Makalah Wanprestasi Dan Resiko Perjanjian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM PERIKATAN Wanprestasi dan Resiko Perjanjian



Disusun Oleh: Sunarya Tania Eka Putri Syarah Anggita Irlyana Affandi Shifa Alfia Rahman Shifa Febby Anatasya Suryani Taneo



UNIVERSITAS PAMULANG TAHUN AJARAN 2020/2021



DAFTAR ISI



Kata Pengantar...........................................................................................................................3 BAB I.........................................................................................................................................4 PENDAHULUAN......................................................................................................................4 A. LATAR BELAKANG....................................................................................................4 B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................6 C. TUJUAN MASALAH....................................................................................................6 BAB II........................................................................................................................................7 PEMBAHASAN........................................................................................................................7 A. Gagal bayar atau Wanprestasi.........................................................................................7 B. Force Majeur dalam pandangan KUHPerdata Indonesia (Overmacht)..........................9 C. Resiko Perjanjian..........................................................................................................12 BAB III.....................................................................................................................................16 Penutup.....................................................................................................................................16 A. Kesimpulan...................................................................................................................16 B. Saran..............................................................................................................................16 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17



Kata Pengantar



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Wanprestasi dan Resiko Perjanjian ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Kosim Afendy S.H, M.H. pada mata kuliah Hukum Perikatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Wanprestasi dan Resiko Perjanjian bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kosim Afendy S.H, M.H., selaku dosen mata kuliah Hukum Perikatan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.



Tangerang, 5 Juli 2021



Penulis



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Tanpa disadari bahwa kita setiap hari selalu melakukan perjanjian baik secara tertulis maupun tidak secara tertulis, sehingga disadari apa tidak disadari kita merasakan segala resiko akibat suatu perjanjian, begitu pula pada saat kita ingkar dari sebuah perjanjian kita juga akan merasakan akibat ingkar dari perjanjian, istilah hukumnya wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak terpenuhinya atau lalai melaksanakan kewajiban, sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur. Ada 3 (tiga) bentuk yang dapat disebut sebagai wanpretasi, yaitu: 1. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi Prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi juga tidak bisa lagi dijalankan. 2. Debitur terlambat memenuhi prestasi Prestasi itu dilaksanakan, tetapi tidak sesuai dengan waktu penyerahan sesuai yang diperjanjikan. Dengan demikian ini juga bisa disebut lalai. 3. Debitur keliru memenuhi prestasi Prestasi itu dilaksanakan, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut perjanjian. Akibat dari lalai terdapat pada Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan: “penggantian biaya, rugi dan berupa bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya” Dan untuk menyatakan Debitur dalam keadaan lalai diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang berbunyi : “debitur dinyatakan lalai dengan perintah, atau akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, keadaan lalai berkaitan dengan jatuh temponya kewajiban debitur”



Pernyataan lalai ini merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” atau wanpretasi. Dalam sebuah perjanjian kita harus siap dengan sebuah resiko, baik resiko menjalankan atau berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, ketika tidak menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita maka kita dikategorikan pihak yang melakukan wanpretasi atau pengingkaran sebuah perjanjian. Saat ini banyak sekali model-model perjanjian baik secara lisan maupun maupun secara tulisan, dari mulai perjanjian kerja, perjanjian kerjasama, dan perjanjian-perjanjian lainya, dari soal utang piutang sampai dengan soal perjanjian kredit, dari kredit rumah sampai dengan kredit kendaraan bermotor, tentunya itu akan mengakibatkan resiko perjanjian bisa saja para pihak kreditur maupun debitur akan melakukan wanprestasi entah karena suatu kondisi (force majure/overmacht) keadaan memaksa. Dengan adanya aturan hukum tentang keadaan memaksa (force majure/overmacht) seakan membuat celah bagi oknum-oknum yang akan berbuat wanprestasi. Hubungan bisnis dalam pelaksanaannya tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam lapangan kehidupan sehari-hari seringkali dipergunakan istilah perjanjian, meskipun hanya dibuat secara lisan saja, tetapi dalam dunia usaha perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut bidang usaha yang digeluti. Mengingat akan hal tersebut dalam hukum perjanjian merupakan suatu bentuk manifestasi adanya kepastian hukum. Oleh karena itu dalam prakteknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), ditentukan dan diberikan pengertian mendasar mengenai sebuah perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dengan semakin majunya teknologi yang dapat memudahkan hubungan antar manusia di dunia, meletakkan Indonesia dalam jaringan yang mudah dicapai atau dijamah oleh kebiasaan (perdagangan) yang dipergunakan di bagian dunia lain. Masuknya perusahaan asing ke Indonesia juga membawa serta berbagai bentuk perjanjian, salah satu diantaranya adalah perjanjian standar (perjanjian baku) yang dipergunakan di dalam perjanjian pemberian jasa dan sebagainya. Pada kenyataannya



perjanjian baku hanya merupakan suatu pernyataan sepihak yaitu pernyataan dari pihak yang merasa lebih berkepentingan terhadap perbuatan hukum yang akan ditimbulkan dari adanya perjanjian itu yang didasarkan atas kehendak pelaku usaha saja. Pada kesempatan kali ini kami dari Kelompok V akam membahas tentang “Wanprestasi dan Resiko Perjanjian”



B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan Wanprestasi? 2. Apa yang dimaksud dengan overmacht dan? 3. Apa saja dasar-dasar hukum overmacht? 4. Apa saja teori yang mendasari overmacht? 5. Apa yang dimaksud dengan resiko perjanjian? 6. Apa saja dasar-dasar hukum resiko perjanjian? 7. Apa saja macam-macam overmacht?



C. TUJUAN MASALAH 1. Mendeskripsikan definisi Wanprestasi. 2. Mendeskripsikan definisi overmacht. 3. Mendeskripsikan dasar-dasar hukum overmacht. 4. Mendeskripsikan teori-teori yang mendasari overmacht. 5. Mendeskripsikan resiko perjanjian. 6. Mendeskripsikan dasar-dasar hukum resiko perjanjian. 7. Mendeskripsikan macam-macam overmacht.



BAB II PEMBAHASAN



A. Gagal bayar atau Wanprestasi Gagal bayar atau Wanprestasi merupakan tidak dilaksanakannya suatu kewajiban oleh salah satu pihak yang sudah mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian. Kewajiban menunaikan Prestasi juga merupakan resiko dari suatu perjanjjian baik secara lisan maupun secara tertulis juga yang timbul karena Undang–Undang. 1. Wanprestasi menurut para ahli 



Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.







Prof. R. Subekti, S.H., mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu: a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya. b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan. c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat, d. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.







H. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.







Menurut M. Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak selayaknya.



2. Macam-macam Wanprestasi Ilmu hukum mengenal tiga macam wanprestasi, yaitu:







Wanprestasi yang disengaja Wanprestasi dianggap sengaja apabila debitor dapat dikatakan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, walaupun ia insaf bahwa tindakannya atau tidak bertindaknya



mengakibatkan



wanprestasi.



Wanprestasi



yang



disegaja



mempengaruhi besarnya denda atau dan ganti rugi (Pasal 1247 dan 1248 KUHPedata). Apabila seseorang berwanprestasi, mungkin ia akan dituntut membayar ganti rugi, ditambah dengan biaya, kerugian dan bunga. 



Wanprestasi karena kesalahan Wanprestasi karena kesalahan adalah akibat dari sikap debitor yang acuh tetap acuh, atau debitor tidak melakukan usaha yang dapat diharapkan dari seorang debitor, namun justru memilih melakukan suatu perbuatan atau mengambil sikap diam (tidak bertindak).







Wanprestasi tanpa kesalahan (Force Major dan Overmacht) Undang-undang melihat kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor. Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu: a. Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). b. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata). d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR).



Suatu resiko dari perjanjian yang mengakibatkan wanprestasi adalah keadaan memaksa (force



majeur/overmacht),



seperti



kita



ketahui



istilah



keadaan



memaksa



(force



majeur/overmacht) tertuang dalam Undang–Undang. Hal itu lah yang membuka celah bagi seseorang atau salah satu pihak yang membuat perjanjian untuk melakukan tindakan Wanprestasi dengan alasan keadaan memaksa (force majeur/overmacht). Keadaan memaksa (force majeur/overmacht) menurut Pasal 47 ayat (1) huruf j UU No. 2 Tahun 2017, force majeur diartikan sebagai kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.



B. Force Majeur dalam pandangan KUHPerdata Indonesia (Overmacht) 1. Dasar Hukum Overmacht Pasal 1244 KUHPerdata yang berbunyi: “jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus di hukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan. Bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakanya perjanjian itu disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada padanya.” Pasal 1245 KUHPerdata yang berbunyi: “tidaklah biaya ganti rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran kejadian tak di sengaja si berutang berhubungan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal–hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.” Force Majeur menurut Undang-Undang No. 13 Tahun



2003 tentang



Ketenagakerjaan terdapat dalam beberapa pasal sebagai berikut: Pasal 164 ayat (1) yang berbunyi: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang di sebabkan keadaan memaksa atau force majeur, …” Pasal 164 ayat (2) yang berbunyi: “Kerugian perusahaan sebagai mana di maksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 tahun terakhir yang telah di buat oleh akuntan publik.” 2. Teori-teori Overmacht a. Teori Ketidakmungkinan Menurut teori “ketidakmungkinan”, overmacht adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam keadaan “tidak mungkin” melakukan pemenuhan prestasi yang dijanjikan.



Ketidakmungkinan dibedakan antara: Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur. Ketidakmungkinan



relatif



atau



ketidakmungkinan



subjektif



(relative



onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya. b. Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld). Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan. Force majeur sering dijadikan celah alasan bagi para pengusahaan untuk melakukan pengingkaran (wanprestasi) terhadap kewajibannya kepada para pekerja, yang merugi tentunya para pekerja yang notabenenya merupakan pihak yang lemah. Para pekerja tidak banyak yang tau perihal force majeur juga tentang ketentuan-ketentuan hukum ketenagakerjaan sehingga selain ada pasal tentang force majeur hal itu juga yang di jadikan oleh oknum–oknum manajemen di perusahaan untuk mencari keuntungan sendiri, mengingat para pengusaha tentunya sudah tahu akan kewajibannya di dalam menjalankan usahanya melalui sebuah perusahaan namun kadang para manajemen suka seenaknya dalam membuat suatu aturan atau keputusan yang tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari para pekerjanya. Oleh karena itu, tidak heran jika jajaran manajemen yang kerjanya hanya duduk di balik meja dan ruangan ber AC upahnya lebih tinggi daripada pekerja atau buruh yang bermandi keringat upahnya hanya sebatas Upah Minimum, mengingat manajemen yang diproduksi adalah uang atau modal yang diberikan oleh pengusaha sedangkan buruh biarpun hasil produksinya dikategorikan high quality tapi masih menumpuk di gudang belum dikatakan berprestasi kerjanya, sedangkan manajemen ketika dia mampu mengelola keuangan perusahaan se-efisien mungkin maka akan dianggap berprestasi. Hal tersebut mereka manfaatkan kelemahan mental pekerja atau buruh untuk meminimalisir pengeluaran karena hanya buruh yang dapat di jadikan objek



pengurangan anggaran, seperti contohnya ketika tarif PLN naik mereka tak dapat menolaknya karena khawatir di stop aliran listriknya, pajak naik mereka juga sama tak dapat menolaknya kerena itu kebijakan pemerintah di mana mereka mendirikan perusahaan, namun ketika upah buruh naik mereka banyak dalih dan alasan, perusahaan merugilah produksi menurunlah dan lain sebagainya dengan tanpa mau menunjukan bukti kerugian atau neraca keuangan perusahaan. Padahal sangat jelas dalam pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan hanya di bolehkan melakukan pemutusan hubungan kerja bukan untuk tidak menjalankan kewajibannya yaitu memberikan pesangon sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Undang–Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu contohnya akhir–akhir ini banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerjanya dengan alasan keadaan memaksa (force majeur), padahal force majeur itu sendiri keriterianya yaitu seperti bencana alam, angin topan, gunung meletus, keadaan perang senjata, kudeta pemerintahan, kerusuhan masa atau suatu keadaan yang di luar kemampuan manusia. COVID–19 (Corona Virus Disease) juga banyak dijadikan alasan oleh beberapa perusahaan untuk melakukan pengurangan pekerja atau PHK dengan alasan



keadaan memaksa (force majeur), padahal keadaan memaksa (force



majeur) harus di buktikan melalui neraca keuangan yang dibuat oleh akuntan publik dalam melakukan audit kerugian dua tahun terakhir, sedangkan COVID-19 terjadi sekitar bulan Maret tahun 2019 tapi pada menjelang akhir tahun 2019 sampai tahun 2020 banyak perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya dengan alasan keadaan terpaksa (force majeur). Dengan alasan keadaan memaksa (force majeur) banyak perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya atau dapat di kategorikan wanprestasi dari perjanjian akibat hukum seperti halnya pemberian pesangon dalam Pasal 156 ayat (1) dinyatakan bahwa apabila perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya maka wajib memberikan pesangon sekurang–kurang nya satu kali ketentuan.



Sebelum menjalin hubungan kerja tentunya para pekerja terlebih dahulu melakukan pelamaran kerja, dan setelah dapat di terima lamaran kerjanya tentunya akan ada suatu perjanjian kerja yang di tanda tangani kedua belah pihak antara perusahaan dengan pekerja, dalam perjanjian kerja pastinya akan ada penjelasan tentang hak dan kewajiban, selain siap ditempatkan di bagian mana saja juga ada hak profit berupa upah atau gaji dan tunjangan termasuk pensiun. Pensiun dapat diartikan pengakhiran masa bekerja di suatu perusahaan, ada pensiun murni yaitu sudah mencapai pada usia pensiun yang sudah diatur dalam peraturan perusahaan atau diatur dalam Undang-Undang jaminan sosial ketenagakerjaan, juga ada pensiun dini apabila sudah diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian kerja Bersama (PKB), atau juga dipensiunkan oleh perusahaan secara sepihak atau diberhentikan. Dalam hal ini tentunya perusahaan telah mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian kerja maka harus menunaikan prestasi yang menjadi kewajibannya terhadap para pekerja, dan apabila hal itu tidak dijalankan maka dapat di kategorikan ingkar janji atau wanprestasi.



C. Resiko Perjanjian Resiko adalah kewajiban untuk menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat dari suatu peristiwa atau kejadian di luar kesalahan para pihak yang menimpa objek perjanjian. Resiko berpangkal pada suatu kejadian, yang dalam hukum perjanjian disebut overmacht atau keadaan memaksa. 1. Dasar Hukum Resiko Perjanjian Ketentuan tentang resiko perjanjian diantaranya adalah pasal 1237 KUHPerdata yang berbunyi: “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang” 2. Macam-macam Resiko Perjanjian a. Resiko pada perjanjian sepihak



Persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana kewajibannya hanya ada pada sepihak saja, misalnya hibah, penitipan dengan cuma-cuma dan pinjam pakai. Menurut Pasal 1245 KUHPerdata, resiko dalam perjanjian itu ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasinya, sedangkan menurut Pasal 1444 KUHPerdata masih memberikan perlunakan. Menurut Pasal 1445 KUHPerdata, ditentukan bahwa apa yang diperoleh debitur sebagai penggantian daripada barang yang musnah harus diserahkan kepada kreditur (asuransi). b. Resiko pada perjanjian timbal-balik. Berdasarkan Pasal 1444 KUHPerdata, Pitlo mengemukakan bahwa menurut kepantasan, jika debitur tidak lagi berkewajiban maka pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1445 KUHPerdata, pernyataan yang berbunyi “hapusnya sebagai hapusnya komplek perikatan” dianggap tidak logis jika pembentuk UU memberikan hak atas tuntutan terhadap penggantian barang yang hilang atau musnah pada kreditur, sedangkan debitur dari barang yang musnah karena perikatan-perikatannya telah hapus tidak memperoleh apa-apa. c. Resiko Jual Beli Dari ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata, jual beli mengenai barang tertentu, sekejap setelah penjualan berlangsung, resiko berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak di-levering lenyap, pembeli tetap wajib membayar harga. Berdasarkan Pasal 1460 KUHPerdata pula, jika objek jual beli terdiri dari barang tertentu, resiko atas barang berada pada pihak pembeli, terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian, sekalipun penyerahan barang belum terjadi, penjual berhak menuntut pembayaran harga seandainya barang musnah. Kondisi resiko jual beli: 



Apabila salah satu prestasi gugur, dengan sendirinya prestasi yang lain pun harus gugur.







Jika barang yang dijual musnah sebelum diserahkan pada pembeli, gugurlah kewajiban pembeli untuk membayar harga. Resiko dalam jual beli barang tertentu, tetap berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pembeli. Karena tidak sesuai jika pembeli dibebani membayar harga barang yang musnah. Menurut Pasal 1460 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1237



KUHPerdata yang menentukan “sejak terjadinya perjanjian barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur, jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan tersebut, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut. Oleh karena Pasal 1460 KUHPerdata merupakan lex spesialis, ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata sebagai lex generalis, dengan sendirinya terhapus. Menurut Pasal 1460 KUHPerdata itu sendiri belum dapat memberi jawaban atas semua keadaan. Terutama atas persoalaan jika barang menjadi objek jual-beli tadi benar-benar tidak dapat diserahkan, bukan karena barangnya musnah. d. Resiko Sewa Menyewa Apabila barang yang disewa musnah dalam jangkan waktu masa perjanjian sewa masih berlangsung, bisa menimbulkan persoalan berupa musnahnya seluruh barang yang dapat ditafsirkan dalam kondisi apabila pemakaian barang yang disewa telah hilang, sekalipun secara material masih berwujud, sudah dapat dianggap seluruhnya musnah, apabila barang itu musnah absolut tak terpakai lagi secara normal. e. Resiko Pinjam Pakai Pada prinsipnya si peminjam barang tidak mempunyai resiko atas lenyapnya barang yang dipinjam kecuali resiko yang ditentukan dalam Pasal 1744 ayat (3) KUHPerdata, yakni jika si peminjam bertanggung jawab mengganti kerugian atas musnahnya barang, walaupun kerugian dan kemusnahan itu akibat overmacht apabila: a. Dia mempergunakan pemakaian barang diluar ketentuan yang dimaksud pemakaian yang diperjanjikan



b. Apabila ia memakai brang secara berlebih-lebih atau lebih lama dari semestinya. Masa pemakaian sudah berakhir, tapi dia tidak segera mengembalikan barang, maka dalam hal ini bila barang musnah sekalipun karena overmacht dia harus menanggung resiko untuk mengganti kerugian. f. Resiko Tukar Menukar Peraturan resiko dalam perjanjian tukar menukar seperti yang diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata merupakan ketentuan yang tepat untuk suatu perjanjian yang timbal balik, karena dalam perjanjian yang demikian itu seorang menjanjikan prestasi demi untuk mendapatkan kontraprestasi. Maka peraturan tentang resiko dalam perjanjian tukar menukar ini sebaiknya dipakai sebagai pedoman dalam perjanjian timbal balik lainnya, yang timbul dalam praktek (kebiasaan) dan karenanya tidak ada peraturan yang tertulis.



BAB III Penutup A. Kesimpulan Wanprestasi merupakan salah satu resiko dari sebuah perjanjian, akhir-akhir ini banyak terjadi wanprestasi dengan alasan keadaan memaksa (force majeur/overmacht), hal tersebut dikarenakan ada suatu aturan yang mengatur tentang keadaan memaksa (force majeur/overmacht). Melihat hal tersebut perlu kiranya ada pengkajian ulang atau langkah untuk menganalisa kembali tentang aturan keadaan memaksa (force majeur/overmacht), mengingat sering dijadikan alasan untuk berlaku wanprestasi. Alasan keadaan memaksa juga bukan hanya dilakukan di kalangan perusahaan, juga sering terjadi dalam perjanjian lisan antar teman atau saudara, ketika berhutang selalu beralasan pailit dan selalu mengingkari janjinya dari apa yang sudah diperjanjikan. Apalagi dalam kalangan pebisnis yang notabene orang yang paham akan Undang– Undang atau hukum pasti akan mencari celah untuk melakukan wanprestasi apalagi ketentuan tersebut ada celahnya yaitu aturan keadaan memaksa (force majeur/overmacht). Terdapat beberapa teori yang mendasari overmacht, diantaranya ada teori ketidakmungkinan dan teori penghapusan atau peniadaan kesalahan. Resiko adalah kewajiban untuk menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat dari suatu peristiwa atau kejadian di luar kesalahan para pihak yang menimpa objek perjanjian. Ketentuan mengenai resiko perjanjian salah satunya terdapat pada Pasal 1237 KUHPerdata. Resiko perjanjian terdiri dari beberapa macam yaitu resiko pada perjanjian sepihak, resiko pada perjanjian timbal-balik, resiko pada perjanjian, resiko pada perjanjian jual beli, resiko pada perjanjian sewa menyewa, resiko pada perjanjian pinjam pakai, dan resiko pada perjanjian tukar menukar.



B. Saran Alangkah baiknya agar para pembaca untuk mawas diri dengan memahami terlebih dahulu mengenai ketentuan-ketentuan perjanjian agar terhindar dari perbuatan wanprestasi yang merugikan orang lain maupun dampak negatif dari resiko perjanjian yang merugikan diri sendiri seperti yang sudah dijelaskan di atas.



DAFTAR PUSTAKA Prodjodikoro, R. Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Bale Bandung. Hamzah, Achmad R. 2011. Wanprestasi. Diakses pada 5 Juli 2021, dari http://achmadrhamzah.blogspot.com/2011/01/wanprestasi.html Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: P.T. Alumni. Setiawan, R. 1987. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung: Binacipta. Subekti. 2004. Hukum Perjanjian. Jakarta: P.T. Intermasa.