Artikel Fisafat Ilmu Artikel Konsep Integrasi Ilmu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Konsep Integrasi Ilmu Dalam Pandangan Islam Ujang Supyandi Wawan Ridwan Depi Kurniadi Isomudin Jajang Rahmat Mulyana



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYAMSUL ULUM KOTA SUKABUMI email : [email protected]



Abstract: Article with the title the Concept of Integration of Science in Islam’, it discusses describing and concepts between sciences in Islam. Science we will describe later, is a system of meaning of reality and truth, based on revelation supported by reason and intuition. The method used in this study uses the method or literature study (library research). Literature study can be interpreted as an activity relating to the method of collecting library data, reading and recording and processing research materials. With nadzar and fikr processes, ratios will be able to articulate, make propositions, express opinions, argue, make analogies, make decisions, and draw conclusions. In the Islamic worldview, science is closely related to faith, ‘aql, qalb, and taqwa. Not only is knowledge systematically gathered, but knowledge is also an understanding. Where to calculate the haq Of course you will not argue with the haq. However, over time, hegemony and colonialism caused Muslims to replace and apply the concept of Western knowledge that is blindly. This attitude certainly causes confusion. So, trying to develop and develop the concept of science in the Qur'an can be made the basis for formulating the basis of knowledge in Islam. Keywords: Integration of knowledge, Islam worldview, and scientific methods. Abstrak: Artikel dengan judul ‘Konsep Integrasi Ilmu dalam Islam’, ini bertujuan memaparkan konsep intergrasi ilmu dalam Islam. Ilmu sebagaimana akan kita uraikan nanti, merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Metode yang digunakan dalam kajian ini menggunakan metode atau pendekatan kepustakaan (library research). Studi pustaka dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Dengan proses nadzar dan fikr, rasio akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Dalam worldview Islam, ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwa. Tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi ilmu juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq. Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



1



dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan barat secara membabi buta. Sikap ini tentu saja menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Maka, upaya menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur‘an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan dalam Islam. Kata kunci: Integrasi ilmu, pandangan dunia Islam, metode keilmuan.



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



2



Pendahaluan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. An-Nahl 16: Ayat 78 :



‫ص َر َوا اْل َ فْئِ َدةَۙ  ل ََعلَّ ُك ْم‬ ٰ ْ‫الس ْم َع َوا اْل َ ب‬ َّ ‫َوا ل ٰلّهُ اَ ْخ َر َج ُك ْم ِّم ۢنْ بُطُْو ِن اَُّم ٰهتِ ُك ْم اَل َت ْعلَ ُم ْو َن َش ْيــئًاۙ   َّو َج َع َل لَـ ُك ُم‬ )٧٨ : ‫اية‬: ۱٦‫ النحل‬: ‫تَ ْش ُك ُر ْو َن (القران سوة‬ wallohu akhrojakum mim buthuuni ummahaatikum laa ta'lamuuna syai`aw wa ja'ala lakumus-sam'a wal-abshooro wal-af`idata la'allakum tasykuruun Artinya : "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl 16: Ayat 78). Achmad Baiquni menegaskan bahwa “Sebenarnya segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam al-Qur’an”.1 Ayat rujukan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tidak dimiliki oleh agama ataupun kebudayaan lain. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Sekaligus juga membuktikan betapa tingginya kedudukan sains dan ilmu pengetauan dalam al-Qur’an. Dalam konteks ini, al-Qur’an telah memerintahkan kepada manusia untuk selalu mendaya gunakan potensi akal, pengamatan, pendengaran dengan



semaksimal mungkin,2 sehingga melahirkan beragam ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri. Pada era baru sekarang, diskursus mengenai integrasi ilmu dan agama makin penting dan menarik. Integrasi atau integralisme diakui sebagai salah satu ciri abad baru ini.3 Jika era modern menekankan spesialisasi, maka era passca modern justru menekankan integralisme yang dapat menghilangkan sekat-sekat pembatas tak hanya dalam artifisik teritorial, melainkan juga dalam arti yang lebih luas seperti hilangnya batas-batas disiplin keilmuan yang selama ini dijaga dan dipertahankan secara ketat. Pendekatan dan epistemolgi keilmuan pun cenderung bergeser dari pendekatan kotomik-atomistik ke arah pendekatan inter bahkan multi disipliner. Membangun ilmu pengetahuan adalah setara dengan membangun peradaban. Dalam konteks ini, pembahasan dan pengembangan ilmu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan lain,termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak akan pernah lepas dari pengaruhpengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi. dari sini, intergrasi ilmu dan agama menjadi penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-halyang bersifat seharusnya “moral, agama” misalnya, pertanyaan, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? di mana batas-batas wewenang penjelajajahan keilmuan? ke arah mana pengembangan keilmuan harus dilakukan?. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kini menjadi penting, dan untuk menjawabnya para Ilmuan mau tak mau harus berpaling pada moral dan agama. Ini 1



Achmad Baiquni, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (Yo-yakarta: Dana Bakhti Prima Yasa, 1997), hlm. 17 2 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghad- pi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 288. 3 Baiti, Rosita; Razzaq, Abdur. (2017). Esensi Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan, Wardah 18 (2), 163-180. http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/view/1776. Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



3



berarti diskusi mengenai integrasi ilmu yang berkait dengan agama merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Pembahasan Istilah ilmu berasal dari kata Latin Scientia/Scio/Scire yang berarti “pengetahuan”. Kata ilmu juga muncul dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata Alima, yang juga memiliki arti “pengetahuan”.  dan dalam arti luas, ilmu adalah setiap basis pengetahuan sistematis atau praktik preskriptif yang mampu menghasilkan prediksi. Ilmu pengetahuan juga dapat dipahami sebagai teknik atau praktik yang sangat terampil. Bila ditinjau dari jenis katanya 'pengetahuan' termasuk dalam kata benda, yaitu kata benda jadian yang tersusun dari kata dasar 'tahu' dan memperoleh imbuhan 'pe - an', yang secara singkat memiliki arti 'segala hal yang berke- naan dengan kegiatan tahu atau mengetahui. Pengertian pengetahuan mencakup segala kegiatan dengan cara dan sarana yang digunakan maupun segala hasil yang diper- olehnya. Untuk memahami lebih mendalam tentang pengertian 'pengetahuan', kita perlu memamahi tindakan 'mengetahui'.4 Sebagaimana kegiatan yang dilakukan oleh manusia memiliki akibat atau hasil, demikian pula tindakan 'mengetahui' tentu saja juga menghasilkan sesuatu, yaitu 'pengetahuan'. Pada hakikatnya pengetahuan merupakan segenap hasil dari kegiatan mengetahui berkenaan dengan sesuatu obyek (dapat berupa suatu hal atau peristiwa yang dialami subyek), misalnya: pengetahuan tentang benda, tentang tumbuh-tumbuhan, tentang binatang, tentang manusia, atau pengetahuan tentang peristiwa peperangan. Kegiatan mengetahui merupakan kegiatan mental, yaitu kegiatan akal pikir. Untuk memperoleh pengetahuan, pertama-tama menusia berusaha mencerap berbagai hal yang dialaminya, yang diindera, yang dirasakannya, yang dikehendakinya, dan yang dipikirkannya. Berbagai hal yang dicerap tersebut dipilah-pilahkan dalam kerangka ruang dan waktu; perlu dibedakan keterkaitan dan kedekatan hubungan antara yang satu dengan yang lain, perlu dilihat kronologi atau keberurutannya dalam waktu antara yang satu dengan yang lain. Berdasar keterkaitan antara yang satu dengan yang lain, hal-hal yang dicerap tadi dapat memiliki berbagai kemungkinan: dapat memiliki hubungan tetap yang bersifat permanen (essensial), dapat memiliki hubungan yang bersifat sementara dan kebetulan (aksi- dental), dan dapat pula tidak memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh pertama: berdasar pengalaman dapatlah dilihat bahwa sebatang besi setelah terkena jilatan api, untuk beberapa saat kemudian ternyata besi tersebut terasa panas, dan bila dipanaskan terus besi akan terasa semakin panas dan kelihatan memerah. Dari contoh ini dapat diperoleh pengetahuan bahwa besi yang dibakar ternyata terasa panas, dan semakin lama dibakar akan semakin meningkat panasnya, dan bahkan besi tersebut dapat terlihat memerah. Contoh kedua: berdasar pengalaman dapatlah dicerap melalui indera bahwa binatang yang namanya kambing pada umumnya dapat dilihat sebagai yang memiliki empat kaki, satu ekor, dan dapat didengar sebagai yang mengembik.



4



Drs. Paulus Wahana, Mag.Hum. FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN 2016 Yogyakarta : Pustaka Diamond , 2016) hlm. 46



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



4



Pada dasarnya ilmu pengetahuan digunakan untuk menjawab atau memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sehingga dengan majunya ilmu pengetahuan, tingkat kesejahteraan hidup manusia akan meningkat. Perkembangan ilmu pengetahuan pada empat dasar warsa terakhir banyak di warnai oleh para filosofi baik Barat maupun Timur, telah menjadikan ilmu pengetahuan yang terlalu rasionalistik pada gilirannya menghampakan manusia. Krisis ilmu pengetahuan modern ini telah sampai pada krisis landasan filososifs. Pondasi epistemologi, positivisme-rasionalisme yang digunakan ilmu pengetahuan modern sebagai topangan berfikir secara lambat laun tapi pasti telah meniadakan keberadaan nilai terutama nilai agama atau menafikan keberadaan Tuhan. Dengan istilah yang lain, di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas.5 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas zaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu tema bagi kehidupan modern. Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya, sebagai dikutip Syafiq A. Mughni menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai The Plight of Modern Man, nestapa orang-orang modern. Pengertian dan Tujuan Integrasi Salah satu kontribusi signifikan Filsafat Ilmu bagi perkembangan dan kemajuan ilmu adalah menentukan landasan filosofis bagi ilmu, baik yang berdimensi ontologis, epistemologis, maupun aksiologis (sebagaimana yang telah dipaparkan di atas). Kontribusi ini menjadikan ilmu sebagai salah satu instrumen intelektual yang bergerak menuju context of discovery, bukan hanya terhenti pada context of justification yang stagnan dan monolitik. Ilmu telah mampu membuka diri dan keluar dari cirinya yang eksklusif menjadi lebih inklusif, merespons keragaman, dan terintegrasi (terpadu) dengan berbagai aspek kehidupan manusia dalam arti yang luas.6 Dewasa ini ilmu telah berkembang demikian pesat dengan munculnya pendekatan-pendekatan baru, seperti pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan sebagainya. Ilmu bahkan telah menjadi semacam way of life dan setiap aspek kehidupan manusia kini terlibat dengan praktek, proses, dan produk-produk kegiatan ilmiah. Manusia pun secara sadar atau tanpa sadar cenderung berkehidupan dengan “caracara ilmiah”, atau sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ilmiah pada umumnya. Perkembangan ilmu yang demikian pesat tentu saja tidak terlepas dari karakteristiknya yang semakin terbuka, dan terintegrasi dengan kehidupan manusia. Secara lebih eksplisit, integrasi ilmu dengan berbagai aspek kehidupan tercermin dari pola hubungan timbal balik antara ilmu dengan aspek-aspek utama kehidupan manusia, yaitu: Teknologi, Kebudayaan, Filsafat, dan bahkan Agama sebagai salah satu institusi sakral dalam kehidupan manusia. Membicarakan tentang integrasi berarti berupaya untuk memadukan antara sains dan agama untuk menciptakan format baru hubungan sains (ilmu pengetahuan) dan Islam dalam upaya membangun kembali sains Islam yang selama ini dipandang tidak ada. 5



F. Nashori, Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 15. Dr. Saifullah Idris, S. Ag., M. Ag. Dr. Fuad Ramly, M. Hum., Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (Yogyakarta : Darussalam Publishing, 2016) hlm.141 6



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



5



Agama dan sains berbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba untuk menjelaskan kebenaran. Metode agama umumnya bersifat subyektif, tergantung pada intuisi/pengalaman pribadi dan otoritas nabi/kitab suci. Sedangkan sains bersifat obyektif, yang lebih mengandalkan observasi dan interpretasi terhadap fenomena yang teramati dan dapat diverifikasi. 1. Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk menjadikan ajaran agama Islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan lil’alamin. Bagi komunitas Muslim, Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradaban secara menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk didalamnya ilmu pengetahuan. 2. Sedangkan yang terjadi pada intelektual spiritual Barat, menurut Hossein Nasr, itu disebabkan karena Barat telah menduniawikan (mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak dengan yang metafisik. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang berbeda.Salah satu implikasi di atas memunculkan banyak reaksi dari beberapa pihak, sains modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi kalangan pendidikan Islam, kemudian, hal ini menjadi isu yang besar: yakni dikotomi agama dan sains. Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya kesadaran di kalangan dunia Islam yang dihadapkan dengan sains modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosofi dan Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di wilayah teknologi. 3. Istilah Islamisasi untuk pertama kali sangat populer ketika konferensi Dunia yang pertama kali tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang bersifat magnis- sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya. 4. Islamisasi dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatankekuatan tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas. Sedang Islamisasi dalam kontek sains adalah suatau upaya integrasi wawasan objek sains yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi kehidupan kaum Muslimin. 5. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut dilakukan dengancara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap komponen komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrdview Islam), serta menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha integrasi ini, bagi umat Islam tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan modern. Bagi Osman Bakar, integrasi sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi sains modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip -prinsip Islam. Prinsip Intergasi Ilmu Dalam Islam Pada hakikatnya bahwa manusia itu adalah bukti kekuasaan Allah dalam menciptakan makhluknya, Allah yang menciptakan manusia, mendisegn, merancang dan menyediakan segala sesuatunya baik ruhaniyahnya maupun jasadiyahnya serta segala Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



6



apapun untuk keberlangsungan manusia hidup di dunia dengan akal, emotional dan kemampunnya Allah telah berikan kepada manusia dalam pandangan Islam yang bersumber dari Al Quran Allah SWT banyak memberikan Ilmu pengetahuan, Informasi, Sejarah, Qisah, dan Hukum-hukum baik yang terjadi dimasa lampau maupun zaman yang akan manusia alami, didalam Al Quranulkarim banyak sumber ilmu pengetahuan yang Allah sampaikan. Al-Qur'an adalah kitab suci yang sangat memperhatikan pengetahuan pengetahuan. Jika pada saat Allah akan menciptakan Nabi Adam, Allah membekalinya dengan ilmu pengetahuan, maka pada lima ayat pertama yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad, juga berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Kalimat kalimat pertama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad adalah: kata: “iqra '(bacalah),' Allama (mengajar),“ al-Qalam ”(pena, alat untuk menulis ilmu). Sementara subyek dari ilmu pengetahuan adalah “al-Insan” atau manusia. Pada bagian lain, Al-Qur'an sangat banyak menggunakan kosa kata yang berkaitan dengan dunia ilmu pengetahuan seperti: ”Ilmu, ma'rifah, fikr, 'aql, tadabbur (menghayati), nazhar (melihat dengan otak atau mata), qira' ah (membaca), tilawah (membaca) dan lain sebagainya. Al-Qur'an sangat menghargai mereka yang ber ilmu pengetahuan. banyak ayat ayat yang mengisyarahkan tentang hal itu antara lain: 1. Malaikat melayani ber “sujud” kepada Nabi Adam, setelah Nabi Adam mampu mengtahui nama nama benda, apa yang tidak diketahui oleh Malaikat. 2. Orang yang berilmu disertakan dengan Allah dan para Malaikat dalam hal bersaksi tentang keesaan Allah (Ali Imran: 18). 3. Orang yang berilmu mampu memenangkan sayembara untuk mendatangkan singgasana ratu Balqis dari Yaman menuju Palestina dalam waktu yang sangat singkat (an-Naml: 40). 4. Binatang hasil binatang dari binatang pemburu yang telah diberi pengetahuan pengetahuan, seperti pemburu, hukumnya menjadi halal (al-Ma'idah: 5). 5. Orang yang berilmu berbeda dari orang yang tidak berilmu (az- Zumar: 9). Ayat ini tidak membedakan antara ilmu yang bersumber dari wahyu dan yang bersumber dari akal (filsafat). 6. Allah menyebutkan “ar-Rasikhun fil 'Ilmi” (mereka yang mendalam ilmu pengetahuannya) sebagai kelompok yang dipuji (Ali Imran: 7, an-Nisa': 162). Hadis hadis nabawi lebih banyak lagi penegasan akan pentingnya mencari ilmu dan penghargaan nabi kepada mereka yang berilmu. Diskursus Ilmu Umum dan Ilmu Agama Dalam kehidupan nyata kita melihat dunia keilmuan terbagi menjadi dua bagian, pertama: ilmu ilmu agama atau ilmu “Naqli”. Kedua: ilmu ilmu umum atau Ilmu “naqli”. Ilmu agama adalah ilmu yang bersandarkan kepada wahyu, seperti ilmu keislaman dan penunjangnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fikih, ilmu nahwu, shorof, balaghah, ilmu sirah nabawiyah, dan lain-lain. Sementara Ilmu Umum adalah ilmu hasil kajian filosofi / akal, seperti ilmu kedokteran, ilmu bumi, ilmu al-jabar, ilmu ukur, ilmu fisika, ilmu geometri, ilmu musik, olah raga dan lain sebagainya. Kedua rumpun ilmu tersebut sangatlah besar manfaatnya bagi masyarakat. Ilmu agama berfungsi untuk meluruskan jalan hidup manusia, sementara ilmu umum berfungsi Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



7



untuk menjadikan kehidupan manusia menjadi mudah dan sejahtera secara lahiriah. Imam Syafi'i dalam salah satu pernyataannya yang terkenal mengatakan: “Barang siapa menginginkan dunia, apalagi berbekal ilmu pengetahuan.  barang siapa yang ingin akhirat, tunggulah berbekal ilmu pengetahuan ”  (Lih. Tafsir as-Siraj al-Munir: 4/231, Maktabah Syamilah) Namun dalam realita masyarakat, ada yang memandang ilmu umum dengan sebelah mata, terjadi dualisme dalam memendang ilmu. Ada juga yang sebaliknya. Dari pola pikir berfikir semacam ini, berdampak pada sistim pendidikan di dunia islam. Kita tahu ada yang hanya melulu mengajar ilmu agama ansich. Pada pihak yang lain ada pendidikan yang hanya mengajarkan ilmu umum dan tidak ada pelajaran agama. Seperti sistem pendidikan yang ditanggulangi oleh Belanda pada masa lalu dan yang masih mengikutinya pada masa kini. Sebenarnya pendangan kedua tersebut perlu diluruskan. Keduanya berada pada dua kutub yang saling bersebelahan. Ilmu agama penting agar kehidupan bisa lebih dekat dan manusia bisa berjalan di jalan yang benar. Namun ilmu umum juga penting untuk kebutuhan hidup manusia baik primer (dlaruriyyat) maupun sekunder (hajiyat). Ilmu umum juga untuk kesejahteraan manusia dan kehidupan menjadi semakin mudah, lahannya juga lebih luas. Dari kedua kutub pemikiran itu ada kutub yang menyikapi perbedaan ini dengan bijak yaitu kutub yang menghargai. Implikasi dari ketiga kutub pemikiran ini tampak dari beragamnya sistim pendidikan di dunia islam. Al-Qur'an dan Integrasi Ilmu Pengetahuan Tidak bisa disangsikan lagi bahwa Al-Qur'an telah mengisyarahkan dengan jelas akan pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Al-Qur'an tidak salah satu diantara.inilah landasan idiil dalam masalah ilmu pengetahuan. Al-Qur'an dan Ilmu Naqli: Al-Qur'an adalah kitab hidayah yang memberikan bimbingan kepada manusia agar mereka selamat di dunia sampai akhirat. Al-Qur'an menghimbau kepada pembacanya untuk taat kepada Allah dan kepada rasulNya. Al-Qur'an juga menyeru untuk membaca, mempelajari kitab suci ini agar menjadi pedoaman dalam kehidupan. Seruan yang demikian ini mengharuskan adanya kelompok yang menekuni ajaran agama islam. Firman Allah dalam hal ini adalah:



‫َو َما َكا َن ال ُْم ْؤ ِم ُن ْو َن لَِي ْن ِف ُر ْوا َكٓا فَّةًۗ   َفلَ ْواَل َن َف َر ِم ْن ُك ِّل فِ ْرقَ ٍة ِّم ْن ُه ْم طَٓائَِفةٌـ لِّيَ َـت َف َّق ُه ْوا فِى‬ ‫الدِّيْ ِـن َو لُِي ْن ِذ ُر ْوا َق ْو َم ُه ْم اِ َذا َر َجعُْۤوا اِلَْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم يَ ْح َذ ُر ْو َن‬ wa maa kaanal-mu`minuuna liyangfiruu kaaaffah, falau laa nafaro ming kulli firqotim min-hum thooo`ifatul liyatafaqqohuu fid-diini wa liyungziruu qoumahum izaa roja'uuu ilaihim la'allahum yahzaruun. Artinya :



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



8



"Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah 9: Ayat 122) Yang menarik dari ayat diatas adalah penggunaan kata: “Tha'ifah” yang artinya kelompok kecil. Kata “Firqah” adalah kelompok besar. Artinya bahwa Allah tidak menghendaki semua manusia terjun ke bidang ilmu ilmu agama, tetapi Allah menghendaki yang terjun dalam menekuni ilmu agama adalah sebagian kecil saja. Dalam kenyataannya, para sahabat yang ahli dalam bidang ilmu agama, seperti ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih sangatlah sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Hal ini dapat diimplementasikan bahwa Allah tidak ingin membebani manusia dengan pembebanan yang berat dengan ilmu ilmu agama. Pada sisi lain, Jika kita meneliti lebih jauh, ternyata dari 6236 ayat yang ada di dalam Al-Qur'an, hanya sekitar 500 ayat saja-menurut perhitungan Imam al-Ghazaliyang bertalian dengan hukum (Lih. Al-Manar: 3/150 ). Syekh Abdul Wahhab al-Khallaf dalam kitabnya: “Ushul al-Fiqh wa Khulashah Tariks at-Tasyri 'al-Islami“ Juz 1/135 (Lih. Maktabah Syamilah): hitung ayat ayat hukum yang terkait dengan ”al-Ahkam al-' Amaliyyah ”yang terdiri dari Ahkam al-'Ibadat dan Mu'amalat. Ahkam 'Ibadat terdiri sekitar 140 ayat. Sementara ayat yang terkait dengan 'Mu'amalat ”sekitar 200 ayat. Selanjutnya Syekh Khallaf menghitung dengan rinci jumlah ayat yang terkait dengan bidang mu'amalat dalam Al-Quran sekitar 238 ayat saja dengan rincian sebagai berikut: 1. Hukum kekeluargaan (al-Ahwal asy-Syakhshiyyah): 70 ayat. 2. Hukum Perdata (al-Ahwal al Madaniyyah): 70 ayat. 3. Hukum Pidana: (al-Ahkan al-Jina'iyyah): 30 ayat. 4. Hukum Acara (ahkam al-Murafa'at): 13 ayat. 5. Hukum kelembagaan / undang undangan (al-Ahkam ad- Dusturiyyah): 10 ayat. 6. Hukum Hubungan Internasional (al-Ahkam ad- Dauliyyah): 25 ayat. 7. Hukum Ekonomi dan Keuangan (al-Ahkan al-Iqtishadiyyah wa al-Maliyyah): 10 ayat. Begitu juga yang dikemukakan oleh Yahya bin Husen, jumlah ayat ahkam sekitar 236 ayat saja (Lih. Mukadimah kitab “al-'Awashim min al-Qawasim, al-Wazir al-Yamani (w 840 h) Maktabah Syamilah). Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an lebih menitik beratkan pada masalah akidah. Bisa dikatakan bahwa tidak ada satu ayatpun dalam AlQur'an kecuali ada faktor akidahnya baik secara eksplisit atau implisit. Dalam perkembangan ilmu ilmu keislaman, kita menjumpai kaum muslimin berada pada periode kesuraman, yaitu sekitar abad ke 8-13 hijriah. Pada periode kaum muslimin tidak lagi mampu menampung banyak dalam pengembangan keilmuan. Karya mereka tidak lain hanya pengulangan dari masa sebelumnya. Jika hal itu terjadi pada ilmu ilmu keislaman, begitu juga yang terjadi pada ilmu ilmu umum. Masyarakat apatis terhadap ilmu umum, kecuali setelah koreksi gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh Rasyid Ridla, Amir Syakib Arselan, dan lainlain.7 Al-Qur'an dan Sain & Teknologi



7



https://pasca.iai-tribakti.ac.id/2017/01/23/integrasi-keilmuan-dalam-al-quran Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



9



Dalam Al-Qur'an ada istilah “Ulama”. istilah ini digunakan untuk mereka yang berpengetahuan yang mendalam baik bidang agama maupun dalam bidang umum. Kata ini terisi dua kali yaitu: pertama pada surah asy-Syu'ara ': 197 tentang Ulama Bani Isra'il. Kedua: pada surah Fathir: 28. Keduanya berada pada konteks ayat yang diatur mereka. Pertama adalah Ulama dalam bidang agama. Sedangkan ayat kedua bersifat lebih umum baik ulama bidang agama atau bidang umum mengingat konteks ayatnya tentang fenomena alam, karena yang terpenting adalah orang yang ahli dalam bidang keilmuan apapun yang dengan ilmunya itu mereka tahu akan kebesaran Allah, lalu mereka takut kepada Allah. Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya 'Ulumiddin” (Ihya': 1/16, Maktabah Syamilah) menjelaskan bahwa Ilmu pengetahuan itu terbagi menjadi dua bagian yang besar, pertama adalah Ulum Syar'iyyah seperti al-Qur'an, Hadis, atsar Sahabat, dll. Dan Ulum Ghair Syar'iyyah. Yang kedua ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu: yang terpuji (Mahmud), tidak terpuji (madzmum) dan mubah (boleh meneliti). Ilmu Ghair Syar'i yang terpuji terbagi menjadi dua bagian: ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah seperti ilmu yang sangat dibutuhkan oleh manusia seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), pertanian, pertenunan, menjahit menjahit, politik, bekam dan sebaginya. Dan ada pula yang hukum mempelajarinya merupakan “fadlilah” (keutamaan) saja. Seperti memperdalam ilmu kedokteran, ilmu hisab. Sementara yang mubah seperti ilmu syi'ir dan ilmu akhbar (sejarah). Al-Ghazali berkata:



‫فإن أصول الصناعات أيضا من فروضـ الكفايات كالفالحة والحياكة والسياسة بل الحجامة‬ ‫والخياطة فإنه لو خال البلد من الحجام تسارع الهالك إليهم وحرجوا بتعريضهم أنفسهم للهالك فإن‬ ‫الذي أنزل الداء أنزل الدواء وأرشد إلى استعماله وأعد األسباب لتعاطيه فال يجوز التعرض للهالك‬



)16 / 1( ‫بإهماله) إحياء علوم الدين‬ Artinya: dasar dasar ilmu terapan / eksperimental adalah bagian dari fardlu kifayah (kewajiban komunal) seperti: pertanian, pertenunan, politik, bahkan ilmu bekam dan menjahit menjahit. Sebab jika dalam satu negeri, tidak ada seorang yang menekuni ilmu ilmu ini, maka penduduk negeri itu akan kewalahan. Allah yang menurunkan penyakit, juga yang menurunkan obatnya. Allah memerintahkan kepada manusia untuk melakukan pencegahannya. Maka tidak boleh menelantarkan ilmu yang akhirnya menjadi sebab manusia akan sangat direpotkan dalam kehidupan mereka.   Ilmuwan Muslim. Dalam sejarah peradaban islam, terutama pada abad pertengahan, pergulatan muslimin dengan ilmu saintis dan teknologi demikian intensnya. Kita jumpai banyak ilmuwan muslim yang sangat berjasa kepada dunia. Merekalah yang membukakan pintu peradaban barat sehingga seperti sekarang ini. Diantara mereka adalah: 701 (Meninggal) = Khalid Ibn Yazeed = Ilmuwan kimia 721-803 = Jabir Ibn Haiyan = Ilmuwan kimia (Seorang ilmuwan kimia muslim populer) 740 = Al-Asma'i = Ahli ilmu hewan, ahli tumbuh-tumbuhan , ahli pertanian 780 = Al -Khwarizmi (Algorizm) = Matematika (Aljabar, Kalkulus), Astronomi 864-930 = Al-Razi (Rhazes) = Kedokteran, Ilmu Kedokteran Mata, Ilmu Kimia Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



10



980-1037 = Ibn Sina (Avicenna) = Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi Kitab al-Hayawan. Sebuah kitab berisi ensklopedia berbagai jenis binatang karya ahli ilmu hewan muslim al-Jahiz. Pada kitab ini al-Jahiz memaparkan berbagai macam teori, salah satunya mengenai interaksi antara hewan dengan lingkungannya. Langkah-Langkah Integrasi Ketika mengeluarkan suatu ide besar yang dikemukakan oleh para intelektual atau ilmuwan pasti ada suatu cara maupun langkah-langkah yang harus dilakukan agar tercapai suatu hal yang diinginkan. Dengan begitu penulis mengambil salah satu langkah dari tokoh yang memiliki konsep tentang integrasi. Ismail Raji Al-faruqi sebagai tokoh pemabaharu Islam yang membahas tentang integrasi agama dan sainsmemberikan suatu langkah-langkah yang sistematis untuk mencapai ide tersebut, diantaranya:8 Penguasaan Disiplin Ilmu Modern: Penguraian Kategoris mengenai disiplin-disiplin ilmu dalam kemajuannya di zaman sekarang harus dipecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi - metodologi, problema-problema, dan tematema yang mencerminkan daftar isi dalam sebuah buku teks (pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan. Survei Disiplin Ilmu: Apabila kategori-kategori disiplin ilmu telah dipilah-pilah, maka suatu survei secara menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu, seperti mengenai asal-usul dan perkembangannya serta pertumbuhan metodologinya, perluasan cakrawala wawasannya, sumbangan-sumbangan pemikiran yangberikan oleh para tokoh utama, memberikan bibliografi dengan singkat, dan mencantumkan karya-karya tepenting. Faktor Penghambat Dan Pendukung Integrasi Usaha-usaha yang dilakukan para pakar ilmuwan Muslim dengan berbagai upaya yang dilakukan menghasilkan berbagai gagasan yang terkonsentrasikan pada usaha integrasi agama dan sains. Berbagai macam faktor pendukung diupayakan pengamatan dan penelitian tentang berbagai faktor yang ditimbulkan seiring dengan semakin pesatnya kemajuan peradaban Barat. Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada dalam krisis. Dengarlah Gregory Bateson:“Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistimologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa.9 Diatas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupankehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masan mendatang.” Kemudian secara rinci Mujammil Qomar mengatakan bahwa yang diakibatkan oleh dikotomi agama dan sains menyebabkan: 1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid. 2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam. 8



Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 98 9 Syed M. Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hlm. 38 Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



11



3. Adanya dikotomi kurikulum 4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan 5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemuyrikan, kemunafikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang disebut sekulerisme. Demikian bahaya yang selalu mengancam dan terisolir kandasnya integrasi agama dan sains sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan kekuatan pendidikan dominasi Barat yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Akibat-akibat yang harus disadari adalah dengan penerapan pendidikan yang dikotomik itu pihak yang mengalami kerusakan atau kerugian bukan sekedar sistem dan lembaga pendidikan Islam saja, melainkan juga merugikan alumni pendidikan Islam, peradaban Islam, dan suasana kehidupan umat. Semua komponen ini tertimpa penderitaan yang berkepanjangan. Konsep Integrasi menurut Syed Muhammad Naquib A-attas Membandingkan antara Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer, sebagaimana yang disadari oleh al-Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagai filsafat sains; proses dan filsafat sains. Al-Attas menegaskan bahwa terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews). Wolrdview Islam merupakan pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang bukan hanya tampak oleh mata tapi juga hati kita yang mampu menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total baik yang fisik atau metafisik maka wolrdview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru‟yat alIslam lil-wujud). Terdapat perbedaan yang sangat fundamental yang tidak mungkin dikompromikan antara pandangan Islam dan Barat. Worldview Islam tidak berdasarkan dikotomis seperti obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual kontekstual. Akan tetapi, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode tauhidi di mana terdapat kesatuan antara kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif, sebagaiman para sarjana pada masa silam menggunakan berbagai metode dalam penyelidikan mereka. Realitas dan kebenaran dalam konsep Islam bukan semata-mata fikiran tentang alam inderawi dan peranan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia yang hanya menaruh perhatian terhadap dunia empiris saja. Naquib al-Attas beranggapan bahwa solusi dari permasalahan yang kita (Umat Islam) hadapi adalah dengan konsep integrasi agama dan sains yaitu Islamisasi. Menurut al-Attas, padaawalnya sains ada pada bentuknya yang Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman, bentuk fithrah sains sedidit demi sedikit berubah. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan proses sekulerisasi masyarakat yang terjadi di Eropa yang beberapa Tahun kemudian diekspor kedunia Islam. Definisi sekulerisasi yang menurut Naquib al-Attas paling sesuai adalah definisi yang diberikan oleh seorang teolog Belanda, Coernelius Van Peursen yang pernah menjabat Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Leiden. Van peursen mendefinisikan sekulerisasi sebagai



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



12



Pembebasan seseorang, pertama dari kontrol religius dan kemudian metafisis, terhadap pemikiran dan bahasanya. 10 Landasan Integrasi Integrasi agama dan sains adalah kerja-kerja kognitif dan spiritual yang terjadi secara bersamaan tanpa ada celah waktu. Sebelum “memisahkan “dan “mengeluarkan” ide-ide dan konsep-konsep yang tidak Islami, seseorang pertamatama harus mampu mengidentifikasikan semua itu dan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai pandangan dunia Islam berikut semua elemen dan konsepkuncinya. 11 Proses ini menurut Al-Attas senada dengan kalimat lā Ilāha Illallāllah (Tiada Tuhan Selain Allah) yang berisi dua klaus yang tersambung dalam satu kalimat. Klaus yang pertama lā Ilāha (Tiada Tuhan) adalah sebuah penolakan dari konsep-konsep serta elemen ketuhanan yang ada dialam semesta ini. Sedangkan klaus yang kedua Illallāllah (Selain Allah) adalah afirmasi bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang ada dan yang diakui. Kedua aksi ini, penolakan dan afirmasi terjadi secara simultan sehingga tidak terdapat celah yang kosong antara kedua aksi tersebut. Dengan demikian, integrasi agama dan sains juga bekerja secara simultan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, integrasi yang digagas oleh Al-Attas ini bisa dikatakan sebagai dekonstruksi atas sekularisasi dan melanjtukannya dengan melakukan rekonstruksi dengan cara meletakkan pondasi ontologi yang kokoh yang didasarkan atas prinsip kesatuan tauhid, yaitu bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah. Dari prinsip ini secara aksiologis diletakkan nilai-nilai moralitas adab, kemudian secara epistemologis dimulai denga bahasa, dibangun kerangka keilmuwan dengan cara mengintegrasikan semua sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu,intuisi, rasio, maupun empiris. Setelah mengetaui secara mendalam mengenai pandangan hidup Islam dan Barat serta konsep dan landasan integrasi agama dan sains, maka proses integrasi baru bisa dilaksanakan. sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek. Iluminasi (Ma‟rîfah) adalah ilmu yang diberkan Allah. Sebagai karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah. Berdasarkan ilmu yang benar. Manusia menerima ilmu ini melalui dzāuq dan kasf. Dzāuq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara langsung. Sedangkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan ruhani.Iluminasi ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu Yang diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orangorang bijak, para wali, dan ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known) melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara



10 11



Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka Salman), 1987, hlm. 88 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas, h 339 Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



13



keduanya dan keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi batinnya.12 Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajrîbat) tentang hal-hal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern.13 Sains bersifat empiris dan pencapaiannya menempuh jalan-jalan yang betingkattingkat ilmu pegetahuan sebagai sifat Allah SWT. Yang Maha Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa keterlibatan ilmu Metodologi Integrasi Metodologi Al-Attas dalam integrasi agama dan sains itu melalui tahap pengklasifikasian yang tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan sains, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Klasifikasi ini terbagi kedalam beberapa kategori umum bergantung pada berbagai pertimbangan. Dalam hal ini al-Attas mengklasifikasikan berdasarkan caracara untuk mempelajarinya terbagi menjadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma‟rîfah) dan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan. Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu dikalsifikasikan menjadi Fardhu Ain dan Fardhū Kifayāh. Ilmu iluminasi (Ma‟rifāt) merupakan ilmu Fardhu Ain, artinya ilmu yang harus dipelajari oleh setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akanmenanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.14 Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan ilmu Fardhū Kifayāh. Maksudnya yaitu ilmu pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja, maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah kewajiban bagi yang lain. 12 A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 hlm. 19 13 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 80 14 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, Ke-2, hal.1



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



14



Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan. Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan bukan hanya objek materil tetapi juga non-materil, atau makna dari realitas objek. Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia bukan dalam diri objek.pKonsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa maknapengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya, manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi. Adapun yang digunakan al-Attas dalam proses integrasi agama dan sains setelah apa yang dijelaskan diatas, selanjutnya adalah proses atau langkah yang saling berkaitan, yaitu:15 1. Proses Verifikasi, yaitu mengenali dan memisahkan unsur-unsur (4 unsur yang telah disebutkan sebelumnya) yang dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat, kemudian dipisahkan dan diasingkan dari tubuh pengetahuan kontemporer. Khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, ilmu-ilmu terapan juga harus dislamkan, khusunya dalam penafsiranpenafsiran akan fakta-fakta dalam formulasi teori-teori. 2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci, Dengan masuknya itu, maka akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi. Selanjutnya, al-Attas juga merincikan dan beberapa konsep dasar Islam yang harus dituangkan ke dalam setiap cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam adalah seperti berikut ini:16 a. Konsep agama (Dîn) b. Konsep manusia (Insan) Konsep ilmu (Ilm dan Ma‟rifālh) c. Konsep kearifan (Hikmah) d. Konsep keadilan (Adl) e. Konsep prbuatan yang benar (Amal sebagai adab) f. Konsep universitas (Kulliyah-Jami‟ah) Dalam penerapan praktisnya sangat terkait dengan dunia pendidikan. Konsep agama (dîn) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insan) kepada ruang lingkup. Konsep ilmu („ ilm dan ma‟rifālh) mengacu kepada isi. Konsep kearifan (hikmāh) kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep manusia (insan) dan ilmu (ilm dan ma‟rifāh). Konsep keadilan (adl) kepada pengembangan dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmāh). Konsep perbuatan yang benar (amal sebagai adab) kepada metode dalam hununggannya dengan konsep agama (dîn) – konsep keadilan (adl). Konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) dianggap penting karena berfungsi sebagai implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk tingkat rendah. 15



Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18 16 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 20-21 Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



15



Selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep kunci Islam, misalnya konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) yaitu harus ditransformasikan kepada para mahasiswa yang belajar di Universitas. Al-attas menolak pandangan yang menyatakan bahwa integrasi sains dan agama tidak bisa tercapai dengan melakukan stempelan Islami pada sains. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak berfaedah sebab unsur asing atau kuman penyakit itu masih terdapat pada tubuh Islam dan sains itu. Ia cuma akan menghasilkan sesuatu yang Islam pun bukan dan sekuler pun bukan. Penutup Pengembangan pendidikan agama Islam memerlukan upaya rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi : pertama, subject matter pendidikan Islam harus berientasi ke masa depan; kedua, perlu dikembangkan sikap terbuka bagi transfer of knowledge dan kritsis terhadap setiap perubahan; ketiga menjauhkan pandangan dikotomis terhadap ilmu (ilmu agama dan ilmu umum), tidak terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Karena “agama” dan “ilmu” merupakan identitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap diskursus tentang metodologi memerlukan sentuhan-sentuhan filsafat. Tanpa sense of philosophy maka sebuah metodologi akan kehilangan substansinya. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu visi epistemologis yang dapat menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap tiga arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma integralisme dan desekularisasi terhadap ilmu. Lebih dari itu dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya.



Daftar Pustaka



Assegaf, Era



Abd



Rachman.



(2004).



Membangun Format Pendidikan



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



Islam di



16



Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Bakhtiar, Amsal. (2005). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Baiquni, Achmad. (1997). Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: Dana Bakhti Prima Yasa. Baiti, Rosita; Razzaq, Abdur. (2017). Esensi Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan, Wardah 18 (2), 163-180. http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/view/1776. Dr. Saifullah Idris, S. Ag., M. Ag. Dr. Fuad Ramly, M. Hum. (2016). Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu. Yogyakarta : Darussalam Publishing. Drs. Paulus Wahana, Mag.Hum. (2016). FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN Yogyakarta : Pustaka Diamond. https://pasca.iai-tribakti.ac.id/2017/01/23/integrasi-keilmuan-dalam-al-quran Nashori F. (1996). Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: Sipress. Al-Faruqi, Ismail Raji.(1984). Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka. Keraf, A. Sony; Dua, Mikhael. (2001). Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius. Hasan, Muhammad Tholhah. (2005). Prospek Islam dalam Menghad- pi Tantangan Zaman. Jakarta: Lantabora Press. Kartenegara, Mulyadi (2003). Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar epistemology Islam. Bandung: Mizan.



Konsep Integrasi Ilmu Dalam pandangan Islam



17