Materi Gadai [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Warda
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Gadai



1. Pengertian Gadai berasal dari kata Arab Ar-Rahnu, yang berarti tetap dan terus menerus. Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa rahn (gadai) dengan sebuah fatwah di awal dan huruf "ha" disukun/mati terletak menurut bahasa ( Al-Ihtibas), yang berarti blokade dalam bentuk maf’ul bih seperti Masdar. Savid sabik mendefinisikan gadai sebagai jaminan terhadap utang, menciptakan sesuatu yang bernilai syariah. M. Ali Hasan mengutip definisi ensiklopedia bahasa Indonesia di mana yang disebut gadai atau hak gadai adalah “hak atas suatu benda dalam barang milik pribadi milik debitur”. Masjfuk Zuhdi mengatakan



gadai adalah "perjanjian pinjaman (kontrak) di mana barang-barang



dialihkan dengan hutang." Dalam pandangan ulama Islam tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah akad hutang, karena dalam arti sempit gadai dapat juga berarti suatu aset yang menjadi jaminan suatu kewajiban. 2. Dasar Hukum Gadai Adapun landasan hukum yang memperbolehkan adanya praktek gadai yaitu dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 283, yang artinya “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan bahwa jika Anda bepergian dan Anda tidak memiliki penulis untuk menulis kontrak utang, properti Anda dapat diganti dengan jaminan yang dapat Anda gunakan sebagai jaminan, sebagai bentuk gadai yang harta benda tersebut dapat dipegang oleh murtahin. Tafsir Jalalain mencatat bahwa "Sunnah menyatakan bahwa jaminan diperbolehkan selama muqim dan di hadapan penulis", tetapi ini mengacu pada masyru'nya gadai ketika dalam perjalanan. Harta sebagai jaminan (rahn) merupakan salah satu bentuk kepercayaan orang yang meminjamkan kepada orang yang melakukan pinjaman. Hal ini karena penulis tidak



dapat membuat piutang berdasarkan perjanjian hutang, dengan adanya hipotek ini dapat digunakan sebagai jaminan dalam hal dijadikan jaminan jika sewaktu-waktu lalai, atau dalam hal ketidakmampuan untuk membayar utang. Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim dari Aisyah mengatakan bahwa : “Bahwasanya Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan (menggadaikan) kepadanya baju besinya”. HR. Bukhari dan Muslim. Kemudian Anas bin Malik juga pernah mengatakan bahwa : “Rasulullah telah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi dan meminjam kepadanya gandum untuk kebutuhan keluarganya”. HR. Ahmad, Bukhari dan Nasai. Kedua hadits di atas menjadi dalil bahwa rahn itu telah terjadi pada zaman Nabi, bahkan beliau sendiri yang melakukannya, Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa dari hadits tersebut menjadi dalil diperbolehkannya bermuamalah dengan orang-orang kafir, selama tidak berkenaan dengan hal-hal yang diharamkan Islam. Dari hadits ini juga dapat kita tarik kesimpulan bahwa awal mula dibolehkannya gadai adalah berkenaan dengan muamalah dengan orang-orang kafir, hal ini tentu membawa hikmah agar murtahin merasa tenteram dengan harta benda yang dihutangkan kepada rahin karena adanya jaminan, pihak rahin sendiri akan merasa tenteram juga karena dengan adanya jaminan (gadai) tersebut maka jika sewaktu-waktu dia tidak dapat melunasi hutangnya maka barang gadaian tersebut dapat menutupi atau untuk melunasi hutangnya. Para Ulama di Indonesia melalui Dewan Syari'ah Nasional juga telah mengeluarkan fatwa mengenai gadai, yaitu fatwa No: 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan. Catatan kaki: jurnal GADAI DALAM SYARI'AT ISLAM Oleh : Abdurrahman Misno. Hlm : 26-29 3. Rukun dan Syarat sah Gadai Menurut Sasli Rais (2008:42), beberapa rukun gadai Syariah yang harus dipenuhi dalam perjanjian gadai (rahn). Pilarnya meliputi:



a) Ar-Rahn (yang meletakkan), istilah Rahn: seseorang yang matang, cerdas, dapat diandalkan dan memiliki aset yang didukung hipotek. b) Al-Murtakhin (orang yang dijaminkan), orang yang diberi kuasa oleh Rakhin untuk menerima modal yang dijaminkan sebagai barang yang dijaminkan. c) Al-Marhun (Security Commodity), produk yang dijadikan jaminan oleh Rahin saat menerima uang. d) Al-Marhun bih (utang), sejumlah besar dana yang ditransfer ke Rakhin murtakhin sesuai dengan skala interpretasi markhun. e) Sighat (Ijab dan Kabul) - Perjanjian antara Rakhin dan Murtakhin untuk pelaksanaan transaksi aman. Menurut Sasli Rais (2008:42), Syarat gadai (rahn) ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun gadai (rahn) itu sendiri yaitu : a) Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah kemampuan untuk bertindak secara legal (pubertas dan waras). Ulama Hanaf membutuhkan kecerdasan



yang



cukup.



Akibatnya,



anak-anak



yang



mumayyiz



(bisa



membedakan yang baik dan yang jahat) dapat membuat perjanjian gadai (rahn) dengan persetujuan orang tua. Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi orang yang berakad adalah yang mengerti tasharuf, yang berarti kesanggupan untuk menggunakan harta, dan dalam hal ini dia memahami masalah gadai(rahn). b) Syarat Sighat (lafadz). Ulama Hanaf mengatakan bahwa karena akad rahn itu setara dengan kontrak penjualan, kontrak tidak boleh ada hubungannya dengan persyaratan atau masa depan tertentu. Jika ada sesuatu yang melekat pada akad, maka syaratnya batal, dan akad yang sah itu, misalnya, Rakhin mensyaratkan tenggang waktu marhun bih berakhir dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan. c) Syarat Marhun Bih : 



Hak ini harus dikembalikan kepada orang yang murtahin







Marhun bih dapat diselesaikan dengan bantuan marhun.







Marhun bih jelas, konsisten dan tegas.



d) Syarat Marhun menurut ahli fiqh:







Marhun boleh dijual dan nilainya sama dengan Marhun Bih.







Marhun memiliki nilai aset dan dapat digunakan (halal)







Marhun jelas dan spesifik.







Marhun adalah milik sah Rahin







Marhun tidak terkait dengan hak orang lain. Catatan kaki : jurnal PENGARUH PENDAPATAN TERHADAP PEMBIAYAAN GADAI (RAHN) PADA PEGADAIAN SYARIAH WAY HALIM 2016-2018. Hlm. 102-103



4. Jenis-jenis Gadai Gadai jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi dua yaitu gadai shahih dan gadai fasid. a. Rahn sahih/ gadai sahih Rahn Shahih / umum, Ini adalah akad yang benar karena memenuhi persyaratan dan prinsip dasar. Jika akad rahn sesuai dengan rukun dan syarat, maka ada pengaruh yang harus dipenuhi oleh murtahin dan rahin. Diantaranya adalah sebagai berikut: 



Adanya hutang bagi rahin (penggadai).







Memiliki benda bergerak dari Rahin ke Murtahin.







Kewajiban untuk menyimpan agunan untuk Murtahin.







Rahin menanggung biaya pemeliharaan properti gadai dan Murtahin berhak mengklaimnya di Rahin.



b. Rahn Fasid/ gadai fasid Rahn Fasid, ialah akad Rahn yang tidak memenuhi asas dan syarat dasar. Kemudian fasid rahn tidak memiliki hak atau kewajiban karena akad telah rusak/batal akad. Imam mazhab fiqh setuju dengan ini. Dengan demikian tidak ada akibat hukum terhadap barang jaminan tersebut, murtahin tidak boleh menahannya dan rahin harus meminta kembali jaminan tersebut. Jika murtahin menolak untuk mengembalikan, barang tersebut sampai rusak, murtahin dianggap sebagai perampas. Karena itu, dia berhak mendapatkannya kembali.



Catatan kaki: jurnal GADAI DALAM SYARI'AT ISLAM Oleh : Abdurrahman Misno. Hlm. 3031 5. Operasional pada pegadaian Syariah Pegadaian Syariah, juga dikenal sebagai Pegadaian Syariah atau Rahn, menggunakan metode pendapatan atau mudharobah (bagi hasil) untuk kegiatannya karena kliennya menggunakan marhum bih (utang) untuk berbagai keperluan seperti konsumsi, biaya kuliah atau pembayaran modal kerja tambahan. Karena metode Mudharaba belum diinginkan, maka pada prinsipnya pegadaian menggunakan metode fee based. Keterampilan gadai syariah untuk kegiatan tersebut memiliki alur sebagai berikut: Apabila nasabah mengamankan suatu barang dengan menjaminkannya kepada Pegadaian Syariah, Pegadaian dapat mengevaluasi agunan tersebut dan menggunakannya sebagai dasar pembiayaan. Pegadaian Syariah dan nasabah setuju dengan jaminan yang meliputi jumlah pinjaman, jasa titipan dan biaya administrasi, dan jatuh tempo 120 hari. Pegadaian Syariah mengambil biaya administrasi dan deposito saat melunasi hutang. Nasabah membayar kembali gadai setelah berakhirnya jangka waktu pembayaran. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan pinjaman dan tidak memperbaharui gadai, pegadaian akan melakukan lelang untuk menjual barang dagangan dan menerima pengembalian pinjaman dari nasabah dari penjualan agunan. Catatan kaki : jurnal OPERASIONAL GADAI DALAM SISTEM HUKUM EKONOMI ISLAM , hlm. 167-168