Makalah Sosialisasi Dan Pembentukan Kepribadian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah: Pengantar Sosiologi Dosen: Dra. Yuni Ratna Sari, M.Si.



Oleh: 1. Arya Fernanda (1916041035) 2. Julia Wulandari (1916041029) 3. Heriska Luthfiyah (1916041033) 4. Angga Kurniawan (1916041027) 5. Tiara Audia (1916041031) 6. Septiya (1916041025)



Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Lampung 2019



1



Kata Pengantar



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian” ini. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Pengantar Sosiologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang sosialisasi dan pembentukan kepribadian bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Yuni Ratna Sari, selaku dosen mata kuliah Pengantar Sosiologi yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.



Bandar Lampung, 12 September 2019



Penulis



2



DAFTAR ISI JUDUL………………………………………………………………………………….………...1 KATA PENGANTAR………………………………………………………………….………...2 DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….………..3 BAB I PENDAHULUAN………………………………………….……………………………..4 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………………...4 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………….5 1.3 Tujuan………………………………………………………………………………..5 BAB II PEMBAHASAN…………………….……………………………………………………6 2.1 Pemikiran George Herbert Mead …………………………………………………6 2.2 Pemikiran Charles H. Cooley………………………..........................................7 2.3 Agen Sosialisasi…………………………………………………………………….9 2.4 Keluarga…………………………………………………………………………… 9 2.5 Taman Bermain……………………………………………………………………10 2.6 Sekolah……………………………………………………………………………..11 2.7 Media Massa………………………………………………………………………13 2.8 Sosialisasi Primer dan Sekunder………………………………………………..15 2.9 Pola Sosialisasi……………………………………………………………………18 BAB III PENUTUP…………………………………………………………………................19 3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………...19 3.2 Saran……………………………………………………………………................19 BAB IV DAFTAR PUSTAKA……..……………………………………………….................20 3



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara sederhana sosialisasi adalah sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan cara individu mempelajari hidup,norma, dan nilai sosial yang terdapat dalam kelompoknya agar dapat berkembang menjadi pribadi yang dapat diterima oleh kelompoknya. Sementara, pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang dialami oleh seseorang. Sosialisasi merupakan hal yang sangat krusial bagi individu. Karena, apabila sosialisasi tidak berjalan dengan seharusnya maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang akan dilakukan seseorang. Pengetahuan mengenai sosialisasi sudah seharusnya diketahui oleh semua orang agar sampai kepada tahap masyarakat madani. Maka dari itu, makalah ini kami buat untuk menambah pengetahuan kami mengenai sosialisasi dan pembentukan kepribadian dan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen kepada kami.



4



1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan play stage dalam tahap sosialisasi? 2. Apa yang dimaksud dengan konsep diri (self-concept)? 3. Mengapa keluarga disebut sebagai agen sosialisasi primer?



1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pendapat ahli mengenai sosialisasi dan pembentukan kepribadian 2. Agar dapat membedakan berbagai jenis agen sosialisasi 3. Untuk mengetahui apa istilah-istilah yang berkaitan dengan sosialisasi dan pembentukan kepribadian



5



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pemikiran George Herbert Mead Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi ialah teori Goerge Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Society (1972), Mead menguraikan tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap—tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other. Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orang tuanya, misalnya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Dengan demikian kita sering melihat anak kecil yang di kala bermain meniru peran yang dijalankan ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, tukang pos, supir dan sebgainya. Namun pada tahap ini sang anak belum sepenuhnya memahami isi peran-perang yang ditirunya itu. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibu—berangkat ke tempat kerja, misalnya— tetapi mereka tidak memahami alasan ayah atau ibu untuk bekerja dan makna kegiatan yang dilakukan ayah atau ibu di tempat kerja. Seorang anak dapat berpura-pura menjadi petani, dokter, polisi tetapi tidak mengetahui mengapa petani mencangkul, dokter menyuntik pasien, polisi menginterogasi tersangka pelaku kejahatan. Pada tahap game stage seorang anak tidak hanya telah mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peran yang 6



harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang diajukan Mead ialah keadaan dalam suatu pertandingan: seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut. Di kala bermain sebagai penjaga gawang dalam suatu pertandingan sepak bola, misalnya, ia mengetahui peran-peran yang dijalankan oleh para pemain lain (baik kesebelasan kawan maupun lawan), wasit, penjaga garis dan sebagainya. Oleh Mead dikatakan bahwa pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peran orang lain. Pada tahap awal sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain—biasanya anggota keluarga, terutama ayah dan ibu. Oleh Mead orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga sosialisasi, seseorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat—mampu mengambil peran generalized others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peran yang dijalankan orang tua; selaku siswa ia memahami peran guru; selaku anggota Gerakan Pramuka ia memahami peran para pembinanya. Jika seseorang telah mencapai tahap ini maka menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pandangan-pandangan Mead ini Nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.



2.2 Pemikiran Charles H. Cooley Pandangan lain yang juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi teruang dalam buah pikiran Charles H. Cooley. Menurut Cooley konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Nama demikian diberikan olehnya karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. 7



Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu. Untuk memahami pendapat Cooley di sini akan disajikan suatu contoh. Seorang mahasiswa yang cenderung memperoleh nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian semesternya, misalnya, merasa bahwa para dosen dalam jurusannya menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dinilai bodoh maka ia kurang dihargai para dosennya. Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung. Jadi disini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri sendiri—diri seseorang merupakan pencerminan penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasus tersebut di atas, pelecehan oleh dosen ini ada dalam benak si mahasiswa dan memengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan memang demikian terhadapnya atau tidak. Apa yang terjadi bila seorang anak tidak mengalami sosialisasi? Karena kemampuan seorang untuk mempunyai diri—untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi, maka seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi (olehnya dinamakan unsocialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 ditemukan di desa Saint-Serin, Perancis (the wild boy of Avyron) dan kasus gadis berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berusia satu setengah tahun; Light, Keller, dan Calhoun (1989) mengisahkan kasus Anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun. Dari kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar-kecil dengan tertib, atau berbicara. Anna tidak dapat makan sendiri atau mengunyah, dan juga tidak dapat tertawa atau menangis. Genie tidak dapat berdiri tegak. Setelah berkomunikasi 8



dengan masyarakat lambat-laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa di antara kemampuan yang dimiliki manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda. Kasus ini memberikan pada kita gambaran mengenai apa yang terjadi bila seorang anak tidak disosialisasi, dan menunjukkan bahwa meskipun mereka disosialisasi namun kemampuan mereka tidak dapat menyamai kemampuan anak lain yang sebaya dengan mereka. Kasus tersebut pun memberikan petunjuk bahwa kemampuan tertentu tidak seperti kemampuan berbahasa hanya dapat diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak; bila proses sosialisasinya terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil atau hanya berhasil untuk sebagian saja.



2.3 Agen Sosialisasi Siapa yang melaksanakan proses sosialisasi? Dalam sosiologi kita berbicara mengenai agen-agen sosialisasi (agents of socialization)— pihak yang melaksanakan sosialisasi. Fuller dan Jacobs (1973:168-208) mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan. Meskipun klasifikasi ini dibuat untuk masyarakat Amerika namun dapat diterapkan pula pada masyarakat kita.



2.4 Keluarga Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bias berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup pula nenek, kakek, paman, bibi dan sebagainya. Pada sistem komun yang dijumpai di Republik Rakyat Tiongkok atau berbagai Negara Eropa Timur sebelum runtuhnya Uni Soviet, pada sistem Kibbutz di Israel, atau pada sistem penitipan anak dalam hal kedua orang tua bekerja, sosialisasi terhadap anak di bawah usia lima tahun mungkin dilakukan pula oleh orang lain yang sama sekali bukan kerabat seperti tetangga, baby sitter, pekerja sosial, petugas tempat penitipan anak dan sebagainya. Di kalangan lapisan menengah 9



dan atas dalam masyarakat perkotaan kita seringkali pembantu rumah tangga pun sering memegang peran penting sebagai agen sosialisasi anak, setidak-tidaknya pada tahap-tahap awal. Gertrude Jaeger (1977) mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting. Sang anak (khususnya pada masyarakat modern Barat) sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahuio orang luar. Degan demikian anak tidak terlindung terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang serinf dilakukan orang tua terhadap mereka seperti penganiayaan (child abuse), perkosaan dan sebagainya. Dalam media massa kita pun berulang kali membaca mengenai kesewenang-wenangan yang dilakukan orang tua masyarakat kita terhadap anak-anak mereka, yang dalam beberapa kasus mengakibatkan kematian si anak. Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal; ia mulai berkomunikasi bukan saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindra lain, terutama sentuhan fisik. Kemampuan berbahasa ditanamkan pada tahap ini. Sang anak mulai mempunyai diri—mulai memasuki play stage dalam proses pengambilan peran orang lain. Ia mulai mengidentifikasikan diri sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuankemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam perkembangan fisik seseorang; artinya, proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.



2.5 Teman Bermain Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain: teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Di sini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya di rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat (seperti antara kakek atau nenek dengan cucu, orang tua dengan anak, paman atau bibi dengan kemenakan, kakak dengan adik, atau pengasuh dengan anak 10



asuh) maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage—mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.



2.6 Sekolah Agen sosialisasi berikut—tentunya dalam masyarakat yang telah mengenalnya—adalah sistem pendidikan formal. Di sini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya. Sejumlah ahli sosiologi memusatkan perhatian mereka pada perbedaan antara sosialisasi yang berlangsung dalam keluarga dengan sosialisasi pada sistem pendidikan formal. Robert Dreeben (1968), misalnya, berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah—di samping membaca, menulis dan berhitung—adalah aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity). Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons—misalnya antara ascription dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness dan specificity. Menurut Dreeben di sekolah seorang anak harus belajar untuk mandiri. Kalau di rumah seorang anak dapat mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, maka di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab. Ketergantungan pada orang tua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di sekolah; guru menuntut kemandirian dan tanggung jawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerja sama dalam kelas hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan atau kecurangan. Aturan kedua yang dipelajari anak melibat prestasi. Di rumah peran seorang anak terkait dengan askripsi—peran-peran yang dimilikinya, seperti peran sebagai anak laki-laki atau anak perempuan, sebagai adik atau sebagai kakak merupakan peran yang dibawa sejak lahir. Di sekolah, di pihak lain, peran yang diraih dengan berprestasi merupakan 11



peran yang menonjol. Kedudukan anak di suatu jenjang pendidikan tertentum atau peringkatnya dalam jenjang prestasi di dalam kelas, misalnya, hanya dapat diraih melalui prestasi. Meskipun orang tua pun berperan dalam mendorong anak untuk berprestasi, namun menurut Dreeben peran sekolah masih lebih besar. Sekolah menuntut siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Seorang siswa didorong untuk giat berusaha mengembangkan kemampuan dan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari kegagalan. Kemampuan yang diperoleh serta keberhasilan maupun kegagalan yang dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa mendatang. Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme. Aturan mengenai universalisme merupakan lawan aturan mengenai partikularisme. Dalam keluarga seorang anak cenderung mendapat perlakuan khusus dari orang tuanya karena ia adalah anak mereka. Anak orang lain biasanya tidak mendapat perlakuan yang sama. Di sekolah, di pihak lain, setiap siswa mendapat perlakuan sama. Perlakuan berbeda hanya dibenarkan bila didasarkan pada kelakuan siswa di sekolah— apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah. Spesifisitas merupakan aturan keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan (diffuseness). Di sekolah kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi secara spesifik. Kekeliruan yang dilakukan seorang siswa dalam mata ajaran matematika, misalnya, samasekali tidak memengaruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya dalam mata ajaran bahasa Indonesia. Ia dapat memperoleh kegagalan yang disertai kritik dalam satu jam pelajaran tetapi meraih keberhasilan dan memperoleh pujian dalam jam pelajaran berikutnya. Dalam keluarga, di pihak lain, kegiatan anak serta penilaian terhadapnya tidak dibatasi sespesifik itu. Seorang anak yang dihukum oleh orang tuanya karena melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu (seperti misalnya memecahkan piring di kala makan, pergi tanpa izin, berkelahi di jalan atau pulang terlambat) mungkin mengalami bahwa hukuman yang diterimanya itu diberlakukan pula di bidang-bidang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan pelanggaran yang telah dilakukannya. Dari pandangan Dreeben kita dapat melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukan bagi anggota masyarakat, dan aturan baru tersebut sering berbeda dan bahkan dapat bertentangan 12



dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah.



2.7 Media Massa Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media massa— yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet)—merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku khalayaknya. Peningkatan teknologi yang memungkinkan peningkatan kualitas peran serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting. Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak kearah perilaku prososial maupun anti sosial. Penayangan secara berkesinambungan dari laporan-laporan mengenai perang seperti Perang Teluk, perang di Somalia atau di kawasan Balkan atau penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjalkan kekerasan dianggap sebagai satu factor yang memicu perilaku agresif pada anak-anak yang melihatnya. Penyangan adegan-adegan yang menjurus ke pornografi di layar televise sering dikaitkan dengan perubahan moralitas serta peningkatan pelanggaran susila dalam masyarakat. Iklan-iklan yang ditayangkan melalui media massa mempunyai potensi untuk memicu perubahan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat. Media massa pun sering digunakan untuk mengukur, membentuk ataupun mempengaruhi pendapat umum. Kesadaran akan arti penting media massa bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media massa. Di banyak Negara, misalnya, televise digunakan untuk menayangkan siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan sikap khalayaknya. Dalam masyarakat kita TVRI serta stasiun televisi swasta pun secara teratur menayangkan acara-acara pendidikan. Dari data yang ada Fuller dan Jacobs menyimpulkan bahwa di Amerika Serikat televise menyita sejumlah besar waktu anak-anak—lebih banyak waktu daripada waktu yang diluangkannya di sekolah, dan bahwa banyak di antara acara-acara televise yang ditonton anak merupakan acara13



acara yang ditujukan bagi orang dewasa (40% di kala seorang anak berada di kelas 1 sekolah dasar, dan 80% di kala anak sudah berada di kelas 6 sekolah dasar). Di kala membahas dampak siaran televisi, Fuller dan Jacobs antara lain mengemukakan bahwa menurut studi Bandura dan Walters sejumlah anak yang terterpa acara televisi yang mengandung kekerasan dapat menampilkan perilaku keras dan agresif (mengenai dampak televise terhadap anak-anak, lihat pula, antara lain, Brown ed., 1976, yang juga menunjukkan temuan berbagai studi bahwa kekerasan di layar televise menjadikan penonton lebih agresif). Meskipun temuan yang dilaporkan Fuller dan Jacobs didasarkan pada penelitian di Amerika Serikat, namun kecenderungan yang sama dapat pula kita amati pada masyarakat kita meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Sejak beberapa tahun yang lalu jam siaran TVRI makin bertambah, sedangkan di kota-kota besar dan di kalangan keluaga di kota-kota besar yang memiliki pesawat televise. Semakin banyaknya keluarga yang memiliki antene parabola yang dapat menangkap siaran televisi luar negeri dan komputer dengan akses ke internet pun menambah keanekaragaan pesan yang diterima. Temuan yang dilaporkan Fuller dan Jacobs mengenai jenis acara televisi yang ditonton pun berlaku pula bagi masyarakat kita. Jam siaran yang tersedia bagi acara-acara khusus untuk anak yang ditayangkan TVRI maupun televisi swasta jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan banyak di antara acara yang tersedia bagi orang dewasa namun ikut ditonton anak—seperti film seri miami vice atau hunter serta sinteronmemuat banyak adegan pembunuhan, perkosaan, penganiayaan serta bentuk kekerasan lainnya. Selain itu, para pengamat televisi telah mencatat pula bahwa banyak di antara acara untuk anak-anak seperti film kartun sering memuat adegan kekerasan dan sadis seperti pembunuhan dan penganiayaan. Jenis-jenis pengainayaan yang dilakukan oleh Donald Duck terhadap Chipmunks dalam film seri Donald Duck dari Walt Disney atau oleh Road Runner terhadap Coyote dalam film seri The Road Runner, apabila ditiru anak, sangat mungkin mengakibatkan cedera yang dapat membahayakan jiwa manusia. Kita kini masih belum mengetahui bagaimana sesungguhnya dampak televisi terhadap perilaku anak-anak kita, namun temuan temuan mengenai dampak televisi dalam masyarakat lain memberikan cukup alasan bagi kita untuk mengkaji dampak televisi bagi para penonton kita. Bagaimana dampak sebenarnya siaran media massa? Fuller dan Jacobs (1973) mengemukakan bahwa dampak televisi sebagai agen sosialisasi 14



belum diketahui dengan pasti. Urie Bronfenbrenner (1970), setelah mempelajari berbagai data penelitian terhadap dampak televisi terhadap perilaku anak, merasa yakin bahwa media massa ini memberikan sumbangan berarti bagi tumbuh dan dipertahankannya suatu tingkat kekerasan tinggi dalam masyarakat Amerika. Light, Keller, dan Calhoun, di pihak lain, mengemukakan bahwa menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun 1966 televisi tidak memberikan pesan tunggal yang sederhana melainkan menyajikan berbagai pesan yang rancu dan saling bertentangan, dan bahwa pesan televisi membawa banyak dampak positif seperti merangsang interaksi, eksperimen dan pertumbuhan mental serta sosial anak. Dengan sendirinya agen sosialisasi yang ada dalam masyarakat tidak terbatas pada agen-agen yang telah disebeutkan Fuller dan Jacobs— suatu hal yang telah mereka sadari pula. Kita tentu tahu bahwa di bidang pendidikan dijumpai sistem pendidikan seumur hidup yang memungkinkan warga masyarakat yang telah bekerja untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, dan bahwa di luar lembaga pendidikan formal sosialisasi dilakukan pula oleh agen-agen informal atau nonformal seperti kursus-kursus dan lembaga-lembaga pendidikan agama seperti pesantren, pengajian atau sekolah minggu.



2.8 Sosialisasi Primer dan Sekunder Sosilisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentukbentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after childhood), pendidikan sepanjang hidup (lifelong education), atau pendidikan berkesinambungan (continuing education). Light et al. (1989:130) mengemukakan bahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakannya sosialisasi primer (primary socialization) kita menjumpai sosialisasi sekunder (secondary socialization). Berger dan Luckmann (1967) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder mereka definisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1967:130).



15



Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi (resosialization) yang didahului dengan proses desosialisasi (desocialization). Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total (total institutions). Rumah tahanan, rumah sakit jiwa dan lembaga pendidikan militer merupakan contoh institusi total tersebut. Seseorang yang berubah status dari orang bebas, kemudian tahanan, dan akhirnya menjadi narapidana mula-mula mengalami desosialisasi: ia harus menanggalkan busana bebas dan menggantinya dengan seragam tahanan; berbagai kebebasan yang semula dinikmatinya dicabut’ berbagai milik pribadinya disita atau disimpan oleh penjaga; namanya mungkin tidak digunakan dan diganti dengan suatu nomor. Setelah menjalani proses yang cenderung membawa dampak terhadap citra diri serta harga diri ini, ia kemudian menjalani resosialisasi—dididik untuk menerima aturan dan nilai baru—untuk mempunyai diri yang sesuai dengan keinginan masyarakat (dengan alasan tersebut di Indonesia pada tahun 60-an nama penjara diubah menjadi lembaga pemasyarakatan). Proses serupa dialami pula oleh seseorang yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ia harus menjalani desosialisasi—menanggalkan statusnya sebagai orang yang berjiwa sehat dan menerima status sebagai orang yang sakit jiwa—sebelum menjalani proses resosialisasi yang bertujuan mengubah mentalnya menjadi orang yang berjiwa sehat. Dalam beberapa hal proses desosialisasi dan resosialisasi yang berlangsung di lembaga pendidikan kemiliteran agak mirip dengan proses di rumah tahanan. Namun dalam kasus lembaga pendidikan kemiliteran para siswa menjadi anggota secara sukarela dan dibina untuk menjalankan suatu profesi dengan tuntutan khsus, bukan dipaksa menjadi anggota untuk menjalani hukuman sambil diubah mentalnya. Oleh sebab itu meskipun para siswa lembaga pendidikan militer seperti AKMIL mengalami proses pembinaan profesional yang secara mental maupun fisik berat namun pada akhir pendidikan mereka mempunyai diri yang positif—misalnya kebanggan akan profesi dan korps mereka. Mereka yang dibebaskan dari rumah tahanan, di pihak lain, akan lebih cenderung mempunyai diri yang diliputi stigma, meskipun telah memperoleh pembinaan di bidang keahlian maupun mental. 16



Suatu bentuk desosialisasi dan resosialisasi yang banyak dibahas di kalangan ilmuwan sosial ialah praktik yang dikenal dengan nama cuci otak (brainwashing). Praktik ini dijumpai dalam perang dan dilakukan terhadap tawanan perang—antara lain terhadap tentara Amerika yang pada tahun 50-an ditawan tentara RRT dalam perang Korea. Dengan menggunakan praktik penekanan fisik dan psikologis tertentu para tahanan mengalami desosialisasi—menanggalkan kesetiaan mereka pada negara dan tanah air mereka dan mengalami resosialisasi sesuai dengan kehendak para penguasa militer yang menahan mereka. Melalui teknik pengendalian terhadap pikiran dan tindakan seperti isolasi, ancaman, siksaan dan pembatasan terhadap tidur atau makanan para tahanan diarahkan untuk membuat pengakuan palsu, mengritik diri mereka sendiri dan ikut serta dalam kegiatan propaganda musuh. Sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization) merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran yang baru. Dalam kajiannya terhadap kehidupan di kalangan personel militer A.S. Robert K. Merton antara lain membahas proses anticipatory socialization ini, khususnya dalam kasus kenaikan pangkat. Seorang anggota angkatan bersenjata yang mengharapkan akan naik pangkat dari bintara menjadi perwira, misalnya, sering secara mental mulai mempersiapkan diri untuk peranannya yang baru meskipun kenaikan pangkatnya belum berlangsung. Ia mulai membatasi hubugan dengan rekannya sesama bintara, dan mulai menjalin kontak dengan para perwira. Ia pun mulai mencoba menghayati gaya hidup para perwira yang dalam banyak hal berbeda dengan gaya hidup bintara. Dalam proses ini ia mungkin mulai dijauhi oleh para bintara lain. Dengan demikian ia telah disosialisasi menjadi perwira di kala kenaikan pangkatnya tiba. Namun bila ia ternyata tidak naik pangkat, ia terpaksa harus menyesuaikan dirinya lagi dengan peranannya yang hendak ditinggalkannya. Sosialisasi antisipatoris yang mendahului perubahan status ini berulang kali kita alami dalam hidup kita—antara lain menjelang peraliha dari suatu jenjang pendidikan ke jenjang lebih tinggi (misalnya dari sekolah menengah atas ke perguruan tinggi), dari dunia sekolah ke dunia kerja ke kehidupan pensiunan, atau dari status selaku gadis atau bujangan menjadi suami atau istri.



17



2.9 Pola Sosialisasi Beberapa tahun yang lalu masyarakat kita dihebohkan oleh beberapa kasus hukuman fisik yang dilakukan orang tua terhadap anak mereka yang dinilai tidak menaati perintah sehingga mengakibatkan kematian anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrem satu pola sosialisasi yang oleh Jaeger (1977, dengan mengutip karya Bronfenbrenner dan Kohn) dinamakan sosialisasi represif (repressive socialization). Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Menurut Jaeger sosialisasi represif pun mempunyai ciri lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua; penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah; penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua; dan peran keluarga sebagai significant other. Pola kedua yang disebutkan Jaeger ialah sosialisasi partisipatoris (participatory socialization). Sosialisasi partisipatoris menurut Jaeger merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik; hukuman dan imbalan bersifat simbolik; anak diberi kebebasan; penekanan diletakkan pada interaksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan keluarga menjadi generalized other.



18



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan Dari semua hal yang telah dipaparkan mengenai sosialisasi dan pembentukan kepribadian diatas, kami semakin memahami bahwa sosialisasi terbagi menjadi dua yaitu sosialisasi primer dan sekunder. Kedua jenis sosialisasi ini memegang peranan yang sama penting di dalam pembentukan kepribadian seseorang. Bilamana salah satu diantara dua jenis sosialisasi tersebut tidak berjalan dengan baik, maka yang akan terjadi seseorang akan melakukan suatu hal yang tidak seharusnya ia lakukan.



3.2 Saran Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba tuhan yang tak luput dari kesalahan.



19



BAB IV DAFTAR PUSTAKA



Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara Horton, Paul B. 1984. Sosiologi Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group



20