Modul 2 Identifikasi Dan Asesmen Anak Tunalaras [PDF]

  • Author / Uploaded
  • widi
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL 2 PENDALAMAN MATERI IDENTIFIKASI DAN ASESMEN ANAK ANAK DENGAN HAMBATAN EMOSI DAN SOSIAL



Logo (Kosongkan)



Penulis Dr. Sunardi, M.Pd.



PPG Dalam JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Tahun 2018



DAFTAR ISI I.



Pendahuluan A. Rasionalisasi dan Deskripsi Singkat B. Relevansi C. Petunjuk belajar



II.



Kegiatan Belajar A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan B. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan C. Pokok-Pokok Materi D. Uraian Materi E. Rangkuman



III.



Tugas A. Tugas B. Tes Formatif C. Kunci jawaban



DAFTAR PUSTAKA



IDENTIFIKASI DAN ASESMEN ANAK ANAK DENGAN HAMBATAN EMOSI DAN SOSIAL



I.



Pendahuluan A. Rasionalisasi dan Deskripsi Singkat Salah satu hal penting bagi guru pendidikan khusus adalah melaksanakan tugas identifikasi dan asesmen peserta didik dengan hambatan emosi dan sosial. Identifikasi adalah proses menemukenali anak, sedangkan asesmen adalah proses pengumpulan data secara komprehensif tentang individu secara komprehensif untuk dijadikan landasan dalam pembuatan program tretmen, intervensi, atau pembelajaran. Modul bagian ini membahas tentang identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial, yang masing-masing meliputi prosedur dan tekniknya. Setelah mempelajari modul ini Anda sebagai peserta PPG Dalam Jabatan diharapkan dapat: 1) Menjelaskan pengertian identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial 2) Menyebutkan tujuan, fungsi, dan urgensi identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial 3) Menjelaskan teknik dalam identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial 4) menjelaskan prosedur identifikasi dan asesemen anak dengan hambatan emosi dan sosial Kompetensi-kompetensi tersebut sangat penting dan diperlukan bagi setiap guru, sebab dengan memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam identifikasi dan asesmen akan memberikan kesempatan luas bagi anak dengan hambatan emosi dan sosial untuk mendapatkan program layanan pendidikan khusus



sesuai



dengan



karakteristik,



permasalahan,



dan



kebutuhan



khususnya, sehingga upaya pengembangan potensinya secara optimal dapat dicapai. B. Relevansi Dengan dimilikinya pemahaman dan ketrampilan dalam asesmen dan intervensi anak dengan hambatan emosi dan sosial, yang meliputi pengertian, tujuan, fungsi, urgensi, serta teknik dan prosedurnya, maka dalam tahap berikutnya Anda diharapkan dapat menyusun dan melaksanakan program intervensi, tretmen, atau pembelajaran yang diindividualisasikan dengan tepat dan akurat sesuai kebutuhan khususnya. Dengan demikian akan sangat membantu kemudahan, kelancaran, dan kesuksesan anda untuk tampil sebagai guru professional. C. Petunjuk belajar Substansi pada modul ini akan memberikan penjelasan tentang identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial. Untuk itu Anda diharapkan dapat mencermati dengan baik mengenai uraian dan ilustrasi yang ada. Selain itu diharapkan pula untuk membaca berbagai referensi yang disarankan atau referensi lain yang relevan dengan konteks bahasan. Dengan demikian, usai mengikuti pembelajaran ini saudara diharapkan mampu menjelaskan konsep dasar, prosedur dan teknik



identifikasi dan



asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial. Kegiatan identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial hakekatnya adalah proses untuk menemukan individu yang termasuk dalam kualifikasi tersebut, sedang asesmen adalah proses untuk menggali data secara komprehensif tentang individu yang mencakup apa yang sudah dikuasai, apa yang belum, dan apa yang seharusnya dikuasai (kekuatan, kelemahan, dan kebutuhannya) untuk dijadikan landasan dalam menyusun program intervensi, tretmen, atau pembelajaran. Anda juga diminta untuk mengerjakan tugastugas yang telah disiapkan dalam modul ini dengan jujur dan sungguhsungguh.



II. Kegiatan Belajar A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan 2.c. Menguasai konsep teoretis identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan khusus. 3.c. Mampu melakukan identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan khusus. B. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan. 1. Menguasai konsep teoretis konsep dasar (pengertian, tujuan, fungsi, dan urgensi) identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial. 2. Menguasai prosedur dan teknik identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial. 3. Melakukan identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial secara sistematis dengan baik dan benar. C. Pokok-Pokok Materi Pokok-pokok materi dalam modul ini adalah: 1. Konsep teoretis konsep dasar identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial. 2. Konsep teoretis prosedur dan teknik identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial. 3. Konsep teoretis konsep dasar (pengertian, tujuan, fungsi, dan urgensi) asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial. 4. Konsep teoretis prosedur dan teknik asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial. D. Uraian Materi 1. Konsep Dasar Identifikasi Anak dengan Hambatan Emosi dan Sosial Identifikasi adalah proses menemukenali sesuatu berdasar kepada indikator atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Untuk identifikasi atau



penetapan apakah seorang termasuk dalam kategori mengalami gangguan emosi dan sosial atau tidak, bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal ini berbeda dengan ketika seseorang akan menetapkan apakah seseorang itu termasuk ke dalam kategori ABK yang lain, seperti: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, ADHD, atau yang lain. Secara umum, fungsi identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, yaitu: a. Penjaringan (screening), yaitu untuk menandai anak-anak yang termasuk dalam kualifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial sesuai dengan kriteria yang telah dditetapkan. b. Membedakan, yaitu untuk membedakan antara anak yang dimaksud dengan hambatan emosi dan sosial dengan anak-anak yang mengalami masalah prilaku lainnya atau nakal biasa, seperti banyak ditemukan pada anak-anak pada umumnya. c. Pengalihtanganan (referal), yaitu menetapkan apakah anak masih dapat



ditangani oleh guru yang ada di sekolah atau perlu



dialihtangankan ke lembaga atau pihak lain yang lebih berwenang atau lebih professional. d. Pengelompokan, yaitu untuk mengelompokkan mana anak dengan gangguan emosi dan sosial yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang masih dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler. e. Penempatan,



yaitu



menempatkan



bagi



anak



yang



sudah



teridentifikaksi pada layanan pendidikan khusus sesuai kebutuhan khususnya. f.



Perencanaan



program



pembelajaran)



secara



tindakan individual



(tretmen, sesuai



intervensi,



dengan



atau



karakteristik,



permasalahan, dan kebutuhan khusus masing-masing anak dengan hambatan emosi dan perilaku.



g. Evaluasi dan tindak lanjut, yaitu memantau keberhasilan, serta factor pendukung dan penghambat pelaksanaan program dan tindak lanjutnya. Dalam konteks pendidikan khusus, kegiatan identifikasi penting sebab anak-anak dengan hambatan emosi dan perilaku memiliki kebutuhan khusus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan khususnya atau untuk mengembangkan



potensinya



secara



optimal



diperlukan



layanan



pendidikan khusus, yang berbeda dengan pendidikan biasa. Ditinjau dari dampak yang ditimbulkan, perilaku anak-anak dengan hambatan emosi dan perilaku cenderung dapat merugikan atau bahkan membahayakan diri sendiri dan lingkungan. Oleh karena itu anak-anak ini perlu ditemukenali sesegera atau sedini mungin agar dapat segera diberikan layanan pendidikan secara khusus sesuai karakteristik, permasalahan, dan kebutuhan khususnya, sehingga tidak berkembang lebih berat atau parah yang pada akhirnya semakin sulit untuk diatasi. Secara umum terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam rangka identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, diantaranya terkait dengan: a. Kriterianya tidak mutlak, beragam, dan tergantung pada beberapa aspek. b. Situasi atau kondisi (tempat, waktu, dan umur anak). c. Kualitas penyimpangan d. kuantitas penyimpangan e. Motif yang mendasarinya, serta f.



Mudah tidaknya dipengaruhi.



Untuk itu, sebelum seseorang menetapkan bahwa seorang anak termasuk mengalami gangguan perilaku, aspek-aspek diatas perlu dipertimbangkan secara masak komprehensif.



dan terlebih



dahulu



dilakukan



kegiatan



evaluasi



Klaim atau label yang diberikan sebagai hasil proses identifikasi bahwa anak termasuk dalam kategori anak dengan hambatan emosi dan prilaku atau tunalaras, sering mengandung resiko penolakan dari orang tua. Untuk itu dalam identifikasi perlu dilakukan secara hati-hati serta disarankan untuk mengunakan pendekatan multi metode seperti melalui pengamatan, wawancara, dan tes seperti tes kematangan emosi, kematangan sosial, atau tes psikologi yang lain, serta menggunakan multi sumber seperti wawancara dengan orang tua, guru kelas, teman sebaya, serta yang bersangkutan. Dengan demikian diperoleh bukti yang banyak (multi evidences) terkait dengan ketunalarasannya. Secara khusus, dalam penetapan hambatan emosi dan sosial pada anak juga terkait langsung atau tidak langsung dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan anak itu sendiri, instrumen, dan pelaksana evaluasi (evaluator). Termasuk problem yang berkaitan dengan anak, yaitu: a. Keterbatasan pengalaman anak. b. Perbedaan jenis kelamain c. Kepribadian anak yang cenderung belum stabil (instability) d. Negativism e. Malu (sifat malu pada anak) f.



Sifat hiperaktivitas pada anak, dan



g. Dimensi kematangan. Sedangkan problem khusus yang berkaitan dengan instrumen, seperti: a. Terbatasnya instrumen tes psikologi yang baku b. Kewenangan c. Tidak mudahnya membuat instrumen yang valid sesuai dengan jenis gangguan prilaku pada anak d. Terbatasnya pemahaman anak tentang instrumen identifikasi yang mungkin tersedia. e. Masalah komunikasi dengan anak.



Sedangkan terkait dengan pelaksana evaluasi, problem khusus yang dihadapi diantaranya: a. Ketelitian dalam analisis data b. Sikap subyektif c. Keterampilan dalam menggunakan alat d. Pemahaman karakteristik anak e. Pemahaman instrumen Secara umum anak dapat dikatakan termasuk dalam kategori mengalami hambatan emosi dan prilaku (tunalaras) jika prilaku yang ditunjukkan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. serta lingkungan (masyarakat, orang tua, atau guru) sudah kewalahan dengan prilaku anak, sehingga diperlukan layanan khusus untuk membantu mengatasi masalaahnya. 2. Prosedur dan teknik identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial. Dalam kaitan dengan prosedur identifikasi anak berkebutuhan khusus, Fallen dan Umansky (1985) menjelaskan bahwa dalam identifikasi terdapat empat prosedur yang perlu ditempuh, yaitu : (a) kesadaran, (b) menemukan anak, (c) penyaringan, dan (d) referral. Dengan mengacu kepada pendapat Fallen dan Umansky (1985) di atas dalam kaitan dengan anak dengan hambatan emosi dan sosial, maka: a. Kesadaran menunjukkan kepada pentingnya penggunaan beberapa metode untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat professional terhadap kebutuhan anak dengan hambatan emosi dan sosial. Hal ini termasuk usaha-usaha organisasi untuk menginformasikan



dan



mempengaruhi



masyarakat,



khususnya



pemimpin masyarakat tentang program-program terhadap mereka. Tujuannya bukan sekedar untuk membangkitkan sensitivitas dan mendorong peningkatan program, tetapi juga untuk menemukan anak



dengan hambatan emosi dan sosial, sehingga mendapat layanan pendidikan khusus sesuai kebutuhan khususnya. b. Dalam penemuan anak, tenaga guru sering memegang peran yang amat penting. Hal ini mengingat guru merupakan tenaga pendidikan yang paling awal dan paling sering berhubungan dengan anak dan ibunya, bahkan sejak anak masih dalam di taman kanak-kanan. Karena itu, guru harus mampu berperan sebagai ujung tombak, garda terdepan atau “the gatekeeper” dalam menemukan anak dengan hambatan emosi dan sosial. untuk selanjutnya merencanakan program penanganan secara individual atau bekerja sama dengan ahli lain yang terkait dalam upaya intervensinya. c. Penyaringan, merupakan aktivitas pengukuran awal yang dilakukan untuk menentukan apakah anak nantinya dapat berkembang secara baik atau memiliki faktor resiko. Karena itu tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah perkembangan yang muncul seawal



mungkin



dan



upaya



penanganannya,



sehinga



dapat



meminimalisir terhadap munculnya masalah-masalah yang sifatnya sekunder. Dalam kegiatan penyaringan, dapat terjadi anak sudah menunjukkan gejala-gejala tertentu, tetapi belum dapat diklasifikkasikan sebagai anak dengan hambatan emosi dan sosial, namun kondisi ini dapat berkembang cepat menjadi anak dengan hambatan emosi dan sosial jika memiliki faktor-faktor resiko, seperti: 1) Kurangnya ikatan pada sekolah 2) Pergaulan dengan kelompok anak nakal 3) Internalisasi comorbidity (kehadiran satu atau lebih gangguan di samping gangguan utama 4) Prilaku antisosial sebelumnya 5) Prestasi akademik rendah 6) Lingkungan rumah yang tidak mendukung



7) Hukuman fisik oleh orang tua, dan 8) Kontrovesi status sosial-ekonomi. Sebaliknya, gejala-gejala kearah terjadinya hambatan emosi dan prilaku dapat berkurang, tidak berkembang, atau bahkan hilang jika terdapat factor-faktor protektif, seperti: 1) Usia saat pertama kali teridentifikasi 2) Kinerja akademik yang baik 3) Pertemanan dan aktivitas bermain yang positif 4) Tidak pernah menerima hukuman badan 5) Keutuhan struktur keluarga 6) Status sosial yang baik/populer. 7) IQ yang tinggi



d. Sedangkan referral merupakan prosedur akhir dari proses identifikasi, yang merujuk kepada pengiriman anak kepada lembaga, tenaga ahli, atau pusat asesmen yang ada untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut secara komprehensif. Adapun prosedur dalam identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, secara garis besar meliputi 2 tahap, yaitu: a. Tahap penjaringan. Tahap ini adalah tahap seleksi kasar. Caranya dapat dilakukan melalui teknik nominasi, baik nominasi guru, nominasi teman orang tua, atau nominasi teman sebaya. Nominasi artinya diunggulkan, dicalonkan, atau diajukan. Dinominasikan berarti individu-individu yang diunggulkan, dicalonkan, atau diajukan sesuai dengan label atau kriteria yang diminta. Nominasi ini perlu ditindaklanjuti dengan menggali informasi lebih lanjut tentang kasus dari pihak yang menominasikan, melalui daftar cek, skala penilaian, angket, atau wawancara. Berdasar data-data yang diperoleh dan sifatnya masih subyektif, kemungkinan akan ditemukan anak-anak



yang diragukan, diduga kuat, atau untuk sementara diyakini termasuk anak dengan hambatan emosi dan prilaku. b. Tahap penyaringan. Tahap ini merupakan tahap seleksi yang lebih halus dengan menggali data langsung kepada kasus yang diduga kuat atau yang sementara sudah diyakini termasuk anak dengan hambatan emsi dan sosial. Tujuannya untuk mendapatkan data yang lebih objektif untuk memastikan apakah mereka dapat termasuk yang mengalami hambatan emosi dan sosial atau tidak. Cara yang terbaik adalah melalui tes, seperti tes psikologis (tes kematangan emosi dan tes kematangan sosial, sosimetri), pemeriksaan kondisi medis neurologis (limbic system). Namun, jika hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan melalui non tes (melalui wawancara, pengamatan, studi dokumentasi, atau authentic assessment – performance based assessment) baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk kepentingan ini perlu disiapkan alat-alat bantu yang diperlukan, seperti pedoman wawancara, pedoman observasi, lembar penugasan, alatalat perekam, dsb). Sedangkan menurut Ani Mahabbati (2006) kegiatan identifikkasi anak dengan hambataan emosi dan prilaku dimulai dari pengumpulan data anak hingga memutuskan bahwa anak termasuk anak dengan gangguan emosi dan perilaku, hingga perencanaan treatmen, dengan melibatkan berbagai pihak, khususnya guru kelas, kepala sekolah, orang tua, serta tenaga professional yang terkait. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: a. Menghimpun



data



kondisi



seluruh



siswa



di



kelas



dengan



menggunakan instrumen identifikasi. b. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak untuk menemukan anak yang tergolong anak dengan gangguan emosi dan perilaku dan mencatat temuan berdasarkan gejala emosi dan perilaku, kemudian memisahkannya dengan siswa biasa



c. Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah untuk saran-saran penyelesaian dan tindak lanjut. d. Menyelenggarakan pertemuan kasus untuk mendapat tanggapan mengenai langkah-langkah llanjutan. e. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus secara lengkap dengan perencanaan program untuk anak yang teridentifikasi. Sementara itu, menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006) terdapat beberapa cara dalam menemukenali atau menetapkan anak dengan hambatan emosi dan sosial (tunalaras), yaitu: a. Psikotes, terutama melalui penggunaan alat-alat tes kematangan emosi dan kematangan sosial. b. Sosiometri, yaitu alat tes yang digunakan untuk melihat/ mengetahui suka atau tidaknya seseorang. Melalui sosiommetri akan diketahui bagaimana pola hubungan individu-individu dalam sutau kelompok, posisi individu dalama kelompok (siapa yang paling disukai dan tidak disukai),



serta



sub-sub



kelompok



yang



terjadi



dalam



suatu



kelompok.Perlu diperingatkan bahwa hasil-hasil sosiometri adalah hasil sementara yang perlu ditelaah lebih lanjut. Anak yang terpencil dalam suatu saat belum tentu anak yang tunalaras, bahkan mungkin tidak terpencil lagi dalam sosiometri berikutnya. c. Membandingkan dengan tingkah laku anak pada umumnya. Keadaan tunalaras dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku anak pada umumnya. Mereka yang termasuk tunalaras, memeiliki ciri-ciri atau karakteristik prilaku, pribdai, dan sosial tersendiri yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. d.



Memeriksakan ke Biro Konsultasi Psikologi. Cara ini hasilnya akan lebih valid, karena dilakukan oleh tenaga ahli yang professional dalam bidangnya. Hasil pemeriksaan psikologis tersebut biasanya dibuat dalam



suatu



laporan



tentang



deskripsi



hasil



tes



beserta



kesimpulannya, serta bagaimana lingkungan harus bertindak atau mensikapinya. e. Memeriksakan ke Klinik Psikiatri Anak. Sekalipun tugas pokok piskiater ialah melakukan usaha rehabilitasi dan penyembuhan terhadap mereka yang mengalami kelainan psikis, tetapi juga dapat menetapkan apakah seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau tidak. Hanya saja mungkin akan anxiety hysteria, conversion hysteria, sexual perversion, obsessional neurosis, psychose anak, dsb. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial adalah proses untuk menemukenali anak yang termasuk dalam kualifikasi tersebut. Sekalipun berdasar kepada prilakunya, anak-anak dengan hambatan emosi dan sosial mudah dikenali, namun untuk menetapkan apakah anak tersebut termasuk dalam kualifikasi anak dengan hambatan emosi atau tidak, bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab terkalit dengan berbagai permasalahan. Termasuk kemungkinan penolakan dari lingkungan terdekat anak. Karena itu, perlu dilakukan dengan hati-hati. Keputusan yang diambil dalam identifikasi harus mempeprtimbangkan banyak hal, serta harus berdasar kepada banyak data dan banyak sumber infoormamsi. Identifikasi bukanlah sekedar menemukan, tetapi merupakan bagian pertama yang paling penting dalam pendidikan anak dengan hambatan emosi dan prilaku sebelum asesmen dan intervensi atau pembelajaran. 3. Konsep Dasar Asesmen Anak dengan Hambatan Emosi dan Sosial Istilah asesmen sering dikacaukan dengan evaluasi, tes, dan diagnostik. Memang istilah-istilah tersebut berhubungan, tetapi tidak sinonim. Secara umum, baik evaluasi, tes, dan diagnostik digunakan dalam asesmen, namun hanya merupakan bagian dari strategi dalam asesmen. Fallen dan Umansky (1988) menjelaskan bahwa asesmen adalah proses pengumpulan data untuk tujuan pembuatan keputusan dan menerapkan



seluruh proses pembuatan keputusan tersebut, mulai dari diagnosa paling awal terhadap problem perkembangan sampai penentuan akhir terhadap program anak, serta merupakan salah satu komponen dari dua komponen utama dalam perkembangan manusia yang sengaja didesain untuk mencegah kelainan agar dapat berkembang secara optimal. Komponen yang satunya adalah intervensi. Sedangkan Lidz (2003) menyebutkan bahwa



asesmen



mendapatkan intensitasnya,



profil



adalah



proses



psikologis



kendala-kendala



pengumpulan



anak, yang



yang



informasi



meliputi



dialami,



gejala



kelebihan



untuk dan dan



kelemahannya, serta peran pendukung yang dibutuhkan anak. Secara khusus, Goodman dan Field (1991, dalam Lidz : 2003) menyatakan bahwa asesmen terhadap ABK tidaklah mudah. Mereka adalah anak-anak yang



mengalami kesukaran, berarti sukar pula evaluator



untuk



mendiagnosisnya. Bagnato (lidz, 2003) mengemukakan bahwa dalam menentukan metode asesmen, terdapat enam persayaratan atau standar yang harus dipenuhi, meliputi : a. Autentik, perilaku nyata dalam setting nyata b. Konvergen, sumber informasi yang beragam c. Kolaborasi, dilakukan bersama, terutama sekali dengan pengasuh. d. Ekuiti, mampu mengakomodasi kebutuhan khusus anak e. Sensitivitas,



dapat



memasukkan



materi



yang



cukup



untuk



perencanana keputusan maupun untuk mendeteksi perubahan. f.



Kongruen, ada kesamaan prosedur yang diterapkan, baik dalam perkembangan maupun evaluasinya.



Asesmen merupakan bagian kedua terpenting dalam pendidikan khusus setelah identifikasi dan sebelum pembuatan program layanan khusus. Karena itu, dalam konteks pendidikan khusus, asesmen dan intervensi atau pembelajaran merupakan dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan dan harus terus menerus berinteraksi secara intensif tiada



henti. Interaksi adalah pertukaran/pengecekan informasi antara hasil asesmen dan hasil intervensi atau pembelajaran dalam rangka meningkatkan kualitas intervensi yang diberikan. Hanya dengan Interaksi yang intensif dan terus-menerus akan dicapai bentuk yang paling baik dalam rangka menjawab dengan pasti seluruh kemungkinan pertanyaan yang terkait dengan evaluasi dan intervensi atau pembelajaran. Jika asesmen dilakukan oleh petugas khusus, maka tanpa adanya interaksi antara petugas asesmen dan



pelaksana intervensi, maka



keberhasilan intervensi akan sulit dicapai. Karena itu masing-masing dituntut untuk memiliki inisiatif



saling berinteraksi, berkomunikasi,



membina hubungan personal yang positif dan akrab, dan secara periodik bertemu mendiskusikan temuan masing-masing serta perencanaan program secara rinci dan implementasinya. Asesmen terhadap anak dengan hambatan emosi dan prilaku, akan lebih efektif jika dilakukan dalam tim multidisipliner. Sementara itu menurut National Association of School Psychologist Position Statement on Early Chilhood Assessment (Lidz, 2003) dinyatakan bahwa dalam asesmen, pengertian tim multidisiplin harus mencakup multi sumber informasi, multi pendekatan, dan multi setting dalam rangka menghasilkan pemahaman yang komprehensif terhadap ketrampilan dan kebutuhan anak. Karena itu asesmen harus berpusat pada sistem keluarga dan lingkungan anak, yang kedua-duanya



secara



substansial



sangat



berpengaruh



terhadap



perkembangan anak. Agar dalam kegiatan asesmen anak dengan hambatan emosi dan prilaku diperoleh kemudahan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan: a. Petugas asesmen harus memiliki pengalaman dan bahan / alat / media yang cukup dan cocok untuk mengungkap hambatan perkembangan emosi dan sosial anak. b. Pelaksanaan asesmen hendaknya dilakukan dalam susunan ruangan yang



tepat.



Pencahayaan



cukup,



ukuran



mebeler



sesuai,



meminimalkan benda-benda atraktif yang mudah dijangkau, dan gunakan bahasa yang menuntut anak untuk mengeksplorasi lebih jauh (hindari penggunaan pertanyaan pilihan). c. Dilakukan dengan berbasis ekologis dan kontekstual, dengan mengintegrasikan beberapa variabel yang berpengaruh (keluarga, pengasuh, atau teman) dan memfokuskan kepada keberfungsian anak dalam aspek perkembangan emosi, sosial, dan dampaknya pada aspek perkembangan yang lainnya. d. Agar komprehensif, pengumpulan data harus menggunakan beberapa pendekatan/metode dan multi sumber informasi, termasuk melalui wawancara dengan orang tua, observasi alamiah secara terus menerus. e. Pengggunaan tes standar harus sangat hati-hati, karena disamping secara teknis lebih sulit, hasilnya sering kurang akurat dan kurang prediktif. Karena itu, penggunaan asesmen yang sifatnya formal ini harus dibarengi dengan hasil observasi, termasuk hasil observasi dari orang tua. f.



Memfokuskan kepada informasi yang relevan, sehingga mampu menghemat waktu dan tenaga.



g. Memanfaatkan secara maksimal hasil-hasil penilaian psikologis, sosial, medis, dan pendidikan yang telah dilakukan oleh ahli sebelumnya atau catatan atau dokumen-dokumen peristiwa yang terjadi sebelumnya. h. Dilakukan melalui kolaborasi antara tim ahli dengan orang tua, sehingga dimensi-dimensi hambatan emosi dan prilaku yang dialami anak dapat diketahui dan dipahami lebih jelas. i.



Data hasil asesmen harus disimpan dengan baik, sehingga dapat memberikan informasi yang banyak tentang area kesulitan atau hambatan anak, serta kemajuan-kemajuan yang secara bertahap telah



dicapai. Data yang berupa catatan sebaiknya



mudah dibaca dan



diinterpretasikan. Asesmen merupakan bagian integral dari intervensi. Karena itu problem dalam intervensi secara langsung juga berhubungan dengan asesmen. Artinya bahwa ketidaktepatan asesmen dapat berdampak pada kurang tepatnya program intervensi. Karena itu pula keduanya harus melekat. Implikasinya, data dan informasi yang diperoleh dari



asesmen yang



dilakukan dalam setiap intervensi, hakekatnya adalah modal dasar untuk arah intervensi selanjutnya. Sebagai gambaran, asesmen yang melekat adalah penggunaan observasi untuk menentukan apakah anak gagal atau berhasil dalam suatu tugas, penggunaan skala penilaian untuk mengetahui apakah anak sudah siap atau belum untuk melakukan tugas-tugas yang lebih kompleks, atau penggunaan tes standar untuk membandingkan dengan anak lain yang sebaya. Telah disinggung sebelumnya bahwa dalam konsep pendidikan khusus, asesmen dan pembelajaran/intervensi merupakan dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan dan harus terus menerus berinteraksi secara intensif



tiada



henti.



Asesmen



merupakan



bagian



integral



dari



pembelajaran/intervensi. Karena itu problem dalam intervensi secara langsung



juga



berhubungan



dengan



asesmen.



Artinya



bahwa



ketidaktepatan asesmen dapat berdampak pada kurang tepatnya program intervensi. Karena itu pula keduanya harus melekat. Implikasinya, data dan informasi yang diperoleh dari asesmen yang dilakukan dalam setiap intervensi, hakekatnya adalah modal dasar untuk arah intervensi selanjutnya.



Sebagai gambaran, asesmen



yang melekat adalah



penggunaan observasi untuk menentukan apakah anak gagal atau berhasil dalam suatu tugas, penggunaan skala penilaian untuk mengetahui apakah anak sudah siap atau belum untuk melakukan tugas-tugas yang lebih kompleks, atau penggunaan tes standar untuk membandingkan dengan anak lain yang sebaya.



Merencanakan sebuah intervensi yang efektif bagi anak dengan hambatan emosi dan sosial merupakan sebuah tuntutan yang harus dilakukan oleh seorang guru. Untuk itu dibutuhkan sederet informasi yang lengkap dari anak melalui kegiatan asesmen, untuk dijadikan sebagai dasar dalam memberikan layanan sesuai kebutuhasnnya. Informasi tersebut, menurut Kanfer dan sallow (Fallen dan Umansky, 1985) mencakup tujuh area, yang meliputi : a. Analasis masalah prilaku yang dihadapi kasus, dengan focus kepada prilaku yang berlebihan, berkekurangan, dan kekuatan. b. Analisis situasi dimana prilaku bermasalah itu terjadi (antecedents and consequences) c. Analisis motivasional. Peristiwa-peristiwa yang mendorong kasus melakukan prilaku. d. Analisis riwayat perkembangan. Informasi tentang kondisi biologis, social, perubahan-perubahan prilaku yang terjadi, serta pandangan dan persepsi kasus terhadap lingkungan. e. Analisis kontrol diri. f.



Analisis relasi social



g. Analisis lingkungan fisik, social, dan budaya. Sementara itu Cartiedge dan Milburn (1992) telah membuat daftar yang berhubungan dengan ketrampilan sosial yang mencakup empat area beserta sub-subnya, yaitu: a. Prilaku dengan lingkungan, meliputi: kepedulian pada lingkungan, hal yang berkaitan dengan situasi darurat, prilaku di ruang makan, prilaku di lingkungan sekitar. b. Prilaku interpersonal, meliputi kemamapuan dalam : Menerima otoritas, menangani konflik, mendapatkan perhatian, menyapa orang lain, saling menolong, memulai percakapan, permainan yang diatur, tingkah laku yang baik terhadap orang lain, permainan informal, dan Properti: Milik sendiri dan orang lain.



c. Prilaku yang berhubungan diri sendiri, meliputi kemampuan dalam: menerima konsekuensi, tingkah laku yang pantas, mengungkapkan kesalahan, tingkah laku yang baik terhadap diri sendiri, tingkah laku yang bertanggung jawab, kepedulian terhadap diri sendiri. d. Prilaku yang berhubungan dengan tugas:, meliputi kemampuan dalam: Bertanya dan menjawab pertanyaan, menjaga tingkah laku, diskusi kelas, menyelesaikan tugas, memperhatikan perintah, beraktivitas dalam



kelompok



pekerjaan



independen,



on-task



behavior,



berpartisipasi sebelum orang lain, dan kualitas kerja. Kegiatan asesmen di atas hendaknya dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada kompeetensi dan proses pembelajaran anak yang terjadi di rumah, sekolah (klinik) dan lingkungan belajar lain, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses pembelajaran anak, sehingga mampu memberikan gambaran mengenai hambatan emosi dan sosial anak, meskipun sifatnya sulit terlihat dengan jelas (Invisible condition). Asesmen prilaku merupakan alat dalam modifikasi prilaku yang digunakan untuk mengukur prilaku individu apakah prilaku yang dimunculkan itu meningkat atau berkurang. Asesmen prilaku meliputi proses pengumpulan dan analisis terhadap data atau informasi untuk tujuan-tujuan sebagai berikut: a. mengidentifikasi prilaku target, yaitu prilaku yang menjadi sasaran. b. mengidentifikasi penyebab-penyebab munculnya prilaku tertentu c. menentukan metode intervensi yang dilakukan. d. mengevaluasi hasil tritmen. Komponen utama dalam asesmen yaitu : a. Parameter/ ukuran yang digunakan untuk membandingkan fakta/data b. Fakta/data yang diukur c. Pengukur d. Mekanisme/ prosedur pengukuran



4. Prosedur dan Teknik Asesmen Anak dengan Hambatan Emosi dan sosial Secara umum, prosedur yang biasa dilakukan untuk pengumpulan data, dalam rangka asesmen prilaku pada anak dengan hambatan emosi dan sosial, dapat dikelompokkan ke dalam tiga prosedur. a. Prosedur pertama adalah penilaian tidak langsung, yang dapat dilakukan melalui . wawancara dengan orang-orang terdekat dengan klien, misalnya orang tua, saudara-saudara klien, teman-teman, guru, dsb. Atau melalui kuesioner yang didesain khusus seperti misalnya life history, self report problem checklist, dan role play. b. Prosedur kedua adalah penilaian langsung pada klien, yang dapat dilakukan



dengan



observasi



terhadap



sampel



prilaku



yang



diperlihatkan klien. Dalam prosedur penilaian langsung ini beberapa variabel prilaku yang dapat dinilai adalah: 1) Frekuensi, yaitu perhitungan yang menunjukkan berapa kali suatu peristiwa ataukejadian (behavior) terjadi. 2) Persentase, yaitu perbandingan antara banyaknya suatu kejadian terhadap banyaknya kemungkinan terjadingan kejadian tersebut dikalikan seratus persen 3) Rate, yaitu banyak suatu kejadian dibagi dengan satuan waktu tertentu. 4) Latensi, yaitu lamanya waktu untuk melakukan suatu kegiatan setelah menerima stimulus. 5) Durasi, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. 6) Magnitude, yaitu kualitas atau besarnya respon, dan 7) Trial, yaitu banyaknya trial terhadap kriteria yang telah ditentukan dalam melakukan kegiatan tertentu. c. Prosedur penilaian eksperimen, dilakukan dengan cara melakukan kontrol pada situasi yang ada pada klien (antecedent) untuk kemudian



diamati prilaku apa yang akan dimunculkan (consequence). Prosedur ini disebut juga dengan analisis fungsional. Penjelasan di atas memberi petunjuk bahwa assesmen prilaku lebih banyak dilakukan dengan teknik non testing (observasi dan wawancara) dari pada teknik testing. Yang ingin diperoleh dalam asesmen adalah gambaran pola prilaku kehidupan nyata subjek dan akibat dari keadaan lingkungan terhadap pola-pola prilaku tersebut. Prilaku adalah variabel yang measurable (dapat diukur), observable (dapat diamati), factual (yang sedang terjadi/ berlangsung saat itu), spesific (tergambar secara jelas dalam bentuk prilaku tertentu). Observasi sistemik dapat dilakukan di laboratorium, klinik, kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan untuk mendapatkan informasi psikofisiologis dan kognitif-perilaku, klarifikasi konsistensi atara informasi verbal dan non verbal, menggali tentang perasaan, motivasi yang berhubungan dengan hal yang melahirkan perilaku. Asesmen Prilaku Fungsional Teknik asesmen yang sangat populer digunakan pada anak dengan hambatan emosi dan sosial dengan maksud untuk kepentingan modifikasi prilaku adalah asesmen fungsional atau Functional Behavior Assesment (FBA). Istilah asesmen fungsional seringkali disamakan dengan analisis fungsional. Beberapa buku memang menyebut dua istilah ini secara bergantian. Namun demikian Martin dan Pear (2003) demikian pula halnya dengan Cone (1997) membedakan definisi keduanya. Martin dan Pear (2003) mengemukakan bahwa asesmen fungsional adalah beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi antecedents dan consequences dari suatu prilaku tertentu. Sementara itu, analisis fungsional adalah manipulasi yang sistematis dari suatu situasi untuk menguji perannya sebagai antecedents yang mengontrol suatu prilaku tertentu, atau sebagai consequences yang memperkuat terbentuknya prilaku tertentu.



Dengan demikian, asesmen fungsional hakekatnya untuk mengungkap faktor-faktor yang menyumbang terjadinya perilaku, yang memelihara prilaku dan tuntutan lingkungan terhadap klien, meliputi: -



A (Antecedents) adalah segala hal yang mencetuskan prilaku yang dipermasalahkan. Aspek motivasional atau setiap situasi atau kondisi yang terjadi sebelum atau mendahului prilaku. Misalnya situasi tertentu, tempat tertentu, atau selagi melakukan aktivitas tertentu.



-



B



(Behavior)



adalah



segala



hal



mengenai



prilaku



yang



dipermasalahkan, frekuensi, intensitas dan lamanya prilaku tersebut berjalan. -



C (Consequence) adalah akibat-akibat yang diperoleh setelah prilaku itu terjadi. Memelihara prilaku yang menjadi masalah dengan jalan memberikan penguat, berupa pujian, perhatian, perasaan lebih tenang, bebas dari tugas dan lain sebagainya.



Setiap individu adalah unik. Oleh karena itu, dalam memandang prilaku terdapat dua asumsi dasar. Pertama, bahwa prilaku itu kontekstual. Artinya bahwa prilaku itu pasti terkait dengan lingkungannya, tidak muncul tibatiba, atau datang dari kevakuman, tetapi pasti ada faktor atau kondisi yang mendahului sebelum prilaku itu muncul (antecedent). Kedua, prilaku itu dapat dibedakan antara bentuk dan fungsinya. Bentuk prilaku adalah apa yang terlihat, sedangkan fungsi prilaku adalah apa yang melatarbelakangi atau memotivasi seseorang itu berprilaku. Dalam pandangan fungsi, seseorang berprilaku itu dalam rangka memenuhi fungsinya. Fungsi prilaku adalah untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu (to access/to gain/to obtain/to get something) atau untuk lari atau menghindari sesuatu (to escape / to avoid something). Karena itu, bentuk prilaku yang sama alasan atau sebabnya dapat berbeda, sebaliknya alasannya berbeda tetapi bentuk perilakunya dapat sama. Ketiga, bahwa prilaku itu dipelihara oleh sesuatu (konsekuensi). Konsekuensi tersebut dapat berupa penguatan positif, penguatan negatif, atau regulasi/modulasi pengindraan.



Asemen prilaku fungsional hakekatnya adalah proses mencari jawaban kongkrit dan pasti terhadap fungsi prilaku tersebut, apakah dalam rangka mendapatkan sesuatu atau lari dari sesuatu. Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam menghadapi siswa dengan hambatan emosi dan sosial, seorang guru, therapis, atau helper hendaknya memiliki ketrampilan untuk melakukan asesmen prilaku fungsional (Functional Behavior Assesment – FBA). Adapun tahapan dalam FBA adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi masalah 2) Mengumpulkan data menggunakan asesmen jamak 3) Analisis Data 4) Membuat hipotesa tentang fungsi prilaku 5) Mengembangkan dan mengimplementasikan rencana tindakan 6) Evaluasi kemajuan dan tindak lanjut yang diperlukan.



Aseesmen Ketrampilan Emosi dan Sosial Uman dan Fallenky (1985) menyebutkan bahwa terdapat dua bentuk prilaku sebagai ekspresi emosi dan sosial, yaitu prilaku prososial dan anti sosial. Prilaku prososial akan meningkat sejalan dengan umur dan pengalaman. Anak-anak yang hidupnya bahagia cenderung lebih menyadari untuk berbagai dan bekerjasama dengan orang lain, dibandingkan anak-anak yang hidup dalam kesedihan. Penekanan pada prilaku-prilaku tertentu dalam keluarga dan factor budaya, juga berpengaruh terhadap ekspresi emosi dan sosial anak. Prilaku prososial akan berkualitas ketika anak sudah dapat melihat situasi dari perspektif orang lain, seperti berbagi, kerjasama, menghargai, saling memberi, dan emphatic. Prilaku prososial maupun anti sosial hakekatnya adalah hasil dari proses sosialisasi. Karena itu prilaku-prilaku anti sosial yang sifatnya persisten dan sering dilakukan, hakekatnya merefleksikan adanya hambatan



Tabel Fungsi Prilaku UNTUK MENDAPATKAN ATAU UNTUK LARI ATAU MENGHINDARI MEMPEROLEH SESUATU SESUATU Untuk mendapatkan positif atau negatif



perhatian Untuk lari dari atau menghindari tugas yang tidak diinginkan seperti tugas sekolah yang sulit.



Untuk memperoleh konsekuensi Untuk menghindari atau lari dari nyata: makanan, minuman, token, situasi sosial yang tidak diinginkan uang, mainan atau benda favorit seperti permainan sosial, percakapan, atau aktivitas bermain yang harus bergiliran. Untuk mendapatkan akses ke aktivitas yang diinginkan, seperti penggunaan komputer, menonton video, mendengarkan musik, dll.



Untuk menghindari atau melarikan diri dari perhatian. Misalnya, jika seorang anak tidak suka menerima pujian, anak itu mungkin menampilkan perilaku yang menantang untuk menghindari atau melarikan diri dari seseorang yang biasanya memberikan pujian.



Untuk mendapatkan konsekuensi sensoris: untuk menjadi lebih hangat jika seseorang kedinginan, atau lebih dingin jika panas, untuk mendapatkan beberapa sentuhan, rasa, pendengaran, visual, atau konsekuensi fisik.



Untuk menghindari objek atau acara tertentu yang tidak disukai oleh individu. Misal, seorang individu dapat menampilkan perilaku yang menantang ketika suara tertentu terdengar.



Untuk mendapatkan regulasi emosional. Contoh, jika seorang anak autisme tidak nyaman, bosan, cemas, atau frustrasi, anak dapat mengalihkan pada perilaku stimulasi diri untuk tujuan regulasi (untuk merasa lebih baik) karena kurangnya keterampilan interaksi sosial.



Untuk melarikan diri dari rangsangan internal yang menyakitkan atau tidak nyaman. Contoh, seorang anak yang nonverbal dapat menunjukkan perilaku melukai diri sendiri karena sakit gigi yang parah.



psikososial yang kemudian berkontribusi kepada aleniasi anak dari arus utama masyarakat (prilaku normatif). Berdasar hal tersebut, dalam asesmen ketrampilan emosi dan sosial anak, penting untuk melihat rasa



kehidupan anak, orientasi keluarga, serta factor budaya yang berkembang di lingkungan anak. Salah satu aspek penting dalam asesmen ketrampilan emosi dan sosial adalah asesmen yang terkait dengan kematangan emosi dan sosial. Kemaatangan emosi yaitu kemampuan individu untuk tidak meluapkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Atau kemampuan individu dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya. Kematangan emosi juga berkaitan dengan kemampuan anak untuk bersikap toleran, nyaman, kesabaran, control diri, penerimaan diri, penghargaan kepada orang lain, penghargaan terhadap perbedaan, kasih sayang, kerja sama, serta kemampuan untuk meredam emosi-emosi negatif. Sedangkana kematangan sosial adalah kemampuan indivdiu untuk berfungsi secara tepat dan bertanggungjawab berdasar atas normanorma daan aturan-aturan sosial yang berlaku dilingkungannya. Uman dan Fallenky (1985) juga menyebutkan bahwa ketrampilan emosi dan sosial merupakan wilayah perkembangan manusia yang paling sulit untuk dipahami. Anak dapat agresif dalam satu situasi dan jarang dalam situasi yang lain. Dalam situasi tertentu anak dapat menangis ketika dikonfrontasi oleh temannya, tetapi tidak untuk situasi yang lain. Dalam situasi tertentu anak dapat agresif, bertengkar, bahkan sampai menangis untuk beberapa saat, tetapi dalam beberapaa menit kemudian dapat rukun dan bermain bersama-sama kembali. Prinsip dasar dalam asesmen ketrampilan emosi dan sosial adalah melalui penggunaan asesmen multi informasi (Nangle, et all, 2010) ) dan multi modal (Uman dan Fallenky (1985), dikarenakan prilaku anak adalah variable ekstrim yang tergantung kepada banyak variable, seperti setting, waktu, siapa yang ada, dan yang lain. Asesmen multi informasi untuk berarti penggunaan berbagai sumber informasi, sehingga informasi yang diperoleh komprehensif dan valid.



Sumber informasi tersebut diantaranya adalah teman sebaya, guru, orang tua, observer yang terlatih, serta kasusnya sendiri melalui self report. Adapun tekniknya dapat dengan: (1) skala penilaian, seperti The Social Skill Rating System – SSRS, Behavioral Assesment System for Children – BASC, ayau Child Behavior Checlist – CBCL), (2) observasi dalam lingkungan natural, yang umumnya efektif untuk melihat kualitas respon anak terhadap situasi-situasi sosial yang terjadi, atau untuk melihat interaksi yang secara umum terjadi dengan teman-teman sebayanya, (3) pendekatan observasi terstruktur, agar lebih mudah dicatat, atau pendekatan analog (seperti bermain peran atau penciptaan situasi tertentu yang memungkinkan prilaku target dapat muncul), (4) wawancara, baik terstruktur maupun tidak terstruktur, (5) laporan diri (self report), yang memungkinkan kita dapat memperoleh akses



langsung terhadap



pernyataan kondisi psikologis kasus, dan (6) sosiometri, yang tepat untu melihat tingkat penyesuaian kasus dalam kelompoknya. Sedangkan asesmen multimodal , menurut Uman dan Fallenky (1985) berarti perlunya penggunaan beberapa strategi



pengumpulan data



sehingga diperoleh informasi obyektif, akurat, dan komprehensif. Beberapa strategi tersebut adalah observasi sistematik, wawancara, skala penilaian (rating scale), dan tes. Observasi sistematik. Observasi ini diperlukan untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang bagaimana anak berinteraksi dengan orang, objek, dan bagaimana anak berurusan dengan situasi-situasi yang menantang atau konflik. Perubahan prilaku mungkin akan terjadi jika anak sadar sedang diobservasi, karena itu observer harus menemukan cara sehingga



tetap



diperoleh



data



yang



objektif.



Misalnya



dengan



menggunakan teknologi perekam. Dalam observasi sistematik, pengamat memfokuskan kepada satu atau lebih prilaku khusus dan melakukan pengukuran terkait dengan frekuensi, durasi, magnitude, atau latensinya. Sedangkan dalam observasi yang



tidak sistematik, pengamat melihat dengan seksama individu dalam lingkungannya dan mencatat hal-hal yang signifikan terkait dengan prilakuprilakunya, karakteristik, dan dalam interaksinya dengan lingkungan. Penggunaan observasi sebagai asesmen aspek emosi dan sosial sering menjadi pilihan, karena disamping murah juga lebih efektif ketika digunakan kepada anak dalam situasi natural. Agar lebih efektif dan tidak kehilangan makna, observasi harus mengaitkan dua hal, yaitu informasi (apa yang terjadi) dan konteksnya (situasinya) atau memperhitungkan dimensi waktu dan tempat. Misalnya, ketika melihat kemampuan bertoleransi dengan orang lain, perlu dilihat ketika anak sedang berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan pemecahan masalah, dengan mengamati pola-pola penyesuaiannya. Wawancara. Wawancara diperlukan dikarenakan sering kali dengan teknik ini dapat diperoleh informasi yang lebih luas, lebih detail, lebih bermakna. Wawancara akan lebih berharga jika menggunakan pertanyaanpertanyaan terbuka, sehingga dapat menindaklanjuti ucapaan-ucapan yang meragukan, serta jawaban-jawaban tertentu yang belum jelas. Daftar ketrampilan dalam Vineland Social Maturity Scale dapat digunakan sebagai alat bantu dalam wawancara guna



mengukur beberapa



ketrampilaan sosiaal dan emosi anak. Skala penilaian merupakan cara mengukur ketrampilan sosial dan emosi anak yang cukup popular dikarenakan nilai kepraktisannya. Skala penilaian ini dapat dibuat dengan berpedoman kepada skala likert, Thrustone, atau yang lain. Sedangkan salah satu tes yang banyak digunakan dalam asesmen ketraampilan emosi dan sosial adalah tes proyektif. Dalam tes ini diasumsikan bahwa apa yang dihasilkan dari tes hakekatnya adalah ekspresi dari dorongan-dorongan bawah sadar. Tekniknya seperti dengan menggambar, mencocokkan gambar dengan emosi, asosiasi emosi-kata, atau dengan bermain. Sedangkan instrument



yang sering digunakan seperti Draw a Man, Rochsach, dan Children Apperception Test. Teknik lain yang dapat diterapkan dalam asesmen emosi dan sosial adalah melalui studi riwayat kasus. Riwayat kasus merupakan kumpulan data berkenaan dengan riwayat perkembangan anak, termasuk faktor-faktor yang berpengaruh, serta statusnya saat ini. Melalui riwayat kasus ini dapat diperoleh kejelasan tentang kondisi saat ini dalam hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Sementara itu, peristiwaperistiwa yang mengganggu secara umum dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan emosi dan sosial ana.



Misal, riwayat dalam



perolehan hukuman akan membentuk bagaimana anak pembentukan rasa bahagia,



bertoleransi,



serta



dalam



mereaksi



orang



lain.



Ini



mengisyaratkan bahwa dalam melakukan asesmen emosi dan sosial tidak cukup dengan informasi tentang penampilan anak saat ini, namun juga harus memahami apa yang menjadikan anak seperti sekarang ini. Permainan sebagai media asesmen Salah satu cara yang dipandang efektif dalam asesmen prilaku pada anak dengan hambatan emosi dan prilaku adalah melalui pemecahan masalah (problem solving) yang dilakukan melalui media pemainan. Permainan adalah arena problem solving. Permainan merupakan aktivitas yang kompleks, menyenangkan, spontanitas, sukarela, motivasinya intrinsik, luwes, kaya dan komrehensif, dan secara alami mampu menggambarkan hasil dari seluruh pertumbuhan dan domain perkembangan. Untuk dapat bermain dengan baik, seorang anak membutuhkan beberapa kemampuan prasyarat,



meliputi kapasitas dalam pengarahan visual,



koordinasi mata tangan, ketetapan obyek, perbedaan dalam pola-pola tindakan



(perencanaan



motorik),



ingatan,



berpikir



sebagainya. Dengan demikian, melalui permainan



simbolik,



dan



akan memberikan



pemahaman penuh terhadap keberfungsian anak dalam seluruh atau sebagian domain perkembangan atau status perkembangan anak, baik



dalam aspek kognitif, motorik, komunikasi, atau sosial-afektif secara tepat sesuai dengan bidang yang akan diasesmen. Melalui permainan akan dengan mudah diketahui tingkat kemandirian anak dan kondisi-kondisi yang memberi kemudahan (kemudahan anak dalam permainan tsb). Permainan juga dilakukan dalam konteks naturalistik, sehingga memungkinkan anak bebas mengekspresikan berbagai



kombinasi



kemampuannya



dan



beradaptasi



dengan



lingkungannya tanpa kontrol (berbeda dengan tes), dengan demikian dapat melihat proses dan produk dengan lebih tepat dan akurat. Lidz (2003) menegaskan bahwa secara konseptual permainan berbeda dengan eksplorasi. Eksplorasi adalah ketika anak berinteraksi dengan obyek, informasi tentang apa yang dilakukan anak terhadap obyek. Sedangkan permainan tidak hanya menggambarkan apa yang dilakukan anak, tetapi juga apa yang dibutuhkan anak untuk mengoptimalkan perkembangan, khususnya untuk mengembangkan fungsi mentalnya yang lebih tinggi. Permainan, disamping efektif untuk media asesmen emosi dan sosial juga efektif untuk media intervensi. Melalui permainan anak akan lebih mudah untuk belajar berprilaku yang relevan dan tidak relevan, meningkatkan motivasi



dan



ketekunan,



mengekspresikan



memberi



pengalaman



dan



peluang



terhadap



kemampuan



keluasan



bekerja



sama,



penghargaan bertoleransi, control diri, dsb, serta merupakan forum untuk mempraktekkan dan merangsang ketrampilan emosi dan sosial anak. 5. Rangkuman Dari pembahasan mengenai pengertian, tujuan, fungsi, urgensi, teknik dan prosedur identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan emosi dan sosial dapat dikemukakan pokok-pokok materi sebagai berikut: a. Identifikasi adalah proses menemukenali sesuatu berdasar kepada indikator atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan.



b. Fungsi identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, yaitu: penjaringan (screening), membedakan, pengalihtanganan (referal), pengelompokan, penempatan, perencanaan, evaluasi. c. Secara umum terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam rangkaian identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, diantaranya terkait dengan: Kriterianya tidak mutlak, beragam, dan tergantung pada beberapa aspek; Situasi atau kondisi (tempat, waktu, dan umur anak); Kualitas penyimpangan; kuantitas penyimpangan; Motif yang mendasarinya, serta Mudah tidaknya dipengaruhi. d. Prosedur dalam identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, secara garis besar meliputi dua tahap, yaitu: tahap penjaringan dan penyaringan. e. Asesmen adalah proses pengumpulan informasi untuk mendapatkan profil psikologis anak, yang meliputi gejala dan intensitasnya, kendalakendala yang dialami, kelebihan dan kelemahannya, serta peran pendukung yang dibutuhkan anak. f.



Asesmen prilaku merupakan alat dalam modifikasi prilaku yang digunakan untuk mengukur prilaku individu apakah prilaku yang dimunculkan itu meningkat atau berkurang.



g. Tujuan dari asesmen yakni: mengidentifikasi prilaku target, yaitu prilaku yang menjadi sasaran, mengidentifikasi penyebab-penyebab munculnya prilaku tertentu, menentukan metode intervensi yang dilakukan dan mengevaluasi hasil tritmen. h. Secara umum, prosedur yang biasa dilakukan untuk pengumpulan data, dalam rangka asesmen prilaku pada anak dengan hambatan emosi dan sosial, dapat dikelompokkan ke dalam tiga prosedur yakni prosedur pertama adalah penilaian tidak langsung, prosedur kedua adalah penilaian langsung pada klien. Dan prosedur penilaian eksperimen. i.



Asesmen fungsional hakekatnya untuk mengungkap faktor-faktor yang menyumbang terjadinya perilaku, yang memelihara prilaku dan



tuntutan lingkungan terhadap klien, meliputi: antecedents, behavior, dan consequence. j.



Prinsip dasar dalam asesmen ketrampilan emosi dan sosial adalah melalui penggunaan asesmen multi informasi. Asesmen multi informasi untuk berarti penggunaan berbagai sumber informasi, sehingga informasi yang diperoleh komprehensif dan valid. Sumber informasi tersebut diantaranya adalah teman sebaya, guru, orang tua, observer yang terlatih, serta kasusnya sendiri melalui self report.



k. Salah satu cara yang dipandang efektif dalam asesmen prilaku pada anak dengan hambatan emosi dan prilaku adalah melalui pemecahan masalah (problem solving) yang dilakukan melalui media pemainan. IV. Tugas A. Tugas Setelah mengkaji materi diatas secara cermat, anda dapat mengerjakan latihan berikut sebagai pemantapan. 1. Tulis definisi /pengertian identifikasi dan asesmen menurut bahasa anda sendiri! 2. Jelaskan perbedaan penjaringan dan penyaringan yang anda ketahui! 3. Jelaskan fungsi identifikasi anak dengan hambatan sosial emosi! 4. Jelaskan



yang



dimaksud



dengan



antecedence,



behavior,



dan



consequence, serta keterkaitannya dengan asesmen fungsional anak dengan hambatan sosail emosi! 5. Salah satu cara yang dipandang efektif dalam asesmen prilaku pada anak dengan hambatan emosi dan prilaku adalah melalui pemecahan masalah (problem solving) yang dilakukan melalui media pemainan. Jelaskan mengapa demikian! B. Tes Formatif Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!



1. Identifikasi adalah… a. proses menemukenali sesuatu berdasar kepada indikator atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan b. proses penjaringan c. proses pemberian treatmen d. proses pencarian informasi secara mendalam mengenai kebutuhan dan kelemahan anak. 2. Langkah awal yang harus dilakukan guru dalam memberikan layanan pendidikan pada anak dengan hambatan emosi adalah…. a. Melakukan bimbingan b. Memberikan perlakuan khusus c. Melakukan identifikasi d. Melakukan tes kecerdasan 3. Secara umum, fungsi identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, yaitu, kecuali… a. Penjaringan b. Referral c. Pengelompokan d. Diagnostic 4. Secara umum terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam rangka identifikasi anak dengan hambatan emosi dan sosial, salah satu diantaranya terkait dengan: a. evaluasi b. kualitas penyimpangan c. perencanaan program tindakan d. pengalihtanganan 5. Setelah kegiatan identifikasi selesai, maka kegiatan selanjutnya yang harus dilakukan adalah… a. Asesmen b. Evaluasi c. Observasi d. Penyusunan program pembelajaran 6. Pernyataan berikut yang sesuai dengan hal-hal yang harus diperhatikan agar kegiatan asesmen anak dengan hambatan emosi lebih mudah emosi adalah...



a. Asesmen terhadap anak dengan hambatan emosi dan prilaku, akan lebih efektif jika dilakukan dalam tim multidisipliner b. kesamaan prosedur yang diterapkan, baik dalam perkembangan maupun evaluasinya. c. Pelaksanaan asesmen hendaknya dilakukan dalam susunan ruangan yang tepat. d. Dapat memasukkan materi yang cukup untuk perencanana keputusan maupun untuk mendeteksi perubahan. 7. Untuk itu dibutuhkan sederet informasi yang lengkap dari anak melalui kegiatan asesmen, untuk dijadikan sebagai dasar dalam memberikan layanan sesuai kebutuhasnnya. Informasi tersebut, menurut Kanfer dan sallow (Fallen dan Umansky, 1985) mencakup tujuh area, yang meliputi : a. Analisis masalah prilaku fokus kepada prilaku yang berlebihan, analisis siatuasi dimana prilaku bermasalah itu terjadi, analisis motivasional, analisis riwayat perkembangan, kontrol diri, relais sosail, lingkungan fisik, sosial dan budaya b. Kepedulan pada lingkungan, situasi darurat, prilaku diruang makan, prilaku dilingkungan sekitar c. Kemampuan dalam menerima konsekuensi, mengungkapkan kesalahan, tingkah laku yang bertanggung jawab d. Prilaku dengan lingkungan, interpersonal, diri sendiri dan yang berhubungan dengan tugas 8. Segala hal mengenai prilaku yang dipermasalahkan, frekuensi, intensitas dan lamanya prilaku tersebut berjalan disebut juga dengan… a. Antecedents b. Consequence c. Pra requisi d. Behavior 9. Adapun urutan yang tepat mengenai tahapan dalam FBA (Functional Behavior Assesment) adalah… a. Identifikasi masalah- analisis data - mengumpulkan data menggunakan asesmen jamak - membuat hipotesa - evaluasi kemajuan b. Identifikasi masalah – menumpulkan data menggunakan asesmen jamak – analisis data – membuat hipotesa tentang fungsi prilaku –



mengembangkan dan mengimplementasikan rencana tindakan – evaluasi kemajuan dan tindak lanjut yang diperlukan. c. Analisis data - membuat hipotesa tentang fungsi prilaku - evaluasi kemajuan dan tindak lanjut yang diperlukan - identifikasi masalah d. Analisis data - membuat hipotesa tentang fungsi prilaku - evaluasi kemajuan dan tindak lanjut yang diperlukan - identifikasi masalah mengimplementasikan rencana tindakan 10. Asesmen multi informasi untuk berarti penggunaan berbagai sumber informasi, sehingga informasi yang diperoleh komprehensif dan valid, adapun tekniknya dapat dengan cara berikut, kecuali… a. Skala penilaian b. Pendekatan observasi terstruktur c. Tes IQ d. Sosiometri C. Kunci jawaban No Soal 1 2



Jawa ban A C



No. Soal 3 4



Jawa ban D B



No Soal 5 6



Jawa ban A C



No. Soal 7 8



Jawa ban A D



No. Soal 9 10



Jawa ban B C



Daftar Pustaka Apter, J., (1982), Trouble System, Trouble Children, New York : Prentice Hall Inc. Anna Mahabbati (tth), Anak Dengan Hambatan Emosi dan Sosial (Children with Emotional and Social Disability). Online: tersedia: (https://www.slideshare.net/99yuda/anak-dengan-hambatan-emosi-dan-sosialtunalaras Cartiedge, G. dan Milburn, J.F. (1992),Teaching Social Skill to Children, New York: Pergamon Press. Cruickshank, W.M. (1980), Psychology of Exceptional Children and Youth. New York: Prentice Hall Inc. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Dikdasmen (2004), Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Anak Tunalaras. Online, tersdia: http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=47 Douglas Cullinan, Epstein M, Wills L. ( 1983 ). Behavior disorder of children and adolesencets. New york: Englewood cliffs



Fallen, N.H., dan Umansky, W. (1985), Young Children With Special Needs, Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company. Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. Exceptional children: Introduction to special education. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1978 Kauffman M James. (2006). Characteristics of Behavior disorders of children and Youth. London: Merril publishing company Lidz, Carol S., (2003), Early Childhood Assesment, New Jersey : John Wiley & Sons, Inc. Martin dan Peer (2003). Behavior Modification: What It Is and How to Do It (7th Edition), Doggy-Doo Books McLoughlin, J.A. dan Lewis, R.B. (1986), Assesing Special Students. Ohio: Merril Publishing Company. Nangle, et.all., (2010), Practitioners Guide to Empirically Based Measures of Social Skills, New York: Springer Salvia,J.& Ysseldyke.J.E., (1995). Assesment. Sixth Edition .Boston: Houghton Mifflin Company. Sunardi dan Atang Setiawan (tth), Pendidikan Anak Tunalaras 1, Hand out perkuliahan, Bandung: Jurusan PLB FIP UPI. Sunardi dan Sunaryo, (2007), Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta: Dirjen Dikti-Dir. Ketenagaan Wikipedia (2018), Tunalaras. Online, tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras