Materi Fraud Kelompok 10 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Review Materi Fraud Mata Kuliah : Pengantar Akuntansi Forensik



OLEH :



1. 2. 3. 4.



Nia Wahyu Permata S. Nungky Nilamsari Darinda Sakinah Zahra Uswidatus Sukriya



(160221100007) (160221100012) (160221100075) (160221100091)



PRODI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA 2019



Pengertian / Definis Fraud :



Dari beberapa definisi atau pengertian fraud (kecurangan) di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian fraud sangat luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Menurut Binbangkum (n.d.) secara umum, unsurunsur dari kecurangan adalah: 1. harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation); 2. dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present); 3. fakta bersifat material (material fact); 4. dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly); 5. dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi; 6. pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation); 7. yang merugikannya (detriment).



Elemen- Elemen Fraud (Triangle Theory) : Fraud triangle theory merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab terjadinya kecurangan. Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953) yang dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud: 1. Pressure (Tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keuangan. 2. Opportunity



(Peluang),



yaitu



situasi



yang



membuka



kesempatan



untuk



memungkinkan suatu kecurangan terjadi. 3. Rationalization (Rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilainilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Ketiga hal di atas digambarkan dalam gambar berikut ini:



1. Pressure (Tekanan) Tekanan menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Tekanan dapat berupa bermacam-macam termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain. Tekanan paling sering datang dari adanya tekanan kebutuhan keuangan. Kebutuhan ini seringkali dianggap kebutuhan yang tidak dapat dibagi dengan orang lain untuk bersama-sama menyelesaikannya sehingga harus diselesaikan secara tersembunyi dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya kecurangan.



2. Opportunity (Peluang) Adanya peluang memungkinkan terjadinya kecurangan. Peluang tercipta karena adanya kelemahan pengendalian internal, ketidakefektifan pengawasan manajemen, atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi aktivitas kecurangan juga meningkatkan peluang terjadinya kecurangan. Dari tiga faktor risiko kecurangan (pressure, opportunity dan rationalization), peluang merupakan hal dasar yang dapat terjadi kapan saja sehingga memerlukan pengawasan dari struktur organisasi mulai dari atas. Organisasi harus membangun adanya proses, prosedur dan pengendalian yang bermanfaat dan menempatkan karyawan dalam posisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan kecurangan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan seperti yang dinyatakan dalam SAS No.99. 3. Rationalization (Rasionalisasi) Rasionalisasi adalah komponen penting dalam banyak kecurangan (fraud). Rasionalisasi



menyebabkan



pelaku



kecurangan



mencari



pembenaran



atas



perbuatannya. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Skousen et al., 2009).



Tipe/Jenis Fraud Berdasar Fraud Tree Menurut ACFE (The Association of Certified Fraud Examiners) merupakan organisasi yang profesional di bidang pemeriksaan atas kecurangan mengklasifikasikan fraud (kecurangan) kedalam tiga tingkatan yang disebut Fraud Tree yaitu (Albrech, 2009) : a. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation). Penyalahgunaan aset terjadi saat pelaku mencuri atau menyalahgunakan suatu aset organisasi. Penyimpangan aset adalah skema penipuan yang dominan dilakukan terhadap usaha kecil dan para pelaku biasanya karyawan. Biasanya penyalahgunaan aset ini terjadi ketika karyawan : -



Memiliki akses ke uang tunai dan memanipulasi akun tersebut untuk menutupi pencurian kas.



-



Memanipulasi pengeluaran kas melalui perusahaan palsu.



-



Mencuri persediaan atau aset lain dan memanipulasi catatan keuangan untuk menutupi kerugian.



-



Kecurangan pada penerimaan atau pengeluaran kas.



-



Membuat salah perhitungan dengan sengaja untuk menutupi kerugian.



b. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement). Penyataan diatas menyatakan bahwa manipulasi secara sengaja terhadap laporan hasil keuangan dengan mengutarakan kondisi ekonomi organisasi yang salah/ palsi pada pelaporan keuangan. Ada tiga cara umum yang sering terjadi : -



Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau pendukung dokumen.



-



Keliru atau kelalaian dari peristiwa, transaksi, atau orang penting lainnya informasi.



-



Penyalahgunaan disengaja prinsip akuntansi.



c. Korupsi (Corruption). Secara umum korupsi didefinisikan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan umum atau publik bahkan masyarakat luas hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Berikut merupakan bentuk korupsi : -



Pertentangan Kepentingan (Conflict of Interest)



Bentuk korupsi ini terjadi ketika karyawan atau manajer memiliki kepentingan pribadi pada suatu transaksi bisnis dimana ia bekerja, yang mana kepentingan tersebut berlawanan dengan kepentingan organisasi. -



Suap (Bribery) Suap merupakan pemberian, penerimaan atau permohonan atas sesuatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan seseorang karena pekerjaannya. Bentuk suap biasanya terdapat imbal balik karena telah terjadi penerimaan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan pemberi.



-



Pemberian Tidak Sah (Illegal Gravities) Pemberian tidak sah merupakan pemberian sesuatu yang bernilai kepada seseorang karena keputusan yang diambil oleh seseorang. Keputusan tersebut memberi keuntungan kepada pemberi sesuatu yang bernilai tersebut.



-



Pemerasan Ekonomi (Economic Ecortion) Pada bentuk ini, karyawan meminta pembayaran dari rekan (vendor) atas keputusan yang diambil yang menguntungkan rekan tersebut. Caranya dengan ancaman, bujukan maupun lainnya secara memaksa.



4. Teori Pemicu Fraud : Edwin H. Sutherland Theory, Fraud Triangle Theory, Steve Albrecht Theory, Gone Theory, Fraud Pentagon Theory. a. Edwin H. Sutherland Theory Differential Social organization mengemukakan bahwa kelompok-kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung acara kriminal dan yang lain terorganisasi melawan acara kriminal. Menurut Sutherland sikap jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja melaksanakan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam melaksanakan acara kriminal atau dengan kelompok yang melawan acara kriminal. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses mencar ilmu yang mencakup teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi melaksanakan suatu kejahatan.



Adapun kekuatan teori differential association atau differential social organization bertumpu pada aspek-aspek berikut : 1. Teori ini relatif bisa menjelaskan alasannya timbulnya kejahatan tanggapan penyakit



sosial



2. Teori ini bisa menjelaskan bagaimana seseorang lantaran adanya melalui proses mencar ilmu menjadi jahat. 3. Teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional b. Fraud Triangle Theory -



Intensif atau tekanan untuk melakukan fraud (Pressure) Tekanan dibagi menjadi 4 tipe yaitu : Masalah keuangan, Terlibat perbuatan kejahatan atau tidak sesuai dengan norma. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan, Tekanan lain.



-



Peluang atau kesempatan untuk melakukan fraud (Opportunity) Sistem pengendalian internal yang lemah dan tata kelola organisasi yang buruk.



-



Dalih untuk membenarkan tindakan fraud (Rationalization) Hal ini terjadi karen seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang menagndung fraud. Para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan suatu fraud tetapi adalah suatu yang memang merupakan haknya.



c. Steve Albrecht Theory Teori Fraud Scale dicetuskan oleh Dr.Steve Albrecht. Teori ini mengukur kemungkinan tindakan penipuan dengan cara mengevaluasi kekuatan tekanan, kesempatan dan integritas pribadi. Ketika tekanan situasional dan kesempatan untuk melakukan fraud tinggi namun integritas personal rendah maka kemungkinan terjadinya fraud akan sangat tinggi. Karena menurut Fraud Scale, kecurangan paling sering terjadi ketika tekanan pada situasi sangat tinggi, Integritas pribadi yang rendah, dan adanya kesempatan atau peluang yang tinggi untuk melakukan fraud. Selain itu, Menurut Albrecht 3 faktor penyebab seseorang melakukan fraud atau kecurangan dilihat dari karakteristik khusus menurut teori fraud scale, antara lain:



a. Hutang pribadi yang tinggi b. Hidup di luar kemampuan mereka c. Keinginan yang besar untuk keuntungan



d. Gone Theory Teori GONE merupakan teori yang menyempurnakan Teori Triangle Fraud, dimana kedua teori tersebut mengungkapkan alasan seorang koruptor melakukan tindak fraud. Teori GONE menyebutkan akar penyebab kecurangan terdiri dari empat faktor yaitu: Greed, Opportunities, Need dan Expose. Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi yang secara potensial ada dalam diri setiap orang. Opportunity atau



kesempatan



terkait



dengan sistem



yang



memberi lubang



terjadinya



korupsi, yang berkaitan dengan keadaan organisasi/instansi atau



lingkungan



masyarakat



yang



membuka kesempatan



bagi



seseorang



untuk



melakukan kecurangan. Need atau kebutuhan adalah sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai. Exposes sebagai hal yang berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah, hukuman yang tidak membuat jera pelaku maupun orang lain, dan deterrence effect yang minim. e. Fraud Pentagon Theory Teori



ini



merupakan



pengembangan



dari



teori



triangle



diatas.



Dengan



mengembangkan 2 elemen lagi yaitu : -



Kompetensi (competence). Kompetensi/kapabilitas merupakan kemampuan karyawan untuk mengabaikan kontrol internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan mengontrol situasi sosial untuk keuntungan pribadinya (Crowe, 2011).



-



Arogansi (arrogance) Menurut Crowe, arogansi adalah sikap superioritas atas hak yang dimiliki dan merasa bahwa kontrol internal atau kebijaka



Pelaku Fraud Jabatan Pelaku Fraud Di Indonesia menurut pendapat resonden, bahwa manajer merupakan jabatan yang paling banyak melakukan fraud. Selanjutnya diikuti oleh atasan (direksi) atau pemilik. Berbeda dengan Report to the Nationss (2016) yang meungkapkan bahwa karyawan lah yang merupakan pelaku fraud yang paling banyak. Hal ini memang sejalan dengan fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia, bahwa tingkat middle managerial-lah yang paling banyak melakukan fraud.



Kerugian akibat Fraud berdasarkan Jabatan Untuk setiap jabatan, angka yang paling banyak muncul ketika terjadi fraud adalah Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta. Secara umum, semakin tinggi jabatan, maka semakin tinggi pula fraud yang dihasilkan. Pemilik memang bukan posisi yang paling banyak dalam melakukan fraud. Namun, memiliki ‘efektivitas’ dalam hal kerugian. Dari 20 kasus fraud berdasarkan jabatan yang mengakibatkan kerugian di atas Rp 10 milyar, 14 kasus (67%) merupakan kerugian yang diakibatkan oleh atasan (direksi)/ pemilik.



Usia Rata-rata pelaku fraud



Dari gambaran di atas dapat dijelaskan bahwa di Indonesia, rata-rata usia pelaku fraud yang paling banyak adalah usia 36-45 tahun (47%). Selanjutnya dilakukan oleh usia 46-55 tahun. Usia tersebut menunjukkan bahwa para pelaku fraud berada pada posisi yang sangat produktif serta lazimnya berada pada posisi puncak. Kerugian Fraud berdasarkan Usia Pelaku Hasil survai menunjukkan tiga hal pada poin kerugian fraud berdasarkan usia pelaku. Pertama, kerugian paling banyak yang diakibatkan oleh fraud berada dalam rentang Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta. Hal ini terlihat dari 30 kasus atau (%) dilakukan oleh pelaku yang berusia 36-45. Sementara terdapat 32 kasus atau % dilakukan oleh pelaku berusia 46-55 tahun. Hal kedua yang dapat diperoleh dari survai ini juga menunjukkan bahwa dalam usia produktif, dalam hal ini 36-45 tahun yang diasumsikan menduduki puncak karir lebih banyak melakukan kasus fraud. Hal ketiga yang dapat diambil kesimpulan adalah pada usia 46-55 tahun yang mencapai kematangan, pelaku lebih cenderung berkurang. Namun, kejahatan pada level kerugian lebih dari Rp 10 milyar meningkat.



Jenis Kelamin Pelaku Fraud



Berbeda jauh dengan Report to The Nationss (2016), yang menyatakan bahwa laki-laki merupakan 65% dari pelaku fraud, maka di Indonesia menurut pendapat responden pelaku fraud yang ber gender laki – laki mencapai 97%. Namun hal ini sejalan dengan data yang telah kami ambil dari Mahkaman Agung khusus korupsi yang menerangkan bahwa 92% pelaku fraud khususnya jenis korupsi adalah 92%.



Kerugian Fraud Berdasarkan Jenis Kelamin



Dengan demikian secara logika, karena yang paling merugikan adalah laki-laki, maka kerugian akibat fraud pada tingkat berapapun sebagian besar adalah dilakukan oleh laki – laki.



Break down Kerugian Fraud Berdasarkan Jenis Kelamin 1. Laki-laki



Gambar 35 : Kerugian akibat Fraud yang Dilakukan oleh laki-laki Berdasarkan data yang telah di-break down ini dapat dilihat bahwa nominal Rp 100 juta sampai dengan < Rp 500 juta menjadi jumlah terbanyak (32% atau 72 kasus) kerugian yang diakibatkan oleh pelaku fraud laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil survai yang menyebutkan bahwa angka kerugian akibat fraud berada dalam kisaran Rp 100 juta sampai dengan < Rp 500 juta. 2. Perempuan



Gambar 36 : Kerugian akibat Fraud yang Dilakukan oleh Perempuan Angka kerugian yang lebih sedikit ditunjukkan oleh pelaku fraud perempuan. Kasus fraud yang melibatkan perempuan hanya berkisar Rp 50 juta sampai dengan < Rp 100 juta. Namun yang perlu menjadi catatan adalah persentase untuk jumlah kerugian lebih dari 1 milyar. Hal ini dibuktikan secara konstan perempuan dapat mengakibatkan kerugian dari range Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 milyar sebanyak 14%.



Kerugian Fraud berdasarkan masa kerja Berdasarkan gambaran survai pada gambar 39, dapat dilihat bahwa masa kerja yang lebih lama cenderung mengakibatkan kerugian yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena pekerja yang memiliki masa kerja yang lebih lama sudah mengetahui celahcelah yang dapat digunakan untuk melakukan fraud, di samping posisi yang diduduki. Masa kerja yang lebih lama cenderung membuat seorang pelaku fraud berada di posisi yang ‘nyaman’ untuk melakukan fraud. Masa kerja yang semakin lama pula dapat menyebabkan pelaku merasa punya pembenar atas apa yang dilakukan. Segitiga fraud menyatakan ada tiga hal yang menyebabkan seseorang melakukan fraud, diantaranya: (1) Pressure , (2) Opportunity, (3) Rationalization. Para pelaku dengan masa kerja yang lebih lama bisa jadi merasa tidak melakukan fraud karena menganggap apa yang dilakukannya adalah timbal balik atas jasa atau lamanya pengabdian terhadap perusahaan. Sehingga menganggap hal yang dilakukannya adalah wajar.



Gambar 38 : Kerugian Fraud Berdasarkan Masa Kerja



Agar lebih mendalami jumlah kerugian berdasarkan masa kerja, berikut ini kami sajikan breakdown untuk setiap range masa kerja beserta kerugian yang diakibatkan.



Masa Kerja Kurang dari 1 Tahun



Gambar 39 : Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku masa > 1 tahun.



Hanya ada dua responden yang memiliki pengalaman menemukan fraud pada masa kerja kurang dari satu tahun. Jumlah yang diakibatkan pun maksimal Rp 100 juta. Namun, hal ini perlu menjadi perhatian bahwa pada masa kerja kurang dari satu tahun, pelaku telah dapat mengakibatkan kerugian yang berdampak material terhadap keuangan perusahaan. Hal ini dapat diakibatkan kurangnya program asistensi perusahaan untuk karyawan baru dalam perusahaan.



Masa Kerja 1-5 Tahun



Gambar 40 : Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku dengan masa kerja 1-5 Tahun Naik satu tingkat dari masa kerja yang kurang dari satu tahun, tingkat kerugian paling banyak yang dilakukan oleh pelaku fraud juga ikut meningkat. Jika kerugian pada masa kerja kurang dari satu tahun hanya mencapai Rp 100 juta, maka untuk masa kerja 1-5 tahun ini kerugian terbanyak (26%) ada pada range Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 milyar.



Masa Kerja 6-10 Tahun



Gambar 41 : Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku dengan masa kerja 6-10 tahun



Berdasarkan gambar 38, dapat diketahui bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin berpotensi melakukan fraud. Meski berada satu tingkat di atas masa kerja 1-5 tahun, namun range kerugian akibat terjadinya fraud tidak terlalu banyak perubahan, yaitu pada range Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 milyar.



Masa Kerja Lebih Dari 10 Tahun



Gambar 42 : Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku dengan masa kerja lebih dari 10 tahun



Masa kerja lebih dari 10 tahun, selain didapatkan kasus lebih banyak, pada jenjang ini juga ditemukan risiko kerugian lebih dari Rp 10 milyar yang juga lebih banyak daripada masa kelompok masa kerja yang lainnya.



Pendidikan Pelaku Fraud



Sama dengan Report to The Nationss (2016), maka pendidikan pelaku fraud di Indonesia adalah sarjana ke atas.Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana proses pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini merupakan pertanyaan besar yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Jawabannya memerlukan penelitian yang mendalam. Namun diduga bahwa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, pendidikan tinggi lebih mengutamakan hardskill dibandingkan softskill. Di masa depan Indonesia perlu menekankan perlunya pendidikan tinggi yang mengutamakan proses kejujuran, integritas, dan lainnya, dibandingkan pendidikan tinggi yang hanya menekankan pada keahlian. ACFE Indonesia Chapter dapat berperan dalam hal ini.



Organisasi/Lembaga yang Dirugikan akibat Fraud Pada survai ini didapatkan informasi bahwa pemerintah dianggap sebagai organisasi yang ‘mutlak’ dirugikan atas terjadinya fraud. Mayoritas responden sebanyak 81.2% memilih pemerintah sebagai jenis/lembaga yang dirugikan akibat fraud. Kemudian diikuti oleh perusahaan negara//BUMN sebanyak 8.1% serta perusahaan swasta 7.2%. Pada poin lainnya yang mendapat respon dari responden (2.2%) sering diwakilkan dengan masyarakat atau rakyat Indonesia sendiri. Gambar 17: Organisasi/Lembaga yang Dirugikan Akibat Fraud



Sumber : data diolah, 2016 Kerugian akibat Fraud berdasarkan Jenis Organisasi/Lembaga Gambar 18 : Kerugian Akibat Fraud Berdasarkan Jenis Organisasi/Lembaga



Sumber: data diolah, 2016



Persentase yang lebih 100% pada grafik, disebabkan oleh responden yang diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu jawaban pada poin kuesioner.



Industri yang Dirugikan oleh Fraud Gambar 19 di bawah ini menunjukkan bahwa pihak yang paling dirugikandengan adanya korupsi adalah pemerintah, dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan berstatus BUMN sebanyak 58.8%. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh ACFE (2016) yang menempatkan industri keuangan dan perbankan pada posisi pertama organisasi yang dirugikan akibat fraud dengan persentase 16.8%. Dalam survai fraud Indonesia 2016, industri keuangan dan perbankan menjadi industri yang paling dirugikan kedua dengan persentase 15.9%. Sehingga terjadi vice versa mengenai jenis industri yang paling dirugikan oleh fraud antara survai ACFE Indonesia Chapter dan ACFE (2016). Secara berurutan, industri-industri yang dirugikan tersebut terdiri dari industri perikanan dan kelautan, industri kesehatan, industri manufaktur, industri pendirikan, industri transportasi, lainnya, industri perumahan, serta industri perhotelan. Pada poin lainnya, responden sering mewakilkannya dengan rakyat. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh kecenderungan para pelaku fraud di Indonesia sering memanfaatkan proyek yang dilakukan oleh pemerintah (contoh : wisma atlet di Hambalang dan dana haji) untuk melakukan kejahatan. Sehingga, secara langsung para pelaku tersebut melakukan korupsi yang merugikan pemerintah dan mengganggu proses pelayanan kepada masyarakat. Hal yang perlu diingat dari grafik yang industri yang paling dirugikan oleh fraud ini adalah bahwa hasil ini tidak serta merta membuktikan bahwa sebuah industri lebih berisiko terhadap fraud dari industri lain. Data ini mengutamakan pada sektorsektor industri berdasarkan pengalaman para responden.



Kesimpulan Pelaku Fraud Beserta Dampak berupa korban dan kerugian Pertama, dari segi umur, pada survei tahun 2002 ACFE menemukan bahwa jika pelaku fraud semakin tua umurnya, maka semakin mahal pula skema yang mereka buat. Kerugian yang diperoleh dari karyawan yang lebih tua adalah 27 kali dari kerugian yang dilakukan oleh penipu usia muda. Alasannya ialah, bahwa karyawan yang lebih tua memiliki jabatan yang lebih seinor dengan aset yang lebih bebas. Biasanya dalam sebuah perusahaan, mayoritas jabatan papan atas (manajerial dan di atasnya) dipegang oleh laki-laki. Temuan dalam survei melaporkan bahwa sebagian besar tindak fraud dilakukan oleh laki-laki. Kerugian yang disebabkan oleh pelaku fraud berjenis kelamin laki-laki adalah tiga kali lipat lebih besar dibandingkan pelaku perempuan, misalnya, laki-laki terlibat dalam tindak fraud 75 persen dari perempuan. Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi pula tingkat pendidikan. ACFE melaporkan bahwa mereka yang memegang gelar sarjana ternyata menyebabkan 3,5 kali kerugian dibandingkan mereka yang memiliki pendidikan di bawahnya, misalnya diploma atau SLTA. Jika tingkat pendidikan pelaku fraud semakin tinggi, maka semakin besar pula angka kerugian yang diderita oleh perusahaan/organisasi. Kolusi merupakan kegiatan kolaborasi ilegal yang sangat sulit untuk dicegah dan dideteksi, khususnya jika kolusi terjadi antara manajer dan karyawan. Hal ini karena manajer biasanya diandalkan sebagai personil kunci bagi struktur pengendalian perusahaan. Mereka dipercaya untuk mengidentifikasi dan mendeteksi fraud melalui fungsi mereka. Report To The Nations (2018) Hasil survei dalam RTTN tahun 2018 yang berdasarkan pada 2.690 kasus kecurangan kerja yang dilaporkan dari 125 negara, terdapat banyak dampak yang luar biasa dalam organisasi. Penelitian ini didasarkan pada 220 kasus kecurangan kerja dari negara-negara Asia-Pasifik yang dilaporkan pada tahun 2017 dalam Global Fraud Survey. Secara kolektif, kasus-kasus ini, yang menyumbang 11% dari semua kasus dalam penelitian global kami, yang menyebabkan kerugian rata-rata sebesar USD 236.000 dan berlangsung rata-rata 18 bulan sebelum kecurangan terdeteksi. RTTN menunjukkan bahwa kasus kecurangan kerja dapat dipecah menjadi tiga kategori besar. Yang pertama adalah penyalahgunaan aset sebesar 80% dari kasus di wilayah Asia-Pasifik yang menyebabkan kerugian rata-rata USD 180.000. Selanjutnya adalah kasus penipuan laporan keuangan menyumbang 13% dari kasus di wilayah tersebut dan mengalami kerugian rata-rata USD 700.000. terakhir adalah korupsi yang berada di tengah-tengah kedua hal tersebut, terjadi pada 51% kasus dan menyebabkan



kerugian rata-rata USD 500.000. Lebih dari 75% dari penipuan di kawasan Asia-Pasifik terjadi pada organisasi-organisasi nirlaba, dengan 39% dari organisasi korban menjadi perusahaan swasta dan 38% menjadi perusahaan publik. Perusahaan swasta dalam penelitian kami menderita kerugian median terbesar, sebesar USD 310.000. organisasi pemerintah adalah korban hanya 17% dari kecurangan dan mengalami kerugian rata-rata USD 193.000. Pengendalian internal memainkan peranan penting dalam melindungi organisasi terhadap kecurangan seperti tabel dibawah ini : Pengendali



% Kasus



Audit eksternal dari laporan keuangan



93%



Kode etik



87%



Departemen audit internal



80%



Sertifikasi manajemen laporan keuangan



79%



Hotline



74%



Audit eksternal kontrol internal atas pelaporan keuangan



73%



Ulasan manajemen



71%



Komite audit independen



69%



Kebijakan Anti-penipuan



60%



Pelatihan fraud bagi karyawan



59%



Pelatihan fraud untuk manajer / eksekutif



57%



Program dukungan karyawan



49%



Departemen penipuan Dedicated, fungsi, atau tim



42%



Penilaian risiko penipuan Formal



37%



Audit Surprise



34%



Data proaktif pemantauan / analisis



32%



Rotasi pekerjaan / wajib liburan



16%



Hadiah untuk whistleblower



11%



Pelaku kecurangan terbesar dilakukan oleh Manajer 41% dengan kerugian rata-rata sebesar USD 323.000 dan disusul oleh karyawan sebesar 30% mencapai kerugian rata-rata USD 58.000 dan Pemilik / eksekutif sebesar 26 % dengan kurugian rata-rata USD 1.000.000. pelaku biasanya berasal dari lima departement paling umum dalam perusahaan yaitu,



operasional 16% kasus, penjualan 16% kasus, eksekutif / manajemen atas 11% kasus, akuntansi 8% kasus dan keuangan 8% kasus Kasus Enron Kasus Enron mulai terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Pada saat itulah terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah



yang



sama.



Sebelum



kebangkrutan



Enron



terungkap,



KAP



Andersen



mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang didirikan oleh Enron. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek Window dressing yaitu dengan cara penundaan pencatatan piutang karena kasnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Manajemen Enron telah menggelembungkan pendapatannya USD 600.000.000 dan menyembunyikan utangnya sejumlah USD 1,2 miliar. Kasus Skandal Akuntansi Pada Worldcom Worldcom pada awalnya merupakan perusahaan penyedia layanan telpon jarak jauh. Selama tahun 90an perusahaan ini melakukan beberapa akuisisi terhadap perusahaan telekomunikasi lain yang kemudian meningkatkan pendapatnnya dari $152 juta pada tahun 1990 menjadi $392 milyar pada 2001, yang pada akhirnya menempatkan worldcom pada posisi ke 42 dari 500 perusahan lainnya menurut versi majah fortune. Akuisisi yang besar telah terjadi pada tahun 1998 pada saat worlcom mengambil alih perusahaan MCI yaitu peruahaan kedua terbesar di Amerika yang bergerak pada bidang telekomunikasi jarak jauh. Dan pada tahun yang sama Worldcom membeli perusahaan UUNet, Compuserve, dan jaringan data AOL (american Online) yang mengukuhkan posisi Worldcom menjadi operator no 1 dalam infrastruktur internet. Pada tahun 1990 terjadi masalah fundamental ekonomi pada Worldcom yaitu terlalu besarnya kapasitas telekomunikasi. Masalah ini terjadi karena pada tahun 1998 Amerika mengalami resesi ekonomi sehingga permintaan terhadap infrastruktur internet berkurang drastis.hal ini berimbas pada pendapatan Worldcom yang



menurun drastis sehingga pendpatan ini jauh dari yang diharapkan.padahal untuk biaya akuisisi dan untuk membiayai investasi infrastruktur Worldcom menggunakan sumber pendanaan dari luar atau utang. Worldcom bukan satu-satunya perusahaan yang memiliki masalah keuangan pda saat itu, perusahaan lain yang mengalami masalah keuangan antara lainQwest Communications, Global Crossing, Adelphia, Lucent Technologies,dan Enron. Perusahaan-perusahaan tersebuit memiliki investasi yang besar dalam bisnis internet. Seperti pada perusahaan tadi investor di Worldcom mengalami kerugian besar. Nilai pasar saham perusahaan Worldcom turun dari sekitar 150 milyar dollar (januari 2000) menjadi hanya sekitar $150 juta (1 juli 2002). Keadaan ini mebuatan pihak manajemen berusaha melakukan praktek-praktek akuntansi untuk menghindari berita buruk tersebut. Praktek Akuntansi Dalam



laporannya



pada



25



Juni



Worldcom



mengakui



bahwa



perusahan



mengklasifikasikan lebih dari $ 3,8 milyar untuk beban jaringan sebagai pengeluaran modal.beben jaringan adalah beban yang dibayar oleh Worldcom kepda perusahaan lain untuk jaringan telekomunikasi, seperti biaya akses dan biaya pengiriman pesan bagi Worldcom. Dilaporkan sekitar $ 3,005 milyar telah salah diklasifiksi pada tahun 2001, sementara sisanya sekitar $ 797 juta pada triwulan pertama tahun 2002.berdasarkan data Worldcom $14,7 milyar pad tahun 2001 disajikan sebagai biaya. Dengan memindahkan akun beban kepada akun modal, Worldcommampu menaikkan pendapatan atau laba. Worldcom mampu menaikan laba karena akun beban dicatat lebih rendah, sedangkan akun aset dicatat lebih tinggi karena beban kapitalisasi disajikan sebagai beban investasi. Kalau hal itu tidak terdeteksi praktek ini akan berakibat pendapatan bersih yang lebih rendah dalam tahun-tahun brikutnya. Karena beban kapitalisasi jaringan tersebut akan didepresiasikan.secara esensi beban kapitalisasi jaringan akan memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan biyanya dalam beberapa tahun dimasa depan, mungkin antara 10 tahun bahkan lebih. Staf akuntan Worldcom telah diwawancara sebelum tanggal 25 Juni. Pada Maret 2002 SEC meminta data dari perusahaan berupa item-item yang berhubungan dengan Laporan Keuangan. Termasuk didalamnya : 1. komisi penjualan dan tagihan-tagihan yang bermasalah 2. sanksi administrsi terhadap pendapatan yang berhubungn dengan pelanggan dalam sekala besar



3. kebijakan akuntansi untuk merger 4. pinjaman kepada CEO 5. integrasi sistem komputer Worldcom dengan MCI 6. analisis ekspektasi pendapatan saham WC 1 Juli 2002 worldcom mengumumkan bahwa akun cadangan di Worldcom juga diinvestigasi/diperiksa. Perusahaan membuat akun ini untuk mengantisipasi kejadiankejadian luar biasa yang tidak dapat diprediksi. Seperti utang pajak tahun depan. Seharusnya



akun



ini



tidak



boleh



dimanipulasi



untuk



memperoleh



pendapatan.



8 Agustus, Worldcom mengakui bahwa mereka telah menggunakan akun cadangan secara tidak benar. Dakwaan yang dilaporkan pada tanggal 28 agustus adalah bahwa akun cadangan dikurangi untuk menutupi biaya jaringan yang telah dikapitalisasi.



Pertanyaan Audit Berdasarkan latar belakang tersebut, penyajian beban jaringan sebagai pengeluaran modal ditemukanoleh internal auditor Cynthia Cooper. Mei 2002 Auditor Cynthia Cooper mendiskusikan masalah tersebut kepada kepala keuangan Worldcom Scott D. Sullivan dan controller perusahaan saat itu David F. Myers. Cooper melaporkan masalah tersebut pada kepala komite audit Max Bobbitt, sekitar 12 Juni. Yang kemudian Max Bobbitt meminta kepada KPMG selaku eksternal auditor saat itu untuk melakukan investigasi. Kepala keuangan worldcom diminta untuk mengkoreksi salah saji/salah pengklasifikasiannya. Setelah berdiskusi lebih lanjut Scott D. Sullivan dipecat pada saat Worldcom mengadakan pengumuman. Pada hari yang sama David F. Myers mengundurkan diri. Dilaporkan bahwa Sullivan tidak pernah mengkonsultasikan penyajian tersebut kepada Artuhr Anderson selaku auditor eksernal pada tahun 2001. dan Arthur Anderson pun menyatakan bahwa Sullivan tidak pernah berkonsultasi dengan nya. Pada tanggal 15 Juli,Tauzi yang merupakan House Energy and Commerce Committee mengatakan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen internal dan email Worldcom mengindikasikan bahwa sebenarnya pihak eksekutif sudah mengetahui salah saji tersebut sejak awal musim panas 2000 silam. Internal auditor adalah pertahanan awal terhadap kesalahan paktek-praktek akuntansi dan kecurangan akuntansi. Satu pertanyaan kepada Internal Auditor Worldcom adalah kenapa butuh waktu lama (1 tahun) untuk mengungkap salah saji ini. Padahal mengingat nilai kapitalisasi yang begitu besar dan pengaruhnya terhadap nilai pendapatan bersih dan total aktiva harusnnya bisa diungkap lebih cepat. Pertanyaan yang lebih berat dilyangkan kepada KAP Arthur Anderson ,



beberapa pengamat menyatakan bahwa Arthur Anderson tahu mengenai salah saji yang dilakukan pihak Worldcom. Karena seharusnya Arthur Anderson bertugas untuk mengaudit kesalah semacam itu, apalagi kesalah ini sangat material. Beberapa pengamat juga menyatakan bahwa Arthur Anderson seharusnya lebih peka terhadap kondisi keuangan Worldcom, yang dapat mengakibatkan manajemen perusahaan melakuakan hal diluar kewajaran praktek akuntansi. Dampak 25 Juni 2002, saham Worldcom dari $64,5 pada pertengahan 1999 menjadi kurang dari $2 per saham. Dan turun lagi hingga kurang dari $1 yang akhirnya nilai sahamnya kurang dari 1 sen. Para pegawai Worldcom yang mempunyai saham perusahaan sebagai bagian dari dana pensiun mereka juga mengalami kerugian. Pada akhir tahun 2000 sekitar 32 % atau $642,3 juta dana pensiun mereka berupa saham.Dan mengumumkan akan memberhentikan 17.000 karyawan dari total 85 ribu karyawan. 21 Juli 2002, Worldcom mengikuti program proteksi kebangkrutan sementara dari departemen kehakiman Amerika serikat. Worldcom melaporkan aset sebesar $103 milyar dengan total utang $41 milyar. Kebangkrutan Worldcom merupakan kebangkrutan yang paling besar di Amerika Serikat Pada tahun 2004 Worldcom berubah nama mnjadi MCI, dan CEO Worldcom diganti dari Ebbers menjadi john Sidgemore. Scott D. Sullivan didakwa dengan hukuman penjara maksimum 25 tahun penjara sedangkan Ebbers didakwa dengan hukuman penjara lebih dari 25 tahun.