MAKALAH Studi Islam Dan Problematika Nya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Studi Islam dan Problematika nya PENULIS : AHMAD JA’ FAR PEMBIMBING : Dani Nur Pajar, M.Pd.I PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM SEKOLAH TINGGI FILSAFAT ISLAM (STFI) SADRA TAHUN AJARAN 2020/2021



KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah swt yang sudah melimpahkan rahmat, Taufik, dan hidayah-Nya sehingga saya bisa menyusun makalah dengan tepat waktu. Tugas makalah dengan tema “Studi Islam dan Problematika nya” ini, saya persembahkan sebagai kewajiban saya di dalam tugas mata kuliah Metodologi studi Islam Semoga tugas ini bisa memahamkan bagi siapapun yang membacanya dan jika ditemukan kesalahan mohon di maafkan dan saya berharap koreksiannya Atas perhatian serta waktunya, saya sampaikan terima kasih



Balikpapan, 28 Februari 2021



DAFTAR ISI Kata pengantar………………………………………........... Bab I (Pendahuluan )………………………………………. Latar belakang…………………………………………….. Rumusan masalah…………………………………………. Tujuan masalah…………………………………………….. Bab II ( Pembahasan )……………………………………… Sejarah Awal Studi Islam .......…………………………...... Metode pembelajaran ......……............................................. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam ……………... Perkembangan Studi Islam di Barat…. . . ………………… Perkembangan Studi Islam di Indonesia………………….. Munculnya Studi Islam sebagai Bagian dari Studi Ketimuran (Oriental Studies) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Mengenal Insider-Outsider . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Islam . . . . . . . . . Posisi Indider-Outsider dalam Studi Agama . . . . . . . . . . . Problem Insider dan Outsider . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bab III (Penutup )…………………………………………...



Kesimpulan …………………………………………………. Daftar pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .



BAB I PENDAHULUAN A . Latar Belakang Sejarah perkembangan studi Islam dikalangan ilmuan muslim dari masa keemasan ada banyak sekali kisah atau hal yang dapat dipelajari, bahkan pendekatan-pendekatan dan metode-metodenya bisa juga diterapkan dalam era modern seperti di zaman sekarang ini. Sejarah perkembangan studi Islam ini merupakan bidang studi yang banyak menarik perhatian para peneliti, baik dari kalangan sarjana muslim maupun nonmuslim. Karena dari penelitian itu banyak manfaat yang dapat dapat diperoleh dari penelitian perkembangan studi tersebut. Seperti halnya perkembangan, pendekatan, cara, ataupun hal-hal yang lain dalam studi islam. Disadari atau tidak, selama ini informasi mengenai sejarah perkembangan studi Islam banyak berasal dari hasil penelitian sarjana barat. Hal ini terjadi karena selain masyarakat barat memiliki etos keilmuan yang tinggi, juga didukung oleh dana dan kemauan politik yang kuat dari para pemimpinnya. Sedangkan para peneliti muslim tampak disamping etos keilmuannya rendah, juga belum didukung oleh



keahlian di bidang penelitian yang memadai, serta dana dan dukungan politik dari pemerintah yang kondusif. Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur`an dan terjabar dalam Sunnah Rasul bermula sejak Nabi Muhmmad SAW menyampaikan ajaran tersebut pada umatnya.



B . Rumusan Masalah Permasalahan-permasalahan yang hendak di bahas didalam ini antara lain: 1. Bagaimana sejarah awal studi Islam? 2. Bagaimana metode pembelajaran Islam? 3. Bagaimana perkembangan lembaga pendidikan Islam? 4.



Bagaimana perkembangan studi Islam di Barat?



5.



Bagaimana perkembangan studi Islam di Indonesia?



6.



Bagaimana munculnya studi Islam sebagai bagian dari studi ketimuran (Oriental Studies)?



7. Siapakah Indider-Outsider ? 8. Bagaimana Perspektif Indider-Outsider dalam Studi Islam ? 9. Dimana Posisi Indider-Outsider dalam Studi Agama ? 10. Apakah Problem Indider-Outsider ?



C . Tujuan Masalah 1.



Mengetahui sejarah awal studi Islam.



2. Mengetahui metode pembelajaran Islam. 3. Mengetahui perkembangan lembaga pendidikan Islam. 4. Mengetahui perkembangan studi Islam di Barat. 5. Mengetahui perkembangan studi Islam di Indonesia.. 6. Mengetahui kemunculan studi Islam sebagai bagian dari studi ketimuran (Oriental Studies) 7. Mengetahui dan mengenal Indider-Outsider 8. Memahami Perspektif Indider-Outsider dalam Studi Islam 9. Mengetahui Posisi Indider-Outsider dalam Studi Agama



10. Mengungkap problem Indider-Outsider



BAB II PEMBAHASAN A . Sejarah Awal Studi Islam Pesantren, Mts, Ma, sekolah swasta Islam, UIN, universitas swasta islam, dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk nyata terwujud nya proses studi islam yang telah lama berkembang dan terus berkembang sampai sekarang. Proses perkembangan pendidikan atau studi islam tersebut sudah dimulai sejak dahulu hingga sekarang. Pendidikan Islam mencapai puncak kejayaan pada masa dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (170-193 H). Karena beliau adalah ahli ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan serta didukung negara dalam kondisi aman, tenang dan dalam masa pembangunan sehingga dunia Islam pada saat itu diwarnai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah Al-Qur`an, agama, membaca, menulis, dan syair. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khittabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, ilmu-ilmu pokok seperti Al-Qur`an, syair dan fiqh. Di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti masjid, kurikulumnya adalah ilmu agama dengan Al-Qur`an sebagai intinya. Selain itu hadits dan tafsir. Hadits merupakan materi penting di masjidmasjid, karena kedudukannya sebagai sumber agama Islam yang kedua, setelah Al-Qur`an. Sedangkan tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Al-Qur`an dengan penafsirannya. Pelajaran fiqh, merupakan materi kurikulum yang paling populer karena bagi mereka yang ingin mencapai jabatan-jabatan dalam pengadilan harus mendalami bidang studi tersebut. Banyaknya muslim yang tertarik pada ilmu fiqh karena besarnya penghasilan yang diperoleh ahli-ahli fiqh dalam memecahkan masalah fiqhiyah seperti



masalah warisan menyebabkan berkembangnya kebiasaan buruk sebagaimana yang dikritik oleh Al- Ghazali yaitu munculnya ahli fiqh yang memberikan fatwa-fatwa demi mengharap imbalan harta. Seni berdakwah (retorika) juga membentuk bagian penting dalam pengajaran ilmu-ilmu agama, karena kemampuan menyampaikan dakwah dengan meyakinkan dan pelajaran yang ilmiah serta memainkan peranan penting dalam kehidupan keagamaan dan pendidikan Islam di kalangan masyarakat muslim. Mata pelajaran retorika teridiri dari tiga cabang yaitu Al- Ma`ani yang membahas perbedaan kalimat dan bagaimana melafalkannya dengan jelas, AlBayan, yang mengajarkan seni mengekspresikan ide-ide dengan fasih dan tidak mengandung arti ganda, dan Al- Badi yang membahas katakata indah dan hiasan kata dalam pidato Studi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmuilmu agama Islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya tradisi literer di kawasan Arab pada masa pertengahan. Fase pertama(800-1100), masa diman banyak bermunculan polemik teologis antara muslim kristen dan yahudi. Fase perang salib (1100-1500),Studi Islam untuk tujuan-tujuan misionaris mulai pada abad ke-12 pada masa Peter Agung (1094-1156), seorang biarawan Cluny di Prancis. Fase reformasi(1500-1650), Sejalan dengan Eropa memasuki periode perubahan keagamaan, politik dan intelektual pada abad ke-16, pengetahuan dan sudi Islam juga terpengaruh. Fase penemuan dan pencerahan(1650-1900)Secara umum, agama mulai dipandang dengan cara berbeda pada masa pencerahan di Eropa. Pengakuan atas pemeluk agama lain yang tidak dianggap bidah lagi oleh kristen merupakan suatu aspek penting dari konsep baru tentang agama. Akibat dari perkembangan ini adalah cara pandang terhadap kehidupan dan misi Nabi Muhammad. Pada akhir abad ke-18, beberapa sarjana melihat Muhammad sebagai seorang dai agama yang lebih alami dan rasional daripada kristen



B . Metode Pembelajaran Metode pemngajaran merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses belajar mengajar untuk mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada anak didiknya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilihan ilmu oleh murid, sehingga murid dapat menyerap apa yang disampaikan gurunya. Metode pengajaran yang dipakai pada masa dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu: 1.



Metode lisan Metode ini dapat berupa dikte, ceramah, qira`ah, dan dapat berupa diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman sehingga pelajar mempunyai catatan yang dapat membantunya terutama bagi yang daya ingatnya tidak kuat. Metode ceramah (al-asma`), yaitu guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Pada saat tertentu guru memberi kesempatan kepada murid untuk menulis dan bertanya. Metode qira`ah (membaca) biasanya digunakan untuk membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode pengajaran dalam pendidikan Islam dengan cara perdebatan.



2.



Metode hafalan Metode ini dilakukan oleh murid dengan cara membaca berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak mereka. Dalam proses selanjutnya, murid mengeluarkan kembali pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam suatu diskusi dia dapat merespon, mematahkan lawan, atau memunculkan ide baru.



3.



Metode tulisan penguasaan pengetahuan juga sangat besar artinya bagi penggandaan jumlah buku karena pada masa itu belum ada mesin cetak.



Di antara ciri khas pendidikan di masa dinasti Abbasiyah adalah teacher oriented , yaitu kualitas suatu oendidikan tergantung pada guru. Pelajar bebas mengikuti suatu pelajaran yang dikehendaki dan bisa belajar dimana saja, misdalnya di perpustakaan, toko buku, rumah ulama atau tempat terbuka. Pelajar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelajar tidak tetap, yang terdiri dari para pekerja yang mengikuti pelajaran untuk menunjang profesi dan pelajar tetap, yaitu pelajar yang mempunyai tujuan utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk belajar.



C . Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam 1.



Lembaga Pendidikan Islam Nonformal a.



Kutab sebagai Lembaga Pendidikan Dasar Kutab atau maktab, berasal dari kata dasra kattaba yang berarti menulis atau tempat menulis. Pada mulanya dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan, yang diajarkan adalah menulis dan membaca. Kemudian pada akhir abad pertama hijriyah, kutab tidak hanya mengajarkan menulis dan membaca, tetapi juga mengajarkan membaca Al-Qur`an dan pokok-pokok ajaran Islam.



b.



Pendidikan Rendah di Istana Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan di kutab pada umumnya. Di istana orang tua murid membuat rencana pelajaran yang selaras dengan anaknya. Guru yang mengajar disebut Mu`addib, karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan serta ppengetahuan



c.



Toko-Toko Kitab Toko-toko kitab bukan hanya sebagai tempat berjual beli saja, tetapi juga sebagi tempat berkumpulnya para



ulama, pujangga, dan ahli-ahli ilmu pengetahuan untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah atau sekaligus sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.



d.



Rumah-Rumah Para Ulama (Ahli Ilmu Pengetahuan) Pada masa kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, rumah-rumah para ulama dan ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Di antaranya, rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad Al-Fashihi, Ya`qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah, dan Al-Aziz Billah Al-Fathimy.



e.



Majelis Kesusasteraan Yaitu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan.



f.



Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi) Badiah digunakan sebagai tempat untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih dan murni serta mempelajari syair-syair dan sastra Arab. Ulama-ulama yang banyak pergi ke Badiah untuk tujuan tersebut di antaranya: AlKhalil bin Ahmad (160 H). Ia pergi ke badiah Hijaz, Najd, dan Tihamah Bajar bin Burd (167 H). Ia belajar kepada 80 orang syekh di Bani Aqil. Al-Kasai (182 H). Ia belajar di badiah dan menghabiskan 15 botol tinta untuk menulis tentang Arab.Imam Syafi`i (204 H). Ia belajar di Hudzail selama 17 tahun.



g.



Rumah Sakit (Bimaristan) Pada masa dinasti Abbasiyah yang mendirikan rumah sakit adalah Harun al Rasyid, yang memerintahkan kepada dokter Jibrail bin Buhtaisu untuk mendirikan rumah sakit di Baghdad. Di sebelah rumah sakit ada perpustakaan dan bilik untuk mengajarkan ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan.



h.



Perpustakaan Perpustakaan menjadi aspek budaya yang penting dan sebagai tempat belajar serta sumber pengembangan ilmu pengetahuan. Berikut Perpustakaa yang memiat sejarah, diantaranya:



Perpustakaan baitul hikmah di Baghdad, didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid. Perpustakaan ini berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab dan ilmu umum yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Arami. · Perpustakaan Al-Haidariyah di Najaf (Irak) di sebelah makam Ali bin Abi Thalib. Perpustakaan Ibnu Suwar di Basrah, didirikan oleh Abu Ali bin Suwar. Dalam perpustakaan ini diadakan khalakah ppelajaran Perpustakaan Sabur didirikan pada tahun 383 H oleh Abu Nasr sabur bin Ardasyir. Dalam perpustakaan ini kurang lebih ada 10.400 jilid buku. Darul Hikmah di Kairo (Mesir), didrikan oleh Al-Hakim Biamrillah Al-Fathimy tahun 395 H. Perpustakaan khusus, yaitu perpustakaan Al-Fath bin Khagan Wazir Al-Mutawakkil Al-Abbasy (247 H), Perpustakaan Hunain bin Ishaq (264 H), dan Perpustakaan Ibnu Al-Khassyah (567 H).



Perpustakaan di Andalusia, perpustakaan yang besar adalah perpustakaan di Kurtubah (Cordova). Didirikan oleh Al-Hakam bin an Nashir yang menjadi khalifah di Andalusia tahun 350 H.



i.



Ribath (Khaniqah) Ribath adalah kamp, tempat tentara yang dibangun di perbatasan negeri untuk mempertahankan negara dari serangan musuh. Ribath yang terbesar adalah di sebelah utara negeri Syam (Syiria) dan utara Afriqiah (Tunisia). Ribath digunakan sebagai tempat tinggal orang-orang sufi dan tempat penginapan alim ulama dan pelajar yang datang dari luar negeri untuk belajar hadits, ilmu agama, dan bahasa Arab.



2.



Lembaga Pendidikan Formal Akhir periode Madinah sampai dengan 4 H, fase pertama pendidikan Islam sekolah masih di masjid-masjid dan rumahrumah dengan ciri hafalan namun sudah dikenalkan logika. Selama abad ke 5 H, selama periode khalifah Abbasiyah sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar dan mulai bergeser dari matakuliah yang bersifat spiritual ke matakuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial. Berdirinya sistem madrasah justru menjadi titik balik kejayaan. Sebab madrasah dibiayai dan diprakarsai negara. Kemudian madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin terutama oleh kerajaan Fatimah di Kairo. Pengaruh Al-Ghazali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum. Ada beberapa kota yang menjadi pusat kajian Islam di zamannya, yakni Nisyapur, Baghdad, Kairo, Damaskus, dan Jerussalem. Ada empat perguruan tinggi tertua di dunia Muslim yakni: (1)



Nizhamiyah di Baghdad, (2) Al-Azhar di Kairo Mesir, (3) Cordova, dan (4) Kairwan Amir Nizam Al-Muluk di Maroko. Sejarah singkat masing-masing pusat studi Islam ini digambarkan sebagai berikut: A. Nizhamiyah di Baghdad Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Baghdad berdiri pada tahun 455 H / 1063 M. Perguruan tinggi ini dilengkapi dengan perpustakaan yang terpandang kaya raya di Baghdad, yakni Bait Al-Hikmat, yang dibangun oleh Al-Makmun (813-833 M). Salah seorang ulama besar yang pernah mengajar disana, adalah ahli pikir Islam terbesar Abu Hamid AlGhazali (1058-1111 M) yang kemudian terkenal dengan sebutan imam Ghazali. Perguruan tinggi tertua di Baghdad ini hanya sempat hidup selama hampir dua abad. Yang pada akhirnya hancur akibat penyerbuan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M. B. Al-Azhar di Kairo Mesir Panglima Besar Juhari Al-Siqili pada tahun 362 H/972 M membangun Perguruan Tinggi Al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran sekte Syi’ah. Pada masa pemerintahan Al-Hakim Biamrillah khalifah keenam dari Daulat Fathimiah, ia pun membangun pepustakaan terbesar di Al-Qahira untuk mendampingi Perguruan tinggi Al-Azhar, yang diberri nama Bait Al-hikmat (Balai Ilmu Pengetahuan), seperti nama perpustakaan terbesar di Baghdad. Pada tahun 567 H/1171 M daulat Fathimiah ditumbangkan oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi yang mendirikan Daulat Al-Ayyubiah (1171-1269



M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Daulat Abbasiyah di Baghdad. Kurikulum pada Pergutuan Tinggi Al-Azhar lantas mengalami perombakan total, dari aliran Syiah kepada aliran Sunni. Ternyata Perguruan Tinggi Al-Azhar ini mampu hidup terus sampai sekarang, yakni sejak abad ke-10 M sampai abad ke-20 dan tampaknya akan tetap selama hidupnya. Universitas Al-Azhar dapat dibedakan menjadi dua periode: pertama, periode sebelum tahun 1961 dan kedua, periode setelah tahun 1961. Pada periode pertama, fakultas-fakultas yang ada sama dengan fakultas-fakultas di IAIN, sedangkan setelah tahun 1961, di universitas ini diselenggarakan fakultasfakultas umum disamping fakultas agama. C. Perguruan Tinggi Cordova Adapun sejarah singkat Cordova dapat digambarkan demikian, bahwa ditangan daulat Ummayah semenanjung Iberia yang sejak berabad-abad terpandang daerah minus, berubah menjadi daerah yang makmur dan kaya raya. Pada masa berikutnya Cordova menjadi pusat ilmu dan kebudayaan yang gilang gemilang sepanjang Zaman Tengah. The Historians History of the World, menulis tentang perikeadaan pada masa pemerintahan Amir Abdurrahman I sebagai berikut: demikian tulis buku sejarah terbesar tersebut tentang perikeadaan Andalusia waktu itu yang merupakan pusat intelektual di Eropa dan dikagumi kemakmurannya. Sejarah mencatat, sebagai contoh, bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar ke Cordova pada tahun 1120 M, dan pelajaran yang dutuntutnya ialah geometri, algebra (aljabar), matematika. Gerard dari



Cremonia belajar ke Toledo seperti halnya Adelhoud ke Cordova. Begitu pula tokoh-tokoh lainnya. D. Kairwan Amir Nizam Al-Muluk di Maroko Perguruan tinggi ini berada di kota Fez (Afrika Barat) yang dibangun pada tahun 859 M oleh puteri seorang saudagar hartawan di kota Fez, yang berasal dari Kairwan (Tunisia). Pada tahun 305 H/918 M perguruan tinggi ini diserahkan kepada pemerintah dan sejak itu menjadi perguruan tinggi resmi, yang perluasan dan perkembangannya berada di bawah pengawasan dan pembiayaan negara. Seperti halnya Perguruan tinggi Al-Azhar, perguruan tinggi Kairwan masih tetap hidup sampai kini. Diantara sekian banyak alumninya adalah pejuang nasionalis muslim terkenal. Penyebab utama kemunduran dunia muslim khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian dalam kondisi demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib. Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan 1258 M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan Hulaghu.



D . Perkembangan Studi Islam di Barat Kontak Islam dengan Barat (Eropa) dapat dikelompokkan menjadi dua fase, yakni: (1) di masa kejayaan Islam (abad ke 8 M) kalau melihat Spanyol adalah abad 13 M, dan (2) di masa renaissance/ runtuhnya muslim, dimana Barat yang berjaya (selama abad ke 16 M) sampai sekarang.



1.



Fase Kejayaan Muslim



Kontak pertama antara dunia Barat dengan dunia muslim adalah lewat kontak perguruan tinggi. Bahwa sejumlah ilmuan dan tokoh-tokoh barat datang di perguruan tinggi muslim untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dunia Islam belahan timur, perguruan tinggi tersebut berkedudukan di Baghdad dan di Kairo, sementara di belahan barat ada di Cordova. Bentuk lain dari kontak dunia muslim dengan dunia barat pada fase pertama adalah penyalinan manuskripmanuskrip ke dalam bahasa latin sejak abad ke-13 M hingga bangkitnya zaman kebangunan (renaissance) di Eropa pada abad ke-14. Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat. Apalagi sesudah aliran empirisme yang dikumandangkan oleh Francis Bacon menguasai alam pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen. Setelah ilmu-ilmu yang dahulunya dikembangkan muslim masuk ke Eropa dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Barat, dirasakan banyak tidak sejalan dengan Islam. Misalkan dirasakan dirasuki oleh paham sekuler dan sejenisnya. Karena itu, beberapa ilmuan melakukan usaha pembersihan. 2.



Fase Renaissance/ Runtuhnya Muslim



Selama abad renaissance Eropa menguasai dunia untuk mencari mata dagangan, komersial, dan penyebaran agama. Kedatangan muslim fase kedua ke dunia barat, khususnya Eropa Barat dilatar belakangi oleh dua alasan pokok, yakni: (1) alasan politik dan (2) alasan ekonomi. Alasan politik adalah kesepakatan kedua negara, yang satu sebagai bekas penjajah, sementara yang satunya sebagai bekas jajahan. Misalnya Perancis mempunyai kesepakatan dengan negara bekas jajahannya, bahwa penduduk bekas jajahannya boleh masuk ke Perancis tanpa pembatasan. Maka berdatanglah muslim dari Afrika Barat dan Afrika Utara, khususnya dari Algeria ke Perancis. Adapun alasan ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat. Untuk menutupi kebutuhan itu Belgia, Jerman, Belanda merekrut buruh dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Sementara Inggris mendatangkan dari negara-negara



bekas jajahannya. Adapun kategori Muslim yang ada di Eropa Barat ada dua, yakni pendatangg (migran) dan penduduk asli. Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat digambarkan bahwa lembaga/ system pendidikan Islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, kemudian sistem pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem kelas.



E . Perkembangan Studi Islam di Indonesia Maksud pendidikan dengan sistem langgar adalah pendidikan yang dijalankan di langgar, surau, masjid atau di rumah guru. Kurikulumnya pun bersifat elementer, yakni mempelajari abjad huruf arab. Dengan sistem ini dikelola oleh ‘alim, mudin, lebai. Mereka ini umumnya berfungsi sebagai guru agama atau sekaligus menjadi tukang baca do’a. Pengajaran dengan sistem langgar ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan sorongan, yakni seorang murid berhadapan secara langsung dengan guru dan bersifat perorangan. Kedua, adalah dengan cara halaqah, yakni guru dikelilingi oleh murid-murid. Adapun sistem pendidikan di pesantren, dimana seorang kyai mengajari santri dengan sarana masjid sebagai tempat pengajaran/ pendidikan dan didukung oleh pondok sebagai tempat tinggal santri. Di pesantren juga berjalan dua cara yakni sorongan dan halaqah. Hanya saja sorongan di pesantren biasanya dengan cara si santri yang membaca kitab sementara kyai mendengar sekaligus mengoreksi jika ada kesalahan. Sistem pengajaran berikutnya adalah pendidikan dikerajaan-kerajaan Islam, yang dimulai dari kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Adapun materi yang diajarkan di majlis ta’lim dan halaqah di kerajaan pasai adalah fiqh mazhab Al-Syafi’i. Pada akhir abad ke 19 perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mulai lahir sekolah model Belanda: sekolah Eropa, sekolah Vernahuler. Sekolah khusus bagi ningrat Belanda, sekolah Vernahuler khusus bagi warga negara Belanda. Di samping itu ada sekolah pribumi yang



mempunyai sistem yang sama dengan sekolah-sekolah Belanda tersebut, seperti sekolah Taman Siswa. Kemudian dasawarsa kedua abad ke 20 muncul madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah model Belanda oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Jama’at Al-Khair. Pada level perguruan tinggi dapat digambarkan bahwa berdirinya perguruan tinggi Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga pendidikan tinggi Islam sejak zaman kolonial. Pada bulan April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama, dan cendekiawan. Setelah persiaapan cukup, pada tanggal 8 Juli 1945 atau tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan Isra’ dan Mi’raj diadakan acara pembukaan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dari sinilah sekarang kita mengenal UII, IAIN, UIN, dan STAIN.



F . Munculnya Studi Islam sebagai Bagian dari Studi Ketimuran (Oriental Studies) Setelah studi klasik meluas di Eropa pada abad ke-16, Studi Ketimuran (Oreintalis Studies) ditengarai muncul pada abad ke-19, meskipun studi islam tentang negara Arab mengalami kemunduran paling tidak abad ke-6, bahkan lebih awal lagi. Studi ketimuran mencakup kajian tentang bahasa, sjarah dan budaya dari Asia dan Afrika Utara. Kajian-kajian tersebut berdasarkan pada filologi dalam arti yang lebih luas, yaitu kajian-kajian terhadap budaya melalui studi terhadap sumber asalnya, khususnya dari teks-teks yang dianggap otoritatif. Studi Ketimuran dibangun berdasarkan pola Studi Klasik dan hampir selalu berkaitan dengan masa lampau. Alasan kenapa perluasan dalam studi Ketimuran ini terjadi pada abad ke-19, sangatlah komlek dan tidak dapat disampaikan secara detail disini. Ekspansi ekonomi dan politik ke Asia dan Afrika telah diiringi dengan tumbuhnya minat terhadap keberagamaan dan budaya mereka. Studi islam kemudian berkembang menjadi cabang ilmu yang berbeda dari studi Ketimuran dalam paruh kedua abad ke-19. Pada saat itu, kajian tentang sastra dan bahasa Timur



telah menjadi disiplin akdemis yang berdiri sendiri di universitasuniversitas Eropa. Hal itu terjadi selama beberapa waktu, sebelum studi islam menjadi bidang ilmu yang independen dalam keseluruhan dari studi ketimuran. Sebagaimana studi Ketimuran pada umumnya, studi islam berdiri sendiri terlepas dari teologi (termasuk missologi) dan tidak terpengaruh oleh polemik dan apologi. Sebagi sebuah disiplin ilmu, studi Islam berad dibawah fakultas seni atau dibawah sub-bagiannya (jurusanjurusan), misalnya, study budaya (Kulturwissenchaften) dan bukan berda dibawah fakultas Teologi. Dalam perkembangannya, studi islam di negara-negara Barat manapun, dalam bagian tertentu dapat dibedakan sebagai berikut: a.



Studi islam mensyaratkan kajian intensif tentang bahasa Arab sebagai bahasa. Diantara pemula pakar bahasa Arab dari Jerman adalah Johann Jakob Reiske (1716-1774). Kajian-kajian bahasa Arab berkembang luas di Eropa sejak pemulaan abad ke-19. Salah satu dari ahli-ahli dalam bidang ini adalah seorang sarjana Perancis A.I. Sylvestre de sacy (1758-1838).



b.



Studi teks hanya dapat dilakukan berdasarkan pada pengetahuan yang solid tentang bahasa Arab dan bahasa-bahasa “islam” yang lain, seperti bahasa Persia, Turki, Urdu dan Melayu termasuk di dalamnya kritik teks dan sejarah kesusastraaan. Dengan demikian, edisi-edisi dari teks-teks tersebut dianggap sebagai pra-syarat dala kajian-kajian tersebut.



c.



Keahlian dalam bidang teks, pada gilirannya, merupakan prasyarat dalam kajian sejarah. Termasuk didalamnya berbagai kajian terhadap para sejarawan muslim awal yang menulis dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki.



d.



Penelitian teks dan sejarah memberikan jalan bagi kajian budaya (culture) dan keagamaan (religion) Islam. Diantara



pokok bahasan yang dibicarakan disini adalah apa yang disebut dengan kajian sejarah dan filosofis terhadap teks-teks agama; terutama kajian terhadap Al-Qur’an dan Hadist.



e.



Kajian terhadap berbagai wilayah budaya muslim yang lebij luas telah membentuk bagian-bagian yang integral dari studi islam, sejauh masih menyaangkut aspek keislaman dari budaya yang bersangkutan.



Sebagia besar studi islam saat ini di negara-negara Barat lebih bisa dipahami dengan latar belakanag perkembangan historis sebagaimana disebutkan diatas. Sejarah studi islam merupakan sebuah kajian tersendiri.[Nanji, 2003:2-5]



G . Mengenal Insider-Outsider Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, disini perlu dijelaskan pengertian insider dan outsider. Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan (orang luar). Yang menjadi persoalan adalah apakah dari kalangan insider maupun outsider dalam penilaian benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan, karena latar belakang dan jerat histosris yang melekat pada insider maupun outsider. Banyak kalangan yang menaruh pandangan negatif pada pendapat outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam adalah salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk terus menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada wilayah tersebut. Dari gambaran diatas, memberikan indikasi bahwa banyak analisis dari kalangan outsider yang tidak bisa di terima oleh insider, dan begitu juga banyak analisis insider yang dipandang sebelah mata oleh outsider karena adanya subjektifitas yang menjerat insider. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut hanya akan menimbulkan miss-understanding yang dapat berujung pada konflik. Ketidakpuasan dalam menghadapi



kenyataan yang ada, para pakar dan peneliti berusaha mengidentifikasi dan menyusun bangunan teori untuk memecahkan persoalan seputar studi agama.



H . Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Islam Sarjana-sarjana Barat tampaknya amat tertarik dengan dinamika umat Muslim di dunia ini. Fenomena ini telah muncul sejak lama ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan diri atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam dipahami oleh umatnya. Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan paradigma dan teori mereka sendiri dalam mengkaji Islam, sehingga pembahasannya menjadi tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami dan diamalkan oleh umatnya. Marshall G.S. Hodgson mengkritik Clifford Geertz, yang dianggapnya ceroboh dalam mengkaji umat Islam. Hodgson memandang Geertz kurang memahami sejarah umat Islam secara baik. Tidak hanya Islam saja sebenarnya yang menjadi sorotan, pada tahun 1960 an pernah muncul sebuah pernyataan yang menjadi perdebatan panjang mengenai sifat dasar dari studi agama Sikh. Perdebatan ini secara cepat meluas melebihi permasalahan outsider-insider, dan menjadi sangat penting, terbukti dengan terbitnya kumpulan tulisan yang berjudul Perspective on the Sikh Tradition, tahun 1986. Para penulis barat ini kemudian menuai krtikan tajam dari para sarjana barat lainnya yang menulis tentang Sikhism. Disamping sarjana Barat, banyak juga sarjana dari Timur yang berposisi sebagai outsider mengkaji Islam. Sachiko Murata dan William C. Chittick, dalam bukunya The Vision of Islam melakukan pendekatan dalam memahami Islam dengan mengungkapkan atau berawal dari yang diajarkan Islam itu sendiri. Selanjutnya mereka menulis :



“Kata ‘Islam’ kami maknai sebagai teks-teks yang secara universal diakui (hingga saat ini) sebagai titik puncak tradisi. Sebagaimana semua agama besar lain, Islam memiliki karakter yang menonjol, dan dari sinilah kami berusaha memahaminya. Teks-teks tersebut disandarkan kepada al- Qur’an. Dalam pengertian yang sangat dalam Islam adalah al-Qur’an dan al- Qur’an adalah Islam. Tafsir utama alQur’an diberikan oleh Muhammad sendiri. Dengan mengikuti metode beliau banyak tokoh agung – guru, wali, filosof, teolog, ahli hokummenjelaskan dan menafsirkan naturalitas visi asli sesuai kebutuhan zamannya.” Dalam kajian buku ini Murata dan Chittick mencoba mengkaji Islam secara komprehensif. Selain meneliti teks, mereka juga melakukan kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang menjelaskannya. Dalam bukunya mereka membagi kajian Islam ke dalam empat bagian yaitu: pertama tentang Islam. Kedua tentang tawhid, kenabian, membahas tentang kembali, membahas aliran-aliran intelektual antara lain tentang; Ekpresi Islam pada Masa Awal, Kalam, Sufisme, Filsafat, Dua Pola Pemahaman, Rasionalitas Kalam, Abstraksi Filsafat,dan Visi Sufisme. Pada bagian ketiga mereka mengkaji Islam dalam hal Ihsan. Bagian ini dibagi dalam dua bab yaitu tentang dasar Ihsan dalam Alquran dan Manifestasi Ihsan historis. Keempat dikaji tentang Islam dalam sejarah. Dalam bagian empat ini terdiri dari Sejarah sebagai Interpretasi dan Situasi Kontemporer. Kajian Islam kedua tokoh ini telah memberikan pujian dari beberapa tokoh antara lain oleh Sayyid Hossain Nasr, dia mengatakan: “Ini merupakan karya pengantar Islam yang sangat bagus bagi audiens Barat. Pengarang mempresentasikan satu kajian komprehensif, yang berawal dari dalam wilayah kebenaran iman yang diwahyukan, kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh visi Islam”. Tokoh outsider lainnya yang mengkaji Islam terutama dari aspek esoterik atau sufisme adalah Louis Massignon. Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al- Hallaj. Kajian Louis Massignon



ini mendapatkan apresiasi dari tokoh Islam antara lain dari Seyyed Hossein Nasr, dengan berkata: “Karya ini bukan sekedar karya unik tentang seorang sufi besar dan kontroversial, melainkan sebuah kajian tiada banding tentang semanngat keagamaan, kehidupan sosial dan politik, serta keseluruhan peradaban Islam dimana ia hidup dan mati “. Pengkaji kajian esoterik Islam yang berikutnya adalah William C. Chittick. Chittick adalah seorang guru besar bidang studi agama-agama di State University of Knowledge. Ia membuat kajian tentang Ibn alArabi dan yang lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi. Ia menulis buku berjudul The Sufi Path of Knowledge : Ibn al- ‘Arabi’s Metaphisyc of Imagination. Dalam salah satu karyanya yaitu Heurmenetika al- Qur’an ibn al‘Arabi menunjukkan bagaimana Ibn al- Arabi sendiri mengakui bahwa magnum opus-nya yaitu Futuhat al-Makiyyah adalah uraian yang didiktekan langsung dari Tuhan. Ibnu al- Arabi ketika menafsirkan Alquran jauh melampaui makna harfiyah dari ayat-ayat tersebut. Karya Chittick tentang Ibn al-Arabi ini paling tidak telah memberikan kenyataan bahwa Islam dalam hal ini pemikiran tasawufnya telah menarik minat para sarjana Barat untuk melakukan kajian tentang Islam. Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga telah melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku perkenalan umum tentang Islam sebagai agama dan peradaban oleh penulis tunggal menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner, meskipun pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih terus berlangsung dan tujuannya mungkin akan terus bergema. Di antara buku pengantar umum sedemikian, barangkali tulisan Frederick M. Denny, An Introduction to Islam (1985) dan Richard Martin, Islam: A Cultural Perspectif (1982) termasuk yang informatif dan banyak dipergunakan bagi pemula. Buku yang menilik umat Islam dari aspek sosial-historisnya tulisan Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (1988) merupakan buku pengantar yang terbaik sejauh ini dan paling komprehensif termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim Asia Tenggara dan



Indonesia, suatu aspek penting kajian keislaman yang sering diabaikan oleh penulis-penulis lain. Yang hampir senada dengan buku ini ialah buah karya Philiph K’ Hitti dengan judul History of The Arab (Serambi, 2013), yang merupakan kajian paling otoritatif tentang sejarah dengan pembuktian ilmiah yang sangat meyakinkan. Buku lain yang telah menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa Islamic Studies dan sejarah (Islam dan Arab) di banyak universitas di Amerika Serikat adalah buku Hourani yang sering dipakai sebagai pengantar sejarah Islam, meskipun terfokus pada bangsa Arab, A History of The Arab Peoples (1991). Adapun pengkajian Islam dalam perspektif insider (pengkaji dari kalangan Muslim sendiri) kini mulai menunjukkan kecenderungan yang cukup kritis. Dari segi ajaran, buku Fazlur Rahman, Islam (edisi kedua 1979) yang sudah mengalami banyak cetak ulang, merupakan buku pengantar wajib untuk mata kuliah Islamic Studies di universitas di Eropa dan Amerika. Kajian kritis tentang Islam telah dilakukan oleh Nashr Ha>mid Abu> Zayd dalam bukunya, Naqd al-Khitha>b alDi>ni> (1994) merupakan buku yang mengkaji tentang wacana agama dengan perspektif wacana Islam kritis. Buku ini menjelaskan bahwa pertentangan dalam wacana agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pertentangan di seputar teks-teks agama ataupun interpretasi terhadapnya, melainkan pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan, sosial, politik, dan ekonomi, pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga pemahaman secara letterlijk terhadap teks-teks agama. (Jamali Sahrodi, 2008:182-183) Muhammad Abed al-Jabiri bukanlah nama yang asing lagi di kalangan intelektual Islam. Ia sering disejajarkan dengan Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullah Ahmed An-Na’im, Ali Harb, Fatima Mernissi ataupun Muhammad Arkoun. Al-Jabiri telah mengkaji tentang teologi dalam Islam dalam bukunya, al-Kasyfu ‘an Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millah: Aw Naqd ‘Ilm al-Kalam Dhiddan al-Tarsim alIdeologi Li al-Aqidah wa Ddifa’an ‘an al-’Ilm wa Hurriyah al-Ikhtiyar fi al-Fikri al-Fi’li (1998).



Dalam buku yang lainnya yang berjudul Takwin al- Aql al Arabi yang diterjemahkan oleh Imam Khori menjadi Formasi Nalar Arab Muhammed Abed al- Jabiri. Dalam bab pendahuluan ia menulis : “Buku ini memuat kajian yang sudah barang tentu telah menjadi bahan perbincangan sejak ratusan tahun silam. Sesungguhnya kritik nalar adalah bagian mendasar, bahkan terpenting, dalam setiap proses kebangkitan. Apakah mungkin membangun proyek kebangkitan dari nalar yang tertidur, nalar yang tidak mampu melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap mekanisme, konsep dan pemikiranpemikirannya?”.



Dalam bab satu dari bukunya al-Jabiri membahas Pendekatan Awal sebagai pengantar atau Pendahuluan. Bagian kedua Menganalisa Unsur-unsur Pembentukan Budaya Arab dan Pembentukan Nalar Arab itu sendiri. Bagian ktiga membahas tentang sistem epistemologis yang menjadi dasar bagi dan saling berbenturan dalam kebudayaan Arab. Adapun tujuan dari penyusuanan buku ini adalah untuk untuk membebaskan diri dari sesuatu yang telah mati atau tetap kokoh dalam dunia nalar dan membuka ruang bagi kehidupan nalar agar perannya tetap terbuka dan kembali tertanam. Tulisan atau kajian al-Jabiri sangat berhubungan dengan tradisi dan problem metodologi, berhubungan dengan pembacaan kontemporer atas tradisi Islam, karakteristik hubungan bahasa dan pemikiran dalam tradisi Islam, Rasionaisme Islam serta problem Islam dan modernitas. Kajian tentang Islam juga dilakukan oleh Hassan Hanafi dalam bukunya Islam and The Modern World; Religion, Ideologi and Development. Dalam tulisan ini ia mengkaji Islam demikian luas mulai dari aspek teologi sampai teknologi. Dalam buku volume I Hanafi membahas tentang teologi, mistisisme dan etika, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat. Buku Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman (2004) merupakan satu buku yang banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. K.H. Sahal Mahfudz berkata, “selama ini, dunia Barat selalu mengidentikkan Islam dengan



terorisme, radikalisme, dan jauh dari humanisme. Hal ini terjadi karena minimnya pemahaman mereka akan Islam dan itu sangat dirasakan oleh Pak Alwi selama berinteraksi dengan para mahasiswa di Amerika. Saya merasa buku ini akan memberikan pencerahan yang dapat mengenalkan Islam secara benar sebagai agama yang rahmatan lil’alamin”. Komentar dari kalangan non-Muslim, misalnya Jakob Oetama, “Banyak konflik meruncing dan dipicu oleh salah persepsi dan kurangnya komunikasi. Hal yang sama pula terjadi dalam cara penghayatan keagamaan yang picik, padahal panggilan kesucian agama antara lain justru mengajak kita untuk mengatasi kepicikan itu, untuk menyelami keagungan Sang Khaliq, yang terpapar dalam ciptaan-Nya. Karena itu, Jakob Oetama menyambut gembira buku Alwi Shihab ini. Inilah contoh, bahwa melalui dialog, kita lebih menjadi dewasa, bahkan dalam perkara yang menyangkut kepercayaan terdalam kita, sehingga kita bisa berkoeksistensi secara damai dengan saling memberi kontribusi positif. (Jamali Sahrodi, 2008:183-184) Tokoh Muslim Indonesia lainnya yang mengadakan kajian tentang Islam adalah M. Amin Abdullah. Ia menulis sebuah buku berjudul Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif. Paradigma interkoneksitas memberikan tawaran yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humality (rendah hati) dan human (manusiawi). Paradigma ‘interkoneksitas’ berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, tidak dapat berdiri sendiri. Dalam bukunya, Amin Abdullah membahas dalam bagian pertamanya tentang Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian kedua tentang Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian ketiga tentang Pendekatan Hermeneutis Dalam Studi sosial-Budaya dan Fatwa Keagamaan, dan bagian keempat tentang Arah Baru dan Pergeseran Paradigma Metode Studi Keislaman. Dalam karya lainnya, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Amin Abdullah menegaskan bahwa agama tidak hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu, tetapi juga ia dapat dilihat dari sisi historisitas. Dalam bukunya ini Amin membagi menjadi empat pembahasan, pertama menjelaskan cikal



bakal kontroversi perebutan klaim validitas dan otoritas keilmuan agama di belahan dunia bagian Barat. Bagian kedua menyentuh wilayah studi keislaman dengan menerapkan cara pandang filsafat keilmuan kontemporer. Bagian ketiga secara eksplisit mengharapkan munculnya disiplin dan telaah studi kawasan tentang masyarakat muslim. Dan bagian keempat mengilustrasikan perlunya pendekatan filosofis terhadap pemikiran keagamaan pada umumnya. Table 1. Perbedaan Perspektif antara Outsider- Insider dalam Studi Agama



I . Posisi Indider-Outsider dalam Studi Agama



Kim Knott dalam tulisannya insider/outsider perspectives. berpendapat, bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri insider ditampilkan kemudian direspon oleh outsider, dengan mempertimbangkan batas objektifitas dan subjektivitas, yang terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh sikap empati dan analisis kritis. Pada titik ini, insider maupun outsider saling berbagi keseimbangan perspektif sejarah dalam studi agama. Berbeda halnya dengan pendapat Darshan Singh, yang menegaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh peneliti barat untuk menginterprestasikan dan memahami agama sebagai outsider, memandang bahwa konsep dan ajaran agama tidak mudah untuk diakses oleh orang luar atau non-pemeluknya. Makna subtansi menurut dia, dari agama terungkap hanya melalui partisipasi secara intensif, dengan jalan mengikuti ajaran pengalaman keagamaannya. Jauh sebelumnya, Max Muller (1873) telah mempertegas bahwa, sebagai objek studi, agama harus diajawantahkan secara proporsional, meski ia juga harus dikritisi. Dua puluh tahun kemudian, Cornelius Tiele (1830-1902) menekankan kepada para ilmuan untuk melakukan penelitian dengan mengedepankan objektivitas melalui studi dan investigasi yang tidak memihak. Ia juga membedakan antara subjektivitas keagamaan pribadi individe dan objektivitas cara pandang terhadap agama orang lain. Russel Cutcheon mencoba memberi penguatan guna mengkatagorisasikan tanggapan insider ke outsider dalam tiga dimensi: (i) otonomi pengalaman religious, yang terkait dengan pendekatan fenomenalogi, (ii) reduksionosme, yang dicontohkan oleh komunitas akademisi yang mengambil suatu sikap ilmiah, (iii) netralitas dan metode agnostisisme. Pendekatan yang ditawarkan ini, mensyiratkan pergeseran dari ranah teologi ke filasafat. Selanjutnya, berbagai isu seputar studi agama diberi penguatan metodologis, terutama yang berkaitan dengan fenomenalogi agama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kristensen, Van der Leeuw dan Rudolf Otto di Jerman, kemudian Mircea Eliade di Amerika serta Ninian Smart di Inggris. Mereka sepakat menyatakan bahwa semua agama sebagai fenomena yang unik yang dapat dilihat dari berbagai



sisi, otonom dan taka da bandingannya, namun mampu memberikan pengalaman secara empirik



J . Problem Insider dan Outsider Perkembangan studi Islam di dunia terutama di barat terjadi karena adanya kontak dengan dunia muslim, salah satunya yakni lewat kontak perguruan tinggi. Selain itu juga dengan adanya penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab kedalam bahasa Latin. Berkat penyalinan karya-karya manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah di Barat. Sebelum muslim memasuki universitas-universitas di Barat, ahli Islam di Barat didominasi para orientalis. Maka buku-buku dan artikel-artikel tentang pemikiran-pemikiran dibidang Islam pun didominasi dan merupakan hasil pemikiran para orientalis. Seiring dengan adanya sarjana muslim yang belajar di Barat dan menulis dengan bahasa Barat tentang Islam, maka ahli keIslaman pun muncul dari sejumlah muslim. Adapun dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di negara-negara non-Muslim tidak selalu dengan nama Islamic Studies, tetapi dengan berbagai nama, semisal Middle East Studies, Near Eastern Studies, Religious Studies, Comparative Religion dan lain-lain. Di samping itu ada juga beberapa lembaga (pusat studi/center), baik yang berafiliasi dengan universitas maupun tidak, yang menawarkan dan menyediakan studi Islam. Diantaranya : a.



Islamic Society of North America



b. The Oxford Centre for Islamic Studies, Inggris c. Centre for Islamic Law and Society di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia. Kajian Islam di Barat telah mengalami perubahan. Penelitian dan kajian yang dilakukan Barat terhadap masyarakat Muslim kini dilakukan di tengah kehadiran Islam dan dunia Islam yang hidup dan berubah, tidak sekedar catatan masa silam. Peningkatan apresiasi terhadap Islam di



kalangan sarjana Barat inilah yang kemudian memunculkan apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai Orientalisme Baru. Kebangkitan Orientalisme baru itu membuka peluang lebih besar bagi terciptanya interaksi dan pertukaran keilmuan yang lebih dinamis dan positif di antara sarjana-sarjana Barat non-Muslim dengan sarjanasarjana Muslim. Bahkan, riset dan pemikiran sekarang dilakukan secara bersama dalam suasana dialogis. Perkembangan seperti ini memunculkan pergeseran keseimbangan dalam beberapa disiplin kajian Islam di antara sarjana-sarjana Muslim dengan non-Muslim. Tak kurang terdapat sarjana Muslim yang begitu menonjol sehingga mempengaruhi seluruh sarjana lain dalam kajiankajian yang mereka lakukan. Meski terjadi perkembangan positif, kritik terhadap studi Islam di Barat tetap ada. Setidaknya ada dua kritik yang dikemukakan cukup keras baik dari kalangan sarjana Muslim maupun non-Muslim. 1. Kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat esensialis, yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakatmasyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam kerangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain, cenderung menggeneralisasi fenomena yang berlaku pada masyarakat Muslim tertentu pada kurun waktu tertentu pula sebagai hal yang umum bagi seluruh masyarakat dan kebudayaan Muslim. 2. Kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh kepentingankepentingan politis. Kajian-kajian tentang Islam dilakukan untuk melanggengkan dominasi Barat terhadap masyarakat-masyarakat Muslim, antara lain, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif tentang Islam dan masyarakat Muslim. 3. Kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai atas nama kehidupan intelektual dan akademis, yang padahal tidak atau hampir tidak mempunyai kaitan dengan kenyataan yang hidup. Studi Islam di Timur, tidak jauh berbeda dengan yang ada di Negara Barat yaitu bervariasi dan memiliki karakter masing-masing. Karena dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya faktor kebijakan politik,



dinamika sosial budaya, latar belakang pemegang kebijakan pendidikan perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya. Sebelumnya, awal kesejarahan Islam atau tepatnya era Nabi, pusat kajian Islam lebih dikonsentrasikan pada tidak terlau banyak “berspekulasi” tentang hakekat Tuhan dan realitas-realitas Gaib. Ini dikarenakan pada pola fikiran terbatas yang tak mampu menangkap yang terbatas dan itu hanya akan menghasilkan sebuah kekeliruan. Selanjutnya Islam diperhadapkan oleh banyaknya tekanan-tekanan non Arab yang memeluk Islam. Dalam perkembangan berikutnya realitas Islam semakin meluas. Berbagai fenomena muncul satu-persatu, mulai dari politik, tradisi-tradisi dalam keagamaan, termasuk di situ adalah disintegrasinya Islam Suni dan Syiah, peradabanpun semakin meluas. Pada akhirnya pendefinisian tentang “studi islam” pun belum final. Melihat paparan ini dapat kita simpulkan bahwasanya studi Islam di Timur, sebagaimana studi Islam di Barat dan berbagai negara lainnya, juga tidak seragam. Ada karakteristik yang khas dari masing-masing negara, dan juga perguruan tinggi. Hal ini menjadikan kekayaan warna dalam studi Islam di masing-masing lembaga dan negara. Konstruksi semacam ini justru akan semakin memperkaya warna studi Islam. Fakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian insider dan outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam.Persoalan yang dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider? Penulis sendiri sepakat dengan pendapat Abdur Rouf yang menyatakan menolak validitas para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies) yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa.[26] Untuk itu, studi Islam dalam perspektif outsider penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hatihati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat



memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para pengkaji outsider. Penulis banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy). Penulis sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk mendefinisikan dirinya. Dapat dinilai bahwa Barat telah mengkoloni Islam melalui pendidikan. Contohnya kasus yang terjadi pada universitas al-Azhar pada tanggal 7 Desember 1961. Kalau reformasi tersebut terjadi, maka kemungkinan besar pengaruh keilmuan Islam tradisional semakin mengecil. Terlebih lagi dengan arus teknologi meruntuhkan sekat kebudayaan dan bangsa. Pada akhirnya wajah Islam akan berjiwa Barat dan sekaligus akan meninggalkan wajah Islam itu sendiri. Hanya saja ada keuntungan saat umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun tidak jadi dilakukan saat itu. Namun demikian, Barat berhasil mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya. Dengan ini, segala bentuk ketakutan pun terjadi, pendidikan Islam tradisional “otentik” perannya semakin kecil. Lembaga pendidikan Islam dipersempit perannya hanya sebagai lembaga Pendidikan agama, pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara Islam. Di sinilah terjadi dikotomi-dikotomi antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya Islam hanya memandang semua ilmu bersifat ilahiyah. Sebagai konsekuensi logis “dikotomik” tersebut, lahirlah sejumlah metode dan pendekatan yang beragam dari kedua pihak Barat dan Timur dalam mengkaji Islam. Pendekatan ilmiah dan historis cenderung diterapkan Barat, sementara Timur lebih ke sisi teologis. Barang kali ada motiv yang saling berlawanan, dimana studi Islam



Barat didorong oleh kekuasaan kolonial, sementara Islam didorong oleh sikap pertahanan diri pada sisi lain, sebagaimana penilaian dari sebagian sarjana Barat sangat dipengaruhi oleh “pra-anggapan” negartif yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu dan suka seksualitas. Dengan demikian, hasil presentasi Barat tentang Islam cenderung tidak objektif. Kelompok Barat yang sangat dipersoalkan dalam hal ini adalah sejumlah Orientalis, kendati fakta realitasnya mereka sangat berkontribusi besar terhadap keilmuan Islam, namun belum bisa kompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan kaum Muslimin. Ini terlihat jelas dalam ungkapan “Tapi akan berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa dikatakan mengenai Islam sehubungan dengan tempat dan waktu di mana ia muncul, tapi keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.” Atas dasar ini pula sangat ditekankan dengan adanya upaya mencari metode baru yang lebih memadai tentang pemahaman terhadap Islam. Ini mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilacak dari berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan dalih keilmiahan. Dalam pada itu, juga sangat ditekankan akan perlunya seorang outsider mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam secara utuh sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (insiders). Namun juga perlu Outsiders menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.



Rauf menambahkan bahwa Barat sebagai pengkaji Islam harus melepaskan “pra-anggapan” tersebut dan menghiraukan pendapat dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat Islam. Disini sangatlah jelas bagaimana Rauf mengeritik metode Barat berupa sebuah explanation ke emphatic atau understanding. Untuk itulah para sarjana Islam harus mampu menyuarakan dirinya pada Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Ini agar umat muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukan. Rauf tidak mutlak menolak reformasi, namun perlu Ummat Islam berhati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang menerima pandanganpandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis. Ginya, tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fairminded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.



BAB III PENUTUP A . Kesimpulan Pendidikan Islam yang dimulai dari akhir periode madinah sampai 4 H, yang pada puncak kemajuan ilmu dan kebudayaan Islam adalah terjadi pada masa Daulah bani AAbbasiyah Dimulai dari masa para cendekiawan klasik, modern dan kontemporer. Serta perkembangan studi di era modern yaitu Masa kebangkitan Islam atau disebut dengan masa pembaharuan yang terjadi pada abad ke-18M. Dan juga mengikut sertakan pendekatan-pendekatan kontemporer yang meliputi pendekatan sosial, sosiologi dan aantropologi Demikianlah pendidikan Islam pada masa kemajuan Islam, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini kemajuan politik sejalan seiring dengan kemajuan pendidikan, peradaban, dan kebudayaan. Sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilanan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Dapat disimpulkan pula bahwa Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan (orang luar). Sejatinya, kajian Islam dari para outsider-insider dapat dipetakan sebagai berikut : outsider mengakaji agama sebagai ilmu pengetahuan, dengan menjaga jarak dengan objek, penuh kecurigaan/hipotesa dengan penilaian historis. Sedangkan dari pihak insider sendiri mengkaji agama sebagai sebuah ajaran yang bersifat



subjektif, keyakinan yang mendalam dan bersifat normative dalam penilaian. Jika ada kesalahan atau kekurangan mohon Di maafkan. Sisa kesimpulan Bisa disimpulkan oleh masing-masing pembaca



Sekian dan terima kasih



DAFTAR PUSTAKA 1. Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras. 2. Mudzhar, Dr. H. M. Atho. 2004. Pendekatan Studi Islam Dalam Toeri dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 3. Yusuf, Dr. H. Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia 4. Nanji, Prof. Dr. Azim. 2003. Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 5. Darmarastri, Hayu Adi. 2010. Sejarah dan Peradaban Dunia. Yogyakarta: Empat Pilar. 6. Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.



7. Abdullah, Amin.Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif- Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. 8. Abed la-Jabiri, Muhammad terj. Imam Khoiri, Formasi Nalar Arab. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. 9. Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS, 2002. 10.Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. 11.Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah Tatanan Baru terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002. 12.Lapidus, ra M. Terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999. 13.Mua’ammar, Arfan dkk. Studi Islam Perspektif Indiser/Outsider. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013. 14.Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009. 15.Nata, Abuddin. Sejarah Pedidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2011.



16.Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Agama. Ponorogo : ISID Press. 2011. 17.Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Studi Islam oleh Outsider-Insider dan Isu-isu Kontemporer. Jakarta: Kemenag RI, 2011. 18.Wahid, Abdurrahman. Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya alam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz. Yogyakarta: LkiS, 2007. 19.Google 20.



Brainly.com