Menjual Si Miskin [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Menjual Si Miskin : Komodifikasi Kemiskinan Dalam Media (Agam Imam Pratama / F1D010036)



Abstraksi Media massa televisi memiliki perkembangan yang sangat pesat, terbukti ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mengkonsumsinya dibandingkan dengan media massa lainnya. Hal ini menyebabkan munculnya banyak program televisi, salah satunya adalah tayangan reality show yang bertemakan sosial. Tayangan tersebut sangat menarik untuk diteliti, karena media mengklaim sebagai tayangan yang memiliki makna dominan (preffered reading) sebagai tayangan yang mengandung hikmah. Akan tetapi, sebagian penonton lainnya memiliki pemaknaan yang berbanding terbalik dengan tujuan media dalam menayangkan tayangan tersebut. Tulisan ini membuktikan secara kritis bahwa tayangantayangan tersebut mengandung sisi negatif dan eksploitasi kemiskinan dalam jenis baru (komodifikasi kemiskinan).



Key word : reality show, eksploitasi, komodifikasi



A. PENDAHULUAN Dunia berkembang secara dinamis, terus berubah tanpa ada yang bisa mengontrol gerak lajunya. Perkembangan yang dimaksud kini memasuki era di mana dunia terasa menjadi semakin kecil, dunia menjadi sebuah desa global, di mana segala macam informasi, modal, dan kebudayaan bergerak secara cepat, tanpa halangan batas-batas kedaulatan. Kemajuan tersebut dinamakan sebagai globalisasi. Banyak orang melihat secara optimis kapitalisme global yang bernaung di bawah globalisasi, menganggapnya sebagai tatanan yang menyatukan segala masyarakat dalam berperang melawan kemiskinan dan kemelaratan.



Optimisme yang berlebihan tersebut ternyata berbenturan dengan kenyataan dalam masyarakat dewasa ini, di mana jurang pemisah antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin semakin besar. Dunia terbagi dalam kutub negara-negara kaya dan pemodal di sisi utara dan kutub negara miskin dan peminjam modal di sisi selatan. Pada dirinya sendiri, tatanan dunia penuh dengan ketimpangan. Kemajuan yang didengungkan tidak bisa secara merata dinikmati oleh semua orang. Selain itu, dengan dunia yang semakin disatukan oleh berbagai kemajuan teknologi dan pasar bebas, terdapat kecenderungan berkembangnya masyarakat konsumen. Pasar membutuhkan dan menciptakan masyarakat seperti ini untuk dijadikan sapi perahannya. Berbicara mengenai globalisasi, sebenarnya apa makna umum dari globalisasi?. Mendefinisikan istilah ini secara mendasar bukan hal yang mudah. Hal itu terjadi karena banyaknya bidang kehidupan yang mengalami proses ini. Bidang-bidang itu antara lain, kebudayaan, ekonomi global, politik, komunikasi multimedia, dan lain sebagainya. Globalisasi juga bisa dipahami dari konsep timespace distinction. Pemikiran Anthony Giddens kiranya berada dalam ranah ini. Kata globalisasi tidak hanya menyangkut masalah ekonomi tetapi juga menyangkut informasi dan transportasi. Globalisasi adalah suatu kondisi di mana tak satupun informasi yang dapat ditutup-tutupi, semua transparan. Akibatnya, pola hubungan manusia menjadi semakin luas, bukan saja pribadi dengan pribadi, melainkan juga semakin terbukanya komunikasi yang simultan. Hampir semua hal di dunia ini mempunyai dua sisi yang selalu hadir bersama, yakni sisi negatif dan sisi positif. Demikian pula dengan globalisasi. Secara positif, globalisasi telah membantu manusia untuk dapat berkomunikasi secara lebih cepat dengan jangkauan yang luas. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang canggih tidak bisa ada tanpa pengaruh globalisasi. Demikian pula terhadap perkembangan sains dan teknologi dewasa ini yang semakin mempermudah segala pekerjaan manusia. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh mesin-mesin berteknologi tinggi dan perangkat komunikasi dan informasi multimedia dalam era globalisasi



ternyata tidak hanya dilihat dari sisi positif. Berbagai kecurigaan juga muncul beriringan dengan fakta-fakta di atas. Dengan kemajuan di bidang komunikasi yang kelihatannya bisa menghapus segala perbedaan dalam masyarakat dunia, ternyata globalisasi gagal membuat masyarakat bersatu dalam satu solidaritas yang lebih besar dari sebelumnya. Dalam perspektif ini homogenisasi globalisasi dilihat sebagai ilusi. Dunia yang disatukan adalah ilusi terbesar globalisasi, karena yang terjadi khususnya pada manusia adalah kebalikannya. Alih-alih menciptakan dunia yang satu, globalisasi malah menciptakan manusia-manusia yang terfragmentasi. Secara fisik, tampaknya dunia semakin bersatu, homogen dengan payung globalisasi. Akan tetapi dunia yang homogen itu tidak termasuk kemanusiaan. Dalam bidang ekonomi, kapitalisme global yang bernaung di bawah globalisasi telah memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang sangat signifikan, antara si miskin dan si kaya atau antara orang utara atau barat sebagai pemodal yang kaya raya dengan orang selatan atau timur sebagai para buruh kasar yang miskin. Globalisasi, dalam taraf tertentu, dapat diidentikkan dengan globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi ini pada pada kenyataannya merupakan istilah lain dari ekonomi pasar bebas ataupun kapitalisme global. Kapitalisme global mulai berkembang pesat, segera setelah Perang Dingin yang berakhir tahun 1980-an. Hal-hal tersebut merupakan pemicu utama berkembangnya kapitalisme global atau globalisasi ekonomi yang diawali dengan pertemuan General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) di Maraquesh, Maroko, 1993. Kapitalisme global sebenarnya merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari kapitalisme klasik yang telah dikritik oleh Karl Marx. Kalau dalam kapitalisme klasik ruang lingkup atau jangkauan kekuasaannya hanya dalam satu negara, maka dalam kapitalisme global dunia seakan tidak mempunyai sekat-sekat kedaulatan lagi. Munculnya berbagai perusahaan multinasional merupakan bentuk nyata kehadiran kapitalisme global di dunia. Ekonomi tidak lagi menyangkut urusan dalam negeri, tetapi sudah berkembang menjadi ekonomi sejagad. Pasar berkembang menjadi pasar bebas yang tidak hanya memperdagangkan barang dan jasa, tetapi juga menyangkut pasar mata uang (valuta) dan pasar modal.



Kapitalisme yang dapat terus menyesuaikan diri ini juga saat ini merambah ke berbagai segi kehidupan, tak ketinggalan adalah media khususnya media elektronik. Media elektronik yang merupakan konsekuensi dari modernitas dan globalisasi ini saat ini dijadikan salah satu wahana baru untuk mengeruk keuntungan oleh para kapitalis-kapitalis baik nasional maupun internasional. Coba kita lihat saat ini berapa banyak tayangan yang tidak mendidik, memuat pornografi, serta hal-hal buruk lainnya. Bahkan yang lebih miris adalah bagaimana media menjual kemiskinan (komodifikasi) untuk mengejar rating dan mengeruk keuntungan. Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan komodifikasi kemiskinan ini?. Akan kita bahas selanjutnya pada bab pembahasan.



B. PEMBAHASAN 1. Kapitalisme Media Televisi Teknologi media, tidak terkecuali televisi, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aktivitas manusia sehari-hari. Disadari atau tidak, media ini bukan hanya memberikan kita informasi yang telah dikonstruksi, namun juga berkontribusi membentuk pandangan dunia kita dalam kehidupan sehari-hari melalui teks-teks yang merepresentasikan berbagai hal. Gerbner1 mengatakan bahwa televisi mampu menciptakan pola-pola budaya dalam masyarakat. Maka televisi juga dapat dikatakan mampu menciptakan pengalaman bersama bagi masyarakat. Televisi adalah suatu bentuk budaya pop akhir abad kedua puluh. Tidak diragukan lagi televisi merupakan aktivitas waktu luang paling populer di dunia. Televisi sebagai terobosan dalam teknologi media mempunyai fungsi beragam. Penyampaian isi atau pesan juga seakan-akan langsung antara pembawa acara atau orang-orang yang ditayangkan dengan pemirsanya. Sebagaimana Skomis mengatakan bahwa dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya) televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Ia merupakan gabungan dari media audio dan visual. Bisa bersifat informatif, hiburan, maupun pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga unsur di atas. Dengan layar yang relatif kecil diletakkan di sudut ruangan rumah, televisi menciptakan suasana tertentu dimana pemirsanya duduk dengan santai untuk mengikutinya. Penyampaian isi atau pesan juga seolah-olah langsung antara komunikator (pembawa acara, pembawa berita, artis) dengan komunikan (pemirsa). Melalui proses ini, secara khusus televisi mampu, paling tidak membentuk apa yang disebut dengan proses imitasi di dalam masyarakat, karena hampir semua aspek yang dibawanya dapat diperagakan dan ditiru secara langsung. Sehingga tak urung kehadiran televisi dan program-programnya sedikit banyak mampu mempengaruhi para audiens.2



1 2



Antoni. 2004. Riuhnya Persimpangan Itu. Tiga Serangkai : Solo, hal.125. Totona, Saiful. 2010. Miskin Itu Menjual. Resist Book : Yogyakarta. Hal : 37



Sejak kemunculannya di abad ke-19



sampai hari ini, di tengah



persaingannya dengan internet dan media baru lainnya, televisi tetap muncul sebagai media massa yang digemari. Sayangnya dewasa ini media khususnya televisi semakin mengindustrial, dengan sifat komersialisasi yang menyertainya dan menjadikan informasi sebagai komoditas. Dengan karakter semacam itu, media, terutama televisi, membuat dirinya bisa dinikmati oleh semua anggota publik. Ia akan membuat program-programnya dengan standar selera terendah. Itulah budaya massa, budaya yang menghibur, budaya yang miskin makna, miskin estetika. Terjadi homogenisasi cita rasa dan selera, tidak ada diskriminasi dan hirarki secara budaya. Fenomena lain yang bisa dicatat adalah para produser televisi membuat program selalu dalam format tontonan. Ini terjadi di hampir semua program, mulai dari program berita, sinetron, sampai ke program reality show. Dalam program berita, konflik kekerasan akan ditonjolkan karena kekerasan, misalnya saling lempar batu dalam tawuran, ini adalah tontonan. Dalam sinetron, konflik kekerasan juga yang paling ditonjolkan. Agar terjadi konflik, di sinetron hanya ada dua sifat ekstrem manusia yaitu sangat baik dan sangat jahat. Pada program realitas, ada dua karakter yang bisa dibaca, yakni kegembiraan dan kesedihan. Yang berkarakter kegembiraan bertujuan



untuk



menghibur, contohnya program tayangan Empat Mata (Trans7), Dahsyat (RCTI), sementara yang berkarakter kesedihan dan mengeksploitasi perasaan pemirsa sehingga muncul simpati misalnya Bedah Rumah



(RCTI). Kedua



karakter ini menjadi “ekstrem”, di satu sisi sangat menghibur dan di sisi lain sangat mengharukan karena didramatisasi. Tentu saja bagi para kapitalis media, membuat program dalam format tontonan ini menjadi penting sebab masyarakat menyukai ini dan tentunya menaikkan rating acara televisinya dan berujung pada banyak uang yang dikeruk dari acara tersebut. Pertanyaannya, apakah etis menjual dan mempertontonkan kemiskinan dan kesengsaraan misalnya pada tayangan Bedah Rumah untuk mengeruk keuntungan?.



2. Komodifikasi Objek Kapitalisme Media Bentuk atau wajah komoditas dewasa ini hampir sulit untuk dikenali karena diselubungi dengan begitu rapi dengan berbagai manipulasi. Kapitalisme selalu mampu bertransformasi sesuai dengan perkembangan jaman. Berbagai hal yang pada awalnya tidak termasuk sebagai komoditas, kini dapat dipolesnya dan diproduksinya untuk mengundang kapital-kapital, inilah yang secara garis besar dipahami sebagai komodifikasi. Komoditas jangan hanya dipahami sebagai nilai guna dan nilai tukar, namun komoditas saat ini juga harus dilihat pada nilai tandanya. Karena pada kapitalisme kekinian nilai tanda sangat dominan pada berbagai objek komoditas. Sebagaimana kita lihat pada berbagai media tak terkecuali televisi, yang dijual atau dipertukarkan itu bukanlah barang atau benda dalam pengertian fisik sebagaimana dikatakan oleh Marx, melainkan objek tanda yang ditawarkan melalui televisi ialah ide-ide dalam bentuk karya produser yang dipertontonkan pada berbagai stasiun televisi. Sebagai industri, apa yang muncul dalam setiap tayangan program televisi selalu berhitung dengan kalkulasi ekonomi, dan dengan berbagai cara media juga berusaha mengartikulasikan kepentingannya dalam membangun kendali atas berbagai citra. Dalam dunia media, dapat ditelusuri siapa yang memiliki kekuasaan untuk membuat berbagai hal menjadi menarik dalam bentuk apapun. Sebagaimana tulis Edward W. Said, “kapasitas untuk merepresentasikan, memotret, menggolongkan dan menggambarkan tidak dengan mudah tersedia bagi sembarang orang di sembarang masyarakat.” Kekuasaan ini hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki ketrampilan dalam mengelola berbagai materi tayangan untuk menarik perhatian audiens, mengendalikan isi atau program, sehingga hasil ini akan dijual kepada pengiklan dalam bentuk rating share. Berbagai hal dikomodifikasi, diproduksi oleh media, mulai dari sinetron, iklan, reality show dengan berbagai jenisnya. Masing-masing media berkompetisi memproduksi komoditas-komoditas yang terus bersaing tentunya untuk mendapat keuntungan. Pemirsa yang menjadi konsumen terus-menerus disuguhkan berbagai komoditas. Dalam hal ini, pelayanan bagi audiens adalah alat, bukan tujuan.



Dengan kata lain, media memproduksi audiens yang kemudian dapat dijual sebagai komoditas kepada para pemasang iklan. Dengan demikian, maka industri kapitalisme media selalu mandapat keuntungan secara ekonomi dari berbagai program tayangan yang diproduksi dengan berbagai iklan yang menyertainya. Coba diperhatikan berapa banyak jenis program yang diproduksi stasiun televisi, mulai dari sinetron dengan berbagai jenisnya yang diproduksi berjuta-juta episode, reality show, dan berbagai macam program lainnya. Komodifikasi yang berlangsung berulang-ulang ini tentunya menjadi komoditas yang menggiurkan bagi industri pertelevisian. Vincent Mosco3 mengidentifikasi sedikitnya ada empat bentuk komodifikasi dalam media, yaitu : 1. Komodifikasi isi, yakni proses mengubah pesan dan sekumpulan data ke dalam sistem makna sedemikian rupa sehingga menjadi produk yang dapat dipasarkan. 2. Komodifikasi khalayak, yakni proses media menghasilkan khalayak untuk kemudian „menyerahkan‟ kepada pengiklan. Program-program media misalnya digunakan untuk menarik khalayak untuk kemudian pada gilirannya



perusahaan



yang



hendak



mengakses



khalayak



tersebut



menyerahkan kompensasi materi tertentu kepada media. 3. Komodifikasi chbernet, yang terjadi atas intrinsic commodification dan evtensive commodification. Pada yang pertama, media mempertukarkan rating sedangkan pada yang kedua komodifikasi menjangkau seluruh kelembagaan sosial sehingga akses hanya dimiliki media. 4. Komodifikasi tenaga kerja yang menggunakan teknologi untuk memperluas prosesnya dalam rangka menghasilkan komoditas barang dan jasa.



Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa begitu rumitnya mengurai proses komodifikasi yang dilakukan media terhadap berbagai objek termasuk



3



Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komodifikasi. Kencana : Jakarta. Hal : 228-229



audiens. Persoalan ini menjadi penting karena media dewasa ini seakan satu industri yang menopang lajunya perkembangan kapitalisme.



3. Program Televisi Sebagai Upaya Menarik Iklan Televisi sangat bergantung pada program lain termasuk iklan sebagai jantung dari televisi itu sendiri. Merencanakan sebuah produksi program, seorang produser bergantung dan dihadapkan pada lima hal yaitu materi produksi, sarana produksi, biaya produksi, organisasi pelaksana produksi dan tahapan pelaksanaan produksi. Baudrillard mengatakan, apa yang dibawa televisi, melalui organisasi tekniknya, adalah ide sebuah dunia yang bisa divisualkan dengan baik, dapat dipotong dengan baik, dan bisa dibaca dengan gambar. Gambar ini membawa ideologi dari semua kekuatan sistem tanda.4 Dari semua tayangan yang ada, stasiun televisi sangat memperhitungkan iklan yang ikut mengisi celah-celah tayangan. Tak disangkal lagi, tiap stasiun televisi berlomba-lomba dalam memproduksi berbagai macam program untuk merebut iklan, termasuk program reality show yang mempertontonkan kemiskinan yang belakangan ini menarik banyak audiens. Iklan bagai sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam gemerlapan yang memikat dan mempesona.



3. Komodifikasi Kemiskinan Dalam Media Televisi Potret kemiskinan di negeri ini ternyata tidak hanya sebatas pada elit politik yang menjadikan kemiskinan sebagai sebuah obyek, namun termasuk juga produsen media. Dan dari fakta inilah kemiskinan justru dilirik oleh produsen media massa sebagai seni yang menarik untuk dikaryakan di televisi. Pemilik media mencoba mewujudkan adanya nilai seni dengan citra tinggi dibalik rendahnya selera hidup orang-orang miskin. Kemiskinan memang sangat seksi. Mendengar kata miskin, terlebih lagi menyaksikannya lewat layar televisi dengan kelebihan audiovisualnya, kita akan dibuat begitu merasakan keadaan yang ditampilkan tersebut. Kemiskinan yang 4



Baudrillard, Jean. 2006. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana : Yogyakarta. Hal : 154



ditayangkan memang memiliki daya tarik tersendiri dengan berbagai teknik penyajian yang menyertainya, maka kemiskinan yang ditampilkan hampir selalu membuat setiap audiens mengalami yang namanya prihatin dan kasihan. Akhirnya satu persatu program berbau kemiskinan dikemas oleh produsen media sedemikian rupa dengan harapan mampu meningkatkan rating. Belakangan lahirlah acara yang berseliweran di televisi saat ini seperti „Bedah Rumah‟ dan „Dibayar Lunas‟ yang ditayangkan oleh RCTI, „Tukar Nasib‟ dan „Pemberian Misterius‟ yang ditayangkan stasiun SCTV, atau „Tangan di Atas‟ dan „Jika Aku Menjadi‟ yang tayang di Trans TV. Acara-acara tersebut umumnya menampilkan kehidupan orang-orang miskin. Harapannya dapat memancing rasa iba hingga tetesan airmata para penonton televisi. Program acara reality show „kemiskinan‟ hingga saat ini masih menduduki salah satu ranking tertinggi untuk dijadikan komoditas segala kepentingan individu atau yang dapat disebut sebagai komodifikasi kemiskinan. Kemiskinan yang membuat banyak penonton menangis dan terharu adalah sebuah komoditas bagi para pemilik modal berdasarkan survei, rating dan share audiencenya tinggi. Jika dilihat manfaatnya memang ada, karena orang-orang miskin terbantu dengan sejumlah uang dan sebagainya. Walau mereka juga tidak sadar bahwa ada keuntungan yang berlipat-lipat sementara yang mereka peroleh hanya sedikit. Di sisi lain, masyarakat yang menonton bisa mensyukuri keadaan mereka yang lebih baik daripada subyek acara televisi tersebut. keuntungan lainnya adalah hiburan hiburan yang menarik tidak hanya sinetron tetapi ada alternatif lain. Namun disisi lain acara semacam ini juga akan menimbulkan harapan-harapan masyarakat sosial kelas menengah ke bawah untuk bisa mendapatkan rezeki serupa. Sehingga setiap ada kamera televisi, mereka berharap bahwa itu adalah salah satu reality show yang akan menjadikan mereka sebagai subyeknya. Bentuk pengemasan tayangan „kemiskinan‟ tidak bisa lepas dari proses komodifikasi. Dalam hal ini, salah satu program media berupa tayangan „kemiskinan‟ digunakan untuk menarik khalayak. Realitas ini telah mewarnai kondisi media televisi di Indonesia. Sehingga meski secara kuantitas khlayak



Indonesia sedang dibanjiri berbagai program tayangan informasi dan hiburan lewat media televisi, hal tersebut sudah disesuaikan dengan berbagai kepentingan pihak-pihak di balik layar media. Dari adanya dominasi ini secara tidak langsung akan menciptakan suatu asumsi bahwa „kemiskinan bukan ancaman tetapi peluang‟ bagi media massa untuk dijadikan tema yang menarik. Objek kemiskinan yang digarap pada tayangan reality show menjadi kian kompleks karena memiliki berbagai muatan kepentingan di belakangnya. Karena media televisi memiliki daya tarik tersendiri, apalagi dilihat dari sudut ekonomi politik, dimana berbagai program yang ditayangkan memiliki berbagai kepentingan dengan permainan “tanda” nya. Acara reality show yang bertema „kemiskinan‟ memang acara reality show yang menjadi tontonan menarik dibandingkan dengan reality show bergenre lainnya. Ketertarikan pemirsa akan reality show yang bergenre demikian karena menganggap berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang dan biasanya kasus yang dibahas dalam reality show



tersebut



cukup mengena dengan



kehidupan sehari-hari para pemirsa setianya. Dari penyajian acara tayangan sendiri, akan sering terlihat reaksi kesenangan, kesedihan ataupun keharuan yang tidak disangka-sangka oleh penonton yang menonton seperti kebahagiaan yang meluap-luap hingga pingsan, rasa terima kasih yang berlebihan yang ditunjukkan dengan menangis tersedusedu dan sampai bersujud, serta ekspresi kesedihan yang berlebihan akan semakin memancing simpati dan emosi-emosi tertentu penonton seperti emosi iba, marah, kaget dan kagum. Bentuk-bentuk emosi inilah yang menjadi komodifikasi dalam eksploitasi kemiskinan. Bukan hanya reality show yang menampilkan objek kemiskinan, bahkan kemiskinan ditawarkan sebagai objek wisata. Paket wisata kemiskinan ini ditawarkan dengan berkeliling menyusuri pinggiran rel sepanjang stasiun senen Jakarta. Disana ada kaum miskin yang hidup di gubuk dari kardus dan gubuk darurat lainnya. Kemudian dilanjutkan menyususri perkampungan kumuh pinggiran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu. Terus ke arah Galur, Luar Batang dan berakhir perjalanan tur di kawasan kota. Paket wisata yang



menawarkan “obyek wisata” kemiskinan itu adalah Jakarta Hidden Area Tour. Paket wisata kemiskinan itu bertarif antara 65 dollar AS hingga 165 dollar AS dengan jumlah peserta maksimal 4 orang.5 Sangat memprihatinkan, kemiskinan kini telah menjelma sebagai suatu lahan untuk berdagang dan mencetak uang. Sehingga tidak menutup kemungkinan, harapan untuk mengurangi jumlah rakyat miskin semakin kecil. Berbagai regulasi yang dimainkan memiliki persoalan yang sungguh kompleks. Sebagaimana Karl Polanyi6 yang menjelaskan sebuah pasar yang mendasarkan diri pada prinsip self regulating, laissez-fraire yang merupakan roh pasar (self regulating market) yang merupakan model kapitalisme. Ini berarti bahwa tangantangan tak kentara (invisible hand) akan selalu menciptakan persoalan-persoalan lain yang muncul dari logika-logika tersebut. Dengan demikian maka komodifikasi objek kemiskinan (termasuk orang yang menjadi sasaran program reality show) adalah semata-mata untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya.



C. KESIMPULAN Media televisi merupakan media yang masih sangat populer sampai saat ini. Sebagai sebuah industri, media televisi telah melakukan pengeksploitasian atas fenomena kemiskinan dalam program-programnya khususnya reality show yang mengekspos soal kemiskinan. Selain program televisi ada juga bentuk eksploitasi dan komodifikasi kemiskinan yang lain yaitu wisata Jakarta Hidden Area. Tentu saja ini tidak dapat dibenarkan, mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.



5



Totona, Saiful. 2010. Miskin Itu Menjual. Resist Book: Yogyakarta. Hal : 76 Polanyi, Karl. Transformasi Besar : Asal-Usul Politik Jaman Sekarang (terjemahan). Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Hal : 92 6



D. DAFTAR PUSTAKA -



Antoni. 2004. Riuhnya Persimpangan Itu. Tiga Serangkai : Solo



-



Baudrillard, Jean. 2006. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana : Yogyakarta



-



Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komodifikasi. Kencana : Jakarta



-



Polanyi, Karl. Transformasi Besar : Asal-Usul Politik Jaman Sekarang



(terjemahan). Pustaka Pelajar : Yogyakarta. - Totona, Saiful. 2010. Miskin Itu Menjual. Resist Book : Yogyakarta