Modul Anestesiologi Dan Terapi Intensif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL KEPANITERAAN KLINIK



DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA TAHUN 2021



PANDUAN KEPANITERAAN KLINIK MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIMAL TAHUN 2021



Tim penyusun dan kontributor



dr. Anna Millizia, M. Ked (An), Sp. An dr. Zaki Fikran, Sp. An dr. Fachrurrazi, M.Kes, Sp. An, KIC dr. Dicky Noviar, Sp.An



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin dan karunia Nya lah maka kami berhasil menyusun modul kepaniteraan klinik departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh ini. Shalawat beriring salam kita hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.



Ucapan terima kasih kami hanturkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh dr.M.Sayuti, Sp.B (K), BD dan ketua program studi profesi dr.Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An yang telah memfasilitasi penyusunan modul ini. Modul ini disusun untuk membantu mahasiswa klinik dalam memahami beberapa ilmu terkait dengan bidang dermatologi dan venereologi. Adapun pedoman penyusunan dari modul ini adalah sesuai dengan SPPDI tahun 2021. Pengetahuan yang komprehensif dan aplikatif diharapkan dapat dimiliki oleh mahasiswa kedokteran UNIMAL sehingga nantinya dapat menjadi dokter yang kompeten dan kompetitif.



Kami menyadari bahwa dalam penyusunan modul ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari sejawat untuk kesempurnaan modul. Terima kasih.



Lhokseumawe, 30 Juni 2021 Atas nama tim penyusun



dr. Anna Millizia, M. Ked (An), Sp. An dr. Zaki Fikran, Sp. An dr. Fachrurrazi, M.Kes, Sp. An, KIC dr. Dicky Noviar, Sp.An



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.......................................................................................



i



DAFTAR ISI………..........................................................................................



ii



BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................



1



BAB 2. TATA TERTIB.............. ......................................................................



3



BAB 3. TOPIK PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF.............................................................................................



15



DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................



105



ii



BAB I PENDAHULUAN Program Pendidikan dokter bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia yang kompeten dan menghargai berbagai tatatertib dan perundang-undangan yang berlaku. Mahasiswa ditahap klinik akan dihadapkan dengan berbagai masalah-masalah klinis praktis sehingga diharapkan setelah menyelesaikan pendidikannya, dokter lulusan Fakultas Kedokteran UNIMAL mampu memberikan pelayanan secara komprehensif dan holistik. Mahasiswa klinis menempuh rotasi di departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif selama 5 minggu dengan total SKS yang diambil yaitu 3 SKS. Selama menempuh kegiatan tahap klinis di departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif mahasiswa akan dibimbing dalam mendiagnosis dan menatalaksana secara tepat sesuai dengan kompetensi dokter yang harus dikuasai, selain itu mehasiswa juga diajarkan beberapa keterampilan klinik terkait bidang Anestesi dan Terapi Intensif yang erat kaitannya dalam kasus kegawatdaruratan dan harus segera di resusitasi. A. KOMPETENSI DOKTER LULUSAN Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh harus menerapkan beberapa prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut: 1. Profesionalisme yang luhur 2. Mawas diri dan pengembangan diri 3. Komunikasi efektif 4. Pengelolaan informasi 5. Landasan ilmiah kedokteran 6. Keterampilan klinis



B. TUJUAN PEMBELAJARAN Pasien dengan kasus-kasus yang memerlukan tindakan anestesi maupun tindakan operasi baik yang dapat ditangani oleh dokter umum maupun dokter Spesialis anestesi akan sangat sering ditemukan oleh mahasiswa kelak setelah lulus, Kepaniteraan Ilmu anestesi ini diharapkan mampu memberikan pengalaman langsung berhadapan dengan pasien dengan pendampingan dan pengawasan preseptor klinik di bagian Ilmu Anestesi. Standar kompetensi Dokter Indonesia/SKDI 15



digunakan sebagai dasar dalam menentukan aktifitas pembelajaran selama kepaniteraan ini. Diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman pembelajaran (experience learning) yang berharga sebagai bekal ketika lulus dokter kelak. Sistem evaluasi dokter muda diterapkan dengan mengacu SKDI agar dokter muda mencapai kompetensi yang diharapkan. Penilaian dokter muda tidak hanya didasarkan atas kemampuan hard skills (pengetahuan dan keterampilan) saja, tetapi juga meliputi soft skills (disiplin, perilaku, kerja sama, dll). Diharapkan lulusan tidak hanya pandai dan terampil tetapi juga berperilaku baik serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalitas dan etika.



C. KOMPETENSI Standar kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa klinik mengacu pada SPPDI tahun 2021 yaitu sebagai berikut:



1.



Kompetensi 1: Mahasiswa mampu menjelaskan



2.



Kompetensi 2: mampu mampu menjelaskan dan mendiagnosis suatu penyakit



3.



Kompetensi 3a: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal, kemudian merujuk



4.



Kompetensi 3b: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal, kemudian merujuk (kasus gawat darurat)



5.



Kompetensi 4: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan memberikan tatalaksana terhadap suatu penyakit secara mandiri



2



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif BAB II TATA TERTIB 1.



TATA TERTIB DI BAGIAN ANESTESI Selama menjalani kegiatan kepaniteraan klinik di Ilmu Anestesi harus mematuhi berbagai tata tertib baik dalam masa pandemi atau diluar masa pandemi sebagai berikut: 1.



Mahasiswa sudah melewati rotasi klinik tahap I dan baru diizinkan untuk mengikuti kegiatan kepaniteraan di departemen Ilmu Anestesi



2. Mahasiswa wajib melapor kepada kepala departemen Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Cut Meutia, pada hari Senin (Minggu 1) pukul 08:00 WIB yang dilakukan secara berkelompok (tidak boleh diwakili) dengan membawa surat pengantar masuk stase, dan selanjutnya mendapatkan pengarahan mengenai tata tertib yang harus dipatuhi, jenis kegiatan-kegiatan ilmiah, metode evaluasi, bobot untuk setiap metode evaluasi, dan sanksi yang akan didapatkan jika mahasiswa tidak mengikuti kegiatan kepaniteraan di depertemen Ilmu Anestesi. 3. Mahasiswa menyerahkan pas foto ukuran 3x4 warna dengan latar belakang merah, untuk ditempelkan di buku absensi mahasiswa dan dibuku daftar tugas mahasiswa yang juga memuat nilai setiap kegiatan mahasiswa selama menempuh kegiatan di Ilmu Anestesi. 4. Dalam masa pandemi, pada minggu pertama mahasiswa menjalankan proses pembelajaran secara daring, selanjutnya akan masuk secara tatap muka, sedangkan pada masa diluar pandemi proses belajar dilakukan secara tatap muka dari minggu pertama sampai selesai stase di departemen Ilmu Anestesi di RSU Cut Meutia. 5. Dalam masa pandemi, setiap dokter muda yang melakukan proses pembelajaran wajib menggunakan alat pelindung diri level 2 serta mematuhi protokol kesehatan. 6. Dokter muda bertanggung jawab terhadap alat dan bahan dalam proses pembelajaran yang disediakan oleh rumah sakit pendidikan, dan bila terjadi kerusakan maka menjadi tanggung jawab dokter muda yang melakukannya 7. Jam kerja mahasiswa yaitu selama 5 hari dalam seminggu yaitu sebagai berikut: 3



-



Senin-Jumat: pukul 08.00-14.00 WIB Istirahat: 12.00-13.00 WIB



-



Mahasiswa wajib mengisi daftar hadir sebanyak 2 kali sehari yaitu saat masuk dan saat pulang



-



Pengisian daftar hadir harus dilakukan oleh mahasiswa sendiri dan tidak boleh diwakilkan



8. Mahasiswa hanya diperkenankan untuk tidak mengikuti kegiatan klinik di departemen Ilmu Anestesi dengan alasan sakit (dilampirkan surat sakit) dan jika terkena musibah (meninggal ayah, ibu, dan saudara kandung). Izin hanya diberikan selama 3 hari, dan jika melebihi dari batas waktu yang ditentukan maka mahasiswa harus mengulang kegiatan kepaniteraan klinik dari awal 9. Selama bertugas di departemen Ilmu Anestesi mahasiswa wajib menyelesaikan semua tugas-tugas yang diberikan dan jika belum menyelesaikan mahasiswa tidak akan diberikan surat keluar sampai tugas tersebut selesai. 10. Kegiatan pada Bagian Ilmu Anestesi berlangsung di 4 (tiga) tempat, yaitu ruang pre-operasi, ruang operasi, Recovery Room (RR) dan Intensive Care Unit (ICU) 11. Selama berada di Bagian Ilmu Anestesi, setiap Dokter Muda melakukan aktivitas sesuai dengan jadwal kegiatan per minggu (terlampir) serta melaporkannya secara tertulis (log book). Tugas tersebut selanjutnya dilaporkan dalam diskusi bersama preseptor 12. Setiap Dokter Muda mengikuti aturan pakaian OK dengan menggunakan baju OK Dokter Muda dengan menempelkan badge nama Dokter Muda dan menempelkan Badge anestesi. 13. Pada hari Jumat Minggu 5, setelah melakukan ujian dengan preseptor, setiap Dokter Muda wajib menyerahkan tugas (poin 11) bentuk CD. 14. Setelah menyerahkan tugas (poin 13), dokter muda melapor pada Kepala Bagian Ilmu Anestesi untuk keluar stase, yang dilakukan secara berkelompok (tidak boleh diwakili).



4



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 2.



SANKSI AKADEMIK Hal yang berkenaan dengan sanksi akademik sebagaimana di bawah ini : 1.



Peringatan. a.



DM yang meninggalkan kegiatan kepaniteraan klinik tanpa izin akan diberi peringatan.



b.



DM yang berperilaku tidak sesuai dengan etika kepaniteraan klinik akan diberi peringatan.



2.



Sanksi akademik. a. Apabila DM melakukan pelanggaran etika, akademik akan mendapat sanksi mulai peringatan, skorsing, hingga dikeluarkan. b. Berat ringan sanksi sesuai keputusan dan hasil rapat Pimpinan.



3.



Pemberhentian DM. Pemberhentian DM dibicarakan dalam rapat senat dan dilakukan atas dasar: a. Permintaan sendiri. b. Tidak mampu menyelesaikan pendidikan dalam batas waktu yang telah ditentukan. c. Adanya hambatan kepribadian dan kejiwaan berdasarkan hasil evaluasi fisik dan psikologis serta kepribadian yang dilakukan oleh tim ahli yang ditunjuk d. Melanggar ketentuan dan tata tertib Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh. e. Dinyatakan bersalah dalam tindak kegiatan kriminal oleh pengadilan dimana keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. f. DM yang akan diberhentikan terlebih dahulu dibicarakan dalam Rapat Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh, kemudian diusulkan ke Rektor Universitas Malikussaleh. g. Pemberhentian DM diputuskan oleh Rektor Universitas Malikussaleh dan ditetapkan dalam suatu Surat Keputusan



5



KETENTUAN MENGULANG STASE Ketidakhadiran dokter muda dalam kegiatan profesi diberikan sanksi MENGULANG STASE sesuai dengan jumlah hari dan tempat stase, seperti pada Tabel berikut ini NO 1.



BAGIAN BESAR



BAGIAN KECIL



< 3 hari dengan alasan bisa < 3 hari dengan alasan diterima* bisa diterima



< 3 hari dengan alasan tidak bisa diterima** >3 hari dengan alasan 3. apapun Keterangan : 2.



< 3 hari dengan alasan tidak bisa diterima >3 hari dengan alasan apapun



SANKSI Mengulang sebanyak hari libur pada akhir siklus Mengulang 1 Minggu Mengulang penuh



* Alasan bisa diterima : sakit dengan surat keterangan dokter spesialis, keperluan keluarga (sesuai yang tertera pada 3.9), keperluan Fakultas/RS dengan surat keterangan dari yang berwewenang. ** Alasan tidak bisa diterima: adalah alasan selain tersebut diatas. Jika dokter muda (DM), tidak menyelesaikan tugas di bagian dan belum melaksanakanujian akhir (post test) maka DM tersebut wajib mengulang stase dan ujian di akhir semua siklusselama 2 minggu. KETENTUAN LULUS DOKTER, PELAKSANAAN SUMPAH DOKTERDAN PEMBERIAN IJAZAH 1.



DM dinyatakan lulus pendidikan profesi dokter apabila telah dinyatakan lulus pada Uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga yang ditunjuk dan diakui oleh Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.



2.



Sumpah dokter dilaksanakan terhadap DM yang telah lulus Uji Kompetensi tersebut.



3.



Wisuda dan ijazah dokter diberikan kepada DM yang telah dinyatakan lulus Uji Kompetensi dan telah disumpah sebagai dokter.



4.



Kategori/predikat kelulusan dokter: a. Lulus dengan pujian (cum laude), apabila memenuhi persyaratan : - IPK = 3,76 – 4,00 6



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif - Masa studi kepaniteraan klinik minimal 4 semester - Tidak mendapat sanksi terhadap pelanggaran moral dan etika. b. Sangat memuaskan, apabila memenuhi persyaratan : - IPK = 3,51 – 3,75 - Masa studi kepaniteraan klinik 5 semester - Tidak mendapat sanksi terhadap pelanggaran moral dan etika. c. Memuaskan, apabila memenuhi persyaratan : - IPK = 3,00 – 3,50 PERPINDAHAN MAHASISWA Perpindahan DM Program Studi Profesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh ke Universitas lain atau dari Fakultas Kedokteran lain ke Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh setelah menyelesaikan tahap program pendidikan S.Ked akan diperlakukan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Malikussaleh. KETENTUAN TAMBAHAN Apabila terdapat perubahan atau hal yang belum tercantum pada petunjuk/peraturan di atas, keputusan diambil dengan mengacu pada ketentuan peraturan yang lebih tinggi atau akan diambil kebijaksanaan oleh pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh/pimpinan Universitas Malikussaleh.



A. KEGIATAN SELAMA ROTASI KLINIK Berikut adalah kegiatan yang akan dijalani oleh mahasiswa selama menjalani kegiatan rotasi klinik Keterangan Waktu



Minggu



1



Pretest



1



2



Case report session



1,2,3,4,5 7



3



Clinical scientific session



1,2,3,4,5



4



Meet the expert



1,2,3,4,5



5



Bimbingan di poliklinik/Kamar Operasi/ICU



1,2,3,4,5



6



Bedside teaching



1,2,3,4,5



7



Post Test



5



B. JADWAL ROTASI KLINIK Minggu 1: Kegiatan rutin bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif NO



Hari



Jam



Kegiatan



1



Senin



07.00 - 08.00 WIB



Melapor



kebagian



administrasi



Anestesiologi dan Terapi Intensif



2



3



Selasa



Rabu



08.00 - 10.00 WIB



Pre Test



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Clinical Scientific Session



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (Terapi Cairan dan Monitoring Hemodinamik)



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



8



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 4



5



Kamis



Jumat



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Meet the expert (Intubasi dan Ekstubasi)



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 09.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



09.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Case Report Session



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



Minggu 2: Kegiatan rutin bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif



NO



Hari



Jam



Kegiatan



1



Senin



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (General Anestesi)



10.00 - 12.00 WIB



Bimbingan di Poliklinik



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Clinical Scientific Session



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (Manajemen Nyeri Paska



2



3



Selasa



Rabu



Operasi) 10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU 9



4



5



Kamis



Jumat



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 – 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Bedside teaching



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Case Report Session



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 14.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



Minggu 3: Kegiatan rutin bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif



NO



Hari



Jam



Kegiatan



1



Senin



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (Regional Anestesi)



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Clinical Scientific Session



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Meet the expert (Manajemen Ventilasi



2



Selasa



Mekanik pada pasien gagal nafas) 15.00 – 21.00 WIB



Night Shift 10



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif



3



4



5



Rabu



Kamis



Jumat



08.00 - 10.00 WIB



Case Report Session



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 09.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



09.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 14.00 WIB



Belajar mandiri



Minggu 4: Kegiatan rutin bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif



NO



Hari



Jam



Kegiatan



1



Senin



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (Resusitasi Jantung Paru)



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Clinical Scientific Session



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



2



Selasa



11



3



Rabu



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert ( Acute Medical Response)



4



5



Kamis



Jumat



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Case Report Session



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 14.00 WIB



Belajar mandiri



Minggu 5: Kegiatan rutin bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif



NO



Hari



Jam



Kegiatan



1



Senin



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (Tatalaksana jalan nafas)



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



12



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif



2



Selasa



3



Rabu



4



Kamis



5



Jumat



13.00 - 15.00 WIB



Clinical Scientific Session



15.00 – 21.00 WIB



Night Shift



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 – 15.00 WIB



Belajar mandiri



08.00 - 10.00 WIB



Meet the expert (Terapi Oksigen)



10.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Belajar mandiri



08.00 - 10.00 WIB



Bedside teaching



10.00 - 12.00 WIB



Case Report Session



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 15.00 WIB



Belajar mandiri



08.00 - 10.00 WIB



Post test



09.00 - 12.00 WIB



Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU



12.00 - 13.00 WIB



ISHOMA



13.00 - 14.00 WIB



Belajar mandiri



C. EVALUASI (ASSESMENT) Metode penilaian beserta bobot nilai yang akan diberikan kepada peserta didik yaitu sebagai berikut: NO



Metode assesment



minggu



Bobot penilaian



1



Pre test



I



10%



13



2



Case report



III



15%



3



Clinical Science Session



IV



15



4



Bed site teaching



I,II,III,IV,V



20%



5



Nilai attitude



I,II,III,IV,V



10%



6



Post test



V



30%



TOTAL



100%



Mahasiswa akan dinilai dengan 6 metode assessment dan setiap assessment memiliki nilai bobot tertentu. Hasil akhir dari nilai mahasiswa ditentukan berdasarkan akumulasi dari keenam metode assessment tersebut yang selanjutnya akan dirata-ratakan. Adapun untuk indeks nilai yang akan diperoleh mahasiswa adalah sebagai berikut: Nilai Angka



Nilai Mutu



Angka Mutu



Mutu



85,00 - 100



A



4



80,00-84,99



A-



3,70



Sangat baik



75,00-79,99



B+



3,30



Antara



Istimewa



sangat



baik



dan



memuaskan 70,00-74,99



B



3



Baik



65,00-69,99



B-



2,70



Cukup baik



60,00-64,99



C+



2,30



Antara baik dan cukup



55,00-59,99



C



2



50,00-54,99



C-



1,70



45,00-49,99



D



1



Gagal



1.010, Natrium dalam urin 450 mOsm/kg, hypernatremia, dan ratio BUN- -kreatinin >10:1. Tanda-tanda pada foto roentgen adalah meningkatnya vaskularisasi paru dan interstitiel yang ditandai dengan ( Kerly " B") atau infiltrasi difus pada alveolar adalah tandatanda dari overload cairan.1 16



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif



Pengukuran Hemodinamik Monitoring CVP diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang normal jika status volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya perubahan yang cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan nilai yang rendah(< 5 mm Hg) mungkin normal kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia. Lebih dari itu, respon dari bolus cairan ( 250 mL) yang ditandai dengan: sedikit peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan indikasi penambahan cairan, sedangkan suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg) kebutuhan cairan cukup dan evaluasi kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12 mmHg dipertimbangkan. hypervolemia dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya tekanan intrathorakal, atau penyakit pericardial restriktif.1 Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak berkorelasi dengan gejala klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau sekunder dari fungsi ventrikel kanan, kelainan fungsi tubuh; yang juga berhubungan dengan paru-paru atau penyakit pada ventrikel kiri. Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP) 4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan. Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan mengganggu transport



oksigen, memperlambat penyembuhan luka dan memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah pembedahan.1



CAIRAN KRISTALOID Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien dengan syok hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan perfusi otak, dan pasien dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan kristaloid telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat diberikan. Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan tergantung dari derajat dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan hipotonik dan disebut juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga replacement type solution. Dalam cairan, 18



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8 jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (> 24 h) disbanding pria. 1 Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka yang biasa digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer Laktat. Walaupun sedikit hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering dipakai sebagai larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika larutan salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi Clorida meningkat. 1 Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan mengencerkan Packed Red Cell untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan pada terapi hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 – 7,5% disarankan dipakai untuk resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat menyebabkan hemolisis. 1



CAIRAN KOLOID Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid untuk menjaga cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular 20-30 menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular 3-6 jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah : 1 1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang berat (misal: syok hemoragik) sampai ada transfusi darah. 2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar, koloid diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma. 1 Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah 19



normal saline (Cl 145 – 154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik. Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma atau polimer glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi alpha dan beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang alami da melibatkan aktivasi dari kalikrein. 1 Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan dengan histamine mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United States.Dextran terdiri dari Dextran 70 ( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi dengan menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek antiplatelet. Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi anafilaksis. Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaxis berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi. 1 Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul besar dihancurkan pertama kali oleh amylase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial. Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat molekul rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch.1



TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.1



20



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Kebutuhan Pemeliharaan Normal Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut:1 Tabel 2. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.1) Berat Badan



Kebutuhan



10 kg pertama



4 ml/kg/jam



10-20 kg kedua



2 ml/kg/jam



Masing-masing kg > 20 kg



1 ml/kg/jam



Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab: 40+20+5=65 ml/jam



Preexisting Deficit Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 + 20 + 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.2



Penggantian Cairan Intraoperatif Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan intravascular ( normovolemia) sampai 21



bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit2124%).2 Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.2 Tabel 3. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes) (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.2) Umur



Volume Darah



Neonatus Prematur



95 ml/KgBB



Full- Term



85 ml/KgBB



Infants



80 ml/KgBB



Adults Men



75 ml/KgBB



Woman



65 ml/KgBB



Pada keadaan ini



kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood cell.



Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan volume darah. Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >1020% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut:2 1.



Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.



2.



Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).



3.



Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah normal.



22



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 4.



Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.



5.



Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3



Contoh



:



Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%? Jawaban : Volume Darah yang diperkirakan = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 ml. RBCV 35 % = 5525 x 35 % = 1934 mL. RBCV30% = 5525 x 30 % = 1658 Ml Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1934 - 1658 = 276 mL. Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL = 828 mL. Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24% (hemoglobin < 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.



Tabel 4. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.1) DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN



PENAMBAHAN CAIRAN



MINIMAL (contoh hernioraphy)



0 – 2 ml/Kg



SEDANG ( contoh cholecystictomy)



2 – 4 ml/Kg



BERAT (contohreseksi usus)



4 – 8 ml/Kg



Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: 1.



Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 23% (pada orang dewasa); dan



2.



10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%. 23



Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi pada masing-masing pasien.1



1.2 Intubasi Dan Ekstubasi TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Kognitif Diharapkan mahasiswa mampu : a. Mengetahui indikasi dilakukan intubasi dan ekstubasi c. Mengetahui alat dan bahan dalam melakukan intukbasi dan ekstubasi d. Mengetahui cara intubasi dan ekstubasi e. Mengetahui cara intubasi sulit dan penanganannya 2. Psikomotorik Diharapkan mahasiswa mampu : a. Mempersiapkan alat dan bahan dalam intubasi b. Mempersiapkan alat dan bahan dalam ekstubasi c. Dapat melakukan intubasi d. Dapat melakukan ekstubasi 3. Afektif Diharapkan mahasiwa mampu : Mengerti dan dapat melakukan intubasi dan ekstubasi.



PENDAHULUAN Dalam bidang anestesiologi, pengelolaan jalan nafas merupakan tindakan yang penting. Terdapat berbagai alat yang digunakan dalam mengelola jalan nafas. Pemasangan pipa endotrakeal (ET) merupakan salah satu tindakan pengamanan jalan nafas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik. Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi mekanik, tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum.3 24



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Intubasi adalah memasukkan pipa kedalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu endotrakeal dan nasotrakeal, intubasi endotrakeal adalah memasukkan sehingga ujung kirakira berada dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial, mengatasi obstruksi lanjut akut, dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama.3 Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Dalam melakukan intubasi dilakukan pemasangan pipa endotrakeal. Pemakaian pipa endotrakeal memiliki beberapa keuntungan seperti terpeliharanya jalan nafas, kemungkinan nafas kontrol atau alat bantu. Pengurangan ruang rugi dan mencegah aspirasi pneumonia serta memudahkan pembersihan pada tenggorok dan mencegah mengedan akibat spasme laring. Penggunaan pipa endotrakeal yang non kinking sangat membantu ahli anestesiologi untuk mencegah pipa endotrakeal tertekuk pada pembedahan kepala, leher atau posisi telungkup.3 Kerugiannya terutama bersifat mekanik dan kesalahan teknik, juga karena iritasi atau reaksi alergik lokal alat yang digunakan seperti pipa endotrakeal, pelumas. Pipa endotrakeal menyebabkan saluran nafas menjadi lebih sempit, sehingga tahanan aliran udara nafas menjadi lebih besar. Hal tersebut berbahaya terutama untuk anak – anak. Oleh karena itu kita selalu berusaha agar pipa endotrakeal yang dipasang sebesar mungkin tetapi tidak sampai melukai laring.3



PIPA ENDOTRAKEAL Pipa endotrakeal umumnya memiliki jari – jari lengkung 12 – 16 cm, pada potongan lintang pipa, dinding dalam maupun luar sebaiknya bulat, bila oval atau ellips akan mudah tertekuk. Disebelah distal terdapat bagian yang miring disebut bevel, membentuk sudut 39 – 560 . Bila sudut lebih kecil maka akan memudahkan masuknya pipa lewat hidung tetapi resiko terjadinya sumbatan akan bertambah. Sisi bevel biasanya menghadap kekiri, karena umumnya ahli anestesiologi menggunakan tangan kanan dan memasukkan pipa dari sebelah kanan. Ujung bevel sebaiknya 25



bulat dengan tepi tumpul. Ada pipa endotrakeal yang memiliki lubang dekat ujung distal disebut jenis murphy dan lubangnya disebut mata murphy. Tujuan dari mata murphy adalah bila terjadi sumbatan pada ujung bevel maka gas masih dapat lewat. Jenis Magill tidak memiliki lubang pada ujung distalnya.3 Penentuan panjang pipa endotrakeal merupakan masalah sulit, penggunaan pipa endotrakeal terlalu panjang akan meningkatkan ruang rugi dan kemungkinan pipa tertekuk, intubasi endobronkial atau ujung pipa menempel dikarina, sedangkan pipa yang terlalu pendek dapat mengakibatkan ekstubasi tidak sengaja atau tekanan kaf pada struktur laring. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.3 Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag mask, melalui pipa endotracheal (ETT) atau melalui sungkup laring (LMA). Pemberian ventilasi mekanik dengan cara memompa gas melalui sungkup muka (bag and mask ventilation ) tidak dapat dilakukan dengan jangka waktu yang lama. Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak terlindung. Ventilasi cara ini biasanya hanya persiapan sebelum manajemen definitive jalan nafas dengan ETT dan LMA.3 Diantara keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas (terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan pengisapan secret. ETT termasuk invasive, pemasangannya dapat traumatic dan bagi pasien dengan jalan nafas yang hiperreaktif dapat mencetuskan asma. Selain itu, jika penempatan ETT terlalu dalam di salah satu bronkus (endobrachial intubation), justru dapat menyebabkan hipoksia karena atelectasis satu paru. Intubasi trachea juga terkadang salah arah, masuk ke esofasgus. Hal ini harus segera diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi esophagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika ETT masuk esophagus, tidak akan terdeteksi kadar ETCO2 (end tidal CO2) melaui kapnografi. Hal ini dikarenakan CO2 hanya diekskresikan oleh paru-paru.3 INDIKASI INTUBASI ENDOTRAKEAL Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut : 3 1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain. 2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.



26



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi KONTRAINDIKASI INTUBASI ENDOTRAKEAL Terdapat beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain : 3 1. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom 2. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis 3. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial 4. Benda asing 5. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher 6. Obesitas 7. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis arkilosing, halo traction 8. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi moncong. PERSIAPAN INTUBASI ENDOTRAKEAL Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. ETT harus diperiksa. Sistem inflasi kaf pipa dapat dites dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkial atau sumbatan akibat dari pipa tertekuk. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas gagang laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak, dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah. 3 Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang 27



(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal. 3 Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit. 3 Dalam persiapan alat yang harus diperhatikan yaitu : STATICS 1. Scope : Laringoscope, Stetoscope 2. Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran 3. Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA 4. Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting 5. Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep 6. Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi. 7. Suction : Penghisap lendir siap pakai Perlengkapan lain yang harus dipersiapkan yaitu bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas), sarung tangan steril, Xylocain jelly/ Spray 10% , Gunting plester, Spuit 20 cc untuk mengisi cuff, Bantal kecil setinggi 12 cm, Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan emergency). 3 LANGKAH INTUBASI ENDOTRACHEAL Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukkan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang 28



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat. 3 Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja.3 KOMPLIKASI INTUBASI Tindakan intubasi endotrakeal dapat menimbulkan berbagai komplikasi atau trauma seperti komplikasi sistem respirasi (bronkospasme), juga menimbulkan komplikasi kardiovaskuler berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung, dan disritmia. Selain itu terdapat beberapa komplikasi lainnya yaitu nyeri tenggorokan, suara serak, paralisa pita suara, edema laring, laring granuloma, dan ulcer, glotis dan subglotis, granulasi jaringan,stenosis trakea. Komplikasi tersebut dapat terjadi secara cepat atau lambat. 4 Beberapa komplikasi pemasangan intubasi endotrakeal dapat disebabkan oleh rangsangan pipa endotrakeal pada daerah laring, trakea, karina, dan bronkus yang menimbulkan respon simpatis dan pelepasan katekolamin. Respon sistem yang terjadi terhadap intubasi trakea menyebabkan peningkatan kadar katekolamin plasma.4 Komplikasi yang dapat terjadi pada saat intubasi : 4 1. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di laring. 2. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah, dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring. 3. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra okuler, laringospasme. 4. Kebocoran balon. Komplikasi yang dapat terjadi saat ETT di tempatkan : 1. Malposisi (kesalahan letak) 2. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa hidung. 29



3. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT. Komplikasi yang dapat terjadi setelah ekstubasi: 1. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan. 2. Laringospasme



EKSTUBASI Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakea. Ekstubasi dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya reintubasi dan komplikasi lain. 4 1. Pre ekstubasi : Persiapan Pasien : a. Pasien sadar penuh b. Status pernafasan pasien adekuat, seperti : RR< 25x/mnt, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, tidak sesak, HR dan TD stabil, tidak ada aritmia. c. Hasil AGD baik d. Pasien dapat batuk secara adekuat. e. Pasien dipuasakan ± 4 jam, dan NGT dialirkan saat ekstubasi. 2. Intra Ekstubasi : a. Hiperoksigenasi, suctioning ETT dan bersihkan jalan nafas pasien b. Lepas fiksasi/plester pada endotracheal tube (ETT) c. Instruksikan pasien untuk bernafas dalam d. Saat pasien mencapai puncak inspirasi, pipa endotrakea dikempeskan dan dokter anastesi mencabut ETT dalam satu gerakan saat inspirasi. e. Saat ETT dicabut, perawat memonitor hemodinamik pasien f. Motivasi pasien untuk bernafas dalam dan batuk i g. Suctioning dan bersihkan kembali jalan nafas pasien h. Berikan nebulizer dan support dengan oksigen adekuat i. Cuci tangan j. Rapikan Alat k. Dokumentasikan tindakan



30



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 3. Post Ekstubasi : a. Monitor vital signs, status respirasi, dan oksigenisasi 1 jam pertama atau menurut kebijaksanaan b. Berikan oksigenisasi sesuai kebutuhan c. Anjurkan klien untuk nafas dalam dan batuk d. Anjurkan klien untuk mengeluarkan sputum e. Beri motivasi untuk bernafas tanpa bantuan ventilator f. Pemeriksaan blood gass artery, tidak mutlak



31



MINGGU 2 1.3 General Anestesi TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Kognitif Diharapkan mahasiswa mampu : i. Mengetahui jenis-jenis tindakan general anestesi ii. Mengetahui persiapan dalam tindakan general anestesi iii. Mengetahui alat dan bahan dalam tindakan general anestesi iv. Mengetahui indikasi dan kontaindikasi tindakan general anestesi v. Mengetahui farmakodinamik dan farmakokinetik obat-obat general anestesi 2. Psikomotorik Diharapkan mahasiswa mampu : a. Melakukan persiapan terhadap pasien dengan tindakan general anestesi b. Melakukan persiapan alat dan bahan tindakan general anestesi c. Memberikan obat-obat anestesi 3. Afektif Diharapkan mahasiwa mampu : Mengetahui dan mempersiapkan tindakan general anestesi. General Anestesi General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena.5 1. Teknik General Anestesi General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu: 5 -



General Anestesi Intravena Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena. 15



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif -



General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.



-



Anestesi Imbang Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu: o Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain. o Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional. o Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.



Kembalinya kesadaran pasien dari general anestesi secara ideal harus mulus dan juga bertahap dalam keadaan yang terkontrol hingga kembali sadar penuh, waktu pulih sadar tindakan general anestesi sebagai berikut: 5 1. General Anestesi Intravena Waktu pulih sadar pasien dengan general anestesi dengan TIVA propofol TCI (Target Controlled Infusion) adalah 10 menit 2. General Anestesi Inhalasi Waktu pasien akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak sadar yang berlangsung diatas 15 menit dianggap prolonged 3. Anestesi Imbang Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau penawarnya (nalokson) secara intavena dan observasi 60 menit setelah esktubasi (pencabutan ETT)



33



1.4 Manajemen Nyeri Paska Operasi TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Kognitif Diharapkan mahasiswa mampu : a. Diharapkan dokter muda mampu : b. Mengetahui mekanisme nyeri c. Mengetahui pemeriksaan nyeri d. Mengetahui terapi nyeri 2. Psikomotorik Diharapkan mahasiswa mampu : a. Melakukan pengukuran nyeri b. Memberikan terapi nyeri c. Evaluasi keberhasilan terapi nyeri 3. Afektif Diharapkan mahasiwa mampu mengetahui dan menjelaskan nyeri secara keseluruhan



Manajemen Nyeri Di Amerika Serikat, nyeri merupakan keluhan medis yang paling sering dikeluhkan dan merupakan salah satu alasan utama pasien mencari perawatan medis. Berdasarkan American Pain Society (APS), 50 juta warga Amerika lumpuh sebagian atau total karena nyeri, dan 45% dari warga amerika membutuhkan perawatan nyeri yang persisten seumur hidup mereka. Kira-kira 5080% pasien dirumah sakit mengalami nyeri disamping keluhan lain yang menyebabkan pasien masuk rumah sakit. 6 Nyeri merupakan pengalaman yang subyektif sehingga penilaian menjadi sangat penting. Tidak ada alat ukur objektif yang dapat memberikan penilaian yang memuaskan. Nyeri juga multidimensional termasuk persepsi nosiseptif dan ekspresi. Untuk itu, multiaspek dari rasa nyeri juga harus dipertimbangkan, termasuk sensorik, afektif dan dimensi kognitif. Tidak ada pendekatan tunggal yang dapat digunakan untuk menilai nyeri pada semua pasien ataupun pada semua situasi karena rasa nyeri dipengaruhi oleh berbagai multifaktor, termasuk penggunaan alat ukur, waktu melakukan penilaian jumlah pasien serta klinisi itu sendiri. 6



34



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Penilaian nyeri pertama dibuat pada tahun 1986 oleh World Health Organization (WHO), yakni terdapat 3 tahap pemberian analgesik pada nyeri kanker yang didasarkan pada intensitas nyeri. Saat ini penilaian nyeri yang awalnya dibuat oleh American Pain Society (APS) telah banyak digunakan pada banyak rumah sakit di seluruh negeri, dan digunakan sebagai “salah satu tanda vital”. Mantan presiden APS, dr. James Campbell menyatakan : “tanda vital merupakan hal yang sangat penting. Jika nyeri dinilai sama seperti tanda-tanda vital lainnya, maka kita dapat memberikan perawatan yang lebih baik”.6 Pada bulan Februari tahun 1999, Veteran administrasi Rumah Sakit memasukkan nyeri sebagai salah satu tanda vital dalam sistem penilaian rumah sakit mereka secara nasional. Dengan tujuan untuk mencegah dan mengurangi penderitaan pasien, penilaian nyeri akan dilakukan dengan berbagai macam cara secara konsisten. Pada tahun 2001, The Joint Commision On Acreditation of Health care Organization (JCAHO) melakukan evaluasi skor nyeri pada semua pasien. Tujuan utama dari evaluasi ini adalah untuk membuat suatu penilaian yang sama dalam penanganan nyeri. 6 Defenisi dan Tipe Nyeri Nyeri merupakan pengalaman kompleks pada seluruh manusia. Definisi tersebut telah berkembang selama bertahun-tahun. Pada tahun 1968 Margo McCaffery mempublikasikan definisi klinis nyeri yang telah menjadi batu loncatan terhadap penilaian nyeri: “Nyeri merupakan sesuatu hal yang dikatakan oleh pasien dan yang pasien rasakan”. Frase ini merupakan dasar bahwa nyeri yang diterima dan dirasakan berasal dari laporan pasien itu sendiri.6 Menurut The Internasional Assosiation for The Study of Pain (IASP) yang mengembangkan definisi dari nyeri sebagai “Suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, dimana hal ini terutama dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau gambarannya dihubungkan seperti ada sebuah kerusakan atau keduanya”. Defenisi dari nyeri ini diakui sebagai gabungan antara fenomena sensorik, emosional, dan kognitif dimana terjadi kelainan patologi pada tubuh yang tidak tampak. 6 Pandangan kontemporer dari karakteristik nyeri secara multidimensional dengan adanya suatu keterlibatan simultan berbahaya, emosional, kognitif (pikiran), dan komponen-komponen kepercayaan. Secara konseptual, nyeri dapat dibagi 3 tingkatan secara hirarki yang terdiri dari : komponen sensorik-diskriminatif (misalnya lokasi, intensitas, kualitas), komponen motivasi-



35



afektif (misalnya depresi, kecemasan), dan komponen kognitif-evaluatif (misalnya pikiran tentang penyebab dan signifikasi nyeri).6 Terdapat 5 klasifikasi nyeri: nosiseptif, neuropatik, campuran, psikogenik, dan idiopatik. Nyeri nosiseptif dapat didefenisikan sebagai suatu sensasi sekunder yang tidak menyenangkan sebagai aktivasi nosiseptor perifer yang terletak di jaringan lain dari sistem saraf perifer dan pusat. Nyeri nosiseptif dibagi lagi menjadi tipe somatik dan viseral. Nyeri nosiseptif biasanya waktunya terbatas dan mengalami penyembuhan dari kerusakan awal.6 Nyeri neuropatik digambarkan sebagai bentuk paradox dari nyeri sekunder akibat trauma atau disfungsi pada saraf sensorik sentral atau sistem saraf perifer. Selanjutnya cedera saraf mengakibatkan hilangnya transmisi sensorik dan umumnya pasien mengeluh “mati rasa”. Nyeri psikogenik merupakan suatu bentuk nyeri yang dihubungkan dengan nyeri fisik yang selalu berasal dari masalah psikologis. Seseorang dengan gangguan nyeri psikogenik akan mengeluhkan gejala yang tidak sesuai. Hal ini dapat terwujud dalam bentuk sakit kepala, nyeri otot, nyeri punggung, dan nyeri perut. Nyeri idiopatik merupakan suatu bentuk nyeri yang tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisik atau mental. Hal ini biasanya dianggap sebagai diagnosis eksklusi.6 Faktor yang mempengaruhi respon nyeri: 7 1. Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga klinisi harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2. Jenis kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 3. Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.



36



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 4. Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. 5. Perhatian Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. 6. Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7. Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8. Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 9. Support keluarga dan social Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.



Proses Penilaian Nyeri Meskipun telah menjadi pengalaman universal, nyeri sulit untuk ditangani. Penilaian nyeri yang tidak adekuat sering menjalani pengobatan yang tidak adekuat pula. Seperti halnya penyakit medis lainnya, riwayat dan pemeriksaan secara detail merupakan kunci untuk memahami keluhan pasien dan memikirkan rencana terapi. Anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk menemukan sifatsifat nyeri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : nyeri di daerah mana?, dirasakan seperti apa?, sejak kapan nyeri tersebut timbul?, seberapa berat nyeri yang dirasakan?, seberapa sering nyeri tersebut dialami?, apakah nyerinya bertambah berat atau tidak?. Pemeriksaan harus mencakup



37



skala penilaian dan alat-alat lain yang dirancang untuk mengetahui sifat dari intensitas dan kualitas nyeri yang dikeluhkan.7 Informasi yang objektif atau kuantitatif mencakup intensitas pada saat beristirahat atau pada saat beraktifitas. Diagnostik dari pemeriksaan fisis harus selalu dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab dasar dari nyeri tersebut mengenai faktor-faktor eksaserbasi nyeri dan untuk mengidentifikasi kelainan neuromuskular, kelainan neurologis, dan perilaku yang abnormal. Informasi yang subyektif termasuk informasi kualitatif yang terdiri dari sifat nyeri tajam atau tumpul tiba-tiba, lokasi dan penyebaran nyeri, onset dan durasi nyeri, serta faktor yang memperburuk atau faktor yang meringankan.7



Skor Penilaian Nyeri Penilaian nyeri merupakan permulaan untuk memulai terapi awal yang akan diresepkan, setelah itu sebaiknya dimodifikasi sesuai dengan respon pasien. Klinisi dan perawat yang mengobati pasien dengan nyeri akut dan kronis sering menggunakan skor penilaian untuk menilai intensitas nyeri yang dibutuhkan untuk pengobatan, dan jumlah analgetik yang dibutuhkan. Skor penilaian sangat objektif, terutama didasarkan pada tanda-tanda perilaku dan otonom yang sesuai dengan pengalaman nyeri pasien itu sendiri.7 Skor penilaian terbatas menilai pasien yang mengalami gangguan nonverbal dan gangguan kognitif. Skala penilaian standar nyeri dan laporan dari diri pasien itu sendiri (self report) sebaiknya digunakan. “Tanpa tanda biologis atau tes diagnostik yang tepat untuk mengukur nyeri, self report merupakan indikator yang paling dapat diandalkan dan akurat untuk menilai nyeri dan intensitasnya.7 Nyeri akut dan nyeri kronis sebaiknya dievaluasi pada multipel dimensi, termasuk intensitas, lokasi serta konsekuensi fisik dan emosional. Namun, skala yang dikembangkan untuk mengevaluasi dimensi ini terlalu kompleks dan metode ini paling banyak digunakan pasien bedah. Pengukuran dengan menggunakan self-report diklasifikasikan menjadi unidimensional atau multidimensi yang sesuai dengan jumlah dimensi yang diukur. Self-report yang terbaik diterapkan pada pasien dengan fungsi verbal baik namun memiliki defisit kognitif minimal. Alat yang digunakan untuk menilai pasien nyeri dengan nonverbal yaitu dengan menggunakan alat ukur perilaku (Behavioral Assesment). 7



38



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Penilaian nyeri berdasarkan PQRST :7 -



P : Provokatif / paliatif (apa kira-kira penyebab timbulkan rasa nyeri? Apakah karena terkena benturan / sayatan? dll)



-



Q : Qualitas / quantitas (seberapa berat keluhan nyeri terasa?, bagaimana rasanya?, seberapa sering terjadinya? seperti tertusuk, tertekan/tertimpa benda berat dll)



-



R : Region / radiasi (lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan/ ditemukan?, apakah juga menyebar ke daerah lain/ area penyebaran?)



-



S : Skala seviritas (skala kegawatan dapat dilihat dengan GCS untuk gangguan kesadaran, skala nyeri / ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan.



-



T : Timing (kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan/dirasakan?, seberapa sering keluhan tersebut dirasakan / terjadi?, apakah terjadi secara mendadak atau bertahap?, akut atau kronik?)



Alat-alat Penilaian Nyeri Terdapat empat alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang digunakan dalam praktek klinis untuk menilai nyeri secara objektif terdiri dari Numeric Rating Scale (NRS), Skala Verbal Deskriptor (VDS), Skala Visual Analog (VAS), dan Faces Pain Scale (FPS). Masing-masing dari skala ini adalah ukuran yang valid dan dapat diandalkan untuk intensitas nyeri. The Iowa Pain Thermometer (IPT) adalah salah satu alat UPRS digunakan dalam praktek klinis. Alat-alat yang lebih subjektif untuk menilai nyeri multidimensi seperti kuesioner nyeri McGill (MPQ) dan The Brief Pain Inventory (BPI) juga alat pengukur nyeri yang valid untuk nyeri akut dan kronis.7 a. Skala Tingkat Nyeri Unidimensional Skala tingkat nyeri unidimensional digunakan terutama untuk penilaian cepat dan kuantifikasi objektif. Alat ini meminta pasien untuk melaporkan sifat nyeri mereka berdasarkan pengalaman nyeri yang dirasakan pasien. Alat ini digunakan untuk menilai nyeri dengan penyebab yang jelas seperti pasca operasi dan trauma akut tetapi mungkin penilaiannya lebih rumit jika terjadi komplikasi sindrom nyeri. 7 b. Numeric Rating Scale (NRS) NRS adalah skala sederhana yang digunakan secara linier dan umumnya digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dalam praktek klinis. NRS khas menggunakan skala 11 point dimana titik akhirnya mewakili nyeri yang paling ekstrim. NRS ditandai dengan garis angka 39



nol sampai sepuluh dengan interval yang sama dimana 0 menunjukkan tidak ada nyeri, 5 menunjukkan nyeri sedang, dan 10 menunjukkan nyeri berat. 7 NRS biasanya dijelaskan kepada pasien secara verbal, namun dapat disajikan secara visual. Ketika disajikan secara visual, NRS dapat ditampilkan dalam orientasi horizontal atau vertikal. Alat ini telah menunjukkan sensitivitas terhadap pengobatan dalam intensitas nyeri dan berguna untuk membedakan intensitas nyeri saat istirahat dan selama beraktivitas. NRS dapat digunakan untuk penelitian analgesik yang sesuai untuk penilaian nyeri secara klinis. Bukti mendukung validitas dan kemampuan dari alat NRS dapat digunakan pada pasien dewasa dan tua. Penilaian nyeri terhadap pasien dengan gangguan kognitif ringan dan pada lansia mungkin lebih baik menggunakan NRS yang mencakup angka yang lebih besar dan kata isyarat. 7 c. Skala Penilaian Verbal / Verbal Rating Scale (VRS) VRS merupakan alat untuk menilai intensitas nyeri yang digunakan dalam praktek klinis. VRS adalah skala ordinal, biasanya digambarkan menggunakan 4-6 kata sifat untuk menggambarkan peningkatan tingkat intensitas nyeri. Umumnya menggunakan kata-kata umum seperti tidak nyeri (no pain) pada ujung kiri akhir skala, kemudian diikuti dengan nyeri ringan, nyeri sedang (tidak menyenangkan), nyeri berat (menyedihkan), nyeri sangat berat (mengerikan), dan nyeri paling berat (menyiksa). Nyeri yang tak terbayangkan pada ujung kanan akhir skala.7 Kegunaan skala ini, pasien diminta untuk memilih kata yang menggambarkan tingkat nyeri yang dirasakan. VRS terdiri dari empat intensitas nyeri yang menggambarkan nyeri seperti tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, setiap kata yang terkait dengan skor jumlah semakin tinggi (0, 1, 2 dan 3). Pasien diminta untuk menunjuk nomor berapa yang menggambarkan rasa tidak menyenangkannya. Skala rating verbal dapat dibaca oleh pasien atau diucapkan keras oleh pemeriksa, diikuti oleh jawaban pasien. Metode ini mudah dipahami oleh pasien dengan gangguan nonkognitif dan cepat dilakukan, namun alat ini tidak memiliki akurasi dan sensitivitas. 7 d.



Skala Visual analog / Visual Analog Scale (VAS) VAS adalah alat pengukuran intensitas nyeri efisien yang telah digunakan secara luas dalam penelitian dan pengaturan klinis. Umumnya VAS merupakan alat dengan garis 10 cm, orientasi biasanya disajikan secara horizontal, tapi mungkin bisa disajikan secara vertikal, 40



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif pada akhir poin dengan kata tidak nyeri sampai pada nyeri paling hebat yang tidak terbayangkan. Pasien diinstruksikan untuk menandai baris dengan pensil bergaris miring pada titik yang sesuai dengan tingkat intensitas nyeri yang dirasakannya sekarang. Beberapa VAS yang diproduksi seperti slide mistar, dimana gerakan garis tersebut diposisikan oleh pasien sepanjang garis 100 ml itu. Pasien memberi tanda sepanjang dari garis akhir diidentifikasi sebagai tidak nyeri kemudian diukur oleh pemeriksa dan dicatat pada lembar penilaian dalam millimeter. 7 Alat ini sebaiknya disajikan dengan isyarat verbal yang minimal dan tidak ada jari yang menunjuk oleh pemeriksa. Alat ini harus diperkenalkan dengan pernyataan standar yang tepat : “tolong tandai garis yang sesuai dengan intensitas nyeri yang anda alami saat ini”. Idealnya, baris sebaiknya ditandai pada nyeri saat istirahat dan nyeri selama bergerak. Tidak adanya isyarat deskriptor dan garis spidol dengan VAS diyakini bisa memberikan validitas ilmiah yang lebih besar, tetapi dapat membingungkan pada pasien yang lebih muda dan lansia. Untuk meminimalkan kebingungan, pasien sebaiknya dijelaskan sebelum operasi tentang arti dari poin garis dan bagaimana cara untuk menandainya. 7 Meskipun VAS mudah dijalankan dapat lebih memakan waktu karena lokasi yang telah ditandai pensil perlu diukur, skala ini memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi karena sedikit perubahan dalam intensitas nyeri dapat dideteksi. Bila dibandingkan dengan VRS, skor sekitar 30 mm dari 100 mm, VAS berarti nyeri yang dialami adalah nyeri sedang, dan skor dari 54 mm atau lebih berarti nyeri berat. Studi penelitian yang dilakukan pada pasien dewasa yang mengalami nyeri akut di departemen emergensi secara klinis penting menentukan perbedaan minimal dalam tingkat nyeri berat untuk VAS. Mereka menunjukan bahwa “penurunan pada pengukuran VAS 30 mm secara klinis penting membedakan persepsi pasien terhadap nyeri berat dengan kontrol nyeri yang adekuat”. Studi menunjukan bahwa akurasi dari VAS tergantung pada penggunaan dalam orientasi (Horisontal vs Vertikal) konsistensi dengan membaca pola dari populasi di mana ia digunakan. 7 Orientasi vertikal telah dihubungkan dengan terjadinya kesalahan terhadap penggunaannya pada pasien di Cina, sedangkan penutur bahasa inggris menunjukan lebih rendahnya tingkat kesalahan bila digunakan dalam orientasi horizontal. Studi mengatakan pasien yang lebih muda mendukung sensitifitas, validitas, dan kemampuan dari VAS sebagai alat pengukur intensitas nyeri sedang penggunaan pada lansia kurang dimengerti. 7 41



e. Faces Pain Scale (FPS) Secara historis, FPS yang terdiri dari serangkaian enam sampai sampai tujuh wajah yang dimulai dari wajah tersenyum bahagia sampai sedih berlinang air mata digunakan untuk menilai nyeri pada pasien pediatrik. Beberapa versi dari FPS telah digunakan dipraktek klinis. FPS dimaksudkan untuk mengukur bagaimana tingkat nyeri pasien yang mereka rasakan. Setiap tampilan ekspresi wajah menunjukan hubungan dengan nyeri yang dirasakan, termasuk alis turun kebawah, bibir diketatkan/pipi dinaikkan, kerutan hidung/bibir dinaikkan, dan mata tertutup. Tingkatan skala menurut Wong-Baker FACES merupakan alat pengukuran intensitas nyeri yang diakui dan umumnya digunakan dalam pasien pediatrik. 7 Versi paling terbaru dari FPS adalah Faces Pain Scale-Revised (FPS-R). FPS-R menampilkan gambar enam wajah bergaris disajikan dalam orientasi horizontal. Pasien diinstruksikan untuk menunjuk ke wajah yang paling mencerminkan intensitas nyeri yang mereka rasakan. Ekspresi wajah diwakili oleh FPS-R tampak kurang kekanak-kanakan dibandingkan dengan FPS lain. Tidak adanya air mata menghindari bias budaya tentang ekspresi rasa nyeri. Tingkat tidak nyeri diwakili oleh wajah netral bahkan wajah gembira yang ada pada ujung kiri skala. Ekspresi wajah menunjukan lebih nyeri jika skala digeser ke kanan,dan wajah yang berada pada ujung sebelah kanan adalah nyeri hebat. 7 Meskipun FPS dirancang untuk digunakan terhadap pasien pediatrik, peneliitian yang terbaru telah dievalusi untuk digunakan pada pasien dewasa khususnya pada pasien dengan gangguan nonverbal, gangguan kognitif, beberapa diantaranya pasien dengan gangguan kognitif yang berat, para penyedia layanan kesehatan membutuhkan ekspresi wajah yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien. FPS juga berguna untuk penilaian pasien dengan hambatan bahasa. 7 f.



Iowa Pain Thermometer (IPT) IPT adalah diagram dari sebuah thermometer yang diakui dengan baik mencerminkan tingkatan deskriptor intensitas nyeri termasuk tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat, dan nyeri dibayangkan. Pasien diminta untuk menandai disamping kata yang paling mewakili intensitas atau beratnya nyeri yang mereka rasakan. Isyarat yang terkait dengan skala termasuk fakta bahwa ketidaknyamanan yang berhubungan dengan peningkatan analog dengan intensitas ketidaknyamanan yang berhubungan dengan



42



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif peningkatan temperatur yang ditampilkan pada thermometer. Alat ini adalah skala yang digunakan secara deskriptif lisan pada pasien dewasa. 7



Alat-Alat Penilaian Nyeri Multidimensi Alat-alat penilaian nyeri multidimensi memberikan informasi penting tentang karakteristik nyeri pasien dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari pasien. Alat-alat ini dirancang untuk memfasilitasi pasien untuk melaporkan sendiri nyeri yang dirasakan, namun klinisi dapat memandu proses dan membantu pasien. 7



Kuesioner Nyeri McGill Kuesioner nyeri McGill (McGill Pain Questionare-MPQ) awalnya dibuat oleh Melzack dan Torgerson, sebagai salah satu alat pemeriksaan dan penilaian nyeri multidimensional yang paling tua dan paling lengkap. Pertama kali dikembangkan untuk menilai nyeri kronik, tetapi juga telah divalidasi untuk menilai nyeri akut, terutama nyeri post operatif. Alat penilaian ini telah dibandingkan sensitivitasnya dengan VRS dan VAS untuk menilai perubahan nyeri pada pasien post operatif yang diberikan obat analgesik oral. 7 Kuesioner nyeri McGill terdiri atas 20 kategori kata keterangan sifat yang dapat mendeskripsikan kualitas nyeri. Pada setiap kategori, kata keterangan sifat diatur berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan dan diatur berdasarkan nilai nyerinya, dimana 1 menggambarkan rasa nyeri yang paling ringan, hingga 5 untuk menggambarkan rasa nyeri yang paling berat. Pasien diminta untuk memilih salah satu kata dari setiap kategori deskriptif yang mereka angap paling cocok untuk mendeskripsikan rasa nyeri dan perasaan terkait nyeri dan sensasi yang mereka rasakan saat ditanya. Nilai dari setiap kata yang ia pilih kemudian ditambahkan untuk menambahkan total nilai nyeri dan perbedaan skor antara sensoris, afektif, evaluative. 7 Keterbatasan utama MPQ adalah diperlukannya pemahaman pasien mengenai kata-kata yang digunakan pada tes. Sehingga, keterbatasan intelektual dan verbal pasien akan mempengaruhi dan mungkin memberikan hasil tes yang tidak akurat. MPQ juga terbatas penggunaannya hanya untuk pasien yang mengerti bahasa Inggris. Klinisi sebaiknya mengevaluasi populasi pasien dan memilih satu atau dua cara yang paling sesuai. Situasi tiap pasien yang berbeda-beda mempengaruhi cara penilaian nyeri yang dipilih. Cara-cara penilaian yang digunakan ditujukan untuk menilai karakter nyeri dan akibatnya pada pasien dan kualitas hidup; apapun cara penilaian 43



yang dipilih tidak dapat menggantikan pentingnya wawancara dan riwayat pengobatan pasien. Dan yang paling penting, klinisi harus secara teratur menilai nyeri, dan mendokumentasikan penilaian ini. 7 Gambar-gambar nyeri Gambar-gambar nyeri adalah penggunaan gambar tubuh manusia di mana pasien diminta untuk menandai sesuai nyeri yang dialaminya. Gambar-gambar ini dapat digunakan untuk menilai lokasi dan distribusi nyeri, tetapi tidak dapat membantu menilai tingkat/intensitas nyeri. Gambargambar nyeri ini dapat dibandingkan dari waktu ke waktu untuk menilai respon nyeri terhadap terapi. 7 Inventaris Nyeri Ringkas Inventaris nyeri Ringkas (Brief Pain Inventory-BPI) merupakan alat yang ditemukan McCaffery dan Passero (1999) yaitu instrument yang dicatat sendiri dan telah dikembangkan dalam penelitian dan berbagai keadaan klinis serta diterjemahkan dalam berbagai bahasa serta memiliki tingkat validitas dan kepercayaan yang tinggi. Alat ini dikembangkan untuk memberikan metode yang cepat dan mudah untuk menghitung intensitas nyeri. BPI terdiri dari 11 pertanyaan terkait nyeri yang menanyakan mengenai aspek pengalaman nyeri yang dirasakan pasien dalam periode 24 jam, seperti dimana lokasi nyeri dan intensitasnya, dampak nyeri tersebut terhadap kualitas hidup pasien, serta efektifitas dari penanganan nyeri yang diberikan. Sebuah diagram diberikan agar pasien dapat menunjukan lokasi nyerinya. Brief Pain Inventory (BPI) juga merupakan salah satu instrument yang dapat menilai nyeri maupun pengaruh subyektif terhadap nyeri terhadap aktivitas dan kemampuan pungsional pasien. BPI merupakan alat pengukuran nyeri yang telah divalidasi multidimensi dengan reabilitas dan validitas pada pasien kanker, AIDS, dan arthritis. Membutuhkan 5 sampai 15 menit untuk mengelolanya, itu termasuk 4 skala nyeri (yang sekarang, rata-rata, terburuk dan akhirnya), serta 7 skala dalam menilai dampak sakit pada kegiatan umum, suasana hati, kemampuan berjalan, bekerja, menjalin hubungan dengan orang lain, tidur dan kenikmatan hidup. Masing-masing bagian dinilai pada skala numerik 1-10. BPI ini banyak digunakan dalam mencari kembali nyeri dan telah diterjemahkan ke dalam sejumlah besar Bahasa. 7



44



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Pertimbangan Khusus Pasien Pediatrik Sistem neurologi belum berkembang sempurna ketika bayi dilahirkan. Sebagian besar perkembangan otak, mielinisasi sistem saraf pusat dan perifer, terjadi selama tahun pertama kehidupan. Beberapa refleks primitif sudah ada pada saat dilahirkan, termasuk reflex menarik diri ketika mendapat stimuli nyeri. Bayi baru lahir seringkali memerlukan stimulus yang kuat untuk menghasilkan respon dan kemudian dia akan merespon dengan cara menangis dan menggerakkan seluruh tubuh. Kemampuan melokalisasi tempat stimulus dan untuk menghasilkan respon spesifik motorik anak-anak berkembang seiring dengan tingkat mielinisasi.8 Pengobatan yang tidak adekuat pada anak-anak merupakan masalah yang signifikan. Di masa lalu, penyebab utama kurangnya pengobatan/terapi pada anak-anak adalah tidak adanya cara/alat penilaian nyeri yang sesuai. Kemajuan saat ini terutama mengenai pemahaman kita terhadap nyeri pada anak-anak, dan seiring dengan berkembangnya cara-cara penilaian nyeri pada anak-anak, telah meningkatkan keberhasilan terapi nyeri pada pediatrik. Namun demikian, kebanyakan teknik-teknik penilaian nyeri yang telah dikemukakan di atas terbatas manfaatnya karena perkembangan keterampilan kognitif anak-anak yang belum sempurna.8



Penilaian Subyektif Klinisi harus mampu melakukan wawancara untuk memeriksa dan menilai nyeri yang dialami pasien anak-anak yang berusia mulai dari 3-4 tahun. Usaha khusus harus dilakukan untuk menciptakan suasana yang tidak menakutkan pasien anak-anak ketika melakukan wawancara. Walaupun teknik laporan sendiri (self report) dapat dilakukan pada pasien anak-anak, komunikasi verbal mengenai nyeri mereka dibatasi oleh kemampuan vokabuler/perbendaharaan kata; anakanak mungkin hanya dapat menggunakan istilah “sakit” atau mengaduh dan menjerit saja untuk menyatakan rasa nyeri. Orang tua atau yang merawat seringkali dapat memberikan informasi tambahan. Tanda-tanda perilaku atau fisiologis nyeri bermanfaat baik untuk pasien anak-anak maupun dewasa.8 Teknik VAS paling baik digunakan untuk pasien anak-anak usia lebih dari 7 tahun; tapi sebenarnya teknik ini juga banyak digunakan untuk anak-anak usia 5 tahun. Laporan sendiri berdasarkan cara penomoran obyek, intensitas warna yang makin meningkat, atau seri foto-foto



45



lebih sesuai untuk anak-anak usia antara 4-7 tahun. Pada anak usia kurang dari 3 tahun, klinisi sebaiknya menggunakan pengamatan tanda-tanda perilaku atau fisiologis nyeri.8



Penilaian Obyektif Penilaian nyeri obyektif pada anak-anak bervariasi tergantung pada usia dan tingkat perkembangan anak-anak. Penilaian nyeri pada bayi baru lahir dan balita yang belum bisa berbicara lebih mengandalkan pengamatan perilaku (misalnya ekspresi wajah). Menangis berguna untuk menetukan urgensi respon, tetapi tidak bermanfaat untuk mengetahui kuantitas nyeri. Balita yang mengalami nyeri mungkin akan menarik diri, menunjukkan perubahan pola makan dan tidur, dan sulit diajak berteman. 8 Penilaian



fisiologis



seperti



parameter



kardiovaskuler



(misalnya



nadi,



ritme



dan output jantung) memberikan umpan balik segera pada bayi baru lahir dan balita, tetapi tidak dapat digunakan untuk bayi prematur. Anak-anak prasekolah mungkin mampu memberikan laporan-sendiri; namun mereka cenderung untuk minta digendong, tidak banyak bergerak dan kehilangan keterampilan motorik, verbal dan kontrol sfingter sebagai respon terhadap nyeri. Anakanak usia kurang dari 5 tahun mungkin mulai menyangkal nyeri karena merespon tindakan orang yang merawatnya (misalnya mengganti verban/penutup luka, injeksi intramuskular) yang sering mengakibatkan nyeri yang lebih parah; juga, anak-anak ini mungkin menganggap nyeri sebagai hukuman atas perbuatan yang salah. Anak-anak usia sekolah mungkin menunjukkan perubahan perilaku yang samar. 8 Nyeri dapat mengakibatkan lebih agresif, rasa malu (sering terjadi pada pasien luka bakar), dan mimpi buruk, yang mengakibatkan mereka menarik diri dari pergaulan. Rasa kehilangan kontrol dan kekhawatiran terhadap reaksi teman-temannya dapat meningkatakan kecemasan. Remaja sering merespon nyeri kronik dengan perilaku oposisi yang berlebihan dan depresi. Pengamatan perilaku dan fisiologis nyeri (misalnya menangis, ekspresi wajah, keluhan verbal, gerakan, sentuhan) dapat diukur dengan teknik tertentu. Apapun skala yang digunakan, konsistensi, kemudahan penggunaan, dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pemeriksaan dan penilaian merupakan hal-hal yang penting untuk dipertimbangkan. Jika laporansendiri bukan merupakan cara yang dapat digunakan dan tidak ada perubahan perilaku yang teramati atau tidak dapat disimpulkan dengan jelas, Agency for Health Care Policy and



46



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Research menyatakan bahwa mencoba memberikan (trial) analgetik dapat menjadi alat diagnostik sekaligus terapeutik. 8 Pasien Geriatrik Hilangnya neuron yang kontinyu pada otak dan korda spinalis terjadi sebagai bagian dari proses menua yang normal. Hal ini mengakibatkan perubahan pada orang dewasa yang berusia > 65 tahun yang seringkali diinterpretasikan sebagai hal yang abnormal pada individu yang lebih muda. Kecepatan konduksi saraf menurun antara 5-10% sebagai akibat dari proses menua. Hal ini kemudian



akan



menurunkan



waktu



respon



dan



memperlambat



transmisi



impuls,



sehingga menurunkan persepsi sensori sentuh dan nyeri. 8 Pasien usia lanjut memiliki banyak masalah kesehatan dan memiliki banyak ketidaknyamanan kronik sehingga membuat nyerinya lebih sulit didiagnosa dan ditangani. Sebuah literatur manajemen nyeri oleh Gibson dan Helme menemukan bahwa terdapat perbedaan terkait usia yang mendasari neurokimiawi, neuroanatomi, dan neurofisiologi dari mekanisme nyeri. Pasien geriatrik merasakan sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat dan persepsi yang makin tumpul. 8 Alasan mengapa orang lanjut usia tidak melaporkan nyeri antara lain: 8 1. Kepercayaan bahwa nyeri adalah sesuatu yang mereka harus alami sepanjang kehidupan. 2. Khawatir mengenai konsekuensinya (misalnya dirawat di rumah sakit) 3. Khawatir bahwa nyeri mereka merupakan pertanda akan menderita penyakit serius atau mempengaruhi kesehatan 4. Ketidakmampuan untuk memahami istilah kesehatan yang digunakan oleh penyedia layanan kesehatan 5. Kepercayaan bahwa menunjukkan rasa nyeri tidak dapat diterima. 6. Salah pengertian bahwa gejala‐gejala mungkin merupakan akibat dari rasa nyeri Penilaian Subyektif Metode wawancara dengan pasien lanjut usia dilakukan sesuai dengan ada tidaknya kelainan/gangguan mental dan fisik pada pasien. Perubahan fungsi pendengaran, penglihatan, psikomotorik (misalnya kemampuan jari menulis/memegang, keterampilan motorik halus lain), bahasa verbal, dan keterampilan kognitif (misalnya memori) sebagai bagian normal dari proses menua atau akibat suatu penyakit akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nyeri yang dialami. 8 47



Menanyakan kepada pasien agar dapat menjelaskan atau membaca alat yang digunakan untuk menilai nyeri dapat memberikan petunjuk mengenai kemampuan sensorik pasien. Cara sederhana lain (misalnya kuesioner status mental mini) dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi proses kelainan/gangguan mental. Pasien lanjut usia dengan gangguan kognitif dan/atau verbal adalah pasien yang paling sulit dinilai. Untuk kasus demikian, pengamatan perilaku oleh klinisi atau orang yang merawat pasien menjadi cara utama untuk menilai nyeri yang dialami pasien. 8 Penggunaan cara dimensi-tunggal seperti VAS mungkin lebih disukai pada pasien lanjut usia, karena cara-cara ini cepat dan tidak melelahkan. Namun, pada pasien dengan nyeri akut, tingkat pendidikan yang lebih rendah, gangguan kognitif, atau gangguan koordinasi motorik, VAS mungkin menjadi sulit. Selain itu, presentasi horizontal normal VAS tidak terlalu sesuai karena kemapuan berpikir abstrak pasien yang telah menurun. Pada kasus demikian, presentasi VAS secara vertikal, yang sering disebut sebagai “thermometer nyeri” akan lebih efektif. Dengan cara presentasi ini,0 adalah bagian thermometer bawah, dan angka-angka yang makin meningkat sampai 10 pada bagian paling atas thermometer. 8 Cara multidimensi seperti MPQ termasuk terlalu kompleks dan banyak menyita waktu bagi pasien lanjut usia. Perbendaharaan katanya mungkin terlalu sulit bagi pasien lanjut usia untuk dapat dimengerti, dan jumlah kata yang cukup bervariasi pada MPQ mungkin dianggap terlalu banyak oleh pasien. Kompetensi pasien juga harus diketahui terlebih dahulu sebelum menilai nyeri dengan cara ini. Selain itu, pasien lanjut usia mungkin sulit untuk berkonsentrasi dalam jangka waktu lama untuk menyelesaikan MPQ. Oleh karena itu, digunakan satu-halaman MPQ, salah satu alternatif. Catatan harian nyeri mungkin lebih bermanfaat, namun, beberapa pasien lanjut usia mungkin kesulitan untuk mengisi catatan harian ini karena gangguan keterampilan motorik halusnya atau gangguan kognitif. 8 Gambar nyeri merupakan metode yang efektif untuk mengetahui lokasi nyeri pada pasien lanjut usia yang tidak dapat menyatakannya secara verbal. Gambar-gambar ini juga bermanfaat bagi pasien yang mengalami nyeri pada beberapa lokasi tubuh. Skala wajah yang dikembangkan untuk penilaian nyeri pada anak-anak juga bermanfaat bagi pasien lanjut usia yang mengalami gangguan kesulitan bahasa atau kapasitas mental. 8



48



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Penilaian Obyektif Seperti pada anak-anak, pengamatan perilaku pada pasien lanjut usia merupakan komponen penting pada proses penilaian nyeri. Pasrah menerima kenyataan bahwa nyeri memang harus dialami, ketakutan / kekhawatiran bahwa melaporkan rasa nyeri yang sedang dialami akan menghilangkan otonomi pribadi, dan kekhawatiran bahwa nyeri merupakan tanda dari suatu penyakit serius atau bahkan menjelang kematian, semua hal tersebut akan menyebabkan pasien lanjut usia tidak mau melaporkan nyeri. 8 Tanda-tanda nyeri fisik yang dapat diamati oleh klinisi atau anggota keluarga, atau perubahan kebiasaan normal pasien merupakan hal penting ketika menilai pasien yang mengalami kebingungan atau tidak memiliki kemampuan verbal. Pasien yang mengalami penyakit otak kronik (misalnya Alzheimer, Hidrosefalus, Ensefalopati) benar-benar tergantung sepenuhnya pada pengamatan profesional kesehatan, anggota keluarga, dan petugas pelayan kesehatan untuk mengenali adanya nyeri. Contoh perilaku dasar ketika pasien mengalami nyeri: 8 1.



Diam, menarik diri, pada pasien yang biasanya mengeluh dan banyak bergerak.



2.



Berkedip dengan cepat, dengan wajah terlihat kaku / menyeringai kesakitan, pada pasien yang biasanya tenang dan tidak banyak bicara.



3.



Agitasi atau perilaku bersifat menyerang, pada individu yang biasanya mudah berteman dan terbuka.



4.



Deskripsi akurat mengenai lokasi nyeri pada pasien yang biasanya berbicara tidak jelas. Pasien lanjut usia mungkin juga mengalami manifestasi nyeri yang tidak biasa akibat



sindrom nyeri. Pasien infark miokard pada golongan usia ini sering tidak merasa nyeri. Penyakit ulkus peptik, apendisitis, dan pneumonia mungkin menunjukkan perubahan perilaku, sementara pasien hanya mengeluh ketidaknyamanan yang ringan. Kegawatdaruratan perut mungkin muncul pada nyeri dada. Perubahan perilaku dan fisiologis pada pasien lanjut usia dapat diukur menggunakan cara-cara penilaian nyeri. Cara-cara yang biasa digunakan untuk pasien anak-anak yang belum mampu berkomunikasi verbal juga dapat digunakan untuk pasien lanjut usia dengan gangguan fungsi indera tertentu. 8 Observasi Perilaku Klinisi sering harus mengandalkan pengamatan perilaku yang berkaitan dengan nyeri Keterangan mengenai perilaku nyeri juga dapat diperoleh dari anggota keluarga atau orang yang merawat pasien. Pengukuran obyektif perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, 49



misalnya pengaruh klinisi terhadap perilaku pasien, lingkungan tempat dilakukannnya pengamatan perilaku tersebut (misalnya apotek, klinik, rumah), sumber dana yang tersedia bagi pasien, peran orangtua, pasangan atau orang-orang penting lainnya. Walaupun perilaku ini diidentifikasi sebagai pengukuran obyektif nyeri, perilaku ini tidak secara langsung mengukur stimulus nyeri atau penderitaan fisiologis yang dialami pasien. 8 Perilaku nyeri antara lain : 8 1. Keluhan verbal mengenai rasa nyeri 2. Menggunakan obat 3. Berusaha mencari terapi/ pengobatan 4. Ketidaksempurnaan atau perubahan fungsi fisik atau sosial : menarik diri, menolak makan atau bermain, tidak tenang, agitasi, waktu untuk memberi perhatian kurang, bingung, iritabilitas, pusing, berkeringat, lelah. 5. Ekspresi wajah : kaku, kening berkerut, mata atau mulut terkunci rapat atau terbuka lebar, dan ekspresi aneh lainnya. 6. Gerakan badan : tegak kaku, bergoyang-goyang, menarik/ menekuk kaki kearah perut, gerakan kepala/ jari bertambah, menggaruk daerah yang terasa nyeri, tidak dapat diam tenang, terburu-buru, perubahan postur tubuh, lemas, tidak melakukan gerakan yang biasa dilakukan. 7. Vokal/ suara : menangis, terisak-isak, mengeluh, mengomel, mengaduh, mengerang, berteriak.



Alat Penilaian Perilaku/ Observasional nyeri Beberapa penilaian perilaku / observasional nyeri telah dikembangkan untuk menginterpretasikan ekspresi nyeri dengan memfokuskan pada perilaku non-verbal pada usila yang memiliki demensia berat, sebab pada pasien dengan demensia biasanya muncul dengan sifat atau perilaku unik tertentu yang biasanya tidak menandakan gejala nyeri pada pasien yang kognitifnya masih baik. Karena itu sangat penting untuk memilih alat pengukur nyeri observasional mana yang cocok dan komprehensif dalam menilai perilaku nyeri yang dilakukan oleh pasien. 8 Skala



yang



biasa



digunakan



seperti



skala



Pain



Assesment



in



Advanced



Dementia (PAINAID) dan alat penilaian nyeri Face, Leg, Activity, Cry and Consolability Pain Assesment (FLACC) yang awalnya dikembangkan untuk menilai nyeri pada neonatus. Skala ini 50



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif juga memiliki daftar indikator perilaku nyeri yang biasanya didapatkan pada pasien usila yang memiliki gangguan kognitif. Skor total diantara 0, yang menyatakan tidak ada perilaku nyeri, hingga 10, yang menyatakan adanya perilaku nyeri yang berat. Salah satu kekurangan penggunaan PAINAD, FLACC, dan skala lainnya adalah bahwa daftar perilaku nyeri tidak dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat merespon, tersedasi berat, atau baru saja mendapat agen pelumpuh neuromuskuler8



51



MINGGU 3 1.5 1.



Ventilasi Mekanik Pada Gagal Nafas Kognitif Diharapkan dokter muda mampu :



2.







Memahami indikasi pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik







Mengetahui persiapan pemasangan ventilasi mekanik pada



Psikomotor Diharapkan dokter muda mampu :



1.







Melakukan persiapan pemasangan ventilasi mekanik terhadap pasien gagal nafas







Melakukan persiapan alat dan bahan untuk pemasangan ventilasi mekanik







Memberikan obat-obat pada pasien gagal nafas



Afektif Diharapkan dokter muda mampu : Dapat mengetahui dan menjelaskan tentang manajemen pemasangan ventilasi mekanik pada pasien gagal nafas



PENDAHULUAN Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif atau negatif yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan napas pasien sehingga mampu mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. Alat bantu napas mekanik berperan sebagai alat pengganti fungsi pompa dada yang mengalami kelelahan atau kegagalan. Tujuan pemasangan ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolik, memperbaiki hipoksemia, dan memaksimalkan transpor oksigen. Ventilator (mechanical ventilation) adalah alat yang digunakan untuk membantu pasien yang mengalami gagal napas. Pada prinsipnya ventilator adalah suatu alat yang bisa menghembuskan gas (dalam hal ini oksigen) ke dalam paru-paru pasien. Ventilator bersifat membantu otot pernapasan sehingga kerja otot pernapasan diperkuat.5 Tujuan Pemasangan Ventilasi Mekanik :5 1. Mengurangi kerja pernapasan 2. Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien 15



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 3. Pemberian MV yang akurat 4. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi 5. Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat FISIOLOGI VENTILASI MEKANIK Pada saat inspirasi pernapasan normal yang spontan diawali dengan terjadi kontraksi otot diafragma dan otot pernapasan yang lain sehingga volume dada mengembang dan membuat tekanan negatif dalam rongga dada. Tekanan negatif ini menyebabkan udara di luar yang bertekanan lebih tinggi masuk ke dalam paruparu.dan terjadilah inspirasi. Jumlah udara yang masuk akan dianggap cukup setelah otot-otot diafragma dan pernapasan mulai relaksasi dan tekanan dalam rongga dada sama dengan di luar tubuh. Ketika otot-otot kembali ke posisi semula terjadilah ekspirasi karena kini tekanan dalam rongga dada lebih tinggi daripada diluar tubuh.1 Pada penggunaan ventilasi mekanik, aliran udara dapat masuk ke paru-paru karena adanya tekanan positif buatan oleh ventilator, dimana fase ekspirasinya terjadi secara pasif. Ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke paruparu pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga toraks paling positif. Perbedaan tekanan baik pada proses inspirasi dan ekspirasi menimbulkan dampak terhadap kondisi hemostasis yang fisiologik. Efek pada kardiovaskular terlihat karena tekanan positif yang diberikan menyebabkan penurunan aliran darah balik ke jantung sehingga curah jantung menurun. 1 Penderita dengan status hemodinamik baik akan dapat mengkompensasi perubahan ini dengan vasokontriksi, namun pada penderita dengan gangguan saraf simpatis dan sedang mengalami hipovolemik sehingga hemostatis terganggu dan pasien bisa jatuh dalam keadaan syok. Perubahan pada paru sendiri sangat bervariasi tergantung keadaan paru dari pasien. Tekanan inflasi yang tinggi dan lama dapat merusak membran kapiler paru, kerusakan surfaktan, atelektasis, barotrauma, malditribusi gas, perubahan V/Q ratio dan penurunan kapasitas residu fungsional. Penggunaan ventilasi mekanik juga dapat mempengaruhi keseimbangan asam basa dalam tubuh dikarenakan volume ventilasi yang besar dapat menyebabkan hipocarbia dan alkalosis respiratorik. Hal ini menyebbakan vasokontriksi serebral dan peningkatan afinitas oksigen-hemoglobin. Hipokarbia tersebut dapat diatasi dengan menggunakan ruang rugi tambahan. Efek pada organ lain bisa dilihat dari menurunnya aliran darah ke hari dan ginjal akibat penurunan curah jantung.



53



Penurunan perfusi pada ginjal akan mengakibatkan sekresi ADH dan aldosteron sehigga terjadi retensi natrium dan air, dimana berujung pada eksresi urin yang menurun.1 INDIKASI VENTILASI MEKANIK 1. Gagal napas (respiratory failure) 5 a. RR > 35 atau < 5 x/m b. SaO2 < 90% atau PaO2 < 60 mmHg (Hipoxemia) c. pCO2 > 55 mmHg (Hipercapnia) d. Penurunan kesadaran (GCS < 8) e. Tidal volume < 5 mL/kg 2. Pasca operasi mayor 5 3. Pasca henti jantung5 Selain itu, beberapa kondisi juga diindikasikan untuk dilakukan pemasangan ventilator, seperti; 5 1. Insufisiensi Jantung : Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi mekanik untuk mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang. 2. Disfungsi Neurologist : Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnu berulang juga mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Penggunaan ventilasi mekanik diindikasikan ketika ventilasi spontan pada pasien tidak adekuat untuk memelihara kehidupannya. Indikasi utama penggunaan ventilasi mekanik adalah untuk mensuport pasien dengan gagal napas, termasuk kegagalan dalam ventilasi (hiperkarbia), kegagalan oksigenasi (hipoksia) ataupun keduanya. Gagal napas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi tidak dapat menjaga pertukaran gas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolism, contohnya oksigenasi atau eliminasi CO2. Secara konvensional, gagal napas didefinisikan ketika tekanan arterial O2 (PaO2) 6.0 kPa (45 mmHg) atau keduanya.5



54



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif KLASIFIKASI VENTILASI MEKANIK 1. Negative Pressure Tank Respiratory Support (Ventilasi Bertekanan Negatif) Mekanismenya, penderita diletakkan di dalam sebuah silinder yang bertekanan udara sub-atmosfer (tekanan negatif) sehingga mengakibatkan dada mengembang dan tekanan jalan napas menjadi negatif. Prinsip dari ventilator jenis ini adalah mengeluarkan tekanan negatif pada dada eksternal.9 Kelebihan dari alat ventilasi mekanik jenis ini adalah tidak diperlukannya pemasangan pipa endotrakea, akan tetapi alat ini memiliki kekurangan dimana alat yang terlalu besar, volume semenit tidak pasti dan kesulitan dalam perawatan penderita. Selain itu penggunan ventilator jenis ini tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering. Dengan kekurangankekurangan tersebut, alat ventilator mekanik tipe ini kurang populer aplikasinya di klinik. 2. Positive Pressure Ventilation (Ventilasi Bertekanan Positif) Ventilator tipe ini akan memberikan tekanan positif di atas tekanan atmosfer sehingga dada dan paru mengembang pada fase inspirasi, selanjutnya pada akhir inspirasi tekanan kembali sama dengan tekanan atmosfer sehingga udara keluar secara pasif pada fase ekspirasi. .9 Semua ventilator memiliki empat fase: inspirasi, perubahan dari inspirasi ke ekspirasi, ekspirasi, dan perubahan dari berakhirnya inspirasi. Manipulasi pada fase ini menentukan VT (tidal volume), tingkat ventilasi, waktu inspirasi, aliran gas inspirasi, dan waktu ekspirasi. .9 Berdasarkan mekanisme kerjanya, ventilator jenis ini dibagi menjadi beberapa mode. Penting untuk memahami mode-mode tersebut yang dikategorikan berdasarkan volume, tekanan, dan waktu, karena berperan dalam mengaplikasikan ventilasi yang aman dan efektif. Alasan mengapa mode ventilator dibagi berdasarkan siklus tekanan, volume atau waktu adalah untuk mengidentifikasi variabel apa yang dapat dikontrol oleh operator, dan variabe yang tidak dapat dikontrol ditentukan berdasarkan fisiologi dan patofisiologi parenkim paru, jalan napas dan dinding dada pasien.9



55



PROSEDUR PEMASANGAN VENTILASI MEKANIK Alat dan Bahan Pemasangan Ventilator : 5 1. Sarung tangan 2. Amubag lengkap 3. Set Suction 4. Spuit untuk mengembangkan balon 5. Set Laringoskop dengan blade sesuai ukuran 6. Ventilator Persiapan pasien dan keluarga : 5 1. Bersama dengan dokter beritahu keluarga tentang prosedur yang akan dilakukan dan resiko yang mungkin ditimbulkan 2. Bila keluarga sudah jelas dengan penjelasan dokter, maka keluarga diminta untuk tanda tangan surat persetujuan (inform consent) 3. Bila pasien sadar beritahu tentang prosedur yang akan dilakukan 4. Atur posisi pasien agar memudahkan untuk melakukan posedur Prosedur Pemasangan Ventilator :5 1. Sambungkan stop kontak dengan sumber listrik, nyalakan ventilator dengan menekan tombol on 2. Pasang corogatet sesuai dengan kegunaan (anak/dewasa) 3. Isi humidifier dengan aquades steril, kemudian nyalakan dengan menekan tombol on 4. Seting ventilator sesuai pesanan dokter mengenai mode, VT, Frekwensi nafas, I:E ratio, FIO2, ASB, PEEP dll 5. Sambungkan corogatet dengan endotrakeal yang terpasang pada pasien 6. Pastikan bahwa alat resusitasi dan perlengkapan fentilator berfungsi baik 7. Pastikan bahwa penderita selalu dimonitor fungsi pernafasannya dan saturasi oksigen 8. Lakukan segala tindakan dengan memperhatikan tehnik aseptic dan universal precaution 9. Lakukan suction secara rutin (biasanya tiap 4 jam), bila perlu boleh dilakukan diluar jadwal 10. Pastikan humidifier berfungsi dengan baik, air yang tertampung di dalam water trap secara rutin harus dikosongkan 11. Rubah posisi pasien tiap 3 jam untuk postural drainage ataupun untuk pengembangan paruparu 56



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 12. Pastikan posisi tubing ventilator dalam keadaan tepat 13. Pastikan NGT pada posisi yang benar, lakukan aspirasi tiap 6 jam atau setiap akan memberikan nutrisi enteral Cara pemeliharaan :5 1. Rendam corogatet sesudah digunakan dengan bayclin selama 15 menit, kemudian cuci, bilas dan keringkan 2. Corogatet disterilkan kering dengan suhu 100C selama 20 menit 3. Rendam filter dengan bayclin setiap sesudah dipakai, cuci dan keringkan 4. Kalibrasi setiap satu tahun sekali oleh tehnisi perusahaan 5. Hubungi tehnisi perusahaan bila ada masalah Charge ventilator selama 1x24 jam setiap kali sesudah pemakaian dan tiap 10 hari sekali bila ventilator tidak digunakan PEMANTAUAN PADA PEMASANGAN VENTILASI MEKANIK Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan pemantauan terus menerus terhadap efek hemodinamik yang tidak diinginkan dan efek merugikan pada paru akibat tekanan positif di saluran udara. Elektrokardiografi rutin, pulse oksimetri, dan monitoring tekanan intraarterial langsung sangat berguna. Yang terakhir ini juga memungkinkan pengambilan sampel darah arteri untuk analisis gas darah.5 Asupan cairan masuk dan keluar diperlukan untuk menilai keseimbangan cairan secara akurat. Kateter urin sangat membantu. pemantauan vena sentral dan/ atau tekanan arteri pulmonalis diindikasikan pada hemodinamik pasien stabil dan mereka yang dengan output urin yang rendah. Foto polos dada setiap hari umumnya dilakukan untuk menilai TT dan posisi lini tengah, mencari bukti barotrauma paru, membantu mengevaluasi keseimbangan cairan, dan memantau perkembangan penyakit paru. 5 Tekanan udara saluran napas (baseline, puncak, dan rerata), VT yang dihirup dan dihembuskan (mekanik dan spontan), dan konsentrasi fraksi oksigen harus dimonitor. Pemantauan parameter ini tidak hanya memungkinkan penyesuaian optimal dari setting ventilator tapi membantu mendeteksi masalah dengan TT, sirkuit bernapas, dan ventilator. Pengisapan/suction periodik sekresi jalan napas yang tidak adekuat dan adanya gumpalan sekret yang besar pada klinis tampak sebagai peningkatan tekanan puncak inflasi dan penurunan VT yang dihembuskan. Selain



57



itu, peningkatan mendadak tekanan puncak inflasi bersamasama dengan hipotensi tiba-tiba kemungkinan terjadi pneumotorak. 5



1.6 Regional Anestesi 1. Kognitif Diharapkan dokter muda mampu : a. Mengetahui persiapan dalam tindakan Regional Anestesi b. Mengetahui alat dan bahan dalam tindakanRegional Anestesi c. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi tindakan Regional Anestesi d. Mengetahui farmakodinamik dan farmakokinetik obat-obat Regional Anestesi 2. Psikomotorik Diharapkan dokter muda mampu : a.



Melakukan persiapan terhadap pasien dengan tindakan Regional Anestesi



b.



Melakukan persiapan alat dan bahan tindakan Regional Anestesi



3. Afektif Diharapkan dokter muda mampu : a. Mengetahui dan dapat menjelaskan, serta mempersiapkan tindakan Regional Anestesi



PENDAHULUAN Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik local kedalam cairan serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Tergantung dosis, local anestetik dapat menghasilkan efek anesthesia ringan sampai dengan komplit pada daerah dermatom atau seluruh tubuh.9 Tehnik ini telah dilakukan awal abad dua puluh dan dokter dan penderita memutuskan bukan berarti menghindari komplikasi-komplikasi anestesi umum. Setelah 1950 , penggunaan anesthesia berkurang di AS, anesthesia umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi pasien. Pada 1975 telah dipertimbangkan bahwa faedah anestesi spinal dan epidural, memberikan keuntungan terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan yang simple terhadap anestesi umum, membuat tehnik ini penting pada penanganan penderita. 9 ANATOMI 58



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Tulang Belakang Tulang belakang terdiri dari 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal dan 5 tulang sacrum yang bersatu. Vertebra terdiri dari columna dan arkus vertebra. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel dianterior dan dua lamina diposterior. Pada pertemuan lamina dan pedikel terdapat procesus transversus, dan dari pertemuan kedua lamina pada garis tengah tubuh diposterior terdapat procesus spinosus . Lekukan pada permukaan pedikel akan membentuk foramen intervertebralis dengan lekukan pada permukaan pedikel vertebra diatas atau dibawahnya sebagai tempat keluar nervus spinalis.1 Medula Spinalis Kanalis spinalis terletak didalam columna vertebralis antara foramen magnum dan hiatus sakralis. Dianterior dibentuk oleh columna vertebra, dilateral oleh pedikel dan diposterior oleh lamina. Medula spinalis terbentang dari batang otak sampai permukaan L1-2 pada orang dewasa. Akhir lumbal bawah dan akar-akar saraf sacral berlanjut didalam kanalis spinalis sebagai kauda equina. Medula spinalis dibungkus oleh tiga membran yaitu : piamater, arakhnoidmater, dan duramater. Ketiganya membentuk tiga ruang. Ruang antara piamater yang menutup medula spinalis dan arakhnoidmater. Ruang subarakhnoid berlanjut dari dasar kranium sampai S2 dan terdiri dari akar saraf dan ciran serebrospinal (CSS). Ruang subarakhnoid terletak antara duramater dan arakhnoidmater, ini merupakan ruang potensial khususnya obat-obatan yang diinjeksikan keruang epidural atau subarakhnoid. Akibat subdural blok adalah kelemahan dan penyebaran utama secara langsung kerah kepala.1 Ligamentum-Ligamentum Ligamentum longitudinalis anterior dan posterior berjalan diantara aspek anterior dan posterior columna vertebralis. Ligamentum supraspinosus membentang dari vertebra cervical 7 sampai



sakrum



dan



mencapai



ketebalan



maksimum



didaerah



lumbal. Ligamentum



interspinosus menghubungkan dua procesus spinosus. Ligamentum flavum dikenal sebagai serat elestik warna kuning berjalan di aspek anterior dan inferior tiap lamina vertebra kepermukaan posterior dan superior bawah lamina dan menebal didaerah lumbal. 1 Blood Suply Medulla spinalis mendapat suplai darah dari a. vertebral, a. servikal, a. interkostal dan a. lumbalis. Cabang spinal ini terbagi ke dalam a. radikularis posterior dan anterior yang berjalan



59



sepanjang saraf menjangkau medulla dan membentuk pleksus arteri di dalam piameter.1 Cerebrospinal Fluid Serabut saraf maupun medulla spinalis terendam dalam LCS yang merupakan hasil ulktrafiltrasi dari darah dan diekskresi oleh pleksusu choroideus pada ventrikel lateral, ventrikel III dan ventrikel IV. Produksinya konstan rata-rata 500 ml/hari tetapi sebanding dengan absorpsinya. Volume total LCS sekitar 130-150 ml, terdiri dari 60-75 ml di ventrikel, 35-40 ml sebagai cadangan otak dan 25-30 ml di ruang subarakhnoid. 1 Nervus Spinalis. Nervus spinalis meninggalkan kanalis spinalis menembus kedua foramen intervertebtralis, dan mempersarafi kulit yang dikenal sebagai dermatom. Perjalanan nervus visceral lebih kompleks, tergantung dan sesuai dengan perekembangan akhir embrionik organ dari pada posisi akhir dalam tubuh. Sering terjadi , tingkat anestesia untuk operasi yang dikehendaki lebih tinggi dari perkiraan dasar yang menutupi dermatom sensoris, Contoh : anestesia visceral abdomen bagian atas dibutuhkan paling kurang tingkat spinal T4 walaupun insisi kulit pada T6 atau lebih. Afferen simpatik kembali dari end organ melalui pleksus prevertebra dan ganglion para vertebra sehingga mencapai medula spinalis pada setiap tingkat. 1 Tabel 5. Tingkat Minimum Dermatom Untuk anestesi spinal (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.10)



Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeal. Pada spinal anestesi, paralysis motorik mempengaruhi gerakan bermacam sendi dan otot. Persarafan segmental ini digambarkan sebagai berikut :1



60



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif ➢



Bahu C6-8







Siku C5-8







Pergelangan tangan C6-7







Tangan dan jari C7-8, T1







Interkostal T1-11







Diafragma C3-5







Abdominal T7-12







Pinggul, pangkal paha fleksi L1-3







Pinggul, pangkal paha ekstensi L5, S1







Lutut fleksi L5, S1







Lutut ekstensi L3-4







Pergelangan kaki fleksi L4-5







Pergelangan kaki ekstensi S1-2



Gambar 1 . Level Dermatom (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.1). Sistem Saraf Otonom 1. System saraf simpatis Serabut saraf pregamglion meninggalkan medulla spinalis melalui radiks saraf ventralis T1-L2. Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikalis superior, media dan stellat ganglia. Pada thorak, rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang 61



menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam pleksus koeliak dan pleksus oartikorenal1. Didalam abdomen rangkaian simpatis ini berhubunagn dengan pleksus koeliak, pleksus aorta dan pleksus hypogastrik. Rangkaian ini berakhir dipelvis pada permukaan anterior sacrum. Serabut-serabut saraf post ganglionik yang tidak bermielin terdistribusi luas pada seluruh organ yang menerima suplai saraf simpatis. Daerah viscera menerima serabut postganglionic sebagian besar



langsubg



melalui



cabang



yang



meninggalkan



pleksus-pleksus



besar1



Distribusi segmental saraf simpatis visceral : 1 ➢



Kepala, leher dan anggota







badan atas, T1-5



Kandung empedu dan hati, T7-9







Jantung, T1-5







Pankreas dan lien, T6-10







Paru-paru, T2-4







Ginjal dan uereter, T10-12







Oesofagus, T5-6







Kelenjar adrenal, T8-L1







Lambung, T6-10







Testis dan ovarium, T10-L1







Usus halus, T9-10







Kandung kemih, T11-L2







Usus besar, T11-12







Prostate, T11-L1







Uterus, T10-L1



2. System saraf parasimpatis Saraf eferen dan aferen dari system saraf simpatis berjalan melalui nervus intracranial dan nervus sakralis ke 2,3,4. Nervus vagus merupakan saraf cranial paling penting yang membawa saraf eferen parasimpatis. Mereka dirangsanga dengan sensasi seperti lapar, mual, distensi vesika, kontraksi uterus. Berbagai macam nyeri disalurkan melalui saraf ini seperti kolik atau nyeri melahirkan. Nervus vagus menginervasi jantung, paru, esophagus dan traktus gastrointestinal bagian bawah sampai ke kolon tranversum. Saraf simpatis sacral bersama saraf simpatis didistribusikan pada usus bagian bawah kolon transversum, vesika urinaria, spincter dan organ reproduksi1 Blokade Somatic Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka. Blok sensoris mengkambat stimulus nyeri somatic atau visceral sementara blok motorik menyebabkan relaksasi otot. Efek enstetik local pada serabut asaraf bervariasi tergantung dari ukuran serabut



62



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat dan lamanya kontak1



Blokade Otonom Hambatan pada serabut eferen transmisi ototnom pada akar saraf spinal menimbulkan blockade simpatis dan beberapa blok parasimpatis. Simpatis outflow berasal dari segmen thorakolumbal sedangkan parasimpatis dari craniosacral. Serabut saraf simpatis preganglion terdapat dari T1 sampai L2 sedangkan serabut parasimpatis preganglion keluar dari medulla spinalis melalui serabut cranial dan sacral. Perlu diperhatikan bahwa blok subarachnoid tidak memblok serabut saraf vagal. Selian itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan otonom dimana parasimpatis menjadi lebih dominant. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bias terjadi aritmia sampai cardiac arrest selama anestesi spinal. Hal ini terjadi karena vagotonia yaitu peningkatan tonus parasimpatis nervus vagus. 1 EVALUASI PREOPERATIF Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum anestesi spinal atau epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien dan beberapa kontraindikasi terhadap tehnik regional. 9 Pertimbangan Bedah. Banyak operasi pada ekstremitas bawah , pelvis, abdomen bagian bawah dan perineum dapat dilakukan dengan anestesi spinal. Operasi daerah diatas abdomen, dada, bahu dan ekstremitas atas dapat ditangani dengan anestesi spinal dengan kesulitan yang besar. Walaupun tempat operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus pasien tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya , efek operasi atau spinal anesthesia yang tinggi mungkin akan mempengaruhi pernapasan, sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.9 Pemeriksaan Fisik. Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit disekitar tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin kesalahan lebih banyak jika terdapat kelainan anatomic seperti scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada tempat punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit neurology yang ada sebelumnya yang ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat untuk mencegah kesalahan diagnosis kelainan neurology post anestesi.9 63



Kontra Indikasi. Diantara sedikit kontra indikasi absolut anesthesia spinal adalah pasien menolak dan infeksi pada tempat insersi jarum anestesi spinal. Juga untuk penderita yang menderita koagulopati yang berat dan ditakutkan terjadinya hematoma epidural. Tehnik ini juga tidak diindikasikan pada pasien-pasien dengan gangguan pembekuan., hal ini dapat dilindungi dengan pemberian heparin sesudahnya. 9 Jika hipovolemia tidak dikoreksi sebelum anestesi spinal, penekanan saraf sympatis menghasilkan katastropik hipotensi, juga perdarahan dan dehidrasi harus ditangani sebelum anesthesia dilakukan. Baktemremia tidak merupakan kontra indikasi absolut terhadap anestesi spinal, penderita dapat diberikan antibiotik, tapi tehnik ini dihindari jika pasien ditakutkan adanya bakteremia blood borne yang dilihat pada hematoma epidural yang kecil dan membentuk abses. Herniasi discus vertebra atau pembedahan tulang sebelumnya tidak temasuk kontra indikasi spinal anesthesia, walaupun jaringan parut dapat menghalangi penusukan jarum yang berisi anestesi local atau pengaruhnya terhadap peningkatan akan terjadinya trauma akar saraf. Dalam kasus ini kekhawatiran akan terjadinya eksaserbasi sakit belakang atau radikulitis, pasien dan ahli naestesi akan memilih anestesi umum. Walaupun sedikit bukti bahwa anestesi spinal menyebabkan keadaan penyakit neurology bertambah jelek. Banyak yang menghindari tehnik ini bila terjadi eksaserbasi kelainan yang ada sebelumnya pada post operasi. 9 Tabel 6. Kontra indikasi Penggunaan Anestesi (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.9) Absolut



Relative



Pasien menolak.



Hypovolemia.



Cagulopathy.



Sepsis.



Infeksi setempat.



Kelainan neurology sebelumnya.



TEHNIK UMUM ANESTESI SPINAL Seperti pada anestesi umum, obat-obatan, perlengkapan serta mesin anestesi disiapkan sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen melalui nasal kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pemberian sedatif dan narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum, bahkan pasien cukup sadar untuk melaporkan 64



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan penusukan jarum atau injeksi anestetik dapat menggambarkan trauma akar saraf.9 Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone. Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan fleksi vertebra, pasien menjadi lelah bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan tersebut operator dan asisten harus memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk mendapatkan keadaan yang stabil. Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan secara hati-hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Untuk mncegah kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi diperhatikan dengan hatihati9



Gambar 2. Posisi Lateral Decubitus untuk Anestesi Spinal (Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.9).



TEHNIK ANESTESI Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah operasi dan densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan



untuk melebarkan



ruang procesus spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi prone, menempatkan bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.9



65



Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun medulla spinalis berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari resiko kerusakan medulla spinalis. Garis penghubung yang menghubungkan Krista iliaca memotong daerah interspace L4-5 atau procesus spinosus L4. 9 Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non dominan menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace diinfiltrasi dengan anestesi local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah secara sagital, mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang interlamina. Penusukan keruang sub arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan, ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika ujung jarum mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan tahanan disertai perasaan poping, saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 4-7 cm. Jika ujung jarum menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan dari ligametum, sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal. 9 Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas. Jika CSS bercampur darah hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai vena epidural. Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi CSS untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya anestesi dengan CSS, ini memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan perbedaan densitas antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau lebih) mengurangi efeknya . setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih menyakinkan posisi jarum. 9 Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti orang tua dengan kalsifikasi ligamentum atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum ditusukkan kira-kira 1-1,5 cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus spinosus dari interspace yang diperlukan. Jarum ditusukkan kearah median dan ke cephal menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum mengenai tulang berarti mengenai lamina ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah superior atau inferior masuk ruang sub arachnoid. 9 Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral (taylor), yang digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina iliaca posterior superior



66



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm inferior ketitik tersebut. Jarum diarahkan kemedial dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis pada midline L5-S1. 9



JARUM SPINAL Pemilihan jarum spinal tergantung usia pasien, kebiasaan ahli anestesiologi dan biaya. Ujung jarum quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang yang menyatu dengan lubang. Dapat dibagi dalam ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering digunakan. Ujung jarum quincle yang runcing menebus dengan mudah . untuk menjamin posisi yang tepat mengalirnya CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum.9 Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung berbentuk tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang lebih. Contoh jarum bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx. Perbedaan antara kedua jarum tersebut adalah ukuran dan letak lubang dilateral. Meskipun lebih mahal dari pada bevel tajam, jarum ini kurang menyebabkan kerusakan pada duramater dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post anesthesia spinal. 9 Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang lebih mahal jarum pensil point, lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko yang besar terhadap sakit kepala post anesthesia spinal. 9



OBAT-OBAT SPINAL ANESTESI Anestesi spinal yang memuaskan membutuhkan blok sepanjang dermatom daerah operasi. Keterbatasan memperluas anestesi yang diperlukan untuk memblok dermatom sangat penting untuk mengurangi beratnya efek menjadi minimum. Obat yang digunakan untuk anestesi spinal termasuk anestesi local, opioid dan vasokonstriktor, dektrosa kadang-kadang ditambahkan untuk meningkatkan berat jenis larutan. 9



Anestetik local. Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal. Criteria yang digunakan untuk memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan buvipakain biasanya dipilih untuk operasi yang lebih lama dari 1 jam dan lidokain untuk operasi-operasi yang kurang dari 1 jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada penggunaan vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat. 67



Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable individual pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih banyak anestetik local akan menghasilkan anestesi yang lebih luas. 9 Tabel 7 . Obat-obat anestesi local untuk anesthesia spinal (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 9)



Obat



Konsentrasi



Dosis



(%)



(mg)



Lama (jam) Tanpa



Dengan



Epinefrin



Epinefrin



Lidokain, hyperbarik



5



25-100



1



Lidokain, isobaric.



2



20-100



1,5



2–3



Tetrakain, hyperbarik.



0,5



3-15



2



2–4



Tetrakain, isobaric.



1



3-20



2-3



4–6



Tetrakain, hypobarik.



0,3



3-20



2



4–6



Bupivakain, isobaric.



0,5



5-15



2-3



4–6



0,75



3-15



1,5



3–4



Bupivakain, hyperbarik.



2



Vasokonstriktor. Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan penambahan larutan vasokonstriktor kelautan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg) maupun phenyleprine (1,04,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplay dura dan medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik local. Penambahan untuk mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan secara langsung efek antinoceftif terhadap medulla spinalis. 9



Opioid. Dalam decade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid untuk memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative. Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis. Morpin (0,1-0,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode postoperative, sebagaimana Fentanyl (25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10 mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid termasuk pruritus, nausea, dan depresi pernapasan. 9 68



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Tabel 8 . Opioid Dalam ruang subarachnoid (Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.9) Obat



Dosis.



Lama kerja.



Morfin



0,1 – 0,2 mg



8 – 24 jam



Fentanyl



25 – 50 mg



1 – 2 jam



5 – 10- mg



2 – 3 jam



Subfentanyl



Dextrose, Barisitas, Distribusi. Densitas larutan anestesi local adalah fungsi konsenrasi dan cairan dimana obat tersebut dilarutkan. Densitas dari CSS 37 oC adalah 1,001 – 1,005 g/ml. Barisitas larutan anestesi local adalah perbandingan pada suhu dari densitas laritan anestetik terhadap densitas CSS pada tempratur yang sama. Larutan anestesi local dengan densitas lebih dari 1,008 g/ml pada suhu 37 o C disebut hiperbarik, densitas antara 0,998 dan 1,007 g/ml digolongkan isobaric, dan densitas kurang dari 0,997 g/ml termasuk hipobarik. Preparat anestetik local 5% sampai 8% dalam dextrose adalah hiperbarik; dalam CSS atau garam saline, isobaric; dan dilarutkan dalam air , hipobarik. 9 Dosis obat, densitas larutan anestetik local dan posisi pasien selama dan setelah injeksi lebih banyak menentukan distribusi anestesi local dan tingkat anesthesia. Factor lain seperti ; umur, berat badan dan panjang columna vertebralis adalah kurang penting. Pada posisi supine, lordosis lumbal menunjukkan titik terendah spinal pada L3-4, dan kiposis torak menunjukkan titik terendah pada T5-6. jadi jika pasien diberikan larutan anestesi local hiperbarik pada L4 pada posisi supine , larutan tersebut bergerak oleh karena grafitasi dari titik tertinggi sampai dua regio yang lebih rendah yaitu sacrum dan T5-6, menghasilkan blok yang baikpada dermatom toraks tetapi itu termasuk suplai yang relatif jarang dari anestesi local pada akar saraf pertengahan lumbal. Sadel blokuntuk anesthesia perineum , ini dihasilkan jika lautan hiperbarik di injeksikan pada pasien dengan posisi duduk dan mempertahankan posisi tersebut untuk beberapa menit setelah injeksi. 9 Larutan isobaric cenderung untuk tinggal pada tempat injeksi dan menghasilkan blok yang lebih terlokalisir dan menyebar hanya kebawah dan dermatom toraks. Larutan ini cocok untuk prosedur pada ektremitas bawah dan prosedur urology. 9 Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi jack-knife untuk operasi rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus. Kenutungan larutan hypobarik bahwa kemiringan meja operasi dengan kepala dibawah mengurangi pengumpulan darah ditungkai, juga membantu mencegah pemyebaran anestesi local kearah kepala. 9 69



KONDUKSI ANESTESI SPINAL Pengelolaan setelah injeksi anestesi local kedalam CSS meliputi pengamatan dan pengobatan efek samping dan penilaian distribusi dari anestesi local. Pemberian oksigen dan pemasangan pulse oksimetri untuk mencegah hipoksemia. Memperhatikan terus-menerus denyut jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan mengulangi pengukuran tekanan darah untuk menilai adanya hipotensi. 9 Distribusi dari blok dapat diukur dengan beberapa tes. Kehilangan rasa persepsi dingin (kapas alcohol atau es pada kulit) berhubungan dengan tingkat blok simpatis, yang dilayani oleh dua modalitas saraf yang hampir mirip diameter dan kecepatan konduksinya. Level sensoris diketahui dengan adanya respon terhadap goresan peniti atau garukan jari. Fungsi motorik dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi plantar jari kaki (S1-2), dorsofleksi kaki (L45 ) , mengangkat lutut (L2-3) atau tegangan muskulus rektus abdominalis dengan mengangkat kepala (T6-12). 9 Selama anestesi spinal tingkat blok simpatis meluas lebih tinggi dari blok sensoris dimana dalam perluasannya lebih tinggi dari blok motoris. Besarnya derajat blok tidak berhubungan dengan perbedaan dari snesitivitas dari berbagai macam serabut saraf , sebagai suatu pemikiran , tetapi dibedakan oleh konsentrasi anestatik local diantara berbagai akar saraf dan terhadap derajat konsentrasi di dalam masing-masing akar saraf. Serbut saraf sensoris dan simpatis yang lebih perifer lebih mudah diblok karena lebih banyak terekspose oleh keonsetrasi anestesi local dari pada serabut saraf motorik yang lebih dalam. 9



KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL Komplikasi dini / intraoperatif : 9 1.



Hipotensi



2.



Anestesi spinal tinggi / total.



3.



Henti jantung



4.



Mual dan muntah



5.



Penurunan panas tubuh



6.



Parestesia. 70



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Komplikasi lanjut : 1.



Post dural Puncture Headache (PDPH)



2.



Nyeri punggung (Backache)



3.



Cauda equine sindrom



4.



Meningitis



5.



Retensi urine



6.



Spinal hematom.



7.



Kehilangan penglihatan pasca operasi



Hipotensi. Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat blok preganglion vasomotor efferent sistim saraf simpatis dan kehilangan kompensasi vasokonstriksi eketremitas bawah. Berkurangnya preload (venodilatasi) menunjukkan menurunnya curah jantung; berkurangnya tonus arteriole sedikit kontribusinya terhadap terjadinya hipotensi, kecuali tahanan pembuluh darah perifer meningkat sebelum anestesi spinal. Blok serat kardioakselator pada T1T4 menyebabkan bradikardi dan kehilangan kontraktilitas. 9 Terapi hipotensi dimulai dengan tindakan yang cepat seperti koreksi posisi kepala, pemberian cairan intravena dan pemberian vasopressor sesuai kebutuhan. Jika cairan yang diberikan tidak dapat mengoreksi bradikardi atau kontraktilitas melemah, terapi yang disukai untuk spinal hipotensi adalah kombinasi cairan untuk mengoreksi hipovolemi dengan alfa dan beta adrenergik agonis (seperti efedrin) dan atropin (untuk bradikardi) tergantung pada situasi. 9



Anestesi spinal tinggi dan Blokade total spinal Pasien dengan tingkat anesthesia yang tinggi dapat mengalami kesulitan dalam pernapasaan . Harus dibedakan secara hati-hati apa penyebabnya untuk memberikan terapi yang tepat. Hampir semua dispnea tidak disertai paralysis otot pernapasan tetapi adalah kehilangan sensasi proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea walaupun fungsi otot pernapasan dan pertukaran gas adekuat. 9 Total spinal adalah blockade dari medulla spinalis sampai ke servikal oleh suatu obat local anestesi.Factor pencetus : Pasien mengejan, dosis obat local anestesi yang digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik. Sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala 71



utama dari blok spinal tinggi. Sering disertai mual, muntah, precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok semakin tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung9 Penanganan : a.



Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask



b.



Jika depresi pernapasan makin berat (blok motor C3-5 dengan paralysis nervus phrenikus) perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat



c.



Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung



d.



Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi



e.



Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin



Henti jantung yang tiba-tiba. Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif dan hipotensi sampai tejadinya henti jantung yang tibatiba terbukti sulit untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap hiperkarbia dan hipoksia kerana sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia. 9 Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama opioid harus digunakan dengan perhatian yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua, semua pasien yang menjalani anestesi spinal dibutuhkan suplemen oksiegen dan pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi dibutuhkan terapi segera untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami episode hipotensi dan henti jantung yang tibatiba merupakan indikasi segera dan tepat mendapatkan terapi oksigen, hiperventilasi, epinefrin dosis tinggi (0,1-1 mg) dan sodium bikarbonat jika ada indikasi. 9



Mual dan Muntah Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau tidak terhalanginya stimulus vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok 72



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus gastrointestinal9. Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena : a.



Hipotensi



b.



Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus



c.



Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus



d.



Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris



e.



Factor psikologis



f.



Hipoksia



Penanganan : a.



Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20 ml/kgBB kristaloid



b.



Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV



c.



Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.



d.



Dapat juga diberikan anti emetik.



e.



Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah jantung telah diperbaiki.



Paresthesia. Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan obat anestetik. Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini disebabkan jarum spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya parestesia persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum harus digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah kerusakan yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia. 9



Sakit kepala post punksi dura. Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache atau post-dural puncture headache (PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898. CSS keluar dari ruang subarachnoid melalui punksi dura, menyebabkan tarikan pada struktur vaskuler yang sensitive 73



terhadap sakit. Sakit kepala diperburuk oleh sikap berdiri atau duduk dan terasa berkurang dengan terlentang . Rasa sakit tersebut dirasakan di frontal, occipital atau keduanya dan mungkin disertai dengan gejala seperti tinitus atau diplopia. Walupun ini terjadi segera setelah punksi dura, tapi bisanya setelah 24-72 jam. 9 Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita. Kecepatan hilangnya CSS cenderung bergantung pada bentuk ukuran lubang pada dura dan dengan demikian kemungkinan terjadinya sakit kepala lebih berat. Menggunakan jarum ukuran kecil (24G atau lebih kecil) penting untuk pasien dibawah umur 50 tahun. Jarum spinal dengan bagian ujung bulat atau tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan penyembuhan lebih cepat. 9 Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif. Hidrasi intravena atau oral meningkatkan produksi CSS dan mengganti CSS yang hilang. Walaupun pasien dengan PDPH akan lebih senang jika terlentang, istirahat ditempat tidur tidak dapat mencegah sakit kepala. Cafein intravena atau oral mungkin dapat membantu. Pengikatan perut dapat meningkatkan tekanan ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS. 9 Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah. Tahun 1960 Gormley mencatat bahwa pasien dengan perdarahan selama lumbal punksi memiliki insiden yang kurang terjadinya PDPH. Dengan postulat ini bekuan darah dapat menutup lubang dura dan mencegah bocornya CSS, ia memperlihatkan dengan sukses , untuk membebaskan sakit kepala , darah tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk mendapatkan suatu penyumbatan epidural oleh darah, 10-20 ml darah sendiri yang steril di injeksikan perlahan keruang epidural. Dengan komplikasi pada umumnya adalah “ transient back pain”. Penyumbatan dengan darah efektif lebih dari 95 % pasien. 9 Pencegahan dan Penanganan : 9 1.



Hidrasi dengan cairan yang kuat.



2.



Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non cutting pencil point



3.



Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang.



4.



Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter.



5.



Mobilisasi seawal mungkin. 74



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 6.



Gunakan pendekatan paramedian



7.



Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat.



8.



Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate 500 mg IV atau IM, asetaminofen atau NSAID



9.



Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan LCS



10.



Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch : a)



Baringkan pasien seperti prosedur epidural.



b)



Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml.



c)



Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan.



d)



Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan gerakan dan mobilisasi.



e)



Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan.



Kerusakan saraf. Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma mekanik dan kimiawi. Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan radikulopati dengan defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini bisanya membaik dalam 2-12 minggu. 9 Cauda Equina Sindrom Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau bahan pengawet yang berlebihan. 9 Penanganan : Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal9



75



Meningitis Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai. 9 Pencegahan 1.



Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul steril



2.



Menggunakan jarum spinal sekali pakai



3.



Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik



Retensi urine. Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan otot-otot kandung kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris ekstremitas bawah pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing, khususnya dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain. Lambatnya fungsi saraf pulih dapat mengakibatkan retensi urine dan distensi kandung kencing. Untuk prosedur yang lebih lama dan pemberian cairan intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing mencegah komplikasi ini. 9



Sakit tulang belakang / Nyeri punggung. Sakit tulang belakang lebih sering mengikuit anesthesia spinal dari pada yang terjadi pada anestesi umum. Ini mungkin disebabkan akibat tarikan ligamentum dengan relaksasi otot paraspinosus dan posisi operasi yang menyertai anestesi regional dan general. 9 Nyeri punggung dapat juga terjadi akibat Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan



sehingga



analgetik



post



operatif



biasanya



bias



menutup



nyeri



ini.



Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab9



76



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Penanganan Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan sangat berguna.9 Spinal hematom Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla spinalis. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi9 Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi : 1.



Mati rasa



2.



Kelemahan otot



3.



Kelainan BAB



4.



Kelainan sfingter kandung kemih



5.



Sakit pinggang yang berat



Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-ulang. Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli bedah saraf. Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematom yang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam9.



77



MINGGU 4 1.7 Resusitasi Jantung Paru (RJP) TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Kognitif Diharapkan mahasiswa mampu : a. Memahami mekanisme sirkulasi jantung dan pernapasan b. Mengetahui perisapan RJP c. Mengetahui langkah-langkah RJP 2. Psikomotorik Diharapkan mahasiswa mampu : a. Melakukan resusitasi jantung paru 3. Afektif Diharapkan mahasiwa mampu : Dapat melakukan bantuan hidup dasar (basic life support) pada pasien.



HENTI JANTUNG DI LUAR RUMAH SAKIT Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung kepada prevalensi lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk akal untuk mencurigai adanya COVID-19 pada seluruh kasus henti jantung di luar rumah sakit. 12 a) Penolong awam RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti meningkatkan sintasan pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka sintasan tersebut menurun dengan setiap menit ditundanya RJP dan defibrilasi. Penolong di komunitas kemungkinan besar tidak memiliki akses terhadap APD yang cukup, dan oleh karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar COVID-19 selama RJP dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni. Penolong dengan usia tua dan memiliki komorbid seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan penyakit 78



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif jantung kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2. Meskipun begitu, bila henti jantung terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus henti jantung di luar rumah sakit sebelum peraturan untuk berada di rumah saja diterapkan), penolong awam kemungkinan telah terpapar dengan COVID-19.12 Kompresi dada 1) Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP dengan tangan saja (handsonly CPR) ketika menemukan kasus henti jantung, jika bersedia dan mampu, terutama jika mereka tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut. 12 Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan mempertimbangkan ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan mampu, mengingat tingginya kejadian henti nafas pada anak, khususnya jika penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapt menurunkan resiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut, jika penolong tidak bersedia atau tidak dapat melakukan ventilasi mulut ke mulut. 12 Defibrilasi 2) Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol, penolong awam dapat menggunakan automated external defibrillation (AED) jika ada untuk menolong korban henti jantung di luar rumah sakit. 12



79



Gambar 3. Algoritma BHD pada kasus henti jantung untuk pasien terduga atau terkonfirmasi COVID 19 (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 12)



b) Penolong tenaga medis 1) Telekomunikasi (dispatch) Telekomunikator/ operator, sesuai dengan protokol lokal yang berlaku, direkomendaikan melakukan skrining terhadap semua telepon yang masuk terkait pasien dengan gejala COVID19 (demam, batuk, sesak nafas) atau telah diketahui positif COVID-19 atau memiliki kontak dekat dengan pasien positif lainnya. Untuk penolong awam, telekomunikator harus memberikan panduan mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi penolong dan memberikan instruksi untuk RJP dengan kompresi dada saja seperti di atas. Untuk penolong medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus mengingatkan tim untuk mengenakan APD jika mencurigai adanya infeksi COVID-19.12 80



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 2) Transportasi Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau positif COVID-19 sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama. Jika kembalinya sirkulasi spontan tidak tercapai setelah upaya resusitasi optimal telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk tidak membawa pasien ke RS mengingat kemungkinan selamat yang rendah, dan risiko peningkatan paparan tambahan terhadap tenaga kesehatan lainnya. 12



81



Gambar 4: Algoritma BHJL pada kasus henti jantung untuk pasien terduga atau terkonfirmasi COVID-19 (Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 12).



82



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif Pertmbangan khusus untuk ibu hamil dan neonatus Resusitasi neonatus: Penolong terlatih harus ada dan siap melakukan resusitasi pada seluruh bayi baru lahir terlepas dari status COVID-19. Meskipun tidak diketahui secara pasti apakah bayi baru lahir terinfeksi atau berpotensi menularkan ketika ibu terduga/ positif COVID-19, tenaga kesehatan harus menggunakan APD yang adekuat. Ibu melahirkan adalah sumber aerosolisasi potensial bagi tim perawatan neonatus.12 1) Langkah awal: Pelayanan neonatus rutin dan langkah awal resusitasi neonatus kemungkinan besar tidak menghasilkan aerosol; diantaranya mengeringkan bayi, stimulasi taktil, menempatkan bayi dalam balutan plastik, penilaian laju detak jantung, serta pemasangan oksimetri dan lead EKG. 12 2) Suction: suction pada jalan nafas setelah lahir sebaiknya tidak dilakukan secara rutin jika cairan amnion jernih atau terkontaminasi meconium. Suctioning merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol dan tidak diindikasikan untuk persalinan normal12 3) Medikasi endotrakeal: Pemberian obat-obatan secara endotrakeal, seperti surfaktan atau epinefrin, merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol, terutama bila dilakukan dengan pipa endotrakea tanpa cuff’ Pemberian epinefrin secara intravena dengan kateter vena umbilikus letak rendah (low-lying umbilical venous catheter) merupakan rute administrasi pilihan pada resusitasi neonatus12



Inkubator tertutup: Pemindahan dan perawatan pasien dalam inkubator tertutup (dengan pengaturan jarak yang sesuai) sebaiknya digunakan untuk pasien neonatus yang menjalani rawat intensif jika memungkinkan, namun hal ini tidak melindungi mereka dari aerosolisasi virus. terduga atau terkonfirmasi COVID-19.12 83



HENTI JANTUNG PADA IBU HAMIL: Prinsip henti jantung pada ibu hamil tidak berbeda untuk perempuan terduga/ positif COVID-19. a) Perubahan fisiologis jantung paru pada saat kehamilan berpotensi meningkatkan risiko dekompensasi akut pada pasien hamil dengan COVID-19 yang jatuh kritis.12 b) Persiapan untuk persalinan perimortem, setelah 4 menit resusitasi, perlu dipertimbangkan lebih awal pada algoritma resusitasi guna memberi waktu bagi tim obstetri dan neonatus untuk menggunakan APD, bahkan jika sirkulasi spontan (ROSC) berhasil kembali dan persalinan perimortem tidak lagi dibutuhkan untuk selamat tanpa membahayakan keselamatan penolong — yang tentunya akan dibutuhkan untuk merawat pasien-pasien berikutnya. Ditambah dengan COVID-19 yang sangat menular, hal ini tentunya menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal respon emergensi dan mungkin mempengaruhi angka morbiditas maupun mortalitas.12 1.8 Acute Medical Response 1. Kognitif Diharapkan dokter muda mampu : a. Memahami acute medical response b. Mengetahui pemilihan pasien/korban berdasarkan triage c. Mengetahui langkah-langkah dalam menangani korban bencana 2. Psikomotorik Diharapkan dokter muda mampu : Melakukan prinsip triage dan penanganan kegawatdaruratan di kasus kebencanaan 3. Afektif Diharapkan dokter muda memiliki kesigapan dalam menangani kasus kegawatdaruratan jika terjadi bencana.



84



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif PENDAHULUAN Menurut Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam WHO – ICN (2009) bencana adalah sebuah peristiwa, bencana yang tiba-tiba serius mengganggu fungsi dari suatu komunitas atau masyarakat dan menyebabkan manusia, material, dan kerugian ekonomi atau lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri. Meskipun sering disebabkan oleh alam, bencana dapat pula berasal dari manusia.11 Adapun definisi bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang mengatakan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Fase terjadinya bencana terbagi menjadi 3 yaitu siaga darurat, tanggap darurat dan pemulihan darurat. Fokus kegiatan pada fase siaga darurat adalah rescue artinya jauhkan masyarakat dari hazard. Fokus kegiatan pada fase tanggap darurat adalah relief artinya pastikan program kesehatan tetap berjalan dengan terpenuhinya persyaratan minimal. Selanjutnya fokus kegiatan pada fase pemulihan darurat adalah rehabilitation and recontruction artinya kembalikan program seperti semula sesuai dengan perencanaan pembangunan kesehatan daerah/nasional. Fase tanggap darurat (emergency response). Menurut UU No 24 Tahun 2007, tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadi bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. TRIAGE Triage berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage dan diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya.11



85



Tujuan Triage : 11 1.



Mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.



2.



Menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan.



Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu : 1.



Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien



2.



Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan



3.



Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat



Ada dua jenis keadaan yang akan mempengaruhi proses triage : 1. Multiple Casualties Keadaan ini terjadi bila musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemapuan petugas dan peralatan. Masalah yang mengancam jiwa dan multipel trauma akan dilayani terlebih dahulu11 2. Mass Casualties Keadaan ini terjadi bila musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan petugas dan peralatan. Penderita dengan kemungkinan hidup terbesar, butuh waktu /perlengkapan/tenaga paling sedikit.11 Prinsip-prinsip triage : “Time Saving is Life Saving, The Right Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang terbaik untuk jumlah terbanyak”. 11 Seleksi korban berdasarkan : 11 ➢ Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit ➢ Dapat mati dalam hitungan jam ➢ Trauma ringan ➢ Sudah meninggal JENIS TRIAGE 1.



Pemilahan Pasien secara Perorangan (Single Patient Triage) 1. Emergent Pasien-pasien dengan kategori ini merupakan prioritas pertama. Mereka harus dilihat dan ditangani agar memproleh penanganan yang tepat dan segera. Contohnya: 11 ➢ Trauma Mayor 86



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif ➢ Acute Miokardial Infarction ➢ Sumbatan Jalan Napas ➢ Syok ➢ Anafilaksis



2. Urgent Sudah harus ditangani dalam hitungan jam. pasien-pasien yang secara fisiologi stabil pada saat mereka datang, tetapi dalam resiko pemburukan jika tidak ditangani dalam beberapa jam. Contoh: 11 ➢ Spinal Injury ➢ Stroke (Cerebro Vascular Acident) ➢ Appendicitis Acuta ➢ Cholecystitis Pasien-pasien cedera yang dapat berjalan kaki/ memiliki kondisi sakit yang ringan termasuk dalam kategori ini. Termasuk juga pasien-pasien yang stabil secara hemodinamik tetapi tampak cedera. Contoh: 11 ➢ Laserasi kulit ➢ Kontusion ➢ Luka abrasi dan luka lainnya ➢ Fraktur tertentu dan dislokasi ➢ Demam dan kondisi medis lainnya yang termasuk kategori ini 2.



Pemilahan Korban Masal yang bukan Kategori Disaster (Routine Multiple Casualty Triage) Metode yang digunakan adalah START (Simple Triage & Rapid treatment) Prinsip dari START adalah START bertujuan untuk mengatasi ancaman hidup yang utama, yaitu sumbatan jalan nafas dan perdarahan arteri yang hebat. Pengkajian diarahkan pada pemeriksaan: 11 ➢ Status respirasi ➢ Sirkulasi (pengisian kapiler) ➢ Status Mental



3.



Pemilahan Korban Masal dalam Kategori



Disaster (Triage in Overwhelming Multiple



Casualty Incident) 87



SAVE (Secondary Assessment of Victim Endpoint) Konsep dari SAVE ini adalah memprioritaskan para korban yang dianggap paling dapat terselamatkan dan memiliki kondisi medis yang memerlukan penanganan segera. Kategori triage dalam SAVE dibagi dalam tiga kategori: 11 ➢ Unsalvageable (Kemungkinan mati) ➢ Immediate (Kemungkinan hidup) ➢ Delayed (Dapat ditunda penanganannya) JENIS TRIAGE 1.



Prioritas 1 atau Emergensi ➢ warna MERAH (kasus berat) ➢ Pasien dengan kondisi



mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi segera,



perdarahan berat, pasien dibawa ke ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol), seperti : 11



2.







Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla







Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat







Fraktur terbuka dan fraktur compound Luka bakar > 30 % / Extensive Burn







Shock tipe apapun



Prioritas 2 atau Urgent ➢ warna KUNING (kasus sedang) ➢ Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki, waktu tunggu 30 menit, area critical care, seperti : 11



3.







Trauma thorax non asfiksia







Fraktur tertutup pada tulang panjang







Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )







Cedera pada bagian / jaringan lunak



Prioritas 3 atau Non Urgent ➢ warna HIJAU (kasus ringan) ➢ Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal, luka lama, kondisi yang timbul sudah lama, area ambulatory / ruang P3, seperti : 11 ▪



Minor injuries







Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan



88



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 4.



Priority 0 ➢ warna HITAM (kasus meninggal) 11 ▪



Tidak ada respon pada semua rangsangan







Tidak ada respirasi spontan







Tidak ada bukti aktivitas jantung







Tidak ada respon pupil terhadap cahaya



PRINSIP TRIAGE Triage adalah hal yang paling dasar yang seharusnya dimiliki anggota tim penanganan bencana atau petugas unit gawat darurat. 11 Menurut lokasinya Triage dibagi menjadi dua, yaitu : 11 a.



Triage lapangan : Triage lapangan, bisa oleh seorang first responder yang menguasai triage.



b.



Triage dalam Rumah Sakit (RS) : Triage dalam Rumah Sakit dilakukan oleh perawat atau dokter unit gawat darurat



Pentingnya triage untuk memilih siapa yang harus ditangani lebih awal dan siapa yang terakhir. Teknik penilaian untuk Triase yang aman : 11 ▪



Penilaian bahaya lingkungan







Penampilan umum







Airway







Breathing







Sirkulasi







Disability



TRIAGE DALAM BENCANA Dalam kondisi bencana atau Mass Casualties Incident (MCI), membutuhkan metode triase cepat dan efektif. Saat ini, dua protokol triase paling umum diterima adalah SALT dan START/JUMP START. 13 Model SALT Triage Untuk Insiden Korban Masal (Mass Casualty Incident) SALT. Triage singkatan (sort – assess – lifesaving – interventions – treatment/transport). SALT terdiri dari dua langkah ketika menangani korban. Hal ini termasuk triase awal korban menggunakan perintah suara, perawatan awal yang cepat, penilaian masing-masing korban dan prioritas, dan inisiasi 89



pengobatan dan transportasi. Pendekatan Triase SALT memiliki beberapa karakteristik tambahan. Pertama, SALT mengidentifikasi kategori expectant (hamil) yang fleksibel dan dapat diubah berdasarkan faktor-faktor tertentu. Kedua, SALT Triage awalnya mengkategorikan luka, tapi memberikan evaluasi sekunder untuk mengidentifikasi korban langsung. 13 Bagan Alur Triase SALT



Gambar 3. Bagian Alur Triase SALT ( Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 13)



A. Step 1 : SORT SALT dimulai dengan menyortir pasien secara global melalui penilaian korban secara individu. Pasien yang bisa berjalan diminta untuk berjalan ke suatu area tertentu dan dikaji pada prioritas terakhir untuk penilaian individu. Penilaian kedua dilakukan pada korban yang diminta untuk tetap mengikuti perintah atau di kaji kemampuan gerakan secara terarah / gerakan bertujuan. Pada korban yang tetap diam tidak bergerak dari tempatnya dan dengan kondisi yang mengancam nyawa yang jelas harus dinilai pertama karena pada korban tersebut yang paling membutuhkan intervensi untuk penyelamatan nyawa. 13 90



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif B. Step 2 : ASSES Prioritas pertama selama penilaian individu adalah untuk memberikan intervensi menyelamatkan nyawa. Termasuk mengendalikan perdarahan utama; membuka jalan napas pasien, dekompresi dada pasien dengan pneumotoraks, dan menyediakan penangkal untuk eksposur kimia. Intervensi ini diidentifikasi karena injury tersebut dapat dilakukan dengan cepat dan dapat memiliki dampak yang signifikan pada kelangsungan hidup pasien. Intervensi live saving yang harus diselesaikan sebelum menetapkan kategori triase dan hanya boleh dilakukan dalam praktek lingkup responder dan jika peralatan sudah tersedia. Setelah intervensi menyelamatkan nyawa disediakan, pasien diprioritaskan untuk pengobatan berdasarkan ke salah satu dari lima warna-kode kategori. 13 Pasien yang mengalami luka ringan yang self-limited jika tidak diobati dan dapat mentolerir penundaan dalam perawatan tanpa meningkatkan risiko kematian harus diprioritaskan sebagai minimal dan harus ditunjuk dengan warna hijau. Pasien yang tidak bernapas bahkan setelah intervensi live saving yang diprioritaskan sebagai mati dan harus diberi warna hitam. Pasien yang tidak mematuhi perintah, atau tidak memiliki pulsa perifer, atau dalam gangguan pernapasan, atau perdarahan besar yang tidak terkendali harus diprioritaskan immediate dan harus ditunjuk dengan warna merah. 13 Penyedia harus mempertimbangkan apakah pasien ini memiliki cedera yang mungkin tidak sesuai dengan kehidupan yang diberikan sumber daya yang tersedia, jika ada, maka provider harus triase pasien sebagai expectant /hamil dan harus ditunjuk dengan warna abuabu. Para pasien yang tersisa harus diprioritaskan sebagai delayed dan harus ditunjuk dengan warna kuning. 13



BAGAN ALUR START Model START Triage Untuk Insiden Korban Masal (Mass CasualtyIncident). Model START Sistem START tidak harus dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan yang sangat terampil. Bahkan, dapat dilakukan oleh penyedia dengan tingkat pertolongan pertama pelatihan. Tujuannya adalah untuk dengan cepat mengidentifikasi individu yang membutuhkan perawatan, waktu yang dibutuhkan untuktriase setiap korban kurang dari 60 detik. START membagi korban menjadi 4 kelompok dan masing-masing memberikan mengelompokkan warna. START triase memiliki tag empat warna untuk mengidentifikasi status korban. 13



91



Langkah pertama adalah meminta semua korban yang membutuhkan perhatian untuk pindah ke daerah perawatan. Ini mengidentifikasi semua korban dengan luka ringan yang mampu merespon perintah dan berjalan singkat jarak ke area pengobatan. Ini adalah GREEN kelompok dan diidentifikasi untuk pengobatan delayed, mereka memang membutuhkan perhatian. Jika anggota kelompok ini tidak merasa bahwa mereka yang menerima pengobatan mereka sendiri akan menyebarkan ke rumah sakit pilihan mereka. Langkah selanjutnya menilai pernapasan. Jika respirasi lebih besar dari 30 kali maka korban sebagai RED (Immediate), jika tidak ada reposisi respirasi jalan napas. Jika tidak ada respirasi setelah reposisi untuk membuka jalan napas, maka korban BLACK (mati). 13



Gambar 4 Alur Triage berdasarkan SALT ( Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 13)



92



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif MINGGU 5 1.9 Terapi Oksigen 1. Kognitif Diharapkan dokter muda mampu : Memahami indikasi pemberian oksigen 2. Psikomotorik Diharapkan dokter muda mampu : Melakukan pemberian terapi oksigen dan ventilasi sungkup 3. Afektif Diharapkan dokter muda mampu : Dapat melakukan terapi oksigen



PENDAHULUAN Peranan oksigen dan nutrient dalam metabolisme memproduksi energi utama untuk berlangsungnya kehidupan sangat bergantung pada fungsi paru yang menghantarkan oksigen sampai berdifusi lewat alveoli kekapiler dan fungsi sirkulasi sebagai transporter oksigen kejaringan.Disamping sebagai bahan bakar pembentukan energi oksigen dapat juga dipakai sebagai terapi berbagai kondisi tertentu. Peran oksigen sebagai obat maka pemberian oksigen juga punya indikasi, dosis, cara pemberian dan efek samping yang berbahaya. Untuk aman dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan sirkulasi dan sifat sifat oksigen itu sendiri.3 FUNGSI RESPIRASI Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow dn diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis. Dengan perkataan lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi. Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar kedalam paru untuk ditukar pada membran alveolo kapiler. Prinsip pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana gas akan bergerak dari tekanan tinggi ketekanan rendah. 3 Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika inspirasi spontan dimulai akan terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis eksterna akibatnya rongga dada berkembang maka tekanan intrapulmoner jadi negatif sehingga udara 93



masuk kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang membutuhkan energi dimana diafragma bertanggung jawab 60% udara ventilasi waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang ekspirasi merupakan proses passif oleh karena elastisitas jaringan paru. 3



Transport Oksigen Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari udara luar ke sel mitokondria. Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan terlarut dalam plasma. 3 Setiap 100 cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o cc, dimana hanya 3% yang dibawa terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh Hb terutama oleh ion Fe dari unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4 molekul oksigen untuk membentuk oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat reversible. Setiap eritrosit mempunyai 280 juta molekul Hb, dimana setiap molekul Hb mempunyai 4 unit heme. Setiap eitrosit dapat membawa miliaran molekul oksigen. 3 Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi hemoglobin (SaO2). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen artinya saturasinya 100%. Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan Hb. Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh rantai polipeptide dimana tiap rantai mengandung kelompok heme yang mengandung Fe membawa satu molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap molekul dapat mengikat 4 molekul oksigen. Kapasitas Hb membawa oksigen setiap gram Hb dapat mengikat 1,34 cc oksigen, maka menurut persamaan : 3 Ikatan O2 = (Hb x SaO2 x 1,34)



Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru oksigen berikatan dengan Hb, bila PaO2 rendah seperti dalam kapiler jaringan oksigen dilepas dari Hb. Fungsi utama sistem respirasi adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2 dalam darah arteri sedekat mungkin kenormal,dalam keadaan tertentu.3 Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan cara lain hanya bisa menilai tidak adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin adekuatnya fungsi respirasi. Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas harus diketahui 94



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif affinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika eritrosit melalui kapiler alveoli; oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan PaO2 dan berikatan dengan Hemoglobin. 3 Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2, dimana kita dapat mengetahui sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2 mempengaruhi SaO2 secara bermakna, semakin besar saturasi semakin baik mutu Hb, semakin besar volume O2 yang dapat diangkut oleh darah kejaringan. 3 Menurut Rumus : g HbO2 SaO2 = ----------- x 100 % Hb total Keterangan : - g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb - Volume persen O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 x total Hb x 1,34. - Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml O2. - Deliveri O2 = CaO2 x CO x10 - CaO2 (oxygen content dalam darah arteri) = (SaO2 xHbx1,34) + (PaO2x0,031) - CO (cardiac output) = SV(stroke volume ) x HR (heart rate). Dikalikan 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2 per 100 cc darah. Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar DO2 terpenuhi. Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve berbantuk S disebut kurve disosiasi oxyhaemoglobine. Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97% dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%. PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan partiel tersebut Hb mengikat O2 hanya 50%, bila P50 diatas 27 mmHg maka artinya diperlukan PaO2 yang lebih tinggi untuk mengikat O2 dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi sulit melepaskannya kejaringan. Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah :3 Penurunan PaO2 kira-kira 25 mmHg dari 95 menjadi 70 mmHg hanya mempengaruhi sedikit perubahan pada oksihemoglobin sama artinya dengan situasi seorang mendaki ketinggian 6000 feet dari permukaan laut, atau bertambahnya umur dari 20 tahun menjadi 70 tahun, atau 95



penderita penyakit paru yang moderate. Tetapi penurunan PaO2 sebesar 25 mmHg dari 6o menjadi 35 mmHg lain halnya, akan terjadi perubahan yang serius.3 Pengikatan PaO2 diatas 90 mmHg tidak akan mempengaruhi kemampuan Hb mengangkut O2 karena Hb cukup jenuh pada PaO2 80 mmHg. Penurunan affinitas oksigen digambarkan dengan kurve bergeser kekanan. Sebaliknya peningkatan affinitas oksigen dengan gambran kurve bergeser kekiri. Jika pH darah menurun (asidosis) maka kurva bergeser kekanan artinya oksigen lebih mudah dilepas dijaringan sebaliknya bila alkalosis maka affinitas Hb tehadap oksigen meningkat dan oksigen sukar dilepas. Disamping pH ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurve bergeser kekanan3: a. Peninggian konsentrasi CO2. b. Peninggian temperatur darah c. Peninggian 2,3 difosfogliserat (DPG) dalam darah Sebaliknya akan menggeser kurve kekiri dan Hb fetus dalam jumlah besar dalam darah akan menggeser kurve kekiri juga3.



TERAPI OKSIGEN Tujuan : Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.sehingga metabolisme intra sellular berjalan lancar untuk memproduksi fosfat bernergi tinggi sebagai motor kehidupan disamping untuk terapi beberapa keadaan tertentu13. Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus dikoreksi



latar belakang penyebab terjadi gangguan oksigenasi mulai dari sumber



oksigen,ventilasi,diffusi perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima oksigen. Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara rendahnya kadar oksigen dijaringan disebut hipoksia13. Secara praktis hipoksia dengan sebab apapun dibagi atas : 1. Hipoksi hipoksemia: Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2 dalam darah akibat gangguan mulai ventilasi, distribusi dan diffusi dalam paru. Ventilasi bisa berupa obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi karena odem atau penebalan dinding alveoli13. 2. Hipoksi anemia : Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun oksigenasi baik, Transfusi adalah jalan keluarnya13. 96



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif 3. Hipoksia stagnasi : Terlambatnya aliran darah karena viskositas meningkat, obstruksi, syok stadium lanjut13. 4. Hipoksia histotoksik : Kerusakan dijaringan/sel tidak mampu lagi menggunakan O2 yang dihantarkan pada keracunan atau sepsis yang berat13 Indikasi13 : 1.



Gagal nafas akut dibutuhkan pembebasan jalan nafas dan nafas bantu.



2.



Syok oleh berbagai kausa dimana terjadi gangguan perfusi jaringan.



3.



Infarct myocard acute dimana tidak seimbang oksigen demand dengan oksigen supply.



4.



Dalam kondisi metabolisme rate tinggi( tirotokikosis, sepsis,hipertermia).dimana kebutuhan oksigen meningkat.



5.



Keracunan gas CO (karbon monoksida) dimana affinitasnya terhadap Hb tinggi.



6.



Preoksigenasi menjelang anestesi.mencegah hipoksia dan hiperkarbia



7.



Penderita tak sadar untuk memperbaiki oksigenasi diotak.



8.



Untuk mengatasi keadaan seperti empisema paska bedah, pneumotorak, emboli udara pemberian oksigen mampu mengusir gas nitrogen yang menumpuk dalam rongga tubuh.



9.



Asidosis apakah respiratorik maupun metabolik dimana terjadi metabolisme anaerob.



10. Anemia berat, jumlah Hb maupun kualitas Hb yang kurang dalam transport oksigen. Pemberian oksigen untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas akut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut13. 1. Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal. 2. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui kanul binasal. 3. Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang dapat memberi oksigen 100 % 4. Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri oksigen 24 jam).Gas nitrogen biasanya meregang dinding alveoli.



5.



Keracunan oksigen : Bisa menyeluruh dan bisa setempat. Karena pemberian O2 dengan PaO2 > 100 torr dalam waktu lama (bervariasi untuk setiap individu), pada keadaan akut bisa terjadi kejang dan pada keadaan kronis gejala nyeri retro sternal, parestesia, mual dan muntah. Pada bayi prematur bisa terjadi retrolental fibroplasia karena penyempitan pembuluh darah retina akibat fibrosis.Keracunan lokal terjadi kerusakan sel epitel kapiler paru sehingga difusi terganggu. Pencegahan jangan memberi oksigen konsentrasi >50% lebih dari 24 jam dan setiap pemberian oksigen konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.



RINGKASAN Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang terjadinya hipoksia dan didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi, sirkulasi dan sifat dari oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai terapi haruslah dianggap sebagai obat dalam penggunaanya harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan cara mencegah/mengatasi efek sampingnya. Dalam pemberian oksigen dosis tinggi jangan lupa pantau PaO2.



1.10 Tatalaksana Jalan Nafas 1.



Kognitif



Diharapkan dokter muda mampu : 1. Memahami indikasi pasien yang butuh penanganan jalan nafas 2. Mengetahui persiapan membuka jalan nafas tanpa dan dengan bantuan alat 100



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif



2.



Psikomotor



Diharapkan dokter muda mampu : •



Melakukan head tilt,chin lift, jaw thrust







Melakukan pemasangan guedel, nasopharyngeal airway, dan intubasi



3. Afektif Diharapkan dokter muda mampu : Dapat melakukan tatalaksana jalan nafas pada kasus gawat darurat Anatomi Saluran Nafas Salah satu keberhasilan memberikan oksigen pada pasien dengan gangguan pernafasan adalah dengan mengetahui anatomi saluran nafas. Ada dua bukaan untuk saluran nafas manusia :1 1. Hidung yang mengarah ke nasofaring (pars nasalis) 2. Mulut yang mengarah ke orofaring (pars oralis) Bagian-bagian ini dipisahkan oleh palatum anterior dan bergabung membentuk faring di bagian belakang (posterior). Faring adalah struktur fibromuskular berbentuk U yang membentang dari dasar tengkorak hingga kartilago krikoid di pintu masuk kerongkongan. Faring ini membuka ke anterior menuju rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngea). 1 Di dasar lidah, epigglotis secara fungsional memisahkan orofaring dari laringofaring. Epiglotis mencegah aspirasi dengan cara menutup glottis dan membuka laring pada saat menelan. Laring dibentuk dari tulang rawan yang dibangun bersama ligament dan otot. Laring terdiri dari Sembilan kartilago : tiroid, krikoid, epiglottis, arytenoid, dan corniculatus. 1 Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus laringeus rekurren dengan pengecualian otot krikotiroid, diinervasi oleh nervus (motoric) laringeus eksternal, sebuah cabang dari nervus laringeus superior. Otot krikoaritenoid posterior mengabduksi pita suara, sedangkan otot krikoaritenoid lateral merupakan abductor utama. 1 Kelumpuhan unilateral nervus laringeus rekurrren pada pita suara ipsilateral menyebabkan penurunan kualitas suara. Kelumpuhan syaraf akut bilateral laringeus rekuren dapat menyebabkan stridor dan gangguan pernafasan. Masalah saluran nafas sering muncul akibat hilangnya persyarafan nervus laringeus rekurren bilateral karena perkembangan berbagai mekanisme kompensasi (misalnya atrofi otot laring). 1 101



Alat Bantu Saluran Nafas a.



Face Mask Face mask atau sungkup muka dapat transparan atau gelap. Sungkup yang transparan



memungkinkan penolong melihat adanya benda/cairan yang keluar dari mulut sehingga bisa dinilai adanya resiko aspirasi. Pemberian ventilasi menggunakan sungkup yang tersambung dengan sirkuit pernafasan (misalnya ambu bag) dinilai berhasil jika adanya dinding dada yang naik karena pompaan udara, terdengar suara pernafasan saat diauskultasi, adanya embun pernafasan, adanya karbondioksida yang terlihat pada alat kapnografi, dan kantong yang mengembang dan mengempis3. b.



Nasal Kanul Konsentrasi yang diberikan dengan nasal kanul berkisar 24%-40% dengan aliran apneu dan



hanya bisa bernafas lewat mulut3. c.



Non Rebreathing Mask Alat ini serupa dengan sungkup muka sederhana, tetapi mempunyai klep yang mencegah



udara ekspirasi terisap kembali. NRM dapat memberikan oksigen antar 60-80%. NRM secara khusus dipakai pada pasien hipoksi dengan saturasi oksigen darah arteri 90%. NRM dapat juga dipakai pada pasien dengan nyeri dada, sepsis, pemendekan pernafasan, dan demam3. d.



Rebreathing Mask Alat ini serupa dengan NRM, tetapi mempunyai klep yang memungkinkan pengisapan



kembali (rebreathing) karbon dioksida udara ekspirasi. Adanya karbondioksida yang dihirup kembali memungkinkan penggunaan pada pasien dengan alkalosis dan hipokarbia3. e.



Oropharyngeal airway (OPA) Alat ini seperti pipa melengkung yang diletakkan di atas lidah, berfungsi menahan lidah agar



tidak jatuh menutupi faring dan membuat saluran udara antara mulut dan dinding belakang faring. Pada pasien yang dipasang ETT, OPA berfungsi agar ETT tidak tergigit3. f.



Nasopharyngeal airway (OPA) Alat ini dimasukkan melalui satu lubang hidung untuk menghasilkan aliran udara antara



hidung dan nasofaring3. g.



Endo Tracheal Tube Alat ini berupa pipa plastic yang mempunyai beberapa ukuran untuk bayi sampai dewasa3. 102



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif h.



Stylet Alat ini berbentuk seperti kawat memanjang. Stylet berfungsi sevgai alat bantu untuk



memasukkan ETT. 3 i.



Laryngoskop Laringoskop merupakan alat yang kaku, digunakan untuk melihat daerah hipofaring, laring



dan memfasilitasi intubasi. 3 j.



Laryngeal Mask Airway LMA merupakan alat bantu untuk memberikan aliran ventilasi tekanan positif. LMA



digunakan pada pasien emergensi atau pasien yang sudah teranestesi, tetapi sulit diintubasi atau tidak memungkinkan untuk dipasang sungkup muka. 3 Langkah-Langkah Penanggulangan Gawat Nafas Jika ditemukan pasien dengan penurunan kesadaran, kesulitan bernafas (nafas cuping hidung, retraksi dinding dada, seperti tercekik), nafas cepat melebihi normal (>35x/menit), atau melambat (kurang dari 20 x menit), kemungkinan pasien mengalami gawat nafas atau ancaman gagal nafas. Lakukan langkah-langkah berikut untuk pertolongannya3 Langkah 1 •



Lakukan triple airway manuever (head tilt, chin lift, and jaw thrust) yang berguna untuk membuka saluran nafas. Head tilt dapat dicapai dengan mengekstensikan kepala atau memberikan ganjal menggunakan bantal atau kain di bahu



Langkah 2 •



Pengisapan lender yang terdapat di mulut. Pengisapan ini bertujuan agar saluran nafas terbebas dari sumbatan







Pencegahan aspirasi. Pada pasien dengan penurunan kesadaran, sangat rentan terjadi aspirasi, yaitu masuknya isi lambung ke dalam saluran nafas karena menurunnya reflex batuk. Posisi tradelenburg akan menurunkan kejadian aspirasi. Cara memposisikannya adalah tubuh pasien diletakkan datar pada posisi terlentang, kemudian kaki diletakkan lebih tinggi dari kepala



Langkah 3 •



Pasang infus







Pertahankan posisi ekstensi Tindakan selanjutnya : 103



a. Berikan ventilasi dan anestesi b. Berikan obat pelemas otot Jika cara di atas gagal → pertimbangkan langkah 4, 5, 6 Langkah 4 •



Intubasi trakea. Langkah ini sulit dan traumatic sehingga lebih mudah jika diberikan pelumpuh otot



Langkah 5 •



Krikotiroidotomi, dilakukan jika alat intubasi tidak ada atau intubasi tidak mungkin dilakukan. Caranya adalah dengan menusukkan jarum besar, misalnya no. 14, di antara tulang rawan krikoid dan tiroid dengan tujuan untuk mencegah asfiksia



Langkah 6 •



Trakeostomi bukan tindakan darurat







Indikasi : pasien yang membutuhkan bantuan nafas jangka panjang, obstruksi saluran nafas karena tumor/ stenosis ; operasi tumor dekat saluran nafas.



104



Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif DAFTAR PUSTAKA



1.



Pramono, Andi. Buku Kuliah Anestesi. EGC. 2014



2.



Pivi, S., & Berra, L. 2011. Fluid Replacement. In C. Vacanti, S. Segal, P. Sikka, & R. Urman (Eds.), Essential Clinical Anesthesia (pp. 383-387). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511842306.064



3.



David W Chang, Gary C White, Jonathan B Waugh, Ruben D. Respiratory Critical Care 1st Edition. 2021



4.



Tim Cook, Michael Seltz Kristensen. Core Topic In Airway Management 3rd Edition. 2021



5.



Morgan GE.Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc; 2018



6.



American Medical Association. Module pain management pathophysiology of pain and pain assessment. 2010. Available from: www.ama.com



7.



Rose L, Haslam L, Dale C. Survey of assessment and management of pain for critically ill adults. Intensive Crit Care Nurs. 2011;27:121-8.



8.



Gulati A, Loh J. Assesment of pain: complete patient evaluation. In: Vadivelu N, Urman RD, Hines RL, editors. Essentials of pain management. New York: Springer; 2011. p.68-70.



9.



Millers Anesthesia. Ninth edition. 2020



10.



Hermanides, J., Hollmann, M. W., Stevens, M. F., & Lirk, P. (2012). Failed epidural : Causes and



management



Failed



epidural :



causes



and



management.



June.



https://doi.org/10.1093/bja/aes214 11.



American Heart Association, Highlights of the 2020 American Heart Association : Guidelines for CPR and ECC. 2020



12.



Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2020. Pedoman Bantuan Hidup Dasar dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut pada Dewasa, Anak dan Neonatus Terduga/Positif COVID-19. Indones Hear Assoc.



13.



European Resuscitation Council. 2020. European Resuscitation Council COVID-19 Guidelines.



105