Makalah Storytelling [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Juril
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MK : TERAPI KOMPLEMENTER DALAM KEPERAWATAN



MIND-BODY SPIRIT THERAPY : STORYTELLING



OLEH: NURAWALIAH RASYID ( P4200216034 )



PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017



BAB I PENDAHULUAN Terapi komplementer merupakan bagian integral dari perawatan kesehatan baik di Amerika Serikat maupun dinegara lain. Terapi ini sudah berkembang dan menjadi sistem kesehatan di dunia barat. Menurut National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM), terapi komplementer adalah bagian dari sistem perawatan kesehatan, praktek dan produk kesehatan yang saat ini tidak dianggap sebagai bagian dari pengobatan konvensional. Menurut WHO (2012) , 80 % dari perawatan kesehatan pada negara berkembang menggunakan perawatan tradisional untuk praktek kesehatan dibandingkan dengan pengobatan barat. (Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014). Terapi komplementer menjadi hal yang penting bagi perawat dan profesional kesehatan lainnya karena mereka mampu melakukan penilaian holistik terhadap pasien untuk menentukan serangkaian tindakan perawatan dan penyembuhan yang dapat mereka gunakan. Melalui terapi komplementer ini, petugas kesehatan mampu mengurangi stres dan fokus terhadap pasien dan keluarganya. Aspek yang dihadirkan pada terapi komplementer disini adalah kehadiran petugas kesehatan dan komunikasi. Kedua hal ini merupakan elemen penting dalam pelaksanaan terapi komplementer. Komunikasi baik verbal maupun non verbal juga menjadi kunci penting dalam memberikan perawatan holistik yang merupakan bagian dari filosofi terapi komplementer. Pasien akan merasa lebih baik dan tersugesti untuk sembuh ketika merasakan kehadiran petugas kesehatan dan ada komunikasi terapeutik yang terjalin. Oleh karena itu, terapi



komplementer dapat menjadi tindakan pelengkap perawatan terhadap pasien untuk membantu kesembuhan pasien (Snyder & Lindquist, 2010) Terapi komplementer dibagi dalam beberapa kategori antara lain praktik berbasis biologis (botanical, makanan fungsional, terapi diet utuh); energi obatobatan (bidang biofi, obat ayurveda, magnetis terapi, homeopati, terapi ringan); manipulatif dan praktik berbasis tubuh (chiropractic, massage, Manipulasi osteopathic, manipulasi tulang belakang); obat pikiran-tubuh (meditasi, efek plasebo,



relaksasi,



imunitas);



dan



seluruh



sistem



medis



(ayurveda, homeopati, naturopati, botani, akupunktur, moksibusi) (Deutsch & Anderson, 2008). Menurut



NCCAM,



klasifikasi



terapi



komplementer



terdiri



dari



penggunaan produk natural ( pengobatan herbal, vitamin, mineral, suplemen diet, probiotik), mind-body therapy (imagery, meditasi, yoga, terapi musik, terapi doa, jurnaling, storytelling, biofeedback, humor, tai chi dan terapi seni, akupuntur), terapi manipulatif dan berbasis tubuh (pengobatan chiropractic, pijat), terapi energi (healing touch, therapeutic touch, reiki, qi gong dan magnet), sistem perawatan (pengobatan tradisional Cina, Ayurveda, naturopati dan homeopati), serta pengobatan tradisional seperti dukun (Lindquist et al., 2014). Salah satu terapi komplementer atau alternatif menurut NCCAM adalah mind and body therapies dimana terapi ini berfokus pada interaksi antara otak, pikiran, tubuh dan perilaku dengan maksud menggunakan pikiran untuk mempengaruhi fungsi fisik dan meningkatkan kesehatan. Menurut National



Health Interview Survey (2007), beberapa terapi pikiran dan tubuh yang dilakukan antara lain 12,7 % dengan menggunakan tekni napas dalam, 9,4 % menggunakan meditasi, 6,1 % dengan yoga. Selain itu, terapi yang mengintegrasikan pikiran, tubuh dan jiwa ini juga dapat dilakukan dengan terapi musik, journaling, storytelling,humor berdoa yang dapat dilakukan dalam perawatan diri dan penyembuhan pasien (Barnes, Bloom, & Nahin, 2008 dalam Lindquist et al., 2014) Storytelling merupakan salah satu bentuk terapi komplementer yang digunakan untuk memberikan efek pada kesehatan pasien melalui edukasi, prefentif dan intervensi (Lindquist et al., 2014). Storytelling merupakan terapi efektif dimana secara historical manusia selalu tertarik paada cerita, kenangan maaupun petualangan. Oleh karena itu, storytelling selalu menjadi cara yang signifikan dan lazim digunaakan untuk mentransfer pengalaaman dan memperoleh hiburan (Hosseini, Naziri, & Rozdar, 2014).



BAB II PEMBAHASAN Cerita yang bagus akan menggerakkan kita, mengajarkan kita dan merubah kita. Cerita hampir selalu ada pada setiap hidup manusia. Kekuatan cerita sangat melekat baik dalam pikiran dan kehidupan manusia seperti pada perkembangan anak dan pendidikan pelatihan. Cerita juga biasa digunakan dalam pembelajaran orang dewasa, pengembangan organisasi serta dalam penelitian. Bercerita atau mendongeng merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memfasilitasi seseorang dalam melakukan implementasi pada seseorang. Dengan narasi atau cerita, pesan yang disampaikan akan terlihat lebih baik karena orang yang bercerita atau menyampaikan pesan tidak terlihat otoriter atau bersifat menentukan sendiri keinginan atau pesan yang ingin disampaikan. Dengan cara bercerita atau mendongeng yang bersifat terbuka dan kreatif, maka pendengar dapat membawa pengalaman dan cara pemahaman mereka sendiri kepada proses yang reflektif (Gray & Stuart, 2012). A. Sejarah Storytelling Storytelling atau bercerita merupakan kegiatan yang dilakukan seharhari dan telah dilakukan berabad-abad yang lalu sebagai kekuatan atau alat untuk berkomunikasi. Kegiatan ini juga sudah ada dan ditulis sejak zama kuno dan digunakan oleh masyarakat preliterasi. Teknik ini merupakan salah satu seni tertua yang berawal dari keinginan masyarakat pada saat itu unutk mengekspresikan perasaan dan pengetahuan yang mereka miliki. Cerita dibuat dengan menceritakan sebuah kisah, menyampaikan informasi kepada



orang lain, menjelaskan pandangan serta membagikan pengalaman karena dianggap sebagai budaya (Lindquist et al., 2014) Di Amerika dan Afrika sering menggunakan cerita tentang adat yang ada di masyarakat mereka seperti penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan melalui persekutuan dengan roh agung . Menurut seorang penduduk asli Kanada, bentuk penyembuhan asli yang dilakukan adalah meliputi lagu, tarian, ritual serta cerita. Biasanya pada sesi bercerita masyarakat terdahulu akan duduk dalam bentuk lingkaran sebagai upacaaraa penyembuhan dengan harapan dapaat membantu orang atau pasien memperoleh wawasan tentang diri mereka sendiri dan memasuki intuisi orang tersebut (Einhorn, 2000 dalam Snyder & Lindquist, 2006). Dengan menyampaikan pengetahuan secara lisan dan bercerita akan memberikan kehadiran metafisik dan memberikan pendekatan alami, holistik, intuitif serta ketertiban spiritual untuk berkomunikasi. Mendongeng juga dapat digunakan oleh perawat untuk pasien yang dirawatnya baik cerita tentang hidup maupun dengan menyampaikan informasi pada pasien (Snyder & Lindquist, 2006) B. Pengertian Storytelling didefinisikan sebagai seni atau tindakan bercerita. Cerita merupakan sebuah narasi, benar atau fiktif, dalam bentuk prosa atau ayat yang dirancang untuk menghibur atau mengistruksikan pendengar atau pembaca. Cerita dianggap lengkap jika memiliki beberapa komponen seperti abstrak (apa yang diceritakan), orientasi (siapa, kapan, dimana dan apa), tindakan (bagian dari cerita, apa ini dan itu), evaluasi, resolusi (apa yang



terjadi dari akhir cerita), coda (sinyal cerita akan berakhir) dan kembali kemasa sekarang. Cerita atau dongeng merupakan salah satu tindakan yang menarik untuk perawatan kesehatan dan dapat dijadikan sebagai alternatif utnuk meningkatkan kesehatan. Namun harus dipahami bahwa hidup termasuk kesehatan kita dibentuk oleh cerita yang kita dengar selama hidup (Lindquist et al., 2014). Menurut Newman (1994), bercerita didefinisikan sebagai ungkapan kesadaran manusia dan sarana untuk memperluas kesadaran tersebut. Dengan demikian bercerita akan membantu seseorang untuk meningkatkan kesehatannya. Menurut Bowles (1995), mendongeng atau bercerita didefinisikan sebagai media deskriptif dimana pengalaman pribadi dapat dikomunikasikan kepada orang lain dengan kedekatan dan relevansi dapat mempengaruhi perubahan pada orang yang bercerita (Snyder & Lindquist, 2006). Storytelling merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan pada pendengar sehingga dibutuhkan waktu untuk mencerna dan memahami maksud pesan yang sampaikan oleh orang yang bercerita. Seorang pengirim pesan dikatakan berhasil menyampaikan pesan lewat cerita jika si penerima pesan mampu menyampaikan pesan tersebut kepada orang lain. Dalam proses bercerita ini diharapkan pendengar mampu menggambarkan dirinya berada pada salah satu karakter cerita sehingga hal ini akan memunculkan imajinasi dari pendengar kemudian pendengar mampu mengimitasi karakter dalam tokoh cerita (Snyder & Lindquist, 2010).



C. Tujuan Storyteling Tujuan dari bercerita adalah diharapkan pendengar mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang bercerita. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan paparan yang detail, komposisi cerita yang sesuai dan bahasa yang baik sehingga dapat menjelaskan dan mentransformasikan kejadian dan gambaran yang sesuai kepada pendengar (Purdani, 2017). Storytelling dianggap sebagai tindakan atau alat untuk mendorong dan mempengaruhi status kesehatan individu dan kelompok. Proses bercerita ini memiliki pengaruh terhadap orang lain seperti (Sandelowski, 1994 dalam Snyder & Lindquist, 2006) : 1. Memberikan koneksi kepada orang lain 2. Memberikan perasaan hubungan dengan kejadian yang dialami selama hidup 3. Membuka kunci atau kesempatan untuk penyembuhan 4. Membantu mencapai potensi manusia 5. Mengarahkan manusia untuk mandiri Dengan bercerita atau mendongeng akan membantu orang lain untuk memperoleh persepsi yang baik terhadap waktu, mengubah perasaan atau pendapat seseorang tentang tempat, dapat menyampaikan dan merangsang emosi,



membantu



menyelesaikan



masalah,



memfasilitasi



perubahan,



menyiapkan seseorang agar mampu mengintrospeksi diri sendiri, menilai, memahami dan mengubah perilaku terkait kesehatan ( Banks-Wallace,2002 dalam Snyder & Lindquist, 2006). Menurutb Lawlis (1995) dengan bercerita



atau



medongen akan menurunkan kecemasan,



membantu



relaksasi,



mengurangi nyeri serta pasien mampu diberdayakan. Sedangkan menurut Nagai-Jacobson & Burkhardt (1996) bercerita atau mendongen bisa membangkitkan kekuatan spritual, memperlancar pelepasan energi dan memberikan penyembuhan diri sendiri (Snyder & Lindquist, 2006) D. Mekanisme Storytelling Bercerita atau medongeng merupakan alat yang paling ampuh yang digunakan oleh hampir semua industri dengan hasil yang menakjubkan. Didalmnya terdapat kontrak implisit antara pendongeng dan pendengar dimana si pendongeng harus meluangkan waktu untuk menceritakan sebuah kisah dengan menggunakan isyarat yang diperlukan, proses dan estetika. Demikian



pula



mendengarkan



si



pendengar



cerita,



harus



menghadirkan



menyediakan dirinya



dalam



waktunya cerita



untuk



tersebut,



mendengarkan pesan yang disampaikan cerita dan memahami dengan baik. Transmisi yang baik dianggap berhasil jika si pendengar mampu mengulangi cerita tersebut kepada orang lain dalam beberapa bentuk yang berbeda. Pendongeng yang hebat akan membimbing cerita melalui elemen penting berdasarkan pemahaman pendengarnya (Guber,2007 dalam Lindquist et al., 2014). Proses terpenting dalam menyatukan pendengar dengan cerita adalah dengan memproyeksikan, mengidentifikasi, memberikan sentuhan empati, imitasi daan imaginasi. Pendongeng harus mampu membuat pendengar merasa atau menggambarkan dirinya berada pada salah satu karakter cerita



sehingga mereka mengikuti karakter dari tokoh yang ada dalam cerita dan berempati pada karakter tersebut.



Dari



itui karak pendengar akan



memunculkan imaginasinya dan mengimitasi karakter dari tokoh dalam cerita tersebut (Miler,1968 dalam Purdani, 2017).Beberapa yang perlu diperhatikan aoleh pendengar dalam proses bercerita atau medongeng antara lain mengawali cerita dengan sebuah peristiwa yang berarti, menambahkan bukti empiris dan fakta ilmiah, memberikan gambaran kejadian dari cerita serta memaparkan manfaat dari cerita yang disampaikan (Purdani, 2017) E. Tahapan Storytelling 1.



Teknik Cerita yang disajikan sebaiknya memiliki manfaat bagi pasien. Cerita yang disampaikan seimbang konten terapi dan budaya umum pasien serta diintegrasikan dengan pengetahuan umum. Dalam bercerita boleh memasukkan kode utnuk mengingat setiap cerita sehingga pasien mampu mengingat cerita tersebut (Bergner, 2007)



2.



Pedoman Dalam menyajikan cerita sebaiknya menghindari hal-hal yang rumit dipahami oleh pasien (Bergner, 2007). Dalam beberapa budaya, ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari seperti bercerita tentang kematian , penyakit terminal seperti kanker atau hal-hal yang buruk yang mungkin terjadi. Dalam beberapa budaya tertentu seperti masyarakat tradisional akan sulit menjelaskan atau meminta persetujuan ketika pasien akan diberikan tindakan yang modern. Hal ini biasa terjadi pada



saat merawat pasien maupun saat melakukan penelitian. Pasien biasanya menolak karena lebih percaya pada pengobatan tradisional dan menolak untuk menandatangani surat persetujuan tindakan. Dalam situasi seperti ini bercerita dapat digunakan sebagai intervensi yang bijaksana untuk mengubah pendapat pasien. Perawat dapat menyampaikan cerita atau fakta tentang orang lain yang mengalami situasi yang sama dengan pasien dan memberikan beberapa pertimbangan atau hipotesa kepada pasien jika dia tetap mempertahankan pendapatnya. Namun dalam situasi seperti ini perawat perlu membangun hubungan terapeutik dan membina hubungan saling percaya dengan pasien sehingga pasien mau mengubah pendapat atau hipotesanya dan bersedia menerima intervensi yang akan diberikan. Dalam menggunakan cerita sebagai intervensi, sebaiknya perawat mengemukakan ide-ide secara lisan dengan pengulangan, pengaturan, estetika dan transmisi informasi sehingga pendengar dapat mempertahankan informasi yang dia peroleh dari perawat (Snyder & Lindquist, 2010) 3.



Hal-hal yang Perlu diperhatikan a) Pelajari perbedaan antara bercerita dan literasi b) Memahami bagian dan mekanisme dalam menyampaikan cerita. Saat menyampaikan cerita harus memperhatikan waktu, cara serta tempat yang tepat dan sesuai. a) Memahami perbedaan respon saat bercerita baik umur maupun kebudayaan yang dimilik pendengar. Pada pasien yang muda dan tua



lebih menyukai hal yang tradisional, penyampaian secara lisan dan tatap muka. Pada pasien remaja sedikit lebih terbuka dan lebih menyukai cerita dengan menggunakan digital. Dalam bercerita sebaiknya menggunakan sketsa dan anekdot untuk menghilangkan tekanan bagi pandengar. b)



Gunakan teknologi yang sesuai. Penggunaan media interaktif dapat digunakan untuk semua orang namun tetap memperhatikan usia, budaya serta tingkat kemampuan pendengar dalam memahami teknologi (Lindquist et al., 2014)



F. Pengukuran Hasil Berbagai alat dapat digunakan untuk mengukur hasil cerita tergantung pada tujuan cerita yang disampaikan. Alat pengukurannya dapat berupa instrumen mengukur kecemasan, depresi, isolasi sosial, spiritual dan emosi (Snyder & Lindquist, 2010) G. Digital Storytelling Cerita dengan menggunakan digital menjadi salah satu cara yang efektif untuk mendidik orang yang muda, baik dikelas maupun pendidikan pada pasien. Penggunaan teknologi baik media audio dan visual akan merangsang proses belajar pada pasien atau pendengar Sandars, Murray, & Pellow (2008) menggunakan bercerita dengan digital pada mahasiswa kedokteran dan menyarankan beberapa langkah dalam melakukan cerita dengan digital antara lain :



1.



Tentukan topik cerita



2.



Menulis cerita



3.



Mengumpulkan berbagai multimedia untuk membuat cerita



4.



Pilih multimedia yang digunakan untuk membuat cerita



5.



Buat cerita



6.



Menyajikan cerita digital



7.



Mendorong refleksi pada setiap tahap



8.



Hindari sikap ambisius



9.



Memberikan dukungan teknis yang memadai



10. Mengembangkan kerangka penilaian yang relevan 11. Berikan pendekatan pengajaran yang menarik 12. Sampaikan secara persuasif nilai yang dapat diambil dari cerita tersebut H. Penggunaan Storytelling Penggunaan cerita dapat dilakukan di layanan kesehatan, penelitian kesehatan



maupun



dalam



proses



belajar



mengajar.



Perawat



dapat



menggunakan intervensi cerita pada beberapa situasi. Cerita juga dapat digunakan dalam terapi keluarga dan membantu anggota keluarga dalam memasuki hal yang terjadi di masa lalu, sekarang dan masa depan. Selain itu cerita mampu membantu pasien membuka kemungkinan utnuk memahami makna dan proses penyembukan (Roberts,1994 dalam Snyder & Lindquist, 2010). Untuk meningkatkan hubungan timbal bailk antara antara orang yang bercerita dengan pendengar, maka erlu diperhatikan interval atau lama waktu



bercerita. Dengan bercerita, perawat atau orang yang melakukan intervensi cerita didorong untuk mengetahui latar belakang, minat dan yang disukai pendengar. Yang menjadi elemen kunci dalam intervensi cerita adalah mendengarkan secara aktif, ekspresif dan perhatian. Interval waktu yang disarankan dibagi kedalam 3 sesi. Pada sesi 1, staf atau perawat mempelajari tentang kerahasiaan, rasa hormat, mendengarkan dengan penuh perhatian dan bermain peran. Pada sesi 2, staf membawa objek yang lebih mudah dipahami, apa yang berharga yang dimiliki pendengar dan arti dari hal yang berharga tersebut. Pada sesi 3, staf atau perawat belajar bagaimana berbagi informasi (Heliker, 2007). I. Penelitian Terkait Storytelling Dalam



beberapa



masyarakat



adat,



terutama



ketika



mereka



digambarkan sebagai terutama ketika mereka menjelaskan tentang budaya mereka, maka praktik kesehatan barat akan dilihat sebagai alternatif dan modalitas komplementer. Ini penting karena praktisi atau pendongeng-harus memahami bahwa untuk pasien yang berasal dari budaya pada dasarnya lisan, cerita sudah dipandang sebagai utama untuk kesejahteraan mereka. Ada sejumlah penelitian yang berhubungan dengan kesehatan menggunakan cerita dalam berbagai budaya .Dalam analisis naratif dari 115 cerita perempuan keturunan Afrika. Banks-Wallace (2002) menemukan cerita yang berguna untuk belajar lebih banyak tentang faktor-faktor historis dan kontekstual yang mempengaruhi kesejahteraan ini wanita. Fungsi utama cerita yang diberikan adalah: landasan kontekstual, ikatan dengan orang lain, memvalidasi dan



menegaskan pengalaman, ventilasi dan katarsis, menolak penindasan, dan mendidik orang lain. Saat in, beberapa penelitian juga telah dilakukan terkait efektivitas dari bercerita atau mendongeng. Salah satunya penelitian tentang efektifitas storytelling dalam mengurani agresi dan perilaku keras kepala pada anak umur 7-9 tahun yang menderita oppositional defiant disorder. Intervensi storytelling ini dilakukan pada 14 orang anak yang mengalami oppositional defiant disorder dan dievaluasi dengan menggunakan Behavioral Assessment Disorder Quesioner, Agresi kuesioner, kuesioner Stubbornness dan wawancara klinis terstruktur untuk DSM-IV. Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan adanya penurunan agresi yang signifikan pada anak yang menderita oppositional defiant disorder (Tielman, Neerincx, Bidarra, & Kybartas, 2017). Penelitian serupa juga dilakukan pada anak autis dan retardasi mental. Pada penelitian ini diberikan intervensi bercerita atau mendongeng untuk meningkatkan perhatian anak autis dan retardasi mental. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yang signifikan bahwa terapi bercerita atau mendongeng mampu meningkatkan perhatian anak dan mampu mencontoh hal yang diceritakan oleh pendongeng (Tech et al., 2016). Selain dilakukan pada anak, storytelling juga dapat dilakukan pada orang dewasa. Seperti penelitian yang dilakukan oleh



Cour, Ledderer, & Ploug (2016)



dengan menggunakan cerita sebagai intervensi untuk rehabilitasi pada pasien kanker dengan menggunakan cerita yang berfokus pada pengelolaan kanker bersama dengan keluarga mereka dan dikombinasikan dengan kegiatan yang



disenangi. Dari penelitian tersebut diperolah hasil bahwa pasien mampu mengatasi masalah ketakutan dan kekhawatiran yang dialami terkait penyakitnya.



BAB III PENUTUP Storytelling merupakan salah satu terapi alternatif atau komplementer yang merupakan bagian dari mind-body therapy yang berfokus pada interaksi antara otak, pikiran, tubuh dan perilaku dengan maksud menggunakan pikiran untuk mempengaruhi fungsi fisik dan meningkatkan kesehatan. Storytelling atau bercerita merupakan kegiatan yang dilakukan sehar-hari dan telah dilakukan berabad-abad yang lalu sebagai kekuatan atau alat untuk berkomunikasi. Cerita yang disampaikan ebuah narasi, benar atau fiktif, dalam bentuk prosa atau ayat yang dirancang untuk menghibur atau mengistruksikan pendengar atau pembaca sehingga mendorong dan mempengaruhi status kesehatan mereka. Storytelling dapat dilakukan di layanan kesehatan, penelitian kesehatan maupun dalam proses belajar mengajar dengan harapan dapat mengubah perilaku dan status kesehatan pendengar atau pasien.



Daftar Pustaka Banks-Wallace, J. (2002). Talk that talk: Storytelling and analysis rooted in African American oral tradition. Qualitative Health Research, 12(3), 410– 426. Bergner, R. M. (2007). Therapeutic Storytelling Revisited. American Journal of Psychotherapy, 61(2), 149–162. Cour, K., Ledderer, L., & Ploug, H. (2016). Storytelling as part of cancer rehabilitation to support cancer patients and their relatives. Journal of Psychosocial Oncology, 0(0), 1–17. http://doi.org/10.1080/07347332.2016.1217964 Deutsch, J., & Anderson, E. Z. (2008). Complementary Therapies For Physical Therapy : A Clinical Decision-Making Approach. United States: Saunders Elsevier. Gray, T., & Stuart, K. (2012). The power of storytelling in adventure therapy. Heliker, D. (2007). Story sharing: Restoring the reciprocity of caring in long-term care. Journal of Psychosocial Nursing and Mental Health Services, 45(7), 20–23. Hosseini, S., Naziri, G., & Rozdar, E. (2014). Effectiveness of Storytelling Therapy on the Reduction of Aggression and Stubbornness in Children with Oppositional Defiant Disorder. Zahedan Journal of Research in Medical Sciences, 16(9), 83–85. Lindquist, R., Snyder, M., & Tracy, M. F. (2014). Complementary and Alternative Therapies in Nursing (seventh). New York: Springer Publishing Company, LLC. Purdani, K. S. (2017). Memaknai Storytelling. Jurnal Ilmiah Sehat Bebaya, 1(2), 132–135. Sandars, J., Murray, C., & Pellow, A. (2008). Twelve tips for using digital storytelling to promote reflective learning by medical students. Medical Teacher, 30(8), 774–777.



Snyder, M., & Lindquist, R. (2006). Complementary / Alternative Therapies in Nursing. New York: Springer Publishing Company, LLC. Snyder, M., & Lindquist, R. (2010). Complementary & Alternative Therapies in Nursing. New York: Springer Publishing Company, LLC. Tech, A., Med, B., Giuliani, F., Marchetti, B. C., Perrenoud, V., & Korh, P. El. (2016). Advanced Techniques in Biology & Medicine Is Storytelling Therapy Useful for Children with Autism Spectrum Disorders and Severe Mental Retardation ?, 4(1), 1–5. http://doi.org/10.4172/2379-1764.1000166 Tielman, M. L., Neerincx, M. A., Bidarra, R., & Kybartas, B. (2017). A Therapy System for Post-Traumatic Stress Disorder Using a Virtual Agent and Virtual Storytelling to Reconstruct Traumatic Memories. http://doi.org/10.1007/s10916-017-0771-y