Model Integrasi Ilmu Pengetahuan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODEL – MODEL INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN



Makalah Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah: Filsafat Ilmu Dosen pengampu: Dr. H. Moh. Asror Yusuf, M. Ag.



Oleh : Muhammad Harist Ubaiddillah 927.002.19.007



HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI) PASCASARJANA INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI 2019



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Memang religion and science merupakan wacana yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektua. Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masingmasing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agamapun tidak memperdulikan ilmu. Akan tetapi keduanya adalah kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha mengarahkan dan memberi



kesejahteraan



bagi



umat



manusia.



keterbatasannya dua sosok subjek ini



Dengan



keunggulan



dan



dalam taraf tertentu terbukti telah



memberikan sumbangan yang nyata bagi peningkatan taraf kehidupan manusia. Persoalan yang muncul adalah kedua kekuatan itu berjalan sendiri-sendiri dan terlepas satu sama lain. Pada akhirnya pemikiran tentang Integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju



dapat



menyusul



menyamai



orang-orang



barat



apabila



mampu



menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan



1



dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.1 Ian G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut fisikawan-agamawan, dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama (terjemahan) dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?, bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan salah satu tipologi. Dengan pemikiran di atas, pembahasan makalah ini akan di fokuskan pada integrasi ilmu agama dan sains. B. Rumusan Masalah 1. Biografi Ian G. Barbour. 2. Pandangan Ian G. Barbour tentang hubungan sains dan agama. 3. Pengertian Integrasi ilmu. 4. Model-model integrasi ilmu. 5. Integrasi keilmuan Hukum Islam dan Hukum Umum. C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui biografi dan pemikiran Integrasi Ian G. Barbour. 2. Pandangan Ian G. Barbour tentang hubungan sains dan agama. 3. Untuk mengetahui pengertian Integrasi ilmu. 4. Untuk mengetahui model-model integrasi ilmu. 5. Untuk mengetahui Integrasi keilmuan Hukum Islam dan Hukum Umum.



1



Arief Armai, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), 124.



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Biografi Ian G. Barbour Ian G. Barbour dikenal sebagai salah seorang penggagas dialog antara sains dan agama sekarang ini. Ia telah mendedikasikan dirinya dan memberi kontribusi yang luas pada ranah ini. Kontribusinya dalam usaha menghubungkan antara sains dan agama dapat dikatakan jauh lebih besar daripada sumbangan para ahli lainnya bahkan sampai sekarang yang masih menulis. Ian G. Barbour, lahir 5 Oktober 1923. Barbour lahir di Beijing, Cina. Ibunya adalah seorang anggota gereja Episkopal, sedangkan ayahnya anggota Gereja Presbiterian, keduanya bertemu di Edinburgh Skotlandia dan segera setelah itu menikah. Kedua orangtua Barbour pindah ke China lagi untuk mengajar di Universitas Yenching; ayahnya di Geologi sedangkan ibunya di Pendidikan Agama. Ia menerima gelar B.Sc dalam fisika dari Swarthmore College, dan gelar M.Sc dalam fisika dari Duke University pada tahun 1946 dan Ph.D. dalam fisika dari University of Chicago pada tahun 1950.2 Barbour mengajar selama bertahun-tahun di Carleton College dengan janji sebagai profesor agama dan sebagai Winifred dan Atherton Bean Profesor Emeritus Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Masyarakat. Dia telah memegang kehormatan emeritus di sana sejak 1986. Barbour memberikan kuliah Gifford dari 1989 - 1991 di University of Aberdeen. Kuliah ini menghasilkan buku Agama di Waston, “HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA: Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1, (Juni, 2014), 78. 2



3



Era of Science. Dia dianugerahi Penghargaan Templeton pada tahun 1999 untuk Kemajuan dalam Agama sebagai pengakuan atas usahanya untuk menciptakan dialog antara dunia sains dan agama. Dia adalah seorang sarjana Amerika tentang hubungan antara sains dan agama. Menurut Public Broadcasting Service pertengahan 1960-an, isu dalam Sains dan Agama "telah dikreditkan dengan harfiah menciptakan bidang kontemporer ilmu pengetahuan dan agama".3 Pada tahun 1963, Barbour kembali mendapat beasiswa untuk mengadakan penelitian di Harvard. Setelah menghadiri sebuah seminar yang diketuai oleh Gardon Kaufman dia secara seksama membaca teologi-teologi Charles Hartshorne, John Cobb, dan David Griffin, orang-orang yang sebelum itu diragukannya. Sekembalinya ke Carleton, Barbour menulis beberapa tulisan yang sebelumnya telah diujicobakan dalam perkuliahan-perkuliahannya yang kemudian direvisi dan menjadi buku dengan judul: “Issues in Science and Religion (1966)”4 Demikian biografi singkat Ian Graeme Barbour atau yang sering disingkat Ian G. Barbour. Agar lebih detail pula penulis menyertakan karya-karya Ian G. Barbour antara lain: 1. Issues in Science and Religion (1966) 2. Mythos, Models And Paradigms (1974) 3. Religion in an Age of Science (1990) 4. Ethics in an Age of Techonology (1993) 5. Religion and Science: Historical And Contemporary Issues (1997)



Zaenal Abidin Bagir, “Pengantar” dalam Ian G. Barbour Terj. ER Muhammad, Juru Bicara Tuhan, Antara Sans dan Agama, (Bandung: Mizan, 2002), 22. 4 Waston, “HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA: Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”., 79. 3



4



6. When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners? (2000) Karya-karya Barbour di atas dapat dianggap buku bacaan wajib para pengkaji masalah sains dan agama. Bukan saja karena kedalaman referensinya, namun juga lebih karena kelengkapan dan efektivitas metodenya. Tema sains dan agama bercakupan amat luas dan multidisipliner karena setidak-tidaknya mencakup beberapa cabang sains, sejarah dan filsafat sains, juga sejarah agama dan kajian agama atau teologi secara umum. Beberapa kesan yang muncul dari karya-karya Barbour, diantaranya adalah Sallie McFague, seorang teolog wanita yang menulis Metaphorical Theology: Models of God in Religious Language (1982) dan The Body of God: An Ecological Theology (1993), yang mengatakan bahwa “Karya Barbourlah yang memungkinkan saya berkarya”. Selanjutnya ia menambahkan bahwa, bagi para teolog, Barbour adalah sahabat yang mengajarkan perkembangan mutakhir sains dan implikasi metafisisnya. Sementara itu, bagi ilmuan, dia menunjukkan relevansi teologis teori-teori ilmiah.5 B. Pandangan Ian G. Barbour tentang hubungan sains dan agama Pemaparan metode dalam sains dan humaniora di atas merupakan tahap awal dari upaya Barbour dalam mengawinkan dua kutup tradisi keilmuan yang selama ini dianggap berbeda. Tradisi ilmu alam dan tradisi ilmu humaniora, yang pertama dianggap obyektif dan terakhir subyektif. Dalam penelitian Borbour sendiri, kutup-kutup itu sebenarnya tidak berbenturan secara tajam; yang obyektif Damanhuri, “RELASI SAINS DAN AGAMA: (STUDI PEMIKIRAN IAN G. BARBOUR)” Refleksi, Vol. 15, No. 1 (Januari, 2015), 32. 5



5



ternyata juga melibatkan sesuatu yang subyektif dan yang subyektif juga dapat ditemukan sesuatu yang obyektif, terdapat communicability dan understandability diantara dua kutup tradisi keilmuan tersebut. Untuk itulah, sekedar ingin menunjukkan



bahwa,



penemuan



paradigma



baru



Barbour



itu



telah



diaplikasikannya pada isu tentang sains dan agama. Barbour memetakan pandangan tentang hubungan sains dan agama dalam empat tipologi yakni konflik, independensi, dialog, dan integrasi.6 1.



Konflik Asumsi dasar model hubungan ini adalah bahwa agama dan sains merupakan dua hal yang tidak hanya berbeda tetapi juga sepenuhnya bertentangan. Seseorang tidak bisa secara bersamaan mendukung teori sains dan keyakinan agama. Sains berbeda secara mendasar dengan agama. Agama tidak dapat membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas, sementara sains bisa. Agama mempercayai Tuhan tanpa merasa perlu menunjukkan bukti konkrit keberadaannya, sebaliknya sains menuntut pembuktian semua hipotesis dan teori dengan kenyataan. Hal ini, menurut Barbour, tercermin dari pandangan dua kelompok, yakni “biblical literalism” dan kelompok “scientific materialism”. Biblical literalism berpandangan bahwa kitab suci berlaku secara abadi dan universal (inerrant thorough), informasi kita suci merupakan data kebenaran yang bisa memberikan kepastian pada setia masa yang terus berubah dan senantiasa menjaga nilainilai tradisional dan disintegrasi moral. Sementara itu “scientific materialism”



6



Ibid., 40-43.



6



berpendirian bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan. Golongan ini hanya mempercayai realitas yang nyata dan bisa dibuktikan secara material.7 2.



Independensi Asumsi dasar model ini adalah bahwa agama dan sains mempunyai persoalan, wilayah dan metode yang berbeda. Masing-masing memiliki tingkat kebenarannya sendiri-sendiri, sehingga tidak perlu ada hubungan (contact), kerjasama atau konflik antara keduanya. Keduanya semestinya dibiarkan (compartmentalized) bekerja pada wilayahnya sendiri. Menurut, Barbour, pemisahan ini tampak pada kelompok Kristen Evangelis, Kristen Konservatif dan neo-Ortodoks Protestan. Mereka menganggap keyakinan agama adalah berdasarkan pada iman, bukan pada penemuan ilmiah. Dalam pandangan ini kitab suci, Bibel, harus dipahami secara sungguh-sungguh, tetapi tidak secara literal. Cerita penciptaan dalam Genesis misalnya mesti dipahami secara simbolik sebagai potret hubungan mendasar antara manusia, alam dan Tuhan.8



3.



Dialog Dialog memotret hubungan yang lebih konstruktif antara sains dan agama daripada pandangan Konflik dan Independensi. Namun, Dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana yang diajukan pendukung integrasi. Dialog mungkin muncul dengan mempertimbangkan pra-anggapan dalam upaya ilmiah, atau mengeksplorasi kesejajaran metode antara sains dan



Waston, “HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA: Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”., 80. 8 Ibid., 81. 7



7



agama atau menganalisiskan konsep dalam satu bidang dengan konsep dalam bidang lain. Dalam membandingkan sains dan agama, Dialog menekankan kemiripan pra-anggapan, metode, dan konsep. Sebaliknya, Independensi menekankan perbedaan yang ada. Kemiripan metodologis terjadi, misalnya, dalam cara bahwa sains tidak sepenuhnya obyektif sebagaimana juga agama tidak sepenuhnya subyektif. Secara metodologis tidak ada perbedaan yang absolut antara agama dan sains. Data ilmiah sebagai dasar sains yang dianggap sebagai wujud obyektifitas



sebenarnya



juga



melibatkan



unsur-unsur



subyektifitas.



Subyektifitas sains terjadi pada asumsi teoritis yang digunakan dalam proses seleksi, penafsiran data dan pelaporan. Data ilmiah, menurut Barbour, memang padat teori tetapi teori tidak bebas nilai. Begitu juga data agama, sebagaimana terdapat pada pengalaman agama, ritual, dan teks kitab suci, juga tidak sepenuhnya subyektif karena kriteria-kriteria ilmiah seperti koherensi, komprehensi, dan prinsip manfaat juga terdapat di dalamnya. 4.



Integrasi Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah-masalah yang dianggap pertentangan antara agama dan sains. Penjabaran model ini tidak terlalu jauh berbeda dengan model dialog seperti yang diulas di atas. Karena pada dasarnya konsep dialog tersebut pada lahirnya bermuara pada model integrasi. Barbour memberikan beberapa contoh yang awalnya dianggap bertentangan ternyata bisa dipadukan, hal itu nampak pada konsep natural



8



theology yang menyatakan bahwa bukti adanya desain pada alam semesta membuktikan adanya Tuhan. Menurut Barbour dalam upaya integrasi antara sains dan agama terdapat tiga versi yaitu: natural theology,theology of nature, dan systematic synthesis. a. Natural Theology Terdapat beberapa contoh natural theology dari abad-abad lalu. Thomas Aquinas berpendapat bahwa beberapa sifat Tuhan hanya dapat diketahui melalui wahyu dalam kitab suci, tetapi eksistensi Tuhan itu sendiri dapat diketahui hanya dengan nalar. Salah satu bentuk argumen kosmologis menegaskan bahwa setiap peristiwa harus mempunyai sebab sehingga kita harus mengakui sebab pertama jika hendak menghindari siklus yang tak berujung pangkal. Bentuk argumen yang lain menyatakan bahwa seluruh rantai sebab-sebab natural (terbatas atau tidak terbatas) bersifat kontingen dan bisa jadi sebelumnya tidak demikian. Ia bergantung pada suatu maujud yang mengada secara niscaya. Argumen teleologis (dari telos, bahasa Yunani, berarti tujuan) Aquinas berangkat dari keteraturan dan intellijibilitas sebagai ciri umum alam semesta, tetapi menunjukkan bukti tentang desain alam.9 Natural theology mempunyai daya tarik kuat di dunia multi-agama, karena berangkat dari data ilmiah yang berpotensi untuk mencapai kesepakatan di antara berbagai budaya dan agama. Lebih lanjut, ia



9



Ibid., 82.



9



konsisten dengan kekaguman dan keterpesonaan personal yang dirasakan para saintis dalam kerja mereka. Pendukung desain ini tidak mengklaim bahwa argumen desain menawarkan bukti yang konklusif bagi teisme. Ini dapat membantu mengatasi kendala untuk percaya dan dapat mengarah ke keterbukaan lebih besar bagi bentuk-bentuk pengalaman keagamaan dan bagi partisipasi dalam komunitas keagamaan. Pada sisi lain, keterbatasan dan argumen desain Ilahi tetap diakui. Dipandang secara terpisah, argument desain paling-paling mengarah ke Tuhan menurut paham deisme: Sang Perancang yang jauh dari dunia. Bagaimanapun argumen desain dapat digabungkan dengan keyakinan teistik berdasarkan pengalaman keagamaan personal dan tradisi historis. 10 b. Theology Of Nature Theology of nature tidak berangkat dari sains sebagaimana natural theology. Alih-alih, berangkat dari tradisi keagamaan dan wahyu historis. Beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam keilmuan terkini. Di sini, sains dan agama dipandang sebagai sumber ide-ide yang relatif independen, tetapi bertumpang tindih dalam bidang minatnya. Secara khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains. Doktrin teologi harus konsisten



Khoirul Warisin, “RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF IAN G. BARBOUR DAN ARMAHEDI MAZHAR”, Rahmatan Lil Alamin Journal of Peace Education and Islamic Studies, Vol. 1 No. 1 (Juli, 2018), 16. 10



10



dengan bukti ilmiah walaupun tidak dipengaruhi langsung oleh teori sains terkini.11 Versi-mutakhir theology of nature dapat ditemukan di kalangan penulis feminis. Mereka menunjukkan adanya korelasi di antara dualisme yang begitu melekat dalam pikiran Barat: pikiran/tubuh, nalar/emosi, objektivitas/subjektivitas, dominasi/kepasrahan, kekuatan/cinta. Dalam setiap kasus, istilah pertama dari setiap pasangan (pikiran, nalar, objektivikasi, dominasi, dan kekuatan) tersebut diidentifikasi dalam budaya kita sebagai bersifat maskulin, sedangkan istilah kedua (tubuh, emosi, subjektivitas,, kepasrahan, dan cinta) sebagai bersifat feminim. Pada sisi lain, feminis berhaluan reformis parcaya bahwa watak patriarkat dari Kristen historis dapat disisihkan tanpa perlu menolak tradisi Kristen secara keseluruhan. ”Saya terutama berutang budi pada feminis reformis semacam Sallie Mc. Fague dan Rosemary Radford Ruether”, kata Barbour.12 Barbour percaya bahwa theology of nature harus ditarik dari sains dan agama dalam upayanya untuk merumuskan etika lingkungan yang relevan dengan dunia kontemporer. Hanya sainslah yang dapat memasok data yang diperlukan untuk mengevaluasi ancaman terhadap lingkungan yang muncul dari teknologi dan gaya hidup kita. Akan tetapi,



Waston, “HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA: Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”., 83. 12 Ibid., 84. 11



11



kepercayaan agama secara signifikan mempengaruhi sikap terhadap alam dan motivasi tindakan kita.13 Secara teoritik, dengan mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, III, ada 3 kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak Dialogis dan Integratif, yaitu Semipermeable, Intersubjective Testability dan Creative Imagination. Pertama, Semipermeable. Masing-masing disiplin ilmu masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka ruang untuk berdialog, berkomunikasi dan berdiskusi dengan disiplin ilmu. Kedua, Intersubjective Testability. Menurut Barbour baik Objek maupun Subjek masing-masing berperan besar dalam kegiatan keilmuan. Data tidak dapat dikatakan terlepas sama sekali dari penglihatan pengamat karena situasi di lapangan selalu diintervensi oleh ilmuan sebagai experimental agent itu sendiri. Oleh karenanya, Concepts bukanlah diberikan begitu saja oleh alam, namun dibangun atau dikonstruk oleh ilmuan itu sendiri. Ketiga, Creative Imagination. Teori baru seringkali muncul dari keberanian seorang ilmuan dan peneliti untuk mengkombinasikan berbagai ide-ide yang telah ada sebelumnya. Bahkan seringkali teori baru muncul dari upaya yang sungguh-sungguh untuk menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali.14 Contoh kecil imajinasi kreatif dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam dunia sastra seringkali dikaitkan dengan upaya untuk 13



Ibid., 85. Azaki Khoirudin, “Sains Islam Berbasis Nalar Ayat-ayat Semesta”, Jurnal At-Ta’dib. Vol. 12. No. 1, (Juni, 2017), 201. 14



12



memperjumpakan



dua



konsep



framework



yang



berbeda



untuk



membentuk konfigurasi yang baru. c. Systematic Synthesis Systematic synthesis merupakan integrasi yang lebih sistematis yang bisa dilakukan apabila sains dan agama memberikan arah baru bagi dunia yang lebih koheren yang digabungkan dalam kerangka metafisika yang lebih komprehensif. Sederhananya versi ini memformulasikan kerangka baru dalam upaya memberikan kontribusi yang lebih kepada sains dan agama. Sehingga sains dan agama bisa saling memberikan kontribusi pandangan yang mampu memberikan alternatif.15 C. Pengertian Integrasi Ilmu Integrasi ilmu pengetahuan adalah proses mengaitkan ilmu pada prinsip tauhid. Sasaran integrasi ilmu adalah pencari ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusia, maka manusialah yang akan menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya berorientasi pada nilai-nilai Islam ataukah tidak.16 Al-Ghazali dan Ibn Khaldun menggunakan konsep ilmu yang integral dan holistik dalam fondasi tauhid yang menurut Ismail al-Faruqi sebagai esensi peradaban Islam yang menjadi pemersatu segala keragaman apapun yang pernah diterima Islam dari luar. Dikotomi yang mereka lakukan hanyalah sekedar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang



Khoirul Warisin, “RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF IAN G. BARBOUR DAN ARMAHEDI MAZHAR”., 17. 16 Mulyadhi, “Membangun Kerangka Ilmu Perspektif Filosofis” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed),Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta: Depag, 2000), 251. 15



13



lain sebagai bidang disiplin ilmu. Akibatnya pada zaman klasik Islam tidak terdapat dualisme.17 Al-Faruqi selanjutnya mengatakan: As principle of knowledge, al tawhîd is the recognition that Allah, al haqq (the Truth) is, and that He is One. This implies that all contention, all doubt, is referable to Him; that no claim is beyond testing, beyond decisive judgment. Al tawhîd is the recognition that the truth is indeed knowable, that man is capable of reaching it. Skepticism which denies the truth is the oppositeof al tawhîd. It arises out of a failure of nerve to push the inquary into truth to its end; thepremature giving up of the possibility of knowing the truth.18



D. Model-model Integrasi Ilmu Dari diskursus interaksi antara agama dan sains, sekurang-kurangnya ada tiga model paradigma keilmuan, yaitu islamisasi ilmu, pengilmuan Islam, dan integrasi-interkoneksi keilmuan.19 1.



Islamisasi Ilmu (Islamisasi Sains) Paradigma Islamisasi ilmu dikemukakan oleh Seyyed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Dalam pandangan al-Attas yang menjadi fokus adalah individu ilmuwan itu sendiri, bukan disiplin ilmu pengetahuannya. AlAttas menggolongkan pengetahuan manusia ke dalam dua macam. Pertama, konsep pengetahuan, antara lain tentang prasyarat-prasyarat, jiwa rasional, dan pendidikannya sebagai suatu keseluruhan dan dalam pencarian pengetahuan. Kedua, pengetahuan tentang ilmu-ilmu menggambarkan



17



Akbarizan, INTEGRASI ILMU Perbandingan UIN Suska Riau, (Riau: SUSKA Press, 2014), 47. Ibid., 45. 19 Azaki Khoirudin, “Sains Islam Berbasis Nalar Ayat-ayat Semesta”., 202. 18



14



pengetahuan, yang bagian-bagiannya telah dikembangkan sesuai dengan prioritas-prioritas palayanan kepada diri, negara, dan masyarakat dalam komunitas muslim. Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya Islamization of Kenowledge menyatakan bahwa proses islamisasi harus mengena secara langsung terhadap bidang-bidang ilmu yang bersangkutan. Setidaknya terdapat 12 langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan mulia di atas, langkah-langkah yang dimaksud adalah: 1. penguasaan disiplin modern yang meliputi prinsip, metodologi, masalah, tema, dan perkembangannya; 2. peninjauan disiplin ilmu; 3. penguasaan ilmu warisan Islam: ontologi; 4. penguasaan ilmu warisan Islam dari sisi analisis; 5. penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu disiplin ilmu; 6. penilaian secara kritis disiplin modern untuk memperjelas kedudukan disiplin terhadap langkah yang harus diambil untuk menjadikannya bersifat islami; 7. penilaian secara kritis ilmu warisan Islam, seperti pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah, perlu analisis dan kajian terhadap kesalah-pahaman; 8. kajian dan penelitian masalah utama umat Islam; 9. kajian tentang masalah utama yang membelit manusia sejagad; 10. melahirkan analisis dan sintesis yang kreatif; 11. pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam, seperti kitab-kitab utama teks dalam universitas; dan 12. harus memasarkan dan mensosialisasikan ilmu-ilmu yang sudah diislamkan.20



20



Ibid., 203



15



2.



Pengilmuan Islam (Saintifikasi Islam) 21 Kuntowijoyo mengulas paradigma pengilmuan Islam dalam bukunya Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2004). Kuntowijoyo memilih program keilmuan dengan paradigma pengilmuan Islam. Perlunya pengilmuan Islam agar orang Islam melihat realitas melalui Islam,



dan



eksistensi



Humaniora



dalam



al-Qur’an.



Kuntowijoyo



mengemukakan tentang perlunya Islam sebagai teks (al-Qur’an dan asSunnah) untuk dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah. Dengan kata lain dari teks ke konteks. Dalam periode ide, Islam dapat dirumuskan sebagai ilmu. Kalau pada periode utopia, umat Islam masih berpikir dalam kerangka mitis, sementara pada zaman ideologi mereka hanya terlibat pada persoalan ideologi dan kekuasaan, maka pada periode ilmu, perlu merumuskan konsep-konsep normatif Islam sebagai teori. Konsep-konsep normatif memang bisa diturunkan menjadi filsafat, kemudian menjadi ideologi. Tetapi bisa juga dari konsep normatif menjadi filsafat, dan lalu mejadi teori Ilmu-ilmu Sekuler: Filsafat



Antroposentrisme



Diferensiasi



Ilmu Sekuler



Tempat berangkat ilmu-ilmu sekular adalah modernisme dalam filsafat, misalnya Filsafat rasionalisme. Menolak teosentrisme Abad Tengah. Antroposentrisme, manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri. Diferensiasi, waktu manusia menganggap



21



Ibid., 204.



16



bahwa dirinya menjadi pusat, terjadilah diferensiasi. Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Karena itu kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan ilmu harus dipisahkan dari agama. Ilmu-ilmu Integralistik: Agama



Teotroposentrisme



Dediferensiasi



Ilmu Integralistik



Al Qur’an merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab yang diturunkan itu merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand Theory. Sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia (teoantroposentrisme). Dediferensiasi ialah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Bila disebutkan hasil penyatuan agama dan wahyu menjadi ilmu-ilmu integralistik, sebagai suatu paradigma baru. 3.



Integrasi-Interkoneksi Paradigma integrasi-interkoneksi yang digagas oleh M Amin Abdullah ini mencoba mentrialogikan antara nilai-nilai subjektif, objektif, dan intersubjektif. Ia mempertemukan tiga kluster keilmuan bidang agama dalam pola bentuk hubungan seperti pertemuan dan dialog kritis antara ilmuilmu yang berdasar pada teks-teks keagamaan (naql, bayani; subjective), dan ilmu-ilmu yang berdasar pada kecermatan akal pikiran dalam memahami realitas sosiologis-antropologis perkembangan kehidupan beragama era pluralitas budaya dan agama (’aql, burhani; objective) serta ilmu-ilmu yang



17



lebih menyentuh kedalaman hati nurani manusia (qalb, ‘irfani, intuitif; penghayatan yang intersubjective) adalah salah satu dari sekian banyak cara yang patut dipertimbangkan dalam upaya rekonstruksi tersebut.22 Menurut Amin Abdullah, integrasi-interkoneksi merupakan trialektika triadik hubungan antara hadarat An-Nash (text) / tradisi teks, hadarat AlFalsafah (philosophy) / tradisi etika kritis, dan hadarat Al-‘Ilm (science) / tradisi akademik-imiah.23 Pemaknaan interpretatif atas nash, al-Qur’an dan Hadits, tidak meninggalkan aspek the wholeness of reality seperti banyak dikembangkan Filsafat, dan juga tidak mengabaikan perspektif-perspektif keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang dimungkinkan ada dan berkembang. Hadlarah al’ilm , yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti Sains, Teknologi dan ilmu-ilmu Sosial-Humaniora yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadlarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadlarah al-falsafah akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam Budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadlarah al’ilm. Bagian hadlarah al-‘ilm ini terkait sekali dengan metode berfikir kedepan, seperti pendekatan Sosiologis, Antropologis, dan lain sebagainya. Kemudian



22



Ibid., 205 Waryani Fajar Riyanto, INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (1953-…), (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), 799. 23



18



ditambah lagi dengan kombinasi hadlarah al-falsafah. Yang dimaksud hadlarah al-falsafah di sini adalah akhlak baru yang membebaskan.24 Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni islamic sciences, natural sciences, dan social humanities sciences tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan yang sedemikian sempit dan tertutup, sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunyai sikap dan cara berpikir yang lebih multidimensional, multikultural dan interreligious. Dalam sudut pandang Filsafat manusia, epistemologi pemikiran keislaman Amin Abdullah tampak dengan jelas dimaksudkan untuk membangun manusia muslim yang berkarakter multikultural dan inter-religious.25 E. Integrasi keilmuan Hukum Islam dan Hukum Umum Untuk mengimplementasikan integrasi keilmuan hukum Islam dan hukum umum perlu dipahami bagaimana hukum tercipta, termasuk hukum Islam. Hukum Islam sebagai norma hukum merupakan dialektika antara adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat dengan ketentuan-ketentuan agama yang berasal dari Tuhan. Dalam realitasnya, hukum Islam yang dihasilkan para ulama selama ini umumnya merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para ulama terhadap aturan-aturan partikular dalam al-Qur’an dan bukan terhadap nilai universal yang terkandung di 24 25



Azaki Khoirudin, “Sains Islam Berbasis Nalar Ayat-ayat Semesta”., 206. Ibid., 207.



19



dalamnya. Hal ini mempunyai pengertian bahwa yang menjadi fokus kajian para ulama adalah teks-teks yang berkaitan dengan aturan dan kaidah hukum yang bersifat partikular dalam al-Qur’an dan hadits Dengan demikian, fikih sebagai suatu ketentuan hukum yang berasal dari pemahaman para ulama terhadap aturan universal dalam al-Qur’an dan hadits, memiliki makna yang lebih luas dari sekedar hukum. Fikih memiliki norma moral yang kuat di samping sisi norma hukum yang dimilikinya. Atas dasar itulah maka fikih dalam konteks kajian hukum seharusnya dipahami sebagai norma hukum Islam yang positif. Adat kebiasaan masyarakat merupakan praktek sehari-hari yang hidup secara riil dalam masyarakat. Kebiasaan yang dilakukan secara terusmenerus dalam jangka waktu yang panjang melalui kesadaran kolektif masyarakat itu kemudian menjadi norma kebiasaan. Norma kebiasaan ini merupakan kenyataan empiris yang berlaku dalam masyarakat.26 Namun demikian, normanorma kebiasaan yang menjadi realitas dalam masyarakat ini tidak selalu sesuai dan selaras dengan nilai-nilai syari’ah Islam yang bersifat ideal. Dalam konteks Indonesia, fikih sebagai norma hukum merupakan seperangkat aturan sebagai hasil dialektika antara nilai-nilai syari’ah dengan adat kebiasaan masyarakat Indonesia, yang dirumuskan secara sadar dan sengaja untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Aturan hukum Islam di Indonesia tersebut di samping secara filosofis harus memuat dan sesuai dengan nilai-nilai syari’ah, juga secara sosiologis harus sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia dan juga dalam pembentukan ilmu hukum Islam juga tidak



26



Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 14-15.



20



dapat dilepaskan dari hukum yang berlaku secara formal di masyarakat atau hukum positif Indonesia. Dalam upaya pembentukan ilmu hukum Islam, perlu ada kajian dan perbandingan dengan hukum positif di Indonesia. Karena itulah perlu adanya kesamaan bahasa hukum, yang dalam hal ini adalah bahasa hukum Islam dan bahasa hukum umum. Penyamaan bahasa ini sangat penting karena Indonesia sedang berupaya membentuk hukum nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Karena itulah, pembentukan ilmu hukum Islam di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk integrasi keilmuan antara hukum Islam dan hukum umum (hukum positif di Indonesia).



21



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Biografi Ian G. Barbour. Ian G.Barbour adalah seorang ilmuwan yang menekuni dua bidang keilmuan sekaligus yaitu sains dan agama. Dia dilahirkan di Beijing pada tahun 1923. Ayahnya adalah seorang ahli geologi asal Skotlaindia, sementara ibunya berasal dari Amerika. Pada usia 20 tahun ia lulus jenjang S1 di Swartmore College, lalu S2 dari Universitaas Duke, dan Ph.D nya dari Universitas Chicago pada tahun 1949. Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Barbour adalah Issue in Science and Religion, Mythos, Models and Paradigms, Religion in an Age of Science, ethics in an age of Technology. 2. Pandangan Ian G. Barbour tentang hubungan sains dan agama. Barbour memetakan pandangan tentang hubungan sains dan agama dalam empat tipologi yakni konflik, independensi, dialog, dan integrasi. 3. Pengertian Integrasi ilmu. Integrasi ilmu pengetahuan adalah proses mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid. Sasaran integrasi ilmu adalah pencari ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Karena manusialah yang akan menghayati ilmu. 4. Model-model integrasi ilmu. Dari diskursus interaksi antara agama dan sains di Indonesia, sekurang-kurangnya ada tiga model paradigma keilmuan, yaitu islamisasi



22



ilmu (Seyyed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi), pengilmuan Islam (Kuntowijoyo), dan integrasi-interkoneksi keilmuan (M. Amin Abdullah). 5. Integrasi keilmuan Hukum Islam dan Hukum Umum. Dalam upaya pembentukan ilmu hukum Islam, perlu ada kajian dan perbandingan dengan hukum positif di Indonesia. Karena itulah perlu adanya kesamaan bahasa hukum, yang dalam hal ini adalah bahasa hukum Islam dan bahasa hukum umum. B. Saran Dalam penulisan ini, ada beberapa saran yang dapat disampaikan oleh penulis, sebagai berikut: 1. Dorongan bagi ilmuan Islam untuk terus mengembangkan keilmuan agar tidak semata-mata dipandang selalu mengekor dengan keilmuan barat. 2. Keterbukaan ilmu-ilmu agama yang memang tidak bisa dipisahkan oleh ilmu umum demi berkembangnya ilmu dalam dunia Islam agar pesat berkembang. 3. Penyadaran terhadap perkembangan ilmu harus selalu beriringan antara ilmu agama dan ilmu umum karena dua entitas ternyata harus saling terhubung. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.



23



Daftar Pustaka



Akbarizan, INTEGRASI ILMU Perbandingan UIN Suska Riau, (Riau: SUSKA Press, 2014) Armai, Arief. Reformasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005. Bagir, Zaenal Abidin. “Pengantar” dalam Ian G. Barbour Terj. ER Muhammad, Juru Bicara Tuhan, Antara Sans dan Agama, (Bandung: Mizan, 2002) Damanhuri, “RELASI SAINS DAN AGAMA: (STUDI PEMIKIRAN IAN G BARBOUR)” Refleksi, (2015), Vol. 15, No. 1: 30-44. Khoirudin, Azaki. “Sains Islam Berbasis Nalar Ayat-ayat Semesta”. Jurnal AtTa’dib, (2017) Vol. 12. No. 1:195-217. Mulyadhi, “Membangun Kerangka Ilmu Perspektif Filosofis” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed),Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta: Depag, 2000). Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Riyanto, Waryani Fajar. INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (1953-…). Yogyakarta: SUKA-Press, 2013. Warisin, Khoirul. “RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF IAN G. BARBOUR DAN ARMAHEDI MAZHAR”, Rahmatan Lil Alamin Journal of Peace Education and Islamic Studies, (2018), Vol. 1 No. 1: 15-20. Waston. “HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA: Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”. PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, (2014), Vol. 15, No. 1:176-89.



24