Etiologi/Penyebab Peradangan ….......................................................... 4 2.5 Tanda-Tanda/Gejala Klinis Radang ………………………………….. 4 2.6 Klasifikasi Radang …………………………………………………… 6 2.7 Mekanisme/Patofisiologi Radang …………………………………….. 7 2.8 Pengobatan …………………………………………………………… 9 2.9 Epidemiologi dan Pemeriksaan Penunjang …………………………... 10



BAB III



PENUTUP 3.1 Simpulan ................................................................................................. 14 3.2 Saran.......................................................................................................... 15



DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 18



2



3



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada suatu kecenderungan alamiah yang menganggap peradangan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan karena peradangan dapat menyebabkan keadaan yang menggelisahkan. Tetapi, peradangan sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan sebagai suatu sistem pertahanan yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan. Setiap orang pasti pernah mengalami luka, baik luka ringan maupun luka berat. Kita akan menemui banyak kasus luka. Sebelum kita melakukan perawatan luka pada pasien, sebaiknya kita mengetahui lebih dalam tentang peradangan dan penyembuhan luka. Peradangan dan penyembuhan luka merupakan dua hal yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi berbeda dalam prinsip, mekanisme kerja, dan fungsinya. Proses yang terlebih dahulu terjadi adalah peradangan karena peradangan merupakan salah satu fase yang harus dilewati sebelum terjadinya penyembuhan luka. Sebab-sebab peradangan banyak sekali dan beraneka ragam sehingga penting sekali untuk diketahui.Karena banyaknya keadaan yang mengakibatkan peradangan, maka pemahaman proses ini merupakan dasar bagi ilmu biologi dan kesehatan. Tanpa memahami proses ini orang tidak dapat memahami prinsipprinsip penyakit menular, pembedahan, penyembuhan luka, dan respon terhadap berbagai trauma atau prinip-prinsip bagaimana tubuh menanggulangi bencana kematian jaringan, seperti stoke, serangan jantung, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlunya kita mempelajari reaksi peradangan sebagai gejala umum.



1



1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Apakah yang dimaksud dengan radang? Bagaimana epidemiologi dari radang? Apa saja etiologi dari radang? Apa saja patofisilogi dari radang? Apa saja gejala klinis dari radang? Apa saja pemeriksaan penunjang radang? Apa saja pengobatan untuk radang?



1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. mengetahui pengertian dari radang, 2. mengetahui epidemiologi dari radang, 3. mengetahui etiologi dari radang, 4. mengetahui patofisiologi dari radang, 5. mengetahui gejala klinis dari radang, 6. mengetahui pemeriksaan penunjang radang, dan 7. mengetahui pengobatan untuk radang.



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Radang Radang (bahasa Inggris : Inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanisme dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar atau terinfeksi. Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotinin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi. Radang adalah suatu proses yang dinamis dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury (jejas) yang dilakukan terutama oleh pembuluh darah (vaskuler) dan jaringan ikat (connective tissue). Peradangan adalah bagian dari respon kekebalan tubuh. Ketika sesuatu yang berbahaya atau menjengkelkan memengaruhi bagian dari tubuh kita, ada respon biologis yang mencoba untuk menghapusnya dengan memunculkan tanda-tanda dan gejala peradangan, yaitu peradangan akut dan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh sedang berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Peradangan bukan merupakan infeksi, bahkan



infeksi dapat menyebabkan peradangan. Kalau



infeksidisebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur, sedangkan peradangan adalah respon tubuh untuk itu. 3



2.2



Fungsi Peradangan Adapun fungsi peradangan antara lain sebagai berikut. a. Menetralisasi dan membuang agen penyerang. b. Menghancurkan jaringannekrosis. c. Membantu mempersiapkan proses perbaikan dan pemulihan.



2.3 Peran Peradangan Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi antara lain sebagai berikut. a. Memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga. b. Menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi. c. Mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak. 2.4 Etiologi/Penyebab Peradangan Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai rangsangan antara lain sebagai berikut. a. Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) dan toksin bakteri. b. Nekrosis jaringan mendatangkan inflamasi tanpa memperhatikan penyebab dari kematian sel, proses iskemik akan menurunkan aliran darah (pada kasus myocard infark). c. Trauma atau cedera fisik dan trauma kimia (seperti cedera kebakaran atau kerusakan kulit akibat suhu ekstrim), radiasi (terpapar lingkungan kimia). d. Benda asing (serpihan, kotoran,sutura) yang mungkin menimbulkan inflamasi untuk dirinya sendiri atau karena cedera jaringan akibat trauma atau dari mikroba. e. Reaksi imunitas (juga disebut hipersensitivitas) dimana reaksi secara normal sistem imun melindungi dari kerusakan pada jaringan individunya sendiri. 2.5



Tanda-Tanda/Gejala Klinis Radang Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau.Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang 4



utama.Tanda-tanda radang ini (Tabel 1) masih digunakan hingga saat ini.Tandatanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan).Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).



a) Rubor (kemerahan) Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan.Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang menyuplai daerah-daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang, dengan cepat akan terisi oleh darah.Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau warna



kongesti, menyebabkan



merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada



permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia melalui pengeluaran zat seperti histamine. b) Kalor (panas) Kalor yang terjadi bersama dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut, sebenarnya adalah panas yang merupakan sifat dari reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh yang dalam keadaan normal lebih dingin



5



dari 37°C.Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 37°C) yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena



radang



lebih



banyak



dari



pada



yang



disalurkan



kedaerah



normal.Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh didalam tubuh karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37°C danhyperemia tidak menimbulkan perubahan. c) Dolor (rasa nyeri) Dolor dari reaksi peradangan dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya bahan pH lokal atau kongesti lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujungujung saraf.Pengeluaran zat kimia tertentu, seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya juga dapat merangsang sel-sel saraf.Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi juga dapat menimbulkan nyeri. d) Tumor (pembengkakan) Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal (tumor).Pembengkakan ditimbulkan oleh pengirim cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan-jaringan intestisial.Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun pada daerah peradangan disebut eksudat.Pada keadaan dini, reaksi peradangan sebagaian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan.Kemudian selsel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat. e) Functio Laesa Berdasarkan asal katanya,functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002).Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal, akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).



2.6 Klasifikasi Radang Berdasarkan waktu kejadiannya, radang diklasifikasikan menjadi radang akut dan radang kronik.



6



1. Radang akut a. Onset yang dini, dalam hitungan detik hingga menit. b. Proses berlangsung singkat, beberapa menit hingga beberapa hari. c. Gambaran utama eksudasi cairan dan protein plasma. d.



Emigrasi sel lekosit terutama netrofil.



2. Radang kronik a. Onset yang terjadi kemudian, dalam hitungan hari. b. Berlangsung lebih lama, dalam hitungan minggu hingga tahun. c. Ditandai adanya sel limfosit dan makrofag. d. Proliferasi pembuluh darah dan jaringan ikat. 2.7 Mekanisme/Patofisiologi Peradangan Apabila terjadi peradangan, maka agen penyebab radang dan kerusakan jaringan yang terjadi akan dilokalisasi dan dieliminasi dengan berbagai cara, diantaranya adalah melalui fagositosis oleh leukosit. Kondisi ini akan menyebabkan penyembuhan jaringan yang rusak di lokasi radang. Apabila terjadi kelambanan atau ketidakmampuan proses eliminasi agen penyebab radang tersebut, maka akan menyebabkan peradangan menjadi berlanjut dan proses penyembuhan akan terhambat. Aktivitas peradangan yang diselenggarakan oleh mediator inflamasi dimulai dengan dilatasi pembuluh darah arterial dan pembuluh darah kapiler setempat untuk menciptakan kondisi hiperemia. Setelah itu, akan terjadi kontraksi endotel dinding kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskular. Menurut Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI (1973), pembuluh darah kapiler yang sehat mempunyai permeabilitas yang terbatas, yaitu dapat dilalui oleh cairan dan larutan 7



garam, tetapi sulit untuk dialui larutan protein yang berupa koloid. Apabila pembuluh darah kapiler cedera akibat peradangan, maka dinding pembuluh darah kapiler menjadi lebih permeabel dan akan lebih mudah dilalui oleh larutan protein yang berupa koloid. Peningkatan permeabilitas tersebut menyebabkan peningkatan jumlah cairan yang keluar dari pembuluh darah kapiler. Cairan tersebut akan mengisi jaringan sekitar radang dan menyebabkan edema, sehingga akan terlihat gejala radang yaitu pembengkakan. Larutan protein (koloid) dapat dengan mudah keluar melalui dinding pembuluh darah kapiler yang cedera/rusak tersebut.Molekul protein awal yang keluar dari pembuluh darah adalah albumin, kemudian diikuti oleh molekul-molekul protein yang lebih besar (globulin dan fibrinogen). Kondisi ini menyebabkan cairan edema mempunyai kadar protein yang tinggi. Selain itu, terjadi perubahan pengaliran sel-sel darah putih di dalam pembuluh darah di daerah yang mengalami radang. Apabila dalam kondisi normal, sel-sel darah putih akan mengalir di tengah arus. Sedangkan dalam kondisi radang, sel-sel darah putih akan mengalami marginasi (mengalir mendekati dinding endotel). Sel-sel darah putih tersebut berperan dalam fagositosis agen penyebab radang, menghancurkan sel dan jaringan nekrotik, serta antigen asing. Pada saat kondisi radang, akan terjadi aktivitas pengiriman sel-sel darah putih dari lumen pembuluh darah ke daerah yang mengalami radang atau ke lokasi yang mengalami kerusakan jaringan. Tahapan dalam pengiriman sel-sel darah putih tersebut diantaranya adalah : 1. Sel-sel darah putih mengalir mendekati endotel pembuluh darah (marginasi). 2. Sel-sel darah putih mendarat pada dinding endotel pembuluh darah dengan cara menggelinding di sepanjang endotel (rolling). 3. Sel-sel darah putih berhenti dengan melekat pada reseptor di permukaan endotel (adhesi). 4. Sel-sel darah putih mengalami ekstravasasi/emigrasi (keluar dari dalam pembuluh darah) dengan cara menembus dinding endotel dan membran basal di bawah endotel. Keluarnya sel-sel darah putih terjadi secara diapedesis (melewati celah di antara endotel). 5. Sel-sel darah putih bermigrasi di jaringan interstisium, menuju ke pusat inflamasi karena adanya stimulus kemotaktik.



8



Mekanisme migrasi sel-sel darah putih keluar dari pembuluh darah dan menuju ke pusat inflamasi disebabkan oleh adanya bahan kemotaktik (mediator inflamasi, jaringan nekrotik, infeksi oleh mikroba, dan benda asing). Sel-sel darah putih (leukosit) yang berada di interstitium daerah radang akan bertindak sebagai sel-sel radang. Menurut Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI (1973), kemotaktik adalah



pergerakan



menuju



arah



tertentu



yang



disebabkan



oleh



zat-zat



kimia.Kemotaktik menyebabkan leukosit bergerak langsung menuju ke jaringan yang cedera/rusak.Sel-sel darah putih tertarik oleh zat-zat yang dilepaskan oleh bakteri (agen infeksi) dan zat-zat yang dilepaskan oleh jaringan yang cedera. Kemotaksis menyebabkan sel-sel darah putih menuju ke agen infeksi, sehingga akan terjadi fagositosis. 2.8 Pengobatan Obat anti inflamasi adalah obat untuk mengatasi peradangan, misalnya peradangan pada sendi, keseleo, sakit kepala, dan lain-lain.Contoh obat anti inflamasi adalah parasetamol dan ibuprofen.Obat anti inflamasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu steroid dan non-steroid. Perbedaan steroid dan non-steroid antara lain sebagai berikut. 1. Perbedaan yang pertama adalah tujuan digunakannya. Pada jenis steroid cenderung lebih dini untuk mencegah respon nyeri pada tubuh sehingga cocok untuk jenis trauma atau kerusakan lebih berat.Pada jenis nonsteroid sifatnya lebih dangkal dan cocok untuk jenis luka dan trauma yang lebih ringan. 2. Perbedaan yang kedua adalah mekanisme cara kerjanya. Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi non-steroid ini fokus pada penghambatan isoenzim COX-1 atau cyclooxygenase-1 dan COX-2 atau cyclooxygenase-2. Enzim ini berperan dalam mendorong proses pembentukan prostaglandin dan 9



tromboksan dari asam arakidonat. Prostaglandin merupakan molekul penting dalam proses mengantar pesan trauma menuju sensor otak dan saraf pada proses inflamasi (radang). Dengan mengasup NSAID, dapat meredakan rasa nyeri atau menjadi fungsi analgesik.Obat anti inflamasi non-steroid juga dapat bekerja sebagai anti piretik (untuk membantu mengatasi kenaikan suhu tubuh). Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi steroid menghambat enzim phospolipase A2 sehingga tidak akan terbentuk asam arakidonat, dengan begitu prostaglandin (COX-2) juga tidak akan terbentuk. Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur kimia tertentu yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh yang dikenal dengan senyawa kortikosteroid.Kortikosteroid sendiri berdasarkan aktifitasnya dibedakan menjadi glukotiroid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki peranan dalam metabolisme glukosa (kortisol atau hidrokortisol) sedangkan meineralokortikoid memiliki fungsi retensi garam. Dalam masyarakat obat-obatan ini sudah banyak dijual bebas contohnya antara lain deksametason, prednison, dan betametason. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.Obat anti inflamasi steroid dapat menyebabkan terhambatnya ATP sehingga pertumbuhan otot dapat terhambat. 2.9 Epidemiologi dan Pemeriksaan Penunjang Sebagai contoh, epidemiologi dan pemeriksaan penunjang pada meningitis (peradangan pada selaput otak). Epidemiologi Meskipun meningitis adalah suatu penyakit yang harus dilaporkan di banyak negara, insiden sebenarnya masih belum diketahui. Meningitis bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-negara Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi, yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap 10



tahun. Afrika Sub-Sahara sudah mengalami epidemik meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad, sehingga disebut “sabuk meningitis”. Angka serangan dari 100–800 kasus per 100.000 orang terjadi di daerah ini, yang kurang terlayani oleh pelayanan medis. Kasus-kasus ini sebagian besar disebabkan oleh meningokokus. Epidemik terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah melanda seluruh wilayah ini pada 1996–1997, yang menyebabkan lebih dari 250.000 kasus dan 25.000 kematian. Epidemik penyakit meningokokus terjadi di daerah-daerah di mana orang tinggal bersama untuk pertama kalinya, seperti barak tentara selama mobilisasi, kampus perguruan tinggi dan ziarah Haji tahunan. Walaupun pola siklus epidemik di Afrika tidak dipahami dengan baik, beberapa faktor sudah dikaitkan dengan perkembangan epidemik di daerah sabuk meningits. Faktor-faktor itu termasuk: kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh penduduk), kondisi demografis (perjalanan dan perpindahan penduduk dalam jumlah besar), kondisi sosial ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan kondisi kehidupan yang miskin), kondisi iklim (kekeringan dan badai debu), dan infeksi konkuren (infeksi pernafasan akut). Pemeriksaan Penunjang Penegakan diagnosis meningitis bakteri akut, tidak cukup hanya berdasarkan tanda dan gejala yang mengarah ke proses patologis dari meningeal atau intrakranial. Hal ini disebabkan adanya penyakit dengan tanda dan gejala yang serupa sehingga dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) (Feigin dan Cutrer, 2004) Diagnosis dini dan pemberian antibiotik sesegera mungkin, dapat mengurangi angka kematian dan kecacatan bila dibandingkan memperpanjang durasi terapi. Kematian dan sekuel jangka panjang merupakan akibat inflamasi dan kerusakan neural akibat iskemi, yang sering terjadi pada tahap sebelum dan awal pemberian antibiotik (Anonim, 2012). Oleh karena itu, ahli medis harus segera melakukan 11



lumbal pungsi pada anak yang memiliki riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung kearah diagnosis, kecuali jika terdapat kontraindikasi terhadap tindakan



tersebut,



seperti



peningkatan



tekanan



intrakranial,



uncorrected



coagulopathy, dan terdapat gangguan kardiopulmoner (Anonim, 2008). Pasien yang memiliki tanda peningkatan tekanan intrakranial, lumbal pungsi harus ditunda hingga dilakukan pemeriksaan CT Scan. Hasil dari CT Scan yang normal belum tentu menyingkirkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dan bila hasil CT scan terdapat kelainan, maka lumbal pungsi ditunda dan terapi antibiotik dapat langsung dimulai (Anonim, 2008). Diagnosis meningitis bakteri biasanya dikonfirmasi dengan melakukan analisis bakteriologis menggunakan mikroskop dan kultur bakteri dari cairan serebrospinal (CSS). Jika analisis kultur bakteri dari cairan serebrospinal sulit/tidak dapat dilakukan, maka diagnosis dapat dilakukan dengan melihat hasil CT scan kepala dan adanya abnormalitas secara biokimiawi pada cairan serebrospinal. Pasien dengan meningitis bakteri biasanya ditunjukkan dengan hasil uji laboratorium, seperti jumlah sel lebih besar dari 32/mm3, tingkat protein lebih dari 150 mg/dL, tingkat glukosa kurang dari 1 mmol/L (Ogunlesi dan Odigwe, 2013). Protein pada cairan serebrospinal harus diukur karena pada meningitis bakteri nilai protein biasanya meningkat dan konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinal harus dibandingkan dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Pada pasien dengan meningitis bakteri yang menjadi tolak ukur adalah penurunan glukosa cairan serebrospinal dan rasio antara serebrospinal dengan glukosa darah (sekitar 66%) (Anonim, 2008). Metode serologi seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat mendeteksi antigen dari organisme bakteri pada cairan serebrospinal (Ogunlesi dan Odigwe, 2013). Serum elektrolit perlu diukur karena Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) sering terjadi pada meningitis bakteri walaupun hiponatremia 12



tercatat hanya terjadi pada 35% kasus. Leukopenia, trombositopenia dan koagulopati dapat terjadi di infeksi meningokokal. Pemeriksaan leukosit periferal pada pneumokokal meningitis dan viral meningitis biasanya masih dalam kisaran normal namun pada beberapa kasus, terdapat peningkatan (Prober dan Dyner, 2011).



13



BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Dapat kita simpulkan bahwa radang bukanlah suatu penyakit, melainkan manifestasi dari suatu penyakit.Di mana radang merupakan respon fisiologis lokal terhadap



cedera



jaringan.Radang



dapat



pula



memiliki



pengaruh



yang



menguntungkan selain berfungsi sebagai penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga akses, radang juga dapat mencegah penyebaran infeksi.Tetapi, ada juga pengaruh yang merugikan dari radang karena secara seimbang



radang



juga



memproduksi



penyakit.Misalnya,



abses



otak



dan



mengakibatkan terjadinya distori jaringan yang pernah permanen dan menyebabkan gangguan fungsi. 3.2 Saran Saran yang dapat kami berikan antara lain sebagai berikut. 1. Dengan



mengetahui



gejala-gejala



awal



peradangan,



kita



dapat



mengantisipasi dari awal jika terjadi peradangan pada pasien ataupun orang terdekat kita. 2. Dengan mengetahui penyebab-penyebab pada peradangan, maka kita dapat mencegah lebih awal sebelum terjadinya penyakit yang lebih parah.



14



DAFTAR PUSTAKA Arifyantirahmani, Tensai Nurul. 2011. “Radang”. Makalah. Diunduh dari https://www.scribd.com/doc/55684275/RADANG/ 09/02/2019 pukul 07.45 WIB. Dawibo. 2011. “Mekanisme Peradangan”. Diunduh dari https://dawibo.wordpress.com/2011/03/27/mekanisme-peradangan/ 10/02/2019 pukul 08.25 WIB. Echyhelmi. 2012. “Radang dan Infeksi”. Makalah. Diunduh dari https://www.scribd.com/doc/91149945/Makalah-Radang-Dan-Infeksi/09/02/2019 pukul 10.21 WIB. Fetybyan. 2011. “Radang, pengertian, macam, peran, tanda-tanda, faktor pengaruh, aspek cairan seluler peradangan, dll.” Diunduh dari https://fetybyanstec.wordpress.com/2011/06/22/radangpengertianmacamperantanda2f aktor-pengaruhaspek-cairan-seluler-peradangandlllll/ 08/02/2019 pukul15.14 WIB. Librianty, Nurfanida. 2014. “Inflamasi (Peradangan)”. Diunduh dari http://www.kerjanya.net/faq/4914-inflamasi-peradangan.html/ 09/02/2019 pukul 15.05 WIB.



Neysa, Catharina. 2017. “Kesalahan Obat Anti Inflamasi”. Diunduh dari https://www.kompasiana.com/zneysa/59f0a6bab3f5ca4ec34cf342/kesalahan-obat- antiinflamasi?page=all/ 10/02/2019 pukul 23.18 WIB. Radjab, Geplaas deur Ary. 2014. “Radang Akut”. Makalah. Diunduh dari http://ayiiradjab.blogspot.com/2014/03/makalah-radang-akut.html/09/02/2019 pukul 11.13 WIB. Sugianto, Monita. 2013. “Radang (Inflamasi)”. Diunduh dari http://doktermonita.blogspot.com/2013/02/radang-inflamasi.html/ 10/02/2019 pukul 23.57 WIB. Sunanto. 2010. “Proses Inflamasi Atau Peradangan”. Diunduh dari http://nanto14.blogspot.com/2010/03/proses-inflamasi-atau peradangan.html/10/02/2019 pukul 00.51 WIB.



15