Metopel Bab 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUBUNGAN PERNIKAHAN DINI TERHADAP ANGKA KEJADIAN STUNTING DI KOTA SUBULUSSAAM



PROPOSAL SKRIPSI



DELA MAULIDA T NIM. 2105902020164



JURUSAN GIZI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH 2023



1



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah Balita pendek ( Stunting) adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang di perlukan sang anak. Stunting dapat terjadi mulai dari janin dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun (Eko Putro sandjojo,2017 ). Berbagai ahli menurut Wamani et al, dalam Sandra Fikawati dkk (2017) menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor seperti Berat lahir yang rendah(BBRL), stimulasi dan pengasuhan anak yang kurang tepat asupan nutrisi kurang dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan lainnya. Menurut WHO (2015) stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang di tandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar anak seusianya. Masalah anak pendek (stunting) adalah salah satu permasalahan gizi yang menjadi fokus Pemerintah Indonesia sampai saat ini,



Stunting



merupakan



salah



satu



pengukuran



dalam



standar



Antropometri penilaian status gizi anak yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U. Stunting yang telah terjadi bila tidak diimbangi dengan catchup growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Anak yang terlahir normal bebas dari Stunting akan menjadi aset bagi negara, begitu pun sebaliknya. Stunting merupakan salah satu tantangan dan masalah gizi bukan hanya di Indonesia tetapi juga secara global yang sedang dihadapi oleh masyarakat di dunia. Diperkirakan dari 171 juta anak stunting di seluruh



2



dunia , 167 juta anak ( 98 % ) hidup di negara berkembang. Ambitious World Health Assembly menargetkan penurunan 40% angka Stunting di seluruh dunia pada tahun 2025 mendatang. Global Nutritional Report 2018 melaporkan bahwa terdapat sekitar 150,8 juta (22,2%) balita Stunting yang menjadi salah satu faktor terhambatnya pengembangan manusia di dunia. World Health Organization (WHO) menetapkan lima daerah sub regio prevalensi Stunting tertinggi, termasuk Indonesia yang berada di regional Asia Tenggara (36,4%) (United Nation, 2018) (UNICEF, Levels and Trends in child malnutrition - UNICEF WHO). Di Indonesia, saat ini stunting menjadi permasalahan kesehatan dengan prevalensi nasional sebesar 20,1 % ( Pemantauan status gizi ,2017). Dari 10 orang anak sekitar 3-4 orang anak mengalami stunting ( zahraini, 2013 ). Indonesia adalah salah satu dari 3 negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia Tenggara. Penurunan angka kejadian stunting di Indonesia tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan Myanmar, Kamboja dan Vietnam ( Trihono dkk,2015 ). Indonesia sendiri menurut data merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia. Supriyantoro menerangkan stunting tidak hanya dialami keluarga miskin, namun juga mereka yang berstatus keluarga mampu atau berada. Melihat begitu banyaknya masalah Stunting di Indonesia pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam penanggulangan



penurunan angka



Stunting yang bisa dilihat dari data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022 menunjukkan prevalensi Stunting yaitu 21.6 yang turun dari 24.4 Pada tahun 2021. Berdasarkan akumulasi data Stunting tahun 2021 dari data Survei Status Gizi balita Indonesia (SSGI) bahwa angka prevalensi Stunting kota Subulussalam masih berada pada kategori tinggi dan menjadi 3 besar se Aceh



yaitu 41.8%, bahkan angka ini berada di atas angka Stunting



provinsi Aceh sebesar 33.2%. Stunting merupakan keadaan kekurangan gizi yang berlangsung secara terus menerus dan terjadi dalam jangka



3



waktu yang lama, yang artinya kita harus mengatasi penyebab Stunting bahkan hingga penyebab kecil sekalipun. Menurut beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa salah satu penyebab masalah Stunting di Indonesia adalah maraknya pernikahan dini. Pernikahan usia dini sendiri menurut UU No.16 Thn 2019 sebagai perubahan atas UU No.1 Thn 1974 tentang perkawinan adalah pernikahan di bawah 19 tahun. Menurut Kusmiran (2011) Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan remaja di bawah usia 20 tahun yang belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Sedangkan Ghifari dalam Desiyanti (2015) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan di usia remaja. Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan secara sah oleh seseorang yang memiliki persiapan dan kedewasaan yang memadai, sehingga hal ini merupakan suatu hal yang menyusahkan dan membawa banyak risiko yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang terkait seperti kehamilan usia dini dan persalinan dini. Saat melakukan sebuah pernikahan, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belum matang serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar. Pengetahuan ibu secara tidak langsung juga mempengaruhi status kesehatan ibu, janin yang dikandung, dan kualitas bayi yang akan dilahirkan. Selama ini upaya peningkatan gizi dilakukan ketika ibu sudah hamil, sehingga akan lebih baik pendidikan gizi khususnya dalam pencegahan Stunting dilakukan ketika ibu belum hamil dan akan mempersiapkan kehamilannya (Djauhari T, 2017). Hubungan lainnya, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia mencapai 21 tahun. Jika sudah menikah pada usia remaja, misalnya 15 atau 16 tahun maka tubuh ibu akan berbagi gizi dengan bayi yang di kandungnya. Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat berisiko terkena Stunting. Perempuan yang hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya belum matang dan belum terbentuk sempurna.



4



Kepala Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Parigi Moutong Abd Sahid SPd mengatakan, Pernikahan dini salah satu penyumbang tingginya angka Stunting karena usia pernikahan terlalu muda dan bisa menyebabkan risiko bayi Stunting. Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021, angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan dari 10,35 persen pada tahun 2020 menjadi 9,23 persen pada tahun 2021. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS ) dan data sensus pada tahun 2017, persentase pernikahan anak di bawah umur 19 tahun di kota Subulussalam dengan jenis kelamin pria sebesar 56, 15% dan persentase wanita sebesar 54.44%. Begitu banyak faktor yang mendasari terjadinya pernikahan dini ini, mulai dari ekonomi orang tua, anak yang tidak sekolah, hingga kehamilan yang tidak di inginkan. Sehingga dapat di ketahui bahwa dari data Stunting di Subulussalam yang mencapai 43.8% memiliki hubungan dengan tingginya angka pernikahan dini yang terjadi di kota Subulussalam.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini di kota Subulussalam? 2. Dampak apa saja yang dapat terjadi pada anak yang dilahirkan ibu yang belum cukup umur? 3. Apa hubungan antara pernikahan dini dengan anak stunting?



1.3 Tujuan Penelitian



5



Sesuai dengan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pernikahan dini di kota Subulussalam 2. Untuk mengetahui dampak pada anak yang lahir dari ibu yang belum cukup umur 3. Guna mengetahui hubungan antara pernikahan dini dengan anak stunting.



1.4 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Bagi peneliti selanjutnya a. Sebagai



referensi



penelitian



untuk



mahasiswa



dari



universitas sendiri juga untuk universitas lain khususnya prodi gizi, untuk dijadikan bahan acuan penelitian yang selanjutnya. b. Sebagai pelengkap, penambah, sekaligus pembanding dengan hasil – hasil penelitian dimasa yang akan datang. 2. Bagi daerah setempat dan masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi masyarakat dan daerah sekitar karena maraknya kasus pernikahan dini yang terjadi di kota Subulussalam. 3. Bagi calon orang tua Mendapatkan pengetahuan yang relevan untuk meningkatkan pengetahuan calon orang tua, khususnya seorang ibu tentang dampak yang akan terjadi bila anak dilahirkan oleh rahim ibu yang belum kuat dan sempurna. 4. Bagi diri sendiri



6



Untuk



mengetahui



lebih



mendalam



tentang



hubungan



pernikahan dini terhadap anak stunting di kota Subulussalam juga sebagai pembelajaran bagi peneliti sendiri.



1.5 Keaslian Penelitian 1. Gambaran Status Gizi Balita pada Ibu yang Menikah Dini di Kabupaten Temanggung  Uji



hubungan



antar



variabel



dalam



penelitian



ini



menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu saat menikah dengan status gizi batita berdasarkan PB/U maupun BB/U. Namun, jika dilihat kecenderungannya semakin dini usia menikah, maka kejadian pendek pada anak semakin tinggi. Hal ini terlihat pada kelompok usia 14-15 tahun persentase anak pendeknya sebesar 43,5%, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur 16-17 tahun yang hanya 22,4%. Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian Afifah yang melihat hubungan antara usia ibu saat menikah dengan status gizi pendek yang dilihat dari kecenderungan semakin muda usia ibu saat menikah, maka proporsi batita dengan status gizi pendek semakin meningkat. Berdasarkan penelitian ini meskipun tidak terdapat hubungan antara status gizi batita dan usia ibu menikah dini, tetapi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu yang menikah dini ternyata mereka mengalami defisit energi dan protein.



2. Perkawinan Dini Dan Dampak Status Gizi Pada Anak (Analisis data Riskesdas 2010)  Dari hasil penelitian Atmarita (2010)10 dengan data yang sama menunjukkan bahwa prevalensi anak pendek terjadi



7



pada anak perempuan yang melakukan pernikahan pada usia



remaja.



Gambar



3



menunjukkan



adanya



kecenderungan semakin muda usia perkawinan ibu, maka proporsi balita dengan status gizi pendek semakin meningkat. Tim riset Irlandia yang melakukan penelitian pada remaja 14-17 tahun yang sudah hamil, menemukan para ibu remaja juga cenderung memiliki berat badan di bawah normal. Sekitar 21 persen dari mereka yang berusia 17 tahun cenderung melahirkan bayi prematur dalam kehamilan pertama. Kemudian 93 persen dari mereka cenderung memiliki bayi kedua dengan jarak sangat dekat dari bayi pertama. Ada pula kaitan antara ibu remaja dengan bayi berbobot kurang dari normal. Menurut Ali Khashan, risiko kelahiran prematur pada kehamilan ibu remaja



kemungkinan



berhubungan



dengan



"ketidakmatangan secara biologis". 3. Hubungan Usia Pernikahan Dini dengan Angka Kejadian Stunting pada Balita di Kelurahan Mekarsari  Berdasarkan tabel yang telah di sajikan peneliti diketahui bahwa usia pernikahan WUS terhadap status gizi balita signifikan dan berkorelasi kuat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Kasjono et al., 2020) yang menemukan bahwa menikah di usia dini (kurang dari 20 tahun) meningkatkan risiko terjadinya stunting, namun berbeda dengan penelitian (Khairunnisa dan Yuniarti, 2020) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan menikah di usia remaja dengan stunting.



8