Makalah Sewa Menyewa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ijarah, dengan hamzah berharakat kasrah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ajara, menurut pendapat yang masyhur. Akad ijarah terdiri dari dua kategori : 1. Akad ijarah dalam tempo masa yang ditentukan dari suatu barang tertentu yang sudah diketahui atau dari suatu barang yang hanya dijelaskan kriterianya yang masih berada dalam tanggungan pemiliknya. (Kategori bisa disebut dengan sewa barang). 2. Akad ijarah atas kerja yang sudah diketahui dengan kompensasi yang sudah ditentukan (Kategori ini disebut sewa tenaga, sewa buruh, sewa pekerja atau karyawan). Kedua kategori ini sah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas : Allah SWT berfirman, ”…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” (Qs. Ath-Thalaaq 65: 6). Dalam kisah hijrah dijelaskan bahwa beliau SAW menyewa seorang lelaki dari bani Ad-Dil (sebagai penunjuk jalan). Ibnu Al Mundzir berkata, “Setiap ulama yang kami catat pendapatnya sepakat bahwa akad ijarah diperbolehkan. Dari sudut Qiyas, bahwa jasa atau manfaat suatu barang amat dibutuhkan, sama halnya dengan kebutuhan atas barang itu sendiri. Pembahasan dalam makalah ini seperti halnya melihat dalam masalah jual beli (maksudnya, bahwa pokok-pokoknya terbatas dengan melihat kepada macam-macamnya, syarat dan rukunnya, dan kepada hukumnya), hal tersebut ada dalam satu persatu jenis diantara sewa menyewa, serta hal yang bersifat umum bagi lebih dari satu).



1



B. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk menyetahui pengertian sewa menyewa 2. Untuk menyetahui jenis-jenis barang yang disewakan 3. Untuk menyetahui syarat dan rukum sewa menyewa 4. Untuk menyetahui syarat barang yang disewakan 5. Untuk menyetahui tujuan sewa menyewa 6. Untuk menyetahui ketentuan untung rugi dalam sewa menyewa barang 7. Untuk menyetahui hukum sewa menyewa 8. Untuk menyetahui keuntungan dan kerugian adanya sewa menyewa 9. Untuk menyetahui upah kerja dalam sewa menyewa 10. Untuk menyetahui batalnya sewa menyewa



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Sewa Menyewa Sewa menyewa dalam bahasa arab di istilahkan dengan Al ijarah. Menurut pengertian hukum islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dari pengertian diatas dilihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah pengambilan manfaat sesuatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya sama sekali tidak berkurang. Dengan perkataan lain terjadinya sewa menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut. Didalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut mu’ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mu’tajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah. Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual (kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yabg menyewakan (mu’ajir) wajib menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir). Dengan diserahkannya manfaat barang / benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya (ujarah). Al-Ijarah terambil dari kata al-Ajr yang artinya adalah pengganti atau upah. Allah berfirman yang artinya : “… jika kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu… “(Qs. AlKahfi 18 : 77 ) Defenisi ijarah dalam syara’ adalah akad atas manfaat yang dibolehkan, yang berasal dari benda tertentu atau yang disebutkan cirri – cirinya, dalam jangka waktu yang diketahui, atau akad atas pekerjaan yang diketahui, dengan bayaran yang diketahui.



3



Menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda – beda, antara lain sebagai berikut : 1. Menurut Hanafiyah: ‫ض‬ ٍ ْ‫ًُُد عَل َى ْا ل َمنَا فِ ِع بِعَو‬OP ‫َع ْق‬



“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”. 2. Menurut Malikiyah: ُ ُ ْ ‫ْض ال َم ْنقُوْ اَل ِن‬ ِ ‫تَ ْس ِميَة التَّ َعا ق ِد عَل َى َمنفَ َع ِة اآل َد ِم ِّى َوبَع‬



“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat di pindah kan”. 3. Menurut Al-syarbini al-khatib: ُ ‫تَ ْملِ ْي‬ ‫ض بِ ُشرُوْ ٍط‬ ٍ ‫ك َم ْنفَ َع ٍة بِ َع َو‬



“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat”. 4. Menurut Asy-syafi’iyah: ًَُ ‫ض َم ْعلُوْ ٍم‬ َ َ‫َلى َم ْنفَ َع ٍة َم ْقصُوْ َد ٍة َم ْعلُوْ َم ٍة ُمب‬ َ ‫َُد ع‬OَP ‫َع ْق‬ ٍ ْ‫اح ٍة قَابِلَ ٍة ِل ْلبَ ْذ ِل َو ْا ِإلبَا َح ِة بِعَو‬



“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”. Berdasarkan defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. B. Jenis Jenis Barang yang Disewakan Barang yang disewakan harus diketahui secara jelas yang berbentuk, yang bisa diambil manfaat secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. 1. Sewa Menyewa Rumah Sewa menyewa rumah adalah untuk dipergunakan sebagi tempat tinggal oleh penyewa atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali. Hal ini dibolehkan dengan syarat pihak menyewa tidak merusak bangunan yang disewanya, selain itu penyewa atau orang yang menempatinya berkewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap



4



dapat dihuni sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku ditengah tengah masyarakat. 2. Sewa Menyewa Tanah Sewa menyewa tanah dalam hukum perjanjian islam dapat dibenarkan baik tanah untuk pertanian atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya. Hal- hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah antara lain sebagai berikut, “untuk apakah tanah tersebut digunankan ?” apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka harus diterapkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewanya. Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewa / pemilik mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis tanaman tua/keras Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan . 3. Sewa Menyewa Binatang a. Malik membolehkan seseoarang menyewakan pejantannya untuk mengawini sekawanan unta yang telah diketahui. b. Abu Hanifah dan Syafi’i tidak membolehkan hal tersebut. Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku. Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini, dan hal tersebut tidak boleh menurut Syafi’I dan Malik.



5



Syafi’I dalam membolehkan penyewaan manfaat mensyaratkan bahwa manfaat tersebut memiliki harga tersendiri sehingga tidak boleh menyewa buah untuk dicium, serta makanan untuk menghiasi toko, karena manfaat-manfaat ini secara tersendiri tidak memiliki nilai. Maka hal tersebut menurut Malik dan Syafi’I tidak dibolehkan. Hal ini juga mempunyai perselisihan dalam madzhab (Malik) mengenai menyewakan uang dirham serta dinar. Segala sesuatu yang di ketahui bahwa itu adalah mata uang maka Ibnu Al Qasyim berkata, “Tidak boleh menyewakan jenis ini dan hal tersebut termasuk hutang.” Abu Bakar Al Abhari serta yang lainnya mengklaim bahwa hal tersebut sah, dan harus ada upahnya, sedangkan ulama yang melarang menyewakannya karena tidak terbayangkan adanya suatu manfaat seperti berbasa basi dengan uang tersebut, atau berpura-pura memiliki uang banyak atau yang lainnya di antara hal-hal yang terbayangkan di dalam masalah ini. Adapun masalah-masalah yang diperselisihkan yang berhubungan dengan jenis harga, yaitu masalah masalah yang berhubungan dengan sesuatu yang menjadi harga pada barang-barang dagangan dan sesuatu yang tidak menjadi harga. Di antara hadits yang melarang dari bab ini adalah, “Bahwa Rasulullah SAW melarang menyewakan pejantan, hasil tukang bekam, serta qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung).” Ath-Thahawi berkata, “Makna larangan Rasulullah SAW dari qafizuth thahhan (takaran pembuat tepung) adalah apa yang dilakukan orang-orang pada zaman jahiliyah yaitu menyerahkan gandum kepada pembuat tepung dengan upah sebagian dari tepung yang ia tumbuk.” Menurut mereka hal ini tidak boleh, hal tersebut merupakan penyewaan dengan barang yang tidak ia miliki dan tidak termasuk sesuatu yang merupakan utang dalam suatu tanggungan serta Syafi’i sepakat dengan hal ini. Para sahabat nya mengatakan apabila menyewa tukang menguliti dengan upah kulit, dan tukang pembuat tepung dengan upah



6



dedak atau satu sha’ tepung maka penyewaan tersebut telah rusak (batal) karena terdapat larangan Rasulullah SAW dari qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung), dan hal ini menurut madzab Malik dibolehkan karena dia menyewanya untuk memproses sebagian makanan yang telah di ketahui, dan upah pembuat tepung adalah sebagian makanan itu dan hal tersebut juga telah di ketahui. Disebutkan didalam Al Ikhtiyarat : Mengambil upah dari sekadar membaca Al-Qur’an tidak pernah dikatakan oleh seorang imam pun. Adapun yang mereka perselisihkan adalah mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an. Dan tidak apa-apa mengambil upah adri ruqyah. Ucapan Perawi (meniupnya), maksudnya adalah meniup disertai dengan sedikit ludah. Ibnu Abi Hamzah mengatakan, “Meniup ketika meruqyah adalah setelah selesai membaca untuk mendapatkan berkah dari bacaan.” 4. Menyewa Kaum Quraisy Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari bani Ad-Dil sebagai pemandu yang pandai menunjukkan jalan), asalnya dari hadits panjang yang dikemukakan oleh Al-Bukhari pada kisah hijrahnya Nabi SAW. Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang muslim menyewa orang kafir untuk menunjukkan jalan bila dapat dipercaya. Al-Bukhari menyebutkan hadits ini pada kitab Al-Ijarah yang memberinya judul “Bab: Menyewa Orang Musyrik dalam kondisi terpaksa bila tidak ada yang muslim. “Seolah-olah Al Bukhari hendak menggabungkannya dengan sabda beliau SAW, “Aku tidak akn meminta bantuan kepada orang musyrik”. (di keluar kan oleh muslim dan para penyusun kitab sunan). Ibnu baththal mengatakan, “Para ahli fiqih membolehkan menyewa mereka, yakni orang-orang musyrik, baik dalam kondisi terpaksa maupun tidak, karena hal ini mengandung perendahan mereka adapun yang dilarang adalah seorang muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik, Karena dengan begitu berarti ia telah merendahkan dirinya sendiri.



7



5. Menyewa Pekerja Dengan Upah Harian, Bulanan, Tahunan Atau Berdasarkan Jumlah Yang Dikerjakan. Dari Ali RA, ia menuturkan, “Suatu ketika aku merasa sangat lapar, maka aku keluar untuk mencari pekerjaan dipinggiran Madinah. Tiba-tiba aku mendapati seorang wanita sedang mengumpulkan tanah kering, aku menduga bahwa ia hendak membasahinya, lalu aku menawarkan jasa padanya untuk setiap ember satu butir kurma. Lalu aku megerjakan enam belas ember hingga kedua tangan ku terasa pegal. Lalu ia pun memberiku enam belas butir kurma. Kemudian aku datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau, lalu beliau pun makan dari kurma itu.” (HR. Ahmad) Dari Anas, ia menuturkan,”Ketika kaum muhajirin dari Makkah sampai di Madinah, mereka datang tanpa membawa apa-apa, sedangkan kaum anshar adalah para pemilik tanah dan rumah, maka kaum anshar pun berbagi dengan mereka dengan kesepakatan mendapat separuh hasil buahnya setiap tahun dan mereka membantu bekerja dan biaya.” (HR. AlBukhari dan Muslim) Ibnu Umar mengatakan, “Nabi SAW menyerahkan penggarapan lahan khaibar dengan upah separuh hasilnya, dan itu berlangsung pada masa Nabi SAW, Abu Bakar dan permulaan masa khalifah Umar. Ia tidak menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar memperbaharui sewa setelah wafat nya Nabi SAW.” (HR. Al Bukhari) Hadits Ali RA menunjukkan tentang kondisi para sahabat yang sangat membutuhkan namun tetap bersabar menghadapi lapar, bekerja pada orang lain untuk mendapatkan makanan agar bisa menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain; Bahwa menawarkan diri (untuk bekerja) tidak di anggap hina, walaupun si penyewa bukan orang mulia atau orang kafir sedangkan yang disewa adalah orang mulia atau pembesar. Dalil bolehnya ijarah mu’adadah (penyewaaan sesuai jumlah), yaitu penyewa mengerjakan sejumlah pekerjaan tertentu yang di upah



8



sesuatu sebanyak jumlah pekerjaan itu, walau pun sebelumya tidak dijelaskan jumlah pekerjaan dan upahnya (jadi yang di upah adalah sesuai yang di kerjakan). Hadits Anas menunjukkan bolehnya menyewakan tanah dengan harga sewa separuh hasilnya setiap tahun, begitu juga hadits Ibnu Umar. C. Syarat dan Rukun Sewa Menyewa 1. Adapun Syarat Sewa Menyewa adalah : a. Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridla b. Barang/sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan kadar nya jelas itu misalnya: Rumah disewa 1 tahun, Taksi disewa dari yogya sampai solo 1 hari, atau seorang pekerja disewa mengerjakan membuat pintu besi ukuran sekian meter c. Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalny: Rumah Rp. 100.000,sebulan, dibayar tunai atau angsuran d. Yang menyewakan adalah pemilik barang sewa, walinya/orang yang menerima wasiat (washiy) untuk bertindak sebagai wali e. Ada kerelaan kedua belah pihak yang menyewa kan dan penyewa yang digambarkan paa adanya ijab Kabul f. Yang disewakan ditentukan barang atau sifat-sifatnya g. Manfaat yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara’ h. Berapa lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas i. Harga sewa yang harus dibayar bila berupa uang ditentukan berapa besarnya j. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa, tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya



9



2. Adapun rukun-rukun sewa menyewa adalah : Mu’jir dan mus’tajir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah dalam hal upah mengupah. Mus’tajir adlah orang yang memberi upah untuk melakukan sesuatu , sedangkan Musta’jir adalah orang yang menyewa sesuatu. Disyaratkan kepada mu’jir dan mus’tajir adalah orang yang baliqh,berakal,cakap melakukan tasharrup (mengendlikan harta),dan saling meridhoi. Ujrah (upah/harga sewa ), disyratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa ataupun upah mengupah barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan. D. Syarat Barang yang Disewakan Tidak semua harta benda dapat diakadkan ijarah, benda benda tersebut haruslah memenuhi persyaratan berikut : a. Manfaat dari objek harus diketahui secara jelas . hal ini dapat diketahui dari pemeriksaan, atau pemilik memberikan informasikan secara transparan tentang kualitas manfaat barang b. Objek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan menyewakan barang yang masih ada pada pihak ketiga. c. Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’ d. Objek yang disewakan adalah manfaat langsung dari benda tersebut, tidak dibenarkan menyewakan manfaat benda yng bersifat tidak langsung . seperti menyewakan pohon untuk diambil buahnya, menyewakan ternak untuk diambil susunya, dan lain – lain e. Harta yang menjadi objek haruslah harta yang bersifat isti’maly, yakni benda yang dapat dimanfaatkan berungkali tanpa merusak zatnya. Karenanya menyewakan benda yang bersifat istihlaki (harta yang berkurang atau rusak zatnya karena pemakaian) tidak sah ijarah terhadapnya. Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah :” setiap harta benda



10



yang dimanfaatkan sedang zatnya tidak mengalami perubahan, boleh dijadikan ijarah, jika sebaliknya maka tidak boleh “ E. Tujuan Sewa Menyewa Adapun tujuan sewa menyewa adalah untuk mengambil manfaat dari apa yang disewa tersebut dengan maksud tertentu dan mubah setelah disewa maka akan memberi pengganti kepada yang menyewakan. F. Ketentuan Untung Rugi Dalam Sewa Menyewa Barang Bila barang sewa mengalami rusak akibat penggunaan yang melampaui kapasitasnya, penyewa dapat di tuntut ganti kerugian atas kerusakan barang sewa itu. Berbeda halnya bila barang sewa mengalami rusak, padahal penggunaannya telah disesuaikan dengan kapasitasnya, maka penyewa tidak dapat dituntut kerugian apapun atas kerusakan barang sewa itu. Adapun biaya-biaya yang diperlukan untuk memelihara atau memperbaiki kerusakan barang sewa menjadi tanggungan yang menyewakan. Bila mustakjir mengeluarkan biaya-biaya pemeliharaan atau perbaikan atas kerusakan yang terjadi pada barang sewa dengan seizin yang menyewakan maka ia berhak minta ganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan itu. Tetapi bila ia mengeluarkan biaya-biaya dimaksud tanpa seizin yang menyewakan, ia berhak minta ganti, kecuali bila biaya tersebut amat mendesak perlu dikeluarkan dengan segera guna menjaga keselamatan barang sewa. Apabila barang sewa mengalami kerusakan ditangan penyewa setelah habis masa berlakunya perjanjian, padahal yang menyewakan telah minta agar barang sewa diserahkan kembali, tetapi yang menyewa menolak, maka penyewa dapat dituntut kerugian, meskipun penggunaannya tidak melampaui kapasitasnya atau tidak karena kelalaiannya. Penyewa tidak dibebani ganti kerugian bila kerusakan dalam waktu setelah habis masa berlaku perjanjian itu tidak didahului dengan adanya permintaan yang menyewakan untuk menyerahkan kembali barang sewa, sebab penyewa tidak dibebani biaya yang diperlukan untuk menyerahkannya kepada pemilik tersebut.



11



G. Hukum Sewa Menyewa Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud’alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya. Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan. Adapun hukum ijarah secara global terbatas dalam 2 kelompok, yaitu : 1. Perkara-perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency yang akan menimpa. 2. Hukum-hukum emergency yang datang belakangan, dan ini terbagi kepada; hal-hal yang mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya tanggungan; kewajiban adanya pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan. 3. Perkara-perkara yang mengharuskan akad ini tanpa adanya kejadian (emergency) yang datang kepadanya. Diantara masalah yang mencakup dalam hal ini adalah : Menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa harga sewa harus diberikan sebagian sebagian sesuai manfaat yang diambil, kecuali apabila ia mensyaratkan harga harus diserahkan diserahkan seluruhnya. Seperti berbentuk suatu ganti tertentu atau sewa dalam suatu tanggungan. Syafi’i berkata, “Wajib memberikan harga saat terjadi akad.”



12



Malik memandang bahwa harga akan dimiliki sesuai dengan kadar ganti yang akan diambil. Sedangkan Syafi’i seolah-olah melihat bahwa keterlambatan pembayaran harga sewa tersebut termasuk kategori jual beli utang dengan utang. Diantara hal tersebut adalah perselisihan mereka mengenai penyewa binatang atau rumah serta yang serupa dengan hal tersebut, apakah ia berhak untuk menyewakan dengan harga lebih dari harga ia menyewa: 1.



Malik, Syafi’i dan Jama’ah membolehkan hal tersebut dengan mengqiyaskannya kepada jual beli.



2.



Abu Hanifah dan para sahabatnya melarang hal tersebut. Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut



termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan barang yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut termasuk dalam kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan. Diantara ulama yang tidak memakruhkan hal ini apabila terjadi dengan sifat ini adalah Sufyan Ats-Tsauri serta jumhur, mereka melihat bahwa persewaan dalam hal ini mirip dengan jual beli. Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan barang yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut dalam kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan. H. Keuntungan Dan Kerugian Adanya Sewa Menyewa Keuntungan adanya sewa menyewa : 1. Adanya sewa-menyewa bisa membantu orang mengambil manfaat dari yang disewakan tersebut. 2. Membantu orang yang tidak mampu membeli barang, jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut bisa menyewa barang itu.



13



3. Penyewa tidak dibebani biaya-biaya yang diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan barang jika barang tersebut rusak Kerugian adanya sewa menyewa : 1. Bila barang rusak maka yang menanggung resiko adalah pemilik barang 2. Resiko yang ditanggung tak sebanding dengan harga sewa. 3. Ajir musytarok terikat pada waktu yang telah dijanjikan namun bila waktu tersebut tidak dipenuhi maka penyewa mengalami kerugian. I. Upah Kerja Dalam Sewa Menyewa Jika sewa-menyewa itu berupa pekerjaan, maka berkewajiban pembayarannya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaan. J. Batalnya Sewa Menyewa Batalnya sewa menyewa karena : a. Telah habis masanya b. Barang/sesuatu yang disewa rusak sendiri, misalnya rumah roboh sebelum masa sewa habis, tukang pembuat pintu mogok untuk menyelesaikan pekerjaannya c. Barang yang disewakan bukan hak pemberi sewa yang sah d. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa e. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan



14



f. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan Yang dimaksud dalam hal ini adalah tujuan perjanjian sewa menyewa telah tercapai, atau masa perjanjian sewa menyewa telah berakhir sesuai dengan ketentuan yang disepakati. g. Adanya uzur Penganut mazhab Hanafi menambahkan bahwa uzur juga merupakan salah satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian sewa, sekalipun uzur tersebut datangnya dari salah satu pihak. Adapun yang dimaksud dari uzur disini adalah adanya suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin dapat terlaksana sebagaimana mestinya.



15



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sewa menyewa adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. Jenis barang yang disewakan terdiri dari enam, yaitu : 1. Sewa menyewa barang Sewa menyewa barang terdapat dua macam yaitu: -



Sewa menyewa rumah, dan



-



Sewa menyewa tanah



2. Sewa menyewa binatang 3. Upah dalam perbuatan Ibadah 4. Menyewa kaum quraisy 5. Upah bekam 6. Menyewa pekerja dengan upah harian, bulanan, tahunan atau berdasarkan jumlah yang dikerjakan Syarat dari sewa menyewa ada sepuluh serta mempunyai lima rukun sewa. Tujuan dari sewa menyewa adalah mengambil manfaat dari apa yang disewa dengan maksud tertentu dan mubah setelah disewa. Ketentuan untung rugi dalam sewa menyewa adalah bila barang rusak akibat penggunaan yang melampaui kapasitasnya dapat dituntut ganti rugi dari kerusakan tersebut, penyewa tidak dibebani ganti kerugian bila kerusakan setelah habis masa berlaku perjanjian dalam sewa. Sewa menyewa secara global mempunyai dua hukum yaitu : Perkara perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency yang akan menimpa serta Hukum hukum emergency yang datang belakangan, dan ini terbagi kepada hal-hal yang mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya tanggungan & kewajiban adanya pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan. Adapun batalnya sewa menyewa terdiri dari tujuh macam.



16



DAFTAR PUSTAKA Sabiq, Sayyid, Fiqh al-sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983). Wahbah al Zuhayly, Al Fiqh al Islami Wa’adillatuhu, Daar al Fikri, Damsyik, 1989. Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir. Ibn Qudamah, Al-mugni, Mathba’ah Al-Imam, Mesir. Khathib, Muhammad al-Syarbini. T.T. al-Iqna’fi Hall al-Alfadz Abi Syuja’. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah. Muhammad Asy-Sarbini, Mugni Al-Muhtaj. Hendi suhendi, Fiqih muamalah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, FH. UII, Yogyakarta, 1983 __________________, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, PT. AlMaarif, Bandung, 1987 M. Thalib, Fiqih Nabawi, PT. Al-Ikhlas, Surabaya



17



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur diucapkan kehadirat Alloh SWT, atas rahmat dan karunianya, buku pedoman penulisan penelitian berupa maklah yang berjudul HUKUM SEWA MENYEWA DALAM ISLAM. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberi wawasan bagi para Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Pendidikan Agama Islam SMAN 3 Banjar. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan makalah kami ke depan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sebagai penyusun dan umumnya bagi yang membaca.



Banjar, Nopember 2011 Penulis



i 18



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ...................................................................................



i



DAFTAR ISI ..................................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................



1



A. Latar Belakang ...............................................................................



1



B. Tujuan Penulisan ...........................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN ................................................................................



3



A. Pengertian Sewa Menyewa ............................................................



3



B. Jenis-jenis Barang yang Disewakan ..............................................



4



C. Syarat dan Rukum Sewa Menyewa ...............................................



9



D. Syarat Barang yang Disewakan .....................................................



10



E. Tujuan Sewa Menyewa ..................................................................



11



F. Ketentuan Untung Rugi Dalam Sewa Menyewa Barang ..............



11



G. Hukum Sewa Menyewa .................................................................



12



H. Keuntungan dan Kerugian Adanya Sewa Menyewa .....................



13



I. Upah Kerja Dalam Sewa Menyewa ...............................................



14



J. Batalnya Sewa Menyewa ...............................................................



14



BAB III PENUTUP ........................................................................................



16



A. Kesimpulan ....................................................................................



16



DAFTAR PUSTAKA



19 ii



MAKALAH



SEWA MENYEWA DALAM HUKUM ISLAM



Disusun oleh : DEWI ASRI HESTI MEILANI OVI RAHMAWATI SUCI ASIYAH LINGGA YATI AJLIS



SMA NEGERI 3 BANJAR Jl. K.H. Mustofa No.117 Kota Banjar 46311



20