Makalah Selulitis & Angina Ludwig Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi kulit bakterial merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana infeksi bakterial pada kulit yang paling sering ditemui adalah pioderma. Pioderma termasuk sepuluh penyakit terbanyak di Indonesia bahkan menempati urutan ke empat. Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pion. Penyebab utama adalah bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.[1] Perluasan infeksi odontogenik atau infeksi yang mengenai struktur gigi (pulpa dan periodontal) ke daerah periapikal, selanjutnya menuju kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang. Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasail, dan subkutaneus servikal kemudian berkembangan menjadi selulitis fasial, yang akan mengakibatkan kematian jika tidak segera diberikan perawatan yang adekuat. Selulitis merupakan jenis pioderma paling banyak pada orang dewasa. Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun dan usia dekade keempat dan kelima. Semakin bertambahnya usia, insiden selulitis juga semakin meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh trauma pada kulit (abrasi) dan juga adanya penyakit menahun. Pada usia lanjut juga sering mengalami penyakit menahun (misalnya, diabetes). Penyakit menahun ini akan menurunkan sistem imun dalam tubuh yang akan menyebabkan mudahnya terkena infeksi.[1] . Selulitis leher dan wajah paling sering disebabkan dari infeksi gigi baik sebagai sekuel abses apical atau osteomielitis atau akibat setelah terjadinya infeksi periodontal.



1



Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas. Wilhelm Frederick von Ludwig, pertama kali mendeskripsikan kondisi ini pada tahun 1836 sebagai infeksi ruang fasial yang hampir selalu fatal1,2. Angina Ludwig ditandai dengan demam, dispnea, disfagia akibat pembengkakan pada lantai mulut dan leher. Pada beberapa instansi, angina ini berkembang akibat komplikasi dari infeksi odontogenik dari gigi molar kedua dan ketiga. Pada pemeriksaan mikrobiologi, angina Ludwig diakibatkan oleh polimikroba, baik gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob. Biasanya angina ini disebabkan oleh Streptokokus spp, Stafilokokus aureus, Prevotella spp, dan Porfirimonas spp1. Terapi pada angina Ludwig bertujuan untuk mengamankan jalan nafas, terapi antimikroba spectrum luas secara agresif, dan dekompresi facial planes dengan memusnahkan sumber infeksi1



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana Definisi, Etiologi, gambaran klinis, Diagnosis Danding, Terapi, Prognosis dari Selulistis ? 2. Bagaimana Definisi, Etiologi, Gambaran Klinis, Diagnosis Banding, Terapi, Prognosis dari Angina Ludwig ?



1.3 Tujuan Untuk mengetahui dan mempelajari karakteristik lesi dari Selulitis dan Angina Ludwing.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SELULITIS A. Definisi Selulitis adalah kondisi peradangan akut pada dermis dan jaringan subkutan biasanya ditemukan akibat komplikasi luka, ulkus atau dermatosis. Menyebar dan bersifat piogenik, hal itu ditandai dengan nyeri lokal, eritema, bengkak dan panas. Selulitis adalah suatu peradangan difus jaringan lunak yang tidak dibatasi atau terbatas pada satu area dan cenderung menyebar melalui jaringan di ruang sepanjang bidang wajah. Organisme penyebab utamanya adalah pyogenes streptococcus, meskipun berbagai bakteri aerob dan anaerob dapat menyebabkannya. Bakteri ini menghasilkan jumlah yang signifikan dari streptokinase, hyaluronidase dan fibrinolisin yang rusak atau larut pada asam hyaluronic. Selulitis mengenai jaringan subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun keras seperti papan, ukurannya besar, spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya infeksi bakteri. Tidak terdapat fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu lokalisasi cairan.



Gambar 1. struktur komponen kulit dan jaringan lunak, infeksi superficial, dan infeksi pada struktur yang lebih dalam [5]



3



B. Epidemiologi Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun dan usia dekade keempat dan kelima. Insidensi pada laki-laki lebih besar daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi selulitis ekstremitas masih menduduki peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko selulitis seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis kelamin.[5] Insidensi selulitis diperkirakan 24,6 kasus per 1000 pasien pertahun. Selulitis lebih sering ditemukan pada kelompok usia pertengahan dan usia tua[6]



C. Etiologi Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang jarang pada selulitis.6 Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus. Mikroorganisme lainnya negatif anaerob seperti Prevotella, Porphyromona dan Fusobacterium. Infeksi odontogenik pada umumnya merupakan infeksi campuran dari berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob maupun anaerob mempunyai fungsi yang sinergis (Peterson,2002). Infeksi Primer selulitis dapat berupa: perluasan infeksi/abses periapikal, osteomyielitis dan perikoronitis yang dihubungkan dengan erupsi gigi molar tiga rahang bawah, ekstraksi gigi yang mengalami infeksi periapikal/perikoronal, penyuntikan dengan menggunakan jarum yang tidak steril, infeksi kelenjar ludah (Sialodenitis), fraktur compound maksila / mandibula, laserasi mukosa lunak mulut serta infeksi sekunder dari oral malignancy.



4



Selulitis umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka atau ulkus atau lesi kulit yang lain, namun dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal terutama pada pasien dengan kondisi edema limfatik, penyakit ginjal kronik atau hipostatik.[5] Tabel 1. Variasi anatomi spesifik dan penyebab predisposisi terjadinya selulitis[3]



D. Patofisiologi Pada 88,4 % kasus selulitis fasialis disebabkan infeksi odontogenik yang berasal dari pulpa dan periodontal. Periodontitis apikalis akut atau kelanjutan dari infeksi/abses periapikal, menyebar ke segala arah waktu mencari jalan keluar. Ketika itu biasanya periosteum ruptur dan infeksi menyebar ke sekitar jaringan lunak intra dan/atau extra oral, menyebabkan selulitis. Penyebab utama selulitis adalah proses penyebaran infeksi melalui ruangan subkutaneus sellular / jaringan ikat longgar yang biasanya disebabkan dari infeksi odontogenik. Penyebaran ini dipengaruhi oleh struktur anatomi lokal yang bertindak sebagai barrier pencegah penyebaran, hal tersebut dapat dijadikan



5



acuan penyebaran infeksi pada proses septik. Barrier tersebut dibentuk oleh tulang rahang dan otot-otot yang berinsersi pada tulang tersebut.



Gambar 2. Perlekatan otot-otot pada tulang fasial Jalur penyebaran infeksi odontogenik : Gigi-gigi Rahang Bawah : 



M. Buccinator (bagian luar body mandibula)  Di bawah perlekatan otot : ke daerah fasial  Di atas perlekatan otot : ke intraoral







M. Mylohyoid (sebelah dalam body mandibula)  Di bawah perlekatan otot : ke daerah sublingual dalam  Di atas perlekatan otot : ke daerah sublingual luar  Anterior : ke daerah submental



6







M. Masseter (sebelah luar ramus mandibula)  Di antara m. Masseter : ke daerah submasseterik  Lateral : ke daerah temporal







M. Pterigoideus Medialis (sebelah dalam ramus mandibula)  Lateral : ke daerah pterigomandibula  Medial : ke daerah pharyngeal  Posterior : ke retropharyngeal



Gambar 3. Jalur Penyebaran Infeksi Odontogenik Gigi-gigi Rahang Atas 



M. Buccinator (di lateral)  Di atas perlekatan otot : ke daerah fasial  Dibawah perlekatan otot : ke daerah intraoral







Palatum durum (di medial)







Sinus maksilaris ( di superior)



7



Selulitis biasanya terjadi akibat adanya luka, trauma, borok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya kolonisasi kuman. Kondisi penurunan daya tahan tubuh seperti kakeksia, diabetes melitus, malnutrisi, dan penyakit sistemik disertai dengan hygiene yang kurang dapat meningkatkan 2,5 kemungkinan terjadinya infeksi.[6] Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi sering berjangkit pada orang gemuk, kurang gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan pada orang yang menderita diabetes mellitus yang pengobatannya tidak adekuat.[5] Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringanjaringan



dan



polisakarida,



menghancurkannya, fibrinolysin



hyaluronidase



mencerna



barrier



memecah



fibrin,



dan



substansi lecithinase



menghancurkan membran sel.[5] Infeksi bakteri dapat menyebar secara hematogenn dann limfogen sehingga dapat menyebabkan bakterimia, septikemia, limfangitis dan limfoedema[5]



E. Perbedaan Selulitis dengan Abses KARAKTERISTIK



SELULITIS



ABSES



Durasi



Akut



Kronis



Sakit



Berat & merata



Terlokalisir



Ukuran



Besar



Kecil



Palpasi



Indurasi jelas



Fluktuasi



Lokasi



Difus



Berbatas jelas



Kehadiran pus



Tidak ada



Ada



8



Derajat keparahan



Lebih berbahaya



Tidak darurat



Bakteri



Aerob (Streptococcus)



Anaerob (Stafilococcus)



Enzim



yang



Streptokinase



/



fibronilisin,



dihasilkan



Hyaluronidase, Streptodomase



Sifat



Difus



Coagulase



Terlokalisir



F. Manifestasi klinis Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren).[7] Berikut adalah tanda dan gejala yang terdapat pada penderita selulitis [8] : a. Gejala selulitis lokal 



Sakit atau nyeri di daerah yang terkena







Pembengkakan diffuse







Konsistensi kenyal-keras seperti papan







Kadang disertai trismus







Mulut dan lidah dapat terangkat







Kulit sakit atau ruam yang dimulai tiba-tiba, dan tumbuh dengan cepat dalam 24 jam







Kulit terasa hangat pada daerah yang kemerahan







Kekakuan sendi yang disebabkan oleh pembengkakan jaringan di atas sendi



9



b. Gejala local sistemik 



Demam







dispnoe, serta stridor







nadi cepat dan tidak teratur







malaise,







lymphadenitis







peningkatan jumlah leukosit







pernafasan cepat,







muka kemerah-merahan,







lidah kering,







delirium







disfagia



c. Tanda – tanda infeksi 



Menggigil atau gemetar







Kelelahan







Perasaan sakit







Nyeri otot







Kulit hangat







Berkeringat



Adapun klasifikasi selulitis menurut Eron untuk infeksi kulit dan jaringan lunak terbai menjadi 4 kelas yaitu[9] : 



Kelas I pasien tidak memiliki tanda-tanda toksisitas sistemik, tidak terkendali



komorbiditas



dan



dapat



biasanya



dikelola



dengan



antimikroba oral secara rawat jalan. 



kelas II pasien dengan penyakit sistemik atau tanpa penyakit sistemik tetapi dengan co-morbiditas seperti penyakit pembuluh darah perifer, insufisiensi vena kronis atau obesitas morbid yang mungkin mempersulit atau menunda resolusi infeksi mereka.



10







Kelas III pasien mungkin memiliki gejala sistemik yang signifikan seperti kebingungan akut, takikardia,takipnea, hipotensi atau mungkin memiliki komorbiditas stabil yang dapat mengganggu dengan respon terhadap terapi atau memiliki anggota tubuh infeksi yang mengancam akibat gangguan vaskular.







kelas IV memiliki sindrom sepsis atau infeksi yang mengancam jiwa berat seperti necrotizing fasciitis.



Temuan klinis saja biasanya cukup untuk mendiagnosis selulitis, khususnya di non-toksik pasien imunokompeten.[9] G. Klasifikasi 1. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang tidak jelas batasnya. Infeksi ba kteri mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat. 2. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi. beranggapan bahwa selulitis dan abses sulit dibedakan, karena pada beberapa pasien dengan indurasi selulitis mempunyai daerah pembentukan abses. Nama lain a. Selulitis Difus Akut Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu: 1) Ludwig’s Angina 2) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid



11



3) Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal 4) Selulitis Fasialis Difus 5) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya b. Selulitis Kronis Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang adekuat atau tanpa drainase.



3. Selulitis Difus yang Sering Dijumpai Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwig’s . Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai mengenai spasia pharyngeal. H. Pemeriksaan penunjang [5] 1. Pemeriksaan mikroskopik Pewarnaan gram dari eksudat, pus, cairan bulaa, dan aspirasi dapat menunjukkan bakteri. GAS: strain coccus gram positif, S. Aureus : kelompok dari coccus gram positif, clostridia : basil gram negatif, dan beberapa neutrofil. 2. Kultur bakteri Selulitis: aspirasi atau biopsi dari tepi utama peradangan, mengidentifikasi patogen sampai dengan 20% pada kasus. Biakan Jamur dan mikobakteri ditunjukkan dalam kasus atipikal. Tempat masuk (ulkus, dll,) yang berdekatan dengan selulitis: hasil yang serupa dengan kultur selulitis. Kultur darah: hasil yang sangat rendah, 2 sampai 4%, tertinggi



12



pada infeksi GAS Hasil yang lebih tinggi di dapatkan pada lymphedema kronis dan pada pasien dengan selulitis bukal atau periorbital. 3. Pemeriksaan darah Pemeriksaan sel darah putih dan laju endap darah (LED) dapat meningkat. 4. Pemeriksaan radiologi Panoramic merupakan foto rontgen extra oral yang menghasilkan gambaran yang memperlihatkan struktur facial termasuk mandibular dan maksila beserta struktur pendukungnya. Foto rontgen ini digunakan untuk mengrvaluasi gigi impaksi, pola erupsi, pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi, mendeteksi penyakit dan evaluasi trauma. Periapical merupakan teknik foto untuk melihat keseluruhan mahkota serta akar gigi dan tulang pendukungnya. Ada 2 teknik pemotretan yang digunakan untuk memperoleh foto periapikal yaitu teknik parallel dan bisektris. MRI dapat membantu dalam diagnosis infeksi selulitis akut dan berat, mengidentifikasi pyomyositis, necrotizing fasciitis, dan selulitis menular dengan atau tanpa pembentukan abses subkutan. radiografi jaringan lunak, CT, MRI, dan pencitraan ultrasonografi dapat mendeteksi abses lokal, gas dalam jaringan, dan yg terletak di bawah osteomyelitis tetapi tidak menentukan Necrotic Fasciitis atau myonecrosis. Temuan



laboratorium



biasanya



mendukung



asal



infektif,



menunjukkan leukositosis sedikit dengan neutrophilia, dan pembesaran indeks inflamasi. Penurunan tiba-tiba jumlah darah mungkin mengawali reaksi shock rilis lipopolisakarida pada infeksi Gram-negatif. Kultur Eksudat dengan aspirasi jarum atau swab tidak rutin dilakukan. Patogen dan pengujian sensitivitas terhadap antibiotik adalah wajib untuk menyesuaikan pengobatan pada pasien yang gagal untuk merespon pengobatan dalam waktu 48 jam, dan penundaan lebih lanjut dalam melakukan kultur pada saat itu mungkin berpengaruh negatif terhadap



13



prognosis pasien. Kultur darah dilakukan secara terbatas karena hasil positif dalam kasus minoritas dan isolat biasanya sama seperti di lesi kulit. kultur Swab nasofaring disarankan untuk mengisolasi patogen aetiologic okultisme.[10]



I.



Diagnosis Diagnosis selulitis umumnya didasarkan pada fitur morfologi dari lesi dan



gambaran klinis. Jika terdapat drainase atau luka terbuka, atau ada jalan masuk bakteri yang jelas, pewarnaan Gram dan kultur bakteri dapat memberikan diagnosis definitif. Dengan tidak adanya temuan kultur, etiologi bakteri selulitis sulit untuk ditegakkan.[2] Dalam beberapa kasus staphylococcal dan streptococcus selulitis memiliki gambaran serupa dan tidak bisa dibedakan satu sama lain. Kultur aspirasi jarum tidak ditunjukkan dalam perawatan rutin karena hasilnya jarang mengubah rencana pengobatan. Bahkan ketika diambil dari tepi utama peradangan, kultur dari aspirasi jarum dan biopsi punch positif hanya 20 persen dari kasus. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya jumlah bakteri dapat menghasilkan kondisi ini dan bahwa daerah gejala berkembang di dalam kulit mungkin efek dari racun ekstraseluler atau mediator inflamasi yang ditimbulkan oleh host. Terlepas dari hasil yang rendah dari aspirasi untuk pasien individu, penelitian telah menghasilkan temuan impor untuk strategi pengobatan secara keseluruhan: data dari berbagai studi, memeriksa baik aspirasi jarum dan biopsi, menunjukkan bahwa terapi antimikroba untuk selulitis harus fokus pada cocci Grampositive di host imunokompeten , khususnya S. aureus dan S. Pyogenes.[2]



14



Gambar 4. Facial cellulitis dengan melibatkan regio superior maksila.[10]



Gambar 5. Progresif selulitis pada leher dengan meluas ke trunkus dengan pembentukan kulit yang keras dan mengelupas di bagian lesi primer.[10]



J.



Diagnosis banding Selulitis dapat di diagnosa banding dengan penyakit lain yang mengenai



jaringan lunak seperti abses, necrotic fasciitis, gangren, dan erypsipeloid.[10] Nama



Definisi



Manifestasi klinik



penyakit Abses



Kumpulan dari jaringan nekrotik, Eritematosa, bengkak dan bakteri



dan



sel-sel



15



inflamasi, terasa



nyeri



dengan



dikelilingi oleh kapsul reaktif dan daerah



fluktuasi



dan



dinding sel dari jaringan sehat di perubahan trofik. nanah dekatnya



kekuningan tebal keluar dari abses melalui fistula atau melalui intervensi medis.



Gangren



Nekrosis jaringan lunak dalam Lembut, berwarna kuning terutama karena kehilangan suplai



darah,



memungkinkan



gelap atau coklat



kadang-kadang perubahan warna kulit, invasi



dan dengan



proliferasi bakteri, terutama yang haematic



bula



sera-



dan



bercak



mampu untuk bertahan hidup nekrosis. Sebuah cokelat dengan sedikit atau tanpa oksigen, kusam



berbau



sering



seperti family Clostridium. Ini terjadi. krepitus di sering memiliki onset mendadak.



palpasi



mendukung



diagnosis



memproduksi



bakteri gas (Gas ganggren). Erypsipeloid



Sebuah penyakit akibat kerja, klinis yang umum untuk yang



disebabkan



Erysipelotrix merupakan bakteri



oleh erisipelas



rhusiopathiae, bakteri kontaminasi



batang



lainnya,



Gram-positif. dan



ikan. dokter hewan, pengemas daging, nelayan sering terkena



sementara



minimal penanganan yang



terkontaminasi bahan.



16



selulitis tetapi



dari biasanya lebih ringan cenderung



Berasal dari bangkai binatang atau limited.



trauma.



dan



terhadap



self-



K. Penatalaksanaan Untuk mempercepat penyembuhan pasien harus banyak istirahat baring dengan elevasi tungkai yang terkena. Secara topikal dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik, misalnya permanganas kalikus 1/5000 atau 1/10000, yodium povidon 7,5% diencerkan 10x, atau rivanol 1 ‰. Sistemik dengan antibiotik misalnya golongan penisilin, linkomisin,kllndamisin eritromisin, atau sefalosporin.[4] Apabila terdapat tanda-tanda seperti kondisi sistemik seperti malaise dan demam tinggi, adanya disfagia atau dispnoe, dehidrasi atau pasien kurang minum, diduga adanya penurunan resistensi terhadap infeksi, toksis septikemia dan infiltrasi ke daerah anatomi yang berbahaya serta memerlukan anestesi umum untuk drainase, diperlukan penanganan serius dan perawatan di rumah sakit sesegera mungkin. Jalan nafas harus selalu dikontrol, intubasi endotracheal atau tracheostomy jika diperlukan. Empat prinsip dasar perawatan infeksi (Falace, 1995), yaitu: menghilangkan causa (Jika keadaan umum pasien mungkinkan segera dilakukan prosedur ini, dengan cara pencabutan gigi penyebab), drainase (Insisi drainase bisa dilakukan intra maupun extra oral, ataupun bisa dilakukan bersamaan seperti kasus-kasus yang parah. Penentuan lokasi insisi berdasarkan spasium yang terlibat).



17



Gambar 7. Garis Insisi Drainase (Peterson, 2002) Karena sebagian besar kasus selulitis yang disebabkan oleh stafilokokus dan spesies streptokokus, antibiotik beta laktam dengan aktivitas terhadap penicillinase yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus sebagai obat pilihan terapi. Cefazolin, sefalosporin generasi pertama, nafcillin, adalah obat sintetis penisilin antistaphylococcal dan ceftriaxone, sefalosporin generasi ketiga, semuanya merupakan obat pilihan pengobatan awal. Jika diduga methicillin resistant S. aureus (MRSA) atau pasien sangat alergi terhadap penisilin, maka vankomisin dan linezolid adalah sebagai obat pilihan terapi yang diberikan dan memiliki tingkat kesembuhan yang sama. Awal pengobatan harus



18



diberikan secara IV di rumah sakit jika peradangan ini menyebar dengan cepat, terdapat respon sistemik yang signifikan (menggigil dan demam) atau jika ada komplikasi bersama kondisi seperti imunosupresi, neutropenia, gagal jantung atau gagal ginjal. Langkah-langkah perawatan suportif meliputi elevasi dan imobilisasi dari anggota tubuh yang terlibat untuk mengurangi pembengkakan dan penerapan dressing garam steril untuk menghilangkan nanah dari lesi terbuka. Meskipun langkah-langkah ini, beberapa pasien terus berjuang dengan episode selulitis sering dan dapat mengambil manfaat dari penggunaan profilaksis penisilin G atau eritromisin.[2] Berikut merupakan tatalaksanan pengobatan pada selulitis berdasarkan kelasnya.[9]



L. Prognosis Prognosa untuk kasus selulitis fasialis tergantung pada uimur penderita kondisi pasien datang pertama ke poliklinik dan juga tergantung pada kondisi sistemik pasien. Pada umumnya ad bonam jika segefra ditangani dengan cepat dan benar. Selulitis akut, dengan atau tanpa pembentukan abses, memiliki



19



kecenderungan untuk menyebar melalui limfatik dan aliran darah dan dapat menjadi penyakit serius, jika tidak diobati secara dini. Pada pasien dengan edema kronis, proses tersebut dapat menyebar dengan sangat cepat dan pemulihan mungkin lambat, meskipun drainase dan sterilisasi lesi dengan antibiotik. Namun, pada bayi muda dan pasien lansia, dan pada individu yang menerima glukokortikoid, penyakit ini dapat berkembang dengan kecepatan yang menyebabkan hasil yang fatal.[11]



2.2 ANGINA LUDWIG A. Definisi Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat, potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan submandibular. Umumnya, infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian berkembang menjadi fasciitis, dan akhirnya berkembang menjadi abses yang menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut, dan elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior.[13,15,16]. Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina Ludwig ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari region kelenjar submandibula.[12,13,16,17].



20



Gambar 1. Anatomi dari ruang submandibular.[13]



B. Epidemiologi Kebanyakan kasus angina Ludwig terjadi pada individu yang sehat. Kondisi yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan lupus eritematosus sistemik. Umunya, pasien berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada yang melaporkan kasus ini terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 3:1 atau 4:1[13].



C. Etiologi Angina Ludwig biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang



21



berada di atas otot milohioid, dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular.[13]. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus, stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob.[13,18]. Penyebab lain dari angina Ludwig yaitu sialadenitis, abses peritonsil, fraktur mandibula terbuka, kista duktus tiroglossal yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena obat ke leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, infeksi saluran nafas bagian atas, dan trauma pada dasar mulut.[13,17].



D. Patofisiologi Angina Ludwig merupakan suatu selulitis dari ruang sublingual dan submandibular akibat infeksi dari polimikroba yang berkembang dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian akibat dari gangguan jalan nafas. Pada pemeriksaan bakteriologi ditemukan polimikroba dan kebanyakan merupakan flora normal pada mulut.[13]. Organism yang sering diisolasi pada pasien angina Ludwig yaitu Streptokokus viridians dan Stafilokokus aureus. Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk bakteroides, peptostreptokokus, dan peptokokus. Bakteri gram positif lainnya yang berhasil diisolasi yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan Clostridium species. Bakteri gram negative yang berhasil diisolasi termasuk Neisseria species, Escherichia coli, Pseudomonas species, Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp.[13].



E. Manifestasi Klinis Pasien dengan angina Ludwig biasanya memiliki riwayat ekstraksi gigi sebelumnya atau hygiene oral yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea, dan



22



takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, disfagia, odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak, stridor, distress pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing” position.[13]. Stridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan posisi duduk merupakan tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafas yang lama dan merupakan indikasi untuk dipasang alat bantu pernafasan.[14]. Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema pada struktur vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya gangguan berat pada jalan nafas.[13].



Gambar 2. Pembengkakan pada area submandibular .[19]



F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan oral, elevasi dari lidah, terdapat indurasi besar di dasar mulut dan di anterior lidah, dan pembengkakan suprahioid. Biasanya terdapat



23



edema submandibular bilateral. Pembengkakan pada jaringan anterior leher diatas tulang hyoid sering disebut dengan bull’s neck appearance.[13]. Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini2,3. Terdapat 4 tanda cardinal dari angina Ludwig, yaitu.[13]: 



Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam







Gangrene yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid



infiltration tetapi sedikit atau tidak ada pus 



Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai



struktur kelenjar 



Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui



sistem limfatik Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala klinis sugestif bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan nafas dengan secepatnya diikuti dengan konfirmasi diagnostik selanjutnya.[13]. Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-tissue, adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah digunakan untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama dari rahang menunjukkan focus infeksi pada gigi.[13].



24



Gambar 3. Foto Polos menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik (tanda panah) .[13]



Setelah patensi jalan nafas diamankan, CT scan dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan soft-tissue, penumpukan cairan, dan gangguan jalan nafas2. CT scan juga dapat menentukan luas abses retrofaringeal dan dapat menolong untuk menentukan kapan alat bantu pernafasan diperlukan3. MRI merupakan pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan pada beberapa pasien.[13].



25



Gambar 4. CT scan menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik dan adanya udara dalam soft-tissue.[13]



26



Gambar 5. Algoritma diagnosis dan manajemen Angina Ludwig .[13]



27



G. Diagnosis Banding Diagnosis banding dari angina Ludwig yaitu edema angioneurotik, karsinoma lingual, hematoma sublingual, abses kelenjar saliva, limfadenitis, selulitis, dan abses peritonsil[13].



H. Penatalaksanaan Algoritma diagnosis dan managemen Angina Ludwig dapat dilihat pada gambar 2.x. Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal pasien ini.[13,20]. Konsultasi anesthesiologist dan otolaringologis sangat diperlukan dengan segera. Transfer pasien ke ruang operasi harus dipertimbangkan sebelum manipulasi jalan nafas dimulai. Pasien yang tidak memerlukan kontrol jalan nafas segera harus dimonitor terus menerus. Pada pasien yang sangat memerlukan bantuan pernapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan di ruang operasi, untuk dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika diperlukan.[13]. Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik intravena secara agresif harus dilakukan. Terapi awal ditargetkan untuk bakteri gram positif dan bakteri anaerob pada rongga mulut[13,14,21]. Pemberian beberapa antibiotik harus dilakukan, yaitu penisilin G dosis tinggi dan metronidazol, klindamisin, sefoksitin, piperasilin-tazobaktam, amoksisilin klavulanat, dan tikarsilin klavulanat[13,14]. Meskipun masih menjadi kontroversi, pemberian deksametason untuk mengurangi edema dan meningkatkan penetrasi antibiotik dapat membantu[13,17]. Pemberian deksametason intravena dan nebul adrenalin telah dilakukan untuk mengurangi edema saluran nafas bagian atas pada beberapa kasus.[14] Drainase surgikal diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif, bukti radilogis adanya penumpukan cairan didalam soft-tissue, krepitus, atau aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan



28



setelah pemberian terapi antibiotik[13]. Drainase ditempatkan di muskulus milohioid ke dalam ruang sublingual[20]. Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting untuk proses drainase yang lengkap[13].



Gambar 6. Drainase pada infeksi supuratif.[16]



I. Komplikasi Komplikasi yang paling serius dari angina Ludwig yaitu asfiksia yang disebabkan oleh edema pada soft-tissue leher[14]. Pada infeksi lanjut, dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus dan abses serebri. Komplikasi lainnya yang telah dilaporkan yaitu infeksi dinding karotis dan rupture arteri, tromboflebitis supuratif dari vena jugularis, mediastinitis, empiema, efusi perikard atau efusi pleura, osteomielitis mandibula, abses subfrenikus, dan aspirasi pneumonia[13,14]. J. Prognosis Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada proteksi segera jalan nafas dan pada pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi. Tingkat kematian pada era sebelum adanya antibiotik sebesar 50%, tetapi dengan adanya antibiotik tingkat mortalitas berkurang menjadi 5%[13].



29



BAB III LAPORAN KASUS



Laporan Kasus 1 Laporan Kasus : Selulitis Wajah



Pengantar Selulitis adalah suatu peradangan difus jaringan lunak yang tidak dibatasi atau terbatas pada satu area dan cenderung menyebar melalui jaringan di ruang sepanjang bidang wajah. Organisme penyebab utamanya adalah pyogenes streptococcus,



meskipun



berbagai



bakteri



aerob



dan



anaerob



dapat



menyebabkannya (2,3,4,5). Bakteri ini menghasilkan jumlah yang signifikan dari streptokinase, hyaluronidase dan fibrinolisin yang rusak atau larut pada asam hyaluronic. Selulitis leher dan wajah paling sering disebabkan dari infeksi gigi baik sebagai sekuel abses apical atau osteomielitis atau akibat setelah terjadinya infeksi periodontal (6). Selulitis biasanya mengenai jaringan lunak yang berdekatan dengan gigi yang bersinggungan. Nyeri, demam dan limfadenopati dapat terjadi. Biasanya area yang bengkak diffuse, berbatas merah tegas dan hangat (7). Tanpa terapi yang tepat penyebaran infeksi mungkin dapat menyebabkan trombosis sinus kavernosus, mediastenitis supuratif, dan obstruksi saluran napas atau bakteremia sistemik (8). Imunosupresi, Diabetes dan keganasan merupakan factor resiko utama terjadinya selulitis. Fokus infeksi harus diselesaikan dan antibiotik harus diberikan, jika infeksi terlokalisasi, harusnya dilakukan drainase.



Laporan Kasus Seorang pria berusia 30 tahun datang dengan rasa sakit di gigi kanan belakang bawah bersamaan dengan pembengkakan sisi kanan wajah sejak 1 bulan. 2 bulan yang lalu pasien dirawat oleh ahli bedah umum. Pasien juga



30



mengeluhkan lemah kurang enak badan dan demam dengan suhu rendah. Pemeriksaan ekstraoral didapatkan diffus, keras dan bengkak tidak berfluktuasi di bagian kanan wajah memanjang dari superior daerah infraorbital ke inferior rahang bawah, anterior dari sudut mulut ke garis tragus. Banyak bekas insisi yang ada di pipi kanan. (Gbr.1). kelenjar getah bening kanan submandibular terasa lunak saat di palpasi. Secara intraoral, vestibulum kanan rahang atas menghilang dan fistula yang mengering terlihat pada bagian bukal dari mandibular molar 3. Orthopantomogram menunjukkan karies molar 2 disertai dengan impaksi horizontal molar 3 kanan bawah (Gbr.2). Atas dasar temuan klinis dan radiografi, pasien didiagnosis dengan selulitis wajah yang terkait dengan karies gigi molar kedua dan ketiga permanen mandibular. Dengan anestesi lokal, gigi 47 dan 48 dilakukan pembedahan ekstraksi. Insisi dilakukan di bagian yang paling parah. Forcep Hilton sinus digunakan untuk membuka ruang jaringan dan mengeluarkan pus. Sekitar 2 - 3 ml pus purulent eksudat dikeluarkan dan dikumpulkan untuk kultur dan untuk dilakukan pengujian sensitivitas bakteri. Luka diirigasi dengan normal saline dan dipasasng drain tabung terpisah ditempatkan dan diamankan dengan sutura sutera. Pasien tetap mengkonsumsi antibiotik oral selama 3 hari (Gbr.3).



31



Diskusi Selulitis wajah dan infeksi leher yang dalam dapat berbahaya karena kecenderungan dapat menyebabkan edema (9), distorsi dan obstruksi saluran napas. Pada tahap awal penyakit, pasien dapat hanya dilakukan observasi dan pemberian antibiotik. Pada Infeksi lanjutan dibutuhkan pembedahan dengan drainase (10), dan terapi antibiotik yang tepat.



32



Infeksi yang timbul di maksila dapat menyebabkan perforasi kortikal plate bagian luar dari tulang di atas musculus buccinators dan menyebabkan pembengkakan yang awalnya di bagian atas wajah (11). Namun dapat segera menyebar melibatkan seluruh area wajah. Infeksi perforasi mandibular kortikal plate bagian luar di bawah buccinators dapat menyebabkan pembengkakan pada bagian bawah wajah (12). Penting untuk mengenali selulitis pada tahap awal, ketika lebih mudah untuk ditanggulangi. Dalam menanggulangi selulitis penting untuk mencari dan mengobati sumber infeksi, meskipun hal ini terkadang sulit. Untuk menghindari penyebaran lebih lanjut infeksi atau pemadatan abses, pasien seharusnya disarankan untuk tidak memijat area yang terkena dan meminum obat apa pun. Meskipun penyakit ini sangat serius, namun tahap resolusi biasanya cepat dengan pengobatan yang adekuat, dan gejala sisa yang tidak diinginkan tidak berbahaya. Dengan penegakan dini dan pengobatan yang benar dengan antibiotik spektrum luas wajib diberikan untuk menghindari komplikasi yang mengancam nyawa.



KESIMPULAN Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa selulitis wajah harus diperlakukan dengan sangat hati-hati dengan pengetahuan yang memadai penyakit dan perawatan yang tepat diperlukan untuk menghindari kematian.



Laporan Kasus 2 Manajemen Infeksi Wajah pada Anak 9 Tahun - Laporan Kasus



Abstrak Latar belakang: Infeksi fasia di daerah kepala dan leher biasanya berasal dari odontogenik. Infeksi odontogenik yang tidak diobati atau cepat menyebar dapat berpotensi mengancam jiwa. Laporan kasus ini menggambarkan pasien



33



dengan infeksi orofasial yang memerlukan insisi dan drainase emergensi pada OPD oral dan maksilofasial di rumah sakit kami. Kesimpulan: Infeksi ruang fasia pada kepala dan leher, meskipun berpotensi mengancam nyawa, dapat dicegah dengan gigi biasa. kunjungan. Pengenalan dini dan pengobatan infeksi diperlukan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang cukup, terutama pada pasien yang lebih muda di mana lebih banyak perawatan harus diberikan untuk kesehatan mulut. Hasil yang berhasil dapat dicapai untuk pasien anak yang dapat diobati dengan Insisi dan Drainase, menghilangkan faktor etiologi diikuti oleh kombinasi tiga antibiotik. Kata kunci: Infeksi Ruang Fasia, Insisi dan Drainase, Antibiotik, Ekstraksi Pengantar Penyakit gigi adalah penyebab yang mendasari sebagian besar pembengkakan inflamasi yang terjadi baik di dalam atau di sekitar rahang. Peradangan dapat dimulai baik pada apeks akar atau margin gingiva gigi yang erupsi, atau pada jaringan lunak yang mengelilingi dan menutupi mahkota gigi yang erupsi atau belum erupsi. Peradangan di sekitar akar gigi dapat menyebabkan pembentukan nanah. Nanah melacak garis resistensi yang paling rendah dan melubangi tulang di tempat yang paling tipis dan terlemah dan melibatkan jaringan lunak di sekitarnya. Begitu infeksi memasuki jaringan, ia bisa sembuh, menjadi terlokalisasi atau menyebar. Infeksi ini dapat bervariasi mulai dari infeksi dangkal hingga leher dalam. Infeksi umumnya menyebar dengan mengikuti jalan yang paling tidak resisten melalui jaringan ikat dan sepanjang bidang wajah. Infeksi juga dapat menyebar ke sebuah tempat, jauh ke asalusulnya menyebabkan morbiditas dan kematian yang cukup besar. Dalam kasus infeksi odontogenik akut, ahli bedah mulut dan maksilofasial perlu mengetahui apakah proses inflamasi sedang dalam tahap pembentukan abses, membutuhkan evakuasi utama nanah dan pemberian antibiotik atau selulitis yang umumnya dapat diobati dengan antibiotik saja. Laporan Kasus



34



Seorang anak perempuan berusia sembilan tahun melapor ke departemen rawat jalan bedah mulut dan maksilofasial kami dengan keluhan utama pembengkakan yang menyakitkan di sisi kanan wajah dengan kesulitan dalam membuka mulut dan menelan selama dua minggu terakhir. Pada pemeriksaan ekstra oral, pembengkakan memanjang dari superioritas malar dan inferior hingga ke wilayah submandibular. Ekstensi medial berasal dari sudut mulut dan lateral memanjang sampai daerah retromandibular. Pembengkakan berukuran 10x10 cm. Kulit di atas pembengkakan adalah eritematosa, kehangatan, dan peregangan dengan nekrosis superfisial. Pada pemeriksaan intraoral, molar desidui kanan bawah sangat membusuk dengan lembut pada perkusi. Radiografi periapikal intraoral diambil sehubungan dengan molar desidui kanan bawah dan mengungkapkan radiolusensi yang melibatkan ruang pulpa. Diagnosis sementara dari infeksi ruang bukal dan submandibular kanan diberikan. Penghitungan sel darah lengkap dilakukan, metode Insisi dan drainase Hilton dilakukan di bawah anestesi lokal dalam kaitannya dengan ruang bukal kanan dan ruang submandibular, debit nanah yang konsisten hadir bersama dengan beberapa lokus. Saluran karet bergelombang ditempatkan di ruang bukal dan submandibular dan dijahit dengan sutra 3-0. Dilanjutkan dengan insisi dan drainase, molar desidui bawah kanan diekstraksi. Lokasi dikirim untuk pemeriksaan histopatologi. Kemudian pasien memulai kombinasi tiga antibiotik berdasarkan berat badan dan usia selama satu minggu. Injeksi Augmentin IV 500mg BID, Injection Amikacin IV 250 mg BID, Injection Metrogyl 500 mg (100ml) - 35 ml TID Irigasi dengan metrogyl dan betadine dilakukan di ruang bukal dan submandibular setiap hari dan setelah tidak ada bukti debit nanah, saluran air telah dihapus. Infeksi dan pembengkakan mereda setelah satu minggu. Laporan histopatologi menunjukkan fragmen jaringan adiposa yang menunjukkan infiltrasi sel mononuklear yang padat dan banyak makrofag berbusa dengan agregat neutrofilik yang diselingi. Ada tanda hiperemia dan perdarahan yang menyebar yang menandakan adanya peradangan sub akut akut. Hitung darah



35



lengkap dilakukan lagi; Semua nilai darah ditemukan berada dalam kisaran normal. Kemudian pasien dipulangkan dari bangsal.



Gambar 1. Pre operasi



Gambar 2. Intra operasi



36



Gambar 3. 1 minggu setelah operasi



Gambar 4. Radiografi pre operasi



37



Tabel 1. Pre op and post op blood counts



Kesimpulan Infeksi fasia di daerah kepala dan leher, meskipun berpotensi mengancam nyawa, dapat dicegah dengan kunjungan rutin ke dokter gigi. Pengenalan dini dan pengobatan infeksi diperlukan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang cukup, terutama pada pasien yang lebih muda di mana lebih banyak perawatan harus diberikan untuk kesehatan mulut. Hasil yang berhasil dapat dicapai untuk pasien anak yang dapat diobati dengan Insisi dan Drainase, menghilangkan faktor etiologi diikuti oleh kombinasi tiga antibiotik.



Diskusi Perawatan infeksi yang paling penting adalah menghilangkan sumber yang menyinggung dan membuktikan jalur drainase. Langkah-langkah tambahan



38



seperti farmakoterapi ditujukan sebagai langkah-langkah pendukung untuk tuan rumah, terutama dalam kasus-kasus kompromi kekebalan tubuh. Mereka tidak dimaksudkan untuk menggantikan intervensi bedah kecuali infeksi sangat awal dalam tahap perkembangannya. Infeksi harus diobati sesegera mungkin. Tidak ada manfaat yang diperoleh dengan menunggu abses, karena penundaan ini dapat membawa konsekuensi dan dapat berpotensi fatal. Karena pH asam yang khas dari jaringan yang terinfeksi, anestetik lokal yang disuntikkan, yang lebih bersifat basa, menjadi terionisasi dan karenanya tidak akan dapat melintasi membran saraf dan memberikan anestesi yang mendalam. Penggunaan blok saraf serta sedasi tambahan mungkin bermanfaat dalam manajemen pasien yang memprihatinkan. Pengetahuan yang baik tentang anatomi daerah yang terkena, akan memastikan bahwa infeksi diobati dengan tepat, efisien, sementara morbiditas dan komplikasi diminimalkan. Ini akan memungkinkan drainase infeksi yang optimal dan menghindari kerusakan pada struktur vital. Insisi dan drainase memungkinkan untuk dekompresi infeksi, yang akan memberikan bantuan yang signifikan bagi pasien. Ini juga akan menyediakan portal untuk irigasi dan penempatan saluran pembuangan. Hanya harus cukup dalam untuk melewati epitel dan jaringan ikat yang mendasarinya. Instrumentasi tumpul berikutnya kemudian akan menjelajahi semua ruang termasuk ruang periosteal. Metode ini akan mencegah cedera yang tidak perlu pada struktur vital. Selain itu, memungkinkan untuk mendapatkan sampel yang tepat untuk



39



membudidayakan mikroorganisme yang bermasalah. Lebih penting lagi, Insisi dan drainase mengubah lingkungan kimia menjadi lingkungan yang lebih aerobik, sehingga kurang optimal untuk bakteri anaerob yang lebih ganas. manajemen infeksi odontogenik yang berhasil sangat bergantung pada perubahan lingkungan melalui dekompresi, penghilangan faktor etiologi dan dengan memilih antibiotik yang tepat. Prinsip-prinsip yang disarankan oleh Topazian dkk, digunakan untuk insisi dan drainase dalam kasus kami. Meskipun, infeksi adalah penyakit bedah, antibiotik telah mengubah cara dokter mengelola infeksi. Obat-obatan ini merupakan tambahan penting dalam perawatan pasien yang tepat. Biaya antibiotik, spektrum cakupan serta toksisitas, dan efek samping merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam pemilihan penggunaan antibiotik. Antibiotik dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama; bakteriostatik dan bakterisida. Penisilin adalah antibiotik bakterisida dengan penyerapan oral yang baik. Ini juga memiliki spektrum cakupan yang baik terhadap mikroflora jahat utama mulut. Ditoleransi dengan baik oleh pasien dan memiliki profil toksisitas rendah. Amoksisilin memiliki spektrum cakupan yang lebih luas daripada penisilin, tetapi itu adalah alternatif yang dapat diterima. Regimen dosisnya dapat menyebabkan kepatuhan yang lebih baik. Dalam sebagian besar penelitian, terbukti bahwa semua strain anaerobik sensitif terhadap Metronidazol. Dalam kasus kami saat ini, terapi antimikroba empiris dimulai pada pasien, yang terdiri dari Augmentin 500mg intravena, BID. Untuk infeksi bakteri anaerobik yang serius, Metronidazol 500 mg OD intravena



40



diinfuskan sebagaimana didokumentasikan oleh Goodman dan Gilman. Dahlen telah mendokumentasikan bahwa dalam keadaan darurat, karena resistensi terhadap Penicillin meningkat, Metronidazole atau Amoxycillin Clavulanic acid dapat berfungsi sebagai antibiotik alternatif. Dalam kasus alergi Penicillin, Metronidazole adalah obat pilihan. Penisilin tetap merupakan obat pilihan dalam pengelolaan sebagian besar infeksi odontogenik yang dilaporkan dengan frekuensi yang meningkat; Namun, jika infeksi gagal untuk merespon pilihan antibiotik awal, seseorang harus memiliki indeks kecurigaan yang tinggi bahwa organisme yang resisten terlibat. Infeksi odontogenik yang tidak diobati atau cepat menyebar dapat berpotensi mengancam jiwa sekunder akibat kompromi saluran napas atau septikemia. Trismus, fitur umum infeksi odontogenik, terlihat pada pasien kami, yang berbeda dengan penelitian Bridgeman et al di mana 46% trismus terlihat dalam studinya. Tanda klinis ini biasanya terlihat ketika infeksi melibatkan ruang pengunyahan. Staphylococcus



sering



dikaitkan



dengan



pembentukan



abses.



Mikroorganisme ini menghasilkan koagulase, enzim yang diendapkan yang dapat menyebabkan deposisi fibrin dalam darah sitrat atau oksalat. Streptococcus lebih sering



berhubungan



dengan



selulit,



yang



menghasilkan



enzim



seperti



streptokinase (fibrinolisin), hylouronidaze, dan streptodornase. Enzim-enzim ini memecah fibrin dan substansi jaringan ikat, dan melisiskan puing-puing seluler, sehingga memfasilitasi penyebaran cepat dari bakteri penjajah. Meskipun ada



41



hambatan, ini dilanggar oleh produk akhir dari mikroorganisme dan memandu infeksi untuk menyebar ke dalam pesawat yang lebih dalam. Infeksi odontogenik menyebar ke ruang fasia karena anatomi bidang fascia kepala dan leher sedemikian rupa sehingga memiliki penghalang yang tidak efektif terhadap penyebaran infeksi, dan memainkan peran penting dalam lokalisasi klinis abses. Keterlibatan pesawat wajah oleh selulitis, membantu dalam drainase bedah. Dasar antibiotik beta laktum adalah kunci antibiotik yang akan dimulai untuk mengobati infeksi odontogenik karena infeksi ini didominasi oleh aerob gram positif. Metronidazole atau Tinidazole tidak boleh hanya dimulai karena mikroorganisme anaerobik adalah flora normal rongga mulut; mereka harus dimulai murni pada presentasi klinis dalam bentuk abses kronis, selulitis besar, kehadiran krepitasi (gas), bukti nekrosis jaringan, peluruhan, kehadiran nanah berbau busuk tebal. Dalam kasus kami ada kehadiran nanah berbau busuk tebal, abses kronis, nekrosis kulit yang berkorelasi dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuriama dkk. Kelemahan antibiotik pada mikroorganisme gram negatif terlihat terutama dengan Amikacin. E. Coli dan Klebsiella ditemukan 100% rentan terhadap Amikacin yang berkorelasi dengan kasus kami. Masalah utama di sini, yang perlu diingat, adalah bahwa antibiotik saja tidak dapat menyelesaikan infeksi odontogenik secara memuaskan. Cepat pemulihan hasil pasien dengan manajemen dasar yang tepat terdiri dari dekompresi drainase awal yang sama pentingnya. Oleh karena itu, dengan infeksi odontogenik selalu tepat untuk selalu memulai



42



dengan rejimen antibiotik empirik dengan korelasi dengan pemikiran presentasi klinis dari mikroorganisme yang diduga terlibat dalam infeksi, yang biasanya merupakan flora normal di wilayah tersebut, tanpa melupakan pentingnya awal intervensi bedah untuk mengurangi morbiditas dan komplikasi.Setelah insisi dan drainase dari abses ruang fasia dilakukan, tiriskan ditempatkan dan luka berpakaian yang diubah beberapa kali selama beberapa hari berikutnya dan diairi setiap hari. Irigasi dengan larutan saline dan antibiotik telah dilaporkan efektif dalam eliminasi atau pengurangan infeksi.



Laporan Kasus 3 Sebuah kasus Infeksi Odontogenik oleh Streptococcus constellatus yang mengarah ke Infeksi Sistemik pada Pasien Sindrom Cogan’s Abstrak Infeksi odontogenik pada pasien immunocompromised cenderung meluas secara sistemik di luar rongga mulut. Laporan kasus kami menyajikan pasien dengan sepsis karena infeksi odontogenik Streptococcus constellatus (S. constellatus) pada wanita 64-tahun-immunocompromised dengan sindrom Cogan. Dia telah menderita osteomielitis mandibula kronis yang diduga disebabkan oleh karies gigi dan / atau periodontitis kronis dengan keterlibatan dari molar pertama rahang bawah kiri. Kami menduga bahwa gejala akut osteomyelitis kronis karena S. constellatus menyebabkan infeksi sistemik. Infeksi ini dapat dipercepat dengan penggunaan kortikosteroid dan alendronate. Ini adalah laporan pertama yang mewakili hubungan potensial antara infeksi odontogenik dan sindrom Cogan.



Pengantar



43



Infeksi odontogenik terutama terdiri dari karies gigi atau penyakit periodontal. Mereka biasanya dilokalisasi, tetapi kadang-kadang menyebar secara sistemik [1]. Banyak jenis komplikasi berat yang menyertai infeksi odontogenik telah dilaporkan, termasuk selulitis, osteomielitis, sinusitis, empiema toraks, mediastinitis, necrotizing fasciitis, abses serebri, meningitis, dan septikemia [2]. Kelompok spesies streptokokus yang dikenal sebagai Streptococcus milleri memiliki virulensi yang kuat sebagai patogen, meskipun mereka hidup sebagai bagian dari flora normal di rongga mulut. Penyebaran infeksi tergantung pada faktor lokal dan sistemik pasien dan pada virulensi patogen. Sebagai contoh, ada bukti yang signifikan bahwa beberapa kondisi sistemik, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, osteoporosis, dan hasil kehamilan yang buruk, terkait dengan penyakit periodontal kronis. Sindrom Cogan dianggap sebagai autoimmune atau kekebalan yang dimediasi asalnya, didukung terutama oleh respon menguntungkan terhadap kortikosteroid. Diagnosis sindrom ini terutama klinis dan didasarkan pada gejala audiovestibular, peradangan okular, dan tes serologi nonreaktif untuk sifilis dengan adanya vaskulitis yang terbukti secara histologis. Tidak ada laporan yang dapat ditemukan yang menggambarkan hubungan antara sindrom Cogan dan infeksi mulut. Pengalaman kami terhadap infeksi odontogenik pada pasien dengan sindrom Cogan yang didiagnosis mengalami sepsis karena S. constellatus yang dikenal sebagai salah satu bakteri flora normal pada rongga mulut.



Laporan Kasus Pada bulan Februari 2014, seorang wanita Jepang berusia 64 tahun dengan riwayat sindrom Cogan dibawa dengan ambulans ke rumah sakit karena demam tinggi, menggigil, dan pusing. Dia dirawat di rumah sakit karena hipoksemia dan insufisiensi jantung. Pemeriksaan awal menunjukkan hipoksemia (SpO2 81%), takikardia (denyut nadi 130 / menit), dan demam tinggi (39,4 ° C). Tingkat kesadarannya adalah I-1 (JCS) dan tekanan darahnya adalah 97/56 mmHg. Ekokardiografi menunjukkan hipertensi pulmonal (RVSP 110). CT scan



44



menunjukkan kongesti pulmonal bilateral dan dilatasi arteri pulmonalis. Tes darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang rendah (WBC 3900, Neutrofil 80,1%), anemia penyakit kronis (RBC 321 × 104 / μL, Hb 9,7 g / dL), trombopenia (PLT 14,7 × 104 / μL), dan peningkatan respon inflamasi (CRP 10.07 mg / dL). Pasien telah didiagnosis dengan sindrom Cogan pada tahun 2008, yang telah menunjukkan (1) gangguan vestibular, (2) gangguan pendengaran, (3) peradangan mata, (4) aortitis, dan (5) hipertrofi pachymeningitis / meningitis sejak 2006. Dia juga mengalami anemia hemolitik autoimun (AIHA). Karena gejala (13) telah stabil sejak diagnosis, dia menjalani implantasi koklea dan operasi katarak. Dia telah mengonsumsi prednisolon 14 mg selama tujuh tahun sebelumnya sebagai pengobatan utama untuk sindrom Cogan dan akibatnya dalam status immunocompromised. Dia telah mengonsumsi alendronate (bifosfonat) selama 2 tahun dan 9 bulan (dari Juli 2010 hingga Maret 2013). Pada saat ini, sepsis dicurigai dan pengobatan antibiotik empiris dimulai dengan i.v. meropenem (1 g setiap 8 jam). Meskipun fokus infeksi belum teridentifikasi, dokter yang bertanggung jawab mencurigai infeksi odontogenik sebagai salah satu kandidat fokus infeksi, karena dia telah mengeluh sakit gigi di rahang kiri. Selulitis penyebab yang tidak diketahui di pergelangan kaki kiri telah diamati 2 hari sebelum dirawat di rumah sakit dan juga dianggap sebagai kandidat lain untuk fokus infeksi. Untuk menyelidiki kemungkinan infeksi odontogenik, pasien dirujuk ke departemen bedah mulut dan maksilofasial kami, 5 hari setelah dia dirawat di rumah sakit. Gram-positif cocci (GPC) telah terdeteksi dalam kultur darah vena pada rawat inap awal. Namun, spesies bakteri belum diidentifikasi. Tepat sebelum rawat inap, rasa sakit di gigi kirinya yang lebih rendah telah begitu parah sehingga kadang-kadang dia tidak dapat tidur. Namun, pada presentasi pertamanya di departemen kami, satu-satunya hal yang ia gambarkan adalah ketidaknyamanan gigi molar kiri bawah, dan tidak ada gejala akut yang diamati. Sebagai temuan klinis, tidak ada reaksi inflamasi seperti pembengkakan pada gingiva, pengeluaran nanah, karies gigi yang parah, atau periodontitis yang



45



tampak di rongga mulut termasuk daerah yang dikeluhkan pasien. Kondisi kebersihan mulut cukup baik. Hanya sedikit nyeri perkusi yang diamati pada molar mandibula kiri. Maksimum kedalaman menggali yang dapat diperoleh dari molar pertama rahang bawah kiri dan molar kedua adalah 6 mm dan 4 mm, masing-masing. Kedalaman menggali maksimum yang dapat diperoleh lainnya adalah 2 atau 3 mm. Namun, Touch Test Sensory Evaluators menunjukkan hypoesthesia bibir bawah kiri dengan keluhan mati rasa di wilayah tersebut (gejala Vincent), yang menunjukkan kemungkinan adanya osteomielitis mandibula. Pantomografi dan dental X-ray menunjukkan keterlibatan dari molar pertama rahang bawah kiri (Gambar 1). Keterlibatan dalam kasus kami diklasifikasikan ke dalam Kelas II oleh klasifikasi Hamp and Nyman dan Lindhe. Selain itu, menarik, ditandai dan pembengkakan independen dari tulang alveolar bukal pada molar pertama rahang bawah kiri diamati (Gambar 2). Pada hari setelah kunjungan pertama pasien ke departemen bedah mulut dan maksilofasial, GPC berubah menjadi S. constellatus, yang dikenal sebagai bagian dari flora normal di rongga mulut. Hasil ini menunjukkan bahwa fokus infeksi berada di rongga mulut pasien dan mendorong kami untuk melakukan pemeriksaan lebih dekat pada lesi oral. Magnetic resonance imaging (MRI) bukan pilihan untuk pasien ini karena dia telah menjalani implantasi koklea, tetapi scan computerized tomography (CT) yang disempurnakan mengindikasikan campuran osteomielitis akut dan kronis pada mandibula kiri (Gambar 3).



46



Gambar 1. X-ray Gigi menunjukkan keterlibatan pada pembelahan yang jelas dari molar pertama rahang bawah kiri.



Gambar 2. Pembengkakan yang jelas dari tulang alveolar bukal pada molar pertama rahang bawah kiri diamati. Tidak ada pembengkakan tulang lainnya yang diamati.



47



Gambar 3. CT scan yang ditingkatkan menunjukkan campuran osteomielitis akut dan kronis pada mandibula kiri. Mengambil



semua informasi



yang diuraikan di



atas menjadi



pertimbangan, kami menduga bahwa gejala akut osteomielitis kronis di mandibula kiri dapat menyebabkan infeksi sistemik. Keterlibatan furkasi dan / atau karies gigi pada molar pertama rahang bawah kiri dianggap sebagai fokus utama dari gejala akutnya saat ini. Oleh karena itu, pertama-tama kita melepas mahkota logam pada molar pertama rahang bawah kiri. Karena efek pemberian empiris awal antibiotik, tidak ada supurasi yang diamati, tetapi lesi karies yang jelas berkembang dari cabang akar ke akar distal diamati. Spesimen dari dentin lunak lesi karies diambil sampelnya untuk uji kultur, yang mengungkapkan Staphylococcus aureus resisten methicillin (MRSA) dan Enterococcus faecalis (Streptococci Grup D). Hasil ini menyiratkan bahwa ada pertempuran agresif antara antibiotik yang diberikan kepada pasien dan bakteri invasif. Kami mengangkat sebanyak mungkin dentin lunak yang terinfeksi dari molar pertama rahang bawah kiri, dan molar akhirnya diekstraksi di bawah administrasi i.v.



48



vankomisin (1 g setiap 12 jam) dan p.o. clyndamycin (300 mg setiap 8 jam) setelah kondisi umum pasien pulih. Mengambil



semua informasi



yang diuraikan di



atas menjadi



pertimbangan, kami menduga bahwa gejala akut osteomielitis kronis di mandibula kiri dapat menyebabkan infeksi sistemik. Keterlibatan pembelahan dan / atau karies gigi pada molar pertama rahang bawah kiri dianggap sebagai fokus utama dari gejala akutnya saat ini. Oleh karena itu, pertama-tama kita melepas mahkota logam pada molar pertama rahang bawah kiri. Karena efek pemberian empiris awal antibiotik, tidak ada supurasi yang diamati, tetapi lesi karies yang jelas berkembang dari cabang akar ke akar distal diamati. Spesimen dari dentin lunak lesi karies diambil sampelnya untuk uji kultur, yang mengungkapkan Staphylococcus aureus resisten methicillin (MRSA) dan Enterococcus faecalis (Streptococci Grup D). Hasil ini menyiratkan bahwa ada pertempuran agresif antara antibiotik yang diberikan kepada pasien dan bakteri invasif. Kami mengangkat sebanyak mungkin dentin lunak yang terinfeksi dari molar pertama rahang bawah kiri, dan molar akhirnya diekstraksi di bawah pemberian i.v. vankomisin (1 g setiap 12 jam) dan p.o. clyndamycin (300 mg setiap 8 jam) setelah kondisi umum pasien pulih. Diskusi Kami menemukan kasus infeksi odontogenik oleh S. constellatus yang menyebabkan infeksi sistemik pada pasien sindrom Cogan. Pasien telah menderita osteomielitis mandibula kronis mandibula untuk waktu yang lama, dan selama periode itu, gejala akut osteomielitis yang disebabkan oleh bakteri pribumi oral S. constellatus diamati. Ketika pasien mengunjungi departemen bedah mulut dan maksilofasial, dia sudah menjalani terapi antimikroba intravena untuk memerangi S. constellatus serta anaerob. Situs infeksi aktif dengan demikian tidak jelas secara klinis di rongga mulutnya. Namun, mengingat MRSA terdeteksi pada dentin lunak di sekitar keterlibatan pembelahan dari molar pertama rahang bawah kiri setelah terapi antibiotik empiris pertama, kami menganggap bahwa karies gigi dan / atau periodontitis kronis / sekitar molar pertama rahang bawah kiri adalah



49



yang paling kemungkinan fokus dari osteomyelitis akut yang mengarah ke infeksi sistemik pasien. Sindrom Cogan adalah gangguan peradangan kronis yang paling sering menyerang orang dewasa muda. Tanda klinisnya adalah keratitis interstitial dan disfungsi vestibuloauditory. Asosiasi antara sindrom Cogan dan vaskulitis sistemik (serta aortitis) juga ada. Kami tidak dapat menemukan laporan apa pun yang menjelaskan hubungan antara sindrom Cogan dan penyakit mulut seperti periodontitis dan karies gigi. Namun, banyak studi klinis menunjukkan hubungan potensial antara periodontitis kronis dan penyakit autoimun rheumatoid arthritis (RA). Baik pada RA dan periodontitis, ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi yang dianggap bertanggung jawab atas kerusakan jaringan adalah terbukti. RA dan periodontitis terkait dengan kerusakan tulang, diperantarai oleh sitokin inflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan prostaglandin E2. Pasien kami telah menggunakan PSL dosis tinggi selama tidak kurang dari 7 tahun sebagai pengobatan utama untuk sindrom Cogan. Mempertimbangkan karakter dimediasi-autoimun atau kekebalan sindrom Cogan dan fakta bahwa pasien berada dalam terapi imunosupresif jangka panjang, kami menduga bahwa dia cukup berkompromi untuk menderita sepsis yang disebabkan oleh flora normal rongga mulut. Selain itu, riwayat perawatan bifosfonat (BP) pasien juga perlu diperhatikan. Ketika kami mengobatinya, dia telah minum natrium hidrat alendronate selama 2 tahun dan 9 bulan sebelumnya. Meskipun terapi BP dapat memberikan manfaat yang besar, berbagai efek samping dapat berkembang, yang paling serius adalah osteonekrosis rahang terkait BP (BRONJ). Riwayat pengobatan BP pasien kami mungkin dikaitkan dengan inisiasi dan perkembangan osteomielitisnya S. constellatus terdeteksi oleh kultur darah pada pasien. Bakteri ini dikenal sebagai salah satu spesies streptokokus kelompok Streptococcus milleri bersama dengan S. intermedius dan S. anginosus. Kelompok milleri S. adalah bagian dari flora normal di rongga mulut dan saluran pencernaan dan telah



50



diisolasi dari karies gigi dan penyakit periodontal. Yang penting, kelompok milleri S. dicirikan oleh kecenderungan untuk pembentukan abses dan patogenesis yang kuat yang mengarah ke infeksi sistemik yang mengancam jiwa. Jika tidak ada abses secara klinis, isolasi kelompok milleri S. harus segera evaluasi radiografi lebih lanjut untuk abses. Kehadiran kelompok ini di rongga mulut tidak hanya predisposisi infeksi endodontik tetapi juga infeksi maksilofasial, yang dapat menyebabkan infeksi metastasis jauh yang melibatkan paru-paru, otak, hati, ginjal, atau jaringan lunak. Kami mengamati selulitis pergelangan kaki kiri pada pasien, dan ini telah dicurigai sebagai fokus lain septikemia sebelum identifikasi S. constellatus. Namun, mengingat sifat-sifat bakteri ini, dapat dikatakan bahwa selulitis pergelangan kaki itu sendiri berasal dari infeksi sistemik S. constellatus. Ini adalah laporan pertama yang menjelaskan infeksi odontogenik yang diperpanjang secara sistemik di luar rongga mulut pada pasien sindrom Cogan. Infeksi periodontal termasuk keterlibatan furkasi kemungkinan memainkan peran fasilitasi dalam memungkinkan diseminasi sistemik bakteri mulut.



Laporan Kasus 4 Infeksi Odontogenik Berat: Sebuah Kegawatdaruratan, Laporan Kasus



Abstrak Infeksi odontogenik merupakan masalah utama dalam konsultasi kesehatan gigi. Infeksi tersebut dapat terjadi di berbagai usia dan sebagian besar dari kejadian infeksi odontogenik berespon baik terhadap terapi medikamentosa dan bedah yang ada saat ini. Namun beberapa infeksi odontogenik dapat menyebar hingga struktur yang dalam dan vital, dapat mengancam nyawa, dan menembus



sistem



imun



pasien







terutama



pada



pasien



diabetes,



immunocompromised, dan pasien yang dilemahkan. Ludwig’s angina merupakan selulitis difusa berat yang dapat muncul dalam onset akut dan menyebar secara



51



cepat, menyerang kepala dan leher secara bilateral, dan terbukti mengancam nyawa. Sebuah kasus infeksi gigi berat dilaporkan di mana ditekankan akan pentingnya penanganan jalan nafas, diikuti dengan dekompresi bedah di bawah penggunaan antibiotik yang adekuat. Kata kunci: Ludwig’s angina, infeksi odontogenik berat, dekompresi bedah, infeksi gigi.



Pendahuluan Infeksi odontogenik cukup banyak terjadi dan pada umumnya dapat ditangani dengan menggunakan bedah lokal meskipun komplikasi dapat terjadi pada beberapa kasus dan berakhir dengan kejadian morbiditas ataupun mortalitas. Infeksi odontogenik pada umumnya bersifat sekunder dari nekrosis dentin, penyakit periodontal, pericoronitis, lesi apikal, dan komplikasi dari prosedur kesehatan gigi tertentu. Penyebaran sebuah infeksi bergantung dari keseimbangan antara kondisi pasien dan faktor-faktor mikroba. Virulensi kuman bersama dengan kondisi lokal dan sistemik dari pasien menentukan resistensi pada pasien. Perubahan sistemik yang mendukung penyebaran infeksi dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS, diabetes melitus tidak terkendali, sistem imun yang tertekan, alkoholik, dan pasien dengan kondisi lemah. Ludwig’s Angina merupakan infeksi kepala dan leher yang bersifat progresif cepat, disertai edema dan nekrosis dari jaringan lunak pada leher dan dasar mulut, dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Infeksi ini dapat menyebabkan pembentukan tumor progresif dari jaringan lunak, perubahan rongga sublingua, submandibula, dan submental, disertai elevasi dan pergeseran dari lingua yang dapat menyebabkan jalan nafas terobstruksi dan kolaps. Sebelum era antibiotik, mortalitas pasien dengan Ludwig’s Angina lebih dari 50%. Dengan digunakannya



antibiotik,



perkembangan



pemeriksaan



pencitraan,



dan



perkembangan teknik bedah, mortalitas tersebut menurun hingga 8%. Namun dalam 10-15 tahun terakhir, ditemukan hambatan-hambatan dalam tatalaksana



52



kasus ini. Hal tersebut diduga terjadi akibat munculnya resistensi antibiotik karena penggunaan yang kurang bijak dan meningkatnya populasi individu dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus. Lokasi terjadinya proses infeksi pada rongga-rongga anatomi dari area buccofasial menentukan risiko terganggunya jalan nafas dan penyebaran ke struktur maupun organ vital lainnya. Flyn et al. mengklasifikasikan derajat infeksi odontogenik melalui penilaian 1 hingga 4 (ringan, sedang, berat, dan sangat berat) berdasarkan rongga anatomis yang terganggu, derajat gangguan jalan nafas, dan penyebaran pada struktur vital seperti mediastinum, jantung, atau organ-organ intrakranial. Peningkatan derajat infeksi dan komplikasi dapat memperpanjang durasi rawat inap yang dibutuhkan, mempersulit tatalaksana, dan perawatan dalam Special Care Unit (SCU). Mengenai hal tersebut, identifikasi faktor risiko yang dapat memperberat derajat infeksi penting untuk dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan terapi yang sesuai sedini mungkin. Penulis menjelaskan sebuah kasus infeksi odontogenik berat dan menentukan korelasi antara penyakit tersebut dan faktor risiko sistemik seperti diabetes melitus dan kemungkinan adanya resistensi terahadap terapi antibiotik empiris.



Laporan Kasus Seorang laki-laki berusia 42 tahun datang dengan benjolan yang muncul tiba-tiba, progresif, dan disertai nyeri pada regio submandibula sinistra sejak 48 jam yang lalu. Rekam medis menunjukkan bahwa pasien memiliki hipertensi dan diabetes tipe 2 dengan terapi glibenclamide (50mg/hari) yang sedang berlangsung. Kedua kelainan tersebut tidak pernah diperiksakan kembali sejak 12 bulan terakhir. Pasien menderita diabetik retinopati dan sudah pernah menjalani terapi tuberkulosis paru. Pasien sudah pernah didiagnosis dan mendapat terapi sehubungan dengan gejala pericoronitis pada gigi 3.8, melalui pemberian



53



antibiotik oral (amoxicillin 500mg + asam klavulanat 125mg 3 kali sehari) dan NSAID oral (ibuprofen 400mg 3 kali sehari). Pasien merasa terapi awal tidak mengatasi keluhan, kemudian pasien datang ke unit bedah maksilofasial. Pasien datang dengan keadaan sadar penuh dengan kelemahan fisik, dehidrasi, demam (38,5ºC), disfagia, trismus berat, dan adenopati submaksila. Pasien juga datang dengan takikardi dan takipnea (23 rpm) disertai stridor dan SPO2 93%. Wajah pasien tampak asimetris dengan benjolan di regio submandibula sinistra yang keras, berbatas tidak tegas, dan disertai nyeri. Melalui pemeriksaan intraoral dengan penyulit berupa trismus, ditemukan massa retromolar dari molar 3.8 melebar ke dasar mulut ipsilateral. Foto panoramic (Gambar 1) menunjukkan molar ketiga mengalami perubahan posisi menjadi distoangular. Diagnosis phlegmon pada dasar mulut (Ludwig’s Angina) ditegakkan sebagai akibat dari pericoronitis supuratif pada gigi 3.8.



Gambar 1.



Tampilan foto panoramik pada presentasi awal. Perhatikan daerah



radiolusen perikoronal irreguler yang terkait dengan impaksi parsial tulang pada gigi 3.8 pada posisi vertikal. Ruang perikoronal distal yang kompatibel dengan inflamasi kista paradental.



54



Pasien kemudian menjalani rawat inap dan diminta inform consent untuk tindakan



bedah.



Pasien



mendapat



tereapi



antibiotik



empiris



intravena



(clyndamicin 600mg per 8 jam dan ceftriaxone 2g tiap 24 jam). Saat dirawat inap pasien memiliki leukositosis (20.000 sel/mm2), konsentrasi C-reactive protein berada pada 300mg/l, gula darah 325 mg/dl dan HbA1c bernilai 17,6%. Terapi insulin kemudian diberikan. Kondisi klinis pasien memburuk dalam 2 jam dengan edema pada dasar mulut menyebabkan gangguan jalan nafas. Eksplorasi dilakukan menggunakan laringoskopi dan trakeotomi emergensi dilakukan karena intubasi dan ventilasi tidak dapat dilakukan (Gambar 2).



Gambar 2.



Pasien dengan selulitis berat yang difus (Ludwig’s angina);



trakeostomy



dengan



pembengkakan



submandibular bilateral, sublingual dan



yang



berkelanjutan,



simultan



dan



melibatkan ruang submental, elevasi



lidah dan protrusi , dengan blokade total saluran napas bagian atas, dan ventilasi pelindung mekanik.



55



Ventilator mekanik kemudian dipasang pada pasien dan pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU) untuk perawatan dan stabilisasi kondisi. Setelah menjalani CT-scan kepala dan leher (Gambar 3) pasien ditemukan memiliki gagal ginjal akut dengan kreatinin plasma 5,7 mg/dl.



Gambar 3.



CT-scan. Bagian sagital menunjukkan elevasi saluran napas bagian



atas dan lidah yang protusi (tonjolan lidah) yang menunjukkan adanya gangguan pada saluran pernapasan dan daerah hipodens yang besar menandakan adanya proses infeksius dari Ludwig’s angina yang difus.



Pada hari ke-4 rawat inap, gigi 3.8 diekstraksi, dilakukan drainase, dan servikotomi dilakukan (Gambar 4,5).



56



Gambar 4. di leher.



Eksplorasi bedah servikotomy untuk mengambil jaringan nekrosis Debridemen dan pembersihan debris jaringan nekrosis dilakukan



dengan irigasi pembedahan yang besar.



.



57



Gambar 5.



Drain yang terus menerus : Dua selang ditempatkan untuk



memfasilitasi irigasi dan aspirasi jaringan yang terkena konten purulen.



Hasil kultur menunjukkan adanya bakter i Acinetobacter baumannii (AB) dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Pasien kemudian mendapat terapi tigecycline (50mg tiap 12 jam i.v. selama 14 hari). Kondisi pasien kemudian membaik dengan penurunan parameter inflamasi dan fungsi ginjal yang membaik. Ekstubasi dilakukan setelah 2 minggu, nafas dapat dilakukan pasien dengan baik, hemodinamik membaik, dan GCS 15 (Gambar 6).



Gambar 6.



Pasien diekstubasi dengan pengangkatan tabung trakeostomi. Dua



puluh hari setelah operasi tidak ada tanda-tanda infeksi yang jelas. Perbaikan kondisi pasien ditandai dengan stabilisasi diabetes.



Parameter inflamasi membaik dengan penurunan demam. Ventilasi spontan dapat dicapai tanpa dibutuhkan pemberian oksigen tambahan. Pada hari



58



ke-22 pasien memiliki kondisi umum yang baik, hemodinamik stabil, luka bekas operasi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi, dan parameter inflamasi tidak lagi ditemukan. Pasien kemudian dibolehkan pulang dengan jadwal kontrol pada hari ke-7, ke-14, dan ke-30 setelah dipulangkan.



Pembahasan Diagnosis Ludwig’s Angina pertama kali digunakan pada 1836 oleh dokter di Jerman, Wilhelm Friedrich Von Ludwig untuk menggambarkan penyakit infeksi berat dengan selulitis berat pada dasar mulut. Kondisi tersebut memiliki potensi mengancam jiwa dengan adanya kemungkinan terjadinya sepsis, obstruksi saluran nafas atas, dan edema dari epiglottis. Proses infeksi penyebab kondisi tersebut dapat berasal dari odontogenik maupun non-odontogenik. Odontogenik infeksi berasal dari gigi atau jaringan sekitarnya dan merusak tulang sekitar gigi dengan penyebaran yang dekat maupun penyebaran jauh. Infeksi odontogenik merupakan penyebab paling umum, 7090% berasal dari nekrosis dentin, penyakit periodontal, pericoronitis, granuloma, kista apikal, dan komplikasi dari prosedur kesehatan gigi tertentu. Infeksi nonodontogenik



dapat



terjadi



akibat



fraktur



maksilofasial,



sialoadenitis



submandibula, infeksi kelenjar saliva, lesi tumor atau kista, dan infeksi dari faring atau tonsil. Sumber pustaka menyebutkan infeksi odontogenik sebagai penyebab paling umum dari penyakit pada kepala dan leher. Umeda et al. melaporkan 9 kasus, meninjau ulang sumber pustaka berbahasa Inggris, dan didapatkan 125 infeksi yang berasal dari odontogenik. Umeda et al. infeksi periapikal dari molar kedua dan ketiga mandibula sebagai asal infeksi yang paling umum ditemukan (70-80%), diduga karena akar gigi yang melebar hingga mendekati otot mylohyoid, sehingga infeksi yang terjadi dapat meluas ke rongga submaksila, sublingua, dan submental. Flynn et al. mempublikasikan 49 kasus infeksi odontogenik berat dengan perluasan ke rongga-rongga dalam. Dari 49 kasus, 68% kejadian infeksi didapatkan berasal dari molar ketiga inferior, 22% diakibatkan oleh pericoronitis, dan sisanya berasal dari gigi mandibula posterior lainnya. Pada



59



kasus ini, asal infeksi disesuaikan dengan sumber pustaka di mana terjadi gangguan impaksi gigi molar mandibula ketiga dengan pericoronitis yang berkembang menjadi phlegmon dasar mulut. Kurien et al.melakukan studi komparatif dari penyebab-penyebab Ludwig’s Angina pada anak-anak dan individu dewasa. Kurien et al. menemukan bahwa 52% pada individu dewasa Ludwig’s Angina terjadi akibat masalah di kesehatan gigi dan 39% terjadi akibat penyakit kronis seperti diabetes melitus yang tidak terkontrol. Rongga



anatomis



dari



kepala



dan



leher



harus



diperiksa



dan



diklasifikasikan sesuai dengan potensi risiko munculnya gangguan saluran nafas atau struktur vital seperti mediastinum, jantung, atau struktur intrakranial. Flynn et al. mengembangkan derajat dari infeksi odontogenik dengan skala 1 hingga 4 (ringan, sedang, berat, dan sangat berat) bergantung pada rongga anatomis yang ikut terganggu (Tabel 1). Skala numerik ini dapat menggambarkan risiko terganggunya saluran nafas atas. Berdasarkan klasifikasi tersebut, apabila pasien memiliki lebih dari satu rongga anatomis yang terganggu, nilai dari semua rongga tersebut dijumlahkan. Pada kasus ini, pasien mengalami gangguan pada rongga submaksila (SS=2), rongga sublingua (SS=2), rongga submental (SS=2), rongga pterygoid mandibula (SS=2), dan rongga faring lateral (SS=3) sehingga pasien memiliki skor 11 dari 36 skor maksimum. Menurut penulis, klasifikasi ini sendiri tidak dapat menggambarkan secara jelas derajat infeksi karena jumlah nilai yang didapatkan bahkan tidak mencapai setengah dari skor maksimum. Penyebab kematian terbanyak pasien dengan infeksi odontogenik adalah obtsruksi saluran nafas atas. Maka dari itu, petugas kesehatan harus dapat mengevaluasi saat melakukan asesmen pada pasien. Identifikasi tanda-tanda terganggunya rongga anatomis tertentu sangat penting pada pasien infeksi odontogenik. Trismus merupakan gejala khas dari infeksi odontogenik berat, penurunan kemampuan membuka mulut kurang dari 20mm yang terjadi dalam waktu singkat disertai nyeri hebat merupakan tanda dari infeksi rongga perimandibula. Meskipun didapatkan trismus, tenaga kesehatan harus mengidentifikasi adanya



60



disfagia dan mengetahui kondisi orofaring untuk mencari kemungkinan proses infeksi. Pada kasus obstruksi saluran nafas parsial, suara abnormal dapat ditemukan berupa stridor dan wheezing akibat dari turbulensi udara yang melewati saluran nafas. Pada kasus-kasus tersebut pasien pada umumnya mencondongkan kepalanya ke depan atau memiringkan lehernya ke lawan arah dari infeksi untuk mempertahankan ventilasi. Saturasi oksigen di bawah 94% pada pasien yang sebelumnya sehat merupakan tanda kurangnya oksigenasi jaringan. Apabila ditemukan tanda-tanda obstruksi parsial atau total, tindakan bedah emergensi dibutuhkan pada pasien dan intubasi endotrakeal harus dilakukan untuk mengamankan saluran nafas melalui trakeotomi atau krikotirotomi pada kasus ini. Pada beberapa penelitian, hitung leukosit dapat dijadikan sebagai parameter kondisi saat pasien dirawatinapkan. Leukositosis lebih dari 12.000 sel/mm3 menggambarkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Pada 66% dari kasus yang didapatkan, Flynn et al. dapat menemukan korelasi antara skor derajat infeksi dan nilai hitung leukosit saat rawat inap. Pada laporan kasus ini pasien memiliki jumlah leukosit 20.000 sel/mm3 dengan demam 38,5ºC, menyebabkan peningkatan kebutuhan metabolik dan kardiovaskular melebihi kemampuan pasien dan kehilangan cairan menyebabkan dehidrasi berat. Kondisi-kondisi medis tertentu dapat berinteraksi dengan fungsi sistem imun yang penting dalam pertahanan tubuh pasien melawan infeksi odontogenik. Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang paling mempengaruhi sistem imun tubuh pasien dengan hiperglikemi sebagai faktor yang paling banyak menyebabkan gangguan sistem imun tubuh pasien. Pada kondisi tersebut, seluruh sel imun tubuh terganggu, terjadi gangguan adhesi neutrofil, kemotaksis, dan fagositosis, sehingga menurunkan pertahanan tubuh pasien terhadap mikroba. Diabetes juga dapat menyebabkan reaksi makrofag berlebihan sehingga terjadi



peningkatan



sitokin



proinflamasi



dan



meningkatkan



respon



metalloproteinase jaringan ikat, menyebabkan kelemahan dalam menghadapi



61



infeksi. Selain itu, hiperglikemia kronis dapat menurunkan proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen sehingga mengganggu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Pasien pada laporan kasus ini datang dengan glycosylated hemoglobin (HbA1c) bernilai 17% tanpa monitoring yang baik selama 12 bulan terakhir. Pengendalian metabolisme yang kurang baik seperti ini meningkatkan kerentanan pasien terhadap perubahan sistem imun. Rawat inap pasien infeksi odontogenik dengan diabetes melitus lebih panjang daripada pasien tanpa diabetes melitus. Hal tersebut merupakan hubungan kuat antara diabetes melitus dan komplikasi dalam tatalaksana infeksi odontogenik berat. Terlepas dari derajat infeksi odontogenik, tatalaksana bedah dilakukan berdasarkan 2 prinsip utama: eliminasi penyebab fokal infeksi, dan pengosongan rongga anatomi yang terganggu disertai drainase. Tatalaksana bedah yang dilakukan harus bersifat agresif dan tepat seperti yang dijelaskan oleh William dan Guralnick. Pendekatan ini berdasarkan pada konsep bahwa pengosongan dan drainase dapat menghilangkan kemungkinan perluasan infeksi ke rongga lainnya meskipun phlegmon sudah terjadi. Sampel dan kultur bakteri dapat dilakukan pada tahap ini. Namun pada kasus infeksi odontogenik yang merusak beberapa rongga anatomi atau infeksi pada pasien dengan gangguan sistem imun, tatalaksana utama harus tetap dilakukan meskipun hasil kultur bakteri belum didapatkan. Pada pasien laporan kasus ini, tatalaksana bedah dilakukan pada hari ke-4 masuk rumah sakit setelah penyebab infeksi ditemukan, dan saluran nafas sudah diamankan.



Laporan Kasus 5 Ludwig’s Angina



Pasien laki-laki berusia 33 tahun yang sebelumnya sehat dengan riwayat diabetes melitus tipe 1 menjalani ekstraksi molar kiri bawah. Dua hari kemudian, pasien datang ke IGD dengan bengkak pada area submandibula sinistra, pasien



62



kemudian mendapat terapi meperidin, codein, dan penisilin G. Dua hari kemudian,



setelah



kegagalan



terapi,



pasien



kembali



dengan



bengkak



submandibula bilateral, kesulitan bernafas, dan menelan. Tanda-tanda vital antara lain TD:220/120 mmHG, dan suhu 39ºC. Setelah pasien dirawat inap, pasien dimasukkan ke ruang operasi untuk trakeostomy emergensi dan drainase. Terapi antibiotik dilanjutkan dengan pemberian penisilin G dan clyndamycin. Kondisi pasien kemudian membaik.



Pendahuluan dan Sejarah Ludwig’s Angina banyak ditemukan pada praktek umum saat ini. Ludwig’s Angina merupakan kasus berpotensi fatal dan membutuhkan intervensi segera; maka dari itu identifikasi dini dari kasus jarang ini sangat penting. Ludwig’s



Angina



merupakan



selulitis



bilateral



progresif



dari



rongga



submandibula berhubungan dengan elevasi dan pergeseran lingua posterior yang umumnya terjadi pada individu dengan infeksi gigi konkomitan. Nama penyakit ini diambil dari dokter Stuttgart, karl Friedrich Wilhelm von Ludwig yang pertama kali menggambarkan kondisi ini pada 1836. Gambaran dari dokter tersebut didapatkan melalui observasi pada 5 pasien dengan indurasi gangrenosa dari jaringan ikat pada leher yang meluas hingga otot-otot kecil antara laring dan dasar mulut. Ludwig’s Angina diketahui dalam berbagai nama lain seperti cynanche, carbuculus gangrenosus, angina maligna, morbus strangularis, dan garotillo. Meskipun istilah angina berhubungan dengan nyeri yang berasal dari jantung, istilah tersebut sebenarnya diambil dari istilah latin angere dan istilah Yunani ankhone yang berarti strangulasi. Pada kasus Ludwig’s Angina, istilah tersebut mengacu pada sensasi strangulasi dan cekikan akibat obstruksi jalan nafas oleh lingua. Individu dengan penyakit ini umumnya berusia 20-60 tahun dengan predominansi pasien laki-laki. Penyakit ini jarang ditemukan pada usia anak-anak namun juga dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas. Sebelum perkembangan



63



penisilin oleh Alexander Fleming dan produksi massalnya pada 1950, mortalitas dari Ludwig’s Angina melebihi 50%. Setelah perkembangan terapi antibiotik dan teknik bedah, mortalitas dari Ludwig’s Angina saat ini berada pada angka 8%.



Patofisiologi Infeksi ontogenik terjadi pada 70% kasus Ludwig’s Angina. Molar mandibula kedua merupakan lokasi asal infeksi paling umum dari Ludwig’s Angina, namun infeksi yang berasal dari molar mandibula ketiga juga banyak ditemukan. Rongga submandibula dipisahkan oleh otot mylohyoid menjadi rongga superior dan inferior. Apabila infeksi terjadi, perluasan dapat terjadi menembus otot tersebut sehingga terjadi Ludwig’s Angina bilateral. Infeksi juga dapat menyebar ke rongga pharyngomaksila dan retrofaringeal. Meskipun infeksi ontogenik merupakan rute terpaparnya bakteri ke rongga submandibula juga terdapat penyebab lainnya. Fraktur mandibula, tindikan pada frenulum lingua dan lingua, dan injeksi pada vena jugularis dapat memberikan rute bakteri untuk masuk ke rongga-rongga anatomi tersebut. Neoplasma dan kalkuli saliva juga dapat mengganggu struktur anatomi dan menyebabkan infeksi persisten yang mengarah ke Ludwig’s Angina. Penyebab Ludwig’s angina umumnya infeksi bakteri polimikroba yang meliputi spesies Streptococcus grup A. Bakteri lain yang juga dapat ditemukan melalui kultur antara lain spesies Staphylococcus, Fusobacterium, dan Bacteroides. Pasien dengan immunocompromised lebih banyak ditemukan terinfeksi bakteri yang lain seperti Pseudomonas, Escherichia coli, Candida, dan Clostridium. Sebagian besar Ludwig’s Angina terjadi pada pasien tanpa kelainan komorbid, meskipun individu dengan diabetes melitus, HIV, malnutrisi, dan alkoholik memiliki risiko Ludwig’s Angina yang lebih tinggi. Hubungan antara merokok dan kebersihan mulut yang buruk dengan kejadian Ludwig’s Angina juga ditemukan.



64



Tanda dan Gejala Gejala Ludwig’s Angina beragam bergantung pada pasien dan derajat infeksi. Gejala yang umum ditemukan antara lain demam, kelemahan fisik, dan kelelahan yang muncul akibat respon imun sehubungan dengan infeksi bakteri. Respon inflamasi menyebabkan bengkak pada leher dan jaringan pada rongga submandibula, submaksila, dan sublingua. Edema berat dapat menyebabkan trismus dan kesulitan dlam menelan. Nyeri yang muncul terutama saat menggerakkan lidah juga merupakan gejala umum Ludwig’s Angina. Gejala yang menggambarkan progresifitas penyakit ini berupa distress nafas antara lain dyspnea, tachypnea, atau stridor. Perubahan status mental pasien dapat terjadi akibat hipoksia berkepanjangan. Otalgia, disfagia, disfonia, dan disartria juga dapat ditemukan. Sepsis dapat terjadi seperti infeksi bakteri lainnya. Apabila dibiarkan, infeksi submandibula juga dapat menyebar hingga rongga mediastinum dan faringomaksila, atau ke tulang menjadi osteomyelitis. Pemeriksaan kepala dan leher dapat menggambarkan pembengkakan submandibula yang ditandai dengan pengerasan dan tegangan pada kepala dan leher (Gambar 1). Leher sekitar dagu dan dasar mulut akan mengalami edema dan eritema. Lidah akan terlihat membesar akibat pembengkakan jaringan di bawahnya (Gambar 2).



65



Gambar 2.



Obstruksi saluran napas bagian bawah karena pemindaahan lidah.



Tanda-tanda pada pemeriksan fisik yang dapat ditemukan sebagai gejala progresifitas Ludwig’s Angina adalah obstruksi jalan nafas berupa stridor, disfonia, dehidrasi berat, dan pembesaran kelenjar getah bening servikal.



Diagnosis, Pemeriksaan, dan Uji Diagnosis Ludwig’s Angina dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis. CT-scan atau MRI dapat membantu mengetahui lokasi dan perluasan infeksi. Pada 1939, Grodinsky mengembangkan kriteria diagnosis Ludwig’s Angina. Pasien harus datang dengan selulitis, bukan abses, dari rongga submandibula yang terjadi tidak hanya pada satu rongga anatomi dan umumnya terjadi bilateral; terdapat gangren dengan infiltrasi serosanguinosa dan putrid namun dengan pus yang sedikit; mengganggu jaringan ikat, fascia, dan otot namun tidak mengganggu kelenjar-kelenjar; dan tidak meluas melalui jalur limfatik.



66



Terapi Pemberian jalan nafas paten merupakan komponen utama dalam terapi komprehensif Ludwig’s Angina. Apabila jalan nafas terganggu, intubasi atau trakeostomy dapat dilakukan. Konsultasi maksilofasial atau otolaringologi urgen harus dilakukan untuk menentukan apakah drainase bedah dibutuhkan. Pemberian awal dari antibiotik spektrum luas yang mencakup bakteri gram positif, gram negatif, dan organisme anaerobik harus diberikan saat pasien di IGD. Meskipun penggunaan steroid kontroversial, pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema dapat dicapai bersamaan dengan pemberian antibiotik. Pasien harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU).



Kesimpulan Petugas Kesehatan harus waspada akan adanya Ludwig’s Angina karena diagnosis, pemberian antibiotik, dan tatalaksana bedah yang tepat sangat penting untuk mencegah morbiditas berat yang dapat terjadi akibat Ludwig’s Angina.



.



67



BAB IV KESIMPULAN 1.1 Kesimpulan Selulitis adalah suatu peradangan difus jaringan lunak yang tidak dibatasi atau terbatas pada satu area dan cenderung menyebar melalui jaringan di ruang sepanjang bidang wajah. Organisme penyebab utamanya adalah pyogenes streptococcus,



meskipun



berbagai



bakteri



aerob



dan



anaerob



dapat



menyebabkannya. Bakteri ini menghasilkan jumlah yang signifikan dari streptokinase, hyaluronidase dan fibrinolisin yang rusak atau larut pada asam hyaluronic. Selulitis leher dan wajah paling sering disebabkan dari infeksi gigi baik sebagai sekuel abses apical atau osteomielitis atau akibat setelah terjadinya infeksi periodontal. Selulitis biasanya mengenai jaringan lunak yang berdekatan dengan gigi yang bersinggungan. Nyeri, demam dan limfadenopati dapat terjadi. Biasanya area yang bengkak diffuse, berbatas merah tegas dan hangat. Tanpa terapi yang tepat penyebaran infeksi mungkin dapat menyebabkan trombosis sinus kavernosus, mediastenitis supuratif, dan obstruksi saluran napas atau bakteremia sistemik. Imunosupresi, Diabetes dan keganasan merupakan factor resiko utama terjadinya selulitis. Fokus infeksi harus diselesaikan dan antibiotik harus diberikan, jika infeksi terlokalisasi, harusnya dilakukan drainase. Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat, potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan submandibular[13,15,16].



68



Angina Ludwig biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus, stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob[13,18]. Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea, dan takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, disfagia, odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak, stridor, distress pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing” position[13]. Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini[13,14]. Foto polos leher dan dada, sonografi, foto panorama, CT scan, dan MRI dapat membantu mendiagnosis angina Ludwig.[13]. Proteksi dari jalan nafas merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal pasien ini. Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik intravena secara agresif harus dilakukan. Drainase surgikal diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif, bukti radilogis adanya penumpukan cairan didalam soft-tissue, krepitus, atau aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi antibiotik.



1.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan sebagai berikut: 1. Kerja sama dari berbagai pihak diperlukan dalam meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien Selulitis dan Angina Ludwig 2. Setiap pihak yang bertanggung jawab terhadap kesehatan harus memahami mengenai etiologi, patofisiologi, diagnosis, terapi, dan prognosis dari Selulitis dan Angina Ludwig.



69



DAFTAR PUSTAKA



1. Fahriah. Pandaleke HE. Kapantow GM. Profil pioderma pada orang dewasa di poliklinik kulit dan kelamin RSUP prof. Dr. R. D. Kandou manado tahun 2012. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1;2015.Hal.526-527. 2. Neville, et al, 2004, Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders, Philadephia 3. Swartz MN. Clinical practice: cellulitis. N Engl J Med. 2004; 350:904-912. 4. Daili ES. Menaldi SL.Wisnu IM. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. PT Medical multimedia indonesia. Jakarta : 2005. 5. Wolff K, Johnson RA, Fitzpatricks: color atlas and synopsis of clinically dermatology. New York: McGrawHill. 2008 6. Novarina RM, Sawitri. Profil Pasien Erisipelas dan Selulitis (The Profile of Erysipelas and Cellulitis Patients). Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin - Periodical of Dermatology and Venereology. Volume 27, nomor 1 ; 2015. 7. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis: a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94 8. Joseph J, Abraham S, Soman A, et al. Cellulitis: a bacterial skin infection, their causes, Diagnosis and treatment. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Volume 3, Issue ;2014.Hal 308-326. 9. Fulton Raymond. Guidelines On The Management Of Cellulitis In Adults. Clinical Resource Efficiency Support Team (CREST). Northern Ireland:2005. 10. Atzori L. Manunza F. Pau M. New Trends In Cellulitis. EMJ European Medical Journal dermatology.2013: Hal.64-76 11. Wolff K. Leffel DJ. Paller AS. et al. Fitzpatricks : Dermatology in general medicine eighth edition. McGrawHill. New York: 2008. 12. Ugboko V, Ndukwe K, Oginni F. 2005. Ludwig’s Angina: An Analysis of Sixteen Cases in a Suburban Nigerian Tertiary Facility. African Journal of oral Health. Volume 2 Numbers 1 & 2 2005: 16-23



70



13. Lemonick DM. 2002. Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment. Hospital Physician. p. 31-37 14. Kulkarni AH, Pai SD, Bhattarai B, Rao ST, Ambareesha M. 2008. Ludwig’s Angina and Airway Considerations: A Case Report. Cases Journal 2008, 1:19 15. Grupta AK, Dhulkhed VK, Rudagi BM, Gupta A. 2009. Drainage of Ludwig’ Angina under Superficial Cervical Plexus Block in Pediatric Patient. Anestesia Pediatrica e Neonatale, Vol. 7, N. 3 16. Cossio PI, Hinojosa EF, Cruz MAM, Perez LMG. 2010. Ludwig´s angina and ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2010 Jul 1;15 (4):e624-7 17. Srirompotong S. 2003. Ludwig’s angina: a clinical review. Eur Arch Otorhinolaryngol (2003) 260 : 401–403 18. Moorhead K, Guiahi M. 2010. Case Report: Pregnancy Complicated by Ludwig’s Angina Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology Volume 2010, Article ID 158264, 3 pages 19. Heavey J, Gupta N. 2008. Ludwig’s Angina. The New England Journal of Medicine. 359;14 20. Telian SA, Schmalbach CE. 2003. Chronic Otitis Media. Dalam: Snow JB, Ballenger JJ. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th edition. BC Decker: Spain. P. 1039 21. Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolarylology: A Step by Step Learning Guide. Georg Thieme Verlag: Stuttgart. p. 84-85.



71