Mini Riset KLP 31 New [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Nurul
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MINI RISET PENGARUH TERAPI PSIKORELIGIUS : DZIKIR TERHADAP PASIEN DENGAN MASALAH GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN DI GRIYA PMI SURAKARTA



Dosen Pengampu : Ns Gatot Suparmanto M.Sc



Oleh Kelompok 31: Aliffia Esprensa



SN201238



Febiyanti Adi S



SN201247



Mila Nurkamila



SN201171



Nurul Widyawati



SN201186



Utari Riyantini E.P



SN201223



Yeni Ambarsari



SN201233



PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2021



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan adanya kekacauan pikiran, persepsi, tingkah laku dan tidak mampu menyesuaikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi stressor ditandai dengan adanya penyimpangan pikiran, perasaan, tingkah laku sehingga klien tidak bisa menjalankan fungsi hidupnya secara normal (Trigoboff, 2013). Menurut Keliat (2011) gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis berhubungan dengan distress atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, dengan berbagai fakta biologis, psikologis, sosial dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah dan berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.



Menurut WHO (2014) prevalensi gangguan jiwa sejumlah 21 juta orang, riskesdas (2013) jawa tengah (0,23%), yang sering terjadi pada laki-laki 12 juta dan perempuan 9 juta.Berdasarkan riset kesehatan dasar (2013) prevalensi angka kejadian gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia yaitu di Indonesia adalah sebesar 0,17%. Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi DIY (2,7%) dan Aceh (2,7%), Sulawesi Selatan (2,6%), Bali (0,24%), Jawa Tengah (0,23%). Stuart (2012) mendefinisikan halusinasi merupakan sebuah proses disorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon neurobiology maladaptive. Halusinasi terbagi menjadi beberapa macam diantaranya; penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan. Sementara halusinasi pendengaran adalah ketika seseorang mendengarkan suara misalnya suara orang, suara langkah kaku atau ketukan pintu namun orang lain tidak mendengarnya karena sebenarnya suara itu tidak nyata atau halusinasi pendengaran adalah mendengar suara yang tidak didengar orang lain. Adapun gejala-gejala yang dapat diamati pada pasien halusinasi diantaranya bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas, mencium seperti sedang membau sesuatu, dan menutup hidung. (Yusuf, dkk, 2015). Ketidakmampuan untuk mempersepsikan stimulus secara real dapat menyulitkan kehidupan klien. Oleh karena itu halusinasi menjadi prioritas untuk segera diatasi (Muhith, 2015). Muhith (2015) mengatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya. Pasien akan mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suiside),



membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat. Penatalaksanaan



yang



diberikan



kepada



pasien



halusinasi



untuk



meminimalkan komplikasi atau dampak dari halusinasi sangat beragam. Penatalaksanaan ini bisa berupa terapi farmakologi Electro Convulsive Therapy (ECT) dan terapi non farmakologis yang lebih mengarah kepada terapi modalitas (Viebeck, 2011). Salah satu terapi yang efektif untuk mengurangi gejala halusinasi adalah psikoterapi agama atau terapi psikoreligius (Hawari, 2010) seperti sholat, dzikir, mendengarkan murottal, dan membaca ayat Al-Qur’an. Terapi religius zikir bisa dikatakan efektif bila kemampuan untuk meningkatkan cara mengontrol halusinasi pendengaran dengan hasil sudah dibuktikan, sehingga banyak responden mengalami peningkatan dalam pemberian terapi dengan mengontrol halusinasi pendengaran tersebut, tetapi banyaknya stimulus suara yang datang dari banyak sumber lain akan sedikit menyulitkan satu responden dalam proses terapi zikir (Hidayati ,2014). Di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa yaitu halusinasi pendengaran 20%, halusinasi penglihatan 10%, dan halusinasi pengecapan dan perabaan 40%. Angka terjadinya halusinasi sangat cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengkajian di Rumah Sakit Jiwa Medan ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi (Mamnu’ah, 2010). Peran perawat jiwa dalam menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan memerlukan suatu perangkat instruksi atau langkah – langkah



kegiatan yang di bakukan. agar penyelenggaraan pelayanan keperawatan memenuhi standar pelayanan terhadap pasien gangguan jiwa. Salah satu jenis SOP yang di gunakan tentang strategi pelaksaan yaitu (SP) tindakan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan jiwa (Keliat, 2016). Peran perawat menangani halusinasi di rumah sakit dengan melakukan penerapan standar asuhan keperawatan yang mencakup penerapan strategi pelaksanaan. Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan keperawatan yang terjadwal diterapkan pada pasien. bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani perawat. Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal tentang halusinasi, mengajarkan pasien menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul, melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah terjadinta halusinasi, serta minum obat dengan teratur untuk mengurangi effel tersebut (Dalami, 2014). Berdasarkan data penulis dapatkan dari ruangan psikotik putra yang mengalami halusinasi selama 6 bulan terakhir sebanyak 15 orang. Dari data diatas maka penulis tertarik untuk melakukan Pengaruh Terapi Psikoreligius : Dzikir Terhadap Pasien Dengan Masalah Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruangan Psikotik Putra Griya PMI Surakarta. 1.2 Rumusan Masalah Halusinasi pendengaran adalah keadaan ketika seseorang mendengarkan suara misalnya suara orang, suara langkah kaki atau ketukan pintu namun orang lain



tidak



mendengarnya



karena



sebenarnya



suara



itu



tidak



nyata.



Ketidakmampuan untuk mempersepsikan stimulus secara real dapat menyulitkan kehidupan klien. Oleh karena itu halusinasi menjadi prioritas untuk segera diatasi. Terapi dzikir dapat memberi pengaruh terhadap perasaan, pikiran, dan emosi, serta dengan mendengarkan murottal dapat menenangkan hati, perasaan, rasa takut, cemas, tegang, pikiran, mengurangi rasa stress dan frustasi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Terapi Dzikir Terhadap Pasien Dengan Masalah Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Di Ruangan Psikotik Putra Griya PMI Surakarta.” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1



Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Terapi Dzikir Terhadap Pasien Dengan Masalah Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran.



1.3.2



Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: 1. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia responden dan jenis kelamin). 2. Mengetahui tingkat halusinasi pendengaran sebelum diberi perlakuan pada kelompok intervensi. 3. Mengetahui tingkat halusinasi pendengaran sesudah diberi perlakuan pada kelompok intervensi. 4. Menganalisis pengaruh terapi audio murottal asmaul husna terhadap pasien dengan gangguan halusinasi: pendengaran.



1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan penegetahuan dan wawasan tentang pemberian terapi dzikir terhadap pasien dengan masalah gangguan persepsi sensori : halusinasi di ruangan psikotik putra Griya PMI Surakarta.



BAB II LANDASAN TEORI A. Halusinasi 1. Pengertian Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus ekstren atau persepsi palsu (Prabowo, 2014).Halusinasi adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi yang disebabkan stimulus yang sebenarnya itu tidak ada (Sutejo, 2017).Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, sehingga klien menginterpretasikan sesuatu yang tidak nyata tanpa stimulus atau rangsangan dari luar (Stuart dalam Azizah, 2016). 2. Jenis Halusinasi Jenis Halusinasi Menurut Yosep dalam Prabowo (2014), halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan karakteristik tertentu, diantaranya a. Halusinasi pendengaran (audotorik) Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. b. Halusinasi pengelihatan (visual)



Stimulus



visual



dalam



bentuk



beragam



seperti



bentuk



pancaran



cahaya,gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan. c. Halusinasi penghidu (Olfaktori) Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum. d. Halusinasi peraba (taktil) Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain. e.



Halusinasi pengecap (gustatorik) Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatuyang busuk, amis, dan menjijikan



f. Halusinasi sinestetik Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine. 3. Tanda dan Gejala Halusinasi Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar dapat menetapkan masalah halusinasi, antara lain: a. Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri b. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu



c. Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu d. Disorientasi e. Tidak mampu atau kurang konsentrasi f. Cepat berubah pikiran g. Alur pikiran kacau h. Respon yang tidak sesuai i. Menarik diri j. Sering melamun 4. Fase Halusinasi Menurut Stuart dan Laraia dalam Prabowo (2014), menunjukan tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu: a. Fase I Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pkiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas disini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata cepat,dan asyik sendiri. b. Fase II Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Pasien mulai lepas kendali dan mencoba jaga jarak dengan sumber yang dipersepsikan sehingga timbul peningkatan tanda-tanda vital.



c. Fase III Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah pada halusinasi. Disini pasien sukar berhubungan dengan orang lain,tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain, dan kondisi sangat menegangkan terutama berhubungan dengan orang lain. d. Fase IV Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah halusinasi.Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.



B. Terapi Psikoreligius 1. Pengertian Terapi adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, perawatan penyakit dan pengobatan penyakit. Menurut kamus lengkap psikologi, terapi adalah suatu pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan suatu kondisi patologis. Terapi juga dapat diartikan sebagai suatu jenis pengobatan kekuatan batin atau penyakit dengan rohani, bukan pengobatan dengan obat-obatan. Sedangkan psikoreligius berasal dari dua kata, yaitu psiko dan religius. Psiko berasal dari kata Psyche (Inggris) dan Psuche (Yunani) artinya: nafas, kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma dan semangat. Jiwa Yaitu sesuatu yang menyangkut batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan/tenaga, bukan hanya pembangunan fisikyang diperhatikan, melainkan juga pembangunan psikis. Disini mental



dihubungkan dengan akal, fikiran, dan ingatan, maka akal haruslah dijaga dan dipelihara olah karena itu dibutuhkan mental yang sehat agar tambah sehat. Sesungguhnya ketenangan hidup, ketenteraman jiwa dan kebahagiaan hidup tidak hanya tergantung pada faktor luar saja, seperti ekonomi, jabatan, status sosial dimasyarakat, kekayaan dan lain-lain, melainkan lebih bergantung pada sikap dan cara menghadapi faktor-faktor tersebut. Jadi yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental/jiwa, kesehatan mental dan kemampuan menyesuaikan diri (Bahkri, 2016). Sedangkan religius merupakan kata sifat dari kata benda religi, yang berarti berhubungan dengan agama atau keagamaan. Kata religie sendiri berasal dari bahasa belanda. Pendapat lain mengatakan, religi berasal dari kata "relegere" yang berarti mengumpulkan dan membaca. Jadi religi, mengandung pengertian mengumpulkan cara-cara mengabdi kepada Tuhan, dan ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Ada juga yang mengatakan, religi berasal dari kata "religare" yang berarti mengikat. Ini karena ajaran-ajaran agama (religi) memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia (pemeluknya), dalam agama terdapat pula ikatan antara diri (hamba) dengan Tuhannya.10 Religi yang artinya agama, berasal dari akar kata Sansekerta gam yang artinya pergi, kemudian setelah mendapat awalan a dan akhiran a (agam- a) artinya menjadi jalan. Jadi, agama adalah suatu jalan yang harus diikuti, supaya orang dapat sampai ke suatu tujuan yang mulia dan suci. Pengertian yang lebih populer adalah agama berasal dari a yang artinya tidak, dan gama yang berarti kacau, jadi agama ialah (yang membuat sesuatu) tidak kacau. Berdasarkan pengertian terapi dan psikoreligius di atas,



maka dapat disimpulkan bahwa terapi psikoreligius (keagamaan) secara Islami, yaitu suatu perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan suatu penyakit mental, kepada setiap individu, dengan kekuatan batin atau ruhani, yang berupa ritual keagamaan bukan pengobatan dengan obatobatan, dengan tujuan untuk memperkuat iman seseorang agar ia dapat mengembangkan potensi diri dan fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal, dengan cara mensosialkan nilainilai yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah ke dalam diri. Sehingga ia dapat hidup selaras, seimbang dan sesuai dengan ajaran agama. Terapi religius zikir bisa dikatakan efektif bila meningkatkan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran dengan hasil sudah dibuktikan bahwa banyak responden mengalami peningkatan dalam kemampuan mengontrol halusinasi, tetapi banyaknya stimulus suara lain yang datang dari banyak sumber akan sedikit menyulitkan satu responden dalam proses terapi zikir (Hidayati ,2014). Terapi psikoreligius Dzikir menurut bahasa berasal dari kata ”dzakar” yang berarti ingat Jika berdzikir kepada Allah artinya menjaga ingatan agar selalu ingat kepada Alla ta‟ala. Dzikir menurut syara‟ adalah ingat kepada Allah dengan etika tertentu yang sudah ditentukan hati dan mengagungkan Allah. Menurut Ibn Abbas ra. Dzikir adalah wadah, sarana, agar manusia tetap terbiasa dzikir (ingat) kepada-Nya ketika berada diluar shalat. Tujuan dzikir adalah mengagungkan Allah, mensucikan hati dan jiwa, mengagungkan Allah selaku hamba yang bersyukur, dapat mengobati penyakit dengan metode Ruqyah dzikir dapat menyehatkan tubuh, mencegah manusia dari bahaya nafsu (Dermawan, 2017).



2. Tujuan Menurut Setyoadi & Kushariyadi (2011) tujuan terapi adalah : a. Mereduksi lamanya waktu perawatan klien dengan gangguan psikis b. Memperkuat mentalitas dan konsep diri klien c. Klien dengan gangguan psikis berasal dari persepsi yang salah terkait dirinya, orang lain dan lingkungan, dengan terapi spiritual maka klien akan dikembalikan persepsinya terkait dengan dirinya, orang lain dan lingkungan. d. Mempunyai efek positif dalam menurunkan stress. 3. Manfaat Menurut Hawari (2011), manfaat dari terapi ini diharapkan klien mampu kembali beradaptasi dengan lingkuangan sosial sekitar sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. C. Pelaksanaan Terapi Psikoreligius Dzikir Dzikir, secara etimologi berasal dari kata: dzakara, yadzkuru, dzikran, yang berarti menyebut dan mengingat. Sedangkan secara terminologis, definisi dzikir banyak sekali. Ensiklopedi Nasional Indonesia menjelaskan, dzikir adalah ingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, ke-Maha sucian-Nya keMaha terpuji-Nya dan ke-Maha besaran-Nya. Menurut Dadang Hawari, dzikir adalah suatu amalan dalam bentuk yang diucapkan secara lisan ataupun dalam hati yang berisikan permohonan kepada Allah SWT dengan mengingat nama-Nya. Sedangkan Sa’id Ibnu Jubair RA Menjelaskan, yang dimaksud dengan dzikir adalah suatu ketaatan yang diniatkan kepada Allah SWT. Hal itu berarti tidak terbatas masalah tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, tapi dzikir adalah semua



aktifitas manusia yang diniatkan kepada allah SWT. Ibnu Atha’allah As-Sakandi membagi dzikir menjadi tiga bagian, yaitu: 1. dzikir jali (nyata, jelas) suatu perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur dan doa kepada Allah SWT. 2. dzikir khafi dzikir yang dilakukan secara khusyu’ oleh ingatan hati, baik disertai lisan ataupun tidak. 3. dzikir haqiqi tingkat dzikir yang paling tinggi, yang dilakukan oleh seluruh raga, lahiriyah dan bathiniyah, kapan dan dimana saja. Sama halnya dengan doa, dzikir



juga



mengandung



unsur



kerohanian



/



keagamaan



yang



dapat



membangkitkan rasa percaya diri (self confidence) dan keimanan (faith) pada diri orang yang sedang sakit, sehingga kekebalan tubuh meningkat, sehingga mempercepatproses penyembuhan. M. Amin Syukur mengatakan, ada beberapa manfaat yang dapat dipetik melalui berdzikir, yaitu memantapkan iman, memperkuat energy akhlak, terhindar dari bahaya dan terapi jiwa, serta yang paling penting adalah terapi fisik. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Hendra tentang penelitian dzikir (Laa ilaaha illallah dan Astaghfirullah) yang diberikan oleh dr. Arman Yurisaldi Saleh yang mengungkapkan fenomena dzikir ini melalui pendekatan ilmiah neuro science. Beliau adalah seorang spesialis syaraf sekaligus seorang klinisi yang sering menangani dan menerima konsultasi penyakit-penyakit syaraf. Hasilnya adalah bahwa udara yang keluar dari paru-paru melalui mulut akan lebih banyak dibandingkan dengan bacaan pada kalimat dzikir yang lain, seperti Subhanallah



(dua huruf jahr), Allahu akbar (tiga huruf jahr) dan Alhamdulillah (dua huruf jahr). Ditinjau secara medis-klinis, jika kita melafalkan kalimat dzikir Laa ilaaha illallah dan Astaghfirullah secara benar sesuai ilmu tajwid berarti kita sedang mengeluarkan karbondioksida lebih banyak saat udara diembuskan keluar mulut, dibandingkan dengan jika kita membaca kalimat zikir yang mengandung lebih sedikit huruf jahr. Kalimat dzikir yang lain seperti dzikir Asmaul husna, shalawat Nariyah dan sebagainya, tetap bermanfaat memberikan dampak ketenangan. Dampak sehatnya adalah ketika seseorang melalukan dzikir secara intens dan khusyuk seraya memahami dan menghayati artinya, pembuluh darah di otak akan membuat aliran karbondioksida yang keluar dari pernafasan menjadi lebih banyak. Kadar karbondioksida di otak pun akan menurun dengan teratur. Sehingga tubuh pun akan segera menampilkan kemampuan refle/kompensasi rileks.



Rangkaian



proses



pengeluaran



karbondioksida



yang



merupakan



oksidan/gas buangan metabolit dan proses neurosis tersebut ternyata mempunyai efek positif bagi pembaca dzikir (Bahkri, 2016).



BAB III METODELOGI 3.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian Peneltian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan



quasi



experiment dengan desain pre and post without control yaitu memberikan terapi dzikir terhadap pasien dengan gangguan halusinasi : pendengaran (Dharma, 2011). Untuk desain penelitian quasi experiment dengan pre and post without control sebagai berikut: R



01



X1



02



Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian Keterangan : R : Responden penelitian semua mendapat perlakuan/ intervensi 01 : Pre test pada kelompok perlakuan 02 : Post test pada kelompok perlakuan X1: Uji coba/ intervensi pada kelompok perlakuan sesuai protokol



1.1 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 3.2.1



Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian dapat ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Populasi dalam penelitian ini adalah semua odgj dengan masalah sensori persepsi halusinasi pendengaran di griya PMI Surakarta yaitu sebanyak 23 orang



3.2.2



Sampel Sampel adalah sebagian dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2016). 1. Besar Sampel Besar sampel dalam penelitian ini menurut Sugiyono (2016) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang mewakili populasi. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan besar sampel penelitian dengan menggunakan rumus slovin sebagai berikut:



Keterangan: = jumlah sampel N = jumlah populasi



d = estimasi kesalahan/presisi (5% atau 10%)



n = 12



2. Teknik Sampling Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan non probability Sampling. Non probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2016). Teknik pengumpulan sampel pada penelitian ini menggunakan Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016). Pemilihan sampel pada penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut: a. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1) Responden dengan diagnosa halusinasi 2) Responden hanya mengikuti program terapi dzikir



3) Kooperatif 4) Mampu mengikuti kegiatan penelitian sampai selesai 5) Responden mengalami halusinasi pendengaran 6) Responden sudah mendapatkan Sp1 b. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1) Responden tidak kooperatif 2) Mendapatkan program isolasi atau pengikatan 3) Dilakukan ECT



3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Tempat penelitian ini dilaksanakan di Griya PMI Surakarta. Untuk waktu penelitian dan pengambilan data ini dilaksanakan pada bulan februari 2021. 3.3 Variabel Penelitian 1.



Variabel Independen (Bebas) Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen/terikat (Sugiyono, 2019). Pada penelitian ini, variabel independen adalah Terapi Dzikir



2.



Variabel Dependen (Terikat) Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2019). Pada penelitian ini, variabel dependen adalah tingkat pasien dengan gangguan halusinasi : pendengaran.



3.4 Teknik pengolahan dan analisa data 1.



Teknik Pengelolaan Data Pengolahan data merupakan satu langkah yang penting, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari penelitian masih mentah, belum memberikan informasi apa-apa, dan belum siap untuk disajikan (Notoatmodjo, 2018). Data yang telah terkumpul dari lembar kuesioner yang telah diisi akan diolah dengan beberapa tahap sebagai berikut :



a.



Editing Editing dilakukan dengan cara memeriksa hasil jawaban dari kuisioner yang telah diberikan kepada responden kemudian dilakukan pengoreksian apakah telah terjawab dengan lengkap atau belum. Pada tahap ini peneliti memeriksa semua data yang sudah terkumpul lengkap.



b.



Coding Coding adalah memberi kode angka untuk memmudahkan dalam analisis data. Hasil coding disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisa. Pada penelitian ini coding hanya untuk karakteristik responden yaitu jenis kelamin laki-laki diberi kode 1 dan jenis kelamin perempuan diberi kode 2.



c.



Tabulating



Kegiatan ini dilakukan dengan cara menghitung data dari jawaban kuisioner responden kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Pada tahap ini penelitian memasukan data skor kemampuan menggosok gigi kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisa. d.



Processing Setelah semua lembar kuesioner terisi penuh dan benar serta sudah melewati pengkodean, langkah pengolahan selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah di-entry dapat di analisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara entry data dari lembar kuesioner ke program SPSS pada komputer.



e.



Cleaning Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita memasukan data ke komputer.



2. Analisis Data a.



Analisis Univariat Analisis



univariat



mendeskripsikan



dilakukan



karakteristik



untuk



setiap



menjelaskan variabel



dan



penelitian



(Notoatmodjo, 2018). Data univariat yang dianalisis dalam penelitian adalah menggambarkan data demografi berupa umur dan jenis kelamin responden , serta tingkat halusinasi pretest dan post test pada pasien halusinasi pendengaran.



b.



Analisa Bivariat Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau korelasi (Notoadmojo, 2012). Analisa bivariat dalam penelitian ini untuk menganalisis perbedaan tingkat halusinasi sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Dalam penelitian sebelum dilakukan analisa bivariat menggunakan uji Wilcoxon, untuk mengetahui perbedaan pre dan post pada kelompok perlakuan (Dharma, 2011), dengan tingkat kepercayaan dan tingkat signifikan (⍺) 5%



(0,05)



adalah : 1) Apabila p value > 0,05 maka Ho diterima atau Ha ditolak yang berarti tidak ada pengaruh terapi dzikir terhadap tingkat halusinasi 2) Apabila p value α (0,05) dengan kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi. Kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi sangat tergantung pada penatalaksanaan yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada pasien. Danardi (2007) menyebutkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi lama hari rawat pasien. Semakin baik kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan maka semakin cepat masa rawatnya. Kahel (2010) mengatakan bahwa membaca dan mendengarkan ayat Al Qur’an akan menstabilkan getaran neuron sehingga bisa melakukan fungsinya dengan baik. Ilmu kedokteran telah banyak membuktikan bahwa Al Qur’an dengan kandungannya bermanfaat untuk pengobatan (Erita & Suharsono, 2014). Seperti yang terbukti pada penelitian ini bahwa membaca Al Qur’an bermanfaat dalam penatalaksanaan halusinasi pada kelompok eksperimen. Nilai pretest dan posttest pada kelompok kontrol terjadi penurunan nilai median yaitu dari 26,50 menjadi 23,50 dengan p value 0,030 < α (0,05). Penurunan ini bisa disebabkan karena telah banyaknya terapi-terapi modalitas lainnya yang dilakukan diruang perawatan. Dari keterangan yang disampaikan oleh pihak perawat ruangan didapatkan informasi



bahwa penatalaksanaan yang telah diberikan kepada pasien di griya PMI Surakarta adalah mengidentifikasi halusinasi, cara mengontrol halusinasi, terapi aktivitas kelompok: stimulasi persepsi sensori halusinasi, kegiatan kerohanian (ceramah agama), senam bersama, terapi Murottal Al-Qur’an dant terapi zikir. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2016) dengan judul efektifitas terapi murotal Al Qur’an terhadap skor halusinasi pendengaran didapatkan median pada kelompok Kontrol pada saat pretest adalah 32 dan posttest didapatkan sebesar 30, dengan p value 0,09 > α (0,05). Pada penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat penurunan yang signifikan antara skor halusinasi sebelum dan sesudah diberikan murotal Al-Qur’an. Hasil statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara skor halusinasi setelah diberikan terapi psikoreligius: membaca dzikir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan p value (0,019) < α (0,05), terapi psikoreligius: membaca dzikir efektif terhadap penurunan skor halusinasi. Penurunan skor halusinasi pada responden menunjukkan bahwa responden dengan pemberian terapi ini telah mampu mengontrol halusinasinya. Menurut beberapa ahli ilmu jiwa, terapi psikoreligius sangat dianjurkan karena terapi psikoreligius ini mampu mengurangi penderitaan, meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan dari penyakit kejiwaan (Yosep, 2011). Salah satu terapi psikoreligius yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit adalah dengan menggunakan



Al-Qur’an (Al-qadhi, 2010). Hasil kajian literatur Psychology Forum UMM (2016) menunjukkan bahwa Al-Quran dapat mengobati segala bentuk penyakit jasmani dan rohani dan segala permasalahan hidup yang dialami oleh manusia tidak terbatas pada manusia yang beragama islam saja. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya islam yang didalamnya termasuk Al-Qur’an merupakan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan Lill Alamin). Terapi bacaan Al-Qur’an terbukti mampu mendatangkan ketenangan jiwa baik yang membaca maupun yang mendengarkannya (Wiradisuria, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Fanada (2012) didapatkan kesimpulan bahwa dengan melakukan kegiatan shalat dapat membantu menurunkan tingkat stress pada pasien halusinasi. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hidayati (2014) tentang pengaruh terapi religius zikir terhadap peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah DR. Amino Gondohutomo Semarang



menyatakan



bahwa



kemampuan



mengontrol



halusinasi



pendengaran pasien meningkat setelah dilakukan terapi zikir. Penelitian Sari, Jumaini, dan Utami (2016) tentang efektifitas mendengarkan murottal Al-Quran terhadap skor halusinasi pada pasien halusinasi pendengaran didapatkan hasil bahwa murottal Al-Quran dengan surah Ar Rahman efektif dalam menurunkan skor halusinasi pasien. Selain surah Ar Rahman surah lain yang sering digunakan untuk terapi dalam



kesehatan adalah surah Al Mulk, Al Falaq, AL Ikhlas, An Nas, Al Baqarah, dan Al Fatihah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Julianto dan Subandi (2015) dengan judul membaca Al Fatihah reflektif intuitif untuk menurunkan depresi dan meningkatkan imunitas didapatkan hasil bahwa membaca Al Fatihah dapat menurunkan depresi dengan menurunkan produksi hormon kortisol. Dengan menurunnya produksi hormon ini maka akan membuat jiwa menjadi tenang sehingga tidak mengganggu keadaan homeostasis dalam diri.



BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut: responden berusia antara 27 - 44 tahun dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki (100 %) dan paling banyak berpendidikan SD (53,8 %). Skor



halusinasi



pada



kelompok



eksperimen



didapatkan



nilai



significancy (p value) 0.000 < α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti ada perbedaan antara pretest dan posttest dan terjadi penurunan nilai median pretest dan posttest diberikan terapi psikoreligius: membaca dzikir dari 26,50 menjadi 23,50, dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan skor halusinasi pada kelompok eksperimen yang telah diberikan terapi psikoreligius: membaca dzikir. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi psikoreligius: membaca dzikir berpengaruh terhadap penurunan skor halusinasi pasien skizofrenia di Griya PMI Surakarta. B. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari dalam melakukan penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan yang dialami peneliti, antara lain: 1. Peneliti berkomunikasi langsung dengan pasien dengan waktu yang terbatas, dikarenakan kondisi pasien yang tidak mendukung.



2. Peneliti tidak dapat setiap hari berada di tempat penelitian mengamati aktivitas pasien, hanya pada waktu yang telah ditentukan saja. C. Saran Sehubungan dengan keterbatasan hasil penelitian ini, maka ada beberapa saran yang diberikan penulis, yaitu: 1. Untuk Griya PMI Surakarta, sebaiknya menyediakan perawat yang memadai untuk dapat mendukung perawatan pasien yang ada di sana. Selain itu, sebaiknya dilaksanakan terapi aktivitas kelompok secara rutin untuk mengetahui gangguan halusinasi pasien. 2. Bagi keluarga Dapat memberikan perawat di panti rehabilitasi terdekat. Karena dengan pasien dirawat di panti rehabilitasi keadaannya akan lebih kondusif dan banyak terapi yang diberikan. 3.



Bagi mahasiswa Bukan hanya orang sehat saja, tetapi dapat pula melayani orang-orang gangguan jiwa dengan pendekatan konseling dan Islam yang telah diajarkan.



DAFTAR PUSTAKA



Al-Qadhi, A. A. Y. (2010). An introduction to the sciences of the qur’aan. Diperoleh



tanggal



20



Juni



2017



dari



https://theauthenticbase.files.



wordpress.com/2010/11/introduction-sciences-of-the-quran-yasir-qadhi.pdf Chaplin, J.P. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan : Kartini Kartono. Jakarta : PT Radja Grafindo Persada. Damayanti, R., Jumaini, & Utami, S. (2014). Efektifitas musik klasik terhadap penurunan tingkat halusinasi pada pasien halusinasi dengar di RSJ Tampan Provinsi



Riau.



Diperoleh



tanggal



20



Juli



2017



dari



http://www.jom.unri.ac.id/ index.php/JOMPSIK/article/view/3394/3291 Danardi. (2007). Asuhan keperawatan bermutu di Rumah Sakit Jiwa. Diperoleh tanggal 20 Juni 2017 dari http://persi.co.id/padaversi.news/ artikel.php.3.id Dharma, Kelana Kusuma.(2011). Metodelogi Penelitian Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media. Eko Prabowo. (2014). Konsep&AplikasiAsuhanKeperawatan Jiwa. Yogyakarta: NuhaMedika. Elvira, S. (2015). Bahan ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI Erita & Suharsono. (2014). Pengaruh membaca Al Qur’an dengan metode tahsin terhadap depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Aboyoso Pakem



Yogyakarta.



Diakses



tanggal



20



Juni



2017



dari



http://thesis.umy.ac.id/ datapublik/t34597.pdf Fanada, M. (2012). Perawat dalam penerapan terapi psikoreligius untuk menurunkan tingkat stres pada pasien halusinasi pendengaran di Rawat Inap Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. Diperoleh tanggal 20 Juli 2017 dari http://www.bayuasinkab.go.id>dokumens Farisi, A. (2014). Mengenal Gelombang Otak dan Cara Kerja Pikiran. Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stress Cemas dan Depresi.Jakarta : Balai Penerbit FKUI.



Hawari, D. (2010) Manajemen stress, cemas dan depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hidayati, W. C. (2014). Pengaruh terapi religius zikir terhadap peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada pasien halusinasi di RSJD DR. Amino Gondohutomo Semarang. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan. Diperoleh tanggal 25 Februari 2017 dari http://pmb. stikestelogorejo.ac.id/ejournal/index.php/ ilmukeperawatan/article/view/243 Hidayat, Aziz Alimul. (2011). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Julianto, V., & Subandi. (2015). Membaca Al Fatihah reflektif intuitif untuk menurunkan depresi dan meningkatkan imunitas. Diperoleh pada tanggal 20 Juni 2017 dari https://journal.ugm.ac.id/jpsi/ article/view/6941 Kaheel, A. (2013). Sembuhkan sakitmu dengan Al-Qur”an. Yogyakarta: Laras Media Prima. Keliat, Budi. Anna., Akemat., Helena, Novy., Nurhaeni, H. (2014). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas cmhn (basic course).jakarta: egc Keliat, B. A., Helena, N., & Farida, P. (2013). Manajemen keperawatan Psikososial & kader kesehatan jiwa. Jakarta: EGC. Khoerul Bahkri. 2016. Terapi Zikir Dalam Mengatasi Perilaku Delinkuensi. Skripsi. Publikasi Kushariyadi, Setyoadi. 2011. Terapi Modalitas Keperawatan Pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika. Mayasari, E. (2017). Efektifitas terapi psikoreligius: Zikir Al Ma’tsurat terhadap skor halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Skripsi PSIK UNRI. Tidak dipublikasikan. Mukhripah Damayanti, Iskandar . (2012). AsuhanKeperawatan Jiwa. Bandung: RefikaAditama. Najati, M. Ustman. 2010. Al-qur'an dan Ilmu Jiwa,.Bandung: Pustaka Hidayah. Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal. (5th ed) (Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Penerjemah). Jakarta: Erlangga.



Notoatmodjo, Soekidjo. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Novitayani,



S.



(2016).



Karakteristik



pasien



skizofrenia



dengan



riwayat



rehospitalisasi. Diperoleh tanggal 20 juni 2017 dari http://www. jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/6442/5279 Prabowo, E. 2014.Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Jakarta : Nuha Medika. Riskesdas.(2013).http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas % 202013.pdf diperoleh tanggal 24 april 2014 jam 09.00 wib. Sadock, B. J., & Sadock, A. V. (2010). Kaplan & sadock buku ajar psikiatri. (2th ed) (Profitasari & Tiara Mahatmi Nisa, Penerjemah). Jakarta: EGC. Sari, A., Jumaini, & Utami, S (2016). Efektifitas mendengarkan murottal Alquran terhadap skor halusinasi pada pasien halusinasi pendengaran. Diperoleh tanggal



20



Juni



2017



dari



https://



jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/ view/13097 Sugiyono. (2019). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suharso & Ana.2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Semarang : Widya Karya. Sutejo. 2017. Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa: Ganguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru. Stuart, G W. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.Buku 1. Alih bahasa: Keliat, B A. Singapura: Elsevier. Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principle and practice of psychiatric nursing. Philadelphia: Elseiver Mosby. Trigoboff.(2013).



Contemporary



psychiatric



mental



health



nursing



(third



edit).pearson. Wahyu Catur Hidayanti. 2014. PengaruhTerapi Religius Zikir Terhadap Peningkatan Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada PasienH alusinasi Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang Wahyuni, S., Yuliet, S. N., Elita, V. (2012). Hubun-gan lama hari rawat dengan kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi.



Diperoleh



tang-gal



20



Juni



2017



dari



http://download.portalgar-



uda.org/article.php?article=32283&val=2290 Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Revika Aditama. Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama. Videbeck S.L., (2011) Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC Wiradisuria, S. (2016). Menggapai kesembu-ha n, sebuah harapan dan peluang mena-paki jalan kebahagiaan. Diperoleh tang-gal 20 Juni 2017 dari https://books.google.



co



.



id/books?id=ZlHTDQAAQBAJ&p



g=PA69&dq=membaca+al+quran+dan+kesembuhan&hl=id&sa=X&ved=0 ahUKEwjXuLC04cfVAhUMuI8KHRX1CiUQ6AEIOjAE#v=onepage&q= membaca%20al%20 quran%20dan%20kesembuhan&f=false



-