Integrasi Ilmu Dalam Konsep Berpikir [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ISLAM DALAM DISIPLIN ILMU / IDI “Integrasi Ilmu dalam Konsep Berpikir”



Disusun Oleh: MUHAMAD CHAIRUDIN 1501105077



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA JAKARTA, 2018



Integrasi Ilmu dalam Konsep Berpikir A. Konsep dan Metode Berpikir filsafat dapat difahami sebagai suatu cara berpikir mendalam, berpikir sistematis, berpikir logik (bebas tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan berpikir menyeluruh (tidak dibatasi hanya pada satu kepentingan kelompok, dan tidak parsial, tetapi untuk seluruhnya. Berfilsafat berarti berpikir yang tidak hanya dari satu sudut pandang, tidak parsial (berpikir holistik, yakni melihat sesuatu dari berbagai segi, berpikir konsekuen, tidak tanggung-tanggung, liar, terus menerus, konsisten, melepaskan diri dari ikatan simpul-simpul yang bisa jadi sementara ini ada dimasyarakat diusut sampai ke akar persoalan melalui kemampuan akal, sehingga hasil pemikirannya dapat diberlakukan kepada persoalan yang umum/universal termasuk persoalan dakwah. Sebagaimana dimaklumi bahwa filsafat pada umumnya bersumber pada akal secara utuh. Sedangkan filsafat dakwah, yang menjadi sumber utamanya adalah al-Qur'an. Akal merupakan alat untuk menggali/mengkaji ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat Quraniyah. Al-Qur'an adalah kitab dakwah juga merupakan pesan dakwah Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dan ummat manusia, sekaligus merupakan sumber utama yang menjelaskan mengenai dakwah itu sendiri. Prinsip dasar berpikir dalam filsafat dakwah yang dapat diturunkan dari al-Qur'an, antara lain, adalah: 1. Berpegang teguh pada etika ulul al-bab Dalam surat Ali Imran ayat 190-191 terkandung intinya bahwa orang-orang yang mampu menggali segala potensi yang ada di alam ini adalah mereka yang di sebut Ulul Albab. Sosok ulul al- bab adalah orang yang mampu menggunakan potensi pikir dan potensi dzikir secara tawazun (seimbang). Berpegang pada etika ulul al-bab tersebut dapat diturunkan prinsip-prinsip dasar berpikir 2. Memikirkan, memahami, menghayati dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah sebagai objek pikir, baik ayat kauniyah dan segala hukumnya (realitas alam dan hukum alam) maupun ayat-ayat Qur'aniyah melalui petunjuk dan isyarat ayat-ayat al Qur'an tentang "aql yang terdiri dari 49 kali penyebutan dalam lima bentuk kata kerja: (a) 'aqaluh; (b) ta'qilun; (c) na'qilu ; (d) ya'qiluha; (d) ya'qilun. Berpikir itu sangat penting, apalagi mengetahui metodologi yang akan menjadi penuntun ke arah berpikir benar dalam menegakkan kebenaran yang sebenar-benarnya.



Langkah-langkah berpikir filosofis berdasarkan al-Qur'an dapat dirumuskan prinsipprinsip sebagai berikut: 1) Karena kedudukan dan peranan berpikir begitu penting, al-Qur'an tidak saja memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah metodologis serta teknis penggunaan akal dengan metode dan teknis yang lurus dan meluruskan ke arah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq). Bahkan, jika kandungan al-Qur'an diteliti dan dikaji akan kita temukan paling tidak langkah-langkah sebagai berikut: a) Al-Taharrur min quyudi al-'Urf wat-Takholush 'an Aghlalit-taqlid. Yaitu upaya membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan. Langkah ini disebut metode ilmiah praktis (minhaz 'ilm amali). Karena itu, al-Qur'an mengecam keras terhadap oran-orang yang mengatakan: "Kamu hanyalah mengikuti apa-apa yang telah kami dapatkan dari nenek moyang kami, dengan kecaman: (apakah mereka akan mengakui juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk". (QS:2:170). b) Al-Ta'amul wa al Musyahadah. Yaitu langkah meditasi (merenung) dan pencarian bukti atau data ilmiah empirik. Ini berarti tidak menerima pendapat yang tidak dibarengi pembuktian praktis secara logis. (QS:al-Anam:64; QS:az-Zukhruf: 19) c) Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra Yaitu langkah analisis, pertimbangan, dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan berpedoman pada prinsip-prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran filosofis dari data-data empirik yang ditemukan. (QS: AlA'raf:185; Adz-Dzariyat 21). d) Al-Hukm mabni alad-Dalil wa al-Burhan. Yaitu langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan atas argumen dan bukti ilmiah. Langkah ini menolak pola pemikiran yang berdasar pada perasaan dan hawa nafsu serta subjektivitas, karena pada kenyataannya akan membutuhkan pengkajian yang bersifat umum dan terkadang berkaitan erat dengan hukum alam (sunatullah) apapun kesimpulannya (QS: An-Najmu:23;Shod:26 Al-Qoshosh: 50).



e) Al-Qur'an memberikan tuntunan agar dalam kegiatan ilmiah digunakan tiga potensi instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahun secara terpadu (QS:16:78). Ketiga instrumen itu adalah: (1) al-khowas al-maehaqoh (= ketajaman indra); (2) Al -'aql al-bahis al-mundlam); (3) al-wijdan naqy al-mulham (=kejernihan nurani yang terilhami) . 2) Kaidah-kaidah penggunaan akal Agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-Qur'an meletakkan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal. Kaidah-kaidah itu antara lain sebagai berikut: a) 'Adam tajawuz al-had (Tidak melampau batas) b) Al-taqdir wat-taqrir (Membuat perkiraan dan penetapan) c) Takhsis qobl al-bahts (membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian). d) 'Adam al-mukabarah wa al-'inad (Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran). e) Al-muraja'ah wa al-mu'awadah (melakukan chek dan rechek). f) Al-Istimsaq bi al-haq (berpegang teguh pada kebenaran) g) Al-Bu'd 'an al-ghurur (menjauhkan diri dari tipu daya) 3) Mengenai al-haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan dalam kegiatan berpikir filosofis. 4) Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek pikir. Oleh karena itu, kerap terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan berpikir 5) Madzhab berpikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat diiqtibas (adopsi) secara terpadu 6) Menggunakan metode filsafat Islam yang sudah dikembangkan oleh para filsof muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat. Paling tidak, terdapat empat macam metode yang dapat digunakan bagi filsafat dakwah, yaitu sebagai berikut: a) Metode deduktif dari filsafat peripatetik (masyaiyah), secara eksklusif, metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi (burhan)



b) Metode iluminasi (isyroqiyah), metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan demonstrasi juga bersandar pada usaha penyucian jiwa (nafs) dalam menemukan realitas yang mendasari alam semesta. c) Metode pengembaraan dari irfan, metode ini bersandar semata pada penyucian jiwa berdasarkan konsep menempuh jalan menuju tuhan dan mendekati kebenaran. Metode ini berusaha bukan hanya menyingkap realitas tetapi juga mencapainya. d) Metode kalam, metode ini bersandar pada deduksi rasional disertai prinsip kelembutan (kaidah alluthf) dan mendahulukan segala sesuatu yang lebih baik (wujub al-Islah). 7) Model pemikiran filosofis dakwah menurut Amrullah Ahmad (l996), berangkat dari hakikat ilmu dakwah, yakni: a) Ilmu mebangunkan dan mengembalikan manusia pada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia serta meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut al-Qur'an dan Sunnah. b) Ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi ummat Islam dan ilmu rekayasa masa depan ummat dan perdaban Islam. Metode pemikiran filosofis dakwah dibangun dengan mendasarkan pada konsep Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun aksiologi, epistemologi, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu pada hukum-hukum berpikir dari ayat qur'aniyah dan hukumhukum yang terdapat dalam ayat kauniyah .



B. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu 1. Ontologi Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum. Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.1 Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial, kemudian disusunlah uraian ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang filsafat yang paling sukar.



1



Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013



Jujun S Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer menyebut bahwa dimensi Ontologis (hakikat apa yang dikaji) meliputi metafisika, asumsu, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu dan batas-batas penjelajahan ilmu. 2 1) Tafsiran Metafisika Tafsiran yang paling awal dilontarkan manusia dalam menyikapi alam di sekelilingnya ini, yaitu terdapatnya wujud-wujud yang bersifat ghaib dan wujudwujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Kita bisa menyaksikan adanya kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang masih dianut sebagian masyarakat kita. Namun supernatural ini mendapat tantangan dari paham naturalisme yang menolak adanya wujud-wujud supernatural di balik kejadian-kejadian alam. Dalam hal ini matrealisme yang notabene paham yang berdasarkan naturalism menjelaskan bahwa segala gejala alam yang terjadi bukan dikarenakan wujud-wujud ghaib melainkan oleh kekuatan alam itu sendiri yang dapat diketahui dan dipelajari. 2) Asumsi Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi “andaian” mengenai objek-objek empiris, asumsi diperlukan untuk memberikan arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan melalui pernyataan asumtif. Sebuah pengetahuan dapat dikatakan benar sepanjang kita menerima asumsi-asumsi yang diajukan. Secara terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris, yaitu:3 a) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain dalam hal bentuk, struktur sifat, dan seterusnya. Dari model ini beberapa objek yang seupa dapat dikelompokkan dalam satu golongan, dan model klasifikasi ini merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya. b) Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, anggapan ini tidak menuntut adanya kelestarian yang absolut, oleh karena itu, ilmu menuntut adanya kelestarian yang relatif. c) Determinisme, setiap kejadian tidak terjadi secara kebetulan tapi sudah mempunyai pola-pola tertentu, misalnya gerakan-gerakan planet dan tata surya yang bergerak secara teratur. Disini ilmu tidak menuntut adanya hubungan 2 3



Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo PERSADA, 2003), hal.118 Ibid,. hal.119



sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian diikuti kejadian yang lain. Determinisme



dalam



pengertian



ilmu



mempunyai



konotasi



peluang



(probalistik).4 3) Peluang Teori peluang merupakan dasar dari statistika. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, di mana keputusan manusia harus didasarkan pada kesimpulan ilmiah yang bersifat relative. 5 4) Batas-batas Penjelajahan Ilmu Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Ilmu mempelajari pada jangkauan pengalaman manusia, hal ini karena ilmu sebagai alat bantu manusia dalam menanggulangi (menyelesaikan) masalah-masalah yang dihadapi manusia sehari-hari. 2. Epistemologi Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya. Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini ? dan apa sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini Sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan 4 5



Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo PERSADA, 2003), hal.120 Ibid.



yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya, karena konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek. Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu. Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren



dan logis sementara empirisme memberikan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran. 6



3. Aksiologi Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral? Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik ilmuan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bancana bagi terancamnya perdaban perkawinan Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua kelompok: (1) Ilmu Bebas Nilai Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543 mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan



6



Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013



nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.7 Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilainilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsepkonsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russell menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dengan tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia. Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.8 Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral. Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikirannya dan penelaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif. 7 8



Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013 Ibid.



Perlunya penyatuan ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa alasan, namun yang penting dicamkan adalah pesan Einstein pada masa akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali pada kita”. Adapun permasalahan dari keluhan Einstein adalah pemahaman dari pemikiran Francis Bacon yang telah berabad-abad telah mengekang dan mereduksi nilai kemanusiaan dengam ide “pengetahuan adalah kekuasaan”. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai (2) Teori tentang nilai Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati.9 Walaupun para filosof berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan. Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.10 Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam



9



Bahrum, “Ontologi Epistemologi dan Aksiologi”, Sulesana , Volume 8 No.2 tahun 2013 Ibid.



10



perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi suatu perbuatan baik dan buruk. Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari. Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan pengalamanpengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan. Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika. Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga kadang orang memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai ruhani.



C. Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang Sistematis dan Komprehensif Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahada dengan menggunakan al-syiddah yang artinya menjadi satu. Tauhid sama dengan al Wawu wa al-Ha’u wa al-Dalu yang aslinya wahid menunjuk pada makna pengesaan.11 Setiap orang memiliki pola pikir yang berbeda dari yang lain. Cara pandang yang mempercayai tuhan berbeda dengan mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “islamisasi”. Dalam konteks Islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al-ilmi)-nya, bukan ilmu itu sendiri. Begitu pula yang harus mengakui bahwa manusia berada dalam suasana dominasi ketentuan Tuhan secara metafisik dan aksiologis adalah manusia selaku pencari ilmu, bukan ilmu pengetahuan. Integrasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ini memiliki banyak arti penting bagi kaum muslimin. Pertama,



11



Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandanngan Fakhrudin Ar-Razi”, Jurnal TSAQOFAH, Vol.9 No.2, November 2013



kepentingan akidah.12 Islam adalah agama tauhid yang menekankan kepada keesaan allah. Islam semata-mata karena allah, iradah, kalimah, perintah dan larangan-nya, dan sunah dan aturan-nya di alam dunia dan kehidupan ini. tidak ada perubahan dan pertentangan di dalam sunah-nya. hal ini tentunya menuntut adanya pengetahuan terhadap sunah-nya itu berikut dengan segala rahasia, susunan dan rinciannya. Islamisasi ilmu merupakan langkah yang penting untuk kembali kepada warisan utama dari pengetahuan Islam untuk merekonstruksi kebangkitan kembali peradaban Islam yang unggul. dengan kembali kepada sumber utama dari peradaban Islam, yaitu sumber wahyu Ilahi, umat Islam akan terhindari dari perasaan rendah diri dan taklid buta yang “…beranggapan bahwa segala sesuatu yang bersumber dari Barat—dari filsafat hingga etika, dari teori-teori sosial hingga prinsip-prinsip keindahan—adalah lebih unggul.”13



Lebih lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Umat islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu, umat islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya. Karena realitasnya, saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan umat manusia. Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empiric dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Alquran dan Sunnah nabi, sehingga umat islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat islam lain, khususnya Barat.14 Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejad abad ke-9, meski mengalami pasang-surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu ini menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda. Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusiapencari ilmu pengetahuan-mendapatkan ilmu itu. Gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu islam dari ajaranajaran Alquran dan Hadis. Integrasi keilmuan Al-Farabi dimanifestasikan dalam hierarki 12



Fauzi, A. (2017). Integrasi Dan Islamisasi Ilmu Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 1-18. 13 Ibid. 14 Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo PERSADA, 2003), hal.145



keilmuan yang dibuatnya.Paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non-Muslim, khususnya pandangan ilmuwan barat sehingga umat islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas ajaran agamanya. Integrasi antara ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum berarti usaha mengislamkan atau melakukan purifikasi (penyucian) terhadap ilmu pengetahuan produk barat yang selam ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas islami.



DAFTAR PUSTAKA Arroisi, Jarman. 2013. “Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandanngan Fakhrudin ArRazi”.dalam Jurnal Tsaqafah Volume 9 Nomor 2. Gontor: Institut Studi Darussalam Gontor Aulia, Rihlah Nur. 2015. “Berfikir Filsafat:Sebagai Pembentukan Kerangka Berfikir Untuk Bertindak” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an:Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani Volume 11 Nomor . Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Bahrum, B. (2013). Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman, 8(2), 35-45. Ekawati, Dian. 2013. “Reorientasi Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam Perkembangan Sains” dalam Jurnal Tarbawiyah Volume 10 Nomor 2. Lampung: Institut Agama Islam Negeri. Fauzi, A. (2017). Integrasi Dan Islamisasi Ilmu Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 1-18. Nata, Abuddin dkk. 2013. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Wardi, M. (2014). Problematika Pendidikan Islam Dan Solusi Alternatifnya (Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis). TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 5469.