Konsep Integrasi Ilmu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini membahas mengenai “ Integrasi Ilmu dan Agama ”. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Pendidikan. Kami juga berharap semoga pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi para membaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Fahmi Hidayatullah selaku dosen pengampu. Serta pihak-pihak lain yang turut membantu memberikan referensi buku. Usaha serta kerja keras telah kami upayakan untuk menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata kesempurnaan sebagai manusia biasa kita tidak jauh dari kesalahan serta kekhilafan, oleh karena itu apabila ada kesalahan kesalahan baik dari segi katakata atau penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah kami memohon maaf.



Malang, 1 April 2019



Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii DAFTAR ISI .............................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..............................................................................................1 B. Rumusan Masalah .........................................................................................1 C. Tujuan............................................................................................................1 BAB 2 PEMBAHASAN A. Pengertian Integrasi Ilmu ..............................................................................2 B. Konsep Integrasi Ilmu dan Agama ..............................................................3 C. Hakikat Integrasi Ilmu dan Agama dalam Ranah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis .............................................................................4 D. Implementasi Konsep Integrasi Ilmu dan Agama ........................................9 BAB 3 PENUTUP Kesimpulan ..................................................................................................11 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................12



ii



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan yang di lakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak lain adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada konsep yang hakiki yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Dari ketiga proses inilah kemudian diturunkan aksiologi (tujuan), epistemologi (metodologi), dan ontologi (obyek) ilmu pengetahuan. Di pandang dari sisi aksiologis (tujuan) ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Integrasi Ilmu? 2. Bagaimana Konsep Integrasi Ilmu dan Agama 3. Bagaimana Hakikat Integrasi Ilmu dan Agama dalam Ranah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis? 4. Bagaimana Implementasi Konsep Integrasi Ilmu dan Agama? C. Tujuan 1. Mengetahui Pengertian Integrasi Ilmu 2. Mengetahui Konsep Integrasi Ilmu dan Agama 3. Mengetahui Hakikat Integrasi Ilmu dan Agama dalam Ranah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis 4. Mengetahui Implementasi Konsep Integrasi Ilmu dan Agama



1



BAB 2 PEMBAHASAN



A. Pengertian Integrasi Ilmu Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris– integrate; integration- yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan, penggabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh, pemaduan. Adapun secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum. Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini karena –sebagaimana dijelaskan diawal pendahuluan- keberadaannya yang saling membutuhkan dan melengkapi. Seperti yang dirasakan oleh negara-negara di belahan dunia sebelah Barat yang terkenal canggih dan maju di bidang keilmuan dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari akan perlunya peninjauan ulang mengenai dikotomisme ilmu yang terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah mereka kembangkan, terlebih nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata pergaulan dengan alam yang merupakan ekosistem tempat tinggal manusia. Meninjau begitu urgennya kapasitas agama dalam kehidupan manusia, maka sepatutnya agama dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan ilmu. Karena perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi dengan kemajuan nilai religinya, menyebabkan terjadinya gap, jurang. Akibat meninggalkan agama, ilmu secara arogan mengeksploitasi alam sehingga terjadi berbagai kerusakan ekosistem.



2



Ketika manusia secara berangsur-angsur dapat mengenal sifat dan perilaku alam, dan selanjutnya dapat mengendalikan, mengolah dan memanfaatkannya dengan ilmu dan akal mereka; maka sifat dan perilaku alam yang tadinya sangat ditakuti mereka secara berangsur-angsur tidak lagi menakutkan. Konsep ketuhanan merekapun bergeser. Ada yang mengatakan bahwa agama tidak lebih dari objek pelarian manusia yang gagal menghadapi serta mengatasi problema kehidupannya; atau merupakan hasil tahap perkembangan yang paling terbelakang dari suatu masyarakat; atau sekedar obsesi manusia tatkala mereka masih berusia kanak-kanak. Mengapa demikian? Sebab, sebagai contoh, dengan kemjauan sains dan teknologi dapat diketahui bahwa gempa terjadi karena adanya pergeseran atau patahan kulit bumi, bukan karena Allah murka, sehingga manusia tidak perlu takut lagi. Di samping itu, meninjau ke ranah psikis batiniyah, sebagai misal, orang Barat yang terdepan dalam keilmuan dan sebagai kiblat kemajuan teknologi, sebagian mereka hidup –jika ditinjau dari kacamata islam- tidak sejahtera, tidak tentram dan tidak tenang. Kehidupan mereka kelihatan semrawut, bebas tanpa aturan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sentuhan-sentuhan nilai-nilai religi karena ilmunya-pun telah terdikotomikan dari ilmu agama. B. Konsep Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama Dalam halnya menggabungkan antara ilmu umum dan ilmu agama, maka integrasi ilmu ini dekat dengan islamisasi ilmu. keduanya merupakan upaya mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keislaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global. Kritik epistemologis, dalam asumsi penyusun, adalah berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Kemunculan ide “penyatuan ilmu islam dan ilmu umum” dan atau “pengislaman ilmu umum” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekularisme



3



telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut syari’at. Kitab suci al Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand teori ilmu. Tidak dipungkiri, agama memang mengklaim dirinya sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Walaupun dalam posisinya seperti itu, agama tidak pernah menset-upkan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, dalam perspektif ini, sumber pengetahuan terdiri dari dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama



menyediakan



menyediakan



tolok



ukur



kebenaran



ilmu



(dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), tujuan – tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness). Dalam halnya sebagai paradigma keilmuan yang menyatu-padukan antara ilmu umum dan ilmu agama, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak akan berakibat mengkerdilkan kapasitas Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme keilmuan akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal. C. Hakikat



Integrasi



Ilmu



dan



Agama



dalam



Ranah



Ontologis,



Epistimologis, Aksiologis 1. Integrasi Ontologi Ilmu Dan Agama



4



Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah ‘yang ada’, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang ada, sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang ‘ yang ada’ di balik benda-benda



fisik



yang



oleh



Aristoteles



disebut



sebagai proto



philosophia (filsafat pertama). ‘Yang ada’ dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustahil ada (mustaḥīl al-wujūd), mungkin ada (jawāz al-wujūd) dan wajib ada (wājib alwujūd). Wajib ada adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada bukan karena sesuatu yang lain namun justru menjadi penyebab atas keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima, yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Tuhan yang wajib ada bersifatan sifat-sifat wajib yang di antaranya adalah ilmu (al‘ilmu) sehingga wujud (eksistensi) ilmu dan agama adalah identik dan menyatu dalam wujud Tuhan. Dengan demikian, Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-interdependentif, artinya eksistensi (keberadaan) ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Ilmu dan agama secara primordial berasal dari dan merupakan bagian dari Tuhan. Pandangan ontologis demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap etis bagi ilmuwan maupun agamawan untuk ‘rendah hati’ dalam menyikapi kebenaran, yaitu bahwa kebenaran yang saya pahami hanyalah satu potong puzzle dari gambar keseluruhan alam semesta. Beragam pandangan para ilmuwan maupun agamawan yang lain dapat dipandang sebagai potonganpotongan puzzle yang berguna untuk saling melengkapi pemahaman akan kebenaran mutlak. Penjelasan ini menegaskan bahwa wujud ilmu dan agama dalam dirinya sendiri tidak mengalami konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan. 2. Integrasi Epistemologis Ilmu dan Agama



5



Setiap pandangan epistemologi pasti disadari oleh suatu pemahaman ontologi tertentu. Seseorang yang meyakini bahwa hakikat segala sesuatu adalah materi, maka bangunan epistemologinya pun akan bercorak materialisme. Pemahaman ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada empirisme, rasionalisme dan positivisme Demikian pula bagi seseorang yang secara ontologis meyakini bahwa kenyataan hakiki adalah yang non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada yang non materi, pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme. Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang integratif-komplementer. Sumber ilmu tidak hanya rasio dan indra, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, para filsuf muslim seperti alKindī



mengelompokkan



pengetahuan



menjadi



dua:



1) ‘ilm



’ilāhī (pengetahuan ilahi) seperti tercantum dalam al-Qu’an, yaitu pengetahuan yang diperoleh nabi langsung dari Tuhan dan 2) ‘ilm insānī (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ration reason). Kedua pengetahuan tersebut saling melengkapi satu sama lain dan menjadi satu kesatuan (integratif-komplementer). ‘ilm ’ilāhī seperti yang tercantum dalam al-Qur’an diposisikan sebagai grand theory ilmu atau dengan



kata



lain, ‘ilm



’ilāhī grand



theory-nya diambil



dari



ayat qaulīyah sedangkan ‘ilm insānī, grand theory-nya diambil dari ayat kaunīyah. Dari titik tolak yang berlawanan itu, keduanya bertemu pada satu titik kebenaran. Di antara keduanya tidak mengalami konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan. 3. Integrasi Aksiologis Ilmu dan Agama Aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah nilai sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan 6



yang dibahas antara lain adalah: apa sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat objektif atau subjektif, apakah fakta mendahului nilai atau nilai mendahului fakta. Nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’. Kualitas ini dapat melekat pada sesuatu (pengemban nilai). Sebagai contoh patung batu itu indah. Patung batu adalah pengemban nilai sedangkan indah merupakan kualitas (nilai) yang melekat pada patung. Nilai



memiliki



sifat



polaris



dan



hierarkis.



Polarisasi



nilai



menggambarkan bahwa dalam penilaian terdapat dua kutub yang saling berlawanan, misalnya: benar-salah, baik-buruk, idah-jelek. Salah, buruk, jelek, bukan sesuatu yang tidak bernilai, akan tetapi memiliki nilai yang bersifat negatif. Adapun hierarki nilai menunjukkan bahwa terdapat gradasi nilai yaitu amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik sekali. Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara ontologis bersifat integratif-interdependentif, dan secara epistemologis bersifat integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratis-kualifikatif. Artinya nilai-nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) secara simultan terkait satu sama lain dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai. Berbicara tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis) saja, namnun juga nilai-nilai yang lain. Dengan kata lain, yang benar harus juga yang baik, yang indah dan yang ilahiah. Pandangan bahwa ilmu harus



bebas



nilai



disatu



sisi



telah



mengakselerasi



secara



cepat



perkembangan ilmu namun disisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif yang sangat besar. Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena diabaikannya berbagai nilai diluar nilai kebenaran. Integrasi antara Ilmu dan Agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang



7



dikotomi ilmu dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran relatif yang oleh karenanya memiliki posisi lebih rendah dibandingkan agama sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Kesempurnaan ilmu Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam ini,yaitu tidak ada satupun ciptaan yang sia-sia, segala sesuatu bermanfaat dan mendukung kelestarin alam ini dan bersifat non-residu. Satu contoh dapat ditunjukkan bahwa kotoran hewan, sekalipun seakan-akan merupakan benda yang terbuang dan tidak berguna, namun keberadaannya tetap memberikan manfaat, misalnya untuk menyuburkan tanaman dan dapat menghasilkan gas untuk keprluan rumah tangga. Hal ini bisa dibandingkan dengan buatan manusia berupa kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap yang dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi manusia selalu berusaha memperbaiki kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia ketika membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses pencarian kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi karena ke-belum-mampu-an manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang sesungguhnya. Jelaslah kiranya bahwa Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofis, yang didalamnya terdiri atas tiga pilar besar yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, sehingga agama tidak hanya menjadi landasan etis namun lebih luas menjadi landasan filosofis bagi perkembangan ilmu. Dengan



demikian



outcome



yang



dihasilkan



dari



institusi



yang



mengintegrasikan ilmu dan agama adalah bukan hanya ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuwan yang beragama Islam, yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan kuat imannya, sedangkan ilmuwan Islam adalah, ilmuwan yang tidak hanya kuat imannya, namun yang dapat menjadikan Islam sebagai paradigma bagi perkembangan ilmu.



8



D. Implementasi Konsep Integrasi Ilmu dan Agama 1. Level Filosofis Integritas dan interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa di dalamnya harus diberikan nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqh misalnya, di samping makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun hubungan antara manusia, alam dan Tuhan dalam ajaran Islam, dalam pengkajian fiqh harus disinggung pula bahwa eksistensi fiqh tidaklah berdiri sendiri atau bersifat self-sufficient, melainkan berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap dislipin keilmuan lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya. Demikian juga dalam hal pengkajian ilmu umum seperti sosiologi. Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji interaksi sosial antar manusia akan menjadi terberdayakan dengan baik apabila pengajar sosiologi – sebagai salah satu unsur dari proses transferisasi ilmu- juga mengajak peserta didik untuk mereview teori-teori interaksi sosial yang sudah ada dalam tradisi budaya dan agama. Interkoneksitas seperti ini akan saling memberdayakan antara sosiologi di satu pihak dan tradisi budaya atau keagamaan di pihak lain. Pada level filosofis dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensial suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya termasuk di dalamnya agama dan budaya. 2. Level Materi Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga model pengejawantahan interkoneksitas keilmuan antar disiplin keilmuan. Pertama, model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum, karena hal ini terkait dengan lembaga penyelenggara pendidikan.Kedua, model penamaan disiplin ilmu yang menunjukkan hubungan antara disiplin ilmu umum dan keislaman. Model ini menuntut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam, seperti ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, sastra Islam, pendidikan Islam, filsafat Islam dan



9



lain sebagainya sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan. Ketiga, model pengintegrasian ke dalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menuntut dalam setiap pengajaran disiplin ilmu keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara keduanya, dan begitupun sebaliknya. 3. Level Metodologi Dalam konteks struktur keilmuan Lembaga pendidikan yang bersifat integratif-interkonektif menyentuh pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologis ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman, dianggap lebih aman ketimbang pendekatan lain yang mengandung bias anti agama seperti psikoanalisis. Dari segi metode penelitian tampaknya tidak menjadi masalah karena ketika



suatu



penelitian



dilakukan



secara



obyektif



baik



dengan



menggunakan metode kuesioner, wawancara atau yang lainnya, maka hasilnya kebenaran objektif. Kebenaran seperti ini justru akan mendukung kebenaran agama itu sendiri 4. Level Strategi Yang dimaksud level strategi di sini adalah level pelaksanaan atau praksis dari proses pembelajaran keilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan pengajar menjadi



kunci



keberhasilan



pembelajaran



berbasis



paradigma



interkoneksitas. Di samping kualitas-kualitas ini, pengajar harus difasilitasi dengan baik menyangkut pengadaan sumber bacaan yang harus beragam serta bahan-bahan pengajaran (teaching resources) di kelas. Demikian pula pembelajaran dengan model pembelajaran active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi keharusan.



10



BAB 3 PENUTUP Kesimpulan 1. Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. 2. Islamisasi adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. 3. Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-interdependentif, artinya eksistensi (keberadaan) ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu 4. Secara



epistemologis,



hubungan



ilmu



dan



agama



bersifat



intagratif-



komplementer, artinya seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu dan agama saling melengkapi satu sama lain. 5. Secara aksiologi, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Nilai kebenaran, yang sering kali menjadi tolak ukur utama ilmu, merupakan kebenaran yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus. 6. Dengan demikian, kesimpulan akhir dari integrasi ilmu dan agama adalah bahwa integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang interdependentif-komplementerkualifikatif, yaitu integrasi yang dibangun merupakan kristalisasi dari landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis atas ilmu.



11



Daftar Rujukan



Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Prenada Media. Bagir, Zainal Abidin dkk. 2009. Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi. Bandung: Mizan Bakar, Osman .1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Radjawali Press. Cetakan Kedua. Arifin,



Zainul. Model-Model



Relasi



Agama



dan



Sains dalam http://ejournal.uin-



malang.ac.id/index.php/psikologi/article/view/353 (Diakses, 25 Maret 2019) Mahzar, Armahedi. 2005. Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi. Yogyakarta: Mizan baru Utama Muh, Syahrul. Makalah Konsep Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama dalam https://www.wawasanpendidikan.com/2014/10/makalah-konsep-integrasi-ilmuumum-dan-ilmu-agama.html (Diakses, 25 Maret 2019)



12