Makalah Usul Nahwi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Puji syukur



Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan jasmani



sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas berupa makalah ini dengan tepat waktu. Dalam penulisan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, mulai dari dosen pengampu mata kuliah, teman, dan lainnya, maka penulis patut berterima kasih kepada semua pihak yang terkait atas tuntasnya penulisan makalah Ushul An-Nahwi ini. Penulis berharap dengan hadirnya makalah ini mampu memberikan manfaat yang banyak dalam memahami metode dan idiologi dalam penerjemahan. Namun, penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, kiranya kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan guna melengkapi dan memperbaiki makalah ini.



DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini, kehidupan manusia sudah sangat kontemporer dan banyak yang meninggalkan khazanah hakiki yang harus menjadi platform dalam pijakan kehidupan manusia. Manusia sebagai khayawanun natiq (makhluk yang berpikir) tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia sering kali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subjektivitas, dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis, dan obyektif. Mantiq dan istidlal dalam hal ini



merupakan upaya memelihara pikiran dari



kesalahan berpikir, memperdalam pemahaman, dan menyingkap selimut kebodohan agar seseorang dapat menggunakan daya pikirnya dengan cara yang benar dan tidak keliru (Thaib dan Mu’in tt: 77) Dalam diri manusia terdapat berbagai potensi kemampuan yang dimiliki. Dari segala kemampuannya itu, tidak semua manusia mampu memberikan pengertian, deskripsi, dan analisa yang tepat dari sesuatu hal. Kebanyakan dari mereka, menggunakan perspektif yang berasal dari tanggapan panca indra semata. Setelah tanggapan panca indra tersebut diproses, maka terbentuklah keterangan-keterangan bebas yang berdiri sendiri dan terpisah dari yang lain. Dengan menggunakan keterangan-keterangan bebas yang sudah diketahui itu, kita dapat sampai kepada keterangan tentang sesuatu yang belum diketahui. Jalan pikiran semacam ini disebut penyimpulan (Istidlal). Istidlal merupakan pembahasan terpenting dalam ilmu mantiq dan usuhul baik nahwi dan fiqih, karena mengambil kesimpulan yang benar ialah menjadi fungsi utamanya. Seseorang baru dikatakan mengerti ilmu mantiq, nahwu, dan fiqh, ketika ia sudah dapat mengambil kesimpulan yang benar, melalui teknik-teknik pengambilan kesimpulan yang baku dan diakui. Kesimpulan yang benar itu dikatakan kesimpulan mantiqi (logis) karena penarikannya sesuai dengan kaidah-kaidan mantiqi (logika).



1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut. 1. Apa pengertian istidlal? 2. Bagaimana Istidlal Dlm Ilmu Mantiq, Ilmu Ushul Fiqih dan Ilmu Ushul Nahwi? 3. Apa saja yang menjadi dalil-dalil Nahwu? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui pengertian dari Istidlal. 2. Untuk mengetahui bagaiaman istidlal dalam mantiq, Ushul Fiqih, dan Ilmu Ushul Nahwi 3. Untuk mengetahui dalil-dalil dalam Nahwu. 1.4 Metodologi Penulisan Metodologi penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini, yaitu Metode literatur studi, penyusun mengumpulkan dan membaca beberapa sumber rujukan dari buku-buku yang sesuai dengan redaksi dari tema dan judul makalah. Selain itu, penulis juga mencari literatur-literatur yang sesuai dengan judul makalah.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Istidlal Kata istidlal berasal dari bahasa Arab. Akar kata istidlal adalah dari kata “daal”, berarti mengambil dalil atau kesimpulan yang diambil dari petunjuk yang ada. Sedangkan yang dimaksud dalil adalah petunjuk yang digunakan untuk mendapatkan suatu kesimpulan (Sambas, 1996: 112). Adapun menurut istilah, pengertian istidlal adalah sebagai berikut: Menurut Abi Hilal al-Anskari:  ‫االستدالل طالب معرفة الشئ من جهة غيره‬ “Istidlal adalah mencari pengertian sesuatu dari segi lainnya”. Menurut Muhammad Nur al-Ibrahimi: ‫االستدالل انتقال الذهن من امر معلوم الى امر مجهول باستخدام المعلوم وسيلة الى المجهول‬ “Istidlal adalah



proses



memahami



sesuatu



yang konkret (muqaddimah



shugra dan muqaddimah kubra) untuk menemukan sesuatu yang abstrak (natijah), dengan menggunakan sesutau yang konkret itu sebagai media untuk menemukan sesuatu yang abstrak”. Menurut al-Jurzani, istidlal yaitu: ‫ا‬MM‫تدالال اني‬MM‫مى اس‬MM‫ؤثر فيس‬MM‫ر الى الم‬MM‫ك من االث‬MM‫ان ذل‬MM‫واء ك‬MM‫دلول س‬MM‫ات الم‬MM‫دليل الثب‬MM‫ر ال‬MM‫تدالل تقري‬MM‫االس‬ ‫اوبالعكس ويسمى استدالال لميا او من احد االثرين الى االخر‬ “Istidlal adalah menentukan alasan (dalil) untuk menetapkan sesuatu yang ditunjukkan (madlul) dari atsar kepada mu’atsar yang disebut istidlal  aniya atau dari mu’atsar  kepada atsar  yang disebut Istiqlal lammiya, atau dari dua atsar kepada yang lain”. Jadi, dapat disimpulkan definisi istidlal menurut al-Jurzani, memuat tiga macam istidlal antara lain: a. Istidlal ‘aniya, proses memikirkan objek pikir secara deduktif atau istidlal qiyasi (min al-‘atsar ila al-mu’atsar). b. Istidlal lammiya, proses memikirkan objek pikir secara induktif atau istidlal istigra’i (min al-muatsar ila al-atsar). c. Istidlal jami’ bainahuma,



proses



memikirkan



komprehensif (min al-mu’atstsarin ila al-akhar).



objek



pikir



secara



Dari ketiga definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa istidlal merupakan upaya untuk menyatakan proses pembentukan penalaran atau pemikiran yang dirakit dari konsepsi (tashawur) dan keputusan (tashdiq) dalam menemukan kebenaran ilmiah yang sebenarnya. Pendapat senada tentang pengertian istidlal secara terminologi ialah berpindahnya pikiran, dengan teknik tertentu, dari sesuatu yang sudah diketahui (‫ )معلوم‬kepada yang belum diketahui (‫)مجهول‬, sehingga yang belum diketahui dapat diketahui.



2.2 Istidlal dalam Ilmu Mantiq,Ushul Fiqih, dan Ushul Nahwi 2.2.1 Istidlalal dalam Mantiq a. Definisi Istidlal Secara lughawi adalah dalail, keterangan, indikator atau petunjuk sehingga dapat diperoleh suatu pengertian atau kesimpulan. Sedangkan secara terminologi Istidlal adalah berpindahnya pikiran, dengan teknik tertentu, dari sesuatu yang sudah diketahui (ma’lum) kepada sesuatu yang belum diketahui (majhul) sehingga yang belum diketahui itu dapat diketahui. Atau, dengan ungkapan yang lain, berupaya memahami yang belum diketahui melalui yang sudah diketahui. Dengan ungkapan yang lebih mudah: Istidlal adalah mengambil kesimpulan (Baihaqi, 2012: 111) b. Klasifikasi Istidlal 1) Istidlal Qiyasi Kata qiyas berasal dari bahasa Arab yang berarti ukuran. Miqiyas berarti alat mengukur. Maksudnya di sini adalah mengukur sesuatu dengan



sesuatu yang lain. Menurut Al-Jurzany, pengertian Qiyas adalah sebagai berikut: Penuturan yang tersusun dari keputusan-keputusan (qadhiyah), yang jika keputusan-keputusannya benar, mesti melahirkan suatu kesimpulan (natijah) (Sambas, 1996: 113) Qiyas dalam ilmu mantiq adalah ucapan atau kata yang tersusun dari dua atau beberapa qadhiyah, manakala qadhiyah-qadhiyah tersebut benar, maka akan muncul dari padanya dengan sendirinya qadhiyah benar yang lain yang dinamakan natijah. Tetapi perlu dicatat bahwa, bila qadhiyahnya tidak benar, bisa saja natijahnya benar. Tetapi benarnya itu adalah kebetulan (Djalil, 2010: 69). Atau lebih mudahnya istidlal qiyasi ialah upaya akal-pikir untuk memahami sesuatu yang belum diketahui melalui yang sudah diktehaui dengan menggunakan kaidah-kaidah berpikir logika yang telah diterima kebenarannya (Baihaqi, 2012: 112). Contoh:  Tiap bid’ah itu sesat.  Tiap yang sesat dalam neraka.  Jadi tiap bid’ah dalam neraka.  Sebagian hewan berkaki empat.  Setiap yang berkaki empat tenaganya besar.  Sebagian hewan tenaganya besar. 2) Istidlal Istiqra’i Secara lughawi, istiqra berarti penyelidikan dan penelitian sesuatu; sedangkan secara istilah, pengertian istiqra adalah sebagai berikut: “Menetapkan sesuatu atas keseluruhan berdasarkan adanya sesuatu pada banyak fakta”.  Menurut Muhammad Nur Ibrohim: “penalaran yang didasarkan atas fakta-fakta secara teliti dan mengkajinya secara cermat sehingga dapat ditarik suatu keputusan umum secara rasional”. (Sambas, 1996: 116)



Atau



lebih



mudahnya,



Istidlal



istiqra’i



adalah



penarikan



kesimpulan secara induktif, yang dimulai dengan percobaan-percobaan kecil untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan kecil yang diharapkan, setelah percobaan-percobaan berikutnya, akan bermuara pada penemuan kesimpulan yang sifatnya umum (general). Contoh: Besi, misalnya melalui percobaan - percobaan memanaskannya, ternyata memuai. Percobaan dilakukan berulang-ulang di berbagai tempat dan waktu. Hasilnya terbukti sama, yaitu memuai. Kesimpulan umum lantas ditarik bahwa besi, jika dipanaskan akan memuai (Baihaqi, 2012: 113) 2.2.2 Istidlal dalam Ilmu Ushul Fiqih a. Definisi Istidlal Secara bahasa istidlal dari kata istadala artinya meminta petunjuk, memperoleh



dalil



memberikan



istidlal



dan



menarik



secara



kesimpulan.



umum



yaitu



Imam



mencari



Al-Dimyathi dalil



untuk



mencapaitujuan yang diminta. Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan pertama, Al-Sunnah menjadi rujukan kedua, Ijma menjadi rujukan ketiga dan Qiyas menjadi rujukan terakhir. Jika keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil belum bisa membuat keputusan hukum, mencari dalil yang diperselisihkan para ulama seperti istihsan, istidhab, dan lain sebagainya. b. Klasifikasi Istidlal 1) Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jally (terang) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar), atau dari hukum kully (meliputi) kepada hukum yang bersifat pengecualian karena dalil dhahir pada akalnya yang menguatkan perpindahan ini. Contohnya makan dan minum ketika ia lupa padahal ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umu (qiyas), puasa orang ini batak karena telah memasukan makanan ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan puasa sampai waktunya berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh sabda Rasulullah



saw yang mengatakan: Siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadanya (H.R At- Tirmidzi) 2) Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan keadaan hukum sebelumnya, sehingga ada hukum baru yang mengubahnya. Contohnya segala makanan dan minuman yang tidak ada dalil mengharamkannya, ditetapkan mubah berdasarkan firman Allah "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikanNya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesautu."(QS. Al-Baqarah: 29) Misalnya seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama, sampai ada bukti yang menunjukan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang (Masaroh, 2011: 21-24). Dua macam dari istidlal inilah yang istilahnya digunakan di dalam ilmu ushul Nahwu, yang akan dibahas di pembahasan selanjutnya. 2.2.3 Istidlal Dalam Ilmu Ushul Nahwu a. Definisi Istidlal Hassan (2000: 61) menjelaskan bahwa istidlal dalam konteks ushul al-Nahwu dipandang sebagai istilah yang berarti penggunaan dalil-dalil Nahwu. Dari pemahaman ini maka istidlal merupakan aktivitas penggunaan dalil-dalil Nahwu, yang terdiri dari al-Sima atau al-Naql, alIjma, al-Qiyas dan Istishab. Al-Suyuthi dalam Hassan (2000: 66) mengartikan bahwa istidlal ialah penggunaan dalil-dalil yang didasarkan kepada al-Sima, Qiyas dan Istishab. b. Klasifikasi Istidlal Ibnu al-Anbari dalam Al-Suyuthi (1988: 115-119) Sulaiman (tt: 9) dan Al-Utayyiq (tt: 27-29) menyebutkan bahwa macam-macam istidlal itu bnayak, diantaranya ialah: 1) Istidlal bil al-aks 2) Istidlal bil bayan al-illat 3) Istidlal bi ‘adam al-dalil fi al-syai ‘ala nafyihi



4) Istidlal bil al-ushul 5) Istidlal bi ‘adam al-nazhir 6) Istihsan 7) Istiqra 8) Dalil al-musamma bi al-baqi. 2.3 Dalil Nahwu 2.3.1 Sima Sima adalah setiap Kalam (kalimat-kalimat bahasa arab yang bisa dipahami) yang berasal dari sumber yang dipercaya akan kefasihannya. Dari definisi ini, masdar sima’ terbagi menjadi tiga, yaitu: Kalamullah (al-Qur’an), Kalam Nabi Saw. Dan Kalam qabilah-qabilah Arab. Istilah Naql menurut Ibn alAnbari sama dengan istilah sima’ menurut Ibn Jinni. Hal itu dipahami dari perkataan al-Suyuti dalam al-Iqtirah: Ibn Jinni telah bertutur bahwa dalil-dalil Nahwu ada tiga, yaitu sima’, ijma’dan qiyas. Ibn al-Anbari bertutur bahwa dalildalil Nahwu ada tiga, yaitu naql, qiyas dan istishhab al-hal (Al-Jinni 1994:97) Dia menambahkan istishhab, tapi tidak menyebut ijma’. Al-Suyuti menjadikan sima’ sebagai al-ashlu al-awwal dari ushul Nahwu al- Suyuthi mengikuti perkataan Ibn Jinni bahwa Dia mendefinisikan sima’ dengan : “Sima’ adalah perkataan yang diyakini kefasihanya, meliputi firman Allah Ta’ala yaitu Alquran, sabda nabi-Nya dan ucapan orang Arab sebelum bi’tsah Nabi, pada zamannya dan sesudahnya, sampai rusaknya bahasa dengan banyaknya para muwallid, baik natsar maupun nadzham, baik dari seorang muslim atau dari kafir.  Istilah Al-Sima setidaknya digunakan dalam dua konteks, yaitu pertama pembuatan dan penggunaan bentuk kata yang didasarkan pada apa yang biasa digunakan dan didengar langsung dari orang Arab yang dinilai Fashih. Dan kedua penggunaan metode pembakuan kaidah Nahwu melalui proses penelusuran, penyimakan dan pencatatan langsung dari fushha al-arab. (Al-Anbari, 1964: 300). 2.3.2 Qiyas Qiyas adalah merupakan dalil terbanyak yang dipakai oleh nuhât  dalam istinbat al-qâidah. Al-Qiyas bi ilghai al-Fariq Di antara istilah fikih yang terdapat pada ulama ushul Nahwu adalah istilah “alqiyas bi ilgha al-fariq” (qiyas dengan



mengabaikan yang berbeda), yaitu tidak boleh ada perbedaan di antara dua bentuk yang berpengaruh dalam Syara. Al-Suyuti membicarakan istilah ini pada saat berbicara tentang masalik al-‘illah, dia mengemukakan “ilgha al-fariq” dalam pernyataannya bahwa ilgha al-fariq itu ialah penjelasan bahwa furu’ tidak boleh berbeda dengan asal, kecuali pada halhal yang tidak ada pengaruhnya. Ibnu al Anbari berpendapat dalam kitabnya ‫ جدل اإلعرب‬bahwa qiyas dalam Ilmu Nahwu adalah membawa sesuatu yang belum jelas terhadap yang sudah jelas dalam pemberlakuan hukumnya yang sesuai dengan kaidah. (As-Suyuthi 1988: 88) Ibnu al Anbari berpendapat dalam kitabnya ‫ جدل اإلعرب‬bahwa qiyas dalam Ilmu Nahwu adalah membawa sesuatu yang belum jelas terhadap yang sudah jelas dalam pemberlakuan hukumnya yang sesuai dengan kaidah. Adapun rukun qiyas ada empat: ashal (‫)المقيس عليه‬, fara’ (‫)المقيس‬, alasan (‫)علّة‬, dan hukum. Untuk menerapkan qiyas, keempat rukun tersebut harus terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi maka qiyas dianggap batal. Keberadaan qiyas dalam Ushul Nahwu sangatlah diakui. Karena hampir semua pembahasan dalam Ilmu Nahwu menggunakan qiyas. Sebagaimana yang dinadhamkan Al Kisai: (1978: 99) ‫ و به في ك ّل علم ينتفع‬# ‫إنّما النحو قياس يتّبع‬ Oleh karena Nahwu merupakan sebuah ilmu tentang norma-norma atau kaidah-kaidah yang disimpulkan melalui induksi perkataan orang Arab, maka qiyas dipandang sebagai metodenya yang paling utama. Dalam hal ini dijelaskan bahwa qiyas dikalangan ahli Nahwu itu sendiri diklasifikasikan menjadi al-Qiyas al-Isti’mali dan al-Qiyas al-Nahwu. al-Qiyas al-Isti’mali merupakan upaya mengikuti perkataan orang Arab sehingga qiyas itu tidak merupakan Nahwu itu sendiri, melainkan aplikasi dari Nahwu. Sedangkan al-Qiyas al-Nahwu merupakan analogi hukum/ketentuan/kaidah. Yaitu menganalaogikan yang bukan manqul (yang diriwayatkan) kepada yang manqul jika yang dianalaogikan itu memiliki kesamaan. (Al-Anbari, 1964: 300). 2.3.3 Ijma Secara etimologi ijma’ memiliki dua pengertian; 1) Al-Azmu Ala Al-Amr (menyengaja dalam suatu perkara), dalam hal ini memungkinkan terjadinya ijma’oleh hanya satu orang saja atau satu pendapat saja. 2) Al-Ittifaq



(kesepakatan), dalam hal ini kemungkinan terjadi ijma’ jika terdapat dua atau lebih orang ataupun pendapat. Sedangkan secara terminologi, ijma’ yaitu kesepakatan dua Ahli Nahwu antara Ulama’ Bashrah dan Kufah. Dan Imam Sibawaih menambahkan bahwasanya ijma’ itu ada karena adanya perbedaan pendapat atau argumen di antara kedua ulama’ tersebut. Dalam kasus ini, Ibnu Jinni mengemukakan pendapatnya mengenai kapanijma’ orang Arab itu bisa dijadikan argumen. Pada hakikatnya ijma’ dalam konteks Ilmu Nahwu berbeda dengan Ilmu Fiqh. Pada Ilmu Fiqh, sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan akan memiliki hukum yang mutlak, karena Ulama’ Fiqh berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits yang tidak mungkin salah. Sehingga yang bisa diterapkan adalah yang sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan ijma’ dalam hal bahasa atau Ilmu Nahwu tidak berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits sehingga kebenarannya pun tidak mutlak dan diperbolehkan meggunakan yang tidak disepakati dalam praktiknya selama memiliki dalil pembenaran. Jadi, Ijma adalah kesepakatan ahli Nahwu dari 2 kota (Basrah dan kufah) dalam sebuah hukum atau kaidah pada Nahwu. 2.3.4 Istishab Istishab adalah kondisi asal (semula) dari sebuah lafadz jika tidak ada dalil yang mengubah keadaannya. Contohnya, isim yang pada asalnya adalah Mu’rab, maka akan tetap mu’rab sampai ada dalil yang membuat dia menjadi mabni seperti tasybih al-hurûf  baik itu tasybih alwadh’I, isti’mal ataupun iftiqar. Ibn al-Anbari berbeda dengan Ibn Jinni, beliau menggunakan istilah ini dan mendefinisikannya. Katanya: Ketahuilah bahwa istishhab al-hal termasuk dalil yang mu’tabar, sedangkan yang dimaksud dengannya adalah menetapkan keadaan asal dalam ism yaitu i’rab, dan menetapkan keadaan asal dalam fi’il yaitu bina sampai ada yang mewajibkan bina pada ism dan mewajibkan i’rab pada fi’il. Adapun yang mewajibkan bina pada ism adalah serupa harf atau yang mengandung makna harf. Al-Suyuthi (1988: 100). Sesuai dengan namanya, konsep Istishab berkaitan erat dengan ide tentang al-Ashl karena beristishhab dalam rumusan kaidah Nahwu berarti merujuk



kepada



asal.



Al



Anbari



mendefinisikan



istishhab



sebagai



mempertahankan kondisi lafadz tetap pada aslinya ketika tidak ada dalil naqli tentang asal. Istishhab termasuk salah satu dalil Ushul Nahwu yang diakui sebagai otoritatif (Al-Anbari, 1964: 300).



DAFTAR PUSTAKA Al-Anbari, Ibnu. (1964). Al-Inshaf Fi Masa’il al-Khilaf (jilid 1). Kairo: Mathba’ah al-Istiqomah. Al-Anbari. (1958). Lam’u al- Adillah. Lebanon: Darul al-Fikri. Al-Jinni. (1994). Ushul al-Nahwu fi al-Khashais. Mesir: Darul al-Ulum. Baihaqi. (2012). Ilmu Mantik Teknik Dasar Berpikir Logik. Jakarta: Darul Ulum Press. Djalil, Basiq. (2010). Logika (Ilmu Mantiq). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hassan, T. (2000). Al Usul Dirasah Epistimulujiyah Li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab (al-Nahwu-Fiqih al lughah-al Balaghah). Kairo: ‘Alam al-kutub. Hassan, T. (2000). al-Ushul . Mesir: ‘Aalamul Kutub. Masaroh, Imas. (2011). Ushul Fiqih. Bandung: Sarwayasa. Sambas, Sukriadi.  (1996). Mantik Kaidah Berpikir Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.    Suyȗtî. (1988). Kitâb al-Iqtirâh fî Ilm al-Ushȗl al-Nahwu: Fî tahqîq Ahmad Qâsim wa Ahmad



Sâlim. Beirut: Dâr al-Nahdah.



Thahir, Taib dan Abdul Mu’in. Tanpa Tahun. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta: Widjaya.