MAKALAH TOLERANSI Kelompok 4 - Revisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA PERSPEKTIF SURAH AL-KAFIRUN AYAT 1-6 MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keislaman Dosen Pengampu: Dr. H. Maslani, M.Ag. Dr. H. Tarsono, M.Pd.



Oleh: Ari Nuryana Ahmad Syauqi Ridha Aji Fahiroh Kokom Komalasari Wahyudin



PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI BANDUNG 2019 M / 1440 H



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, puji syukur kepada Allāh SWT yang telah memberikan petunjuk, berkah, dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu upaya kami untuk memenuhi tugas dari Mata kuliah Ke-Islaman pada kegiatan Pra Kuliah Pasca UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kami menyadari sepenuhnya, walaupun telah berusaha sebaik mungkin dalam menyusun karya tulis ini, tetapi masih terdapat kekurangan-kekurangan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, kritik dan saran senatiasa penulis nantikan. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pambaca pada umumnya.



Bandung, Agustus 2019 Penyusun,



Kelompok 4



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2 C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3 A. Pengertian Toleransi ....................................................................... 3 B. Jenis-Jenis Toleransi ........................................................................ 3 C. Hakikat Toleransi Islam ................................................................ 4 D. Toleransi dari persperktif Surah Al-Kafirun .............................. 6 1. Surah al-Kafirun ...................................................................... 6 2. Terjemah Per Kata ................................................................... 6 3. Asbab al-Nuzul ........................................................................ 7 4. Makna Global ........................................................................... 8 5. Pendapat para Mufasir ............................................................ 9 BAB III PENUTUP ............................................................................................. 20 A. Simpulan ........................................................................................... 20 B. Saran .................................................................................................. 20 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... .iv



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era 4.0 ini, istilah toleransi merupakan hal yang sangat penting untuk dijunjung tinggi. Berubahnya zaman ke zaman, bahkan sekarang sudah memasuki zaman yang serba digital, mengharuskan setiap orang untuk pandai memilah dan memilih dalam menerima informasi. Tidak sedikit orang-orang yang dapat berkreasi dengan kemudahan zaman ini, namun tidak sedikit juga orang yang memasuki jurang kehancuran yang disebabkan oleh zaman yang serba digital. Sebagai contoh dampak negatif dari adanya alat komunikasi yang serba canggih, kerukunan dan kedamaian umat beragama sangat terancam. Ada oknum yang terkadang memanfaatkan hal ini untuk mengadu dombakan antar pemeluk beragama. Tentu semua ini akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu yang sedang memanas sekarang ini kaitannya dengan kehidupan beragama adalah pendapat dai kondang asal Riau atas pertanyaan jama’ahnya terkait lambang suci dari agama Non Islam. Jawabannya menjadi sebuah polemik dan menyebar ke seluruh pelosok negeri yang salah satunya disebabkan dengan kecangihan alat komunikasi. Hal ini terjadi disebabkan dengan adanya oknum yang menyalahgunakan teknologi dan mencoba untuk memecah belah umat. Dari permasalahan-permasalahn yang telah diuraikan di atas, jawaban yang tepat dalam menyikapi situasi dan kondisi kehidupan beragama sekarang ini adalah dengan mengedepankan toleransi. Melalui makalah ini, penulis hendak menjabarkan konsep toleransi menurut Islam kaitannya dalam kehidupan umat antar beragama. Pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada surah al-Kafirun ayat 1-6 dalam memandang 1



toleransi antar umat beragama. Untuk lebih jelasnya, penulis jabarkan secara lengkap pada bab pembahasan. B. Rumusan Masalah Dari permasalahan yang telah dipaparkan di atas, penulis memandang perlu adanya pembatasan kajian yang dirumuskan melalui pertanyaan sebagai berikut: 1.



Apa definisi toleransi dan jenisnya?



2.



Bagaimana hakikat toleransi dalam Islam ?



3.



Bagaimana perspektif surah al-Kafirun mengenai toleransi antar umat beragama?



C. Tujuan Penulisan 1.



Untuk mengetahui definisi toleransi dan jenis-jenisnya.



2.



Untuk mengetahui hakikat toleransi dalam Islam.



3.



Untuk mengetahui penjelasan surah al-Kafirun mengenai toleransi antar umat beragama.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Toleransi Kata toleransi berasal dari bahasa Latin, tolerare yang berarti sabar terhadap sesuatu. Toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang mengikuti aturan, sehingga seseorang dapat menghargai dan menghormati orang lain. Istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Selain itu, kata toleransi merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Inggris yaitu tolerance. Tolerance memiliki arti membiarkan. Sehingga dari akar katanya, toleransi memiliki arti tindakan pembiaran. (Romade, 2019). Dalam bahasa Arab kata yang serupa dengan makna toleransi adalah ikhtimal dan tasammuh, yang memiliki makna sikap membiarkan, teposelero dan lapang dada. Akan tetapi al-Qur’an tidak pernah menyebutkan kata tasammuh secara tersurah di dalamnya, namun secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan berbagai konsep toleransi dengan batasanbatasannya secara jelas. Oleh karena itu, ayat-ayat yang bersangkutan dengan makna toleransi beragama dapat dijadikan rujukan utama dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. (Mustafa, 2019). B. Jenis Toleransi Adapun jenis-jenis toleransi sebagai berikut: 1.



Toleransi Agama Toleransi beragama merupakan hal yang sangat penting dan



harus selalu diutamakan. Agama menjadi segmen penting dalam setiap lingkup kehidupan masyarakat. Dengan penuh keyakinan masyarakat melaksanakan agama yang di dalamnya terdapat banyak perbedaan.



3



Hal ini kalau tidak dilandasi dengan toleransi yang tinggi tentu akan menimbulkan perpecahan serta peperangan dalam masyarakat. 2.



Toleransi Budaya Budaya juga salah satu bentuk toleransi yang sangat penting



untuk dipahami oleh



masyarakat, budaya yang tidak sama



menyebabkan adat serta istiadat yang berbeda pula. karna itu harus terdapat regulasi yang mengatur keanekaragaman yang ada. 3.



Toleransi Politik Toleransi politik ialah bagian dari toleransi. Perbedaan pilihan



dalam kepemimpinan merupan salah satu sumber masalah sosial. Semua ini disebabkan karena tidak adanya sikap saling menghargai pilihan masing-masing individu dalam masyarakat, seperti pemilihan yang dilakukan lembaga politik dalam pemilihan kepala, bahkan dalam pemilihan kepala desa (Anwar, 2019). C. Hakikat Toleransi dalam Islam Untuk memahami hakikat toleransi dalam Islam, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Islam adalah agama yang samahah (lapang dada) dan suhulah (mudah dan gampang), tetapi bukan dimudah-mudahkan. Untuk lebih jelasnya, toleransi dalam Islam biasa dibagi kepada dua bagian:



1. Toleransi internal kaum muslimin Maksud toleransi internal kaum muslimin yaitu syariat Islam telah memberikan rukhshah (kelonggaran) dan taysir (kemudahan) atas individu kaum muslimin terhadap beberapa perkara yang telah disyari’atkan. Sebagai contoh dalam masalah ibadah, Islam bersifat toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam bersifat tidak membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin berwudhu dan tidak ada air, Islam mempermudah cara berwudhu dengan cara tayamum.



4



Di dalam shalat, apabila seseorang tidak mampu berdiri, maka boleh dengan cara duduk. Begitu juga puasa, apabila seseorang sedang sakit, maka boleh di qadha pada hari-hari di luar Ramadhan. Sifat mempermudah dan tidak membebankan inilah yang menjadi ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi ibadah. Dalam beberapa perkara furu’ yang masih dalam ranah perbedaan ijtihadiyah, Islam juga memberikan



kelonggaran



kepada



umatnya



untuk



mengamalkan sesuai dengan pendapat yang rajih.



2. Toleransi eksternal kaum muslimin Maksud toleransi eksternal kaum muslimin adalah toleransi kaum muslimin kepada orang-orang non muslim. Toleransi dalam hal ini didasarkan pada sebuah ayat al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam yang bersifat mengajak, bukan memaksa. Toleransi Islam pada tataran ini hanya pada ranah muamalah (hubungan sosial), itupun memiliki beberapa persyaratan yang ketat, di antaranya: a.



Muamalah tersebut tidak masuk dalam ranah akidah dan ibadah. Jika muamalah tersebut masuk dalam ranah aqidah dan ibadah, maka hal tersebut diharamkan. Sebagai bentuk saddudz dzari’ah yang akan menimbulkan madarat yang lebih besar, yaitu terjerumus dalam kekufuran dan kemusyrikan.



b. Muamalah tersebut diwajibkan selama orang-orang kafir tidak memerangi kaum muslimin baik akidahnya maupun fisiknya, dan tidak mengusir kaum muslimin dari negeri-negeri mereka, serta tidak membantu orang lain dalam mengusir kaum muslimin dari negeri mereka (Annur, 2019).



5



D. Toleransi dari Perspektif Surah Al-Kafirun



1. Al-Qurān Surah al-Kāfirūn ayat 1-6



ۡ َ ٓ َ َ ُ َ ٓ َ َ َ ُ ُ ۡ َ َ ُ ُ ۡ َ ٓ َ َ ُ َٰ َ ۡ َ ُّ َ َٰٓ َ ۡ ُ ٞ ََ۠ ٓ َ ‫ َوَل أنا ََعبِد َّما‬٣ ‫نت ۡم عَٰب ِ ُدون َما أع ُب ُد‬ ‫ وَل أ‬٢ ‫ َل أعبد ما تعبدون‬١ ‫قل يأيها ٱلك ِفرون‬ ُ ُ ۡ ُ َ ُ ُ ۡ َ ٓ َ َ ُ َٰ َ ۡ ُ َ ٓ َ َ ۡ ُّ َ َ َ ‫ك ۡم َو‬ ٦ ‫ِين‬ ‫د‬ ‫ِل‬ ‫ لكم دِين‬٥ ‫ وَل أنتم عبِدون ما أعبد‬٤ ‫عبدتم‬ ِ ِ



Artinya : “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(Q.S. Al-Kāfirūn [109]:1-6)



2. Terjemah per kata ‫قل‬ katakanlah



‫يا ّيها‬ Hai



‫أعبد‬ Aku menyembah ‫ال‬ Tidak/bukan ‫أعبد‬ Aku sembah ‫عابد‬ penyembah



‫ما‬ Apa ‫أنتم‬ Kamu ‫و‬ Dan ‫ما‬ Apa



‫دينكم‬ agamamu



‫و‬ Dan



‫الكافرون‬ Orang-orang kafir ‫تعبدون‬ Kamu sembah



‫ال‬ tidak



‫عابدون‬ penyembah ‫ال‬ Tidak ‫عبدتم‬ Kamu telah sembah ‫لي‬ untukku



‫ما‬ apa ‫انا‬ aku ‫لكم‬ untukmu



‫و‬ dan



‫دين‬ Agama



Sumber : al-Jumānatūl ‘Alī, al-Qurān dan terjemah (2005:603)



6



3. Asbāb al-Nuzūl Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Qurāisy berusaha mempengaruhi Nabī SAW dengan menawarkan harta kekayaan agar baliau menjadi orang yang paling kaya di kota Makkaħ. Mereka juga menawarkan kepada beliau untuk menikahi wanita mana saja yang beliau kehendaki (Shaleh, 2009, hal. 684). Adapun riwayat sabab nuzūl surah al-Kāfirūn ini, antara lain bahwa beberapa tokoh kaum Musyrikin di Makkaħ, seperti al-Walīd Ibn al-Mughīraħ, Aswad Ibn ‘Abdul Muṭṭalib, Umayyah Ibn Khalaf, datang kepada Rasūl SAW menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama (kepercayaan). Usul mereka adalah agar Nabī bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam. Tema utamanya adalah penolakan usul kaum Musyrikin untuk penyatuan ajaran agama dalam rangka mencapai



kompromi,



sambil



mengajak



agar



masing-masing



melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling mengganggu. (Shihab, 2002, hal. 675). Diriwayatkan bahwa Al-Walid Ibn Mughiraħ, Al-‘As Ibn Wa’il As-Sahmy, Al-Aswad Ibn ‘Abdil-Muṭṭalib, Umayyah Ibn Khalaf dan sebagainya, mendatangi Nabī SAW dan mengatakan, “Hai Muhammad, marilah engkau mengikuti agamaku, dan penulis akan mengikuti agamamu. Aku juga akan senantiasa mengajakmu dalam segala kegiatanku. Kamu menyembah Tuhanku selama setahun, dan aku menyembah Tuhanmu selama setahun juga. Jika yang engkau bawa itu adalah lebih baik, maka aku akan mengikutimu dan melibatkan diri didalamnya. Dan jika ternyata yang ada pada agamaku itu lebih baik, maka engkau mengikutiku, dan engkau pun melibatkan diri di dalam agamaku. Nabī SAW menjawab, “Aku berlindung kepada Allāh agar tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya. Kemudian



7



Allāh menurunkan surah ini sebagai balasan atas ajakan mereka (AlMaragi, 1993, hal. 446).



4. Makna global surah al-Kāfirūn ayat 1-6 Surah al-Kāfirūn disebut juga dengan surah al-Baroah, yang artinya pembersihan diri dari pekerjaan-pekerjaan yang berbau musyrik, dan memerintahkan berbuat ikhlas karena Allāh dalam beribadah ‘(Uniba, 2008, hal. 530). Begitu



pula



menurut



Tafsir



Juz



‘Amma



(2008:530),”



Bahwasannya ayat 1-6 bermakna global yaitu pembersihan diri dari kemusyrikan dan surah ini menunjukan atas adanya perbedaan yang sangat mendasar antara agama Islam dan agama non Islam, pertama dari segi keyakinan, yaitu dzat yang harus disembah; kedua, ajarannya; dan ketiga, tata cara beribadahnya atau penyembahannya. Dalam agama Islam, dzat yang disembah adalah Allāh semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan ajarannya datang dari Allāh dan rasul-Nya begitu juga dalam tata cara beribadahnya sudah ditentukan oleh Allāh dan rasulNya. Sementara agama non Islam atau kafir yang disembahnya adalah patung atau simbol-simbol lainnya. Dilihat dari tata cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu, ajaran tidak dapat bertemu antara ajaran yang iman kepada Allāh dan rasul-Nya dengan kafir yang tidak beriman kepada rasul-Nya. Selain banyaknya perbedaan mendasar dari segi Akīdaħ dan ajarannya, orang-orang kafir sepakat memusuhi Islam sejak dahulu sampai sekarang, sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i, “Sebab kekufuran satukesatuan di dalam menghadapi Islam, yaitu dalam menentang ajarannya dan memusuhi pemeluknya.” Selain itu juga kandungan ayat ini berkaitan dengan kandungan surah sebelumnya, yaitu al- Kautsar. Jika dalam surah al-Kautsar Allāh 8



memerintahkan kepada rasul-Nya agar beribadah dengan ikhlas dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan, maka dalam surah alKāfirūn mengandung penjelasan terhadap apa yang diisaratkan terdahulu kepada manusia, yaitu jauh sebelum adanya manusia, yakni ketika berada dalam kandungan telah menyatakan beriman kepada Allāh SWT ('Abdulloh, 2009, Hal: 223). Surah al-Kāfirūn ayat 1-6 mengandung makna global dilihat dari segi cara bersikap menghadapi perbedaan keyakinan beragama. Hal seperti ini telah ditunjukan oleh Rasūlullāh SAW saat menghadapi kaum musyrikin Quraisy. Sebagaimana yang telah dipahami Rasūlullāh selalu mendakwahkan kebenaran ajaran yang dibawanya. Namun, jika ada orang atau pihak yang menolak atau mengecam ajaran beliau, maka yang dilakukan pertama kali adalah mendoakan orangorang yang menolaknya.



5. Pendapat Mufasir Beberapa ulama tafsir berpendapat terhadap surah al-Kāfirūn, adapun penjelasannya sebagai berikut: a.



Ayat pertama



َ



َ ۡ َ ُّ َ َ



َٰٓ ‫ُُل‬ ١ ‫يأيها ٱلكَٰفِ ُرون‬ Artinya : Katakanlah: "Hai orang-orang kafir."(Q.S. Al-Kāfirūn [109]:1) Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2009:678), kata ‫ قل‬qul / katakanlah dicantumkan pada awal ayat di atas, jika Anda mendiktekan sesuatu kepada orang lain agar dia mengucapkan sesuatu, Anda tidak harus mengulangi kata “Katakanlah”, hal ini untuk menunjukan bahwa Rasul SAW. tidak mengurangi sedikitpun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi lahiriah kelihatannya kata itu tidak berfungsi. Di sisi lain,



9



kita tidak dapat berkata bahwa pencantuman kata qul tidak mengandung makna. Peranan kata qul (katakanlah) terulang sebanyak 332 kali dalam al-Qur’ān dan secara umum dapat dikatakan bahwa semuanya berkaitan dengan persoalan yang hendaknya menjadi jelas dan nyata bagi pihak-pihak yang bersangkutan agar mereka dapat menyesuaikan sikap mereka dengan sikap umat Islam. Kata ‫ الكافرون‬terambil dari kata ‫ كفر‬yang pada mulanya berarti menutup. Al-Qur’ān menggunakan kata tersebut untuk berbagai makna yang masing-masing dapat dipahami sesuai dengan kalimat dan konteksnya. Masih ada arti lain dari kata kufur, namun dapat disimpulkan bahwa secara umum kata itu menunjuk kepada sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan kehadiran/tuntunan agama. Senada dengan Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Dr. Hamka dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar” (1985:288), “katakanlah”, olehmu hai utusanku kepada orang-orang yang tidak mau percaya itu:”Hai orang-orang kafir” hai orang-orang yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini disampaikan Nabi kepada orang-orang kafir itu, yang sejak semula bersikeras menentang Rasul-Nya. Pada satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulanpukulan itu, mencela berhala mereka. Bermufakatlah pemukapemuka Quraisy musyrikin itu hendak menemui Nabī. Mereka bermaksud untuk berdamai. Yang mendatangi Nabī itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina ialah al-Walid bin alMughirah, al-‘Ash bin Wa’il, al-Aswad bin al-Muṭalib dan Umayyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damai, “ Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa



10



yang kamu sembah, tetapi engkaupun harus bersedia menyembah apa yang kami sembah. Begitupula pendapat yang lain tentang ayat pertama ini yaitu mereka di panggil dengan hakikat yang ada pada diri mereka, tidak berpegang pada suatu agama apa pun dan mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hanya orang kafir. Oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan mereka dalam kehidupan (Al Qurthubi, 2009, Hal : 364) b. Ayat Kedua



     Artinya : aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (Q.S. AlKāfirūn [109]:2) Kata ( ‫ ) اعبد‬berbentuk kata kerja masa kini dan masa mendatang serta masa yang telah lalu yang mengandung arti dilakukannya pekerjaan dimaksud pada saat ini, atau masa yang akan datang, atau cara terus menerus. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW diperintah untuk menyatakan bahwa: aku sekarang dan di masa yang akan datang bahkan sepanjang masa tidak akan menyembah, tunduk, atau taat kepada apa yang sedang kamu sembah, wahai kaum musyrikin (Shihab, 2002, Hal : 680). Sedangkan menurut tafsiran Ibnu Katsir yang telah dikutip oleh Hamka (1985 Hal : 288) ‘yang disalin dari Ibnu Taimiyah arti ayat yang kedua : “ Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah,” Ialah menafikan perbuatan (nafyul fi’li). Artinya bahwa perbuatan begitu tidaklah pernah aku kerjakan.” Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah.”



11



c.



Ayat ketiga



      Artinya: “Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:2) Setelah ayat yang lalu memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan bahwa beliau tidak mungkin untuk masa kini dan masa mendatang menyembah sesembahan kaum musyrikin, sehingga ayat selanjutnya yaitu ayat ketiga menyatakan bahwa: “ Dan tidak juga kamu, wahai tokoh-tokoh kaum musrikin, akan menjadi penyembah-penyembah apa yang aku sembah.” Dengan demikian, ayat ketiga ini memberikan isyarat bahwa mereka orang-orang kafir tidak akan pernah mengabdi dan taat kepada Allāh, tuhan yang sekarang dan yang akan datang disembah oleh Rasūlullāh SAW. Sehingga pernyataan ayat ini tidak bertentangan dengan sejarah bagsa Arab yang kafir berduyun-duyun



memeluk



agama



Islam.



Seperti



yang



dikemukakan bahwasanya ayat ini ditujukan kepada kafir-kafir Mekah



yang ketika itu datang kepada



Rasūlullāh



SAW



menawarkan untuk saling bergantian dalam hal beribadah. Sehingga dilihat dari sudut pandangan kandungan ayat diatas sama dengan firman Allāh SWT.             Artinya : ”Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah[2] : 6)



12



Yang dimaksud kafir dalam surah ini yaitu orang kafir yang bermukim di Mekah dan Madinah bukan semua orang kafir keseluruhan, karena, jika ayat ini tertuju kepada semua orang kafir, tentu Nabi tidak akan memperingatkan lagi karna ayat diatas menginformasikan bahwa mengingatkan dan tidak mengingatkan hasilnya sama saja, yaitu mereka tidak beriman. Akan tetapi setelah turunnya ayat tersebut Rasūlullāh tetap saja mengingatkan sehingga dari sebagian orang kafir memeluk agama Islam. Ayat 1-3 surah al-Kafirun memberi pesan terhadap Rasūlullāh untuk menolak secara tegas akan usulan kaum musyrikin dan mempertegas akan kekafiran yang telah mendarah daging pada kaum musyrikin pada saat itu dan tidak ada sedikit pun harapan untuk bekerja sama sekarang maupun masa yang akan datang. (Shaleh, 2009, Hal:. 680-681) d. Ayat keempat



      Artinya: “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:4) Setelah ayat yang lalu menegaskan bahwa tokoh-tokoh kafir itu tidak akan menyembah dimasa datang. Sementara itu para mufasir berpendapat bahwa kandungan ayat 4 surah ini tidak berbeda dengan kandungan ayat 2, demikian juga ayat 5 sama dengan ayat 3. Pendapat ini kurang tepat karena tanpa ada kesulitan akan dapat membedakan redaksi yang ada. Dalam rangka memahami perbedaan itu kita harus mnengarahkan pandangan kepada kata )‫ )عبدتم‬dalam bentuk kata kerja masa lampau yang digunakan oleh ayat 4 dan kata )‫)تعبدون‬



13



yang berbentuk kata kerja masa kini dan masa yang akan datang yang digunakan oleh ayat 2. Kesan pertama yang diperoleh berkaitan dengan perbedaan tersebut adalah bahwa bagi nabi SAW ada keistiqomahan atau konsitensi dalam objek pengabdian dan ketaatan, dalam arti yang beliau sembah tidak berubah-ubah. Berbeda halnya dengan orang-orang kafir. Rupanya apa yang mereka sembah hari ini dan esok berbeda dengan apa yang mereka sembah kemarin. Nah, ini letak perbedaan ayat-ayat tersebut. Ayat 2 dan 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi SAW tidak mungkin akan menyembah atau pun taat kepada sembahsembah mereka, baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang pernah mereka sembah kemarin. (Shihab, 2002, p. 682) Dilain pihak ulama tafsir berpendapat seperti Hamka dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar (1985:289)”, menjelaskan perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadah. Tegasnya yang disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih dari segala macam persekutuan dan pengkongsian dan mustahil menyatakan diri-Nya pada diri seorang atau sesuatu benda. Allāh yang menyatakan karunia-Nya kepada siapapun yang tulus ikhlas beribadat kepada-Nya. Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun orang yang menolak kebenaran-Nya dan menghukum orang yang menyembah selain kepada-Nya. Sedang yang kamu sembah itu bukan Allāh melainkan benda, kamu menyembah selain Allāh dan kamu sekutukan yang lain itu dengan Allāh. Sebab itu, menurut aku ibadahmu itu bukan ibadah dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan. 14



Ayat ini sebagai penegas terhadap poin pertama dalam pola kalimat nominal (jumlah ismiyah), yang lebih tegas petunjuknya terhadap kemantapan sifat tersebut dan konsistensinya (Qutub, 2001, hal. 364). e.



Ayat ke lima



      Artinya : “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:5) Ayat ini sebagai penegas terhadap poin kedua, supaya tidak ada lagi salah sangka dan kesamaran. Juga supaya tidak ada lapangan untuk berprasangka yang bukan-bukan dan tidak ada syubhat (kesamaran) lagi sesudah penegasan berulang-ulang dengan segenap pola pengulangan dan penegasan ini. Kemudian ditegaskan secara global tentang hakikat keterpisahan yang tidak mungkin dipertemukan ini, yakin hakikat perbedaan yang tidak ada kesamaran padanya, keterputusan yang tidak mungkin bersambung, dan perbedaan yang tidak mungkin bercampur aduk (Qutub, 2001, hal. 364). Adapun menurut Uniba dalam bukunya “Tafsir Juz ‘Amma (2008: 532)”, ayat ini menunjukan tata cara beribadah. Kemudian, sesudah Allāh menyatakan tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh nabi SAW dengan yang disembah mereka, maka dengan sendirinya tidak ada persamaan tentan ibadah. Mereka menganggap ibadah yang mereka lakukan di hadapan berhala-berhala atau tempat-tempat beribadah lainnya, atau ditempat-tempat sepi, bahwa ibadah itu dilakukan secara ikhlas untuk Allāh. Sedangkan nabi tidak melebihi mereka



15



sedikitpun dalam hal itu. Maka, dalam ayat-ayat ini Allāh memerintahkan nabi-Nya agar menjelaskan bahwa “aku tidak beribadah sebagai ibadahmu dan kamu tidak beribadah sebagai ibadahku”. Perbedaan ayat ketiga dan kelima yang redaksinya persis sama. Keduanya berbunyi: wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud, maka sementara ulama membedakannya dengan memberi arti yang berbeda terhadap kata (‫ )ما‬pada masing-masing ayat. Huruf mā, antara lain berarti apa yang, dan ketika itu dalam istilah kabahasaan yang dinamai (‫)ما موصوله‬, dan bisa berfungsi mengubah kata yang menyertainya sehingga kata tersebut menjadi kata jadian, dan ketika itu dinamai (‫)ما مصدرية‬. Menurut mereka, mā pada ayat ketiga (demikian juga pada ayat kedua) pada ayat ketiga (demikian juga pada ayat kedua) berarti apa yang sehingga wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud berarti kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang dan akan kamu sembah. Sedangkan, mā pada ayat kelima (demikian pula keempat) adalah mashdariyaħ sehingga kedua ayat ini berbicara tentang cara beribadah: “aku tidak pernah menjadi penyembah dengan (cara) penyembahan kamu, kamu sekalian pun tidak akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku.” Memang, ada tuntunan-tuntunan agama yang pada mulanya bersumber dari ajaran Ibrāhīm a.s., yang diamalkan oleh Nabī SAW dan diamalkan pula oleh orang musyrrikin di Makkaħ, tetapi



dengan



melakukan



perubahan



dalam



tatacara



pelaksanaannya, salah satu di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji (Shihab, 2002, hal. 683).



16



f.



Ayat keenam     



Artinya: ” Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(Q.S. AlKāfirūn [109]:6) Setelah menegaskan tidak mungkinnya bertemu dalam keyakina ajaran Islam dan kepercayaan Nabī Muhammad SAW dengan kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allāh , ayat di atas menetapkan cara pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni: bagi kamu secara khusus agama kamu. Agamu itu tidak menyentuhku sedikitpun, kamu bebas untuk mengamalkannya sesuai kepercayaan kamu dan bagiku juga secara khusus agamaku, aku



pun



mestinya



memperoleh



kebebasan



untuk



melaksanakannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikit pun olehnya. Kata (‫ )دين‬dīn dapat berarti agama, balasan, atau kepatuhan. Sementara ulama memahami kata tersebut dengan arti balasan. Antara lain dengan alasan bahwa kaum musyrikin Makkaħ tidak memiliki agama. Mereka memahami ayat di atas dalam arti masingmasing kelompok akan menerima balasan yang sesuai. Bagi mereka, ada balasannya, dan bagi Nabī pun demikian. Baik atau buruk balasan itu diserahkan kepada Tuhan. Dialah yang menentukan. Didahulukannya kata (‫ )لكم‬lakum dan (‫ )لي‬liya berfungsi menggambarkan Kekhusuan, karena itu pula masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak penulis untuk menyembah sembahan kalian setahun agar kalian menyembah pula Allāh. Sedankan kata (‫ )دين‬dīn



17



diartikan agama, ayat ini tidak berarti bahwa Nabī diperintahkan mengakui



kebenaran



anutan



mereka.



Ayat



ini



hanya



mempersilahkan mereka menganut apa yang mereka yakini. Apabila mereka telah mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka. Ayat 6 di atas merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, bagi kamu agamamu dan bagi aku agamaku. Sehingga



dengan



demikian



masing-masing



pihak



dapat



melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing (Shihab, 2002, hal. 684685). Sedangkan redaksi lain mengatakan, untukmu agamamu, aku tidak akan mengikutimu, “dan untukmulah agamamu” janganlah kamu mengikutiku. Dengan ini semua, Allāh menjadikan RasulNya



tidak



mengarapkan



keimanan



mereka.



Padahal



sebelumnya Rasūlullāh SAW sangat mengharapkan keimanan mereka. Demikian juga Allāh menjadikan orang-orang musyrik akan mati di dalam keadaan kafir dan tidak ada seorangpun dari mereka yang beriman (Al-jazairi, 2009, hal. 1062). Pendapat terakhir dikemukakan Hamka dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar (1985:289)”, bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula. Tinggilah dinding yang membatasi, dan dalamnya jurang di antara kita. Maksudnya tidak akan bisa dua agama yang dicampuradukkan begitu saja dengan suatu paksaan. Dari pernyataan para mufasir diatas dapat diambil kesimpulan bahwa surah Al-Kāfirūn ini memberi pedoman bagi kita pengikut Nabī Muhammad bahwasannya akidah tidaklah dapat



diperdamaikan.



Tauhid 18



dan



syirik



tidak



dapat



dipertemukan, hak dan yang bathil tidak dapat disatukan. Oleh karena itu, Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai menyesuai-nyesuaikan.



19



BAB III PENUTUP A. Simpulan Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas tertentu yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya. Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan. B. Saran Demikian Makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan maupun dalam penulisan penulis mohon maaf. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang penulis buat ini lebih baik di masa mendatang. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca.



20



DAFTAR PUSTAKA Buku: 'Abdulloh, N. (2009). Tafsir ayat-ayat pendidikan. Jakarta: Raja wali pers. Al Qurthubi, S. I. (2009). Al Jami' li Ahkam al-Quran (Vol. 20). (D. Rosyadi, & Faturrahman, Penerj.) Jakarta: Pustaka Azzam. Al-jazairi, S. A. (2009). tafsir Al-Qur'an Al- Aisar (Vol. 7). (F. Amaliye, Penerj.) Jakarta: Darus sunnah. Al-Maragi, A. M. (1993). Tafsir Al-Maragi (Vol. 28). (H. N. Bahrun Abubakar, Penerj.) Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang. Hamka, D. P. (1985). Tafsir al-Azhar (Vol. 28, 29,30). Jakarta: Pustaka Panjimas. Jarir, A. J. (2009). Tafsir Ath Thabari (Vol. 26). Jakarta: Pustaka Azam. Misrawi, Z. (2010). Al-Qur'an Kitab Toleransi . Jakarta: Pustaka Oasis. Qutub, S. (2001). Tafsir Fidzilalil Qur'an (Vol. 12). (A. '. Yasin. A's'ad, Penerj.) Beurut: Gems Insani. Shaleh, Q. (2009). Asbab an-Nuzul. Bandung: CV diponerogo. Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-Misbah (Vol. 15). Jakarta: Lentera Hati. Uniba. (2088). Tafsir Juz 'Amma. Bandung: PT Unisba. Zuhairini. (2008). filsafat pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Web Site: Romade, (2019, Agustus Ahad) Pengertian Toleransi ttps://www.romadecade.org/pengertian-toleransi/ diambil kembali dari www.google.com di akses pada jam 11 .00 WIB Mustafa, (”Toleransi Beragama dalam Perspektif Al-quran” TASAMUH, Vol. 7, No. 1, Agustus 2019, hlm.5 Anwar, (2019, Agustus Ahad ) https://duniapendidikan.co.id/pengertiantoleransi-pengertian-jenis/ diambil kembali dari www.google.com diakses Pada jam 12.00 WIB



iv