Modul Bioassay III Ujian [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Venny
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL BIOASSAY (PSF 312)



MODUL 3 ANTIOKSIDAN II



DISUSUN OLEH INHERNI MARTI ABNA S.Si, M.Si



UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2020



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



0 / 22



I. METODE ANALISIS SENYAWA ANTIOKSIDAN SECARA IN VITRO



A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa memahami : 1. Menjelaskan uji antioksidan secara in vitro 2. Menjelaskan uji antioksidan secara in vivo B. Uraian dan Contoh 1. Latar Belakang Analisis Senyawa Antioksidan Ketidakseimbangan jumlah radikal bebas dengan jumlah antioksidan endogen yang diproduksi tubuh seperti Superoksida dismutase (SOD), Glutation peroksidase (GPx) dan Catalase (CAT) disebut stres oksidatif. Keadaan ini dapat menyebabkan



terjadinya



kerusakan sel yang dapat menimbulkan berbagai



penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya. Radikal bebas dapat berada di dalam tubuh karena adanya hasil samping dari proses oksidasi dan pembakaran sel yang berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel, olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan atau maksimal, peradangan, dan terpapar polusi dari luar tubuh seperti asap kendaraan, asap rokok, makanan, logam berat, industri dan radiasi matahari. Stres oksidatif adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan jumlah radikal yang ada di dalam tubuh dengan antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh sendiri. Ketidakseimbangan inilah yang menyebabkan tubuh tidak bisa menangkap atau menetralisir keseluruhan radikal bebas tersebut. Kelebihan radikal bebas ini mengakibatkan intensitas reaksi oksidasi sel-sel normal semakin tinggi dan mengakibatkan kerusakan jaringan sel akan semakin parah. Stres oksidatif juga terjadi akibat menurunnya jumlah oksigen dan nutrisi, sehingga menimbulkan proses iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury. Hal ini juga dapat memicu terjadinya kerusakan jaringan karena produksi radikal bebas yang berlebih dari hasil



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



1 / 22



metabolisme lemak dan protein yang tersimpan di dalam tubuh karena kurangnya asupan antioksidan dari luar tubuh. Reaksi oksidasi yang melibatkan radikal bebas ini dapat merusak membran sel normal di sekitarnya dan merusak komposisi DNA sehingga dapat menyebabkan terjadinya suatu mutasi. Mutasi atau kerusakan komposisi suatu DNA dapat menyebabkan terjadinya beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini dan lain-lain. Senyawa 8-OHdG merupakan salah satu marker yang menunjukkan terjadinya kerusakan DNA akibat radikal bebas yang berlebih. Hal ini disebabkan karena terjadinya oksidasi pada salah satu basa penyusun DNA yaitu Guanosin. Guanosin yang teroksidasi akan menjadi 8hidroksi-2-deoksi-Guanosin atau 8-OHdG. Pengujian aktivitas antioksidan harus didasari atas efek farmakologis dari zat tersebut diantaranya adalah 1.



Menyerupai aktivitas antioksidan endogen seperti SOD sintetis, katalase



rekombinan. 2.



Menangkap ion logam yang diperlukan untuk tujuan katalisis reaksi



oksidasi oleh radikal bebas seperti deferoksamin. 3.



Menangkap (scavenging) atau memutus reaksi rantai (chainbreaking) dari



radikal bebas seperti Vitamin C, E, β-karoten dan senyawa fenol (flavonoid) 4.



Menghambat aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam pembentukan



radikal bebas seperti allopurinol. Analisis suatu senyawa antioksidan dapat dilakukan secara in vitro (di luar sel) dan in vivo (di dalam sel). Secara in vitro (di luar sel) dapat ditentukan kapasitas antioksidannya sedangkan secara in vivo (di dalam sel) dapat ditentukan aktivitas antioksidan endogennya seperti aktivitas enzim SOD, GPx dan Katalase atau kadar Malondialdehid dan kadar 8- OHdG. Kapasitas antioksidan dapat diukur dengan metoda spektroskopi UV-Vis dengan mempergunakan DPPH, sedangkan aktivitas antioksidan secara in vivo dapat dilakukan dengan metoda ELISA dan imunohistokimia.



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



2 / 22



2. Jenis-Jenis Analisis Antioksidan Invitro Pengujian kapasitas antioksidan secara in vitro dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis: a. Menggunakan Bahan Kimia Metode dengan bahan kimia ini meliputi: 1. Uji DPPH DPPH merupakan radikal nitrogen organik yang stabil berwarna ungu tua dan bersifat stabil di suhu ruangan. DPPH menerima elektron atau hidrogen sehingga membentuk molekul stabil. Adanya serapan warna violet pada panjang gelombang 517 nm ditimbulkan oleh delokalisasi elektron. Pengukuran dengan metode DPPH merupakan metode sederhana, cepat dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti metode lain, selain itu metode ini terbukti akurat, reliable dan praktis. DPPH sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan beberapa ekstrak atau bahan alam sehingga dapat untuk mengevaluasi potensi antioksidan dalam meredam radikal bebas. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH menetralkan sifat radikal bebas DPPH. Radikal DPPH adalah suatu senyawa organik mengandung nitrogen tidak stabil dengan absorbansi kuat pada panjang gelombang (λmax) 517 nm dan berwarna ungu gelap. Apabila semua elektron pada DPPH berpasangan maka warna larutan akan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang (λmax) 517 nm a kan hilang. Perubahan warna tersebut dapat diukur dengan spektrofotometer dan diplotkan terhadap konsentrasi. Penurunan intensitas warna disebabkan oleh berkurangnya ikatan rangkap terkonjugasi pada DPPH. Hal ini dapat terjadi apabila adanya penangkapan elektron oleh zat antioksidan menyebabkan tidak adannya kesempatan elektron tersebut untuk beresonansi. Penentuan aktivitas antioksidan secara in



vitro dengan menggunakan



metode DPPH, dapat memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. Parameter untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah konsentrasi inhibisi (IC50). IC50 adalah konsentrasi suatu bahan



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



3 / 22



antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal. Semakin rendah nilai IC50 semakin baik aktivitas antioksidannya. 2. Pengukuran Diena Terkonjugasi Prinsip uji diena terkonjugasi adalah pembentukan hiperoksida dari PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) menyebabkan konjugasi struktur pentadin. Hal ini dapat diukur dengan adanya serapan pada λ 233− 234 nm. Selama oksidasi asam linoleat, ikatan rangkap diubah menjadi ikatan rangkap terkonjugasi dimana ikatan rangkap terkonjugasi dapat dikarakterisasi oleh serapan UV kuat pada panjang 234 nm. Meskipun pengukurannya pada kompos isi peroksida, namun terbentuk hasilnya berupa hidroperoksida. Hidroperoksida tersebut segera terdekomposisi



sebagai



9-hidroksioktadeka-10,12-asam



dienoat



dan



13-



hidroksioktadeka-9,11-asam dienoat yang mempertahankan struktur terkonjugasi ini dan akan berperan dalam penentuan absorbansi. Aktivitas tersebut dinyatakan dalam konsentrasi inhibisi (IC50). 3. Pengukuran Bilangan Para−anisidin para-Anisidin adalah senyawa bereaksi dengan aldehid untuk memberikan hasil serapan pada 350 nm. Bilangan para-anisidin didefinisikan sebagai serapan larutan dihasilkan dari 1 g lemak dalam larutan isoktan 100 mL. Hasil dengan aldehid jenuh (2-alkana) menyerap lebih kuat pada panjang gelombang tersebut. Akibatnya, uji ini sangat sensitif terhadap bahan-bahan yang mengalami oksidasi. Meskipun uji ini tidak dapat membedakan antara bahan mudah menguap atau tidak, tetapi uji ini biasanya lebih sensitif terhadap aldehid tak jenuh mudah menguap. Jika dibandingkan aldehid jenuh dengan sifat yang sama, uji ini merupakan metode cocok untuk menilai adanya oksidasi sekunder. Pengukuran bilangan anisidin umumnya digunakan secara bersama dengan pengukuran bilangan peroksida dalam menggambarkan tingkat oksidasi total. 4. Penentuan Bilangan Peroksida Bilangan peroksida dapat diukur



dalam sampel minyak ditambahkan



ekstrak tanaman sebanyak 0,1% dengan antioksidan BHT sebagai pembanding (0,01% blanko diukur tanpa penambahan ekstrak). Sebagian besar ekstrak hidrofilik akan sulit mengalami homogenisasi dengan metode ini. Maka, ekstrak dilarutkan dalam sejumlah kecil etanol sekitar 5% dari massa minyak dan larutan



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



4 / 22



ini akan dicampurkan ke dalam fase minyak dengan pengadukan kuat. Perhitungan bilangan peroksida (meq/ kg minyak) dapat dihitung dengan rumus: 𝑃𝑉 = 0,01 × 𝑁 × 100/𝑚 Dimana N adalah volume sodium tiosulfat digunakan dalam titrasi sampel (mL) dan m adalah massa sampel minyak dalam garam. Sedangkan efisiensi antioksidan dapat dihitung dengan rumus: 𝐼𝑃𝐴𝐸𝐴 = 𝐼𝑃𝐵 IPA dan B adalah periode induksi atau waktu (hari) dibutuhkan untuk mencapai bilangan peroksida pada 20 meq/kg minyak pada pengujian sampel maupun blanko. Hasilnya dibuat rerata dari dua kali pengulangan. 5. Pengukuran Aktivitas Penghambatan Radikal Hidroksil Kapasitas penghambatan radikal hidroksil suatu ekstrak berhubungan langsung dengan aktivitas antioksidannya. Metode ini melibatkan pembentukan radikal hidroksil secara in vitro menggunakan Fe3+/askorbat/EDTA/H2O dengan menggunakan reaksi Fenton. Prinsip penghambatan radikal hidroksil adalah pengukuran dengan mereaksikan antara DMPO (5,5- dimetil-1-pirolin-N-oksida) dan radikal OH secara adisi menghasilkan DMPO-OH. DMPO-OH terbentuk dapat dideteksi dengan spectrometer ESR (Helrich, 1990). Spektrum ESR diukur pada suhu kamar setelah mencampur 0,02 mL H2O2 0,1 mM dengan 0,01 mL DMPO 0,05 mM ; 0,05 mL ekstrak dan 0,02 mL Fe2+ 0,05 mM. Pengaturan parameternya dengan mengukur medan magnet eksternal 337,5 + 5 mT pada frekuensi 100 kHz, gelombang mikro 10 mW pada 9,43 GHz. Asam askorbat dan etanol digunakan sebagai kontrol (Kosem, et al., 2007). Perbandingan penghambatan radikal hidroksil ekstrak diukur menggunakan rumus: 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 = [(ℎ𝑥 − ℎ0)/ℎ0] × 100% Dimana hx dan h0 adalah reaksi intensitas sinnyal ESR pada masing- masing sampel uji maupun blanko. Aktivitas ini dinyatakan dengan penghambatan radikal hidroksil. 6. Metode Kekuatan Pereduksi Adanya peningkatan serapan dari reaksi pencampuran berbagai ekstrak dengan penambahan dapar natrium fosfat dan kalium ferisianida merupakan prinsip dari metode ini. Dalam metode ini, senyawa membentuk kompleks Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



5 / 22



berwarna dengan Kalium ferisianida, triklor oasetat dan besi (III) klorida. Ketiga senyawa tersebut ditambahkan ke dalam larutan uji setelah sentrifugasi kemudian diukur pada panjang gelombang 700 nm. Peningkatan absorbansi dari reaksi menunjukkan penurunan kekuatan sampel. 7. Uji Aktivitas Peredaman Radikal Superoksida Uji peredaman radikal superoksida dikembangkan untuk mengevaluasi kemampuan antioksidan hidrofilik dimana dapat secara langsung bereaksi dengan radikal. Uji ini mengukur kemampuan radikal untuk berkompetisi dengan nitroblue tetrazolium (NBT) untuk meredam radikal superoksida. NBT berwarna kuning selama proses akan berubah wana menjadi biru yang dapat diiukur pada panjang gelombang 500 nm. 8. Metode Fosfomolibdenum Kapasitas antioksidan total dengan pengujian metode ini didasarkan pada reduksi Mo (IV) menjadi Mo (V) oleh sampel analit dan selanjutnya pembentukan kompleks warna hijau fosfat molybdenum (V) yang mengandung antioksidan pada pH asam. Fosfomolybdenum adalah metode kuantitatif untuk aktivitas antioksidan total dinyatakan sebagai jumlah setara dengan asam askorbat. 9. Metode ABTS Metode peredaman radikal kation ABTS merupakan metode uji untuk mengukur kapasitas antioksidan dengan langsung bereaksi atau meredam radikal kation ABTS dari reaksi kimia . ABTS merupakan radikal dengan pusat nitrogen. Pusat nitrogen tersebut dapat berwarna biru kehijauan dimana ketika tereduksi oleh antioksidan menjadi bentuk nonradikal tidak berwarna. Metode ini berprinsip pada penghambatan pembentukan kation radikal ABTS dengan absorpsi maksimum pada panjang gelombang 734 nm pada waktu tertentu berdasarkan pembacaan spektrofotometer. Ini baik digunakan untuk melihat aktivitas antioksidan senyawa flavonoid dan fenolik. ABTS memiliki sensitivitas lebih tinggi daripada DPPH. Tidak seperti DPPH yang sensitive pada pH asam, metode ABTS lebih fleksibel yakni dapat digunakan dalam berbagai level pH. Sehingga, metode ini baik digunakan untuk melihat efek pH dalam aktivitas antioksidan berbagai senyawa. ABTS larut



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



6 / 22



dalam pelarut organik dan non organic. Metode ini juga lebih cepat jika digunakan pada PBS (pelarut non organik). 10. Pengukuran Kapasitas Serapan Radikal Oksigen (ORAC) ORAC merupakan metode analisis baru yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan makanan dan senyawa kimia lainnya. Metode ini mengukur kemampuan makanan, vitamin, suplemen, nutrisi atau bahan kimia lainnya untuk melindunginya terhadap radikal bebas atau bertindak sebagai antioksidan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan trolox (analog vitamin E) sebagai standar untuk menentukan trolox ekuivalen (TE). Nilai ORAC kemudian dihitung dari TE dan dinyatakan sebagai satuan atau nilai ORAC. Semakin tinggi nilai ORAC, semakin besar kekuatan nilai antioksidannya. Pengukuran ini berdasarkan



pembentukan



radikal



bebas



menggunakan



AAPH



(2,2−azobis−2−amido propane dihydrochloride) dan pengukuran penurunan dari fluoresensi dengan adanya penghambat radikal. Penelitian terbaru, melaporkan bahwa pengukurannya dapat dilakukan secara otomatisasi. Pada uji ini β−phytocoerythrin (β−PE) digunakan sebagai target radikal bebas, AAPH sebagai penghasil radikal peroksil dan trolox sebagai kontrol standar. Setelah penambahan AAPH ke larutan uji, fluoresensi direkam dan aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai Trolox Ekuivalen (TE). 11. Metode Aktivitas Linoleat− tiosianat Asam linoleat adalah asam lemak tidak je nuh dengan dua ikatan rangkap mudah teroksidasi membentuk peroksida yang selanjutnya mengoksidasi ion fero menjadi feri. Ion feri selanjutnya bereaksi dengan ammonium tiosianat membentuk kompleks feritiosianat [Fe(CNS)3] berwarna merah muda. Kemudian intensitas warna ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm. Semakin tinggi intensitas warnanya menunjukkan semakin banyak peroksida terbentuk. Tingkat oksidasi akibat pembentukan alkoksi oleh reaksi redoks dengan besi (reduktor) dalam emulsi asam linoleat dapat diukur dengan metode ini. Campuran reaksi mengandung 0,3 mL ekstrak; 2 mL buffer natrium fosfat 0,2 M dan 2,5 mL emulsi asam linoleat diinkubasi pada suhu 37oC. Sejumlah 1 mL diambil pada interval waktu berbeda selama inkubasi. Kemudian diencerkan



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



7 / 22



dengan 75% etanol sebanyak 4,7 mL. Hasil kromogen merah kompleks ferri tiosianat dapat diukur pada panjang gelombang 500 nm. 12. Metode CUPRAC Pada metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity) kompleks



bis−neokuproin−tembaga (II) akan mengoksidasi persenyawaan



antioksidan dalam ekstrak tanaman dan mengalami reduksi membentuk kompleks bis−neokuproin−tembaga (I). Prinsip uji ini adalah pembentukan kelat oleh bis−neokuproin−tembaga (II) menggunakan redoks kromogenik pada pH 7. Standar antioksidan digunakan dalam metode ini dicampur dengan CuSO4 dan neocuproine. Setelah 30 menit, absorbansi diukur pada panjang gelombang 450 nm. Secara visual, hal ini dapat dilihat dari perubahan warna kompleks larutan biru tosca menjadi kuning. Pereaksi CUPRAC merupakan pereaksi yang selektif karena memiliki nilai potensial reduksi rendah yaitu sebesar 0,17 V. Hasil didapat dinyatakan dalam mg Trolox per liter sampel. Kelebihan dari metode ini adalah pereaksi yang digunakan cukup cepat bekerja, selektif, lebih stabil, mudah didapatkan dan mudah diaplikasikan. 13. Metode FRAP Prinsip kerja metode ini adalah adanya reduksi analog ferroin, kompleks Fe3+ dari tripiridiltriazin menjadi kompleks Fe2+. Ion ferro jika dita mbahkan antioksidan pada suasana asam (pH 3,6) akan berwarna biru. Hasil pengujian diinterpretasikan dengan peningkatan absorbansi pada panjang gelombang 595 nm. 14. Metode Efek Pembentukan Heksanal Heksanal dan pentanal adalah dua jenis aldehid volatile utama pada proses oksidasi lipid sekunder. Jumlah heksanal dihasilkan berkorelasi dengan baik dengan adanya dekomposisi asam lemak tak jenuh. Sejumlah pentanal terbentuk selama oksidasi biasanya secara signifikan lebih rendah dari heksanal. Heksanal adalah hasil oksidasi sekunder karena itu peningkatam secara pesat selama proses oksidasi diamati setelah selang waktu tertentu (perode induksi). Efisiensi antioksidan pada sampel dapat dihitung dengan membagi periode induksi sampel (IP) dengan periode induksi blanko.



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



8 / 22



15. Metode Penghambatan Aktivitas Radikal NO Oksida nitrat karena memiliki elektron tak berpasangan dan memiliki reaktivitas dengan jenis protein tertentu. Penghambatan secara in vitro dari radikal nitrat oksida juga dapat diukur sebagai aktivitas antioksidan. Metode ini dapat diukur dengan prinsip inhibisi dari pembentukan radikal NO. Radikal NO terbentuk dari natrium nitropusid dalam garam dapur dan diukur dengan pereaksi Griess. Dengan adanya penghambatan tersebut, dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm. Sehingga aktivitas tersebut menunjukkan adanya reduksi dari nitrat oksida. 16. Metode Hidrolisis Hidrolisis berasal dari kata hidro (air) dan lisis (pecah/putus), yang berarti pemutusan ikatan oleh air. Pada flavonoid, hidrolisis



dilakukan untuk



memutuskan ikatan glikosida antara flavonoid dengan gulanya. Aglikon flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih baik bila dibandingkan dengan bentuk glikosidanya. Hal ini dikarenakan keberadaan gula menurunkan efisiensi antioksidan. Reaksi hidrolisis ini dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu hidrolisis asam, hidrolisis basa, dan hidrolisis enzimatik. Salah satu asam yang biasa digunakan untuk hidrolisis adalah HCl. Campuran larutan HCl 2 M dengan metanol dapat menghidrolisis antosianin menjadi antosianidin. Contoh lain, glikosida flavon dan flavonol dari madu bunga matahari dapat dihidrolisis dengan merefluks sampel dalam campuran HCl 1-2M dan 50% MeOH-H2O v/v, sementara ekstrak fenoliknya dihidrolisis dengan NaOH 2N. b. Menggunakan Materi Biologis Metode dapat dilakukan dengan mengukur viabilitas sel (teknik kultur sel), mengukur pembentukan diena terkojugasi dan mengukur kadar TBARS (Thiobarbituric Acids Reactive Substances) dari isolate LDL. Pada analisis pembentukan diena terkonjugasi, sampel plasma diencerkan dengan larutan NaCl 0,9%-NaHCO3 1 mM sampai konsentrasi protein 50 µg/ml, kemudian dioksidasi dengan penambahan 5µM CuSO4 (konsentrasi akhir) pada suhu 37 °C. Selanjutnya, absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada λ 234 nm. Diena terkonjugasi adalah produk antara dari lipid yang teroksidasi. Adanya diena



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



9 / 22



terkonjugasi dalam plasma mengindikasikan adanya kerusakan lipid. Tujuan analisis diena terkonjugasi adalah menguji kapasitas antioksidan dalam menahan oksidasi LDL (low density lipoprotein) plasma. Diena terkonjugasi menyerap sinar pada panjang gelombang UV 234 nm, sehingga dapat dibuat kurva oksidasi antara lamanya waktu oksidasi dengan kadar diena terkonjugasi yang terbentuk. Sampel yang mengandung antioksidan biasanya memiliki fase lag sebelum terjadinya lonjakan diena terkonjugasi. Sehingga semakin lama fase lag mengindikasikan semakin tingginya kapasitas antioksidan sampel tersebut . C. Latihan Soal 1. Apa saja antioksidan endogen yang dihasilkan tubuh? 2. Bagaimana prinsip penentuan aktivitas antioksidan secara in



vitro dengan



menggunakan metode DPPH? 3. Jelaskan prinsip ORAC D. Kunci Jawaban 1. Antioksidan endogen yang diproduksi tubuh seperti Superoksida dismutase (SOD), Glutation peroksidase (GPx) dan Catalase (CAT) 2. Penentuan aktivitas antioksidan secara in vitro dengan menggunakan metode DPPH, dapat memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. Parameter untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah konsentrasi inhibisi (IC50). IC50 adalah konsentrasi suatu bahan antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal. Semakin rendah nilai IC50 semakin baik aktivitas antioksidannya. 3. ORAC merupakan metode analisis baru yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan makanan dan senyawa kimia lainnya. Metode ini mengukur kemampuan makanan, vitamin, suplemen, nutrisi atau bahan kimia lainnya untuk melindunginya terhadap radikal bebas atau bertindak sebagai antioksidan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan trolox (analog vitamin E) sebagai standar untuk menentukan trolox ekuivalen (TE). Nilai ORAC kemudian dihitung dari TE dan dinyatakan sebagai satuan atau nilai ORAC. Semakin tinggi nilai ORAC, semakin besar kekuatan nilai antioksidannya



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



10 / 22



II. METODA ANALISIS SENYAWA ANTIOKSIDAN SECARA IN VIVO



A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu : 1. Memahami latar belakang analisis antioksidan secara in vivo 2. Menjelaskan metode analisis antioksidan secara in vivo B. Uraian dan Contoh 1. Latar Belakang Dalam penelitian in vivo, yang termasuk penanda stres oksidat if adalah peroksidasi lipid, oksidasi protein dan kerusakan DNA serta antioksidan endogen termasuk asam askorbat, tokoferol, GSH, GSSH dan GSSG, ubiquinone, ubiquionol, cysteine, dan cystine. Efektivitas suatu senyawa yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan dapat diketahui melalui aktivitas atau kemampuan penghambatan proses oksidasi oleh senyawa antioksidan tersebut. 2. Metode Analisis Antioksidan Secara In Vivo Beberapa metoda analisis antioksidan secara in vivo sebagai berikut: 1. Metode Glutation Peroksidase (Gpx) Glutation tereduksi (GSH) adalah antioksidan yang melindungi sel terhadap stres oksidatif. GSH merupakan tripeptida yang tersusun atas asam amino sistein, asam glutamat, dan glisin. GSH adalah antioksidan yang berperan dalam detoksifikasi hasil metabolisme endogen (peroksida lipid) dan senyawa xenobiotik (polutan, logam berat dan obat-obatan). GPx bekerja mengoksidasi glutation menjadi glutation disulfida dan pada saat yang bersamaan karena



adanya



reaksi redoks, terjadi perubahan



hidroperoksida menjadi H2O dan alkohol. Glutation peroksidase terbanyak didapat di sitosol dan mitokondria. Hal ini sejalan dengan banyaknya hidrogen peroksida di kedua tempat tersebut. Glutation peroksidase membutuhkan kehadiran selenium agar dapat bekerja dengan baik. Selain itu, glutation peroksidase juga membutuhkan kadar glutation tereduksi yang konstan untuk



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



11 / 22



menjalankan fungsinya. Kadar enzim ini tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah. Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik (ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH). Pada manusia, saat ini telah dikenal 8 macam Gpx, mulai dari Gpx1 hingga Gpx8. Sebagian besar merupakan selenoprotein (Gpx1, Gpx2, Gpx3, Gpx4, dan Gpx6), sedangkan pada Gpx5, Gpx7 dan Gpx8, tempat aktif residu selenocysteine diganti dengan cysteine. Fungsi dari masing-masing Gpx ini belum sepenuhnya diketahui. Aktivitas enzim glutathione peroxidase (GSH-PX) plasma dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 100 uL plasma diencerkan dengan 200 uL NaCl fisiologis (larutan 0,85% NaCl). Diambil 0,1 mL larutan tersebut dan ditambahkan 0,4 mL triton-X 0,5%, dan seterusnya disebut hemolisat. Ke dalam tabung uji diambil 100 uL hemolisat dan ditambahkan 100 uL larutan Drabkin lalu dikocok, kemudian ditambahkan 2,6 mL bufer fosfat dan dikocok perlahan. Berturut-turut ditambahkan 0,1 mL NADPH, 0,01 mL GSSG-R, 0,01 mL NaNO3, 0,1 mL GSH, dan dikocok. Sebelum dibaca laju absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm, ke dalam kuvet silika yang berisi larutan yang akan dibaca absorbansinya ditambahkan 1 mL H2O2. Pembacaan absorbansi dilakukan dengan selang waktu 1 sampai 2 menit. Untuk pembuatan blanko digunakan 100 uL akuades sebagai pengganti hemolisat. Satu unit aktivitas GSH-PX didefinisikan sebagai banyaknya GSH-PX yang diperlukan untuk mengoksidasi 1 umol NADPH per menit. 2. Uji Enzim Katalase Enzim katalase (CAT) adalah antioksidan endogen yang dapat menangkap dan menguraikan radikal bebas di dalam sel menjadi zat yang kurang reaktif. Enzim katalase (CAT) memiliki peranan penting dalam mengkatalisis hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2 serta mencegah pembentukan gelembung CO2 dalam darah. Enzim katalase bersifat antioksidan ditemukan pada hampir sebagian besar sel. Enzim ini terutama terletak di dalam organel peroksisom. Katalase ditemukan di semua jaringan, dan aktivitasnya yang tinggi ditemukan di



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



12 / 22



hati dan ginjal, sedangkan di otak aktivitasnya rendah. Enzim katalase mampu mengkatalasis reaksi penguraian hidrogen peroksida (H2O2) melalui dua mekanisme kerja yaitu katalitik dan peroksidatik. Mekanisme enzim katalase sebagai antioksidan melalui proses katalitik terjadi bila enzim katalase menggunakan molekul H2O2 sebagai substrat atau donor elektron dan molekul H2O2 yang lain sebagai oksidan atau akseptor elektron. Katalase sebagai salah satu antioksidan endogen merupakan senyawa hemotetramer dengan Fe sebagai kofaktor disandi oleh gen kromosom 11; mutasi pada gen ini dapat menyebabkan akatalasemia. Katalase termasuk dalam golongan enzim hidroperoksidase karena dapat mengkatalisis substrat hidrogen peroksida atau peroksida organik. Enzim ini dapat ditemui dalam darah, sumsum tulang, membran mukosa, ginjal dan hati. Merupakan hemoprotein yang mengandung empat gugus heme. Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam peroksisom. Mekanisme aktivitas katalase sebagai antioksidan dengan cara mengkatalisis pemecahan H2O2 menjadi H2O dan O2. Senyawa 1 merupakan senyawa antara serta merupakan kunci dari oksidasi dalam reaksi enzimatik katalase. Hal ini disebabkan oleh keberadaan senyawa 1 heme dengan suatu atom oksigen dari molekul H2O2 pada tahap I ini. Hasil reaksi ini membentuk molekul air pada tapak aktif enzim yang dekat heme Fe. Kapasitas reduksi katalase tinggi pada suasana



H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada



konsentrasi rendah



kapasitasnya menurun. Hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air. Katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air. Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. Reaksi ini disebut sebagai chainbreaking-antioxidan.



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



13 / 22



Katalase dan glutathion peroksidase (Gpx) mempunyai sifat yang sama dalam mengkatalisis H2O2 . Namun, glutation peroksidase mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap H2O2 daripada katalase. Hal



ini disebabkan adanya



perbedaan kinetik dari kedua enzim tersebut. Katalase mengkatalisis H2O2 secara linier sesuai dengan konsentrasi H2O2, sedangkan glutation peroksidase menjadi jenuh pada konsentrasi H2O2 di bawah 10-5 mol/L. Ketika konsentrasi H2O2 sangat rendah atau pada kondisi normal maka glutation peroksidase mempunyai peran yang lebih domian untuk mengkatalisis H2O2 daripada katalase. Tingginya kadar glukosa diduga menghalangi aktivitas antioksidan endogen. Sebuah penelitian tentang pengaruh berbagai tingkat kadar glukosa terhadap enzim katalase, ditemukan penurunan aktivitas enzim pada kadar glukosa yang tinggi. Pada penelitian lainnya dikemukakan bahwa aktivitas katalase



yang ditingkatkan melaui manipulasi transgenik–spesifik dapat



melindungi jantung dari progresi penyakit diabetes kardiomiopati . 3. Uji Superoksida Dismutase Secara normal, tubuh mempunyai strategi yang sistematis untuk memerangi pembentukan radikal bebas atau untuk mempercepat degradasi senyawa tersebut. Sistem ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem pertahanan preventif seperti enzim superoksida dismutase; copper zincsuperoxid dismutase (Cu,Zn-SOD) dan manganese superoxide dismutase (MnSOD), katalase dan glutation peroksidase dan sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal seperti α-tokoferol,vitamin C dan vitamin A. Cu,ZnSOD merupakan salah satu tipe enzim SOD berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas anion superoxide menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen Aktivitas SOD dapat dijadikan acuan pengukuran tingkat stres oksidatif dalam tubuh. Dengan kemajuan teknik imunositokimia, sel-sel penghasil SOD telah dapat dideteksi pada jaringan tikus. Tipe kedua dari enzim SOD adalah Mangan Superoksida Dismutase dimana ada dalam mitokondria. MnSOD menjadi antioksidan utama dalam menghambat kerja superoksida di dalam mitokondria. Terdiri dari 4 sub unit dengan atom mangan dan memiliki ukuran sebesar 40.000 kDA. Mn SOD tipe SOD



terbanyak yang didapat pada cairan ekstraseluler. Mn



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



14 / 22



SOD disintesis



terbatas oleh beberapa sel, diantaranya sel endotel dan fibroblast. Kemudian tipe ketiga yakni Ferum SOD. Fe SOD merupakan enzim yang banyak ditemukan pada organism prokaryot yaitu tumbuhan dan bakteri. FeSOD memiliki struktur kimia berupa tiga ion besi yang berikatan dengan tiga histidin, satu aspartat, dan satu molekul air. Peningkatan jumlah radikal bebas tersebut dapat meningkatkan oksidasi yang terjadi di peroksisom. Sebagai akibatnya, produksi radikal bebas



juga



meningkat sebagai hasil samping oksidasi tersebut. Peningkatan kadar radikal bebas dalam kondisi stress ditunjukkan dengan menurunnya kandungan antioksidan intrasel seperti copper, zinc- superoksid dismutase (Cu,Zn-SOD) pada jaringan hati dan ginjal tikus di bawah kondisi stress. Pada manusia, kadar normal SOD adalah sebesar 242 ± 4 mg/L pada eritrosit, 548 ± 20 µg/L pada serum, dan 173 ± 11 µg/L pada plasma. Penurunan aktivitas SOD berhubungan dengan kejadian penyakit seperti reumatoid artritis, anemia fanconi, katarak, infeksi saluran pernapasan, infertilitas. Peningkatan aktivitas SOD disertai peningkatan radikal bebas pada penderita sindrom Down menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida yang terbentuk kemudian akan diinaktivasi oleh glutation peroksidase (GPx) dan katalase. Prinsip



penentuan



aktivitas



antioksidan



SOD



yaitu



mengetahui



kemampuan SOD mengkata lisasis anion superoksida ke dalam molekular peroksida hidrogen dan oksigen. Aktivitas SOD diukur berdasarkan laju autooksidasi keberadaan dan ketiadaan sampel mengekspresikan Mc Cord Fridovich “sitokrom c” unit. Kemudian dibaca dengan ELISA pada panjang gelombang 450 nm. Aktivitas enzim katalase plasma diawali dengan pembuatan lisat: 200 uL plasma ditambahkan 800 uL larutan 0,5% triton X-100, kemudian dipersiapkan larutan standar untuk pengukuran sampel. Dibuat larutan induk dengan melarutkan 10 uL katalase dalam 50 mL bufer fosfat. Larutan standar dibuat dengan melarutkan 0,5 mL larutan induk dalam 9,5 mL bufer fosfat (1/20) dan 0,5 mL larutan induk dalam 19,5 mL bufer fosfat (1/40). Sebanyak 10 uL lisat dicampurkan dengan 12,5 mL bufer fosfat. Reaksi mulai terjadi setelah



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



15 / 22



ditambahkan 1 mL H2O2. Seluruh larutan divorteks perlahan, lalu penurunan absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 240 nm, dengan selang waktu 15 detik, 30 detik, 45 detik, dan 60 detik. Enzim SOD memiliki kemampuan mendegradasi anion superoksida radikal menjadi oksigen dan hidrogen peroksida. Kemudian perannya dilanjutkan oleh enzim GPx dan catalase hingga dihasilkan air dan oksigen. Superoksida dismutase termasuk enzim primer di dalam tubuh karena mampu melindungi selsel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas. Enzim SOD tersebut akan bekerja sempurna dengan adanya mineral-mineral seperti tembaga (Cu), seng (Zn) dan mangan (Mn) yang banyak terdapat pada kacang-kacangan dan olahannya. Enzim superoksida dismutase (SOD) diketahui memiliki kemampuan untuk menghambat autooksidasi spontan dari epineprin menjadi adenokrom. Larutan epineprin akan stabil dalam keadaan suasana asam, tetapi spontan akan teroksidasi dengan adanya kenaikan pH. Autooksidasi terjadi paling cepat disertai dengan terbentuknya adenokrom dengan kecepatan linier yaitu pada pH 10,2 dan suhu 30°C. Di dalam tubuh, dengan adanya penambahan dapar karbonat dalam analisis enzim superoksida dismutase (SOD) dapat menaikkan pH dan menyebabkan suasana menjadi basa, sehingga dapat mempercepat terbentuknya adenokrom. Selain itu, SOD merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari 1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan. Prosedur penentuan enzim ini diukur dengan pembuatan larutan stok awal pada total plasma. Aktivitas SOD diukur berdasarkan laju penghambatan reduksi ferisitokrom c oleh anion superoksida yang dihasilkan oleh xantin/xantin oksidase. Xantin teroksidasi menjadi asam urat, sedangkan anion superoksida yang terbentuk selanjutnya mereduksi ferisitokrom c. Reduksi ferisitokrom c diamati berdasarkan kenaikan absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Pengukuran aktivitas ini berlangsung pada suhu 25oC, larutan xantin oksidase harus tetap dalam keadaan dingin sebelum digunakan. Medium reaksi segera disiapkan sebelum pengukuran dengan memasukkan 2,9 mL larutan A



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



16 / 22



(campuran larutan 0,76 mg xantin dalam 10 mL 0,001 M NaOH, dengan larutan 1,8 mg sitokrom c Ditambahkan 100 mL bufer fosfat pH 7,8 tanpa EDTA) ke dalam tabung reaksi 3 mL. Selanjutnya ditambahkan 50 uL larutan baku (kontrol) atau sampel dan divorteks perlahan. Reaksi dimulai dengan menambahkan 50 uL larutan B (xantin oksidase 2,88 mg/mL dalam bufer fosfat EDTA) dan divorteks perlahan. Diamati perubahan absorban yang terjadi pada spektrofotometer. Untuk blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel dan sebagai kontrol digunakan akuabides yang proses ekstraksinya sama dengan proses ekstraksi untuk sampel. 4. Penentuan Kadar Malonaldehid (MDA) Plasma Malondialdehid (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikal bebas dan merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stress oksidatif akibat radikal bebas. Stres oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif lipid yang dapat dideteksi dengan peningkatan kadar malondialdehid (MDA) da lam sel. Pengukuran kadar malondialdehid (MDA) menggunakan baku pembanding Raetoksipropane (TEP) dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel. Malondialdehid ini dapat dijadikan indikator peningkatan peroksida lipid yang terbentuk akibat radikal bebas. Malondialdehida (MDA) telah digunakan secara luas sebagai indikator kerusakan oksidatif, terutama dari asam lemak tidak jenuh. Malondialdehida merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid terutama asam lemak tidak jenuh yang dapat dihasilkan melalui oksidasi oleh radikal bebas. Metode kimia yang digunakan untuk mengukur MDA berdasarkan reaksi antara MDA dengan tiobarbiturat (TBA) membentuk kompleks ikatan TBA-MDA yang menghasilkan warna merah dan selanjutnya diukur intensitasnya menggunakan spektrofotometer. MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lemak dan indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh. Asam lemak tidak jenuh akan mengalami peroksidasi menghasilkan produk MDA. Produk MDA dapat diukur sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif. Selain itu, konsentrasi MDA dalam plasma dapat digunakan sebagai parameter kerusakan oksidatif dari lemak tidak jenuh pada mencit yang dipapar paraquat. Radikal bebas yang dihasilkan kemudian



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



17 / 22



menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif dan peroksidasi lemak pada komponen membran sel dan mengahasilkan produk akhir MDA. Kadar MDA pada kelompok tikus yang diberi perlakuan isoflavon lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan stres. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian isoflavon mampu mencegah peroksidasi lipid oleh radikal bebas sehingga menurunkan pembentukan MDA hati. Hal tersebut juga terkait dengan aktivitas enzim SOD dalam hati. Senyawa bioaktif isofavon memiliki potensi sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, senyawa isoflavon dapat mengeliminasi radikal bebas dan mencegah reaksi berantai lebih lanjut terhadap komponen membran sel sehingga mengurangi pembentukan MDA sebagai produk akhir. Pengujian ini dilakukan dengan mengambil sebanyak 75 µl plasma atau standar dimasukkan dalam tabung sentrifus, lalu ditambahkan 75 µl TCA 20% (dalam 0,6 mol/l HCl). Setelah didinginkan dalam lemari pendingin bersuhu 5– 10 °C selama 20 menit, campuran tersebut disentrifus pada 4000 rpm selama 20 menit. Kemudian, 100 µl supernatannya ditambah 20 µl pereaksi TBA. Selanjutnya campuran tersebut didihkan selama 30 menit. Setelah dingin campuran dimasukkan ke dalam lempeng mikro 96 sumur dan diukur absorbansinya menggunakan mikroplate reader pada λ 540 nm. Kadar MDA plasma dihitung berdasarkan kurva standar dari larutan tetra etoksipropana. Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. TBA akan memberikan warna pink- chromogen yang dapat diperiksa secara spektrofotometrik. Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses peroksidasi lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk produk non-volatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran kadar MDA serum yang sebenarnya. Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin. Reaksi MDA dengan diukur pada panjang gelombang antara 530 nm. Larutan 1,1,3,3tetrametoksipropana digunakan sebagai larutan standar MDA karena larutan baku MDA bersifat tidak stabil dan tidak tersedia. TMP merupakan prekusor dari



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



18 / 22



senyawa MDA. Apabila larutan TMP tersebut direaksikan dengan air akan terhidrolisis membentuk senyawa malondialdehid (MDA). 5. Penentuan Kadar 8-hidroksi-deoksiguanosin (8-OhdG) Deoksiguanosin (dG) merupakan salah satu basa penyusun DNA dan bila mengalami reaksi oksidasi akan menjadi 8-hidroksi-2'-deoksiguanosin (8-OHdG). Guanosin juga dapat mengalami hidroksilasi sebagai respon metabolisme normal ataupun akibat faktor pencemaran lingkungan oleh logam-logam berat dan radikal. Peningkatan kadar 8-OHdG berhubungan dengan kelainan patologi atau penyakit mencakup depresi, kanker, diabetes, dan hipertensi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian yaitu 8-OHdG ditemukan mengalami penurunan secara signifikan pada kelompok wanita hamil yang diberikan olahraga kategori sedang dibandingkan dengan kelompok tanpa olahraga kategori sedang.. Analisis kadar 8-OHdG dapat menggunakan instrumen Spektrofotometri UV-Vis dengan 8-OHdG DNA Damage ELISA Kit Cell Biolabs dengan tahaptahap sebagai berikut : Siapkan semua reagen sebelum digunakan. Sampel yang akan diperiksa dan standar diuji dua kali. Tambahkan 50 μL sampel yang akan diperiksa dan standar 8-OHdG ke dalam sumur 8-OHdG Conjugated coated plate. Inkubasi pada suhu kamar selama 10 menit. Tambahkan 50 μL anti 8-OHdG, inkubasi pada suhu kamar selama 1 jam. Cuci microwell strips sebanyak 3 kali dengan 250 μL wash Buffer pada setiap sumur. Setelah dicuci, kosongkan / bersihkan sumur agar bersih dari wash buffer. Tambahkan 100 μL Secondary Antibody – Enzyme Conjugate ke dalam semua sumur. Inkubasi pada suhu kamar selama 1 jam. Cuci microwell strips sebanyak 3 kali dengan 250 μL wash Buffer pada setiap sumur. Setelah dicuci, kosongkan / bersihkan sumur agar bersih dari wash buffer. Hangatkan Substrate Solution pada suhu kamar. Tambahkan 100 μL Substrate Solution ke dalam masing-masing sumur termasuk dalam sumur blanko. Inkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Stop reaksi enzym dengan menambahkan 100 μL Stop Solution ke dalam masing- masing sumur termasuk sumur blanko. Perhatikan warna masing-masing sumur. Baca Absorbansi masingmasing microwell dengan spektroskopi UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 450 nm.



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



19 / 22



C. Latihan Soal 1. Bagaimana cara mengetahui efektivitas suatu senyawa yang memiliki kemampuan antioksidan? 2. Bagaimana GPx bekerja? 3. Jelaskan apa yang dimaksud MDA D.Kunci Jawaban 1. Efektivitas suatu senyawa yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan dapat diketahui melalui aktivitas atau kemampuan penghambatan proses oksidasi oleh senyawa antioksidan tersebut. 2. GPx bekerja mengoksidasi glutation menjadi glutation disulfida dan pada saat yang bersamaan karena adanya reaksi redoks, terjadi perubahan hidroperoksida menjadi H2O dan alkohol. 3. Plasma Malondialdehid (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikal bebas dan merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stress oksidatif akibat radikal bebas. E. Referensi 1. Harborne, J.B, 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. (Kosasih Padmawinata). ITB. Bandung. 2. Harmita dan Radji, M., 2008, Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 3. Indriati, A.,Widjanarko, S.B. dan Rakhmadiono, S. 2002. Analisis Aktivitas Antioksidan Pada Buah Jambu Mete (Annacardium occidentale L.), BIOSAINS, 2(1) : 12-17. 4. Inoue, M. 2001. Protective Mekanism Against Reactive Oxygen Species in Arias IM The Liver Biology and Pathobiology. Lippincott Williams and Wilkins. 4th ed. Philadelphia.pp. 281-90. 5. Jamil, D.O., 2010. Pelacakan Aktivitas Antikanker Terhadap Tiga Senyawa Santon Terprenilasi dari Spesies Garcini. (Skripsi). Jurusan Kimia FMIPA ITS Surabaya.



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



20 / 22



6. Jawi, I.M.,Suprapta, D.N. dan Subawa, A.A.N. 2008. Ubi Jalar Ungu Menurunkan Kadar MDA dalam Darah dan Hati Mencit setelah Aktivitas Fisik Maksimal.Jurnal Veteriner 9 (2) : 65-72. 7. Landvik, S.V.,Diplock A.T.and Packer, L. 2002. Efficacy of Vitamin E in Human Health and Disease. In : Cadenas, E. and L. Packer. 2002. Handbook of Antioxidants. Marcel Dekker, Inc., New York. 8. Ridwan E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan,J.Indon.Med. 63 (3) : 112-16. 9. Sadikin, 2002. Biokimia Enzim. Cetakan I. Penerbit Widya Medika. Jakarta. Sasaki, M., dan Joh, T. 2007. Oxidative Stress and Ischemia Reperfusion Injury in 10.Gastrointestinal Tract and Antioxidant Protective Agents. Diakses Tanggal 5 Nopember 2012.



Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id



21 / 22