Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PELAYANAN SOSIAL Kesejahteraan sosial adalah suatu fungsi terorganisasi yang dipandang sebagai suatu kumpulan kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan perorangan-perorangan, keluarga-keluarga, kelompokkelompok dan masyarakat agar dapat mengatasi masalah-masalah sosial yang berubah-ubah. Kesejahteraan sosial juga memiliki fungsi lain yang lebih luas, yaitu berkaitan dengan pembangunan sosial Negara. Didalam pengertian yang lebih luas tersebut, kesejateraan sosial berperanan dalam hal ikut memberikan sumbangan pada peningkatan keefektifan mobilisasi dan konsolidasi sumber-sumber materil dan manusiawi dari Negara agar dapat memenuhi persyaratan-persyaratan sosial dari perubahan dengan sukses dan oleh karenanya ikut berperanan dalam pembangunan bangsa. Kesejahteraan sosial merupakan suatu bentuk kelembagaan sosial yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menyediakan sumber-sumber dengan tujuan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Kesejahteraan sosial sebagai suatu institusi (kelembagaan) diwujudkan dalam bentuk undang-undang/hukum, kebijakan, pelayanan-pelayanan, badan-badan sosial, sukarelawan-sukarelawan, sejumlah profesi serta sejumlah kelompok jabatan dalam rangka membantu orang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ciri-ciri pelayanan kesejahteraan pemenuhan kebutuhan orang :



sosial



sebagai



sumber-sumber



1. Disampaikan atau ditawarkan secara langsung kepada klien dari badan sosial penyelenggara untuk dapat segera digunakan. Tidak hanya pelayanan-pelayanan langsung seperti uang atau konseling tetapi termasuk juga penggunaan organisasi badan sosial sebagai suatu lingkungan yang bersifat penyembuhan, dan pemberian penjelasan tentang apa saja yang bisa diperoleh dari badan sosial dan keterbatasannya, serta struktur, kebijakan dan prosedur-prosedur yang berlaku di badan sosial tersebut.



1



2. Dikenali dan dipahami, sehingga menimbulkan perhatian orang, kekhususannya, dan ketersediaannya, termasuk juga persyaratanpersyaratan elijibilitasnya dan prosedur penggunaannya. 3. Apabila pelayanan tertentu belum tersedia, hendaknya diselenggarakan, dibentuk, dikembangkan berdasarkan persetujuan, dukungan dan sesuai dengan harapan/kebutuhan masyarakat. 4. Berdayaguna secara sedemikian rupa sehingga berlokasi di dekat dan yang mendorong orang-orang (yang membutuhkan dan berhak untuk memperoleh program-program dan pelayanan-pelayanan) untuk memanfaatkannya. Oleh karenanya perlu dilakukan kampanyekampanye kepada masyarakat luas dan melakukan tindakan untuk menjangkau orang-orang yang sulit dijangkau dalam rangka penemuan kasus serta penentuan klien. 5. Menyediakan pelayanan rujukan sehingga klien memperoleh sumbersumber dari tempat atau badan sosial lainnya. 6. Terkoordinasi dalam pemberian pelayanan. Hal ini berarti adanya keteraturan dan keserasian pemberian pelayanan tertentu dalam hal waktunya dan urutan-urutan kegiatannya. 7. Diadministrasi dan dikelola (managemen) sedemikian rupa sehingga pemberian dan penggunaan pelayanannya bersifat layak, resmi secara hukum dan efisien. 8. Dilakukan sedemikian rupa sehingga terkandung didalamnya mengajarkan keterampilan kepada klien tentang bagaimana cara memanfaatkan pelayanan. Termasuk juga mengajarkan keterampilan tentang bagaimana cara membuat lamaran dan memperoleh pelayanan. Prinsip-prinsip yang melandasi pelayanan kesejahteraan sosial : 1. Setiap orang yang mebutuhkan pelayanan harus diperlakukan secara adil dan sama dalam memperoleh pelayanan sosial secara memadai.



2



2. Keefektifan pencapaian tujuan pelayanan harus berdasarkan analisis dan penelitian lebih dari sekedar berdasarkan kepercayaan dan keyakinan. 3. Tujuan-tujuan dan tugas-tugas pemberian pertolongan harus nyata, tertentu, terbatas dan sifatnya cenderung jangka pendek agar berkemungkinan memperoleh hasil yang baik. 4. Badan-badan sosial dan sistem kesejahteran sosial harus memiliki/berdasarkan pada kepemimpinan yang efektif dan dikelola (managemen) secara bertanggung jawab. 5. Peningkatan sistem kesejahteraan sosial dan ketanggapan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang dengan segera hanya dapat diwujudkan apabila terdapat keseimbangan yang optimal diantara pelayanan kasus dan pelayanan kebijakan. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan diantara : a. Pelayanan “keras”, seperti bantuan keuangan dan pelayanan “lunak”, seperti pelayanan konseling. b. Pelayanan langsung dan pelayanan aksi sosial yang bersifat pembelaan. c. Terintegrasinya jaringan pelayanan sosial dan kebijakankebijakan serta program-program yang komprehensif serta terkoordinasi. d. Hasil akhir dari pelayanan kesejahteraan sosial haruslah sesuai dengan kebutuhan, disampaikan secara kompeten dan diterima oleh orang yang membutuhkan pada waktu yang tepat. Tugas-tugas pekerja sosial dalam rangka mengembangkan pelayanan kesejahteraan sosial : 1. Memelihara dan meningkatkan keefektifan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga/badan-badan sosial dan pemberian pelayanan kepada klien secara memadai dan segera. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara :



3



a. Membuat rencana secara cermat dan mengembangkan programprogram yang bersifat tanggap terhadap keadaan dan perkembangan masyarakat; b. Administrasi, supervisi dan kinerja staf yang efisien dan bertanggung jawab; c. Kesepakatan dan kolaborasi antar satuan kerja didalam organisasi; d. Penyesuaian secara fleksibel terhadap perubahan; e. Memperhatikan dengan sungguh-sungguh pola tanggung jawab dan keahlian dengan selalu melakukan penelitian dan monitoring. 2. Meningkatkan sistem pemberian pelayanan kesejahteraan sosial dengan cara memperbaiki struktur-struktur kerjasama antar organisasi dari berbagai badan sosial dan pelaksanaan program-programnya yang tidak memadai, kuno, ritualistik, tidak praktis, bersaing, tumpang-tindih atau tidak terkoordinasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara : a. Penciptaan pola-pola baru koordinasi antar badan sosial; b. Pembagian kerja dan pertukaran sumber-sumber antar badan sosial; c. Memelihara standar-standar professional, etis dan tehnis dari program-program pelayanan didalam masing-masing badan sosial dan dalam kaitannya dengan jaringan pelayanan kesejahteraan sosial. 3. Pengaturan kembali (redistribute) pelayanan-pelayanan kepada orang-orang yang paling membutuhkan. Hal ini dilakukan dengan cara, menghindarkan orang yang paling membutuhkan memperoleh sedikit sedangkan kelompok orang menengah memperoleh lebih banyak dari orang miskin. 4. Mendorong lembaga-lembaga kesejahteraan sosial formal memberikan dukungan kepada sistem tolong menolong alamiah yang terdapat di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyediakan dana dan sumber-sumber lain bagi kelompok-kelompok swadaya serta berupaya secara terus menerus untuk memperkuat perasaan dan keterikatan yang kuat yang ada di dalam kelompok4



kelompok tersebut “sesuatu yang secara bersama dianggap baik”, juga memperkuat volunterisme dan nilai-nilai altruistik. 5. Merencanakan dan menciptakan program-program sosial baru yang berbentuk sarana sosial (social utilities) yang dibutuhkan seperti panti penitipan anak, panti jompo, panti asuhan dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyelenggarakan kampanye-kampanye pendidikan masyarakat dan terhadap kelompok masyarakat yang membutuhkan dan proyek-proyek demonstrasi dalam rangka membantu terciptanya program-program baru tersebut termasuk memperoleh dukungan dananya. 6. Mengubah dan membantu menyusun kebijakan kesejahteraan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara : a. Menciptakan kebijakan-kebijakan, standar-standar dan peraturanperaturan baru bagi lembaga/badan sosial atau sistem pelayanan; b. Mengumpulkan data tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak terpenuhi atau akibat-akibat negatif dari kebijakankebijakan tertentu; c. Mengambil isyu-isyu yang ada di masyarakat agar menjadi perhatian masyarakat dan mendorong munculnya tindakan masyarakat; d. Mengorganisasi dan berpartisipasi di dalam kelompok-kelompok serta koalisi-koalisi penduduk dan professional yang terbentuk untuk mengadakan perubahan perundang-undangan; e. Berpartisipasi di dalam proses-proses politik yang ada dimasyarakat dan memberikan kesaksian dihadapan lembagalembaga legislatif dalam kaitannya dengan pembuatan undangundang yang diusulkan.



5



MANAJEMEN PELAYANAN SOSIAL SECARA EFEKTIF DALAM ORGANISASI SOSIAL Keefektifitasan dalam hal pelayanan sosial ternyata memiliki tiga aspek kerja yang dapat kita ketahui, yaitu keberhasilan organisasi untuk menghasilkan perubahan pada sasaran pelayanan (klien), apakah perorangan, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat atau lingkungan. Contoh dari hal ini adalah perorangan dan keluarga memerlukan perubahan perilaku, pengetahuan, sikap, tingkat keterampilan, perubahan status sosial atau perubahan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Contoh lain adalah organisasi sosial memerlukan perubahan dalam hal perencanaan atau koordinasi, agar dapat mengembangkan pelayananpelayanan sosial baru atau menata kembali menyediakan sumber-sumber lagi sasaran pelayanan atau bagi program baru. Hal lain yang dapat kita lihat adalah kualitas pelayanan atau seberapa kompeten (berkemampuan tinggi) organisasi melaksanakan metode-metode dan teknik-teknik yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pelayanan. Kualitas pelayanan dapat diukur berdasarkan standar yang dibuat oleh organisasi atau dari literatur profesional atau dari lembaga-lembaga yang bertugas mengatur. Contoh dari kualitas pelayanan adalah tepat waktu, taat azas, dapat diakses, manusiawi, dan kelayakan teknis pelayanan. Dan yang terakhir kepuasan klien (sasaran pelayanan), yaitu berkaitan dengan penilaian klien tentang kualitas dan pengaruh pelayanan. Kepuasan klien dapat juga diperoleh dari data tentang tingkat kehadiran klien, pemutusan hubungan yang terlalu awal, permintaan klien untuk memperoleh lagi pelayanan, dan rujukan dari klien-klien sebelumnya. Setelah mengetahui tiga aspek untuk mengetahui keefektifitasan pelayanan sosial, terdapat juga aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur indikator kinerja organisasi/lembaga pelayanan sosial seperti keluaran, yaitu kuantitas pelayanan yang diberikan dan apakah pelayanan diberikan kepada klien yang tepat. Kemudian produktivitas, yaitu penggunaan sumber-sumber secara efisien untuk memberikan pelayanan. Lalu perolehan sumber-sumber, yaitu keberhasilan organisasi sosial 6



mendapatkan sumber-sumber dari lingkungannya, dan kemampuan untuk menjaga agar penurunan anggaran sekecil mungkin. Pengelolaan organisasi sosial yang berorientasi pada efektifitas terkait juga dengan bagaimana meningkatkan kinerja dari aspek keluaran, efesisiensi dan perolehan sumber-sumber agar dapat meningkatkan efektifitas pelayanan. Unsur-Unsur Pengelolaan Berorientasi Efektifitas Ada beberapa dimensi-dimensi (segi-segi) pengelolaan pelayanan sosial secara efektif, yang pertama Penanaman Nilai-Nilai Pengalaman menunjukkan bahwa misi badan sosial dan keefektifitasannya berhubungan erat dengan peranan kritis dari seorang manajer dalam menanamkan nilai-nilai dan membentuk karakter organisasi sosial tersebut. Para pakar menyatakan bahwa organisasi sosial tidak hanya membutuhkan, tujuan yang jelas, peranan-peranan yang terstruktur, pegawai yang kompeten, dan sumber-sumber yang memadai untuk melaksanakan kegiatan dengan baik, tetapi yang lebih penting adalah organisasi membutuhkan nilai-nilai, simbol-simbol atau lambanglambang dan kepercayaan-kepercayaan yang memberikan suatu makna sosial pada proses-proses dan hasil-hasil yang dicapai organisasi, juga dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan. Nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan simbol-simbol dianggap sebagai sumber yang sangat penting untuk memberi arah, semangat dan kepuasan bagi anggota-anggota organisasi dan juga sebagai alat atau sarana yang sangat penting untuk membangun dukungan dan kepercayaan dari lingkungan (pihak-pihak yang terlibat) luar. Penanaman nilai-nilai merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan merupakan pencerminan fungsi manajer sehari-hari, terutama dalam rangka mengatur penggunaan sumber-sumber, memberikan penghargaan kepada karyawan dan pemberian pelayanan/pemecahan masalah klien. Penanaman nilai-nilai tercermin dari bagaimana pimpinan organisasi sosial mengemudikan organisasi sosial di dalam masyarakat dan bertindak secara taat asas sesuai dengan 7



nilai-nilai organisasi sosial. Penanaman nilai-nilai tidak dilakukan secara sepihak oleh pimpinan organisasi sosial. Manajer berinteraksi dengan kelompok orang-orang didalam organisasinya serta dengan orang-orang diluar organisasi sosial, berupaya untuk memahami nilai-nilai dan minatminat mereka dan sejauh mungkin mengupayakan tercapainya kesepakatan. Makna terpenting dari interaksi ini adalah memelihara komitmen yang kuat dan teguh pada nilai-nilai inti bahkan lebih jauh lagi menguji keteguhan dan kekuatan komitmen tersebut apabila menghadapi penentangan dan ketidakenakan. Administrasi organisasi sosial yang berorientasi pada efektifitas menuntut manajer untuk mengkaitkan kualitas pelayanan dan kemanfaatannya kepada klien dengan tujuan organisasi sosial yang luas, maksudnya adalah harus dapat menunjukkan keefektifan dari pencapaian tujuan-tujuan khusus secara terperinci. Pelayanan yang efektif berkaitan dengan tercapainya ketersediaan alternatif yang seluas mungkin bagi klien, terpeliharanya keutuhan keluarga, terlindunginya hak-hak perempuan dalam hubungan suami isteri, dan terjaminnya hak-hak anak secara stabil dalam hubungan keluarga yang berjangka panjang. Poin kedua, dalam dimensi pengelola pelayanan adalah Pemilihan Teknologi Pelayanan. Teknologi merupakan seluruh proses transformasi (pengubahan) yang terjadi dalam organisasi, meliputi : peralatan yang digunakan, pendidikan dan keahlian karyawan serta prosedur kerja yang digunakan dalam seluruh kegiatan. Teknologi pelayanan mencakup kegiatan-kegiatan khusus staf, penggunaan sumber-sumber untuk menyediakan pelayananan, administrasi kegiatan-kegiatan yang terencana untuk menangani klien, teknik-teknik memecahkan masalah dan kegiatan-kegiatan organisasi lainnya. Organisasi memerlukan teknologi pelayanan yang diterapkan pada klien untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Program-program tertentu, misalnya lembaga konsultasi keluarga, memerlukan sejumlah pelayanan dengan menggunakan banyak teknik pemecahan masalah. Teknologi pelayanan yang diperlukan tergantung dari tujuan badan sosial, pegawai yang ada dan karakteristik klien yang dilayani. Peranan administrator atau manajer, terutama yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program, adalah memahami hasil-hasil penelitian tentang berbagai teknologi pelayanan 8



yang efektif untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih strategi program yang layak. Manajer wajib menugaskan stafnya untuk menilai dan mengkaji bukti-bukti tentang keberhasilan berbagai teknologi pelayanan sebelum digunakan dalam pemberian layanan. Manajer perlu meningkatkan strategi untuk memperoleh informasi dan melakukan berbagai uji coba dilingkungan badan sosialnya serta mendukung dan memberikan penghargaan kepada pekerja yang mengkaji secara sistematis praktek-praktek pelayanan yang mereka laksanakan. Badan sosial juga perlu menyediakan anggaran atau memberikan waktu kepada pekerja untuk mengikuti pelatihan, konferensi atau seminar, loka karya, bimbingan teknis untuk memperoleh teknologi pelayanan yang lebih efektif. Sedangkan ketiga, yaitu memerinci dan mengukur kriteria keefektifan. Efektifitas pelayanan bukanlah suatu gejala yang mudah diseragamkan serta unsur-unsurnya tidaklah mudah dikenali. Dimensi utama dari efektifitas, seperti telah diuraikan sebelumnya, adalah kemampuan organisasi sosial untuk mengubah sikap-sikap, persepsi diri, perilaku, status atau kondisi sosial yang tidak diinginkan, persoalannya adalah bagaimana menilai atau memprioritaskan berbagai ukuran tentang keluaran ini. Yang mana yang paling penting? Menetapkan kriteria keefektifitasan terdapat 2 faktor utama didalammya, apakah menitikberatkan pada keluaran (out put) ataukah proses dan apakah berkaitan dengan nilai-nilai klien (perubahan-perubahan atau kepuasan klien), nilai-nilai pegawai/organisasi (kinerja pegawai/organisasi) ataukah nilai-nilai lembaga donor (kriteria/persyaratan dari penyandang dana). Dalam hal ini manajer juga perlu mengupayakan kesepakatan antar berbagai unsur yang terikat yaitu konsumen pelayanan (klien), organisasi pemberi palayanan dan lembaga penyandang dana. Upayaupaya untuk menetapkan ukuran keefektifan akan lebih berhasil apabila telah dimiliki sejumlah teknik atau pedoman pengukuran yang telah teruji dan terpecaya. Teknik atau pedoman pengukuran tersebut misalnya pedoman tentang perilaku anak jalanan, pedoman tentang kriteria keluarga sejahtera, pedoman tentang kriteria lingkungan pemukiman yang sehat, standarisasi panti sosial dan sebagainya. Setiap organisasi 9



sosial diharapkan dapat menetapkan pengukuran keberhasilan yang sesuai dengan tujuan-tujuan organisasinya. Pada poin keempat adalah menerapkan standar dimana kemampuan untuk mengukur keberhasilan pelayanan sangat dibutuhkan bagi administrasi yang berorientasi pada keefektifan, namun itu saja belumlah cukup. Hal lain yang sangat diperlukan adalah data tentang kinerja/keberhasilan, dapat dibandingkan dengan beberapa standar (patokan) atau harapan-harapan tentang tingkat pencapaian yang diinginkan. Apabila hal ini tidak dilakukan tidak akan banyak manfaatnya bagi pembuatan keputusan manajer. Sebagai gambaran, misalnya bagaimana manajer mengetahui apakah sekumpulan data kinerja dari suatu program berada dibawah atau diatas harapan ; contoh lainnya, dalam suatu program penanggulangan anak terlantar, bagaimana manajer mengetahui apabila dikatakan, bahwa 60% dapat diatasi, apakah pencapaian ini terlalu banyak ataukah terlalu sedikit ? Penentuan standar diperlukan untuk menilai pencapaian yang telah dikerjakan oleh organisasi sosial. Organisasi sosial dapat mengetahui apa yang sudah dicapai, apa yang seharusnya dicapai dan mengetahui bidang-bidang atau segi-segi apa saja yang perlu ditingkatkan. Penentuan standar kinerja pada umumnya dilakukan dengan beberapa cara, seperti ditetapkan oleh lembaga donor atau lembaga yang memberikan kontrak kerja, ditetapkan secara intuitif yaitu berdasarkan perasaan atau perkiraaan, berdasarkan pada analisis perkembangan tingkat kinerja sebelumnya, dengan membandingkan data dari berbagai organisasi sosial yang memberikan pelayanan yang sama dan klien yang sama, berdasarkan pada norma-norma yang diperoleh melalui penelitian lapangan. Dan standar yang telah ditetapkan oleh organisasi memerlukan penyempurnaan terus menerus sesuai dengan pengalaman dan perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk unsur yang kelima, penentuan Pola Manajemen dan pengaturan organisasi. Penentuan Pola Manajemen dan pengaturan organisasi berkaitan langsung dengan keefektifan pemberian pelayanan karena berpengaruh pada kinerja pekerjaan. Pola Manajemen dan pengaturan organisasi disamping yang bersifat umum, perlu juga 10



ditetapkan yang bersifat khusus sesuai dengan kondisi kerja dan jenis pelayanan yang diberikan.



tugas. Kegiatan pimpinan yang berkaitan dengan tugas-tugas penting artinya untuk mendukung dan meningkatkan kinerja pekerja.



Unsur-unsur manajemen dan organisasi yang perlu diperhatikan adalah penyediaan sistem informasi khususnya berkaitan dengan umpan balik hasil-hasil pelayanan, dimana informasi yang dimaksud mengenai hasil-hasil (keluaran) pelayanan perlu disediakan tepat waktu, mudah dipahami dan terperinci sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Informasi tersebut harus dapat digunakan oleh pekerja untuk melihat hubungan antara tindakannya dengan hasilnya terhadap klien.



Kegiatan pimpinan dalam melakukan supervisi yang paling berpengaruh pada kinerja pegawai diantaranya memerinci pencapaian kinerja (perfomance outcomes) yang diinginkan, menjelaskan tugastugas dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, memberikan umpan balik secara terperinci kepada pekerja tentang pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik dan belum baik, menjelaskan dan memberikan penghargaan pada hasil kerja yang baik serta menjelaskan kemampuan kerja yang perlu ditingkatkan, dan memberikan penghargaan kepada pekerja yang meningkatkan kemampuan kerja mereka untuk mencapai tujuan pelayanan.



Informasi tentang hasil-hasil pelayanan tidak hanya bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pengembangan profesionalitas pekerja tapi juga bagi manajer untuk kegiatan penilaian dan penataan. Kegiatan melakukan umpan balik terhadap hasil-hasil pelayanan secara terus menerus juga dapat memperkuat komitmen organisasi untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan klien. Lebih lanjut, informasi yang tersedia tersebut dapat menjelaskan kepada pekerja tentang perubahan yang telah terjadi pada klien dan pada gilirannya dapat memberikan pengaruh yang besar pada kinerja pekerja serta mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan pelayanan. Selain unsur-unsur manajemen dan organisasi yang harus diperhatikan, dalam poin ini juga diperlukan pelaksanaan supervisi (pembimbingan kepada pekerja). Supervisi yang dimaksud merupakan fungsi kepemimipinan yang berpengaruh besar pada kinerja pekerja. Kegiatan-kegiatan pokok manajer atau pemimpin dalam supervisi meliputi 2 faktor, yaitu berkaitan dengan pemberian perhatian yang meliputi menciptakan hubungan sosial, memberikan dukungan, menunjukkan simpati, dan memperlakukan pekerja secara perorangan, dan faktor selanjutnya adalah berkaitan dengan tugas-tugas yang meliputi mengembangkan struktur pekerjaan, merumuskan tujuan, menguraikan tugas-tugas, monitoring dan evaluasi kinerja serta memberikan umpan balik tentang tugas-tugas secara terperinci. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata pimpinan organisasi sosial lebih mengutamakan kegiatan yang berkaitan dengan pemberian perhatian dibandingkan dengan kegiatan yang berkaitan dengan tugas11



Walaupun keefektifan pelayanan memerlukan keaktifan pimpinan organisasi dan supervisor, namun manajer perlu meningkatkan peran aktif pekerja dalam pembuatan putusan dan memberikan kelonggaran/keleluasaan bagi pekerja untuk bertindak secara kreatif. Para pekerja disatu segi wajib mengikuti sistem, mekanisme dan prosedur kerja yang telah ditetapkan oleh organisasi sosial, namun para pekerja diberi kesempatan untuk berperan menentukan rencana, strategi dan aturan-aturan dalam melaksanakan kegiatan apabila dibutuhkan oleh kondisi dilingkungan kerjanya. Poin terakhir dalam unsur-unsur pengelolaan berorientasi efektifitas atau poin keenam, memperoleh dukungan lingkungan untuk keefektifan program. Dalam poin ini organisasi sosial dapat menggali dukungan penyediaan sumber-sumber di lingkungannya untuk mencapai keefektifan pelayanan. Paling sedikit ada enam jenis sumber-sumber yang diperlukan oleh organisasi sosial, yaitu uang dan pinjaman (kredit) untuk membiayai pelayanan dan berbagai kegiatan organisasi. Kemudian pekerja seperti administrator, pekerja sosial, konselor, staf teknis dan staf pendukung lainnya. Klien yang kebutuhan dan minatnya perlu dilayani oleh organisasi. Pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan bagi keberhasilan pelaksanaan pelayanan. Selanjutnya pelayanan pelengkap dari organisasi sosial lain untuk menjamin keefektifan pelayanan oleh organisasi. Dan dukungan sosial dan pengesahan (legitimasi) dari 12



lingkungan untuk organisasi. Pengesahan yang diperlukan bisa saja berbentuk Undang-Undang atau Peraturan. Dukungan sosial, misalnya dari calon klien, organisasi kemasyarakatan, lembaga pemerintah atau organisasi sosial lainnya. Upaya ini juga untuk memperoleh dan mengelola sumber-sumber ini memerlukan sejumlah kegiatan dengan unsur-unsur (lembagalembaga) di lingkungan yang menguasai/mengendalikan sumber-sumber tersebut. Pimpinan organisasi sosial tidak jarang merasa pesimis untuk memperoleh sumber-sumber karena beranggapan, bahwa penyediaan sumber-sumber yang memiliki kekuasaan besar seperti legislatif, pembuat kebijakan dan lembaga-lembaga donor cenderung terlalu menekankan pada ukuran-ukuran kinerja seperti tingkat hasil kerja dan efisiensi ketika melakukan evaluasi pada organisasi sosial. Suatu organisasi sosial dapat memperoleh sumber-sumber apabila dinilai baik berdasarkan kriteria penilaian yang digunakan oleh lembaga-lembaga pengendali sumber-sumber tersebut. Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pendapat para pakar terdapat beberapa strategi untuk memaksimalkan otonomi organisasi sosial dan mempengaruhi penyedia atau pengendali sumber-sumber, seperti menunjukkan kepada lembaga-lembaga tersebut bahwa organisasi sosial atau program-programnya dapat efektif dengan caranya sendiri.



Kemudian strategi organisasi sosial berperan aktif dalam perumusan kebijakan, harapan dan kriteria-kriteria evaluasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengendali dana. Organisasi-organisasi sosial perlu melakukan lobi, membantu kampanye yang dilakukan oleh DPR, mengikuti Rapat Dengar Pendapat ketika sedang dilakukan pembicaraan tentang perubahan-perubahan peraturan yang kesemuanya ini merupakan jalan bagi pimpinan organisasi sosial untuk mempengaruhi penentuan prioritas kebijakan. Taktik lain yang perlu dilakukan pimpinan organisasi sosial adalah memasukkan penentu kebijakan di lembaga-lembaga penyandang dana dalam berbagai kegiatan organisasi sosial seperti dalam kepengurusan, kepanitiaan, dan loka karya yang dilakukan organisasi sosial agar memahami dan membuktikan sendiri keefektifan pelayanan yang dikerjakan. Pada akhirnya, keefektifan pelayanan dari suatu organisasi sosial merupakan indikasi utama bagi keberhasilan manajemen pelayanan sosial.



Suatu organisasi sosial harus dapat menunjukkan keberhasilankeberhasilannya selama melayani klien dalam beberapa periode waktu. Penjelasan tentang keberhasilan ini dapat mengubah prioritas dan kriteria penilaian dari pembuat kebijakan dan lembaga penyandang dana. Strategi lain adalah mengurangi ketergantungan dari organisasi sosial dengan melakukan difersifikasi (penganekaragaman) sumbersumber pendukung. Strategi ini dapat meningkatkan kemampuan organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan pelayanan sesuai dengan tujuan yang telah dibuat agar terhindar dari kemungkinan mengalami hambatan keuangan. Strategi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pemotongan atau penghentian bantuan dari penyandang dana.



13



14



HAKEKAT ORGANISASI PELAYANAN SOSIAL Organisasi Pelayanan Sosial (Human Services Organization/HSO) pada dasarnya merupakan wujud dari kepedulian masyarakat, kewajiban masyarakat pada kesejahteraan dan kemakmuran warga Negara serta keyakinan dan ketanggapan pada kebutuhankebutuhan manusia. Sifat-sifat yang melekat dalam Human Services Organization/HSO: 1. Orang sebagai “Bahan Mentah (Raw Material)”. Semua organisasi membutuhkan bahan mentah sebagai masukan untuk menghasilkan hasil kegiatan pokok Human Services Organization/HSO adalah memproses, memelihara atau mengubah orang yang menjadi kewenangannya atau proses transformasi. a. Klien dapat memberikan reaksi dan mempengaruhi pekerjaan; b. Klien dapat berpartisipasi dalam pekerjaan itu sendiri, yaitu dapat menjadi pekerja.



3. Pelayanan Sosial sebagai Pekerjaan Gender. Berdasarkan sejarah, perawatan orang yang dipercayakan kepada perempuan, dan birokratisasi perawatan orang mengakibatkan lazimnya pekerja pelayanan sosial adalah perempuan. Ideologi patrialhat “memandang perempuan sebagai perawat dan pria sebagai penyedia dalam sistem upah di keluarga merupakan pembenaran bagi perempuan dalam kesejahteraan sosial”. Perempuan kebanyakan dalam posisi pelayanan langsung pada badan sosial, sedangkan pria cenderung menempati posisi administratif dan pemegang kekuasaan. Perempuan kebanyakan menempati posisi terbatas atau tanpa otonomi.



2. Pelayanan Sosial merupakan Pekerjaan Moral. Setiap kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan klien tidak hanya berbentuk pelayanan nyata seperti administrasi, memberikan bantuan atau konseling keluarga, tetapi juga berbentuk penilaian moral, dan martabat sosialnya. Ketika kita bekerja dengan orang, kita sendiri memiliki dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tindakan kita tidak bisa bebas nilai.



Perempuan sebagai pekerja digaris depan mengakibatkan implikasi yang sangat besar terhadap Human Services Organization/HSO. Kenyataan ini mengakibatkan terjadinya konflik diantara nilai-nilai yang ada di dalam diri perempuan yang di bawanya ke lingkungan kerjanya dari norma-norma birokrasi. Perempuan menjunjung tinggi nilai-nilai kepedulian, empati, pengasuhan dan kerjasama, sedangkan pria yang mendominasi birokrasi menghargai kompetisi, individualisme dan instrumentalisme serta merendahkan ciri-ciri feminis. Akibatnya, perempuan dianggap sebagai bawahan dan memiliki peranan yang tergantung dalam birokrasi. Sejalan dengan pemikiran ini, struktur organisasi pelayanan sosial tidak hanya menghambat kemampuan perempuan untuk mengoptimalkan nilai-nilai kepedulian, tetapi juga gagal untuk memberikan penghargaan yang memadai kepada mereka.



Faktor-faktor yang mempengaruhi ketanggapan pekerja terhadap klien adalah: a. Persepsi tentang martabat sosial, misalnya anak-anak lebih penting daripada orang tua; b. Asumsi tentang siapa klien yang berhak mendapat pelayanan, misalnya pemabuk kurang berhak; c. Pertimbangan tentang tuntutan yang syah terhadap peranan yang mereka lakukan; d. Konsepsi moral tentang kebutuhan klien.



Tugas merawat orang, pada dasarnya merupakan kegiatan yang tidak bersifat rutin, memerlukan ikatan pribadi dan sifat-sifat pemerhatian diantara pekerja dengan klien. Perawatan yang terbaik dilakukan di kelompok primer seperti keluarga, pertemanan dan ketetanggaan. Apabila fungsi perawatan didelegasikan (diserahkan) ke organisasi formal, dilakukan standarisasi dan rutinitas terhadap perawatan orang demi efisiensi dan efektifitas. Apabila pekerja memberikan pelayanannya bersifat individualisasi, hal itu berarti mengabaikan tugas-tugas yang terstandarisasi, mengabaikan



15



16



kepentingan kebanyakan orang untuk kepentingan sejumlah kecil orang, dan atau dapat mengerjakan dengan baik, diluar batas-batas pekerjaan yang sewajarnya sehari-hari. Pandangan yang mempersamakan perawatan yang bersifat individualisasi dengan pekerjaan “kewanitaan” dan perawatan yang rutin dengan pekerjaan “kejantanan” tidaklah sesederhana itu. Orientasi feminisme (kewanitaan) terhadap pelayanan sosial (walaupun tidak berarti pandangan semua perempuan), yang terkandung di dalamnya nilai-nilai organisasi rasional, bentuk dan struktur pelayanan, pada umumnya tidak diterapkan pada pelayanan sosial. Nilai–nilai feminisme menitik beratkan pada egaliterianisme (kesamarataan) lebih daripada hirarkhis (bertingkat), kooperasi daripada kompetisi, perawatan/pengasuhan lebih daripada individualisme keras, damai lebih daripada konflik. Orientasi pelayanan feminis, memusatkan perhatian pada pemberdayaan klien, memberikan kepada klien perasaan berkekuatan dan kemampuan mengendalikan lingkungan hidupnya, memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang aspek-aspek politik dan sosial yang lebih luas dari keadaan kesulitan yang mereka alami dan mengembangkan keterampilan untuk menggunakan kekuatan baik secara perorangan maupun kolektif untuk merubah lingkungan kehidupan mereka. Menurut faham feminisme, struktur organisasi sebaiknya bersifat kolektif lebih daripada birokratis, demokrasi partisipatoris lebih daripada kewenangan dan pengendalian hirarkhis. 4. Pentingnya Lingkungan Kelembagaaan. Karena organisasi pelayanan sosial berkaitan dengan pekerjaan moral dan jender, organisasi ini menghadapi persoalan legitimasi (pengakuan yang sah) yang pelik. Human Services Organization/HSO harus selalu berupaya untuk memperoleh dukungan terhadap posisi moral mereka dengan mengacu/merujuk pada sistem moral yang telah melembaga di lingkungan mereka. Human Services Organization/HSO mengambil dan menjunjung tinggi sistem moral yang didukung oleh organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok 17



interes yang penting. Organisasi atau kelompok tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah, asosiasi professional, organisasiorganisasi pelayanan sosial lainnya, serta asosiasi politik dan kemasyarakatan lainnya. Jadi, organisasi pelayanan sosial merupakan stempel (pencerminan) dari “organisasi-organisasi yang terlembagakan” tadi. Oleh karenanya pertumbuhan dan kelanjutan Human Services Organization/HSO tidak begitu bergantung dari kecakapan teknis mereka, tetapi lebih bergantung pada simbol-simbol kultural dan sistem keyakinan yang dominan, yaitu peraturanperaturan kelembagaan. Sumber utama dari peraturan kelembagaan tersebut adalah Negara (pemerintah) dan profesi. Kepatuhan pada kebijakan dan peraturan pemerintah memberikan landasan hukum (legitimasi) untuk memperoleh dana dari pemerintah. Pada gilirannya, profesi memberikan persetujuan (sanksi) terhadap teknologi pelayanan yang digunakan oleh Human Services Organization/HSO. Lingkungan kelembagaan berada di dalam masyarakat yang pluralistik secara kultural serta bercorak heterogen dan selalu bergolak, disamping itu terdiri dari berbagai kelompok interes (kepentingan) yang beraneka ragam yang menganut norma-norma dan nilai-nilai yang tidak jarang saling bertentangan. Meskipun dibawah kendali pemerintah dan profesi, berbagai kelompok kepentingan tersebut membawa juga ideologi yang saling bersaing yang menghasilkan ketidakstabilan dan perubahan. Lebih lanjut, kekuatan-kekuatan sosial lainnya seperti semakin meningkatnya heterogenitas etnis, jumlah penduduk lanjut usia, masuknya perempuan kedalam angkatan kerja, dan pengenalan teknologi semuanya memunculkan tuntutan-tuntutan yang normatif (ingin diwujudkan) yang ikut menyumbang pada lingkungan kelembagaan yang bergejolak. Human Services Organization/HSO tidak hanya dipaksa untuk membuat pilihan-pilihan diantara sistem moral yang membuat pilihan-pilihan diantara sistem moral yang saling bersaing tetapi juga wajib menyesuaikan dengan sistem moral baru yang sedang menguat di masyarakat. Cara-cara pelayanan yang kemarin bisa jadi dengan 18



cepat tidak dapat diterima lagi pada hari ini. Bekerja didalam lingkungan kelembagaan yang bergejolak berarti Human Services Organization/HSO tidak bisa menjamin akan memperoleh legitimasi (pengarahan/pengakuan) dan oleh karenanya berada dalam keadaan rawan dihadapkan pada tantangan. Tantangan yang sering dihadapi berkaitan dengan ketidakpastian fiskal (kenangan). Menghadapi hal ini Human Services Organization/HSO harus selalu mengupayakan pembenaran terhadap anggaran mereka dan legitimasi terhadap organisasi mereka. Upaya yang dilakukan oleh Human Services Organization/HSO adalah bertindak sebagai “wiraswasta moral”, yaitu mempengaruhi pandangan publik dengan cara melakukan kategorisasi moral terhadap klien. Contoh dari hal ini adalah “orang tua dipandang sebagai bagian dari pemecahan masalah lebih dari pada masalahnya”. Orang tua dianggap penting dan bersama guru bersama-sama merumuskan dan melaksanakan pendidikan bagi anakanaknya (ilustrasi dari tugas pekerja sosial di sekolah). 5. Teknologi Pelayanan Sosial sebagai Pengundangan Ideologi-Ideologi Praktek. Bekerja dengan orang memasyarakatkan Human Services Organization/HSO untuk memilih teknologi yang disetujui dan diakui secara sosial. Teknologi ini harus sesuai dengan keyakinan kultural yang dominan tentang apa yang diinginkan dan diterima untuk dilakukan terhadap orang. Namun, kemampuan Human Services Organization/HSO untuk memilih teknologi pelayan terhambat oleh lingkungan teknologinya, yaitu sumber-sumber lingkungan teknologi yang memiliki kewenangan. Sumber-sumber kewenangan tersebut mencakup Human Services Organization/HSO lainnya, organisasiorganisasi penelitian dan akademik, badan-badan akreditasi dan sertifikasi dan asosiasi-asosiasi professional. Terdapat hubungan kesalingtergantungan yang kuat diantara teknologi dan lingkungan kelembagaan. Peraturan-peraturan kelembagaan dan berbagai badan yang mempunyai kewenangan menentukan dan membatasi teknologi yang dapat digunakan oleh organisasi pelayanan sosial, di sisi lain pengembangan dan inovasi 19



teknologi menuntut perubahan peraturan-peraturan kelembagaan. Perubahan (inovasi) teknologi perlu memperoleh legitimasi dari lingkungan kelembagaan. Upaya yang dilakukan dengan menunjukkan kemampuan memperkuat nilai-nilai dan norma-norma yang penting, yaitu dengan menunjukkan efektifitas dan efisiensi seperti yang ditetapkan oleh lingkungan kelembagaan dan dipraktekkan didalam lingkungan teknologi. Human Services Organization/HSO cenderung menggunakan teknologi yang didukung/disetujui oleh lingkungan teknologi. Persetujuan tersebut menunjukkan kemanfaatan teknologi tersebut dalam meningkatkan nilai-nilai sosial tertentu. Dalam pengertian inilah teknologi pelayanan sosial mencerminkan ideologi praktek, yaitu memperteguh (menguatkan) sistem keyakinan tertentu tentang apa yang “baik” bagi klien dan keberhasilannya diukur dari sudut keyakinan tersebut. Keyakinan-keyakinan ini memberikan landasan bagi pelaksanaan praktek. Kualitas teknologi pelayanan sebagian tergantung dari tingkat kesepakatan tentang kemanfaatannya. Kesepakatan tersebut tidak selalu terjadi, disebabkan oleh ketidakterbatasan teknologis, yaitu ketidaktentuan dan ketidakdapat diperkirakannya akibat-akibat teknologi. Faktor-faktor lain yang ikut menyumbang (berpengaruh) pada ketidakterbatasan teknologi, yaitu : pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengubah sifat-sifat manusia (bisa psikologis, ekonomis dan atau fisik) adalah tidak lengkap; sifat-sifat tersebut berinteraksi satu dengan lainnya yang tidak dapat diisolasi (dipisahkan) dan dikendalikan (dikontrol). Ketidakterbatasan teknologi memberikan peluang yang sangat besar kepada Human Services Organization/HSO untuk memilih dan mempraktekkan teknologi pelayanannya sendiri. Human Services Organization/HSO memiliki pengecualian-pengecualian yang sangat besar untuk membuat asumsi-asumsi tentang ciri-ciri klien mereka dan menetapkan pengetahuan-pengetahuan tentang bagaimana memberikan pelayanan. Ideologi praktek terbentuk oleh penetapan ciri-ciri klien, pengetahuan yang digunakan dan teknik-teknik pemberian pelayanan. Selanjutnya, teknologi pelayanan merupakan 20



pengundangan dari ideologi praktek Human Services Organization/HSO. Pengukuran efektifitas Human Services Organization/HSO, baik secara implisit maupun eksplisit juga didasarkan pada pilihan-pilihan moral yang ada didalam ideologi praktek. Apa yang dievaluasi mencakup tidak hanya ukuran-ukuran obyektif, misalnya penurunan tingkat kenakalan remaja, tetapi juga ukuran-ukuran subyektif yang memberi makna moral pada ukuranukuran tersebut. 6. Realitivitas Klien dan Proses (Trajektori) Pelayanan. Penyebab lain ketidaktentuan teknologi yang membedakan Human Services Organization/HSO berkaitan dengan kemampuan klien untuk memberikan reaksi dan berpartisipasi dalam teknologi pelayanan. Reaktifitas klien dan kapasitas potensial mereka untuk menetralisasi akibat-akibat dari teknologi pelayanan berarti bahwa organisasi tidak dapat menentukan proses dan hasil dari teknologi pelayanan. Kemampuan klien untuk menanggapi dan kebutuhan staf untuk memberikan reaksi terhadap tanggapan klien tersebut dan terhadap orang-orang terkait dengan klien lainnya, konsepnya disebut Trajektori pelayanan. Tercakup dalam konsep ini tanggapan staf (pekerja) terhadap klien, dan juga terhadap setiap orang yang bekerja dengan klien; reaksi-reaksi klien dan orang-orang terkait lainnya (sanak saudara/teman); dan tanggapan berikutnya dari staf (pekerja). Ada dua aspek yang saling terkait dari trajektori pelayanan yang perlu dibahas, yaitu : penanganan kemungkinan-kemungkinan dan kepatuhan klien. Kemungkinan-kemungkinan terjadi karena, apakah reaksi-reaksi klien dan tanggapan-tanggapan dari staf tidak sepenuhnya dapat dikontrol (dikendalikan). Hal ini terutama terjadi karena, apabila: (1) klien mengalami berbagai masalah atau kebutuhan; (2) orang-orang lain didalam jaringan sosial klien ikut terlibat; (3) beberapa pekerja menangani klien. Tujuan utama yang dilakukan staf adalah mengelola kemungkinan-kemungkinan agar dapat mengendalikan trajektori pelayanan, dan meminimalkan akibat-akibat yang tidak diantisipasi. 21



Mekanisme kunci untuk mengendalikan trajektori adalah Diagnosis, karena dapat memberikan kejelasan kepada staf tentang cara bertindak tertentu yang dilakukan. Diagnosis adalah proses mengumpulkan dan mengakses informasi tentang sifat-sifat/ciri-ciri klien agar dapat mengelompokkan sifat-sifat tersebut kedalam kategori pelayanan yang telah diketahui dan wajar, disamping itu membuang ciri-ciri yang dianggap tidak penting (tidak terkait). Diagnostik hanya mencari informasi bagi kategori professional yang tepat tentang klien, tetapi juga meninggalkan sifat-sifat dari klien yang tidak terkait dari klien merupakan perseorangan, sifat-sifat yang tidak terkait sering kali adalah emosinya atau keadaan keuangannya yang terkait dengan masalah, lebih lanjut, klarifikasi diagnostik biasanya dibatasi oleh seperangkat pengetahuan yang dimiliki staf dan ketersediaan skema penyembuhan. Dengan demikian diagnosis tersebut merupakan hasil dari adanya hambatan-hambatan tersebut dan mencerminkan serangkaian harapan-harapan perilaku yang telah ditetapkan bagi klien dan pekerja. Hanya apabila harapan pekerja bagi klien tidak terpenuhi diagnosis dipertanyakan (dianggap salah) dan diperbaiki. Mekanisme lain untuk mengendalikan trajektori pelayanan adalah mengisolasi klien dan faktor-faktor yang tidak terkait dan penggolongan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan klien. Isolasi, dapat bersifat fisik (dirumah sakit atau penjara), tapi biasanya bersifat sosial dan psikologis. Isolasi tersebut dilakukan dengan cara membatasi kemampuan klien untuk menunjukkan relasi-relasi sosial dan sifat-sifat yang tidak terkait dengan proses pelayanan. Penggolongan kebutuhan-kebutuhan klien berarti setiap pekerja melakukan spekulasi dengan membatasi tugas menangani sekumpulan sifat-sifat klien dan menyerahkan kepada pekerja lain isyu-isyu dan persoalan-persoalan klien yang bukan bidangnya. Dengan demikian seluruh trajektori pelayanan dipecah-pecah kedalam beberapa bagian, dan setiap bagian lebih mudah dikendalikan daripada keseluruhan. 22



7. Kepatuhan Klien Klien harus dikendalikan sehingga reaksi-reaksi mereka tidak menetralisasi akibat-akibat dari teknologi, dan sungguh-sungguh berperilaku tepat dan mendukung kegiatan pekerja untuk kepentingan klien. Kesuksesan teknologi tergantung dari keterlibatan sangat efektif dari klien dalam proses penyembuhan klien. Bagaimana cara memperoleh kepatuhan klien merupakan persoalan utama mengendalikan trajektori pelayanan. Pengendalian dimulai sejak awal dengan melakukan seleksi klien, yang dianggap sesusai dengan teknologi pelayanan, dan “mengurangi” yang dianggap tidak sesuai. Pengendalian juga dilakukan mengarahkan klien ke berbagai trajektori pelayanan, sehingga membatasi dan menghambat pilihan bagi klien.



Mekanisme interval seperti sosialisasi, prosedur operasional standar, norma-norma tentang perilaku pekerja (kode etik), pembuatan catatan, pemantauan dan supervisi. Mekanisme eksternal seperti akreditasi professional, regulasi pemerintah, asuransi kelayakan dan audit.



8. Sentralitas Hubungan Klien-Pekerja Hubungan pekerja dengan klien merupakan inti dari Human Services Organization/HSO. Hubungan ini merupakan kendaraan utama melalui mana informasi tentang klien diperoleh, asesmen kebutuhan dilakukan, pelayanan diberikan, tanggapan klien dievakuasi, dan kepatuhan klien diperoleh. Kualitas hubungan pekerja dengan klien mencapai taraf tertinggi apabila: a. Klien harus melakukan kontak terus menerus dengan organisasi; b. Teknologi harus dapat diterapkan kedalam kehidupan klien; c. Hubungan antar pribadi merupakan bentuk intervensi utama. Hasil intervensi haruslah optimal, yaitu dapat merubah kesejahteraan klien secara berarti. Keefektifan hubungan pekerja dengan klien tergantung pada kemampuan untuk membangkitkan kerjasama yang terbaik adalah yang berdasarkan kepercayaan. Kerjasama berdasarkan bersifat lebih stabil dan menumbuhkan penghargaan dari dan dalam diri klien. Human Services Organization/HSO memiliki mekanisme pengendalian interval dan eksternal untuk menjamin hubungan pekerja dengan klien berdasarkan kepercayaan dan kejujuran. 23



24



KECENDERUNGAN-KECENDERUNGAN ADMINISTRATIF UTAMA Praktek administratif baru yang dihasilkan oleh adanya perubahanperubahan lingkungan adalah: 1. Perilaku yang lebih kompetitif. Secara tradisional, hubungan diantara organisasi kesejahteraan sosial lebih bersifat kooperatif daripada kompetitif. Namun hal ini pada saat ini menjadi tidak tepat. Pada kenyataannya, pada saat ini kebanyakan organisasi kesejahteraan sosial saling berkompetisi untuk memperoleh dana, klien dan dalam hal program. Bentuk-bentuk kompetisi meliputi : kompetisi untuk memperoleh sumber-sumber dana baru (kontrak dari pemerintah, hibah dari yayasan, pengembangan pelayanan baru dan lainnya). Kompetisi dapat juga terbentuk lebih meningkatkan koordinasi dan kolaborasi diantara organisasi kesejahteraan sosial. Salah satu manfaat dari semua bentuk kerjasama dan kolaborasi antar organisasi adalah lebih meningkatnya semangat berkompetisi dan efisiensi biaya dari organisasi-organisasi yang ikut berpartisipasi. 2. Lebih banyak terjadi privatisasi. Dengan adanya desakan pengurangan peranan pemerintah, administrator kesejahteraan sosial mempertimbangkan untuk lebih menggunakan teknik-teknik privatisasi seperti: kontrak, hibah, voucher, kegiatan bersama (ko-produksi), relawan dan lainnya. Privatisasi dalam kenyataannya menjadi suatu kebijakan kesejahteraan sosial yang “sangat maksimal” karena membatasi besaran fisik pemerintah (jadi mendesak kearah konservatif, yaitu tuntutan pengurangan struktur organisasi pemerintah), serentak dengan ini memungkinkan pemerintah untuk melanjutkan pemberian pelayanan kesejahteraan sosial (mendesak kearah liberal). Kontrak cenderung akan berlanjut terus sebagai teknik privatisasi yang paling dipilih. Beberapa perkiraan menyarankan agar sekitar 80% dari seluruh dana pelayanan sosial pemerintah (publik) akan dikontrakkan. 25



Peningkatan proporsi kontrak semacam ini cenderung menjadi akan berdasarkan pada kinerja. 3. Lebih banyak yang melakukan restrukturisasi. Organisasi-organisasi kesejahteraan sosial baik pemerintah maupun yang tidak mencari untung dimasa depan akan banyak mengubah struktur organisasinya, karena kondisi lingkungan yang lebih bersifat kompetisi, lebih banyak privatisasi, dan lebih banyak menggunakan teknologi informasi. Beberapa organisasi akan merampingkan organisasinya, beberapa akan lebih besar, dan kebanyakan akan lebih bersifat spesialis. Organisasi-organisasi kesejahteraan sosial akan menjadi organisasi pembelajar. Informasi teknologi akan memungkinkan administrator kesejahteraan sosial untuk meningkatkan rentang pengendalian manajemen mereka. Upaya mengorganisasi informasi dan teknologi informasi pada umunya berarti lebih sedikit tingkatan manajemen dan lebih sedikit manajer menengah didalam suatu organisasi. Dimasa depan akan banyak terjadi aliansi-aliansi (perserikatan) dan kolaborasi baru dan kreatif dari organisasiorganisasi kesejahteraan sosial. Perbedaan diantara sektor kesejahteraan sosial publik (pemerintah) dan swasta selalu tidak jelas. Lebih lanjut, pada akhirnya kekaburan akan terjadi diantara sektor kesejahteraan sosial yang tidak mencari keuntungan dengan sektor bisnis yang mencari keuntungan, karena organisasi sosial yang tidak mencari keuntungan mendesak organisasi sosial yang mencari keuntungan untuk melakukan kemitraan dan organisasi yang mencari keuntungan mengambil alih (membeli) organisasi yang tidak mecari keuntungan. 4. Lebih banyak kegiatan pemasaran. Administrator kesejahteraan sosial akan menyadari bahwa perencanaan sosial dan tehnik-tehnik asesmen kebutuhan secara tradisional dengan sendirinya tidak cukup untuk menjamin kelangsungan program-program dan organisasi mereka dimasa depan. Isyu-isyu seperti siapa yang membayar dan bagaimana pelayanan 26



dikemas dan dipromosikan sebaik mungkin sehingga sangat menarik perhatian klien dan sumber-sumber pendanaan menjadi semakin penting. Agar dapat mencapai hal ini, administrator kesejahteraan sosial wajib berupaya sebanyak mungkin menggunakan teknik-teknik pemasaran. 5. Lebih banyak menggunakan manajemen wiraswasta (entrepreneurial). Keadaan kebijakan kesejahteraan sosial yang telah berubah dan terdesentralisasi ditandai oleh lebih sedikit program-program yang berbentuk hibah dan lebih banyak yang berbentuk “block grants” (dana seutuhnya diserahkan kepada masyarakat atas dasar proposal), sehingga administrasi kesejahteraan sosial menjadi lebih bersifat kewiraswastaan. Hakekat mendasar dari administrasi kesejahteraan sosial cenderung berubah dari memusatkan perhatian pada pelaksanaan (implementasi) ke memusatkan perhatian pada kewiraswastaan. Keahlian dalam melaksanakan suatu program kesejahteraan sosial tertentu baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi kurang penting, sebaliknya menjadi kreatif dan berjiwa kewiraswastaan dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan baru, program-program, kolaborasi dan sumber-sumber dana untuk menangani masalahmasalah sosial menjadi lebih penting. 6. Lebih bersifat manajemen kualitas. Pendekatan tradisional untuk menjamin kualitas pelayanan kesejahteraan sosial adalah pendekatan jaminan kualitas, yaitu ukuran-ukuran profesional menentukan kualitas. Dimasa depan, organisasi kesejahteraan sosial akan lebih menitikberatkan pada kualitas yang ditentukan oleh klien atau pengguna pelayanan. Penitikberatan pada manajemen kualitas menuntut lebih banyak menggunakan tim kualitas dan memperoleh umpan balik dari klien melalui survey kepuasan klien dan tenik-teknik lainnya.



27



7. Lebih menitikberatkan pada hasil. Dimasa depan, administrasi kesejahteraan sosial menjadi kurang memperhatikan proses dan lebih memperhatikan outputs dan outcomes. Perubahan ini akan memerlukan penyesuaian besaranbesaran dari banyak ahli-ahli (professional) kesejahteraan sosial terutama pekerja sosial, yang pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerjanya selama bertahun-tahun menekankan pada proses. Praktek administrasi kesejahteraan sosial akan lebih banyak menggunakan pengukuran kinerja, kinerja penganggaran dan kinerja pembuatan kontrak 8. Lebih mementingkan perencanaan strategis. Organisasi dan administrator kesejahteraan sosial perlu mengembangkan tipe-tipe pendekatan sistematik untuk melakukan asesmen terus menerus dan evaluasi terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan serta klien potensial mereka, program dan dampak (impact) dari organisasi. Meskipun teknik-teknik pemasaran dapat memberikan beberapa pemahaman tentang hal ini, adalah lebih baik melakukan perencanaan strategis karena memiliki kerangka referensi konseptual dengan pusat perhatian pada kesempatan-kesempatan dan ancaman-ancaman yang ada dilingkungan. 9. Lebih banyak melakukan advokasi. Keadaan politik nasional yang bersuasana konservatif (pengurangan peran pemerintah) dan keadaan negara yang kurang menguntungkan, memerlukan advokasi secara agresif (melancarkan pembelaan secara proaktif) bagi kesejahteraan sosial secara umum serta bagi kelompok-kelompok tertentu, terutama sangat penting dimasa depan. Kebutuhan-kebutuhan kelompok penduduk rawan seperti anak-anak, penyakit jiwa, orang dengan kecacatan dan lainnya perlu disuarakan terus menerus dan diperjuangkan pada tingkat nasional, provinsi dan pemerintahan lokal. 28



10. Lebih menitikberatkan pada klien. Pada masa lalu, seringkali pusat perhatian administrasi kesejahteraan sosial pada kebutuhan-kebutuhan organisasi dan program. Karena kondisi yang lebih kompetitif untuk memperoleh klien dan dana, serta lebih menitik beratkan pada akuntabilitas kinerja, manajemen kualitas, pemasaran, perencanaan strategis dan advokasi, harapannya adalah agar klien kembali ketempat dimana mereka dapat memperoleh hak-haknya secara penuh yang sesungguhnya merupakan pusat perhatian sejati dari administrasi kesejahteraan sosial.



PRINSIP-PRINSIP DASAR ADMINISTRASI PEKERJAAN SOSIAL 1. Penerimaan. Pimpinan dan anggota-anggota staf didorong dan diharapkan untuk dapat saling menerima satu sama lainnya dan bertindak sesuai dengan adanya saling menerima. Tujuannya adalah memperoleh sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan terbaik dari anggota-anggota staf untuk membantu organisasi dalam memberikan pelayanan. Hal ini tidak berarti mengabaikan evaluasi dan perbaikan tapi lebih mengutamakan agar semua anggota staf merasakan keterjaminan mendasar (rasa aman) sebagai perseorangan, baik menyangkut hak-haknya maupun tanggung jawabnya. 2. Keterlibatan secara demokratis dalam merumuskan kebijakan dan prosedur. Pekerjaan sosial menyarankan agar anggota staf menjadi bagian dari administrasi partisipatoris, sehingga mereka menunjukkan kinerja yang tinggi, begitu juga organisasi. 3. Komunikasi terbuka adalah penting. Hal ini berarti, bahwa hampir setiap waktu, antar anggota staf saling menukarkan gagasan dan perasaan serta bertindak dan berekreasi secara jujur dan tulus ikhlas. Komunikasi dua arah menjadi landasan yang baik bagi pengembangan efisiensi dan efektifitas dalam kebijakan dan prosedur administratif.



29



30



Secara lebih terperinci prinsi-prinsip dasar administrasi pekerjaan sosial adalah: 1. Prinsip nilai-nilai pekerjaan sosial. Nilai-nilai profesi (pekerjaan sosial) merupakan landasan bagi pengembangan pelayanan dan pemberian pelayanan bagi orang-orang yang membutuhkannya. 2. Prinsip kebutuhan masyarakat dan klien. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan individu-individu yang ada didalamnya selalu menjadi dasar keberadaan organisasi kesejahteraan sosial beserta pembuatan program-programnya.



7. Prinsip tanggung jawab professional. Administrator bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan professional berkualitas tinggi berdasarkan pada standar praktek professional. 8. Prinsip partisipasi. Administrator berupaya memperoleh dan menggunakan kontribusi (sumbangan) yang tepat dari dewan pengurus, staf, dan pendukung organisasi melalui proses partisipasi yang dinamis secara terus menerus. 9. Prinsip komunikasi.



3. Prinsip tujuan organisasi. Tujuan sosial dari organisasi harus diumuskan secara jelas, ditetapkan, dipahami dan digunakan.



Saluran-saluran komunikasi yang terbuka sangat penting untuk melengkapi keberfungsian orang. 10. Prinsip kepemimpinan.



4. Prinsip setting (tempat berkumpulnya orang) budaya. Budaya masyarakat harus dipahami sejauh budaya tersebut mempengaruhi cara-cara warga masyarakat mengungkapkan kebutuhan-kebutuhannya dan cara-cara warga masyarakat mensahkan, mendukung dan menggunakan pelayanan. 5. Prinsip hubungan yang bertujuan. Relasi kerja yang bertujuan dan efektif harus ditetapkan secara bersama-sama oleh administrator, dewan pengurus, staf dan pembentuk/pendukung organisasi. 6. Prinsip totalitas organisasi. Organisasi harus dipahami dalam keseluruhannya secara utuh, organisasi harus dipandang sebagai suatu instrumen (alat) yang hidup yang terbentuk dari bagian-bagian yang saling berhubungan.



31



Administrator harus melaksanakan tanggung jawab utama bagi kepemimpinan organisasi dari sudut pencapaian tujuan dan penyediaan pelayanan professional. 11. Prinsip perencanaan. Proses perencanaan terus menerus adalah mendasar bagi pengembangan pelayanan yang bermakna. 12. Prinsip organisasi. Pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang harus diatur secara terorganisasi dan wajib terstruktur sehingga tanggung jawab dan saling hubungan antar orang ditetapkan secara jelas. 13. Prinsip delegasi. Delegasi (penyerahan) tanggung jawab dan wewenang kepada tenaga professional lainnya adalah penting. 32



14. Prinsip koordinasi. Pekerjaan yang didelegasikan kepada banyak orang wajib dikoordinasi secara tepat sehingga kontribusi spesifik setiap orang diarahkan pada tugas-tugas utama organisasi dan semua energi (tenaga, pikiran) dipusatkan secara tepat pada misi yang harus dicapai. 15. Prinsip pemanfaatan sumber-sumber. Sumber-sumber keuangan, fasilitas dan pegawai harus dipelihara dan digunakan secara hati-hati dan hemat agar dapat menjaga kepercayaan yang menjadi jaminan organisasi kepada masyarakat. 16. Prinsip perubahan. Proses perubahan adalah bersifat terus menerus, baik didalam masyarakat maupun organisasi. 17. Prinsip evaluasi. Evaluasi terus menerus terhadap proses dan program adalah penting untuk mencapai tujuan organisasi. 18. Prinsip pertumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan dari seluruh didorong oleh administrator dengan memberikan penguasaan kerja yang menantang, supervisi yang cermat dan pemberian kesempatan bagi pembelajaran perorangan dan kelompok.



33



PENDEKATAN ANALISIS ORGANISASIONAL SUATU PERSPEKTIF KRITIS Materi yang diuraikan mencakup: 1. Tinjauan menyeluruh tentang perkembangan teori organisasi dan beberapa perspektif pokok tentang analisis organisasional; 2. Memberikan landasan bagi pekerja untuk mengembangkan perspektif kritis tentang organisasi. Beberapa perspektif tentang analisis organisasional adalah: Teori birokrasi Istilah birokrasi dan organisasi seringkali dapat dipertukarkan. Gagasannya berdasarkan pada hakekat organisasi. Istilah birokrasi, secara sistematis digunakan dalam teori organisasi yang bersumber dari Max Weber. Konsep Weber tentang birokrasi berdasarkan pada gagasannya tentang hakekat kekuasaan, dominasi dan kewenangan (otoritas). Pusat perhatian Weber terutama tentang hakekat otoritas, yaitu keyakinan akan legitimasi dari perintah (komando) dan tata/keteraturan yang konsekuensinya cenderung pada kepatuhan. Menurut Weber, terdapat tiga tipe kewenangan, yaitu tradisional, karismatik dan rasional legal. Kewenangan rasional legal adalah sah (legitimate) dan dilaksanakan karena adanya kesesuaian dengan peraturan dan prosedur yang diterima oleh orang-orang yang terkait. Sejalan dengan hal ini, pengertian birokrasi adalah bentuk organisasi yang sesuai dengan dan berlandaskan pada kewenangan rasional legal. Ciri-ciri utama dari tipe birokratis dari organisasi yang bersifat rasional legal adalah: 1. Sangat spesialistik; 2. Struktur kewenangan hirarkhis dengan wilayah perintah (komando) dan tanggung jawab yang terbatas; 3. Hubungan antar anggota organisasi bersifat impersonal; 4. Rekrutmen pegawai berbasis kemampuan dan pengetahuan teknis; 5. Diferensiasi (pembedaan) penghasilan dan kepemilikan/kekayaan resmi dan pribadi. 34



Menurut Mouzelis, karakteristik ini saling terkait dengan satu unsur umum, yaitu : adanya suatu sistem pengendalian berdasarkan peraturanperaturan rasional, peraturan yang mencoba mengatur keseluruhan struktur dan proses organisasional atas dasar pengetahuan teknis dan dengan tujuan efisiensi maksimum. Meskipun Weber beranggapan bahwa bentuk organisasi birokrasi sangat efisien untuk melaksanakan tugastugas yang dihadapi oleh masyarakat modern dan negara modern. Weber tidak menolak tinjauan kritis terhadap birokrasi. Weber prihatin dengan dampak birokrasi terhadap individu, yaitu mengurangi derajat kemanusiaan dan menghasilkan “spesialis tanpa semangat”. Implikasi politik dari pertumbuhan birokrasi adalah kekuasaan yang sangat besar terpusat pada organisasi birokrasi, sulit untuk mengendalikan birokrasi serta terutama sulit untuk meminta pertanggungjawaban dari elit manajer birokrasi. Kritik terhadap teori birokrasi adalah: 1. Birokrasi tidaklah merupakan cara menyelesaikan pekerjaan yang sangat efisien, tetapi justru melekat pada birokrasi ketidakefisienan. Penitikberatan model birokratis pada presisi (ketepatan) dan reliabilitas (terpercaya/handal) dalam administrasi mengandung konsekuensi-konsekuensi yang bersifat merusak diri sendiri. Pejabatpejabat menjadi bersikap hati-hati secara berlebihan, peraturan menjadi tujuannya itu sendiri, pembuatan keputusan menjadi lambat karena hirarkhi (tingkatan kedudukan), perubahan ditentang dan hubungan-hubungan dilakukan dengan gaya impersonal secara berlebihan. Secara kolektif, perilaku seperti itu disebut “penyakit birokratis”, lebih lanjut, bentuk-bentuk organisasional birokratis bisa jadi cocok dengan tugas-tugas rutin tertentu, tetapi semuanya itu tidak cocok untuk kegiatan-kegiatan kreatif dan tidak rutin. Alasannya adalah banyak pekerjaan didalam pelayanan sosial yang bersifat tidak rutin, memerlukan pertimbangan-pertimbangan kompleks dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan konsumen. Dalam kondisi seperti ini hirarkhi dan peraturan yang ketat/kaku justru menghambat, bukannya memperlancar keefektifan organisasi. 35



2. Unsur-unsur formal pada struktur organisasional, mengabaikan pengaruh ikut masuknya hubungan-hubungan informal di dalam organisasi. Perilaku pejabat-pejabat di pengaruhi oleh banyak faktor diluar kode etik administratif, yaitu : minat-minat, prasangka, ketakutan dan persahabatan pribadinya. Wajah lain dari birokrasi meliputi : hubungan-hubungan informal, nilai-nilai dan norma-norma informal, hirarki kekuasaan informal dan perjuangan memperoleh kekuasaan secara informal. Walaupun terdapat berbagai kritik terhadap birokrasi, namun kritik tersebut perlu juga dipertanyakan, misalnya dalam administrasi sistem jaminan sosial. Tugas menilai elijibilitas individu penerima pension, menjamin pembayaran secara tepat waktu, pendekatan impersonal dalam arti tidak membeda-bedakan individu berdasarkan ras, jenis kelamin, suku kesemuanya mencerminkan ciri birokrasi. Apakah pelayanan sosial dilakukan secara efektif, efisien, setara dan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan, juga merupakan gambaran tentang birokrasi. Manajemen ilmiah Prinsip-prinsip manajemen ilmiah pertama kali dicetuskan oleh Frederic W. Taylor pada tahun 1911. Manajemen ilmiah merupakan tanggapan dari manajer dan pemilik perusahaan industri di USA untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan dan melakukan pengendalian terhadap buruh/pekerja. Taylor, yang berlatar belakang teknik mesin pada dasarnya memperlakukan organisasi sebagai mesin yang perlu dirancang dan ditata dengan baik. Taylor beranggapan bahwa hanya ada satu cara terbaik untuk melaksanakan setiap tugas atau proses industri, yaitu dengan melakukan eksperimen dan observasi ilmiah. Pendapatnya ini dilaksanakan melalui studi tentang gerak dan waktu, serta melakukan studi tentang teknik-teknik bekerja dan proses pekerjaan, dengan demikian produksi industri menjadi lebih efisien dan manajemen dapat menjadi kegiatan ilmiah. Asumsi-asumsi penting yang mendasari teori Taylor, berkaitan dengan model teoritisnya bahwa organisasi sebagai mesin, adalah tidak ada konflik yang melekat diantara manajer dan pekerja atau antar setiap 36



kelompok didalam organisasi. Taylor berpandangan bahwa serikat perdagangan tidak diperlukan karena pekerja dan manajemen memiliki minat bersama. Taylor juga beranggapan bahwa pekerja pada dasarnya dimotivasi oleh penghargaan finansial dan sikap mereka terhadap pekerjaan pada dasarnya bersifat instrumental (hanya alat); aspek-aspek psikologis dan sosiologis dari pekerja diabaikan oleh teori organisasi dari Taylor. Taylor membedakan secara tegas diantara manajemen, yaitu seseorang yang bertanggung jawab dalam perencanaan, mengorganisasi, supervisi dan membuat keputusan, dengan pekerja yang dianggap pada dasarnya sebagai tambahan pada peralatan industri yang tidak memiliki pengetahuan tentang tujuan-tujuan dan proses-proses organisasi. Peranan teori manajemen menurut Taylor adalah membantu manajer untuk mengorganisasi dan mengendalikan pekerja agar supaya memaksimalkan produktivitas. Terkait erat dengan teori manajemen ilmiah adalah teori formal tentang administrasi atau ”teori manajemen klasik” yang ahli-ahlinya terutama adalah Fayol, Gulick dan Urwick. Perhatian ahli-ahli ini terutama diarahkan pada struktur organisasi secara keseluruhan. Mereka mengembangkan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman rancangan organisasi. Prinsip-prinsip ini mencakup aturan-aturan seperti pentingnya pembagian pekerja (asumsinya adalah semakin efisien), kesatuan komando (setiap pekerja sebaiknya menerima arahan tentang kegiatan tertentu dari hanya satu orang), garis kewenangan yang jelas, rentang kendali (membatasi jumlah orang yang di supervisi oleh satu orang) dan pembagian pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah di tentukan (sesuai dengan tujuan, tempat, orang, proses atau konsumen). Teori ini berpengaruh sampai sekarang pada organisasi sektor publik walaupun telah mengalami pembaharuan-pembaharuan seperti pengukuran kinerja, penganggaran program, perencanaan, evaluasi program, standar hasil, tinjauan tentang efektifitas, audit efisiensi, sistem informasi manajemen, manajemen berdasarkan tujuan dan sebagainya. Menurut Patti, teknik-teknik manajemen tersebut disebut “manajemen ilmiah baru”, yang mencerminkan pemikiran-pemikiran dari manajemen ilmiah yang berupaya untuk merasionalkan struktur dan proses organisasi 37



untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Walaupun nilai-nilai dominan dalam organisasi sosial tidak menerima pandangan tentang organisasi sebagai mekanistik, tetapi apabila organisasi sosial dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan sosial yang diinginkan, maka efisiensi dan efektifitas merupakan aspek yang penting dan sah. Perspektif mekanistik tentang organisasi cenderung memperlakukan tujuan-tujuan organisasi sebagai jelas dan cocok satu sama lain, namun tidak demikian halnya dengan organisasi sosial. Perspektif ini juga secara salah menafsirkan tujuan dan minat bersama diantara partisipan organisasi dan mengabaikan atau mengecilkan kompleksitas motif dan aspirasi anggota organisasi. Organisasi untuk tujuan tertentu bisa saja dianggap sebagai mesin tapi tidak hanya mesin. Relasi manusia Pendekatan relasi manusia muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap teori manajemen ilmiah tentang motivasi manusia. Pada awalnya, pendekatan ini didasarkan pada eksperimen Hawthorne yang melakukan penelitian tentang hubungan diantara lingkungan kerja fisik, misalnya penerangan dengan produktivitas pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kunci yang menentukan bukannya fisik, tetapi sosial. Peneliti juga menyimpulkan bahwa faktor-faktor sosial psikologis menunjukkan makna yang lebih besar dibandingkan penghargaan keuangan dalam memotivasi pekerja. Proposisi yang melandasi pendekatan relasi manusia dalam memahami organisasi adalah: 1. Kebutuhan untuk membedakan aspek formal dan informal dari struktur dan keberfungsian organisasi. Pusat perhatian dari manajemen ilmiah dan juga teori birokrasi, walaupun dengan cara yang berbeda, di dominasi oleh aspek-aspek formal organisasi yaitu peraturan, pembagian pekerjaan, hirarkhi dan sebagainya. Penganut relasi manusia menitikberatkan pada gaya kepemimpinan, moral, interaksi dan relasi kelompok. Menurut ahli-ahli relasi manusia, organisasi tidak dapat dipahami semata-mata dari bagan organisasi, 38



tetapi aspek relasi manusia yang bersifat informal dalam organisasi sangat menentukan proses-proses dan hasil organisasi. 2. Gagasan utama mereka adalah adanya keseimbangan yang sempurna diantara kebutuhan pekerja dengan tujuan organisasi. Tugas manajemen adalah mengembangkan proses-proses dan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan sosial dan psikologis yang diinginkan pekerja, sehingga pekerja menjadi lebih komit (berjanji sungguh-sungguh) pada tujuan organisasi serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas. Menurut pendekatan ini, diasumsikan, makhluk manusia memiliki kapabilitas yang tinggi untuk kreatif dan pertumbuhan pribadi serta dapat memiliki motivasi yang tinggi karena adanya dorongan untuk ekspresi diri dan aktualisasi diri. Asumsi ini diperdebatkan oleh pandangan organisasi birokratis yang formal. Oleh karenanya, apa yang dibutuhkan adalah lingkungan organisasi dan pekerjaan yang bersifat fasilitatif (kondisi pekerjaan yang mempermudah) yang bercirikan : partisipasi kelompok dalam pembuatan keputusan, gaya kepemimpinan yang demokratis, persuasif (longgar) dan penuh perhatian. Tema kuncinya adalah manajemen partisipatif dan otonomi (kewenangan penuh) pekerja. Model manajemen ini seringkali dibedakan secara tajam dalam istilah teori manajemen klasik dan pendekatan relasi manusia. Pembedaan secara tegas ini dikemukakan oleh pakar teori relasi manusia yaitu Mc Gregor, yang menjelaskan tentang teori X dan teori Y. Menurut Mc Gregor, teori X adalah pandangan tradisional “tentang arahan dan pengendalian”organisasi. Menurut pendekatan ini diasumsikan bahwa makhluk manusia memiliki ketidaksukaan yang melekat didalam dirinya tidak menyukai pekerjaan, dan akan menghindarkan pekerjaan jika memungkinkan. Konsekuensi (akibat) nya adalah ada anggapan bahwa orang perlu dipaksa, dikendalikan, diarahkan dan diancam dengan hukuman agar orang berupaya untuk mencapai tujuan organisasi. Asumsi yang terkandung didalamnya adalah orang lebih menyukai diarahkan dan berkeinginan menghindarkan tanggung jawab, memiliki ambisi (kemauan) yang kecil dan menginginkan rasa aman diatas segalagalanya. Menurut Mc Gregor, kebanyakan organisasi menggunakan 39



asumsi teori X. Teori Y, sebaliknya, berdasarkan “terintegrasinya orang dengan tujuan organisasi”.



pandangan



Asumsi yang mendasari pandangan ini adalah bahwa pengerahan kekuatan fisik dan upaya-upaya mental didalam bekerja adalah sama alamiahnya dengan bermain dan beristirahat, dan oleh karenanya orang akan melakukan mengarahkan diri sendiri dan mengendalikan diri sendiri didalam memberikan pelayanan untuk mencapai tujuan organisasi sebagaimana yang telah orang janjikan (komited). Makhluk manusia dapat belajar dalam kondisi yang tepat untuk menerima dan berupaya bertanggung jawab, dan manajer harus secara terus menerus berupaya mendayagunakan potensi-potensi manusiawi dari anggota-anggota organisasi. Pendekatan dan rumusan teori relasi manusia memiliki daya tarik ideologis dan intuitif (sesuai dengan kata hati) bagi kebanyakan pekerja. Teori yang berisikan tentang sistem nilai dan pandangan tentang kemanusiaan yang optimistik, penitikberatan pada kerjasama, partisipasi dan kesepakatan, mengutamakan hubungan antar pribadi semuanya sejalan dengan nilai-nilai yang secara luas dianut oleh pekerja sosial tenaga kesejahteraan sosial. Manajemen ilmiah membuat organisasi seperti mesin, sedangkan relasi manusia membuat organisasi seperti keluarga atau masyarakat, yang merupakan gejala yang jauh lebih akrab bagi pekerja sosial. Kualitas relasi manusia dalam organisasi memang penting untuk meningkatkan produktifitas dan efektifitas. Namun faktor lain yang juga berpengaruh adalah kejelasan teknologi dan prosedur, tingkat sumbersumber organisasi dan kompetensi staf, struktur penghargaan secara ekonomis, prosedur akuntabilitas, kualitas fasilitas dan peralatan serta banyak faktor lainnya. Perspektif sistem dan ekologis Organisasi menurut teori manajemen ilmiah dipandang sebagai sebuah mesin, menurut relasi manusia sebagai suatu keluarga dan menurut teori sistem sebagai suatu organisme (makhluk hidup). Teori sistem memusatkan perhatian pada tiga isyu kunci, yaitu : penitikberatan 40



pada kesalingtergantungan dalam organisasi, gagasan tentang kebutuhankebutuhan organisasi dan arti penting dari lingkungan organisasi. Teori sistem menitikberatkan pada kesalingtergantungan antar unsur dan bagian yang membentuk organisasi. Hal ini berarti, bahwa kegiatankegiatan dan proses-proses didalam suatu organisasi harus dipandang sebagai : suatu jejaring, subsistem atau bagian-bagian yang saling tergantung yang berinteraksi, tumpang tindih, bertentangan, atau bekerjasama, setiap bagian menerima sesuatu dari bagian lainnya, dipengaruhi oleh perilaku orang lain, dan berperilaku secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan akibat baik bagi subsistem yang lain atau organisasi secara keseluruhan. Teori ini menyarankan agar pekerja memandang dirinya terlibat didalam organisasi dalam cara-cara yang dinamis dan interaktif, memberikan pengaruh dan harapan, serta dipengaruhi oleh orang lainnya. Unsur penting lainnya dari teori sistem adalah penitikberatan pada kebutuhan-kebutuhan organisasi. Menurut teori sistem, organisasi merupakan sistem sosial, seperti halnya sistem biologis, memiliki kebutuhan untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri dan tumbuh. Suatu organisasi harus memenuhi persyaratan-persyaratan (kebutuhankebutuhan) fungsional untuk bertahan hidup dan tumbuh, yaitu persyaratan internal dan eksternal. Kebutuhan eksternal mencakup sumber-sumber untuk melaksanakan fungsi organisasi seperti : fasilitas, uang, pemanfaat dan persetujuan masyarakat. Kebutuhan internal mencakup integrasi (penyatuan) unsur-unsur atau bagian-bagian yang membentuk organisasi, kesetiaan atau komitmen pekerja, serta kapasitas (kemampuan) teknis dan politis untuk memobilisasi (mengerahkan) dan sumber-sumber. Kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan organisasi menimbulkan pemahaman kepada pekerja tentang proses-proses perubahan organisasi. Kebutuhan organisasi untuk bertahan hidup dan tumbuh, seringkali bertentangan dengan tujuan-tujuan nyata dari organisasi, seringkali tidak hanya oleh tujuan dan struktur resmi dari organisasi, tetapi juga oleh banyak sekali faktor yang tidak muncul di permukaan seperti prosesproses kelompok-kelompok informal, konflik antar kelompok, kebijakan rekrutmen (penerimaan pegawai), ketergantungan pada kelompok41



kelompok diluar dan para pendukung, struktur kekuasaan masyarakat lokal dan lembaga-lembaga resmi. Teori sistem menyarankan agar organisasi sebagai sistem yang hidup dan dinamis menyesuaikan diri terhadap faktor-faktor ini dan didalam proses penyesuaian ini seringkali menyimpang dari misi yang dimaksudkan. Unsur berikutnya adalah pentingnya lingkungan organisasi. Organisasi terlibat dalam proses pertukaran yang terus menerus dengan organisasi lain di dalam lingkungannya, menggunakan sumber-sumber dalam berbagai jenis dan mengubah sumber-sumber kedalam barangbarang dan pelayanan-pelayanan dalam berbagai jenis. Penyesuaian yang dilakukan oleh organisasi untuk memenuhi persyaratan-persyaratan kelompok-kelompok eksternal membentuk tujuan-tujuan, struktur, kebudayaan dan pelayanan-pelayanan dari suatu organisasi dalam caracara yang seringkali menimbulkan perselisihan, ketidaksenangan dan penolakan oleh kelompok-kelompok dan perseorangan di dalam organisasi. Perkembangan pemikiran baru-baru ini dalam teori organisasi, yang memiliki beberapa kesamaan tema dengan teori sistem adalah teori ekologi atau ekologi manusia dari organisasi. Berdasarkan teori ini, organisasi dipandang dengan cara menganalogikan (mempersamakan) dengan analisis kehidupan hewan oleh ahli-ahli naturalis atau ahli ekologi mahluk hidup. Pusat perhatian dari teori ini pada cara-cara lingkungan menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga menghasilkan populasi (sekumpulan) organisasi-organisasi tertentu, apakah dapat bertahan hidup, dan berkembang pesat atau bubar. Teori ini terutama berkaitan dengan populasi dari organisasiorganisasi yang hampir sama, lebih daripada organisasi-organisasi persatu-satu. Teori ini mengkaji isyu-isyu seperti: kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang berubah, kompetisi organisasi untuk memperoleh sumber-sumber di dalam lingkungan tertentu, dan daya saing setiap populasi organisasi didalam suatu lingkungan. Lingkungan dipandang sebagai penentu utama jenis organisasi yang dapat hidup di suatu masyarakat tertentu. 42



Model ekologi perlu diterapkan untuk mencoba memahami munculnya tipe-tipe baru Human Services Organization/HSO dan perjuangan menghadapi kompetisi yang sering terjadi antar organisasiorganisasi serupa dibidang pelayanan sosial. Misalnya : bermunculannya organisasi berbasis masyarakat yang memperoleh dana dari pemerintah dapat digambarkan sebagai keadaan lingkungan yang menguntungkan karena perluasan sektor publik anggaran pemerintah, banyaknya kekurangan pada jejaring palayanan, banyaknya organisasi setempat (di wilayah masing-masing) yang mensponsori pelayanan dan sebagainya. Terbukti juga, bahwa ketika pertumbuhan sektor publik melambat, hanya organisasi-organisasi yang paling dapat menyesuaikan diri pada keadaan yang berubah yang dapat bertahan hidup dan bertumbuh. Ketika keadaan pertumbuhan sektor publik melambat, terjadi kecenderungan privatisasi pelayanan sosial. Organisasi-organisasi yang paling cocok dengan keadaan ini adalah organisasi yang dapat menggunakan cara-cara kewiraswastaan sehingga dapat mengambil manfaat dari kecenderungan privatisasi pelayanan sosial tersebut. Kemunculan kelompok baru dari Human Services Organization/HSO sektor swasta di bidang-bidang tertentu yang diciptakan oleh perubahan keadaan lingkungan ini dapat diperkirakan oleh model ekologi. Teori ekologi ini tidak terlepas dari berbagai kritik, diantaranya, teori ini cenderung deterministik dan mengabaikan kemampuan organisasi untuk melakukan perubahan dan bahkan menguasai lingkungan.



Pemahaman Tentang Organisasi :Lingkungan Organisasional, Konteks dan Target Mengapa perlu memahami hakekat lingkungan organisasi dan hubungan diantara organisasi dan lingkungannya ? 1. Lingkungan merupakan sasaran bagi pekerja sosial. Pekerja sosial berkepentingan dengan perubahan sosial. Pekerja sosial berupaya untuk merubah lingkungannya dengan bekerja melalui suatu organisasi. 2. Lingkungan memberikan pengaruh pada organisasi, pemanfaat organisasi dan pekerja. Konseptualisasi lingkungan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar organisasi dan mempengaruhi tujuan, struktur dan proses-proses organisasi. Wilayah Organisasi Semua organisasi terhubung dengan dan merupakan bagian dari bidang-bidang upaya manusia yang sangat luas. Melakukan identifikasi tentang bidang-bidang ini dan keterkaitannya serta mengungkapkan implikasinya merupakan organisasi wilayah. Gagasan pokoknya berkaitan dengan kompetisi, konflik dan tantangan. 1. Lokalitas (horisontal). Lokalitas merupakan faktor sentral dari keberfungsian organisasi. Lokasi mempengaruhi faktor-faktor : a. Karakteristik dan kebutuhan pemanfaat (klien); b. Ketersedian sumber-sumber; c. Aksesibilitas politik, ekonomi dan budaya.



43



44



2. Supra organisasi. Organisasi seringkali merupakan bagian dari organisasi yang lebih besar. Organisasi bisa saja mempunyai relasi formal dan informal dengan lembaga-lembaga tingkat Nasional atau Internasional baik Pemerintah maupun Legislatif atau Yudikatif. Lembaga-lembaga yang lebih besar tersebut menyediakan legitimasi, sumber-sumber dan dukungan sesuai dengan kemenangannya. 3. Sektor. Sektor adalah organisasi-organisasi atau individu-individu yang terorganisasi karena minat-minat dan perhatian bersama. Organisasi-organisasi ini mencakup lembaga-lembaga keagamaan, pemberi dan pengguna pelayanan sosial serta asosiasi-asosiasi dibidang kesejahteraan sosial. Organisasi pelayanan sosial perlu berpartisipasi secara aktif didalam sektor yang organisasi ini termasuk di dalamnya dan menggerakan pengembangan identitas sektor. Organisasi-organisasi pelayanan sosial seringkali terlibat dalam proses kebijakan secara kolektif dan perlu bertindak secara kolektif terhadap berbagai isyu yang menjadi perhatian bersama. Oleh karena itu perlu memahami : a. Bagaimana struktur sektor? b. Bagaimana sektor berfungsi? c. Implikasi bagi organisasi bergabung dalam sektor. 4. Industri Industri adalah sekelompok organisasi yang mencakup sistem produksi. Semua organisasi pelayanan sosial termasuk kedalam suatu industri, seperti industri pengasuhan anak, industri pelayanan lanjut usia dan sebagainya. Industri-industri tersebut bervariasi, ada yang terstruktur secara formal dan ada yang kurang terstruktur. Karakteristik dari suatu industri yang sudah maju dan terstruktur mencakup: a. Proses konsultasi dan pembuatan keputusan; b. Spesialisasi dan pembagian kerja; 45



c. Kegiatan rutin dan hubungan kerja yang sudah tetap yang berkaitan dengan penerimaan kelayan, pelayanan kepada kelayan dan rujukan; d. Proses-proses formal yang berkaitan dengan regulasi, pelatihan, produksi dan diseminasi informasi; e. Standar dan pengendalian kualitas. Proses-proses informal di dalam industri juga penting dipahami. Struktur yang berkembang di industri mencerminkan prosesproses politik dan posisi-posisi ideologis, juga persoalanpersoalan penting sekitar proses produksi. Pekerja sosial perlu memahami apa implikasi dan tempat/kedudukan organisasi mereka dalam industri. Apabila organisasinya memiliki fungsi yang penting berarti dapat mempengaruhi industri secara keseluruhan. Dengan demikian organisasi dapat mempertanyakan, memberikan tantangan pada struktur industri yang telah terbentuk. Beberapa isyu penting yang berkaitan dengan struktur industri adalah : Peranan relawan dalam pemberian pelayanan, peranan penerima pelayanan dalam pembuatan keputusan, proses alokasi sumber-sumber dan sebagainya. 5. Jejaring Organisasi pelayanan sosial termasuk ke dalam jejaring organisasi lain atau individu-individu. Jejaring organisasi adalah semua keterkaitan dan hubungan organisasional yang berpengaruh terhadap dan dapat dipengaruhi oleh organisasi. Gagasan tentang jejaring adalah bersifat multi dimensional, mencakup semua relasi-relasi eksternal organisasi, khususnya termasuk yang terkait dengan lokalitas, supraorganisasi, sektor dan industri. Lingkungan Tugas. Lingkungan tugas adalah semua unsur-unsur yang ada dalam lingkungan organisasi yang berpotensi untuk mempengaruhi kinerja atau keberlangsungan organisasi. Lingkungan tugas mencakup unsur-unsur langsung dan tidak langsung. Lingkungan tugas langsung mencakup 46



organisasi-organisasi yang secara langsung dan sering mengadakan kontak dengan organisasi. Unsur-unsur yang terpenting adalah penyedia sumber-sumber (terutama sumber keuangan), pemberi legitimasi dan penyedia klien (penerima pelayanan). Unsur-unsur kunci lainnya adalah pelayanan pelengkap, pesaing, sasaran-sasaran, organisasi yang mewakili klien, badan regulasi dan organisasi-organisasi industri dan profesional. Organisasi-organisasi ini memiliki dampak yang sangat besar kepada keberfungsian organisasi.



pencapaian tujuan organisasi. Perhatikan secara khusus organisasiorganisasi yang memiliki berbagai relasi dengan organisasi tempat kita bekerja. Lingkungan Umum. Relasi-relasi organisasi berlangsung didalam konteks sosietal (kemasyarakatan) yang lebih luas mencakup dimensi-dimensi ekonomis, politis, hukum, teknologi dan sosietal.



Lingkungan tugas tidak langsung mencakup organisasi dan kelompok yang kurang banyak berhubungan secara teratur dengan organisasi. Lingkungan tugas ini mencakup empat yang sudah dibahas (lokalitas, sektor, supra, industri) serta, terutama media, partai politik, kelompok penekan, organisasi penelitian, badan perantara (organisasiorganisasi ini mewakili pengelompokan organisasi yang berhadapan dengan pemerintah) serta organisasi lainnya. Ciri tidak langsung dan langsung ini dapat berubah-ubah, yang langsung bisa jadi tidak langsung dan sebaliknya.



Dimensi-dimensi kunci yang merupakan kerangka kerja untuk melakukan analisis terhadap lingkungan umum organisasi adalah sebagai berikut : 1. Organisasi dibentuk oleh struktur ekonomi dan tunduk pada kebijakan dan kondisi ekonomi (dimana organisasi tersebut berada di dalamnya).



Hubungan diantara suatu organisasi dengan lingkungan tugasnya bersifat dua arah, yaitu suatu organisasi dipengaruhi oleh organisasi yang mengendalikan sumber-sumber, legitimasi, rujukan dan lainnya dan pada gilirannya mempengaruhi organisasi yang sebelumnya menjadi pengendali. Pemetaan lingkungan tugas merupakan prasyarat untuk secara strategis melakukan relasi lingkungan dengan organisasi.



Aspek-aspek yang perlu dipahami diantaranya yang terpenting adalah : a. Sistem pemerintahan dan sistem hubungan antar pemerintahan beserta Jajarannya di berbagai tingkatan (daerah dan pusat); b. Peran, hubungan-hubungan dan dampak lembaga-lembaga dan aktor-aktor politik utama seperti Parlemen, Menteri, Presiden, Wakil Presiden, Proses pemilihan dan peradilan; c. Proses politik dan distribusi kekuasaan, termasuk kekuasaan para aktor dan lembaga-lembaga yang telah diuraikan sebelumnya, juga peran partai-partai politik, kelompok-kelompok penekan, media serta kelompok-kelompok sosial utama seperti perusahaan, pekerja, serikat pekerja dan perkumpulan profesional; d. Nilai-nilai dan sikap-sikap yang berlaku di masyarakat.



Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memulai analisis lingkungan tugas adalah sebagai berikut :



2. Organisasi dibentuk oleh lingkungan umum politik yang mencakup konstitusi umum dan pengaturan-pengaturan kelembagaan bagi aktivitas politik.



1. Catatlah semua yang berinteraksi dengan organisasi atau memiliki dampak terhadap organisasi; 2. Kategorikan (kelompokkan) pada judul-judul yang tepat seperti penyandang dana, pesaing atau sasaran (bisa jadi ditempatkan di lebih satu judul); 3. Buat satu diagram sebagai pedoman; 4. Berdasarkan diagram tadi, perjelaslah ( buat garis bawah ) hubunganhubungan yang bermasalah atau potensial bermasalah terhadap



3. Organisasi beroperasi di dalam konteks hukum yang menyediakan kesempatan dan kendala. Organisasi tunduk pada persyaratan legislatif terutama yang terkait dengan bidang pelayanan organisasi.



47



48



Hukum, terutama menentukan dan mengatur persyaratan akuntabilitas dan pendanaan, hak-hak klien dan penerima pelayanan lainnya, elijibilitas, tujuan program dan prosedur administratif, besarnya subsidi, kualifikasi dan pengalaman staf, beban kerja staf dan standar fasilitas fisik. 4. Organisasi dibentuk oleh perkembangan teknologi. Teknologi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan, hakekat kerja, struktur dan karakter kehidupan perkotaan dan perdesaan. Cara-cara teknologi mempengaruhi teknologi adalah: a. Banyak dari masalah dan isyu yang ditangani oleh organisasi berasal dari perubahan teknologi; b. Perubahan teknologi informasi yang sangat cepat telah menimbulkan dampak yang sangat besar; c. Perubahan teknologi juga mempengaruhi tentang pilihan pelayanan yang dapat disediakan oleh organisasi. 5. Organisasi sosial juga berada di dalam suatu konteks kemasyarakatan. Kondisi demografi sosial membentuk keseluruhan kehidupan kemasyarakan dan kehidupan komunitas lokal berpengaruh pada kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah sosial yang ditangani organisasi, juga akses organisasi pada sumber-sumber serta cara pelayanan. Unsur-unsur pokok dari konteks kemasyarakatan, mencakup: a. Variabel demografi sosial terdiri dari : usia, jenis kelamin, komposisi suku, struktur keluarga, penghasilan, tingkat pendidikan, kesehatan, kecacatan, kondisi georafis; b. Variabel pekerjaan terdiri dari : pola pekerjaan, kesempatan kerja, karakteristik dan komposisi tenaga kerja; c. Variabel sistem nilai dan kultural yang berlaku di masyarakat dan cara-cara organisasi mencerminkan (memberlakukannya dalam organisasi), meningkatkan dan mempertanyakan sistem nilai tersebut. 49



Lingkungan umum yang telah dibicarakan disamping yang berskala nasional, bisa juga berskala regional atau internasional. Perlu dipahami tentang perjanjian-perjanjian internasional seperti hak azasi manusia, hak-hak kanak-kanak dan lainnya. Karakteristik Lingkungan. Lingkungan sangat bervariasi dari yang sangat sederhana, sampai ke yang rumit, berubah-ubah dan saling bertentangan. Kerangka analisis tentang hakekat dan karekteristik lingkungan dapat dipahami dari empat dimensi kunci. 1. Keseragaman-Keanekaragaman . Dimensi ini mengacu pada rentang harapan dan tantangantantangan didalam lingkungan yang harus dipenuhi oleh organisasi. Lingkungan yang seragam adalah sekumpulan tuntutan eksternal yang harus dipenuhi oleh organisasi. Terdapat dua sumber keanekaragaman. Berbagai jenis organisasi didalam lingkungan tugas memaksakan berbagai tuntutan/harapan. Lebih lanjut, suatu organisasi bekerja dibidang pelayanan yang bercirikan nilai-nilai masyarakat yang saling bertentangan dan nilai-nilai yang diperdebatkan. 2. Kepastian-Ketidakpastian. Kepastian merupakan fungsi dari dua faktor, yaitu tingkat perubahan di lingkungan dan kualitas informasi yang dimiliki organisasi tentang perubahan ini. Tingkat ketidakpastian, sebagian tergantung dari apakah organisasi telah mengembangkan cara-cara yang efektif untuk memperoleh informasi tentang perubahan tersebut. 3. Kecukupan-Kekurangan. Bekerjanya suatu organisasi dipengaruhi oleh ketersediaan sumber-sumber didalam sektor, lokalitas dan industri.



50



4. Keramahtamahan-Permusuhan. Suatu lingkungan yang ramah adalah suatu lingkungan yang memungkinkan organisasi memiliki otonomi penuh untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai dan kegiatan-kegiatannya. Lingkungan yang tidak ramah adalah lingkungan yang sangat membatasi kegiatan-kegiatan organisasi dan memberikan kesempatan yang sangat sempit untuk membuat keputusan dan menentukan pilihan. Organisasi pelayanan sosial, karena tidak bisa memperoleh keuntungan sangat tergantung dari organisasi luar. Kegiatan-kegiatan organisasi ini syarat dengan nilai-nilai sosial yang mengalami perdebatan. Hal ini berarti tujuan, teknologi dan kegiatan operasional secara umum dari organisasi akan terhambat oleh nilai-nilai sosial masyarakat yang dominan. Organisasi ini juga dituntut oleh sejumlah persyaratan-persyaratan akuntabilitas yang membatasi kebebasan untuk menentukan sendiri cara-cara melakukan kegiatan. Bekerja dengan lingkungan Pekerja sosial perlu bersikap proaktif terhadap lingkungan organisasional. Kegiatan pokok yang perlu dilakukan adalah berikut ini : 1. Konstruksi dan Rekonstruksi Anggota-anggota organisasi pada taraf tertentu memiliki kemampuan untuk menciptakan atau merubah lingkungan. Metode-metode untuk merubah lingkungan adalah : a. Relokasi didalam sektor. Suatu organisasi pindah dari suatu sektor ke sektor lainnya. b. Rekonstruksi hubungan lokalitas. Suatu organisasi memutuskan untuk memindahkan lokasi pelayanan atau merubah skala kegiatannya.



d. Memperluas jaringan. Suatu organisasi melakukan hubungan dengan berbagai jenis lingkungan. e. Restrukturisasi penyediaan sumber. Suatu organisasi melakukan diverifikasi sumber-sumber pembiayaan dengan cara meningkatkan jumlah penyandang dana eksternal dan mengembangkan sumber-sumber pendanaan internal. f. Restrukturisasi basis legitimasi. Suatu organisasi dapat mengangkat berbagai tokoh dari berbagai bidang kedalam dewan Manajemen agar memperoleh legitimasi dari berbagai sumber. g. Reorganisasi pengaturan pelayanan. Suatu organisasi biasanya membuat suatu pengaturan yang relatif tetap dengan organisasi lain yang menyediakan pelayanan pelengkap. Organisasi perlu mengatur kembali pola-pola dan prosedur kerjasama dengan organisasi lain. h. Merubah sasaran pelayanan. Suatu organisasi dapat menetapkan berbagai kelompok sasaran pelayanan dan memperluas kegiatan pelayanan. i. Mempengaruhi persepsi eksternal. Suatu organisasi berupaya merubah persepsi eksternal untuk memperoleh dukungan. j. Merubah lingkungan umum. Suatu organisasi berupaya untuk mempengaruhi lingkungan tugas langsung dan tidak langsung. Upaya yang dilakukan diantaranya adalah merubah filosofi pelayanan, sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat, metode pemberian pelayanan dan distribusi pelayanan ke berbagai sasaran pelayanan.



c. Pindah ke suatu industri baru. Suatu organisasi merubah bidang pelayanan yang dikerjakan. 51



52



2. Strategi Menyeluruh. Pendekatan proaktif terhadap lingkungan memerlukan kesadaran penuh tentang :



organisasional



a) Kesempatan dan kendala yang ada; b) Tingkat ketergantungan oganisasi pada lingkungan tugas; c) Karakteristik lingkungan. Hal ini mempersyaratkan perlunya pemahaman menyeluruh tentang relasi lingkungan-organisasi, yang berarti seluruh gambaran tentang lingkungan harus dipertimbangkan. Strategi yang digunakan adalah menjaga keseimbangan diantara organisasi dengan berbagai tekanan dan pengaruh lingkungan. Organisasi perlu melakukan kesepakatan dengan lingkungan berkaitan dengan bidang kerja organisasinya, yaitu : a) Masalah yang ditangani; b) Populasi yang dilayani; c) Pelayanan yang diberikan. Upaya-upaya untuk mencapai kesepakatan adalah dengan melakukan berbagai perundingan yang bersifat saling mempertukarkan berbagai aspek didalam organisasi sesuai dengan tuntutan lingkungan. 3. Taktik dan Teknik Pekerja sosial perlu menguasai sejumlah keterampilan untuk menghadapi lingkungan : a. Memperoleh informasi; b. Melakukan jejaring; c. Pemasaran dan hubungan masyarakat; d. Mobilisasi sumber-sumber; e. Loby; f. Kolaborasi; g. Kooptasi; h. Upaya-upaya disruptif. 53



TUGAS-TUGAS DAN FUNGSI MANAJEMEN PELAYANAN SOSIAL



1. Manajer pelayanan sosial secara rutin dihadapkan pada dilema moral yang mempersyaratkan pembuatan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Manajer, walaupun telah memiliki pedoman yang telah ditetapkan oleh kebijakan publik dan ideologi kelembagaan namun menghadapi sejumlah besar pilihan-pilihan moral yang sulit. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi kebanyakan pada tingkatan makro pembuatan keputusan (misalnya : apakah sumber-sumber organisasi dipusatkan pada penduduk yang lemah dan sangat membutuhkan, ataukah pada penduduk yang kurang membutuhkan tapi lebih potensial untuk direhabilitasi), disamping itu juga, pembuatan keputusan pada tingkatan program dan pelayanan (misalnya : apakah mencabut hak pengasuhan orang tua terhadap anaknya ataukah mengembalikan orang dengan kecacatan kepada keluarganya ataukah mengirimkan ke panti sosial). Manajer Human Services Organization/HSO secara langsung atau tidak langsung bertugas untuk membuat pilihan tersebut atau mempertahankan pilihan yang sudah dibuat oleh stafnya. Alasan-alasan seperti ini menyebabkan etika dan nilai-nilai selalu berpengaruh dalam pembuatan keputusan. Keputusan administratif dalam kesejahteraan sosial dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dikehendaki oleh badan-badan sosial terkait yang penting. Badan-badan sosial tersebut seringkali mengakibatkan dilema etis dimana dua atau lebih nilai-nilai yang setaraf dan lebih penting diperselisihkan. Lebih lanjut, pemecahannya seringkali lebih bersifat pertukaran, yaitu mengorbankan atau membelakangkan satu nilai untuk memperoleh yang lain. Pada lingkungan keputusan seperti ini, manajer dituntut untuk membuat pilihan-pilihan yang masuk akal yang didasarkan pada kriteria etis yang jelas. Sesuatu yang sangat penting dilakukan oleh manajer adalah meneladankan (menjadikan dirinya sebagai teladan) alasan-alasan etis dan ketulusan hati bagi seluruh organisasi, dengan demikian menciptakan iklim yang 54



normatif bagi pembuatan keputusan di setiap tingkat kedudukan. Hal ini sangat penting, karena Human Services Organization/HSO bekerja dengan ruang lingkup transaksi yang sangat luas yaitu dengan penerima manfaat, mitra kerja dan pendukun-pendukung; sukses jangka panjang, dalam banyak hal sangat tergantung pada tumbuhnya perasaan kejujuran dan kepercayaan timbal balik. 2. Praktek manajemen Human Services Organization/HSO memerlukan perhatian yang sungguh pada mediasi (merundingkan), mendamaikan dan mempengaruhi pilihan-pilihan dan harapan-harapan konstituen (pendukung) dari luar. Human Services Organization/HSO menggantungkan diri pada berbagai jenis kelompok untuk memperoleh sumber-sumber yang dibutuhkan agar supaya dapat mempertahankan, mengembangkan dan memperbaiki program-program organisasi. Manajer tergantung dari dukungan dan kerjasama dari berbagai konstituen untuk melaksanakan pekerjaan organisasi dan jarang sekali dalam posisi bertindak secara sepihak (dapat menentukan sendiri) tentang persoalan-persoalan penting. Klien atau penerima manfaat merupakan “bahan mentah” yang organisasi kerjakan untuk mencapai tujuan dan menjadi alasan organisasi diberi dana. DPR, lembaga pemerintah, badan-badan pemberi dana, donatur dan yayasan-yayasan menyediakan dana yang dibutuhkan agar kegiatan organisasi dapat berlangsung. Berbagai lembaga pembina dan DPR memberikan kewenangan dan arahan kebijakan, yang menetapkan kerangka kerja pemberian pelayanan. Lembaga akreditasi meninjau ulang dan mengesahkan organisasi berkaitan dengan kriteria kualitas. Administrator wajib mengakomodasi (menampung) kebutuhan-kebutuhan dan minatminat berbagai kelompok tersebut, disamping itu pada saat yang bersamaan mengupayakan kesesuaian yang cukup memuaskan antar kelompok tersebut agar Human Services Organization/HSO terhindar dari harapan-harapan yang saling bertentangan yang dapat mengakibatkan tidak efisien dan efektifnya penggunaan sumbersumber (dibagi-bagi sedikit-sedikit kepada terlalu banyak sasaran). 55



Salah satu penyebab perbedaan harapan tersebut adalah fakta bahwa pengguna pelayanan membayar sedikit (atau tidak membayar sama sekali) dalam menerima pelayanan. Pembinaan ditanggung oleh pihak ketiga seperti pemerintah, yayasan, asuransi dan sumbangan. Penerima manfaat (klien) dan penyedia dana seringkali menuntut hasil (outcomes) yang berbeda. Klien mengharapkan menerima pelayanan sememuaskan mungkin (“private good”), sedangkan penyedia dana mengharapkan seminimal mungkin (“public good”). Masalah yang muncul cukup rumit, terutama apabila organisasi menggunakan teknologi pelayanan pribadi (ini seringkali terjadi) yang tergantung pada dicapainya kesepakatan diantara pemberi pelayanan dengan penerima pelayanan tentang tujuan dan teknik penyembuhan. Sehubungan dengan ini manager Human Services Organization/HSO dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan kedua kelompok, dengan cara disatu segi mendesakkan pengertian pelayanan publik kepada pengguna pelayanan atau di segi lain membujuk penyedia dana agar pelayanan publik dilayani dengan menggunakan pelayanan pribadi. Kegagalan mencapai kesejalanan harapan-harapan ini cenderung akan mengakibatkan masalah bagi organisasi, karena staf akan menghadapi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan atau sumber-sumber akan dibagi-bagikan untuk memenuhi tujun-tujuan yang beraneka ragam dan saling tidak cocok. Tugas utama manajer adalah menengahi perbedaan-perbedaan ini. 3. Manajer organisasi melakukan advokasi bagi kepentingan kelompokkelompok yang terstigmatisasi dan dianggap rendah dengan memobilisasi sentimen masyarakat dan sumber-sumber. Manajer organisasi yang mengurusi pelayanan sosial pribadi seringkali harus berupaya untuk mengubah stereotip tentang kelompok-kelompok yang tidak beruntung (tidak dikehendaki masyarakat) yang mereka layani atau merubah prioritas publik (masyarakat) berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan kelompok tersebut. Sebagai gambaran, misalnya, administrator pelayanan anak perlu meyakinkan pemerintah atau DPRD agar orang tua yang 56



menyalahgunakan anak akan lebih baik apabila direhabilitasi; manajer kesehatan mental akan beruasaha untuk menjelaskan kepada pejabat pemerintah daerah bahwa orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang tidak memiliki rumah sesungguhnya tidak suka dengan cara hidup mereka dan bersedia menerima pelayanan penjangkauan (outreach services); direktur program pencegahan kenakalan berupaya mempengaruhi publik, bahwa anggota-anggota geng ini memiliki harapan-harapan dan tidak ingin melakukan kejahatan serta dapat dibantu untuk memilih gaya hidup yang berbeda apabila diberi kesempatan; manajer program pencegahan kehamilan remaja akan berupaya untuk mempengaruhi pemimpin-pemimpin masyarakat agar klien mereka tidak memiliki bayi bagi kepentingan kesejahteraan mereka.



klien) tersebut cenderung akan merusak moral staf sepanjang waktu, berakibat pada rendahnya semangat dan masalah-masalah kinerja lainnya. c. Tuntutan organisasi terhadap sumber-sumber kemasyarakatan (publik) sebagian tergantung pada persepsi dari penyandang dana bahwa apa yang dikerjakan oleh pegawai dengan cara-cara tertentu dapat memberikan sumbangan pada kualitas kehidupan masyarakat. Apabila persepsi terhadap kelompok-kelompok yang secara moral dianggap tidak berharga (klien) tersebut tidak dapat dirubah sehingga mereka dipandang sebagai asset potensial bagi masyarakat atau paling sedikit dianggap dapat mengurangi ancaman, maka kesuksesan organisasi akan memiliki makna yang kecil bagi masyarakat.



Situasi yang digambarkan tersebut menunjukkan bahwa penerima manfaat dari program tersebut adalah terstigmatisasi secara moral. Dengan demikian, mereka dianggap tidak layak menerima bantuan dan atau patut menerima hukuman. Ada tiga alasan mengapa manajer Human Services Organization/HSO perlu melakukan advokasi terhadap penerima manfaat (klien) ini, yaitu:



4. Manajer Human Services Organization/HSO perlu berkolaborasi (bekerjasama) dengan organisasi lainnya untuk memobilisasi dan memusatkan pendayagunaan sumber-sumber pada klien yang sama agar memperoleh manfaat dari sekelompok spesialis (pekerja ahli) yang diperluas dan kerjasama yang ditingkatkan.



a. Tujuan dari Human Services Organization/HSO adalah merubah orang atau lingkungan sosial mereka. Organisasi tidak dapat memperoleh sumber-sumber dan kerjasama yang dibutuhkan agar berhasil melaksanakan misinya apabila pimpinan-pimpinan masyarakat tidak yakin akan potensi yang dimiliki oleh orangorang yang secara moral dianggap tidak berharga (klien) atau memahami kaitan diantara tujuan pelayanan dengan minat-minat masyarakat luas. b. Penyedia pelayanan (pegawai-pegawai Human Services Organization/HSO) yang memberikan pelayanan kepada kelompok-kelompok penerima manfaat tersebut akan memperoleh penghargaan yang kecil, karena walau bagaimanapun terampilnya mereka atau walau bagaimanapun menantangnya pekerjaan mereka, sasaran pelayanannya dianggap tidak layak. Pandangan yang tidak menyenangkan (terhadap 57



Manajemen pelayanan sosial memerlukan pengembangan dan pemeliharaan kerjasama antar organisasi karena perawatan dan perubahan manusia secara khas dihasilkan secara bekerjasama oleh antar organisasi. Pada tingkat yang sangat luas (secara rasional), hasil yang dicapai oleh klien dari suatu organisasi tergantung dari pelayanan pelengkap atau pendukung yang disediakan oleh organisasi lain didalam sistem pemberian pelayanan. Dengan kata lain, apabila organisasi-organisasi bekerjasama dengan cara yang bertujuan maka dapat dicapai dampak (hasil) yang diharapkan pada banyak kelompok klien. Meskipun kolaborasi telah lama dianggap sebagai strategi yang baik untuk mengatasi kesenjangan pelayanan, meningkatkan akses dan mencapai keekonomisan (mengurangi biayabiaya yang tidak perlu), pada perkembangan terakhir ini kolaborasi menjadi sangat penting bagi keberhasilan organisasi. Selama dua dekade terakhir ini, beberapa perkembangan demografis dan kebijakan sosial mengakibatkan munculnya jenis 58



klien yang berbeda yang dihadapi oleh organisasi. Perkembangan pertama adalah meningkatnya disparitas (perbedaan) kemakmuran karena kebijakan perpajakan dan ekonomi yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok penduduk berpenghasilan tinggi. Sehubungan dengan ini, tingkat kemiskinan (kebanyakan anak-anak) menunjukkan peningkatan. Serentak dengan ini, terjadi pertumbuhan yang cepat jumlah lanjut usia disertai dengan masalah-masalah sosial dan kesehatan. Perkembangan berikutnya, meningkatnya jumlah orang-orang yang mengalami gangguan mental dan penyandang cacat yang membutuhkan pelayanan sosial. Perkembangan lainnya adalah meningkatnya jumlah migran yang kebanyakan mengalami latar belakang traumatis (bermasalah). Kesemua perkembangan ini menyebabkan sejumlah besar kelompok penduduk yang tergantung pada pelayanan sosial yang didukung oleh publik. Perkembangan demografis tersebut berjalan seiring dengan perkembangan kebijakan sosial. Pada dua dekade terakhir ini tuntutan akan pelayanan sosial timbul lebih cepat dari kemampuan programprogram yang didukung publik untuk memenuhi tuntutan tersebut. Penyebabnya adalah karena keterbatasan sumber-sumber atau menurunnya kemauan publik untuk mendanai pelayanan yang diperluas. Terdapat kecenderungan menurunnya pendanaan bagi kesejahteraan sosial pada kelompok penduduk yang termasuk kategori berdasarkan pada ketentuan “means-tested” (penerima pelayanan adalah penduduk yang berpenghasilannya rata-rata penghasilan terendah di negaranya) dan lebih mengutamakan program-program yang ditujukan pada penduduk miskin dan hampir miskin. Untuk menghadapi meningkatnya kesenjangan diantara kebutuhan dan sumber-sumber, pembuat kebijakan baik pada tingkat pusat maupun daerah menetapkan strategi pendistribusian yang memusatkan pengguna sumber-sumber kepada orang yang sangat membutuhkan dan bermasalah sementara itu mengeluarkan orangorang yang kebutuhannya kurang mendesak atau kebutuhannya tidak menimbulkan ancaman. 59



Akibat berantai dari interaksi perkembangan demografis dan perubahan kebijakan adalah meningkatnya secara dramatis jumlah orang yang mengalami beraneka ragam masalah, orang-orang yang kondisinya lemah dan orang-orang yang sangat membutuhkan pelayanan sosial. Meningkatnya kompleksitas kebutuhan ini, pada saat sumber-sumber tidak meningkat, pembuat kebijakan dan manajer Human Services Organization/HSO menjadi sadar bahwa organisasi secara sendiri-sendiri dan atau pemecahan masalah oleh satu profesi tidak sanggup mengatasi masalah yang mereka hadapi. Timbulnya minat yang kuat untuk pemecahan masalah secara kolaboratif, yang tidak hanya berakibat pada keekonomisan secara operasional, juga menghasilkan strategi program menjadi lebih terpadu dan kompherensif (menyeluruh). Manajer Human Services Organization/HSO menjadi sadar bahwa pelayanan terbaik kepada klien dilakukan secara kolaboratif. Pada saat ini, kolaborasi termasuk yang diatur dalam kebijakan sosial. Pelayanan sosial dilihat dari sudut penanggungjawabnya dikelompokkan ke dalam sektor pemerintah, swasta dan pribadi yang disebut juga pemerintahan tri-parti, yaitu pemerintah mempercayakan pelaksanaan kebijakan publik pada sektor-sektor yang mencari keuntungan dan yang tidak mencari keuntungan. Manajer kesejahteraan sosial, apakah di organisasi pemerintah, organisasi yang mencari keuntungan atau yang tidak mencari keuntungan harus dapat bekerja secara efektif pada tingkat kolaborasi antarseksi ini. 5. Manajer kesejahteraan sosial menyampaikan secara jelas nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi yang mengilhami komitmen moral dari pendukung-pendukung, staf dan relawan-relawan. Manajer kesejahteraan sosial, bisa jadi lebih dari manajer disektor lain, harus dapat menggerakkan anggota organisasi berkaitan dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang secara pribadi sangat berarti bagi mereka. Pendukung-pendukung, tenaga professional dan orang-orang lainnya yang terlibat, cenderung merasa lelah pada jenis pekerjaan ini, karena mereka merasakan secara mendalam perlunya merubah dunia sedemikian rupa, sehingga dapat melindungi kelompok 60



penduduk rawan (perempuan, anak-anak, penyandang cacat dan sebagainya) dari perilaku kejahatan, menjamin hak-hak orang yang kehilangan hak-haknya, melindungi dan memperkuat keluarga. Organisasi sosial, salah satu dari lembaga-lembaga yang ada, merupakan wadah dimana tenaga-tenaga professional berupaya untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut. Meskipun kinerja pekerja sosial dan tenaga professional lainnya yang bekerja di organisasi sosial terbentuk dari sejumlah faktor, mulai dari ciri-ciri kepribadian mereka sampai ke iklim, budaya dan struktur organisasi, salah satu sumber motivasi yang terpenting adalah keyakinan mereka terhadap pekerjaan, tujuan-tujuan dan misi organisasi. Salah satu pakar menyatakan, bahwa tipe kekuatan yang digunakan di dalam organisasi untuk menggerakkan keterlibatan aktif anggota-anggota organisasi pelayanan sosial adalah menggunakan kekuatan moral agar memperoleh keterlibatan normatif (yang seharusnya) dari pekerja-pekerjanya. Di dalam organisasi pelayanan sosial, penyedia pelayanan adalah alat pelayanan. Kualitas pelayanan sangat tergantung pada sumbersumber pribadi (sikap pengetahuan, ketrampilan) dari penyedia pelayanan dan keinginan mereka untuk menggunakan sumber-sumber tersebut dalam transaksi (pemberian pelayanan) kepada klien. Jelaslah bahwa apabila penyadia pelayanan komit (bersungguhsungguh) pada tujuan pelayanan maka mereka cenderung akan mengerahkan sumber-sumber pribadinya bagi kepentingan klien. Keterlibatan normatif dari staf juga bermanfaat bagi tujuan-tujuan organisasi. Didalam organisasi yang mengalami kesulitan untuk memerinci tujuan-tujuannya secara spesifik, yang menggunakan teknologi pelayanan dengan variabel dan dampak yang tidak pasti serta menggantungkan pada penilaian dan diskresi (pengecualianpengecualian) dari staf operasional (digaris depan), keterlibatan normatif dari pekerja merupakan sumber utama dari reabilitas (keterpercayaan) dan koherensi (keeratan hubungan). Keterbatasan kemampuan untuk mengamati dan secara langsung memantau perilaku staf, organisasi sangat tergantung pada komitmen staf pada 61



tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi untuk menjamin kinerja pegawai/staf. 6. Manajer kesejahteraan sosial berupaya untuk mengukur kinerja organisasi yang responsif (tanggap) terhadap standar akuntabilitas yang ditentukan oleh lembaga pembuat kebijakan dan lembaga penyandang dana, sekaligus berupaya untuk menyesuaikan dengan sumber-sumber yang tersedia, kesulitan memperkirakan keberhasilan teknologi pelayanan, dan pilihan-pilihan (keinginan-keinginan) penyedia pelayanan (pekerja) serta klien. Perumusan definisi dan pengukuran kinerja organisasi di satu segi merupakan kegiatan yang sangat kompleks, di segi lain lembaga pembuat kebijakan dan lembaga penyandang dana semakin proaktif berupaya memerinci pengukuran hasil (outcomes) keberhasilan klien sebagai bukti dari pemberian dukungan. Tidaklah seperti halnya yang tidak memiliki indikator kinerja yang dapat diterima secara umum, juga standar yang dapat diterapkan diberbagai bidang pelayanan. Ukuran hasil (outcomes) akan berbeda-beda dari berbagai bidang pelayanan seperti di bidang kesehatan mental, kesejahteraan anak, lanjut usia dan sebagainya. Meskipun demikian, organisasi sosial didesak untuk menetapkan serta mempertanggungjawabkan hasil kinerja. Dibidang kesejahteraan anak, ukuran keberhasilan (kriteria kinerja) yang dianggap penting adalah : memperkuat keluarga yang memiliki anak beresiko, menempatkan anak didalam pengaturan kehidupan permanen (pengangkatan anak) dan mengurangi tingkat pengulangan (kambuh) penyalahgunaan dan penelantaran anak. Dibidang kesehatan mental, adalah memelihara dan penyesuaian diri orang-orang yang mengalami gangguan mental berat di masyarakat. Dibidang program bantuan penghasilan adalah penurunan ketergantungan kesejahteraan serta partisipasi angkatan kerja. Terdapat juga kebijakan-kebijakan dan pengaturan-pengaturan dari penyandang dana yang menghendaki standar program yang spesifik, yang mempersyaratkan organisasi pelayanan sosial pemerintah serta organisasi yang tidak mencari keuntungan untuk mengembangkan dan mempertanggungjawabkan bagi standar kinerja yang lebih tajam. 62



Perkembangan keadaan seperti ini akan menjadikan perumusan dan pengukuran kinerja merupakan bagian yang menyatu dari tanggung jawab manajer kesejahteraan sosial. Hal ini mengandung makna lebih lanjut. Jika penyandang dana mengkaitkan dengan pencapaian hasil pelayanan (outcomes), maka kemampuan untuk menentukan sumber-sumber dan proses-proses yang harus diterapkan untuk mencapai hasil pelayanan akan menjadi lebih penting. Faktorfaktor yang terkait dengan hasil pelayanan adalah memerinci teknologi pelayanan, memilih dan melatih pegawai yang dapat melaksanakan pelayanan ini serta mengembangkan sistem informasi manajemen untuk melacak bagaimana kegiatan pemberian pelayanan. Karena penyandang dana mengkaitkan dengan hasil pelayanan, kemampuan manajer untuk menentukan biaya pelayanan adalah sangat penting bagi keberlangsungan keuangan organisasi. Pelaksanaan dari keseluruhan kegiatan ini menghadapi berbagai masalah dan dilema. Pengguna pelayanan (klien) datang ke lembaga pelayanan dengan tujuan-tujuannya sendiri dan memiliki cara-cara menilai kualitas dan efektifitas pelayanan. Karena hasil pelayanan dan cara-cara mencapai hasil pelayanan lebih bersifat telah ditentukan sebelumnya dan bukanlah dirumuskan secara bersama pada transaksi pelayanan adalah menjadi sulit untuk memperoleh jenis-jenis keterlibatan dan kerjasama dari klien (kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan klien) yang diperlukan untuk memenuhi standar kinerja. Sesungguhnya, gambaran tentang hal ini mencerminkan menidakberdayakan (disempowement) klien, karena berlawanan dengan produksi secara kolaboratif (bekerja bersama klien) untuk mencapai hasil pelayanan yang diinginkan. Sebagai alternatif, organisasi berupaya untuk melakukan praktek “yang terbaik” (melakukan akal-akalan) yaitu dengan cara mencari klien yang dianggap cocok dengan teknologi pelayanan yang diperkirakan akan paling efektif. Tantangan terpokok dari manajer kesejahteraan sosial adalah mengembangkan teknologi pelayanan yang memungkinkan bagi klien untuk memilih dan memberikan pengaruh pada terumuskannya harapan-harapan tentang kinerja yang sangat spesifik. 63



7. Manajer kesejahteraan sosial berupaya untuk mengembangkan proses-proses pemberian dukungan dan pemberdayaan didalam organisasi agar dapat membangun komitmen dan perasaan memiliki dan memelihara iklim yang kondusif bagi kesehatan psikologis dan fisik. Seperti telah dibahas sebelumnya, nilai-nilai organisasi sangat penting dalam menarik perhatian dan melibatkan staf dan orangorang terkait lainnya dalam pekerjaan organisasi. Hal penting lainnya yang terkait dengan hal ini adalah perlunya memelihara komitmen yang tinggi dari pegawai, oleh karenanya manajer wajib memusatkan upayanya pada pengembangan dan pemeliharaan pegawai karena pegawai merupakan alat (instrumen) pemberian pelayanan. Transaksi (proses) pelayanan secara khas memerlukan penggunanaan kualitas dan perilaku pribadi pegawai (misalnya : penilaian, empati, pengungkapan, pemberian contoh) dalam berinteraksi dengan klien yang bermasalah, tertekan, bingung dan kadang-kadang sangat menyulitkan. Agar dapat memberikan yang terbaik, staf professional dan relawan harus dapat menjaga komitmen pribadi yang sangat tinggi. Hal-hal ini akan sangat melelahkan, sehingga apabila pemberian dukungan dan strategi manajemen stres tidak efektif akan menimbulkan sejumlah akibat yang tidak baik, seperti : gangguan emosional, depersonalisasi klien dan masalah-masalah psikologis lainnya. Manajer kesejahteraan sosial wajib dengan sungguh-sungguh menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja agar kapasitas pemberian pelayanan oleh organisasi tidak merosot. 8. Manajer kesejahteraan sosial harus dapat mengendalikan (control) program-program mereka. Hakekat teknologi pelayanan melibatkan transaksi-transaksi yang bersifat pribadi yang sangat banyak antar pekerja dengan klien. Lebih lanjut, interaksi diantara staf dan klien secara khas bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian seketika pada saat itu dan pemecahan yang baru. Meskipun intervensi pelayanan dibimbing oleh pedoman pemberian pelayanan, supervisi dan pelatihan, namun 64



terdapat unsur-unsur yang tidak dapat dihindarkan dan diinginkan yang memerlukan pengecualian (diskresi) dan penilaian, jika pekerja dan klien menemukan cara-cara untuk lebih meningkatkan kemajuan bagi pencapaian tujuan. Nilai-nilai profesional dalam melaksanakan penilaian dan budaya professional memperkuat norma otonomi dalam kaitannya dengan norma-norma tertentu.



9. Manajer kesejahteraan sosial wajib mengupayakan agar klien terlibat secara langsung dalam pemilihan cara-cara dan menentukan hasil (outcomes) dari pemberian pelayanan (karena pengguna pelayanan sosial adalah orang yang berpartisipasi aktif dalam proses pelayanan dan bertanggung jawab penuh terhadap perubahan-perubahan yang diinginkan).



Kurangnya cara-cara independen (teknik yang standar) untuk mengumpulkan informasi tentang pelayanan dan hasil evaluasi menyebabkan manajer kesejahteraan sosial tergantung dari staf untuk menyediakannya. Mekanisme akuntabilitas tipe komando dan kontrol ini tidak mungkin akan memperoleh informasi yang reliable (yang dapat dipercaya), terutama jika penyedia (organisasi) pelayanan meyakini bahwa informasi tersebut digunakan untuk mengevaluasi kinerja. Sebaliknya, jika informasi dianggap sebagai cara untuk belajar dan meningkatkan kinerja, dan jika digunakan untuk memfasilitasi (mendukung) pengembangan staf dan meningkatkan pelayanan kepada klien barulah pekerja professional bersedia berpartisipasi. Sehubungan dengan ini, diperlukan partisipasi staf untuk merancang sistem informasi dan pengguna informasi bagi penyediaan umpan balik kepada staf. Sistem tersebut dapat bekerja dengan baik didalam struktur organisasi yang terdapat kewenangan yang di desentralisasikan.



Pengguna pelayanan sosial adalah mitra yang sangat penting dalam menciptakan perubahan. Mereka (klien) adalah ko produsen. Perubahan-perubahan dari perilaku, sikap dan keterampilan serta bahkan perubahan kondisi lingkungan memerlukan partisipasi aktif dari klien. Meskipun demikian, berdasarkan pola konvensional, terdapat kekuatan besar didalam organisasi dan praktek professional yang berupaya untuk mempertahankan kekuasaan dari penyedia pelayanan dan mengekalkan ketergantungan klien. Prosedur-prosedur pengaturan telah menghilangkan kekuatan-kekuatan tersebut (pola lama) dengan cara meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan norma-norma budaya yang menghormati klien dan menghargai kekuatan-kekuatan dan kemampuan klien, dan memberikan kesempatan kepada klien untuk memilih dan mempengaruhi teknologi pelayanan yang digunakan. Pengguna pelayanan sosial (klien) seringkali mengalami tidak diberdayakan (disempowerment) dan tidak memiliki ketrampilan politis dan birokratis (ketrampilan administrasi dan mengorganisasi) yang dibutuhkan untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan mereka. Kondisi ini dan kenyataannya, bahwa organisasi memperoleh pengesahan (legitimasi) dan dana bukan dari klien, membuat manajer dan penyedia pelayanan (pekerja) tidak memperhatikan atau mengabaikan minat-minat dan peranan (kontribusi) klien dalam proses pelayanan. Manajer berperan sangat penting agar hal-hal tersebut tidak terjadi dan klien diperlakukan sebagai mitra.



Manajer kesejahteraan sosial pada semua tingkatan harus bertanggung jawab terhadap satuan kerjanya. Lembaga-lembaga yang berwenang dan lembaga di luar organisasi memerlukan informasi untuk menegaskan adanya kepatuhan dan seringkali menuntut manajer untuk melakukan perubahan jika kinerja dibawah yang diharapkan. Sehubungan dengan itu, manajer kesejahteraan sosial dapat melakukan upaya-upaya untuk memperoleh informasi dan menggunakannya dalam rangka menciptakan budaya kerja dengan titik berat pada pengembangan professional dan penyempurnaan organisasi agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pengguna pelayanan. 65



66



PERENCANAAN DALAM ORGANISASI PELAYANAN SOSIAL Perencanaan oleh manajer merupakan suatu kegiatan kritis dalam rangka pemberian pelayanan. Perencanan memerlukan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa dimasa lalu dan kemampuan memimpikan masa depan. Perencanaan juga memerlukan pemahaman yang mendalam tentang orang dan latar belakang pelakunya.



3. Akuntabilitas Tujuannya adalah agar pelayanan publik pembenaran dan dapat diterima masyarakat.



memperoleh



4. Moral Tujuannya adalah agar pegawai-pegawai organisasi sosial memiliki kepuasan dan perasaan berhasil, lebih lanjut dapat menunjukkan kinerja lebih baik. Karakteristik Perencanan



Pengertian Perencanaan Perencanaan merupakan suatu proses rasional yang digunakan oleh pemerintah atau organisasi atau oleh sekelompok orang sampai ke melakukan tindakan untuk mencapai keadaan tertentu dimasa depan. Rencana dirancang untuk membawa kita dari keadaan kita sekarang ke keadaan yang kita harapkan terjadi besok. Perencanaan adalah keputusan tentang orientasi masa depan, merupakan tindakan untuk memilih dari beberapa alternatif langkah-langkah kegiatan dimasa depan, juga merupakan suatu pendekatan rasional terhadap sejumlah tujuan yang telah dipilih. Perencanaan mengandung arti memutuskan terlebih dahulu apa yang perlu dilakukan. Cara-cara terbaik yang akan dilakukan, waktu yang tepat, siapa yang paling tepat untuk melukannya. Pada umumnya, perencanaan adalah suatu proses pemilihan dan merancang secara rasional suatu cara melakukan kegiatan kolektif untuk mencapai keadaan tertentu dimasa depan. Mengapa Perencanaan Diperlukan



Model perencanaan rasional memiliki beberapa ciri, yaitu: 1. Orientasi tujuan. Orientasi tujuan berarti pembuat keputusan menentukan beberapa keadaan dimasa depan yang akan kita capai. Kegiatan yang perlu dilakukan adalah : a. Memikirkan tentang situasi sekarang dengan cara berpandangan kemasa depan. Manajer memusatkan perhatian pada bagaimana sebaiknya, bukan bagaimana adanya. Hal ini berpotensi bagi inovasi; b. Perencanaan memobilisasi orang secara bertujuan atau membangkitkan kemauan. Perancanaan berorientasi tujuan dapat membangkitkan sumber energi, yaitu motivasi orang untuk menghasilkan perubahan yang disengaja. 2. Orientasi perubahan.



Alasan-alasan pentingnya perencanaan adalah: 1. Efisiensi Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan dengan biaya dan upaya minimal.



Unsur pokok dalam setiap perencanaan adalah serangkaian tindakan atau intervensi, mengacu pada program atau kebijakan, dalam rangka merubah situasi sekarang menuju pada arah yang diinginkan.



2. Efektifitas Tujuannya agar hasil yang diharapkan tercapai.



a. Pernyataan pilihan. Tanggung jawab akhir dari perencanaan adalah memperluas pilihan dan kesempatan untuk memilih. Kegiatan melakukan pemilihan karena:



67



68



a. Kenyataan bahwa sumber-sumber terbatas; b. Memberikan kesempatan melakukan inovasi. b. Rasionalitas. Rasionalitas berarti pilihan dibuat atas dasar kriteria yang dibuat secara jelas. Konsistensi diantara pilihan yang ditetapkan dengan kriteria yang telah dibuat mencerminkan tingkat rasionalitas perencanaan. Kriteria yang biasanya digunakan adalah: a. Efisiensi, yaitu hubungan diantara manfaat yang diharapkan dari kegiatan dengan biaya yang diperkirakan; b. Optimalitas, yaitu seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan menggunakan sejumlah sumber-sumber tertentu; c. Sintesis, yaitu keselarasan diantara suatu kegiatan dengan kegiatan lain. c. Berbasis kolektif. Perencanaan merupakan proses pembuatan keputusan oleh sejumlah orang (kolektif). Perencanaan publik bercirikan adanya upaya untuk mendamaikan perspektif yang berbeda dalam suatu kolektif tertentu dan tuntutan yang beraneka ragam atas sumber-sumber yang terbatas.



d. Kebijakan. Pernyataan umum sebagai pedoman berpikir, membuat keputusan dan berperilaku. e. Peraturan. Persyaratan spesifik sebagai standar perilaku dan pembuatan keputusan. f. Prosedur. Gambaran tentang tata urutan kegiatan. g. Program. Kumpulan dari tujuan, kebijakan, peraturan, dan strategi. h. Anggaran. Proses Perencanaan Proses perencanaan (Schaffer), yaitu: 1. Penelitian : analisis kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan dan faktor-faktor lain dari organisasi organisasi serta menentukan kesempatan-kesempatan dan resiko-resiko yang diciptakan oleh kecenderungan eksternal; 2. Perumusan tujuan : menentukan harus menjadi apa organisasi di masa depan;



Daftar Isi Perencanaan Perencanaan berkaitan dengan sejumlah tipe rencana, yaitu: a. Misi. Pernyataan yang sangat luas tentang mengapa perlu organisasi tertentu. b. Tujuan. Gambaran tentang tujuan yang menjadi arah kegiatan. c. Strategi. Rencana tindakan yang spesifik untuk mencapai tujuan.



69



3. Perencanaan strategis : mengembangkan suatu kerangka kerja menyeluruh yang menggambarkan bagaimana organisasi melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan akhirnya; 4. Perencanaan operasional : menyusun langkah-langkah setiap unit kerja dan fungsi dalam rangka melaksanakan rencana strategis. Menurut Carlisle, yaitu: 1. Menentukan dimana keadaan organisasi sekarang; 2. Mengembangkan asumsi-asumsi perencanaan berkaitan dengan kecenderungan dan kondisi masa depan; 70



3. Mengembangkan dan menilai kembali tujuan yang akan ditetapkan; 4. Menetapkan sejumlah strategi untuk mencapai tujuan; 5. Menyusun kegiatan-kegiatan program untuk mencapai tujuan yang diinginkan; 6. Menetapkan sumber-sumber pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan; 7. Melaksanakan rencana; 8. Mengendalikan rencana.



3.



Memerinci Altenatif. Pimpinan organisasi perlu mempertimbangkan berbagai cara untuk mencapai obyektif. Cara-cara yang telah di inventarisasi harus diuraikan secara rinci.



4.



Melakukan antisipasi terhadap hasil dari setiap alternatif. Pimpinan organisasi perlu melihat ke masa depan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi jika suatu tindakan tertentu dilakukan. Antisipasi juga dilakukan dengan memberi bobot pada setiap pilihan. Antisipasi harus dilakukan dari berbagai segi, terutama dari aspek politik dan ekonomi.



5.



Memutuskan Rencana yang terbaik. Kegiatan yang perlu dilakukan adalah mengolah dan memperbandingkan hasil pengkajian dan membuat pilihan. Pimpinan perlu membuat daftar pilihan berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi dan fisibilitasnya.



Langkah-langkah Perencanaan Dasar Rangkaian kegiatan perencanaan adalah sebagai berikut: 1. Memilih tujuan spesifik (obyektif). Obyektif berkaitan dengan tujuan umum dan kebijakan organisasi. Ada dua jenis obyektif, yaitu obyektif menyeluruh dan jangka panjang, serta obyektif spesifik dan jangka pendek. Perencanaan adalah suatu proses antisipatoris, sehingga sasaran yang ditetapkan sebaiknya spesifik, sederhana dan dapat dicapai. Bentuk-bentuk penyusunan obyektif dalam proses perencanaan adalah: a.



Kriteria untuk mempertimbangkan hal ini adalah: a. Ketersediaan sumber-sumber; b. Ketersediaan teknologi; c. Akseptabilitas nilai; d. Kememadaian.



Manajemen berdasarkan obyektif. Masukan Obyektif



Kegiatan Tindakan



b. Obyektif perilaku. Obyektif perilaku adalah spesifik, yang sederhana, dapat diamati, terukur dan realistik.



Keluaran Hasil



bercirikan



2. Mempertimbangkan Sumber-Sumber Organisasi. Sumber-sumber yang perlu adalah ekonomi, fisik, dan personalia organisasi, juga dukungan masyarakat.



71



6.



Merencanakan suatu program aksi yang spesifik. Kegiatan yang dilakukan adalah membuat cetak biru atau tahap penyusunan peta/matriks termasuk penjadwalan waktu.



7. Buatlah terbuka untuk perubahan. Keseluruhan proses perencanaan perlu bersifat fleksibel. Pada saat penyusunan maupun pelaksanaan perubahan bisa saja terjadi.



72



Perencanaan Antar Organisasi



KOORDINASI



Perencanaan antar organisasi perlu dilakukan dalam kerangka proses pengorganisasian masyarakat (CO) disuatu masyarakat tertentu. Prinsip-prinsip dasar dan proses-proses yang digunakan pada perencanaan intra organisasi dapat juga diterapkan pada perencanaan antar organisasi, meskipun demikian perlu ditambahkan dengan koordinasi antar organisasi dan kerja tim.



Pentingnya Koordinasi Pembagian kerja mengakibatkan suatu pekerjaan dipecah-pecah menjadi berbagai satuan kerja. Masing-masing satuan kerja dipercayakan atau ditugaskan kepada seseorang pekerja untuk melaksanakan sebagian tugas-tugas di bidangnya. Namun demikian tujuan atau sasaran yang harus dicapai selalau memerlukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut tugas atau fungsi lebih dari satu pekerja atau satuan kerja. Untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu diperlukan pendekatan multifungsional, hal ini berarti setiap permasalahan harus dipandang sebagai fungsi berbagai pekerja atau satuan kerja yang terlibat di dalamnya. Lebih lanjut, setiap pelaksanaan tugas-tugas perlu melibatkan berbagai pekerja atau satuan kerja. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut agar efektif dan efisien perlu dipadukan, diserasikan, dan diselaraskan untuk mencegah timbulnya timpang tindih, kekakuan, kesimpangsiuran atau adanya tugas-tugas yang tidak tertangani. Sehubungan dengan itu pimpinan harus memperhatikan dan membina hubungan kerja dan keserasian aktivitas diantara satuan-satuan kerja yang ada. Keseluruhan aktivitas dalam organisasi harus terarah dan terpadu kepada pencapaian tujuan organisasi dengan waktu-waktu kegiatan yang selaras. Pembinaan hubungan kerja dan keserasian aktivitas keseluruhan satuan kerja dengan cara demikian itu merupakan koordinasi. Pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan perlunya dilakukan koordinasi secara efisien dan efektif adalah sebagai berikut : Pertama



73



: Walaupun pengelompokan dan pembagian tugas telah diadakan, akan tetapi semua satuan-satuan kerja mempunyai : a. Tujuan yang sama, yaitu tujuan organisasi b. Tanggung jawab yang sama, yaitu mencapai dengan sukses tujuan organisasi tersebut. 74



Kedua



Ketiga



: Keberhasilan organisasi secara keseluruhan harus diutamakan, bukan keberhasilan masing-masing satuan kerja, pimpinan, pertama-tama perlu mewujudkan keefektifan organisasi secara keseluruhan, bukan kepentingan tertentu dari suatu unsur organisasi dan mengalahkan hasil kerja secara keseluruhan. : Keberhasilan dari suatu satuan kerja tidak jarang tergantung dari hasil kegiatan satu atau beberapa satuan kerja yang lain. Hal ini disebabkan oleh adanya spesialisasi. Semakin terperinci spesialisasinya, semakin tinggi ketergantungan pada satuan-satuan kerja yang lain. Oleh karena itu diperlukan penyelarasan waktu pelaksanaan kegiatan diantara satuan-satuan kerja yang ada. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak satu satuan kerjapun yang akan dapat menyelesaiakan suatu masalah atau program.



sumber-sumber. Sumber-sumber yang terbatas ini harus dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin ditinjau dari kepentingan organisasi secara keseluruhan. Dengan demikian koordinasi merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Koordinasi harus diterapkan muali dari proses perumusan kebijakan (policy), perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan. Koordinasi dapat dilakukan di dalam suatu organisasi dan antar organisasi. Koordinasi dalam suatu organisasi merupakan hubungan kerja antar satuan kerja (bagian-bagian) dari organisasi tersebut. Koordinasi antar organisasi merupakan hubungan kerja antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, baik hubungan kerja antar bagian dari suatu organisasi dengan bagian organisasi lainnya maupun hubungan kerja antar suatu organisasi secara keseluruhan dengan organisasi lainnya secara keseluruhan pula.



Keempat



: Adanya ketergantungan sering menimbulkan hambatan bagi berhasilnya pelaksanaan tugas. Timbul kecenderungan dari satuan kerja tertentu untuk melakukan segala sesuatu yang berkaitan dan mempengaruhi tugas pokoknya, walaupun diluar bidang tugasnya. Apabila hal ini dibiarkan akan timbul bentrokan-bentrokan atau tumpang tindih kegiatan yang berarti pemborosan.



Koordinasi didalam dan antar organisasi disatu segi memiliki kesamaan, di lain segi memiliki perbedaan-perbedaan, walaupun pada akhirnya satu sama lain dapat saling mempengaruhi. Metode-metode, langkah-langkah kegiatan, peranan-peranan pemimpin dan hal-hal tertentu lainnya yang digunakan pada koordinasi didalam organisasi dapat juga berlaku pada koordinasi antar organisasi, begitu pula sebaliknya.



Kelima



: Sering timbul sikap yang memandang bahwa tugas atau spesialisasinya sendiri yang paling penting, sedangkan tugas atau spesialisasi lainnya penting.



KOORDINASI INTRA (DI DALAM) ORGANISASI



Keenam



: Sering pula timbul sikap masa bodoh terhadap tugas dan tanggung jawab satuan kerja lain, asalkan tugas satuan kerjanya sendiri dapat berhasil.



Ketujuh



: Organisasi yang pada umumnya mempunyai beberapa tujuan dengan berbagai kegiatan yang harus dilaksanakan, senantiasa dihadapkan pada keterbatasan 75



Semua kegiatan penting yang dilakukan untuk mengkaitkan berbagai bagian pekerjaan dari suatu organisasi atau badan sehingga organisasi tersebut dapat melaksanakan fungsinya sebagai keseluruhan yang utuh dapat disebut koordinasi. Koordinasi secara definitif mengacu pada kegiatan mengalokasikan dan mengarahkan berbagai orang, fungsi, keahlian khusus dan ruang/waktu yang saling berhubungan secara timbal balik, sedemikian rupa, sehingga semua unsur tersebut memberikan sumbangan secara maksimal terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa koordinasi 76



merupakan suatu proses yang sangat penting dan mendasar di dalam setiap organisasi. Bagaimanapun juga, koordinasi tidak boleh dianggap sebagai tujuan itu sendiri. Pencapaian tujuan-tujuan organisasi adalah sasaran dari semua fungsi-fungsi organisasi, termasuk koordinasi. Jika suatu organisasi terkoordinasi secara baik tapi gagal untuk mencapai tujuan-tujuannya, maka upaya-upaya yang telah dilakukan dalam proses koordinasi merupakan pemborosan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui ada 2 (dua) aspek utama yang harus dikoordinasi, yaitu : 1. Pekerjaan; 2. Upaya-upaya pegawai. Koordinasi upaya-upaya pegawai bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi secara efektif hanya dapat dilakukan apabila terlebih dahulu telah dilakukan koordinasi pekerjaan. Pekerjaan lebih dulu ada/terjadi daripada orang yang melaksanakan pekerjaan, oleh karenanya koordinasi pekerjaan harus dilakukan terlebih dahulu dan merupakan syarat mutlak bagi efektifnya koordinasi faktor manusia. Oleh karena itu setiap pekerjaan dan setiap fungsi harus disusun secara jelas dalam hubungannya dengan pekerjaan-pekerjaan dan fungsi-fungsi lainnya serta seluruhnya harus terkait pada tujuan-tujuan organisasi. Ilustrasi berikut ini menggambarkan hal tersebut, misalnya : Seorang konsultan disewa oleh suatu organisasi untuk menemukan penyebab dari tidak efisiennya pelayanan yang diberikan dalam organisasi tersebut. Konsultan memulai pekerjaannya dengan mengajukan sejumlah pertanyaan terhadap pegawai-pegawai tentang pekerjaan mereka dan pekerjaan dari rekan-rekan pekerja lainnya. Konsultan menemukan fakta, bahwa terdapat banyak perbedaan dalam penjelasan yang diberikan oleh pekerja tertentu dengan rekan pekerja lainnya tentang apa saja yang seharusnya dilakukan. Hanya sedikit, apabila ada, koordinasi upaya-upaya pekerja/pegawai dan terdapat banyak tumpang tindih kerja.



77



Bentuk-Bentuk Koordinasi Koordinasi didalam setiap organisasi terutama terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu : 1. Koordinasi vertikal; 2. Koordinasi horizontal. Koordinasi vertikal, yaitu koordinasi dari eksekutif puncak (pemimpin) pada pekerja (pejabat struktural) dibawahnya, dilakukan melalui penyerahan (delegasi) tanggung jawab sesuai dengan wewenangnya beserta kekuasaan yang berkaitan dengan tanggung jawab tersebut untuk melaksanakan setiap tindakan, dari yang terbesar sampai ke yang terkecil. Sehubungan dengan itu, seseorang yang diserahi suatu tugas menjadi bertanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, tetapi pimpinan yang menyerahkan tanggung jawab tersebut tetap bertanggung jawab agar pekerjaan terlaksana. Rangkaian tanggung jawab beserta kekuasaan yang menyertainya, mengalir dari puncak ke bawah keseluruh organisasi tetapi selalu berasal dari pemimpin puncak yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan. Koordinasi horizontal seperti halnya dengan koordinasi vertikal, juga dimulai dari puncak (atas) tetapi lebih mencerminkan dua arus informasi. Pada koordinasi horizontal, tidak hanya pimpinan sendiri yang berupaya menyampaikan atau menjelaskan hal-hal tertentu kepada bawahannya agar bawahannya mengerti, melalui saluran-saluran pelayanan staf yang sudah biasa digunakan. Bawahan-bawahan juga memiliki hal-hal tertentu yang penting untuk disampaikan pada pimpinan sesuatu hal yang perlu diketahui atau dimengerti oleh pimpinan untuk melaksanakan kepemimpinannya. Mereka juga memiliki sesuatu hal yang penting untuk disampaikan kepada yang lain. Satu sama lain saling menyampaikan agar saling mengetahui baik ke atas, ke bawah maupun kesamping, dari yang paling tinggi sampai ke struktur organisasi yang paling bawah. Koordinasi arus informasi ini harus dilakukan agar setiap orang didalam organisasi mengerti tentang fakta-fakta, gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang perlu diketahui untuk dapat melaksanakan pekerjaan. Sebagai tambahan, orang-orang yang perlu 78



membuat keputusan harus diberikan nasehat dan saran-saran yang dibutuhkan untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang koordinasi vertikal dan horizontal, diuraikan ilustrasi berikut ini : Anggaplah saudara sebagai direktur program suatu badan sosial yang baru dibentuk. Selama beberapa bulan pelaksanaan kegiatan, saudara menemukan bahwa beberapa program dan pelayanan dari badan sosial tersebut berjalan dengan lambat, sementara program yang lainnya berjalan secara tidak efektif dan tidak efisien. Hasil penelitian saudara terhadap anggota-anggota staf saudara dan juga terhadap atasan saudara serta terhadap pekerja-pekerja yang sederajat dengan saudara mengungkapkan beberapa temuan yang menarik. Meskipun atasan saudara telah menjelaskan kepada seluruh jajaran pekerja bawahannya tentang apa saja yang harus diselesaikan, tetapi saudara hanya memperoleh sedikit sekali penjelasan umpan balik dari pekerja-pekerja saudara. Pekerja-pekerja bawahan saudara dalam keadaan tidak jelas tentang apa yang diharapkan dari mereka (tantang apa yang harus mereka kerjakan). Pimpinan-pimpinan badan sosial lainnya juga mengalami hal yang sama tentang anggota-anggota stafnya. Kenyataan ini diperkuat dengan bukti, bahwa apabila saudara meminta pendapat tentang perubahan-perubahan apa saja yang perlu dilakukan pada program atau pemberian pelayanan, maka anggota-anggota staf saudara berkerabatan atau enggan memberikan gagasan-gagasan atau pandanganpandangannya. Ilustrasi ini menunjukkan, bahwa walaupun koordinasi vertikal telah dilakukan (atasan telah memberikan penjelasan kepada jajaran pekerja dibawahnya), tetapi koordinasi horizontal kurang baik (arus informasi dari bawah ke atas dan kesamping kurang efektif), begitu juga koordinasi pekerjaan kurang memadai (uraian tugas setiap pekerjaan dan setiap fungsi dalam hubungannya dengan pekerjaan dan fungsi lainnya kurang jelas). Sehubungan dengan itu, peranan pemimpin dalam melakukan koordinasi adalah menyelaraskan perbedaan-perbedaan pandangan/gagasan, berbicara dengan pekerja-pekerja, memperoleh umpan balik dan membuat keputusan-keputusan. Lebih lanjut, koordinasi harus didasarkan pada kenyataan, bahwa seluruh anggota staf memahami 79



dan menerima tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran organisasi. Koordinasi akan menjadi lebih efektif apabila setiap orang memahami dengan jelas bagaimana pekerjaan yang mereka lakukan ikut memberikan sumbangan pada pencapaian tujuan-tujuan utama dari organisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa salah satu cara terbaik untuk mengkoordinasi adalah dengan memahami keseluruhan bagian dari sistem organisasi. Langkah-Langkah Penting dan Metode-Metode Koordinasi Koordinasi Upaya-Upaya Staf Koordinasi upaya-upaya staf merupakan tanggung jawab pimpinan (eksekutif). Kerjasama (kooperasi) adalah kunci bagi koordinasi yang efektif. Kerjasama tersebut mencakup kerjasama dalam berpikir, merencanakan dan melakukan tindakan. Tanggung jawab utama pimpinan dalam melakukan koordinasi pegawai-pegawai organisasi adalah sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan perjumpaan-perjumpaan (kontak) secara langsung atau tatap muka diantara anggota-anggota staf organisasi (badan sosial); 2. Mengupayakan agar diperoleh persetujuan bersama tentang rencanarencana tindakan dan rencana-rencana tersebut dilaksanakan sedini (seawal) mungkin; 3. Menciptakan suatu suasana yang memungkinkan terjadinya tanggapan timbal balik di dalam organisasi; suatu suasana yang memberi kesempatan kepada setiap anggota staf merasa bebas untuk member tanggapan terhadap gagasan-gagasan dan saran-saran baru yang muncul, juga dalam hal menyampaikan gagasan-gagasan dan saran-sarannya sendiri kepada sesama pegawai, kepada bawahan serta kepada atasan; 4. Mengupayakan terciptanya hubungan kerja yang terus menerus dan sejauh mungkin menghindar selalu terjadinya pergerakan-pergerakan pegawai dari suatu bagian ke bagian lainnya. Pemimpin harus mencegah keluar masuknya atau kontak-kontak secara terus menerus antara pegawai-pegawai dari suatu unit kerja ke unit kerja lainnya. 80



Untuk dapat melaksanakan tanggung jawab pimpinan dalam hal koordinasi pegawai suatu organisasi secara efektif, langkah-langkah penting koordinasi yang harus dilakukan adalah : 1. Mengumpulkan secara memadai sejumlah fakta yang terkait dan pandangan-pandangan yang ada yang perlu diketahui oelh pihakpihak yang berkepentingan; 2. Memberikan batasan pengertian yang jelas tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap semua tugas-tugas operasional; 3. Mengupayakan agar orang-orang yang bertanggung jawab pada setiap penugasan mengetahui tentang tugas-tugas yang perlu dilakukannya, memiliki kemampuan/kecakapan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dan menyatakan persetujuan untuk melaksanakan penugasan; 4. Mempersiapkan hal-hal yang diperlukan bagi peninjauan ulang dan penilaian terus menerus terhadap nilai-nilai yang dicapai; 5. Menciptakan kesatupaduan di dalam suatu program melalui pengembang suatu perasaan tanggung jawab bersama diantara pekerja-pekerja yang terlibat. Metode-metode utama yang dapat digunakan oleh pimpinan untuk melakukan koordinasi pegawai, yaitu : 1. Komite atau Panitia; 2. Konferensi atau Pertemuan-Pertemuan. Dengan menggunakan kedua metode tersebut pimpinan mengupayakan berlangsungnya saluran-saluran komunikasi secara efektif dengan seluruh stafnya. Koordinasi diantara anggota-anggota staf dan diantaranya satuan-satuan kerja (bagian-bagian) dapat dicapai melalui saluran-saluran komunikasi secara efektif.



81



Koordinasi Antar Organisasi Untuk memahami mengapa organisasi-organisasi bekerjasama atau tidak dengan organisasi lainnya adalah perlu memusatkan perhatian pada organisasi itu sendiri dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan persyaratan-persyaratan organisasi. Setiap organisasi memiliki beberapa jenis tujuan atau sasaran yang mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi tersebut. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut suatu organisasi harus memiliki 3 (tiga) unsur atau sumber-sumber, yaitu : 1. Penerima pelayanan (secara langsung atau tidak langsung); 2. Sumber-sumber dalam bentuk : peralatan, pengetahuan khusus serta sejumlah dana; 3. Pelayanan-pelayanan dari pekerja yang menyampaikan sumbersumber kepada penerima pelayanan. Hanya sedikit apabila ada, organisasi-organisasi yang dapat memiliki unsur-unsur tersebut secara memadai untuk mencapai tujuantujuannya secara penuh. Pada kenyataannya unsur-unsur tersebut adalah langka, dan organisasi harus memilih fungsi-fungsi, pelayanan-pelayanan atau kegiatan-kegiatan tertentu yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuannya seoptimal mungkin. Meskipun suatu organisasi membatasi dirinya pada fungsi-fungsi tertentu karena kelangkaan sumber-sumber, jarang ada organisasi yang dapat melaksanakan fungsi tersebut, tanpa paling sedikit bekerja sama dan menciptakan hubungan dengan organisasi lainnya. Suatu organisasi terlibat dalam kerjasama dengan organisasi lainnya karena membutuhkan sumber-sumber seperti uang, keterampilanketerampilan khusus, tenaga, ruang, waktu dan sebagainya. Namun demikian, pada kenyataannya kerjasama antar organisasi sering kali mengalami hambatan-hambatan. Masalah yang selalu dihadapi oleh organisasi dalam hubungannya dengan organisasi lainnya, terutama organisasi pelayanan sosial, adalah kebutuhan untuk mempertahankan otonomi fungsional dan identitas kelembagaan dari organisasi masingmasing. Organisasi-organisasi tersebut di satu segi perlu melakukan 82



koordinasi dan pertukaran kegiatan satu sama lain, sedangkan di segi lain mengalami hambatan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan ketergantungan pada lingkungan. Ada beberapa ciri dari organisasi-organisasi pelayanan sosial yang menyebabkan terjadinya masalah-masalah di dalam mengelola hubungan antar organisasi, yaitu : 1. Organisasi-organisasi pelayanan sosial sering kali dihadapkan pada pilihan yang sulit (dilema), yaitu : diantara memberikan pelayanan yang beragam jenis (multiple services) atau pelayanan yang hanya satu jenis (specialized service) untuk memenuhi kebutuhankebutuhan klien. Apabila menyediakan pelayanan yang beragam jenis, maka organisasi tersebut dapat memenuhi kebutuhankebutuhan klien secara luas, namun berakibat pada meningkatnya ketergantungan organisasi kepada lingkungannya (karena membutuhkan banyak sumber) serta mengurangi ciri khas organisasi tersebut. Sebaliknya, apabila suatu organisasi hanya menyediakan satu jenis pelayanan, organisasi tersebut cenderung kurang tergantung pada lingkungannya. Organisasi yang tujuannya terbatas (sempit) dapat menetapkan secara tegas dan jelas sasaran-sasaran untuk memperoleh sumber-sumber keuangan dan juga dapat mengurangi ketergantungan pada organisasi lain dan lebih lanjut dapat melawan tekanan-tekanan untuk bergabung dengan organisasi-organisasi lainnya (agar tidak kehilangan ciri khasnya). Apabila suatu organisasi pelayanan yang bersifat spesialis perlu mengadakan kerjasama dengan organisasi lain yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan, maka keefektifan organisasi pelayanan spesialis tersebut sebagian ditentukan oleh jenis pertukaran (pelayanan) yang diberikan oleh organisasi yang menyediakan pelayanan yang melengkapi tadi. Misalnya : keefektifan suatu pusat pelatihan kerja tergantung pada kualitas pekerjaan yang diberikan oleh suatu organisasi penempatan kerja kepada klien yang telah mengikuti pelatihan. Apabila organisasi penempatan kerja memberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pelatihan yang dialami klien, maka pusat pelatihan kerja tersebut menjadi tidak efektif. 83



2. Semakin spesialis pelayanan yang diberikan oleh organisasiorganisasi mengakibatkan klien perlu mengadakan transaksi (hubungan) dengan semakin banyak organisasi agar supaya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu adalah sesuatu yang merepotkan bagi klien untuk menemukan berbagai jenis pelayanan serta terpaksa mengalami proses-proses yang banyak dan berulang-ulang yang dituntut oleh berbagai organisasi dalam rangka memperoleh pelayanan-pelayanan. 3. Organisasi pelayanan sosial seringkali terbentuk sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kebutuhan-kebutuhan khusus yang dikehendaki oleh badan-badan yang membentuknya, seperti : kelompok-kelompok didalam masyarakat yang memiliki minat-minat khusus, tokoh-tokoh pembuat undang-undang, dan perkumpulan-perkumpulan professional. Akibatnya, pelayanan yang diberikan oleh organisasiorganisasi tersebut cenderung sebagian-sebagian (terpisah-terpisah) dan mencerminkan ideologi dan minat-minat dari kelompokkelompok sosial yang mendirikannya. Pemisahan pelayanan atas dasar klien atau jenis pelayanan atau keduanya hanya akan memperparah masalah-masalah koordinasi dari organisasi-organisasi tersebut. 4. Karena perubahan-perubahan politik, sosial dan demografis di dalam lingkungan sosial dari organisasi-organisasi pelayanan sosial, maka organisasi-organisasi tersebut perlu mengembangkan hubunganhubungan antar organisasi yang baru dalam rangka mengadakan penyesuaian dengan perubahan-perubahan tersebut. Misalnya : tuntutan untuk memberikan pelayanan terhadap penduduk miskin menyebabkan suatu organisasi pelayanan keluarga harus mengadakan kerjasama dengan badan sosial pembangunan masyarakat atau organisasi kemasyarakatan lainnya yang terkait dengan penduduk miskin tersebut. Walaupun koordinasi antar organisasi seringkali mengalami hambatan-hambatan, namun dengan semakin kompleksnya sistem administrasi dan organisasi serta semakin besarnya tuntutan masyarakat 84



akan pelayanan yang lebih baik, menyebabkan semakin perlunya kerjasama antar organisasi yang bersifat saling melengkapi. Koordinasi antar organisasi dapat berkembang dan berlangsung terus menerus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : 1. Setiap organisasi saling tergantung (interdependence) satu dengan yang lainnya dalm hal-hal atau segi-segi tertentu, misalnya : dana, tenaga, legitimasi, informasi dan sebagainya; 2. Setiap organisasi menyadari tentang kenyataan adanya kesalingketergantungan ini; 3. Adanya pembakuan (standardisasi) satuan-satuan tindakan yang dikoordinasi. Pembakuan satuan tindakan ini diantaranya adalah : ketentuanketentuan tentang jenis dan besarnya pertukaran sumber-sumber, tata cara dan persyaratan-persyaratan permintaan dana, tenaga, informasi, ketentuan-ketentuan yang melandasi kerjasama dan sebagainya. Upaya-upaya untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan koordinasi yang efektif dapat dilakukan dengan melalui mekanisme yang terdapat dalam badan koordinasi (coordinating agency). Badan koordinasi melalui serangkaian kegiatan dan mekanisme kerja tertentu diharapkan dapat menciptakan koordinasi antar organisasi secara efektif. Peran-Peran Badan Organisasi Fungsi utama badan koordinasi adalah mengupayakan agar organisasi-organisasi yang terkait mengadakan hubungan-hubungan kerjasama dan pertukaran-pertukaran (exchanges) yang saling melengkapi. Untuk itu peranan-peranan (strategi) utama dari suatu badan koordinasi adalah sebagai berikut : 1. Mengadakan fasilitasi, yaitu : menciptakan kesalingtergantungan antar organisasi. Upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah : a. Menumbuhkembangkan kesadaran pada organisasi-organisasi yang terkait akan potensi-potensi kesalingtergantungan yang 85



terkandung pada tujuan-tujuan dan sumber-sumber yang ada pada masing-masing organisasi. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh badan koordinasi adalah membantu organisasiorganisasi yang terkait untuk saling mempelajari secara lebih mendalam satu dengan lainnya, dengan cara menerbitkan buku petunjuk tentang organisasi-organisasi, membentuk lembaga pelayanan informasi, mempertemukan wakil-wakil organisasi secara bersama-sama dalam pertemuan-pertemuan, komite, dan sebagainya. Dengan cara-cara tersebut diharapkan organisasiorganisasi yang terkait saling mengetahui tujuan-tujuan dan sumber-sumber masing-masing organisasi serta dapat menentukan bidang-bidang apa saja yang memungkinkan untuk bekerjasama dan dipertukarkan secara bermanfaat. b. Mengupayakan agar organisasi-organisasi yang terkait mengadakan hubungan kerjsama. Badan koordinasi dan petugaspetugas (terutama ahli bimbingan sosial masyarakat) harus secara aktif membantu organisasi-organisasi dalam hal : Merumuskan kembali tujuan-tujuan yang ada atau menggerakkan kearah pencapaian tujuan yang ada; Mengembangkan tujuan-tujuan baru, mengembangkan cara-cara baru dalam hal penggunaan sumbersumber; dan menumbuhkan kesepakatan antar organisasi tentang pertukaran sumber-sumber serta pengkajian sumber-sumber (siapa yang lebih memerlukan sumber apa saja). 2. Mengadakan induksi (membujuk/memberikan rangsangan), yaitu : Melakukan perubahan-perubahan besar pada tujuan-tujuan dan penggunaan sumber-sumber dari masing-masing organisasi. Untuk melaksanakan hal tersebut badan koordinasi harus membujuk dengan kuat. Sarana memberikan bujukan yang paling efektif adalah sumbersumber (resources) dan kekuasaan (power). a. Pengunaan sumber-sumber. Badan koordinasi memberikan sumber-sumber yang dimilikinya/dikuasainya kepada organisasi-organisasi yang memerlukan. Sumber-sumber tersebut merupakan alat bagi badan koordinasi untuk melakukan koordinasi terhadap organisasi 86



lainnya. Sumber-sumber, misalnya dana yang dimiliki oleh badan koordinasi dapat digunakan oleh organisasi tertentu untuk melaksanakan program-program yang ditentukan bersama badan koordinasi (program-program yang sudah ada sebelumnya diminta untuk diubah). Ketersediaan sumber-sumber (yang diberikan oleh badan koordinasi) merupakan daya tarik (berfungsi merangsang) bagi organisasi-organisasi untuk mengembangkan program-programnya dan sekaligus merupakan kesempatan untuk mencapai tujuan-tujuannya secara maksimal. b. Penggunaan kekuasaan atau pemberian pengaruh. Badan koordinasi memanfaatkan hubungan-hubungannya dengan orang-orang tertentu atau organisasi-organisasi yang memiliki kewenangan formal terhadap organisasi-organisasi yang akan dikoordinasi. Badan koordinasi, misalnya mempunyai relasi dengan/mendapatkan dukungan dari walikota atau tokoh-tokoh masyarakat tertentu, dapat menggunakan kekuasaan tersebut untuk mendesak berbagai organisasi yang berada dibawah kendali/pengaruh walikota/tokoh masyarakat agar mengadakan kerjasama. Demikian pula, anggota-anggota dari suatu badan koordinasi yang memiliki posisi kekuasaan dalam dunia perdagangan atau sosial ekonomi dapat menggunakan pengaruhnya terhadap pendiri-pendiri organisasi agar melakukan kerjasama dengan organisasi lainnya. Peran-Peran Petugas Koordinasi Ciri-ciri sikap dan perilaku yang diharapkan dimiliki oleh petugaspetugas yang terlibat dalam hubungan kerja antar organisasi adalah sebagai berikut : 1. Sikap positif terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan kerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya. Setiap petugas yang terlibat dalam kegiatan kerjasama dengan organisasi lain perlu memiliki sikap yang ditunjukkan dalam bentuk dapat menyesuaikan diri (akomodasi) dan menerima orang lain (petugas diluar organisasinya sendiri). Penyesuaian diri dan penerimaan terutama diterapkan dalam 87



rangka mencapai pemahaman bersama/timbal balik tentang peranan dan hakekat peranan atau misi serta tanggung jawab teritorial (wilayah) dari masing-masing organisasi yang terlibat kerjasama. Tujuannya adalah memperoleh kesepakatan bersama tentang bidang kerja (domain consensus) masing-masing organisasi. Bidang kerja setiap organisasi adalah tujuan-tujuan khusus yang akan dicapai dan fungsi-fungsi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Lebih lanjut, dalam pengertian operasional, bidang kerja organisasi (organization’s domain) mencakup : masalah-masalah yang digarap, kelompok penduduk yang dilayani (population served) dan pelayanan-pelayanan yang diberikan. Dengan demikian yang dimaksud dengan kesepakatan bersama tentang bidang kerjasama masing-masing organisasi adalah taraf persetujuan dan penerimaan setiap organisasi terhadap bidang kerja seperti penjabaran tersebut dari masing-masing organisasi. 2. Tekad yang kuat untuk melaksanakan gagasan-gagasan positif yang ingin dicapai oleh adanya hubungan kerja antar organisasi (komitmen pada gagasan-gagasan positif dari kesalingtergantungan organisasi). Dua atau lebih organisasi dikatakan saling tergantung, jika setiap organisasi beranggapan bahwa tujuan-tujuan organisasinya dapat dicapai secara sangat efektif karena adanya bantuan sumber-sumber dari organisasi lain. Kesalingtergantungan organisasi oleh karenanya merupakan pertukaran sumber-sumber diantara organisasi-organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan masing-masing. Dengan demikian petugas, terutama pembuat keputusan dari suatu organisasi, harus memiliki kesadaran tentang kesalingtergantungan ini, yaitu kesadaran bahwa untuk dapat mencapai tujuan-tujuan organisasi secara efektif perlu memanfaatkan sumber-sumber dari organisasi lain. 3. Berorientasi kearah keluwesan (fleksibilitas) peranan. Setiap petugas hendaknya tidak terpaku pada pandangan (professional) yang sempit atau tidak terikat pada latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Situasi interaksi dengan organisasi lain, terutama jika terlibat kerjasama dengan orang-orang yang memiliki latar belakang professional yang berbeda, akan memerlukan kepekaan dan kemampuan petugas untuk menampilkan peranannya dengan cara88



cara yang dapat dipahami dengan mudah oleh petugas-petugas lain. Setiap petugas hendaknya dapat melakukan sekumpulan peranan yang beraneka macam ragam, yang tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi kebanyakan tipe kepribadian orang. Oleh karena itu diperlukan petugas yang memiliki sikap-sikap dan keterampilanketerampilan penunjang untuk melaksanakan tanggung jawab bekerja dengan petugas dari organisasi lain. 4. Tanggap terhadap gagasan-gagasan baru. Petugas-petugas dari suatu organisasi dituntut untuk dapat menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menangani berbagai hal yang terjadi sebagai akibat dari hubungannya dengan kelompok-kelompok dan organisasiorganisasi lain. Hubungan kerja dengan organisasi lain harus dapat membuka pikiran petugas kearah pembaharuan-pembaharuan, dan oleh karenanya sikap petugas merupakan kuncinya apabila petugas ingin menyerap segala sesuatu yang dapat bermanfaat bagi organisasinya. Hal ini tidak berarti mengambil begitu saja dari pengalaman-pengalaman organisasi lain, tetapi memerlukan kegiatankegiatan penyaringan dan pemilihan hal-hal yang bermanfaat. 5. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi yang baik. Petugas yang memiliki suatu organisasi harus menunjukkan sikap dan perilaku sebagai seorang duta yang mencerminkan citra organisasinya, menunjukkan itikad atau niat baiknya, mengupayakan tersedianya informasi yang dibutuhkan, merundingkan ketentuanketentuan hubungan kerja dengan organisasi lain yang sekaligus melindungi kepentingan-kepentingan organisasinya, yang kesemuanya itu membuktikan pentingnya keterampilan-keterampilan mengadakan hubungan antar pribadi yang baik. Keterampilanketerampilan tersebut perlu dipertimbangkan dalam memilih pegawai yang ditugaskan melaksanakan peranan-peranan yang menuntut kepekaan tinggi. 6. Keterampilan melakukan komunikasi dengan baik. Komunikasi adalah jantung dari kerjasama. Komunikasi merupakan suatu sarana untuk memperoleh penerimaan. Keterampilan melakukan komunikasi meliputi : 89



a. b. c. d.



Kemampuan menggunakan bahasa lisan dan tertulis; Kemampuan memilih bahasa yang tepat; Kemampuan menggunakan waktu secara bijaksana; Kesediaan untuk menerima umpan balik yang dapat digunakan untuk menguji keefektifan pesan-pesan yang telah disampaikan; e. Perlu ditekankan pentingnya keterampilan atau kemampuan menerima komunikasi dari orang lain dalam bentuk mendengarkan secara aktif (cermat, teliti) dan mengolah serta mamahami dengan tepat pesan-pesan yang disampaikan oleh orang lain. Keberhasilan proses komunikasi juga tergantung pada pemahaman tentang keseluruhan faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi hubungan kerja antar organisasi. 7. Kemampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan kedudukan/status. Keterikatan pada status masing-masing petugas yang terlibat dalam hubungan kerjasama dapat menghambat hubungan antar organisasi. Persoalan status ini biasanya berkaitan dengan kekakuan atau keluwesan kebiasaan/tradisi budaya tertentu. Sebenarnya tidak ada cara-cara yang baku untuk mengatasi persoalan status ini, namun salah satu upaya penting yang dapat dilakukan adalah berupaya untuk memahami dengan sungguh-sungguh alasan-alasan untuk melandasi terjadinya persoalan status tersebut, kemudian mencoba bekerja berdasarkan adat istiadat budaya yang berlaku. Apabila memungkinkan, dilakukan upaya-upaya terobosan terhadap hambatan-hambatan status tersebut sepanjang dianggap penting untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. 8. Kepekaan terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan. Semakin beranekaragam latar belakang budaya dari orang-orang yang terlibat dalam hubungan antar organisasi, semakin besar pengaruh kebudayaan terhadap pola-pola perilaku perseorangan dan struktur organisasi dari petugas-petugas dan organisasi-organisasi yang mengadakan hubungan kerjasama. Sehubungan dengan itu, petugaspetugas yang terlibat hubungan kerjasama perlu memahami, menyesuaikan diri dan secara bijaksana berkeinginan untuk mengikuti tata cara yang sesuai dengan kepentingan pencapaian tujuan-tujuan bersama. 90



9. Kemampuan untuk melakukan analisis dan penafsiran terhadap situasi-situasi konflik (pertentangan). Kegiatan hubungan antar kelompok atau antar organisasi dapat menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila pencapaian tujuan suatu organisasi atau beberapa organisasi dilakukan dengan mengorbankan pencapaian tujuan organisasi lainnya. Konflik juga dapat terjadi dalam kegiatankegiatan yang satu sama lain tidak cocok atau saling bertentangan. Ciri-ciri yang menunjukkan adanya situasi konflik adalah sebagai berikut : a. Paling sedikit terdapat dua orang atau kelompok yang terlibat dalam hubungan kerjasama (interaksi); b. Terdapat tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang tidak sejalan dari masing-masing orang atau kelompok yang terlibat interaksi; c. Interaksi yang berlangsung bercirikan perilaku yang bertujuan mengalahkan lawan atau kedua belah pihak berupaya untuk menang; d. Orang atau kelompok melakukan tindakan-tindakan yang menentang atau membalas orang/kelompok lainnya; e. Setiap orang atau kelompok berupaya untuk lebih berkuasa daripada orang/kelompok lainnya. Kecenderungan-kecenderungan atau kesempatan-kesempatan yang dapat menimbulkan konflik dalam hubungan-hubungan kerjasama adalah sebagai berikut : a. Batas-batas kewenangan (yurisdiksi) setiap orang/kelompok tidak jelas; b. Adanya pertentangan kepentingan diantara orang/kelompok yang terlibat interaksi; c. Adanya rintangan-rintangan komunikasi; d. Orang/kelompok yang satu tergantung pada orang/kelompok yang lainnya; e. Orang/kelompok yang terlibat interaksi berasal dari tingkatan organisasi yang beraneka ragam, keahlian atau spesialisasi yang 91



f. g. h.



i.



bermacam-macam dan jabatan dalam organisasi yang berbedabeda; Adanya hubungan/interaksi informal diantara orang/kelompok dan mereka semua turut serta dalam pembuatan keputusan; Hubungan kerjasama atau interaksi harus menghasilkan kesepakatan bersama (consensus); Prosedur-prosedur baku, peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan yang berlaku dalam hubungan kerjasama bersifat dipaksakan; Pertentangan-pertentangan yang terjadi sebelumnya tetapi belum terselesaikan muncul kembali.



Konflik pada dasarnya bersifat netral dalam arti dapat bersifat positif dan negatif. Konflik merupakan kenyataan yang ada dan harus dipahami serta dikendalikan. Sarana dan Wadah Koordinasi Koordinasi antar organisasi dapat menggunakan berbagai sarana sebagai berikut : a. Kebijakan (policy) Kebijakan merupakan penggarisan ketentuan-ketentuan sebagai pedoman untuk mencapai kesepakatan mengenai maksud, cara dan sarana bagi setiap kegiatan organisasi agar terdapat keterpaduan, keselarasan dan keserasian dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kebijakan dapat berbentuk tidak tertulis dan tertulis. 1) Kebijakan tidak tertulis berupa konvensi, pidato, perintah, kesepakatan bersama dalam rapat dan sebagainya. 2) Kebijakan tertulis berupa peraturan-peraturan atau keputusankeputusan. b. Rencana Rencana pada dasarnya juga merupakan kebijakan, namun lebih bersifat terperinci. Dalam rencana dimuat ketentuan-ketentuan mengenai tujuan dan sasaran, cara, waktu pelaksanaan dan lokasi kegiatan. 92



c. Prosedur dan tata kerja Prosedur dan tata kerja memuat ketentuan-ketentuan mengenai caracara, waktu dan tahap-tahap pelaksanaan serta pelaksanaannya. Prosedur dan tata kerja sebagai alat koordinasi perlu dirumuskan secara tertulis dan dituangkan dalam manual, petunjuk pelaksanaan atau pedoman kerja.



METODE DAN TEKNIK EVALUASI DALAM PELAYANAN SOSIAL



d. Rapat dan taklimat (briefing) Rapat digunakan untuk menyatukan bahasa/pandangan dan saling pengertian mengenai suatu persoalan/masalah. Taklimat digunakan untuk memberikan pengarahan, memperjelas atau menegaskan kebijakan pada sesuatu persoalan/masalah.



Pelayanan sosial dirancang untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat, khususnya untuk mendukung berperan aktif mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Tujuan pelayanan sosial adalah untuk mempengaruhi warga masyarakat agar bersedia menerima gagasan-gagasan yang dikandung dalam program pelayanan sosial atau merubah, serta meninggalkan sikap-sikap, gagasan-gagasan, praktek-praktek, perilaku tertentu yang tidak sejalan dengan gagasangagasan yang menjadi misi pelayanan sosial.



e. Tim dan panitia yang bersifat sementara Tim dan panitia dibentuk karena keperluan yang bersifat mendesak dan persoalan/masalah yang kompleks (rumit).



Untuk mengetahuai apakah tujuan pelayanan sosial dapat dicapai, perlu dilakukan evaluasi. Unsur-unsur penting yang perlu di ketahui dalam evaluasi adalah :



f. Dewan atau badan Dewan atau badan dibentuk untuk menangani masalah yang sifatnya kompleks, sulit dan terjadi terus menerus, serta belum ada lembaga/organisasi yang menanganinya atau tidak dapat dilaksanakan oleh sesuatu lembaga/organisasi yang sudah ada.



1. Apakah pelayanan sosial telah menghasilkan perubahan seperti yang direncanakan dan faktor-faktor lain yang terkait (seperti sikap, nilai perilaku) ikut berubah?



g. Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (One Roof System) dan Sistem Satu Pintu (One Door Service) Sistem Administrasi Manunggal satu atap yang dilaksanakan di Indonesia seperti pengurusan kendaraan bermotor, sedangkan sistem pelayanan satu pintu seperti pengurusan penanaman modal (Badan Koordinasi Penanaman Modal).



2. Apakah perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan yang di inginkan dilihat dari sudut pandang masyarakat dan etis, serta apakah menggunakan metode atau teknik yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan? Acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah : 1. Program pelayanan harus dapat menunjukkan tingkat kinerja. Ukuran tingkat kinerja harus ditetapkan, yaitu sasaran pelayanan haruslah secara nyata telah menerima gagasan-gagasan yang diinginkan oleh tujuan pelayanan sosial; 2. Program pelayanan sosial harus menunjukkan keefektifan kinerja pelayanan. Kinerja pelayanan harus dapat ditunjukan melalui pembuktian bahwa perubahan pada sasaran pelayanan merupakan hasil dari program pelayanan; 3. Kinerja pelayanan, yaitu perubahan-perubahan pada sasaran pelayanan harus juga di tinjau dari sudut pandang masyarakat;



93



94



4. Program pelayanan harus juga menunjukkan efisiensi, yaitu manfaatnya melebihi biaya yang dikeluarkan serta hasil pelayanan harus mencerminkan penggunaan secara efisien sumber-sumber yang tersedia; 5. Program pelayanan harus menetapkan proses-proses sosial dan psikologis yang menyebabkan terjadinya perubahan sasaran pelayanan; 6. Program pelayanan harus dapat menunjukkan nilai pentingnya bagi masyarakat; 7. Program pelayanan harus dapat menunjukkan seberapa besar unsurunsur program pelayanan ikut menyumbang kepada perubahan sasaran pelayanan; 8. Program pelayanan harus dapat menunjukkan paktor-paktir apa saja dalam situasi terjadinya pelayanan dan dalam perilaku sasaran pelayanan yang memperlancar atau menghambat perubahan pada sasaran pelayanan; 9. Program pelayanan harus menetapkan karakter etis pelayanan. Kriteria etika pelayanan terutama ada tiga, yaitu : a. Etika yang berkaitan dengan prosedur pekerjaan, yaitu tanggung jawab, disiplin dan akuntabilitas; b. Etika yang berkaitan dengan perubahan pada sasaran pelayanan (tujuan perubahan pada program), yaitu perubahan yang dapat di benarkan atau diinginkan oleh masyarakat; c. Etika yang berkaitan dengan penggunaan metode, teknik atau caracara pelayanan. Evaluasi memiliki dua unsur (komponen) utama, yaitu : 1. Monitoring (Pemantauan) : proses memeriksa hubungan diantara cara melaksanakan kegiatan dan tujuan kegiatan. Pemantauan memerlukan masukan data dan keputusan tentang merubah (modifikasi) cara atau tujuan. 2. Feedback (umpan balik) : cara yang sistematis untuk memperoleh informasi agar pemantauan berjalan dengan baik. 95



Evaluasi program pelayanan berupaya untuk menilai kesuksesan relatif dari program dan untuk mengetahui cara-cara meningkatkan program melalui perubahan-perubahan pada pelaksana program pelayanan. Pusat perhatian dari evaluasi adalah penilaian secara sistematis akibat dari program. Pertanyaan utamanya adalah apa yang terjadi sebagai hasil dari strategi pelayanan terhadap sasaran pelayanan. Tujuan utama evaluasi adalah untuk membantu mengatasi masalahmasalah atau hambatan-hambatan pelaksanaan dengan dapat ditetapkannya strategi-strategi (cara-cara mencapai tujuan) pelayanan yang paling baik dalam kondisi apa. PERSIAPAN EVALUASI Sebelum membicarakan tentang keefektifan program pelayanan sosial, terlebih dahulu kita perlu memahami tentang : 1. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk melakukan perubahan pada sasaran pelayanan sosial? Apa saja tujuan-tujuan yang telah ditetapkan di dalam program ? kejelasan tujuan sangat penting bagi kegiatan evaluasi; 2. Siapa saja sasaran (populasi) pelayanan sosial ? sasaran pelayanan bisa saja perorangan, kelompok, lingkungan, ketetanggaan, desa, kabupaten atau populasi yang lebih luas; 3. Apa saja rincian (komponen) kegiatan dari program ? perincian program kedalam serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan perlu ditetapkan secara jelas; 4. Apakah rincian kegiatan telah cocok satu sama lainnya ? Apakah perlu suatu kegiatan lebih dulu dari kegiatan lainnya ? Ataukah beberapa kegiatan dilakukan serentak? Apakah perincian kegiatan telah cocok satu sama lainnya kearah rencana pelayanan yang terintegrasi (terpadu) untuk mencapai tujuan ? Untuk itu perlu dibuat flowchart (gambar arus kegiatan) yang dapat menggambarkan hubungan antar kegiatan dan bagaimana masingmasing kegiatan memberikan sumbangan pada pencapaian tertentu; 96



5. Apa saja alasan-alasan (landasan berfiksi) yang dapat memberikan keyakinan bahwa apabila program dilaksanakan tujuan dapat dicapai. Petugas evaluasi perlu memiliki kerangka berfiksi teoritis tentang suatu program pelayanan yang baik untuk menyusun rencana evaluasi.



2. Untuk memberikan umpan balik bagi perbaikan ketrampilan petugas/pelaksana pelayanan; 3. Untuk mengetahui kemanfaatan program atau suatu metode pelayanan. apakah perlu dilanjutkan atau dihentikan; 4. Untuk mengetahui perkembangan perilaku sasaran pelayanan;



PENGERTIAN Evaluasi mengacu pada penilaian suatu program, mengukur keefesienannya dan keefektifannya dilihat dari sudut akibat-akibat yang dapat diamati serta keterkaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan.



5. Menyediakan cara-cara kepada menyampaikan pandangannya;



sasaran



pelayanan



untuk



6. Menyumbangkan pengetahuan yang berguna sebagai pedoman bagi orang lain;



Evaluasi dapat dikelompokan kedalam dua tipe, yaitu : 1. Evaluasi Formatif : Memusatkan perhatian pada proses pelaksanaan pelayanan. Penilaian dilakukan untuk mengetahuai kecukupan atau jumlah upaya yang dilaksanakan untuk mengatasi masalah atau memperbaiki pelaksanaan pelayanan. Aspek-aspek yang perlu dinilai adalah : a. kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan; b. lamanya kegiatan; c. tahapan kegiatan; d. sumber-sumber yang diperlukan.



7. Menunjukkan kepada pendukung program bahwa dukungan mereka kepada program dapat dibenarkan (pelayanan telah dilaksanakan dengan benar).



Berdasarkan hasil penilaian dapat diketahui apakah proses pelayanan sesuai dengan rencana.



a. Apakah perilaku yang hendak diubah telah menunjukan perbaikan dari sebelumnya;



2. Evaluasi Sumatif : Memusatkan perhatian pada setelah selesainya proses pelayanan. Penilaian dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.



b. Seberapa banyak perubahan perilaku yang telah ditunjukkan sasaran pelayanan;



ALASAN-ALASAN Alasan-alasan perlu dilakukannya evaluasi adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh dari pelaksanaan pelayanan kepada sasaran pelayanan; 97



PERSYARATAN Persyaratan hasil evaluasi yang baik adalah : 1. Data dasar : Memberikan informasi tentang perkembangan perilaku sasaran pelayanan. Informasi yang perlu diketahui :



c. Seberapa banyak peran-peran atau kegiatan-kegiatan yang telah dapat dilakukan oleh sasaran pelayanan; d. Apakah sasaran pelayanan merasa puas dengan pelayanan yang diberikan berkaitan dengan seluruh tahapan pelayanan, sarana dan prasarana, metode pelayanan, perlakuan petugas dan iklim/suasana pelayanan.



98



2. Validitas : Memberikan informasi tentang pengukuran yang digunakan. Evaluasi wajib mengunakan instrumen (daftar pertanyaan) yang tepat terhadap gejala atau kondisi yang akan di ukur. 3. Realibilitas : Memberikan informasi tentang keterpercayaan hasil evaluasi. Evaluasi wajib mengunakan instrumen yang dapat digunakan dengan cara yang sama terhadap berbagai subyek atau obyek. 4. Metode pengumpulan data : Memberikan informasi tentang penggunaan bebagai metode secara tepat. Evaluasi wajib dilaksanakan dengan menggunakan prosedur yang dapat di pertanggungjawabkan serta dilakukan oleh petugas yang kompeten. 5. Generalisasibilitas : Memberikan penjelasan tentang apakah hasil evaluasi dapat diberlakukan secara umum terhadap populasi (seluruh penerima dan lokasi pelayanan). Penyusunan hasil evaluasi perlu mempertimbangkan apakah sampel yang digunakan telah terwakili dan apakah ada atau tidak variabel lain (variabel pencampur) mempengaruhi dari hasil program. TIPE - TIPE DAN MANFAAT Tipe-tipe evaluasi secara terperinci adalah : 1. Evaluasi terhadap upaya. Evaluasi terhadap upaya atau pemantauan program. Evaluasi yang dilakukan tentang jumlah kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan. Evaluasi ini dilakukan untuk menilai apakah sekumpulan kegiatan yang dilakuakan sudah tepat untuk mencapai dampak yang diharapkan. Penilaian terhadap upaya ini dapat digunakan sebagai indikator kemampuan unit pelaksana melaksanakan pelayanan. Pada dasarnya evaluasi ini untuk menilai : Siapa saja sasaran pelayanan, menerima informasi tentang apa dan berapa biayanya.



99



Informasi yang perlu diperoleh adalah : a. Jumlah dan kategori/segmen pelayanan; b. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan, apakah kegiatan pokok maupun tambahan, sebaiknya ditetapkan dalam paketpaket kegiatan; c. Tingkat pelaksanaan pelayanan, apakah pada level desa, kecamatan ataukah yang lebih tinggi; d. Biaya yang diperlukan untuk setiap paket kegiatan. Hasil evaluasi digunakan sebagai indikator kemampuan unit pelaksana melaksanakan pelayanan. 2. Evaluasi terhadap dampak atau hasil. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui pelayanan setelah memperoleh pelayanan.



perubahan



sasaran



Fungsi dari evaluasi ini adalah untuk menilai : a. memperbandingkan berbagai jenis program pelayanan; b. mengembangkan ukuran-ukuran keberhasilan; c. mengembangkan ukuran-ukuran terhadap dampak. 3. Evaluasi tentang tingkat kinerja. Evaluasi dilakukan untuk menilai seberapa besar pelayanan telah dilakukan dibandingkan dengan sasaran pelayanan, termasuk juga seberapa banyak sasaran pelayanan telah melakukan perubahan perilaku seperti yang telah ditentukan. Evaluasi ini dilakukan untuk memperkirakan perluasan program pelayanan. Fungsi dari evaluasi ini adalah : a. Memperkirakan sumber-sumber (dana, petugas, perlengkapan) yang diperlukan untuk kebutuhan pelayanan; b. Menentukan siapa saja sasaran yang memerlukan pelayanan disertai dengan sumber-sumber yang dibutuhkan; c. Menentukan kelompok masyarakat yang sudah tidak memerlukan pelayanan dan menetapkan kelompok masyarakat lainnya, yang telah dikaji ulang ternyata terdapat perubahan kondisi atau 100



kebutuhan, sehingga memerlukan jenis pelayanan lain yang lebih tepat. Pada situasi ini dapat dilakukan pengalihan sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan pelayanan bagi kelompok masyarakat yang dipandang memerlukan pelayanan. 4. Evaluasi keefektifan biaya. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai dari suatu kesatuan sasaran pelayanan. Rumusnya adalah perbandingan upaya yang dikeluarkan dengan dampak yang dihasilkan. Evaluasi keefektifan biaya mencakup tiga aspek, yaitu : a. Keefektifan dikaitkan dengan biaya hanyalah dilakukan terhadap sejumlah sasaran yang telah mengalami perubahan perilaku seperti yang diharapkan, tetapi tidak terhadap seluruh sasaran; b. Keefektifan biaya tergantung dari evaluasi dampak; c. Efesiensi biaya dilakukan untuk menilai biaya perpaket kegiatan tanpa memperhatikan dampak atau hasil pelayanan. Efesiensi dan keefektifan biaya digunakan untuk membuat perbandingan program, pembuatan keputusan tentang alokasi sumber-sumber dan pengendalian manajemen. 5. Evaluasi proses. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanan kegitan atau bagaimana kegiatan-kegiatan secara nyata dilakukan. Evaluasi proses ini dilakukan untuk menilai apakah program dapat mencapai hasil yang diharapkan agar dapat diketahui bagaimana mengulang kembali (replikabel) program yang berhasil. Apek-aspek yang perlu diketahui dari proses program pelayanan adalah : a. ciri-ciri program; b. karakteristik sasaran; c. konteks situasional dari program; d. jenis dampak yang dihasilkan dari program pelayanan. 101



Manfaat masing-masing tipe evaluasi adalah : 1. Evaluasi upaya ; a. Menentukan efisiensi program b. Menetapkan standar kinerja pada tingkat kegiatan, dan secara terus menerus memantau pencapaiannya c. Memberikan landasan bagi standar pengendalian mutu di beberapa bidang pelaksanaan program d. Menjadi dasar akuntabilitas program e. Memberikan petunjuk bagi manajemen tentang adanya perbedaan diantara kenyataan dengan tingkat keberfungsian program yang diperkirakan f. Memberikan pijakan/landasan bagi pengendalian kegiatankegiatan yang telah di program dan alokasi (pembagian) sumber-sumber 2. Evaluasi dampak program ; a. Menetapkan seberapa besar tujuan telah dicapai dan kemajuan menuju tujuan akhir b. Menetapkan standar kerja yang menjadi pijakan untuk menentukan tujuan organisasi c. Mengkaji alasan-alasan penyusunan program dengan menguji hipotesis-hipotesis yang terkandung dalam program d. Mengetahui aspek-aspek pelaksanaan program yang kuat dan lemah e. Memberikan saran perubahan pada pelaksanaan dan tujuan program f. Memperjelas tujuan-tujuan program dengan mengembangkan pengertian operasional dalam istilah-istilah yang dapat diukur g. Memberikan sumbangan bagi landasan pengetahuan ilmiah dari praktek pelayanan/pelaksanaan program h. Merupakan pembenaran terhadap program bagi penyandang dana dan masyarakat luas i. Menguji pendekatan-pendekatan dan prosedur-prosedur alternatif (yang lain) j. Menyarankan hipotesis bagi penelitian di masa depan. 102



3. Evaluasi kememadaian ; a. Menentukan kememadaian (kecukupan) program dikaitkan dengan kebutuhan nyata di masyarakat b. Memberikan landasan (pijakan) bagi perencanaan program dan keputusan alokasi sumber-sumber 4. Evaluasi keefektifan biaya ; Untuk menentukan prioritas di antara berbagai program dengan menseleksi pilihan-pilihan yang paling efektif lagi pemanfaatan sumber-sumber yang terbatas 5. Evaluasi proses ; a. Menyarankan pendekatan, prosedur dan program baru b. Mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan program c. Mengetahui akibat sampingan dari program d. Menyarankan perubahan prosedur dan pelaksanaan dari program e. Menunjukan kondisi-kondisi yang dipersyaratkan agar program dapat efektif. TAHAP-TAHAP PROSES EVALUASI 1. Penentuan tujuan evaluasi. Kegiatan evaluasi pada dasarnya dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang penilaian dan perubahan program dengan mempelajari secara cermat hubungan diantara kegiatan yang dilakukan dengan hasil yang dicapai. Tujuan utama kegiatan evaluasi dapat dikelompokkan kedalam: a. Menilai upaya-upaya program (masukan); b. Akibat dari program (keluaran, dampak); c. Efisiensi program (ekonomi). Tujuan evaluasi ditetapkan sesuai dengan sebagian atau seluruh tujuan evaluasi tersebut.



103



2. Penetapan komponen-komponen program. Sebelum kegiatan evaluasi dilakukan perlu diketahui rincian kegiatan kemudian dikonseptualisasikan dan distandarkan. 3. Perincian secara tajam tujuan-tujuan. Tujuan pelayanan perlu dirumuskan secara jelas. Rumusan tujuan yang jelas bercirikan: a. Spesifik; b. Dapat diukur; c. Dapat dicapai; d. Realistik; e. Jangka waktu yang jelas. Setelah diketahui rumusan tujuan, maka memperhatikan tingkatan tujuan. 4. Memerinci pengukuran yang digunakan . Perlu ditetapkan indikator dan kriteria keberhasilan program. Setelah itu ditentukan prosedur atau teknik-teknik pengumpulan data 5. Menyusun rancangan evaluasi. Rancangan evaluasi perlu mempertimbangkan, elesploratoris, deskriptif ataukah eksperimen.



apakah



6. Pelaksanaan evaluasi. Pelaksanaan evaluasi kemasyarakat diikuti dengan memantau pelaksanaan program. 7. Pemanfaatan hasil evaluasi. TEKNIK-TEKNIK EVALUASI 1. Rancangan Subyek Tunggal a. Rancangan AB. Evaluasi kondisi perilaku sasaran pelayanan sebelum pelayanan (A) dan setelah pelayanan (B). b. Rancangan B. Evaluasi kondisi perilaku sasaran pelayanan setelah pelayanan (B). 104



c. Rancangan ABC. Evaluasi kondisi perilaku sasaran pelayanan sebelum pelayanan (A), setelah pelayanan (B) dan setelah kegiatan tambahan pelayanan (C). d. Rancangan ABAB Evaluasi kondisi perilaku sasaran pelayanan sebelum pelayanan (A), setelah pelayanan (B), pelayanan dihentikan selama beberapa waktu (A), setelah pelayanan tahap berikutnya kedua (B). 2. Skala Pencapaian Tujuan . Evaluasi dilakukan pada pencapaian tujuan pelayanan yang sulit diukur atau tujuan yang berjumlah banyak. 3. Skala Penyelesaian. Evaluasi dilakukan pada jenis-jenis kegiatan pelayanan yang berorientasi tugas atau memiliki ciri-ciri tersendiri yang cukup rumit. 4. Angket Kepuasan Sasaran Pelayanan. Evaluasi dilakukan kepada sasaran pelayanan untuk mengetahui tanggapan, reaksi atau pendapat sasaran pelayanan terhadap berbagai aspek pelaksanaan pelayanan. 5. Evaluasi Rancangan Program. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah program pelayanan dapat dievaluasi. Program evaluasi kemungkinan tidak dapat dievaluasi karena : a. Program pelayanan, baik sebagian maupun keseluruhan tidak dirancang dengan baik, misalnya : penetapan tujuan tidak jelas, rencana kegiatan dan pembagian tugas tidak jelas; b. Kurangnya informasi tentang sasaran pelayanan, biaya yang terlalu mahal kalau menggunakan tipe evaluasi tertentu, laporan program yang kurang lengkap dan lainnya.



105