Modul CA - Isi - Etika Profesi Dan Tata Kelola Korporat - CETAK 2015 (Wa PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



a



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



MODUL CHARTERED ACCOUNTANT Hak Cipta @2015, Ikatan Akuntan Indonesia Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang menerjemahkan, mencetak ulang, memperbanyak, atau menggunakan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik, mekanik atau cara lainnya, yang saat ini diketahui atau nanti ditemukan, termasuk menggandakan dan mencatat, atau menyimpan dalam sistem penyimpanan dan penyediaan informasi, tanpa izin tertulis dari Ikatan Akuntan Indonesia. Ikatan Akuntan Indonesia tidak bertanggungjawab atas kerugian yang dialami oleh pihak yang melakukan atau menghentikan suatu tindakan dengan mendasarkan pada materi dalam buku ini, baik kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau hal lainnya. Sanksi Pelanggaran Pasal 113: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta



1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).







2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).







3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).







4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).







© Hak cipta dilindungi Undang–Undang



H I A R E P



A W S I S A E B



ETIKA PROFESI DAN TATA KELOLA KORPORAT Mei 2015 Diterbitkan oleh:



Jl. Sindanglaya No. 1, Jakarta Pusat 10310 Telp. 021) 31904232 (hunting) Fax. (021) 3900016 Home page: www.iaiglobal.or.id Email: [email protected]



Dilarang memperbanyak tanpa seizin Ikatan Akuntan Indonesia



b



A C







Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Sambutan Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia



Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menetapkan sebutan Chartered Accountant Indonesia (CA) sebagai kualifikasi akuntan profesional Indonesia sesuai panduan standar internasional. Penetapan sebutan CA dilaksanakan dalam rangka melaksanakan tujuan pendirian IAI yaitu untuk membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan; dan mempertinggi mutu pekerjaan akuntan. Kualifikasi ini juga ditetapkan untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada profesi akuntan, memberikan perlindungan terhadap pengguna jasa akuntan, serta mempersiapkan akuntan Indonesia menghadapai tantangan profesi dalam perekonomian global.



A W S I S A E B



A C



Sebagai anggota International Federation of Accountants (IFAC), IAI telah meluncurkan CA untuk menaati Statement Membership Obligations (SMO) & Guidelines IFAC. IFAC telah menetapkan International Education Standards (IES) 7 yang memuat kerangka dasar dan persyaratan minimal untuk memperoleh kualifikasi sebagai seorang akuntan profesional. IAI berkewajiban untuk mematuhi IES 7 tersebut sebagai panduan utama pengembangan akuntan profesional di Indonesia. Adanya kualifikasi akuntan profesional dengan sebutan CA, diharapkan dapat menjamin dan meningkatkan mutu pekerjaan akuntan yang profesional dan memiliki daya saing di tingkat global. Sejalan dengan tujuan tersebut Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister Negara yang telah disahkan pada tanggal 3 Februari 2015. PMK tersebut merupakan amanat dari UU Nomor 34 Tahun 1954 Pasal 6 yang mengamanahkan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai kebijakan pelaksanaan untuk pemakaian gelar Akuntan.



H I A R E P



Sesuai ketentuan PMK Nomor 25/PMK.01/2014, salah satu persyaratan untuk menyandang gelar Akuntan seseorang harus lulus pendidikan profesi akuntan atau lulus ujian sertifikasi akuntan profesional. PMK juga menyatakan bahwa pendidikan profesi akuntansi mencakup perkuliahan dan ujian sertifikasi akuntan profesional. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 153 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesi Akuntan mengatur bahwa pendidikan program profesi akuntan (PPAk) diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan IAI. Permendikbud tersebut juga menyatakan mahasiwa yang dinyatakan lulus PPAk berhak menggunakan gelar profesi dibidang akuntansi dan memperoleh sertifikat profesi akuntansi setelah dinyatakan lulus seluruh uji kompetensi akuntan. Uji kompetensi akuntan merupakan ujian sertifikasi akuntan profesional yang diselenggarakan oleh IAI.



Ikatan Akuntan Indonesia



i



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Sebagai organisasi yang mewadahi seluruh Akuntan Indonesia, IAI bertekad memberikan kontribusi optimal bagi profesi, masyarakat, dan bangsa ini. Melalui pengelolaan keprofesian yang maksimal dan berkelanjutan, penataan aktivitas keprofesian dan pengembangan kompetensi akuntan profesional, IAI harus menjadi sandaran profesionalisme para Akuntan Profesional, agar mereka bisa berkarya secara maksimal bagi negeri ini. Indonesia yang kini menjadi anggota G-20, memiliki ukuran ekonomi yang sangat besar, yang harus dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Kebutuhan akan Akuntan Profesional diyakini akan terus meningkat seiring cepatnya pertumbuhan perekonomian Indonesia dewasa ini. Karena itulah, IAI, bersama-sama pemerintah dan stakeholders lainnya, berkewajiban memastikan proses regenerasi dan kaderisasi Akuntan Profesional berjalan dengan baik.



A C



Apalagi di tingkat regional, berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) membutuhkan antisipasi yang tepat dari profesi akuntan Indonesia. Di tingkat global, pergeseran peta kekuatan ekonomi global pastinya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Akuntan Profesional Indonesia. CA yang diluncurkan IAI pada 19 Desember 2012, telah menjadi identitas Akuntan Profesional Indonesia yang akan menjaga profesionalisme akuntan Indonesia untuk bersaing di kancah regional. CA menjadi tonggak bersejarah bagi profesi akuntan Indonesia pada umumnya, dan IAI pada khususnya.



A W S I S A E B



Modul CA ini disusun oleh IAI mengacu pada standar kompetensi dan silabus ujian CA. IAI juga berkomitmen untuk selalu meng-update modul ini dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi. Modul ini merupakan salah satu referensi bagi calon peserta ujian sertifikasi CA. Para peserta ujian CA tentu harus melengkapi dengan materi lainnya agar pemahamannya lebih komprehensif. Para peserta wajib memperkaya diri dengan studi kasus yang pastinya akan sangat bermanfaat bagi pengembangan diri para calon Akuntan Profesional.



H I A R E P



Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya modul CA ini. Harapan kami, modul ini akan menjadi referensi berharga bagi para peserta dalam menghadapi ujian sertifikasi CA. Jakarta, Mei 2015



Prof. Mardiasmo, Ak., CA Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia



ii



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Daftar Isi BAB I PENGANTAR ETIKA PROFESI....................................................................................................................................... 1 1.1 Akuntansi Sebagai Profesi................................................................................................................................. 2 1.2 Etika dalam Profesi............................................................................................................................................ 3 1.3 Lahirnya Profesi Akuntan................................................................................................................................. 4 1.4 Profesi Akuntan di Masyarakat....................................................................................................................... 6 1.5 Profesi Akuntan di Indonesia.......................................................................................................................... 7



BAB II TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERETIKA........................................................................... 11



A C



2.1 Etika dan Moral.................................................................................................................................................. 12 2.2 Enlightened Self Interest Sebagai Etika.......................................................................................................... 13 2.3 Teori Etika........................................................................................................................................................... 14 2.4 Pengambilan Keputusan Beretika.................................................................................................................... 19 2.5 Kasus Ford Pinto................................................................................................................................................ 20



A W S I S A E B



BAB III LINGKUNGAN ETIKA DAN AKUNTANSI.................................................................................................................. 23 3.1 Praktik Bisnis Tidak Beretika.......................................................................................................................... 24 3.2 Skandal Korporasi.............................................................................................................................................. 27 3.3 Lingkungan Etika di Indonesia........................................................................................................................ 32 3.4 Tuntutan Masyarakat Terhadap Bisnis........................................................................................................... 36 3.5 Inisiatif Untuk Menciptakan Bisnis yang Bertanggungjawab dan Berkelanjutan.................................. 37



BAB IV ETIKA AKUNTAN PROFESIONAL DALAM BISNIS................................................................................................ 43



H I A R E P



4.1 Prinsip Utama Akuntan Profesional............................................................................................................... 44 4.2 Ancaman Terhadap Profesionalitas dan Pengamanannya.......................................................................... 46 4.3 Etika Akuntan Profesional dalam Bisnis........................................................................................................ 48



BAB V ETIKA AKUNTAN PROFESIONAL DALAM PRAKTIK PUBLIK.......................................................................... 55 5.1 Ancaman dan Pencegahan................................................................................................................................ 56 5.2 Penunjukan Profesional..................................................................................................................................... 59 5.3 Benturan Kepentingan....................................................................................................................................... 61 5.4 Pendapat Kedua.................................................................................................................................................. 62 5.5 Fee dan Remunerasi Lainnya........................................................................................................................... 62 5.6 Pemasaran Jasa Profesional.............................................................................................................................. 64 5.7 Hadiah dan Keramah-tamahan....................................................................................................................... 64 5.8 Menyimpan Aset Klien..................................................................................................................................... 65 5.9 Objektivitas.......................................................................................................................................................... 65 5.10 Independensi – Dalam Perikatan Audit dan Review................................................................................... 66 5.11 Independensi – Dalam Perikatan Assurance Lainnya................................................................................. 67



Ikatan Akuntan Indonesia



iii



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB VI IKLIM ETIKA DAN ORGANISASI BERINTEGRITAS.............................................................................................. 69 6.1 Pentingnya Membangun Iklim Etika dan Organisasi Berintegritas......................................................... 70 6.2 Keterbatasan Program Compliance.................................................................................................................. 71 6.3 Integritas sebagai Tata Kelola Etika................................................................................................................ 72 6.4 Program Integritas yang Efektif....................................................................................................................... 74 6.5 Dampak Organisasi yang Berintegritas terhadap Akuntan Profesional................................................... 74



BAB VII TINJAUAN TATA KELOLA: KONSEP, PRINSIP, DAN PRAKTIK DI INDONESIA....................................... 77 7.1 Alasan Diperlukan Tata Kelola yang Baik..................................................................................................... 78 7.2 Definisi dan Prinsip Dasar Tata Kelola.......................................................................................................... 80 7.3 Tinjauan Struktur Tata Kelola di Indonesia.................................................................................................. 81 7.4 Overview Prinsip-prinsip Tata Kelola Menurut OECD............................................................................... 82 7.5 Manfaat Tata Kelola bagi Korporat dan Lingkungan.................................................................................. 85 7.6 Overview Regulasi dan Pedoman Tata Kelola di Indonesia....................................................................... 85 7.7 Instrumen Penilaian dan Bukti Empiris terhadap Praktik Tata Kelola di Indonesia dan ASEAN......................................................................................................................................................... 87 7.8 Penilaian Berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital Market Forum.............................. 91



A W S I S A E B



A C



BAB VIII PRINSIP PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PEMEGANG SAHAM................................................................



95 8.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 96 8.2 Keputusan Material yang Membutuhkan Persetujuan dalam RUPS........................................................ 98 8.3 Penyelenggaraan RUPS...................................................................................................................................... 98 8.4 Pengungkapan Struktur Kepemilikan, termasuk Kepemilikan Piramid, Cash-flow Right, Control Right dan Hubungannya dengan Insentif untuk Ekspropriasi................................................... 99 8.5 Pasar Pengendalian Perusahaan Berjalan dengan Efisien dan Transparan............................................. 101 8.6 Fasilitasi Dilaksanakannya Hak-hak Semua Pemegang Saham, termasuk Investor Institusi.................. 102 8.7 Para Pemegang Saham untuk Saling Berkonsultasi Terkait dengan Pelaksanaan Hak-haknya........... 102 8.8 Peran Akuntan Profesional dalam Memfasilitasi Pelaksanaan Hak Pemegang Saham......................... 103 8.9 Pelaksanaan Prinsip Perlindungan terhadap Hak-hak Pemegang Saham di Indonesia Menurut Hasil Penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard................................................ 103 8.10 Hasil Penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard........................................................................................ 104 8.11 Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk Menilai Praktik Perlindungan terhadap Hak-hak Pemegang Saham Perusahaan Terbuka......................................................................................... 104



H I A R E P



BAB IX PRINSIP PERLAKUAN SETARA TERHADAP PEMEGANG SAHAM................................................................. 107 9.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 108 9.2 Perdagangan oleh Orang Dalam..................................................................................................................... 115 9.3 Fasilitas Penggunaan Hak Voting melalui Kustodian atau Cross-border................................................. 117 9.4 Pengungkapan Informasi Benturan Kepentingan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris.................... 119 9.5 Peran Akuntan Profesional............................................................................................................................... 120 9.6 Pelaksanaan Prinsip Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham di Indonesia.................................. 121 9.7 ASEAN CG Scorecard........................................................................................................................................ 124



iv



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



BAB X PRINSIP TANGGUNG JAWAB DEWAN.................................................................................................................... 127 10.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 128 10.2 Rincian Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris yang Perlu Dilaksanakan................................ 128 10.3 Peran Dewan Komisaris dan Direksi dalam Menegakkan Standar Etika............................................... 130 10.4 Proses Nominasi Anggota Dewan Komisaris dan Direksi......................................................................... 130 10.5 Ukuran, Komposisi, dan Kompetensi Dewan Komisaris............................................................................ 131 10.6 Asuransi terhadap Independensi Komisaris Independen........................................................................... 132 10.7 Proses Pelaksanaan Tugas Dewan Komisaris dan Direksi......................................................................... 133 10.8 Akuntabilitas Dewan Komisaris dan Direksi: Penilaian Kinerja Terhadap Dewan dan Anggotanya.......................................................................................................................................................... 134 10.9 Sistem Remunerasi Anggota Dewan............................................................................................................... 135 10.10 Peran dan Tanggung Jawab Sekretaris Perusahaan...................................................................................... 136 10.11 Fungsi Pengawasan............................................................................................................................................. 136



A C



BAB XI KOMITE-KOMITE DI BAWAH DEWAN KOMISARIS............................................................................................ 143



A W S I S A E B



11.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 144 11.2 Manfaat Keberadaan Komite............................................................................................................................ 144 11.3 Komite Nominasi dan Remunerasi................................................................................................................. 149 11.4 Komite Kebijakan Risiko................................................................................................................................... 149 11.5 Komite Kebijakan Corporate Governance...................................................................................................... 149 11.6 Komite-Komite Menurut Peraturan Menteri BUMN dan Bank Indonesia............................................. 150 11.7 Peran Profesi Akuntan Profesional dalam Memfasilitasi Tanggung Jawab Komite............................... 151 11.8 Pelaksanaan Peran Komite di Indonesia Menurut Hasil Penilaian Bank Dunia (ROSC) dan ASEAN CG Scorecard................................................................................................................................ 151 11.9 Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk Menilai Komite-Komite di Perusahaan Terbuka.............. 152



H I A R E P



BAB XII PENGUNGKAPAN DAN TRANSPARANSI, PENGENDALIAN INTERNAL........................................................ 155 12.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 156 12.2 Kebijakan Pengungkapan.................................................................................................................................. 157 12.3 Prinsip ‘Comply or Explain’ terhadap CG Code........................................................................................... 158 12.4 Saluran Komunikasi........................................................................................................................................... 158 12.5 Pengungkapan dan Transparansi oleh Pihak Perantara (Intermediaries)................................................. 158 12.6 Peran Pengendalian Internal dan Manajemen Risiko dalam Mengurangi Konflik Keagenan dan Penegakan GCG....................................................................................................................... 159 12.7 Peran Akuntan Profesional............................................................................................................................... 162 12.8 Pelaksanaan Prinsip Pengungkapan dan Transparansi di Indonesia Menurut Hasil Penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard............................................................................ 162 12.9 Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk Menilai Praktik Pengungkapan dan Transparansi........................................................................................................................................................ 163



Ikatan Akuntan Indonesia



v



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB XIII PERAN DAN TANGGUNG JAWAB AUDITOR EKSTERNAL DAN INTERNAL............................................... 167 13.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 168 13.2 Peran Auditor Eksternal terkait Asurans terhadap Kualitas Informasi yang Diungkapkan dan Sistem Pengendalian Internal......................................................................................... 168 13.3 Peran Auditor Internal terkait Kualitas Informasi yang Diungkapkan dan Sistem Pengendalian Internal........................................................................................................................................ 170 13.4 Akuntabilitas Auditor Eksternal terhadap Pemegang Saham dan Menjalankan Tugas dari Perusahaan untuk Melakukan Audit secara Profesional........................................................ 172 13.5 Tugas dan Tanggung Jawab Auditor Internal dan Eksternal dalam Penegakan GCG.......................... 172 13.6 Pelaksanaan Peran Auditor Eksternal dan Auditor Internal Menurut Hasil Penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard............................................................................ 173



A C



BAB XIV PRINSIP PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DAN TANGGUNG JAWAB KORPORAT........................ 177 14.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 178 14.2 Tanggung Jawab Korporat, Akuntabilitas dan Pelaporan Korporat.......................................................... 178 14.3 Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan.......................... 179 14.4 Peran Aktif Korporat dalam Memberantas Korupsi.................................................................................... 181 14.5 Peran Aktif Korporasi dalam Melestarikan Lingkungan............................................................................ 182 14.6 Penyaluran Pengaduan oleh Pemangku Kepentingan terhadap Kemungkinan Pelanggaran Aturan/Etika oleh Orang dalam Korporat.............................................................................. 183 14.7 Peran Akuntan Profesional............................................................................................................................... 185 14.8 Pelaksanaan Prinsip Peran Pemangku Kepentingan di Indonesia............................................................ 186



A W S I S A E B



KASUS SATYAM................................................................................................................................................................ 194 KASUS PT SUMALINDO LESTARI TBK..................................................................................................................... 200



H I A R E P



Kasus PT Bank Mandiri (Persero) Tbk....................................................................................................... 208



vi



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab I W S I S PENGANTAR ETIKA PROFESI A E B H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



1



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



PENGANTAR ETIKA PROFESI



Bab I



1.1 Akuntansi Sebagai Profesi Apakah profesi itu? Apa yang membedakan suatu kegiatan sebagai pekerjaan dan profesi? Banyak terjadi salah pengertian mengenai profesi. Profesi sering diartikan sebagai suatu pekerjaan lepas. Profesi memang pekerjaan lepas, namun tidak setiap pekerjaan lepas merupakan profesi. Menurut Duska, Duska dan Ragatz (2011) banyak definisi mengenai profesi. Namun mungkin dapat diikuti suatu definisi yang diajukan oleh Commission on Standards of Education and Experience for Certified Public Accountants. Menurut mereka, profesi memiliki paling tidak tujuh karakteristik, yaitu: • • • • • • •



A C



Memiliki bangunan pengetahuan yang khusus (a specialized body of knowledge). Melalui proses pendidikan formal yang diakui untuk memperoleh pengetahuan spesialis yang disyaratkan. Memiliki standar kualifikasi professional sebagai syarat penerimaan anggota profesi. Memiliki standar prilaku yang mengatur hubungan antara praktisi dengan klien, rekan sejawat, dan masyarakat pada umumnya. Pengakuan akan status. Menerima tanggung jawab sosial yang melekat pada pekerjaan untuk kepentingan publik. Memiliki organisasi yang menjaga kewajiban sosial dari profesi.



A W S I S A E B



Dari berbagai persyaratan di atas, maka dua karakteristik terpenting sebagai prasyarat sebuah profesi adalah pekerjaan tersebut merupakan tanggung jawab sosial yang terkait dengan kepentingan publik dan adanya pengakuan dari publik (masyarakat) bahwa pekerjaan tersebut memang penting bagi mereka. Jadi, pekerjaan yang dilakukan merupakan hal yang dianggap penting bagi publik dan pelaksanaannya dilakukan sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial. Sebagai pekerjaan yang penting, profesi tidak boleh memanfaatkan pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, misalnya mencari keuntungan. Karena itu ciri pertama profesi adalah altruisme. Altruisme berasal dari kata altruis yang berarti orang yang mengutamakan kepentingan orang lain. Dengan demikian altruisme artinya sikap yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain. Sebagai imbalan atas altruisme ini, profesi biasanya menjadi warga terhormat di dalam masyarakat.



H I A R E P



Jika pekerjaan ini sudah diakui manfaatnya bagi kepentingan publik, maka perlu disiapkan infrastruktur agar pekerjaan tersebut bisa dilaksanakan dengan baik. Karena itu, suatu profesi perlu didasarkan pada bangunan pengetahuan yang khusus sehingga pekerjaan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Konsekuensinya, para praktisi profesi harus menjalani proses pendidikan formal untuk memiliki bangunan pengetahuan yang khusus tersebut. Mengingat sistem pendidikan formal bersifat umum, maka praktisi profesi harus memiliki kualifikasi yang ditunjukkan melalui kelulusan atas ujian kualifikasi dan sertifikasi. Dan praktisi profesi harus melaksananakan pekerjaannya berdasarkan standar prilaku tertentu. Inilah ciri kedua profesi, yaitu kompetensi. Tidak mungkin seseorang yang bertugas melaksanakan pekerjaan penting bagi publik tidak memiliki kompetensi atas pelaksanaan pekerjaan tersebut dan tidak melaksanakan pekerjaan tersebut dengan standar perilaku yang diharapkan. Jika hal ini terjadi maka pekerjaan tersebut malah dapat berdampak buruk bagi publik. Karakteristik terakhir yang harus dimiliki oleh profesi adalah dimilikinya organisasi atau asosiasi profesi yang bertugas menjaga anggotanya agar memenuhi kualifikasi yang ditetapkan, menjaga kompetensi, dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan standar yang disepakati. Organisasi ini yang menjaga agar



2



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



profesi tetap melaksanakan fungsinya sesuai dengan status pengakuannya. Untuk menegakkan disiplin profesi, asosiasi harus dapat mengatur dirinya sendiri. Inilah ciri ketiga profesi yaitu otonomi. Dengan demikian profesi adalah pekerjaan yang diakui dan diterima masyarakat sebagai pekerjaan untuk kepentingan publik dengan tiga ciri, yaitu altruisme, kompetensi dan otonomi. Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap profesi, karena tugas Pemerintah melindungi kepentingan publik. Tingkat pengawasan Pemerintah terhadap profesi tergantung kepercayaan Pemerintah terhadap kemampuan organisasi profesi untuk mengawasi profesinya. Jika Pemerintah memercayai organisasi profesi dapat melaksanakan fungsinya maka pengawasan yang dilakukan Pemerintah minimal. Namun, jika profesi tidak dapat dipercaya oleh Pemerintah, maka organisasi profesi kehilangan otonomi. Pengawasan lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah. Karena itu, organisasi profesi harus menjaga agar profesi berjalan sesuai dengan yang diharapkan agar memiliki otonomi dan memperoleh kepercayaan dari publik.



1.2 Etika Dalam Profesi



A W S I S A E B



A C



Dalam melaksanakan fungsinya, profesi sering menghadapi dilema etika. Sebagai contoh, profesi advokat berfungsi antara lain untuk penegakan hukum berdasarkan keadilan. Namun, pengacara mendapat bayaran dari pihak yang bersalah yang membayarnya dengan harapan untuk memperoleh putusan bebas atau hukuman yang seringan-ringannya, yang mungkin berlawanan dengan prinsip keadilan. Demikian pula dengan profesi akuntan. Akuntan bertugas untuk mengaudit laporan keuangan untuk pemegang saham dengan pembayaran dari manajemen yang menyusun laporan keuangan yang diaudit. Sejak sekitar tahun 1980, profesi akuntan dianggap bertanggung jawab atas terjadinya krisis perekonomian yang dipicu skandal-skandal korporasi. Hal ini dapat dilihat antara lain dari Saving & Loan Crisis yang terjadi di Amerika Serikat di akhir tahun 1970an dan skandal Bank of Credit and Commerce International pada tahun 1990an, sampai dengan skandal manipulasi laporan keuangan korporasi Amerika Serikat yang dilakukan oleh Enron, WorldCom, Adelphia Communication dan banyak perusahaan lainnya. Kantor akuntan juga disibukkan dengan berbagai tuntutan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa ada permasalahan dalam profesi akuntan, mulai akuntan yang meninggalkan sifat altruisme dan mengejar keuntungan pribadi sampai ke lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh organisasi profesi.



H I A R E P



Banyak kantor akuntan yang selalu berupaya menjaga profesionalitas dengan meningkatkan kompetensi akuntannya dan mengembangkan sistem kerja yang mendorong keberhati-hatian. Namun upaya ini sebetulnya tidak mengatasi masalah hilangnya altruisme dalam profesi akuntan dan keberhati-hatian akuntan lebih didorong pada ketakutan menghadapi tuntutan hukum dan kehilangan reputasi (external control) daripada suatu tanggung jawab profesi (internal control). Etika profesi adalah sarana untuk praktisi profesi mengendalikan diri (internal control) agar tetap menjaga profesionalitasnya. Etika profesi paling tidak menjaga praktisi profesi agar selalu ingat profesi adalah untuk kepentingan publik dan selalu ingat dengan sifat altruisme yang melekat pada profesi. Dengan etika profesi maka praktisi profesi diharapkan melaksanakan tugas profesi berdasarkan kecintaan dan tanggung jawab profesi, bukan karena ketakutan tuntutan hukum ataupun karena kehilangan reputasi dan nama baik.



Ikatan Akuntan Indonesia



3



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



1.3 Lahirnya Profesi Akuntan



Kelahiran profesi akuntan dapat dikatakan dipicu oleh banyaknya kasus kebangkrutan di Inggris dan Skotlandia. Berdasarkan Bankruptcy Act 1831, perusahaan yang bangkrut ditangani oleh pegawai Pemerintah. Namun kebijakan ini dianggap terlalu mahal dan sebetulnya pihak yang berkepentingan adalah pemberi kredit. Maka diupayakan suatu perubahan atas Bankruptcy Act ini, dimana pengacara akan berperan lebih besar dibandingkan akuntan. Sebagai reaksi atas rencana perubahan Bankruptcy Act ini, di Skotlandia didirikan Society of Accountant in Edinburg dan Institute of Accountants in Glasgow pada tahun 1853. Setahun kemudian keberadaan Society of Accountant in Edinburg mendapat pengakuan dari Kerajaan (Royal Charter), dan pada tahun berikutnya Institute of Accountants in Glasgow menyusul mendapatkan Royal Charter.



A C



Pada tahun 1861 dikeluarkan Bankruptcy Act baru yang mengalihkan penanganan perusahaan bangkrut dari pegawai pemerintah ke pemberi kredit. Oleh pemberi kredit, penanganan perusahaan bangkrut didelegasikan ke pengacara dengan dibantu oleh akuntan. Namun UU ini tidak berlaku lama. Pada tahun 1869, dikeluarkan UU baru yang mengakui keberadaan profesi akuntan dalam penanganan perusahaan bangkrut, bersama dengan profesi pengacara.



A W S I S A E B



Dengan pengakuan atas profesi akuntan ini, maka beberapa akuntan ternama di Liverpool dengan dukungan dari pengacara mendirikan Incorporated Society of Liverpool pada tahun 1870. Tujuannya awalnya adalah untuk menyepakati pembagian kerja antara profesi pengacara dan akuntan dalam penanganan perusahaan bangkrut. Organisasi ini kemudian juga menjadi organ yang menyeleksi akuntan yang dianggap memiliki kualifikasi untuk melaksanakan tugas profesi dan memudahkan klien dalam memilih akuntan. Pendirian Incorporate Society of Liverpool, diikuti dengan pendirian Institute of Accountant in London (1870), Manchester Institute of Accountants (1871) dan Institute of Accountants in Sheffield (1877), yang semuanya berupaya mendapat kepercayaan masyarakat, sehingga jasanya digunakan, melalui seleksi keanggotaan berdasarkan kompetensi dan reputasi. Untuk mendapatkan kepercayaan ini mereka melakukan seleksi keanggotaan yang ketat, memiliki kantor yang bagus yang dilengkapi dengan perpustakaan yang lengkap, dan menerbitkan semacam majalah atau newsletter yang disebarkan ke anggota dan klien mengenai perkembangan pengetahuan yang mereka miliki.



H I A R E P



Tindakan Institute of Accountant in London yang membatasi keanggotaan organisasi berdasarkan kompetensi dan domisili menimbulkan reaksi dari akuntan-akuntan yang tidak memenuhi persyaratan. Mereka kemudian membentuk organisasi tandingan Society of Accountants in England pada tahun 1872. Untuk menarik anggota, mereka membuka keanggotaan yang lebih terbuka untuk seluruh wilayah Inggris sehingga jumlah anggota merekapun beragam baik dari segi kompetensi maupun domisili. Menanggapi berdirinya Society, pada tahun yang sama Institute of Accountant in London kemudian juga tidak membatasi domisili anggota. Sebagai konsekuensinya, mereka mengubah namanya menjadi Institute of Accountant. Pada tahun 1878, Institute of Accountant memutuskan untuk mengupayakan meningkatkan status mereka menjadi satu-satunya organisasi akuntan dengan mempersiapkan rancangan undang-undang yang terkait dengan hal tersebut. Hal ini menimbulkan kepanikan pada Society. Mereka segera memberikan tanggapan. Awalnya, pada bulan November 1878, mereka mengajukan usulan ke walikota London untuk menjadi semacam “sworn body of accountant”. Sebulan kemudian mereka mengajukan usulan ke Institute untuk melebur menjadi satu organisasi. Pada bulan Januari 1879, terjadi banyak perkembangan pada perkumpulan-perkumpulan akuntan tersebut. Institute menerima usulan Society dan kedua perkumpulan ini mulai melakukan pembicaraan. Society mengusulkan agar Institute dapat menerima keanggotaan dari akuntan yang bekerja di perusahaan. Namun Institute mempertahankan untuk membatasi keanggotaan dengan alasan ‘that the true interest



4



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



of the profession requires that eligibility for membership should be limited to persons whose business is that of public accountant’. Institute mempertahankan posisinya karena pada saat yang sama, perkumpulan akuntan lain, yaitu Liverpool Society, Manchester Institute, Sheffield Institute dan Accountants’ Incorporation Association juga mengusulkan untuk bergabung dengan Institute of Accountants. Akibat dari sikap Institute, pembicaraan mengenai penyatuan perkumpulan terhenti dan Society menarik dukungan atas rancangan UU yang diusulkan oleh Institute. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, beberapa anggota parlemen menyarankan kepada Institute untuk menarik rancangan UU yang diusulkan. Selain itu mereka menyarankan Institute agar mengupayakan Royal Charter. Pada pertengahan tahun 1879, usulan Royal Charter ditandatangani oleh ketua dari perkumpulanperkumpulan  Institute of Accountants, the Society of Accountants in England, the Manchester and Sheffield Institutes, the Liverpool Society. Mereka pada tahun 1880 memperoleh Royal Charter dengan nama baru Institute of Chartered Accountants in England & Wales (ICAEW) dan untuk selanjutnya menyebut anggotanya sebagai Chartered Accountant (CA).



A W S I S A E B



A C



Pada tahun 1883, Bankruptcy Act yang baru disahkan. UU ini menetapkan suatu jabatan baru dalam likuidasi perusahaan yang disebut Official Receiver yang sekaligus menghilangkan peran akuntan dalam likuidasi perusahaan. Perubahan Bankruptcy Act ini disebabkan karena sebelumnya ditemukan bahwa akuntan yang menjadi anggota tim likuidasi banyak yang tidak segera menyerahkan dana hasil likuidasi atas aset dari perusahaan yang bangkrut ke kreditor. Mereka malah menahan dana tersebut. Dengan adanya Bankruptcy Act yang baru ini maka akuntan kehilangan sumber pendapatan utamanya. Dan juga kepercayaan. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, ICAEW memutuskan untuk melakukan seleksi keanggotaan yang lebih ketat dengan membuat ujian masuk yang lebih sulit. Hal ini kemudian mendorong didirikannya Society of Accountants and Auditors yang anggotanya adalah orang-orang yang tidak lulus ujian kualifikasi ICAEW, dan terjadilah persaingan antara Society dengan Institute.



H I A R E P



Hubungan antara kedua organisasi ini menarik, karena dalam persaingan juga terdapat upaya untuk melakukan merjer. Pada tahun 1893, Society mengusulkan rancangan UU Public Accountant untuk memperkuat profesi yang isinya yang mengatur registrasi akuntan hanya dapat dilakukan oleh anggota Society dan ICAEW. Usulan ini ditanggapi oleh ICAEW dengan mengusulkan rancangan UU Akuntan Publik tandingan yang membatasi registrasi akuntan hanya dapat dilakukan oleh anggota ICAEW. Kedua rancangan UU ini ditolak. Namun, pada tahun 1897 ICAEW dan Society mencoba menyusun rancangan UU Chartered Accountant yang berisi penyatuan kedua organisasi ini. Namun rancangan ini tidak disetujui oleh Rapat Anggota kedua organisasi. Pada tahun 1900 disahkan Companies Act yang mewajibkan perseroan terbatas untuk membuat laporan keuangan yang diaudit. Namun UU ini tetap tidak mengatur akuntan yang berhak untuk melakukan audit. Pemilihan akuntan sepenuhnya melalui mekanisme pasar, dan untuk itu perkumpulan akuntan bersaing untuk memperoleh kepercayaan masyarakat agar anggotanya dipercaya sebagai auditor. Dengan adanya Companies Act ini, berbagai perkumpulan akuntan berdiri untuk memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh UU tersebut, antara lain London Association of Accountants pada tahun 1904 yang kemudian berkembang menjadi Association of Certified Accountant (ACA) pada tahun 1971, dan setelah mendapat Royal Charter pada tahun 1974, diubah menjadi Chartered Association of Certified Accountants (CACA) pada tahun 1984 dan kemudian menjadi Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) pada tahun 1996. Sementara itu, Society of Accountants and Auditors mengubah namanya menjadi Society of Incorporated Accountants and Auditors dan menyebut anggotanya dengan Incorporated Accountant.



Ikatan Akuntan Indonesia



5



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Pada tahun 1909 dikeluarkan Companies Act yang baru yang mewajibkan seluruh perusahaan untuk membuat laporan keuangan yang diaudit dan menetapkan peran akuntan sebagai auditor yang bertanggung jawab atas laporan kepada pemegang saham. Untuk menindaklanjuti Companies Act ini, dibuat rancangan UU yang mengatur registrasi praktisi akuntan di Inggris dan Wales, namun rancangan UU ini gagal karena tidak mengatur akuntan di Skotlandia dan Irlandia. Upaya ini diulang pada tahun 1911, namun tetap gagal. Pada tahun 1955 Society bergabung dengan Institute menjadikan Institute sebagai organisasi profesi terbesar di Inggris. ICAEW yang besar ini terdiri dari anggota-anggota dengan latar belakang yang berbeda. Sebagian anggota bekerja pada perusahaan, sebagian lagi bekerja pada kantor akuntan besar, dan sebagian pada kantor akuntan kecil. Hal ini menyebabkan timbulnya perbedaan kepentingan di antara anggota ICAEW. Karena itu, pada tahun 1968 ICAEW mengusulkan reformasi profesi akuntan melalui dua perubahan besar. Usulan pertama adalah merger dengan lima organisasi profesi akuntansi yang besar Institute of Chartered Accountants of Scotland (ICAS), Institute of Chartered Accountants in Ireland (ICAI), Association of Chartered Certified Accountants (ACCA), Chartered Institute of Public and Finance Accountants (CIPFA) dan Chartered Institute of Management Accountants (CIMA). Kedua, menyederhanakan jumlah kualifikasi menjadi dua, yaitu: the Chartered Accountant (kualifikasi tinggi) and the Licentiate Accountant (kualifikasi lebih rendah).



A W S I S A E B



A C



Usulan reformasi profesi akuntan tidak tercapai. Namun pada tahun 1974 keenam organisasi ini membentuk Consultative Committee of Accountancy Bodies (CCAB) yang bertujuan untuk perwakilan atas permasalahan bersama. Akuntan anggota organisasi anggota CCAB ini sering menyebut dirinya sebagai CCAB-qualified accountants. Baru pada tahun 1989, melalui Companies Act 1989 yang kemudian disempurnakan pada tahun 2006, terjadi pengaturan mengenai profesi akuntan publik, dimana akuntan yang dapat melakukan audit atas perseroan terbatas adalah akuntan yang menjadi anggota lima organisasi anggota CCAB atau anggota Association of International Accountants (AIA). Keenam organisasi ini disebut Recognised Qualifying Bodies (RQBs). Selain itu juga ada Recognised Supervisory Bodies (RSBs) dengan fungsi yang sama tapi anggota yang berbeda, yaitu 4 organisasi anggota CCAB (CIPFA tidak termasuk) dan Association of Authorized Public Accountant (APPA). Mengingat CIPFA sedang tidak aktif sebagai RQB dan APPA sudah menjadi bagian dari ACCA, maka sebetulnya organisasi profesi akuntan (publik) yang dominan sekarang ini di Inggris adalah ICAEW, ICAS, ICAI yang menyebut anggotanya sebagai Chartered Accountant, ACCA yang menyebut anggotanya Chartered Certified Accountant, dan AIA yang menyebut anggotanya sebagai International Accountant.



H I A R E P



1.4 Profesi Akuntan di Masyarakat



Pada periode 1870-1900 perekonomian Amerika Serikat mengalami banyak perubahan. Amerika mengalami ledakan penduduk, industrialisasi, persaingan kereta api, perpindahan penduduk dari desa ke kota, dan tumbuhnya kelas menengah. Situasi ini mengundang investasi dari perusahaan-perusahaan dari Inggris yang kemudian membuka pintu bagi akuntan-akuntan Skotlandia dan Inggris. Akuntan-akuntan ini melihat bahwa belum ada organisasi profesi sebagaimana yang mereka miliki di Inggris sehingga mereka kemudian mendirikan organisasi serupa. Organisasi profesi akuntan pertama di Amerika adalah Institute of Accountants yang didirikan pada tahun 1882. Keanggotaan terbuka untuk setiap akuntan yang lulus ujian masuk. Sedangkan fungsi dari organisasi adalah pendidikan akuntan. Setelah itu, beberapa organisasi berdiri, di antaranya American Association of Public Accountants (AAPA) pada tahun 1887 yang membatasi pada keanggotaannya hanya untuk akuntan publik. Pendiri Association adalah Chartered Accountant dari Inggris. Mereka mendirikan Association untuk memperoleh status sebagaimana yang mereka peroleh di Inggris. Institute tidak dapat mewakili status yang mereka harapkan karena keanggotaannya yang lebih terbuka untuk semua akuntan.



6



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Pada tahun 1895 dan 1896, Association dan Institute, secara individual dan kemudian bersama-sama mengajukan usulan untuk memperoleh pengakuan hukum dari Negara Bagian New York untuk dapat memberikan lisensi akuntan profesional yang memenuhi persyaratan pendidikan dan domisili. Usulan mereka ditolak. Keputusan dari Pemerintah Negara Bagian New York adalah akuntan profesional yang diakreditasi oleh negara, dimana akuntan yang telah memenuhi persyaratan ujian dan pelatihan, akan diberikan lisensi oleh Pemerintah Negara Bagian di mana akuntan bekerja. Dengan lisensi yang diberikan oleh Pemerintah akuntan berhak mendapat gelar akuntan publik bersertifikasi (certified public accountant). Sistem New York ini diadopsi oleh negara bagian lainnya dan pada setiap negara bagian didirikan organisasi profesi akuntan, yang disebut society, yang mengatur dan mengadministrasikan dari akuntan terpisah dengan organisasi yang berskala nasional seperti AAPA. Permasalahan yang kemudian timbul ketika itu adalah akuntan harus meyakinkan masyarakat bahwa mereka memiliki profesionalisme yang tinggi, terutama dalam hal pendidikan, pelatihan dan etika. Hal ini karena adanya kritik dari kalangan masyarakat mengenai standar akuntansi dan auditing dan keprihatinan di kalangan akuntan mengenai standar kelulusan yang berbeda di antara society di masing-masing negara bagian. Untuk mengatasi permasalahan ini pada tahun 1902 dibentuk Federation of Societies of Public Accountants. 3 tahun kemudian, organisasi ini kemudian merger dengan Association, dan kemudian mengubah namanya menjadi Institute of Certified Public Accountants in United States of America pada tahun 1916, dan setahun kemudian berubah menjadi American Institute of Accountants (AIA).



A W S I S A E B



A C



Pemimpin AIA mengarahkan organisasi seperti organisasi profesi di Inggris. Mereka berupaya untuk mendapatkan otonomi, menjadi organisasi yang dapat mendisiplinkan anggotanya. Masalahnya, anggota Institute juga terikat aturan yang berlaku di masing-masing negara bagian. Untuk mengatasi kesulitan untuk menguasai anggota secara penuh, Institute kemudian memperluas keanggotaan tidak terbatas pada akuntan publik bersertifikasi. Akuntan publik bersertifikasi berkeberatan atas kebijakan ini dan Institute menghadapi perpecahan. Akuntan publik bersertifikasi kemudian mendirikan organisasi tandingan, American Society of Certified Public Accountants (ASCPA), pada tahun 1921. Keanggotaannya terbatas pada akuntan publik bersertifikasi. Setelah perpecahan ini, lalu timbul upaya untuk menyatukan organisasi, terutama untuk kesamaan standar ujian. Pada tahun 1936, Institute dan Society merger menjadi American Institute of Public Accountants, yang kemudian menjadi American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) pada tahun 1957. Upaya untuk mendapatkan otonomi penuh tidak pernah tercapai, karena lisensi akuntan masih diberikan oleh Negara. Karena itu, berbeda dengan situasi di Inggris, hanya ada satu sebutan untuk akuntan yang dapat untuk melakukan audit, yaitu CPA.



H I A R E P



1.5 Profesi Akuntan di Indonesia



Lahirnya profesi akuntansi di Indonesia dipicu oleh pengakuan Pemerintah atas profesi akuntansi melalui Undang-Undang nomor 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar Akuntan (Accountant). Undang-Undang ini mengatur bahwa yang berhak memakai gelar akuntan adalah seseorang yang memiliki ijazah akuntan dari universitas negeri atau badan perguruan tinggi lain yang dibentuk oleh Undang-Undang atau diakui Pemerintah atau seseorang yang lulus dalam ujian lain yang dapat disamakan dengan ijazah universitas negeri. Undang-Undang ini juga mengatur pemakaian nama kantor akuntan, biro akuntan, dan nama lain yang menggunakan kata akuntan dan akuntansi hanya untuk kantor yang dipimpin oleh orang yang berhak menggunakan gelar akuntan.



Ikatan Akuntan Indonesia



7



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Undang-Undang ini dibuat untuk melindungi pengguna jasa akuntan karena sebelumnya banyak yang mengaku sebagai akuntan tanpa kualifikasi yang memadai dan untuk melindungi profesi akuntan sendiri karena banyak orang yang mengaku sebagai akuntan yang merangkap pekerjaan sebagai makelar, jual beli rumah dan sebagainya. Kata akuntan sendiri merupakan kata yang masih asing bagi masyarakat Indonesia. Kata ini sering rancu dengan kata contant yang berarti tunai sehingga akuntan dipersepsikan sebagai kasir. Akuntan juga sering disalah-artikan sebagai pengusaha angkutan. Undang-Undang ini semacam lisensi yang diberikan negara sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat. Bedanya, lisensi di Indonesia langsung diberikan kepada lulusan universitas negeri, sedangkan di Amerika lisensi diberikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh profesi. Universitas Indonesia membuka jurusan akuntansi sejak tahun ajaran 1952/1953 dan merupakan satusatunya universitas negeri yang menyelenggarakan pendidikan akuntansi di Indonesia sampai dengan tahun 1960 yaitu pada saat Sekolah Tinggi Keuangan Negara didirikan.



A C



Tahun 1957 untuk pertama kalinya Universitas Indonesia menghasilkan akuntan sebanyak empat orang, yaitu Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Joe, dan Go Tie Siem. Lulusan lokal ini tidak memenuhi persyaratan menjadi anggota organisasi profesi akuntan Belanda. Akibatnya, mereka tidak dapat menandatangani laporan. Maka lulusan baru ini didukung oleh dosennya yang bernama Sumardjo Tjitrowarsito merintis pendirian organisasi profesi akuntan di Indonesia. Mereka mengajak akuntan bangsa Indonesia lulusan Belanda, yaitu Sumardjo, Abutari, Tio Poo Tjiang, Tan Eng Oen, Teng Sioe Tjhan, Liem Koei Liang, dan The Tik Him. Ketujuh orang ini sebetulnya sudah menjadi anggota organisasi profesi akuntan Belanda, namun mereka mendukung rencana pendirian organisasi akuntan Indonesia ini. Pada 23 Desember 1957 tercapai kesepakatan untuk mendirikan organisasi profesi yang disebut sebagai Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang secara hukum memperoleh pengesahan hukum pada awal tahun 1959.



A W S I S A E B



Dalam perjalanannya, sampai awal tahun 1970an, profesi akuntansi tidak mengalami perkembangan, karena perekonomian nasional yang mengalami kesulitan sejak pemutusan hubungan dengan Belanda dan negaranegara Barat dan dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Selama lebih dari 10 tahun, hanya terdapat 12 kantor akuntan. Dengan terbukanya kembali investasi asing pada tahun 1967 dan untuk persiapan pembukaan kembali pasar modal, IAI diminta Pemerintah untuk menguatkan profesi dengan mengeluarkan Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI), Norma Pemeriksaan Akuntansi (NPA), dan Kode Etik Akuntan. Standar dan kode etik ini kemudian diperbarui dari tahun ke tahun.



H I A R E P



Namun, kedatangan investasi asing ini diikuti pula dengan kedatangan akuntan asing. Kehadiran akuntan asing ini menimbulkan ketegangan yang panjang selama bertahun-tahun, antara Pemerintah sebagai pemberi izin dan profesi akuntan. Pada tahun 1979, profesi akuntan mendapat kepercayaan dari Pemerintah untuk berperan dalam peningkatan pendapatan pajak. Melalui SK Menteri Keuangan tahun 1979 mengatur laporan keuangan wajib pajak yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian harus diterima oleh kantor pajak sebagai dasar perhitungan pajak, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Ketika itu, sistem perpajakan masih menganut Official Assessment Systems di mana perhitungan pajak dilakukan oleh Kantor Pajak. Kepercayaan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik oleh profesi. Banyak terjadi manipulasi laporan keuangan yang berdampak pada banyak akuntan publik yang dikenakan hukuman dan sampai dicabut izinnya. Kepercayaan ini akhirnya ditarik kembali oleh Departemen Keuangan, dan bahkan dibentuk Tim Pembina Akuntan Publik sebagai bentuk kekurangpercayaan Pemerintah terhadap kemampuan IAI untuk mengawasi anggotanya. Pada tahun 1990an, profesi akuntan semakin diakui perannya yang terlihat dari dimasukkannya persyaratan pembuatan Laporan Keuangan berdasarkan standar akuntansi yang disusun oleh IAI dan kewajiban untuk diaudit untuk perusahaan-perusahaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam berbagai Undang-



8



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



undang. Puncaknya terjadi pada akhir tahun 1990an. Untuk menghadapi liberalisasi pasar jasa akuntan, IAI diberdayakan dengan diberi kewenangan untuk pengujian dan pemberian sertifikasi akuntan (yang kemudian dikenal dengan USAP), pendidikan lanjutan (PPL), dan pembinaan terhadap anggota. USAP hanya dapat diikuti oleh Akuntan dan lulusan USAP berhak untuk menggunakan gelar Bersertifikat Akuntan Publik (BAP). Mengikuti tren yang terjadi di Amerika Serikat, pada tahun 2001 Departemen Keuangan mulai merintis pembuatan RUU Akuntan Publik yang pada dasarnya memberikan pengaturan yang lebih ketat terhadap akuntan publik, termasuk ancaman hukumannya. RUU ini mengalami penolakan dari profesi. Dengan penolakan ini, Departemen Keuangan memperhitungkan bahwa proses pengesahan RUU ini membutuhkan waktu yang lama sehingga mereka pada tahun 2002 mengeluarkan SK Menteri Keuangan yang isinya mengadopsi sebagian dari RUU. Hal yang signifikan dan berpengaruh terhadap kantor akuntan dari aturan baru ini adalah mengenai kewajiban untuk rotasi.



A C



Sementara itu, banyak perkembangan lain dalam organisasi IAI. Pada tahun 1977 didirikan Seksi Akuntan Publik, yang dikenal dengan sebutan IAI-SAP. Pendirian IAI-SAP ini merupakan aspirasi dari akuntan publik. Seorang aktivis senior IAI menyatakan: “Di seluruh dunia, akuntan publik diurus akuntan publik, akuntan publik yang memimpin organisasi profesi” (Tuanakotta, 2007).



A W S I S A E B



Pada tahun 1994 IAI-SAP berubah menjadi Kompartemen Akuntan Publik dengan pemberian otonomi dalam melakukan disiplin profesi. Pendirian Kompartemen Akuntan Publik ini diikuti oleh pendirian Kompartemen Akuntan Manajemen, Kompartemen Akuntan Pendidik, dan terakhir Kompartemen Akuntan Sektor Publik. Selanjutnya, pada tahun 2008, Kompartemen Akuntan Publik dan Kompartemen Akuntan Manajemen menjadi organisasi dengan badan hukum yang terpisah dari IAI dengan nama Insitut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan Insitut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI). IAPI dan IAMI sebagai asosiasi menjadi anggota dari IAI. Sementara itu, pada tahun 2014, IAI membentuk Kompartemen Akuntan Pajak.



H I A R E P



Selain itu, juga terjadi perkembangan dalam profesi akuntan. Pada tahun 1980, lulusan perguruan tinggi swasta berkesempatan untuk menjadi Akuntan dengan mengikuti Ujian Nasional Akuntan (UNA). Pada tahun 1998 sistem UNA dihapuskan dan Program Pendidikan Profesi Akuntan (PPAk) yang harus diikuti baik oleh lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk memperoleh sebutan Akuntan. Pada akhir periode 2000an, dengan desakan dari Lembaga Donor Internasional untuk meningkatkan kualitas corporate governance di Indonesia, Departemen Keuangan kembali memproses RUU Akuntan Publik. Pada tahun 2011, UU No 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik disahkan. UU membuka kesempatan yang lebih luas untuk menjadi akuntan publik. Tidak terbatas hanya Akuntan. Dengan demikian proses untuk mengikuti ujian sertifikasi menjadi lebih pendek. IAPI ditetapkan oleh Kementerian Keuangan sebagai Asosiasi Profesi Akuntan Publik. IAPI menamakan ujian sertifikasi sebagai CPA of Indonesia Exam dan pemegang sertifikat disebut Certified Public Accountant of Indonesia (CPA). Pada tahun 2014, Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan baru mengenai Akuntan Register Negara melalui Peraturan Menteri Keuangan No 25/PMK.01/2014. Akuntan Register Negara merupakan sebutan dari Akuntan yang dikenal sebelumnya sesuai dengan UU No 34 tahun 1954. Perbedaannya adalah jika sebelumnya untuk memperoleh sebutan akuntan harus mengikuti Program Pendidikan Profesi Akuntan, dengan aturan yang sekarang, untuk menjadi Akuntan Register Negara dapat melalui ujian sertifikasi akuntan profesional. Seorang akuntan register negara dapat mendirikan Kantor Jasa Akuntansi. Kantor Jasa Akuntansi dapat memberikan jasa akuntansi seperti jasa pembukuan, jasa kompilasi laporan keuangan, jasa manajemen akuntansi manajemen, konsultasi manajemen, jasa perpajakan, jasa prosedur yang disepakati atas informasi keuangan, dan jasa sistem teknologi informasi. Kantor Jasa Akuntansi dilarang memberikan jasa asurans.



Ikatan Akuntan Indonesia



9



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



REFERENSI 1. Duska, Ronald, Duska, Brendan S and Julie Ragatz, (2011), Accounting Ethics, Second Edition, John Willey & Sons, Chapter 4 2. Kartikahadi, Hans (2010), Pelangi di Cakrawala Profesi Akuntan, Sebuah Memoar, PT Buana Ilmu Populer 3. Lee, Tom, (1995) The professionalization of accountancy. A history of protecting the public interest in a self-interested way, Accounting, Auditing & Accountability Journal, 8,4, 48-69 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 25/PMK.01/2014 Tentang Akuntan Register Negara 5. Tuanakotta, Theodorus M. (2007), Setengah Abad Profesi Akuntan, Penerbit Salemba Empat 6. Undang-Undang No. 34 Tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan 7. Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik 8. Walker, Stephen P., (2004), The Genesis of Professional Organization in English Accountancy, Accounting, Organization and Society, 29, 127-156. 9. Willmott, Hugh, (1986), Organising the profession: a Theoretical and Historical Examination of the Development of the Major Accountancy Bodies in the UK, Accounting, Organization and Society, 11, 6, 555-580.



H I A R E P



10



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab II W S I S TEORI ETIKA DAN A E PENGAMBILAN B KEPUTUSAN BERETIKAIH A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



11



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB II



TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERETIKA 2.1 Etika dan Moral Terdapat beberapa definisi mengenai etika. Brooks dan Dunn (2012) menggunakan definisi dari Encyclopedia of Philosophy, yang melihat etika dari tiga definisi, yaitu: 1. Pola umum atau cara pandang kehidupan 2. Sekumpulan aturan perilaku atau kode moral 3. Pertanyaan mengenai cara pandang kehidupan dan aturan prilaku



A C



Definisi pertama terkait dengan etika agama, definisi kedua terkait dengan etika profesional dan perilaku tidak beretika. Sedangkan definisi ketiga berhubungan dengan cabang filsafat. Etika profesi akuntansi tentunya berhubungan dengan definisi kedua.



A W S I S A E B



Selanjutnya, jika definisi kedua dikaji lebih lanjut, maka menurut Encyclopedia of Philosophy, aturan perilaku atau kode moral ini memiliki empat karakteristik, yaitu: 1. 2. 3. 4.



Keyakinan tentang sifat manusia Keyakinan tentang cita-cita, tentang sesuatu yang baik atau berharga untuk dikejar atau dicapai Aturan mengenai apa yang harus dikerjakan dan tidak dikerjakan Motif yang mendorong kita untuk memilih tindakan yang benar atau yang salah.



Keempat karakteristik ini yang menjadi perhatian dari teori-teori etika. Teori-teori ini sebetulnya berakar pada filsafat etika, yang mana setiap teori masih dipertanyakan kelemahan dan kekurangannya. Namun dengan mengaitkannya dengan keempat karakteristik ini diharapkan akan membantu pemahaman mengenai etika sebagai sekumpulan aturan perilaku atau kode moral.



H I A R E P



Seluruh teori pada dasarnya membahas apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Namun masingmasing teori memiliki penekanan yang berbeda. Misalnya, utilitarianisme menekankan pentingnya aturan untuk mengejar apa yang baik atau diinginkan, sementara itu deontology lebih menekankan pada motif pengambilan keputusan beretika. Etika virtue cenderung untuk melihat secara lebih utuh sifat kemanusiaan manusia. Menurut Brooks dan Dunn (2012) terdapat tiga dasar mengapa manusia melakukan tindakan beretika, yaitu agama, hubungan dengan pihak lain dan persepsi tentang diri sendiri. Agama pada dasarnya sudah mengatur atau memberi petunjuk mengenai seluruh tindakan manusia di dunia, yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Dasar yang kedua adalah hubungan dengan pihak lain. Manusia minimal tidak merugikan pihak lain dan yang terbaik adalah memberikan manfaat kepada orang lain. Penjabaran hubungan dengan pihak lain yang cukup populer belakangan ini adalah compassionate (berbelas-kasih dengan sesama). Bentuk lainnya seperti kasih sayang, cinta, simpati, dan lain-lain. Dasar yang ketiga adalah persepsi tentang diri sendiri. Manusia melakukan tindakan beretika untuk kepentingan diri sendiri (self interest). Dasar ketiga ini berdasarkan asumsi bahwa manusia sebetulnya memiliki sifat mementingkan diri sendiri. Manusia berupaya melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi dirinya sendiri. Brooks dan Dunn (2012) membedakan antara mementingkan diri sendiri dengan egois. Egois adalah melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi diri sendiri dengan tidak memerdulikan apakah tindakan tersebut merugikan pihak lain atau tidak. Sedangkan mementingkan diri sendiri adalah melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi diri sendiri dengan tidak merugikan pihak lain.



12



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



2.2 Enlightened Self Interest sebagai Etika



Paling tidak ada dua filsuf yang memberikan argumentasi bahwa enlightened self interest merupakan dasar untuk tindakan beretika. Mereka adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan Adam Smith (1723-1790). Mereka memiliki keyakinan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat self interest. Sifat ini bukan ditiadakan tapi justru dimanfaatkan untuk kebaikan. Dengan melakukan tindakan untuk kepentingan diri sendiri maka akan tercipta suatu kemanfaatan bagi orang banyak. Menurut Thomas Hobbes, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Manusia juga memiliki orientasi jangka pendek. Untuk mempertahankan kehidupannya, manusia berupaya untuk menguasai sumber daya untuk kehidupannya dengan segala cara. Jika semua manusia melakukan tindakan yang sama maka akan terjadi konflik dan peperangan untuk merebut sumber daya tersebut, dan pada akhirnya yang terjadi adalah kekacauan dan anarki karena kehidupan manusia akan dipenuhi dengan perebutan sumber daya dan pemusnahan sesama. Sebaliknya, dengan berdamai maka kehidupan akan lebih baik dalam jangka yang lebih panjang, lebih aman dan lebih pasti. Namun untuk menciptakan perdamaian, setiap orang harus menerima aturan yang membatasi kebebasan individual. Manusia tidak lagi mengejar tujuan pribadi mereka jika tujuan tersebut memberikan dampak negatif bagi orang lain.



A W S I S A E B



A C



Dari perspektif Hobbes, masyarakat madani dapat dilihat sebagai kontrak sukarela antara individu di mana setiap orang mengorbankan hak dan kebebasan individu mereka untuk mendapatkan perdamaian dan mempertahankan kehidupannya. Masyarakat yang secara sukarela membatasi kebebasannya untuk mendapatkan harmoni sosial. Masyarakat ini disebut masyarakat Leviathan, sesuai dengan judul buku Hobbes yang berisi konsepnya mengenai masyarakat. Bagi Hobbes, self-interest mendorong terciptanya kerjasama dan terbentuknya masyarakat madani. Pemikiran yang sama datang dari Adam Smith. Menurutnya self-interest mendorong terciptanya kerjasama ekonomi. Pembeli dan penjual sama-sama memiliki kepentingan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka secara individual. Pembeli ingin memperoleh kepuasan yang sebesar-besarnya dari pembelian mereka, sedangkan penjual ingin memperoleh laba yang sebesar-besarnya dari penjualan mereka. Dalam pasar sempurna, pembeli dan penjual bernegosiasi sehingga tercapai ekuilibrium, yang disebut Smith sebagai natural price. Harga yang terlalu tinggi menyebabkan pembeli tidak mau membeli, sebaliknya harga yang terlalu rendah menyebabkan penjual tidak mau menjual. Inilah yang disebut pasar bebas, dimana pembeli dan penjual bebas tanpa paksaan untuk masuk dan keluar pasar. Persaingan dalam pasar bebas mendorong harga di mana barang yang tersedia terjual pada harga di mana pembeli bersedia membayar untuk barang tersebut dan penjual bersedia menjualnya.



H I A R E P



Laba diperoleh ketika barang dan jasa dihasilkan secara efisien dan efektif yang dicapai melalui spesialisasi atau yang dikenal dengan division of labor. Untuk memenangkan persaingan dan meningkatkan laba, maka produsen didorong untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas melalui spesialisasi dan kerjasama. Pembeli akan memperoleh barang dan jasa yang lebih baik dan atau lebih murah sehingga kepuasan mereka meningkat sementara penjual memperoleh laba yang lebih besar. Pada akhirnya tercipta masyarakat yang lebih baik. Individu yang self-interest secara tidak sengaja (atau tidak langsung) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Mereka sebetulnya tidak bermaksud meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, dengan memproduksi barang dan jasa yang terbaik untuk memperoleh keuntungan. Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bukan merupakan tujuan dari produsen disebabkan oleh apa yang disebut dengan invisible hand. Ada beberapa hal mengenai konsep ekonomi dari Adam Smith. Pertama, ekonomi adalah kegiatan kerjasama sosial. Perusahaan menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bisnis adalah kegiatan sosial dan masyarakat berjalan dalam prinsip-prinsip etika. Kedua, pasar adalah kompetitif, bukan konflik.



Ikatan Akuntan Indonesia



13



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Perdagangan tergantung kepada tata cara yang adil, menghormati kontrak dan janji, dan kerjasama yang saling menguntungkan. Persaingan sehat akan menghasilkan barang dan jasa dengan kualitas terbaik dengan harga termurah. Persaingan mendorong perusahaan untuk beroperasi seefisien dan efektif mungkin, untuk memaksimumkan keuntungan jangka panjang. Ketiga, etika membatasi perilaku oportunistik. Etika akan mengawasi egoisme dan kerakusan yang tidak terkendali. Manusia akan mengikuti prinsip-prinsip etika untuk kebaikan bagi masyarakat, dan untuk kebaikan bagi ekonomi.



2.3 Teori Etika Teleologi: Utilitarianisme dan Impact Analysis



A C



Teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang berarti akhir, konsekuensi atau hasil. Jadi teori teleologi mempelajari perilaku etika yang terkait dengan hasil atau konsekuensi dari keputusan-keputusan beretika, Teleologi dikembangkan oleh filsuf-filsuf aliran empiris dari Inggris, seperti John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), James Mill (1773-1836) dan John Stuart Mill (1806-1873).



A W S I S A E B



Menurut teori teleologi, suatu keputusan etika yang benar atau salah tergantung apakah keputusan tersebut memberikan hasil yang positif atau negatif. Sebuah keputusan yang secara etika benar memberikan hasil yang positif, sedangkan keputusan yang secara etika salah adalah keputusan dengan hasil negatif. Kualitas etika dari pengambil keputusan dan keputusannya ditentukan berdasarkan hasil dari keputusan tersebut. Jika keputusan memberikan hasil yang positif, seperti membantu seseorang sehingga berhasil mencapai yang dicita-citakan, maka keputusan tersebut secara etika benar. Hasil positif lainnya antara lain kebahagiaan, kenikmatan, kesehatan, kecantikan, dan pengetahuan. Sedangkan hasil keputusan yang negatif seperti ketidakbahagiaan, penderitaan, sakit, terlihat buruk, dan ketidakpedulian. Penjabaran mengenai teori teleologi ada pada utilitarianisme. Utilitarianisme mendefinisikan baik atau buruk dalam bentuk konsekuensi kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain). Tindakan yang beretika adalah tindakan yang menghasilkan kesenangan atau rasa senang yang paling banyak atau rasa sakit yang paling sedikit. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa tujuan hidup adalah untuk bahagia dan segala sesuatu yang mendorong kebahagiaan secara etika baik.



H I A R E P



Mill berargumentasi bahwa kesenangan dan kesakitan memiliki aspek kualitatif dan kuantitatif. Bentham bahkan mengembangkan model kalkulus kesenangan dan kesakitan berdasarkan beberapa aspek seperti intensitas, durasi, kepastian, dan lain-lain. Menurut Mill, kesenangan dan kesakitan memiliki kualitas yang berbeda-beda. Bisa terjadi untuk mencapai suatu kesenangan yang lebih besar di masa depan seseorang bersedia untuk mengalami kesakitan pada saat ini. Utilitarianisme berbeda dengan hedonisme. Hedonisme pada individu yang mengejar kesenangan individual. Sedangkan utilitarianisme melihat kesenangan pada tingkat masyarakat. Kesenangan dari pengambil keputusan dan pihak lain yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut harus diperhatikan, namun bobot terbesar bukan kesenangan untuk pengambil keputusan. Terdapat dua aliran dari utilitarianisme, yaitu utilitarianisme tindakan dan utilitarianisme aturan. Pada aliran utilitarianisme tindakan, atau lebih dikenal sebagai consequentialisme, tindakan yang secara etika baik atau benar jika tindakan tersebut akan menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan. Sedangkan utilitarianisme, aturan menyarankan agar manusia mengikuti aturan yang akan menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan, dan menghindari aturan yang menghasilkan kebalikannya. Prasyarat untuk dapat melakukan tindakan yang secara etika baik atau benar adalah bahwa selisih antara kesenangan dan kesakitan dapat dihitung. Dan setiap pengambil keputusan harus melakukan kalkulasi, sebagaimana proses pengambilan keputusan rasional.



14



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Sedangkan utilitarianisme aturan relatif lebih sederhana. Aliran ini memahami bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan, manusia sering menggunakan aturan atau prinsip-prinsip. Jadi prinsip umum untuk utilitarianisme aturan adalah ikuti aturan yang cenderung dapat memberikan selisih terbesar antara kesenangan dan kesakitan kepada jumlah orang yang terbanyak yang mungkin terpengaruh oleh keputusan ini. Orientasi kepada konsekuen atau hasil menyebabkan banyak yang salah mengartikan utilitarianisme dengan prinsip politik, tujuan menghalalkan cara. Misalnya untuk ketertiban dan keindahan kota dilakukan penggusuran secara paksa terhadap perkampungan tertentu atau pembakaran terhadap bangunan liar. Prinsip politik bukan merupakan teori etika karena salah mengasumsikan cara dan hasil merupakan hal yang ekuivalen secara etika dan mengasumsikan hanya satu cara untuk mencapai hasil tertentu. Misalnya ada dua orang eksekutif yang melakukan manipulasi laporan keuangan, namun dengan tujuan yang berbeda. Eksekutif pertama melakukannya untuk memperoleh bonus, sedangkan eksekutif kedua melakukannya untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.Walaupun eksekutif kedua memiliki tujuan yang lebih mulia, namun ia menggunakan cara yang salah. Tidak ada pembenaran (rasionalisasi) untuk pemilihan cara yang salah. Secara etika, eksekutif kedua harus mengupayakan cara lain untuk menyelamatkan perusahaan.



A W S I S A E B



A C



Utilitiarianisme memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah belum ada satu ukuran untuk kesenangan dan kebahagiaan. Kedua adalah permasalahan dalam distribusi dan intensitas kebahagiaan. Misalnya mana yang lebih baik antara memberi beasiswa kuliah ke luar negeri untuk dua orang mahasiswa atau memberikan beasiswa kuliah di dalam negeri untuk 20 (dua puluh) orang mahasiswa. Mahasiswa yang kuliah di luar negeri akan memperoleh intensitas kebahagiaan yang lebih tinggi, namun pemberian beasiswa dalam negeri membahagiakan lebih banyak orang. Permasalahan ketiga adalah menyangkup cakupan. Siapa yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan beretika? Misalnya dalam keputusan eksploitasi sumber daya alam. Apakah hanya memperhatikan kebahagiaan generasi sekarang (eksploitasi sebesar-besarnya) atau termasuk generasi di masa mendatang (eksploitasi secara terbatas).



H I A R E P



Permasalahan keempat adalah kepentingan minoritas yang terabaikan akibat keinginan untuk memenuhi kebahagiaan lebih banyak orang (mayoritas). Kelima, utilitarianisme mengabaikan motivasi dan hanya berfokus pada konsekuensi, sebagaimana yang terjadi pada kasus dua eksekutif yang melakukan manipulasi laporan keuangan. Permasalahan motivasi ini yang ingin dipecahkan melalui teori deontologi. Etika Deontologi: Motivasi untuk berperilaku Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti tugas atau kewajiban. Deontologi terkait dengan tugas dan tanggung jawab etika seseorang. Deontologi mengevaluasi perilaku beretika berdasarkan motivasi dari pengambil keputusan. Menurut teori deontologi, suatu tindakan dapat saja secara etika benar walaupun tidak menghasilkan selisih positif antara kebaikan dan keburukan untuk pengambil keputusan atau masyarakat secara keseluruhan. Immanuel Kant (1724-1804) merupakan tokoh utama dalam teori deontologi ini. Bagi Kant, suatu kebaikan yang tidak terbantahkan adalah niat baik, niat untuk mengikuti apapun yang menjadi alasan untuk melakukan tindakan tersebut tanpa mempedulikan konsekuensi dari tindakan tersebut terhadap diri sendiri. Menurut Kant seluruh konsep moral diturunkan lebih berasal dari pemikiran daripada dari pengalaman. Niat baik terwujud jika tindakan dilakukan semata-mata untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, dimana di dalam tugas dan kewajiban terdapat kesadaran dan ketaatan terhadap hukum dan aturan. Hal ini diwujudkan dengan pernyataan: “dalam situasi seperti ini saya harus melakukan hal ini dan tidak boleh melakukan hal itu”. Dorongan untuk melaksanakan suatu tugas unik untuk setiap orang. Hal ini yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya di dunia. Mereka bertindak sesuai dengan hukum alam, sedangkan manusia bertindak berdasarkan gagasan mengenai aturan (misalnya sesuai dengan prinsip-prinsip yang rasional).



Ikatan Akuntan Indonesia



15



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Bagi Kant, tugas adalah standar di mana perilaku beretika dievaluasi. Moral ada jika orang bertindak berdasarkan tugas yang dirasakannya. Kita bertindak benar jika kita mengikuti tugas dan kewajiban etika, bukan karena tindakan tersebut menghasilkan hasil yang baik atau karena tindakan tersebut akan meningkatkan kesenangan dan kebahagiaan kita. Semata-mata hanya untuk melaksanakan tugas. Motivasi untuk melaksanakan tugas yang memberikan nilai moral kepada satu tindakan. Tindakan lainnya dapat bermotif kepentingan sendiri ataupun kepentingan orang lain. Jika kita melayani pelanggan dengan tulus agar mereka datang kembali, maka kita bertindak lebih untuk kepentingan sendiri daripada melaksanakan tugas. Melayani pelanggan dengan ketulusan tersebut mungkin akan mengundang pujian dan kekaguman, tapi tidak memiliki nilai moral. Kant mengembangkan dua “hukum” untuk menilai tindakan yang beretika. Pertama adalah categorical imperative. Ini, menurutnya, merupakan prinsip utama dari moralitas. Hukum ini menuntut kita untuk bertindak dengan mempertimbangkan bahwa orang lain yang berada dalam situasi yang sama akan melakukan tindakan yang sama. Hukum ini disebut imperative karena harus ditaati dan disebut categorical karena tidak bersyarat dan absolut.



A W S I S A E B



A C



Terdapat dua aspek dalam hukum categorical imperative ini. Pertama, Kant mengasumsikan bahwa hukum mengandung kewajiban. Hukum etika mengandung kewajiban etika. Tindakan beretika adalah tindakan yang harus dilakukan berdasarkan hukum etika. Pengambilan keputusan dan perilaku beretika dapat dijelaskan melalui hukum etika yang harus ditaati. Kedua, suatu tindakan yang beretika dengan benar jika dan hanya jika tindakan tersebut konsisten secara universal. Artinya, tindakan tersebut dapat diikuti oleh siapa saja yang dalam situasi yang sama walaupun kita dirugikan oleh tindakan tersebut oleh orang lain yang mengikut dan mentaati tindakan kita. Kita tidak mungkin melakukan pengecualian untuk diri kita. Kant menggunakan contoh menyederai janji. Jika kita ingin menyederai janji maka kita membuat hukum yang dapat diikuti oleh orang lain. Jika semua orang melakukannya maka kita akan dirugikan juga atas orang-orang yang menyederai janjinya kepada kita. Karena tidak masuk akal untuk membuat aturan bahwa setiap orang harus menjaga janjinya, kecuali kita (yang boleh menyederai janji yang kita buat). Kita tidak mungkin meminta setiap orang untuk jujur terhadap kita, sementara kita boleh berbohong terhadap mereka.



H I A R E P



Hukum Kant yang kedua adalah Practical Imperative dalam berhubungan dengan pihak lain. Setiap orang harus kita perlakukan sama, sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Jika kita menjadikan diri kita sebagai tujuan, demikian pula kita menjadikan orang lain sebagai tujuan bagi dirinya. Kita dapat memanfaatkan orang lain sepanjang orang tersebut juga menjadi bagian dari tujuan kita. Sebagai contoh, kantor akuntan dapat memanfaatkan tenaga kerja yang lebih murah dari mahasiswa magang, sehingga memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kantor akuntan tersebut bertindak tidak beretika jika memanfaatkan mahasiswa magang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Mahasiswa magang secara etika tidak sekedar menjadi alat untuk meningkatkan efisiensi tapi juga memperoleh tambahan kemampuan sebagaimana yang mereka harapkan dari program magang, termasuk kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai diri mereka. Setiap orang berhak untuk mengejar tujuan hidup mereka sepanjang tidak melanggar practical imperative. Memperlakukan orang lain sebagai tujuan berarti mengakui bahwa kita semua merupakan bagian dari masyarakat. Kita harus bertindak positif untuk mencapai tujuan kita, namun kita memiliki tugas atau kewajiban untuk menolong orang lain mencapai tujuannya. Sebagaimana teori etika lainnya, teori deontologi juga dianggap memiliki kelemahan. Kelemahan pertama adalah categorical imperative tidak memberikan pedoman yang jelas untuk memutuskan apa yang benar dan salah ketika dua hukum moral bertentangan dan hanya satu yang dapat diikuti. Hukum moral yang bagaimana yang harus dipilih? Berbeda dengan utilitarianisme yang dapat mengevaluasi tindakan melalui konsekuensinya, teori dentologi tindak menganggap konsekuensi relevan. Hal yang terpenting bagi teori



16



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



deontologi adalah niat dari pengambil keputusan dan ketaatan pengambil keputusan terhadap categorical imperative. Justice and Fairness – Memeriksa Keseimbangan Filsuf Inggris David Hume (1711-1776) meyakini bahwa kebutuhan keadilan muncul karena dua alasan. Pertama bahwa manusia tidak selalu bersifat baik dan penolong, dan kedua adalah masalah kelangkaan sumber daya. Sebagaimana filsuf empiris lainnya, Hume percaya bahwa masyarakat dibentuk sikap yang mementingkan diri sendiri. Namun, manusia tidak dapat menghidupi diri sendiri sehingga harus bekerjasama dengan orang lain untuk dapat bertahan dan meningkatkan kesejahteraan. Di lain pihak, dengan keterbatasan sumber daya dan kemungkinan adanya seseorang yang memperoleh manfaat lebih dengan pengorbanan orang lain, maka timbul kebutuhan mekanisme alokasi manfaat dan beban secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Hume berargumentasi justice sebagai mekanisme. Justice adalah proses pemberian atau alokasi sumber daya dan beban berdasarkan alasan rasional. Ada dua aspek dari justice, yaitu procedural justice (proses penentuan alokasi) dan distributive justice (alokasi yang dilakukan).



A W S I S A E B



A C



Procedural justice berkepentingan dengan bagaimana justice diadministrasikan. Aspek utama dari suatu sistem hukum yang adil adalah prosedur yang adil dan transparan. Artinya setiap orang diperlakukan sama dan aturan diterapkan tanpa membedakan. Penerapan hukum harus konsisten di dalam wilayah hukum kapanpun terjadi. Keadilan juga dapat dinilai berdasarkan fakta. Artinya informasi yang digunakan untuk menilai sebuah tuntutan harus relevan, dapat dipercaya dan mudah diperoleh. Selain itu ada kesempatan untuk mengajukan banding. Pihak yang kalah dapat meminta otoritas yang lebih tinggi untuk melakukan review sehingga kemungkinan kesalahan dapat dikoreksi. Baik penilaian terhadap informasi yang digunakan maupun kemampuan untuk banding tergantung tingkat transparansi dari proses. Distributive Justice



H I A R E P



Aristoteles (384-322 SM) dikenal sebagai orang pertama yang berargumentasi bahwa kesamaan harus diperlakukan secara sama sedangkan ketidaksamaan harus diperlakukan secara tidak sama sesuai dengan proporsi perbedaan yang terjadi. Anggapan bahwa semua orang sama tidak selalu benar. Terdapat dua hal yang terkait dengan perbedaan antara masing-masing orang. Pertama adalah pembuktian bahwa ada ketidaksamaan antara masing-masing orang. Untuk itu, perlu digunakan kriteria-kriteria yang relevan sesuai dengan kebutuhan situasi. Kedua adalah bagaimana melakukan suatu distributive justice, melakukan alokasi yang adil berdasarkan ketidaksamaan. Paling tidak terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan alokasi, yaitu berdasarkan kebutuhan, aritmatika kesamaan, dan merit. Sistem perpajakan cenderung menggunakan kritera kebutuhan, di mana anggota masyarakat yang beruntung secara ekonomi membayar pajak untuk didistribusikan kepada anggota masyarakat yang kurang beruntung. Kriteria kedua adalah aritmatika kesamaan. Sebagai contoh, untuk menjamin distribusi yang sama dalam pembagian kue, maka orang yang bertugas memotong kue mendapatkan potongan yang terakhir. Kriteria ketiga adalah berdasarkan merit. Seorang yang memberikan kontribusi lebih atas suatu pekerjaan akan mendapatkan alokasi yang lebih besar. Persepsi merupakan hal yang penting dalam distributive justice dan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Banyak orang yang merasa kurang adil untuk membayar pajak yang lebih besar karena merasa apa yang diperolehnya merupakan hasil kerja keras. Apalagi kemudian mereka merasa uang pajak tersebut didistribusikan kepada orang-orang yang bukan tidak beruntung, tetapi karena malas.



Ikatan Akuntan Indonesia



17



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Dengan ketidaksempurnaan pada kriteria yang digunakan, dapat terjadi alokasi yang tidak adil pada distributive justice. Seorang filsuf Amerika, John Rawls (1921-2002) mengembangkan sebuah argumentasi justice as fairness. Ia mengembangkan Theory of Justice berdasarkan asumsi self-interest dan self-reliance. Tidak ada orang yang dapat memperoleh semua yang diinginkan karena orang lain akan mencegah orang tersebut untuk memperoleh keinginannya karena mereka juga menginginkannya. Karena itu dibutuhkan kerjasama agar semuanya mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya. Masyarakat dapat dilihat sebagai suatu pengaturan kerjasama untuk kepentingan bersama, dimana diusahakan untuk menyeimbangkan konflik kepentingan dengan mengidentifikasikan kepentingan yang dapat dipenuhi, sehingga dapat tercipta kehidupan yang lebih baik bagi setiap orang. Permasalahannya adalah sifat manusia menginginkan proporsi manfaat yang lebih besar dengan proporsi beban yang lebih kecil menciptakan konflik mengenai bagaimana alokasi manfaat dan beban masyarakat harus dialokasikan.Untuk itu Rawls mengusulkan principles of justice, suatu prinsip untuk alokasi yang adil antar anggota masyarakat. Prinsip ini menetapkan hak dan tugas dari anggota masyarakat dan menetapkan suatu pembagian masyarakat berdasarkan kelebihannya secara sosial.



A C



Rawls mencoba membuat suatu pertanyaan hipotetikal, prinsip keadilan apa yang akan dipilih oleh anggota masyarakat yang bebas dan rasional dalam situasi ketidaktahuan (veil of ignorance). Pada situasi ini, orangorang yang bertugas untuk menetapkan prinsip tidak mengetahui sebelumnya posisi mereka (kelas, sosial, ekonomi, politik, gender, etnik, dan lain-lain) di dalam masyarakat, barang-barang primer (hak, kekuasaan, kesempatan, dan lain-lain) yang dimiliki dan kondisi fisik mereka (kesehatan, kecerdasan, dan lain-lain). Menurut Rawls, situasi ini adalah situasi di mana masing-masing pihak sama-sama terwakili sebagai orang yang bermoral dan hasil kesepakatan tidak tergantung pada pertimbangan-pertimbangan berbagai kemungkinan yang tidak pasti atau keseimbangan antar berbagai kekuatan sosial. Justice as fairness artinya adalah apapun prinsip-prinsip yang disepakati pada tahap awal ini akan dianggap adil untuk semua pihak, karena kalau tidak dirasakan adil maka tidak terjadi kesepakatan.



A W S I S A E B



Rawls yakin bahwa dalam tahap awal hipotetikal ini orang akan sepakat pada dua prinsip, yaitu harus ada kesamaan dalam pembagian hak-hak dasar dan tanggung jawab, dan jika terjadi ketidaksamaan (kesenjangan) sosial dan ekonomi, maka manfaat harus diberikan kepada masyarakat anggota masyarakat yang paling tidak beruntung (difference principle) dan akses untuk ketidaksamaan (perbedaan) harus terbuka untuk siapa saja (fair equality of opportunity).



H I A R E P



Difference principles memahami bahwa secara alamiah terjadi perbedaan antar manusia. Ada manusia yang dilahirkan di daerah yang kaya kekayaan alam, ada yang dilahirkan dari keluarga kaya dan terhormat, dan ada yang lahir dengan bakat-bakat tertentu. Jadi sejak lahir manusia sudah dalam kondisi yang berbeda dan tidak adil. Namun, akan tercipta keadilan jika manusia-manusia yang lahir dalam kelebihan menggunakan kelebihannya tidak hanya untuk kepentingannya tapi juga untuk kepentingan dari orang-orang yang dalam kekurangan. Dengan prinsip justice as fairness apa yang disebut benar dan adil adalah setiap orang memperoleh kemanfaatan dari situasi ketidaksamaan (perbedaan) sosial dan ekonomi. Virtue Ethics Virtue ethics berasal dari pemikiran Aristoteles yang mencoba membuat konsep mengenai kehidupan yang baik. Menurutnya, tujuan kehidupan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan versi Aristoteles adalah kegiatan jiwa, bukan kegiatan fisik sebagaimana konsep kebahagiaan hedonisme, Kita akan mencapai kebahagiaan dengan kehidupan yang penuh kebajikan, kehidupan yang mengikuti alasan. Virtue adalah karakter jiwa yang terwujud dalam tindakan-tindakan sukarela (yaitu tindakan yang dipilih secara sadar dan sengaja). Kita akan menjadi orang baik jika secara teratur melakukan tindakan kebajikan. Tapi, selain itu, menurut Aristoteles, dibutuhkan pula pendidikan etika untuk mengetahui tindakan-tindakan yang baik.



18



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Virtue ethics berfokus kepada karakter moral dari pengambil keputusan, bukan konsekuensi dari keputusan (utilitarianisme) atau motivasi dari pengambil keputusan (deontologi). Teori ini mengambil pendekatan yang lebih holistik untuk memahami perilaku beretika dari manusia. Teori ini menerima bahwa banyak aspek dari kepribadian kita. Setiap dari kita memiliki keragaman karakter yang berkembang sejalan dengan kematangan emosional dan etika. Setelah terbentuk, ciri-ciri karakter akan stabil. Dengan berfokus pada manusia secara utuh, teori ini terhindar dari dikotomi yang salah antara utilitarianisme dan deontologi. Keunggulan dari virtue ethics adalah teori ini mengambil pandangan yang lebih luas dalam memahami pengambil keputusan yang memiliki beragam ciri-ciri karakter. Dua permasalahan utama dari virtue ethics, menurut Brooks dan Dunn (2012) adalah menentukan virtues apa yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan jabatan dan tugasnya, dan bagaimana virtues ditunjukkan di tempat kerja.



A C



Sebuah virtue yang menjadi kunci dalam bisnis adalah integritas, yang meliputi kejujuran dan ketulusan. Untuk sebuah perusahaan artinya konsisten dengan prinsip-prinsip perusahaan. Permasalahan dari virtue ethics adalah sulit untuk membuat daftar yang lengkap mengenai virtue dan ada kemungkinan virtue tergantung kepada situasi tertentu.



2.4 Pengambilan Keputusan Beretika



A W S I S A E B



Brooks dan Dunn (2012) mencoba untuk menyatukan teori-teori etika dalam penjelasan pengambilan keputusan beretika. Permasalahannya adalah sebetulnya tidak mudah membuat suatu penyatuan dari teoriteori tersebut. Theory of justice terbatas dalam konteks kontrak sosial di dalam masyarakat. Sedangkan teori virtue ethics sebetulnya lebih berfokus pada karakter dari pengambil keputusan, bukan proses pengambilan keputusan itu sendiri. Mendalami teori-teori etika di atas sebetulnya sudah memberikan wawasan bagi pengambil keputusan tanpa harus menggunakan pedoman pengambilan keputusan. Namun bagi beberapa pengambil keputusan lebih menyukai pedoman praktis daripada harus mendalami teori-teori yang filosofis.



H I A R E P



Berikut ini adalah beberapa pedoman yang dapat digunakan pengambilan keputusan beretika: Sniff Tests & Common Rules of Thumb – Preliminary Tests of the Ethicality of a Decision Sniff test merupakan semacam preliminary test yang dapat dilakukan dengan cepat sekedar untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil telah melalui beberapa test etika. Berikut ini sniff test yang biasanya digunakan: • • • • •



Apakah saya nyaman jika tindakan atau keputusan ini muncul besok pagi di halaman pertama surat kabar nasional? Apakah saya bangga dengan keputusan ini? Apakah ibu saya bangga dengan keputusan yang saya ambil? Apakah keputusan ini sesuai dengan misi dan kode etik perusahaan? Apakah saya nyaman dengan keputusan ini?



Sebagaimana dapat dilihat di atas, sniff test tidak berhubungan langsung dengan teori-teori etika yang telah dibahas sebelumnya.



Ikatan Akuntan Indonesia



19



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Selain itu, banyak eksekutif menggunakan semacam rule of thumb dalam proses pengambilan keputusan beretika, sebagaimana contoh di bawah ini: Golden rule



Jangan perlakukan orang lain yang kamu tidak ingin mereka lakukan terhadapmu



Disclosure rule



Jika anda nyaman dengan tindakan dan keputusan yang akan diambil setelah menanyakan pada diri sendiri, apakah anda tidak berkeberatan jika rekan kerja, teman, dan keluarga anda mengetahui hal ini



Intuition ethics



Lakukan apa yang “kata hati” anda katakan



Categorical imperative



Anda dapat menerapkan prinsip ini jika secara konsisten juga dapat diterapkan oleh orang lain



Professional ethics



Lakukan hanya yang dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan kepada Komite, jika diminta



Prinsip utilitarian



Lakukan yang terbaik (paling bermanfaat) bagi sebanyak mungkin orang



Prinsip virtue



Lakukan apa yang dapat menggambarkan virtue yang diharapkan



Stakeholder Impact Analysis



A W S I S A E B



A C



Sesuai dengan judulnya, maka stakeholder impact analysis merupakan penerapan teori utilitarianisme dalam keputusan bisnis. Kelebihan dari stakeholder impact analysis ini adalah memberikan kerangka analisis mengenai pihak-pihak yang kemungkinan terkena pengaruh dari keputusan yang diambil. Tahapan dalam stakeholder impact analysis adalah sebagai berikut: 1. Analisis kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan 2. Hitung dampak yang dapat dikuantifikasi a. Laba. b. Dampak yang tidak tercakup dalam laba namun dapat diukur langsung. Biasanya ini adalah biaya eksternalitas, misalnya biaya kerusakan lingkungan akibat tidak dilakukan pengolahan limbah. Atau biaya kemacetan lalu lintas dengan bertambahnya jumlah kendaraan. c. Dampak yang tidak tercakup dalam laba dan tidak dapat diukur langsung. Misalnya biaya pengobatan dari penyakit yang mungkin terjadi akibat polusi yang dilakukan perusahaan. Atau biaya sosial akibat pengurangan pegawai. d. Hitung net present value dari selisih present value dari benefit dikurangi present value dari biaya akibat tindakan yang sedang dipertimbangkan akan dilakukan. e. Hitung risk benefit analysis. f. Identifikasi pemangku kepentingan yang berpotensi terkena pengaruh dari keputusan dan buat peringkat. 3. Lakukan penilaian terhadap dampak yang tidak dapat dikuantifikasi. a. Keadilan dan kesetaraan antar pemangku kepentingan. b. Hak-hak dari pemangku kepentingan.



H I A R E P



2.5 Kasus Ford Pinto Berikut ini adalah tambahan data atas kasus Ford Pinto. Tujuannya adalah memberi gambaran bahwa tidak mudah bahkan bagi orang yang memiliki prinsip yang kuat untuk tidak terpengaruh oleh nilai-nilai yang berlaku di organisasi tempat ia bekerja, terlebih sebagai pegawai baru dan merupakan bagian kecil dari organisasi.



20



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Setelah menyelesaikan pendidikan MBA di tahun 1972, Dennis A Gioia diterima bekerja di perusahaan impiannya, yaitu Ford Motor Company. Sebagai generasi yang tumbuh di tahun 1960an, ia aktif terlibat dalam demonstrasi anti perang Vietnam dan berbagai gerakan protes lainnya. Ia tumbuh menjadi orang yang sangat berprinsip. dan siap untuk mengubah dunia. Keputusannya untuk bekerja di Ford bertujuan untuk mengubah Ford dari dalam agar menjadi perusahaan yang tidak hanya memikirkan laba semata. Tak lama kemudian, Gioia terbenam dalam keasyikan bekerja, menaklukkan satu tantangan ke tantangan lain, berlomba dengan pegawai baru lainnya untuk mendapat pengakuan sebagai “bintang yang cemerlang”. Ia pun dengan cepat dipromosikan menjadi Field Recall Coordinator yang mengumpulkan informasi terkait dengan kemungkinan terjadinya masalah pada kendaraan dan memberikan rekomendasi untuk menarik kembali mobil-mobil yang sudah terjual. Jabatan ini penting karena keputusannya dapat mempengaruhi keselamatan orang banyak.



A C



Awalnya Gioia sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia mempertimbangkan banyak aspek, yang sampai membuatnya susah tidur. Namun, dengan berjalannya waktu, ia semakin terampil dalam pengambilan keputusan, dengan menyederhanakan kriteria, hanya memperhatikan beberapa faktor kunci. Kebetulan ketika itu perusahaan menghadapi tekanan persaingan dari Jepang yang mengakibatkan penurunan produksi yang signifikan dan pengurangan pekerja. Dengan demikian pertimbangan kelangsungan hidup perusahaan menjadi dominan, termasuk ketika ia merekomendasikan Ford Pinto, salah satu dari sedikit andalan perusahaan, tidak perlu ditarik kembali. Padahal telah jatuh beberapa korban yang terbakar karena adanya kesalahan dalam disain dan penekanan biaya produksi. Kasus Ford Pinto menjadi suatu kontroversi. Ford dituduh mengorbankan keselamatan penumpang atas nama efisiensi. Gioia, setelah keluar dari perusahaan, mengakui keputusannya merupakan keputusan yang tidak etis. Namun semasa ia bekerja di perusahaan ia tidak memiliki sedikit keraguan. Paket sistem, organisasi, lingkungan kerja, dan budaya perusahaan berhasil mengubah Gioia menjadi orang yang sebetulnya tidak disukainya, tanpa disadarinya.



H I A R E P



A W S I S A E B



Ikatan Akuntan Indonesia



21



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi 1. Brooks, Leonard J. and Paul Dunn (2012). Business & Professional Ethics for Directors, Executives and Accountants. South-Western College Publishing, 6th edition, Chapter 3 dan 4 2. Gioia, Dennis A (1992), Pinto fires and personal ethics: A script analysis of missed opportunities, Journal of Business Ethics, 11 (5-6), 379-389



H I A R E P



22



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab III W S I S LINGKUNGAN ETIKA DAN A AKUNTANSI BE H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



23



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



LINGKUNGAN ETIKA DAN AKUNTANSI



Bab III



3.1 Praktik Bisnis Tidak Beretika Adam Smith percaya bahwa peran bisnis melalui pasar persaingan bebas akan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera. Perusahaan berlomba-lomba menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dengan lebih murah dan lebih baik. Dengan persaingan dan motif untuk mendapatkan keuntungan maka akan terjadi proses produksi barang dan jasa yang lebih baik. Sebagian besar produk-produk kemajuan peradaban dunia merupakan produk yang dihasilkan oleh bisnis.



A C



Namun harapan Adam Smith tidak sepenuhnya terwujud, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat yang diakui sebagai negara yang konsisten menerapkan kebijakan persaingan bebas dan mendorong peran bisnis dalam perekonomian. Pada tahun 1920an, banyak perusahaan yang melakukan manipulasi laporan keuangan yang kemudian mendorong optimisme yang berlebihan dari pasar modal dan berakhir dengan kepanikan, market crash, dan depresi ekonomi yang berkepanjangan. Namun keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II menyebabkan perekonomian membaik sehingga banyak yang melupakan perilaku perusahaan yang tidak beretika di masa lalu.



A W S I S A E B



Baru pada tahun 1970an, bisnis kembali menjadi sorotan. Para eksekutif, yang mendapatkan remunerasinya berdasarkan ukuran perusahaan, berupaya untuk terus meningkatkan pendapatannya dengan tindakantindakan yang merugikan pihak lain. Untuk menekan biaya dan harga, mereka membuat produk yang membahayakan konsumen, seperti yang terjadi pada Ford Pinto. Mereka juga melakukan merjer dan akuisisi yang menyebabkan perusahaan menjadi besar dan tidak efisien sehingga merugikan pemegang saham. Selain itu, juga terjadi skandal penyuapan di luar negeri untuk mendapatkan kontrak yang dilakukan Lockheed, sebuah perusahaan yang mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah akibat kesulitan keuangan dan keterlibatan perusahaan dalam penggulingan pemerintah Argentina yang mengancam untuk melakukan nasionalisasi perusahaan tersebut.



H I A R E P



Pada tahun 1990an investor institusional mulai terlibat dalam pengendalian perusahaan. Mereka antara lain mengubah sistem remunerasi eksekutif yang sebelumnya berbasis ukuran menjadi berbasis kinerja, yang kemudian menjadi kompensasi berbasis ekuitas dalam bentuk stock option. Stock option ini menjadi instrumen yang ampuh untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang saham. Eksekutif terdorong untuk menunjukkan kinerjanya yang mengesankan pasar, sehingga harga saham perusahaan terus mengalami kenaikan dan mereka memperoleh keuntungan dari kenaikan harga saham tersebut. Pertumbuhan dan laba merupakan dua kriteria kinerja yang paling populer digunakan. Dua kriteria ini harus dipenuhi oleh setiap perusahaan dengan kinerja yang mengalahkan estimasi analis sehingga harga saham perusahaan akan terus meningkat. Angka pertumbuhan perusahaan yang lebih tinggi dibandingkan pesaing mencerminkan kemenangan dan keunggulan daya saing perusahaan. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi, perusahaan akan menjadi lebih besar sehingga lebih mudah menarik pembeli, dan lebih memiliki posisi tawar untuk menekan pemasok, penyandang dana, dan sumberdaya manusia dibandingkan perusahaan pesaing yang lebih kecil. Permasalahannya adalah bisnis tidak dapat mengharapkan pertumbuhan dengan melayani kebutuhan manusia saja, karena kebutuhan manusia terbatas. Sementara itu persaingan semakin ketat karena jumlah perusahaan bertambah dengan pemain-pemain baru. Perusahaan kemudian mencoba mencari celah untuk pertumbuhan dengan berbagai cara.



24



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Cara pertama adalah melalui penciptaan keinginan manusia, karena keinginan manusia tidak terbatas dan dapat diupayakan untuk selalu muncul keinginan baru. Perusahaan berlomba-lomba menciptakan produkproduk baru yang pada akhirnya menimbulkan keinginan-keinginan baru di dalam masyarakat. Selain bersaing dalam produk baru, perusahaan juga harus bersaing untuk menjadi yang pertama di pasar dan bersaing untuk merebut konsumen pertama. Hal ini berdampak negatif ketika perusahaan rokok memperebutkan anak-anak belasan tahun untuk menjadi konsumen pertama mereka dan akibat persaingan ini semakin lama anak-anak yang diperebutkan semakin muda (kecil). Sebelum dilarang, mereka membuat iklan dan acara-acara musik yang ditujukan untuk anak-anak yang relatif muda. Perusahaan berusaha menciptakan keinginan melalui iklan dan promosi yang mengakibatkan masyarakat seakan dikepung dan dibombardir oleh iklan dan promosi, mulai dari koran dan majalah, radio dan televisi, papan reklame, film, pembicaraan dan penampilan selebriti, teman dan tetangga, rancangan toko-toko, SMS dan email, dan lain-lain.



A C



Perusahaan mengupayakan terjaminnya pembelian yang berkelanjutan melalui planned obsolescence. Planned obsolescence merupakan strategi bisnis di mana keusangan produk, baik karena dianggap ketinggalan jaman atau tidak dapat digunakan, direncanakan dan dibangun sejak produk tersebut masih dalam konsep. Termasuk dalam strategi ini adalah mempercepat perputaran kepemilikan barang dengan memperpendek masa manfaat barang dan merancang barang agar tidak dapat diperbaiki.



A W S I S A E B



Untuk membantu konsumen memuaskan keinginannya, bisnis berlomba-lomba menyediakan pembiayaan, dalam bentuk kartu kredit ataupun kredit-kredit konsumsi lainnya. Akibatnya terjadilah apa fenomena yang dikhawatirkan oleh kutipan yang populer ini: “We buy things we don’t need with money we don’t have”. Selain melalui iklan dan promosi, perusahaan juga mendorong konsumerisme melalui conspicuous consumption, konsumsi dengan tujuan utama untuk memamerkan kekayaan dan status sosial, dan invidious consumption, konsumsi yang diniatkan untuk menimbulkan rasa cemburu (envy). Conspicuous consumption menyebabkan seseorang diterima dalam kelompok elite atau kelompok terkaya di dalam masyarakat. Sementara itu invidious consumption berlangsung secara berkelanjutan karena di antara anggota kelompok elite ini terjadi juga perlombaan, untuk membuat cemburu satu sama lain.



H I A R E P



Kedua jenis konsumsi ini menimbulkan masalah ekonomi dan sosial. Bagi yang sudah termasuk dalam kelompok elite, terjadi perlombaan untuk memperoleh pendapatan tertinggi diantara anggota kelompok dengan cara apapun, sebagaimana yang terjadi pada Wall Street. Sedangkan bagi yang belum memenuhi prasyarat untuk menjadi anggota kelompok, terjadi kecemburuan sosial yang diungkapkan dalam bentuk korupsi bagi yang memiliki kesempatan dan kekerasan dalam masyarakat bagi yang frustasi tidak memiliki kesempatan. Keinginan yang tak pernah terpuaskan membuat orang untuk terus dan semakin sering berbelanja. Kebiasaan berbelanja berkembang menjadi kesenangan, dan bahkan ketagihan. Kegiatan belanja menjadi sebuah kebutuhan gaya hidup dan ritual yang memberikan kepuasan spiritual. Pusat-pusat belanja semakin banyak, semakin besar, semakin nyaman, dan semakin lengkap dengan berbagai fasilitas hiburan yang menjadikannya tujuan rekreasi keluarga, dimana secara tidak sadar, anak-anak mulai diperkenalkan dan dibiasakan untuk menikmati kegiatan berbelanja. Permasalahannya adalah barang yang dibelanjakan tidak atau jarang digunakan, mulai dari baju, sepatu, buku, sampai ke peralatan olahraga, mobil dan rumah. Pada masyarakat Amerika, 99% barang belanjaan dibuang ke tempat sampah dalam tempo 6 bulan dan hanya 1% yang benar-benar dimanfaatkan. Sementara, pada masyarakat Australia, lemari dan rumah semakin besar karena mereka lebih suka menyimpan daripada membuang barang belanjaan yang tidak digunakan tersebut. Hal yang jarang terpikirkan adalah produksi suatu barang membutuhkan sumber daya alam yang besar. Maka dari itu suatu ironi di tengah situasi



Ikatan Akuntan Indonesia



25



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



sumber daya alam yang semakin terbatas, banyak orang yang menyia-nyiakan barang yang dimilikinya karena sebetulnya tidak dibutuhkannya. Dalam persaingan, perusahaan berupaya mempertahankan pelanggannya menciptakan pasar baru dan merebut pelanggan pesaing. Walaupun persaingan bertujuan agar konsumen menjadi penguasa tertinggi, namun melalui persaingan perusahaan berupaya untuk untuk menguasai pasar dan pada akhirnya mendapatkan kekuasaan monopoli. Untuk memperoleh kekuasaan, perusahaan berupaya mematikan atau mengakuisisi pesaing-pesaingnya. Larry Ellison, pendiri Oracle dan salah seorang legenda bisnis Amerika, menyukai kutipan dari Genghis Khan: “It’s not sufficient I succeed. Everyone else must fail.” Secara tradisional, arena utama persaingan adalah harga, walaupun bukan berarti perusahaan harus berlomba-lomba untuk memberikan harga terendah. Perusahaan membutuhkan keleluasaan untuk mengelola harga. Untuk itu efisiensi dan produktivitas merupakan kunci keunggulan. Sumber daya manusia sering merupakan objek utama dalam peningkatan efisiensi dan produktivitas. Berbagai upaya dilakukan dalam mengelola buruh, mulai dari spesialisasi dan division of labour, sampai bentuk-bentuk time and motion study, membagi kegiatan sekecil-kecilnya agar dapat dikerjakan lebih mudah, lebih cepat dan lebih tepat. Upaya ini dikritik sebagai penekanan buruh untuk bekerja seperti mesin.



A W S I S A E B



A C



Selanjutnya dikembangkan berbagai cara untuk meningkatkan efisiensi, seperti dengan cost reduction program, downsizing, lean and mean organization, activity based management dan cost management systems, sampai dalam bentuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin dan teknologi informasi. Selain itu juga dilakukan outsourcing, menyerahkan beberapa kegiatan atau fungsi kepada pihak lain di luar perusahaan yang dapat melaksanakannya dengan lebih efisien. Dalam era globalisasi sekarang ini outsourcing diberikan kepada negara-negara di mana tenaga kerja melimpah dan infrastruktur hukum masih terbatas, sehingga upahnya jauh lebih murah dan tidak memiliki daya tawar terhadap perusahaan yang mempekerjakannya. Bahkan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruh di bawah umur untuk mengejar biaya yang lebih rendah. Untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas, pertumbuhan bukan berarti penambahan lapangan pekerjaan di negaranya. Untuk mengejar pertumbuhan perusahaan bahkan mengurangi kesempatan kerja.



H I A R E P



Selain itu perusahaan juga melakukan externalizing cost, yaitu membebankan biaya pada para pemangku kepentingan, termasuk pembebanan biaya kepada konsumen (misalnya biaya kesehatan dan keselamatan konsumen, biaya pelayanan konsumen), kepada pekerja (misalnya biaya kesehatan dan keselamatan pekerja, biaya pesangon), kepada pemerintah dan masyarakat di sekitarnya (misalnya biaya pengelolaan limbah), kepada pemerintah dan masyarakat negara lain (misalnya biaya pembuangan limbah industri), dan lainlain. Mengejar pertumbuhan yang berlebihan malah menimbulkan biaya bagi konsumen, pemerintah dan masyarakat. Perusahaan bersaing tidak hanya dalam harga. tetapi juga di berbagai kegiatan perusahaan, seperti inovasi dan pengembangan produk baru, kecepatan masuk ke pasar, kemasan produk, promosi, lokasi outlet dan penempatan pasar swalayan, customer service, after sales service, dan lain-lain. Untuk memenangkan persaingan perusahaan tidak sekedar berupaya lebih efisien, lebih produktif, lebih cepat, lebih berkualitas dan lebih baik, tapi juga mendahului, menyalip, menghambat, menghalang-halangi, mencegah, dan mengalihkan perhatian pesaing untuk dapat lebih efisien, lebih produktif, lebih cepat, lebih berkualitas dan lebih baik. Persaingan berubah menjadi peperangan. Banyak terjadi peperangan di dalam bisnis, seperti perang harga, talent war, browser war (Netscape vs Microsoft), patent war (Apple vs Samsung), cola wars (Coca Cola vs Pepsi Cola). Pengelolaan bisnispun bagaikan pengelolaan perang. Untuk menjaga perusahaan selalu berada dalam situasi siaga, banyak yang menginstalasi war room untuk melakukan simulasi perang. Para eksekutif mengangkat dirinya sebagai Panglima Perang. Penggunaan istilah-istilah militer seperti strategi dan taktik



26



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



menjadi kata-kata yang hidup di dalam perusahaan. Mereka belajar ilmu perang dari filsuf dan pemikir perang, seperti Sun Tzu dan Carl von Clausewitz. Penyusunan rencana tahunan perusahaan dapat menjadi semacam rencana penyerangan dan bahkan rencana “pembunuhan”. Perusahaan yang menghadapi tekanan persaingan atau perusahaan yang belum puas dengan pertumbuhan yang telah dicapai mencari mesin pertumbuhan lainnya. Mereka melihat peluang pertumbuhan melalui strategi merjer dan akuisisi. Sayangnya sebagian besar merjer dan akuisisi mengalami kegagalan. Kenaikan nilai perusahaan yang diharapkan tidak tercapai. Bahkan lebih baik bagi mereka untuk tidak melakukan merjer dan akuisisi. Walaupun banyak merjer dan akuisisi yang mengalami kegagalan, tapi banyak pula perusahaan yang masih tetap melakukannya. Sebagian karena berhasil diyakinkan oleh konsultan dan investment banker mengenai potensi peningkatan nilai yang besar karena nilai perusahaan yang menjadi target murah dan waktunya tepat. Perhitungan di atas kertas mengenai potensi keuntungan yang besar menyebabkan banyak eksekutif yang secara tidak sadar menurunkan risiko kegagalan dan mengabaikan data-data yang tidak mendukung. Sedangkan sebagian lainnya dalam kondisi tertekan, dimana merjer dan akuisisi dibutuhkan untuk memberikan harapan dan menciptakan semangat baru untuk melepaskan diri dari tekanan persaingan.



A W S I S A E B



A C



Pilihan strategi pertumbuhan lainnya melalui pengembangan atau investasi pada instrumen investasi derivatif. Investasi ini diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat. Namun, sebagaimana yang digambarkan dalam film Inside Job dan juga dialami oleh Olympus, investasi ini dapat menimbulkan kerugian yang begitu besar yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan, bahkan mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan.



3.2 Skandal Korporasi



Skandal korporasi di Amerika dapat ditelusuri pada tahun 1920an di saat perekonomian mengalami kemakmuran. Pasar modal yang sedang booming pada saat itu, ternyata ditopang oleh aksi spekulasi dari investor dan manipulasi laporan keuangan oleh emiten, yang pada akhirnya terjadi market crash dan depresi ekonomi. Salah satu perusahaan pelaku manipulasi laporan keuangan yang terkenal adalah McKesson & Robbins yang kasusnya terungkap pada akhir tahun 1930an. Setelah itu, dunia usaha di Amerika Serikat menjadi saksi berbagai skandal korporasi yang terjadi sejak tahun 1970an, setelah masa-masa keemasan perekonomian Amerika setelah Perang Dunia II berakhir.



H I A R E P



Skandal Suap



Skandal penyuapan Lockheed terungkap pada tahun 1975, ketika sebuah sub-committee di Senat berhasil menemukan serangkaian suap senilai $22 juta yang dilakukan oleh Lockheed Aircraft Corporation kepada pejabat tinggi di berbagai negara, antara lain kepada Pangeran Benhard dari Belanda antara tahun 1961 dan 1972, pendiri LDP (Liberal Democratic Party) Yoshio Kodama dan perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang, anggota parlemen dari Jerman Barat, dan politikus Partai Kristen Demokrat di Italia. Padahal sebelumnya Lockheed mengalami masalah keuangan dan nyaris bangkrut pada tahun 1971 jika tidak secara kontroversial diselamatkan oleh Pemerintah dengan memberikan jaminan atas pinjaman sebesar $250 juta. Akibat dari skandal Lockheed ini, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan Foreign Corrupt Practices Act pada tahun 1977 yang melarang perusahaan Amerika untuk terlibat dalam kegiatan korupsi di luar negeri.



Ikatan Akuntan Indonesia



27



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Skandal Insider Trading Setelah terjadinya skandal suap, pada akhir tahun 1980an, terjadi skandal insider trading dari tiga serangkai Dennis Levine, Ivan Boesky, dan Michael Milken serta investment bank Drexel Burnham Lambert. Terungkapnya skandal ini berawal dari ditangkapnya Dennis Levine, managing director dari Drexel Burnham Lambert pada Maret 1986. Levine mengaku bersalah dan membayar denda sebesar $12,6 juta. Pengakuan Levine menyeret Ivan Boesky, seorang arbitrageur yang terkenal dengan keberhasilannya memperoleh $200 juta dari pengambilalihan The Beverly Hills Hotel setelah kematian mertuanya yang telah menjalankan perusahaan tersebut selama 25 tahun. Boesky juga mengaku bersalah dan membayar denda yang sangat besar kepada SEC sebesar $100 juta. Setahun sebelumnya, Boesky mendapat kehormatan memberikan pidato pada acara wisuda School of Business Administration at the University of California, Berkeley. Dipidatonya ia menyampaikan bahwa “Greed is all right, by the way. I want you to know that. I think greed is healthy. You can be greedy and still feel good about yourself.” Majalah Newsweek mengomentari pidato tersebut: “The strangest thing, when we come to look back, will be not just that Ivan Boesky could say that at a business-chool graduation, but that it was greeted with laughter and applause”. Pidato Boesky digunakan oleh Oliver Stone pada film Wall Street, yang kemudian menjadi kalimat terkenal “greed is good”.



A W S I S A E B



A C



Setelah pengakuan Levine dan Boesky, sepanjang tahun 1987 dan 1988, SEC dan Kejaksaan New York Selatan terus mengejar Drexel Burnham Lambert dengan menggunakan Racketeer Influenced and Corrupt Organization Act (RICO) yang sebetulnya untuk menuntut kejahatan terorganisir. Akhirnya pada Desember 1988, Drexel menyerah dan mengaku bersalah. Mereka membayar denda sebesar $650 juta. Dalam proses penuntutan, terungkap kecurangan yang dilakukan oleh Michael Milken. Milken adalah tokoh Wall Street yang dikenal sebagai pencipta junk bond, suatu surat berharga yang memberikan hasil dan risiko yang tinggi karena untuk membiayai hostile take over dan usaha kecil menengah. Milken mengaku bersalah. Ia dihukum 10 tahun penjara dengan denda sebesar $600 juta. Skandal Manipulasi Laporan Keuangan Korporasi Amerika



Sepanjang tahun 1990, pasar modal Amerika Serikat kembali mengalami masa keemasan dengan semakin banyaknya dana dari investor institusi yang menanam modalnya ke perusahaan yang tercatat pada pasar modal. Namun, seperti yang terjadi pada tahun 1920an, pasar modal ini ternyata ditopang oleh manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh banyak korporasi Amerika. Kasus ini baru terbongkar pada awal periode 2000an dengan Enron sebagai skandal yang terbesar.



H I A R E P



Enron awalnya merupakan perusahaan yang mempesona. Dalam tempo sepuluh tahun pendapatan Enron meningkat hampir 20 kali lipat dari $5,5 milyar menjadi $100,8 milyar dan dalam 10 tahun, antara tahun 1991-2000, dengan puncak tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999-2000, dari $40,1 milyar menjadi $100,8 milyar. Mereka mengklaim keberhasilannya bersumber dari inovasi yang mereka lakukan, terutama inovasi model bisnis. Jeffrey Skilling, CEO Enron, yang merupakan alumni dari Harvard Business School dan McKinsey menjadi idola para mahasiswa sekolah bisnis dan Enron menjadi pilihan tempat kerja utama bagi alumni sekolah bisnis. Belakangan terbongkar bahwa pertumbuhan Enron lebih didukung oleh pemanfaatan celah dalam perlakuan akuntansi yang menggelembungkan pendapatan dan menyembunyikan hutang. Namun akhirnya Enron terjebak oleh pertumbuhan semu yang diciptakan. Hanya dalam tempo satu setengah bulan setelah pengungkapan kerugian, Enron mengalami kebangkrutan bersama dengan Kantor Akuntan Publik terbesar di dunia Arthur Andersen. Dan sepanjang awal tahun 2000an, terungkap berbagai skandal akuntansi yang dilakukan oleh corporate America, termasuk Xerox, Adelphia, AOL, Bristol-Myers Squibb, Freddie Mac, Kmart, Sunbeam, Tyco International dan WorldCom. Akibat dari skandal korporasi Amerika ini, pemerintah Amerika mengeluarkan Sarbanes–Oxley Act yang mengatur lebih lengkap profesi akuntan dan tanggung jawab eksekutif atas laporan keuangan perusahaan.



28



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Skandal Industri Keuangan Tidak sampai 10 tahun setelah skandal manipulasi laporan keuangan korporasi Amerika, dunia usaha Amerika harus menghadapi skandal yang lebih besar lagi yang membawa perekonomian global mengalami krisis. Skandal kali ini dilakukan oleh industri keuangan melalui dua kegiatan yang sangat spekulatif dan merugikan, yaitu predatory lending dan pengembangan produk Credit Default Swap (CDS). Predatory lending adalah pemberian kredit kepada orang-orang yang sebetulnya tidak memiliki akses kredit karena kurang memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Kredit ini yang dikenal dengan subprime mortgage. Penyaluran subprime mortgage ini memberikan keuntungan yang lebih besar dengan membebankan bunga yang lebih tinggi, sementara itu risiko kredit dialihkan melalui sarana sekuritisasi asset melalui produk derivatif yang disebut Collateralized Debt Obligations (CDO). Semakin tinggi risiko kegagalan semakin disukai karena tingkat bunga dapat dibebankan semakin tinggi. Untuk itu lembagalembaga kredit ini bahkan melakukan rekayasa untuk membuat kreditor yang tidak layak tetap dapat memperoleh kredit.



A C



Credit Default Swap (CDS) adalah produk yang dikembangkan oleh AIG, perusahaan asuransi terbesar di dunia, untuk melindungi pemilik CDO dari risiko kegagalan kredit. Sebagai produk derivatif, AIG dapat menjual produk juga kepada bukan pemilik CDO. Walaupun tidak memiliki CDO dan tidak mengalami kerugian atas kegagalan CDO, para pembeli CDS ini akan memperoleh ganti rugi jika terjadi kegagalan pembayaran CDO. Dengan demikian, kerugian yang dihadapi oleh orang lain akan merupakan keuntungan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak terjadi kegagalan CDO, maka mereka akan kehilangan uangnya. Mereka seakan-akan berjudi atas risiko yang dihadapi orang lain.



A W S I S A E B



AIG tidak melakukan “reasuransi” atas CDS yang dikeluarkan karena CDS bukan produk asuransi. AIG menggunakan dana hasil penjualan CDS untuk membayar bonus yang besar kepada pegawainya yang berhasil menjual CDS. Dengan demikian, sebetulnya AIG menghadapi risiko puluhan, ratusan atau ribuan kali risiko asuransi, tergantung dari jumlah pembeli CDS, dan tidak ada alokasi dana untuk membayar kerugian yang mungkin terjadi. Mereka mengandalkan penjualan CDS tahun berikutnya yang diharapkan semakin besar dan pada akhirnya menciptakan semacam ponzi scheme.



H I A R E P



Lebih jauh lagi, Goldman Sachs dan investment bank lainnya menjual produk CDO yang memiliki risiko kegagalan yang tinggi dan membeli produk CDS untung memperoleh keuntungan dari kegagalan produk CDO mereka. Kerugian investor merupakan keuntungan bagi mereka. Investor tetap membeli produk ini karena produk ini tetap mendapat peringkat AAA. Pemberian rating yang tinggi tetap diberikan oleh lembaga pemeringkat karena mereka dibayar lebih mahal dan akan diberi kesempatan untuk melakukan pemeringkatan berikutnya jika memberikan peringkat yang tinggi untuk produk-produk derivatif tersebut. Dengan berjalannya waktu, kredit-kredit berisiko tinggi mulai mengalami kemacetan dan pada tahun 2008 kredit macet dan penyitaan jaminan rumah meledak. Lembaga peminjaman tidak dapat menjual kreditnya kepada investment bank. Dengan semakin banyaknya kredit macet dan jaminan yang tidak dapat dilikuidasi, banyak lembaga peminjaman yang bangkrut. Selanjutnya pasar CDO kolaps. Investment bank terjebak dalam pinjaman yang sangat besar, CDO, dan jaminan rumah yang tidak dapat dijual. Maret 2008, investment bank Bear Stearns menghadapi krisis likuiditas dan diakuisisi oleh JP Morgan Chase dengan harga yang sangat murah dan dibiayai oleh dana jaminan darurat dari Federal Reserve. September 2008, Menteri Keuangan Henry Paulson, mantan CEO Goldman Sachs, mengumumkan Bank Sentral mengambil alih Fannie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga pemberi kredit pemilikan rumah. Dua hari kemudian, Lehman Brothers mengumumkan kerugian sebesar US$3,2 miliar. Kurang dari seminggu kemudian, pada hari Jumat tanggal 12 September 2008, Lehman Brothers dan Merril Lynch mengalami kesulitan likuiditas. Merril Lynch berhasil diselamatkan oleh Bank of America, sementara itu hanya Barclay’s Bank dari Inggris yang tertarik mengakuisisi Lehman Brothers. Namun rencana akuisisi Barclay’s



Ikatan Akuntan Indonesia



29



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Bank terkendala persyaratan dari Regulator di Inggris yang meminta jaminan dari Pemerintah Amerika. Persyaratan ini tidak dipenuhi oleh Paulson. Lehman Brothers segera dinyatakan bangkrut. Penutupan Lehman Brothers ternyata menimbulkan konsekuensi yang tidak diperhitungkan Paulson sebelumnya, terutama yang terjadi di Inggris. Lehman Brothers banyak menjual surat berharga yang disebut REPO 105 di Inggris karena penjualan surat berharga tersebut dilarang di Amerika. Mereka melakukan penjualan ini untuk menyembunyikan kewajiban mereka yang sudah melebihi ambang batas. Surat berharga yang tidak dapat dicairkan akibat penutupan perusahaan. Kepanikan terjadi di berbagai bagian dunia. Pasar surat berharga kolaps, banyak perusahaan yang langsung mengalami kesulitan likuiditas dan harga saham berguguran. Masih dalam minggu yang sama, AIG harus segera memenuhi kewajibannya sebesar US$13 miliar kepada pemegang CDS. Belajar dari pengalaman Lehman Brothers Tanggal 17 September Pemerintah mengambil alih AIG. Keesokan harinya, Paulson dan Ben Bernanke, Kepala Federal Reserve Amerika, mengajukan dana US$700 miliar untuk menyelamatkan bank-bank.



A C



Selanjutnya, dalam kesulitan dan penderitaaannya, rakyat Amerika menyaksikan para eksekutif bankbank yang menjadi penyebab kesulitan hidup mereka tetap menikmati kehidupan yang nyaman. Mereka tidak harus mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan yang mereka buat yang menyebabkan kebangkrutan. Mereka malah tetap menikmati bonus-bonus yang diterima akibat keputusan-keputusan yang bermasalah, sesuai dengan performance contract yang disepakati. Dua bulan setelah menerima dana talangan, Para eksekutif Merill Lynch menerima lebih dari US$1 miliar. Joseph Cassano kepala AIGFP (AIG Financial Product) yang telah menyebabkan perusahaan menderita kerugian US$11 miliar, diangkat menjadi konsultan perusahaan dengan fee jutaan dollar perbulan. Mereka terkesan hanya memikirkan kepentingannya dan tidak mempedulikan penderitaan orang banyak.



A W S I S A E B



Pemerintah Amerika menanggapi skandal ini dengan mengeluarkan Dodd–Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act yang dianggap lemah karena tidak ada pengaturan mengenai lembaga rating, lobbying dan kompensasi eksekutif, sebagaimana yang diharapkan sebelumnya. Sementara itu, tidak ada eksekutif lembaga keuangan yang ditangkap dan diadili atas tuduhan melakukan kecurangan dan tidak ada upaya untuk menggugat kompensasi yang diberikan kepada para eksekutif.



H I A R E P



Situasi status quo ini tidak terlepas dari kekuatan lobby yang dilakukan oleh para pelaku industri keuangan. Sebelum krisis, mereka menyediakan dana sebesar lebih dari US$5 miliar untuk lobbying dan dana kampanye. Setelah krisis mereka mengalokasikan dana yang lebih besar. Mereka juga mempekerjakan 3000 lobbyist, lebih dari lima orang untuk setiap anggota Kongres untuk melawan upaya-upaya reformasi. Setelah krisis ternyata investment bank semakin besar karena mengakuisisi bank-bank kecil yang bermasalah dan semakin berkuasa melalui kekuatan lobby-nya. Skandal Korporasi di Asia



Pada tahun 2009 terjadi skandal kegagalan Corporate Governance pada perusahaan Satyam di India. Sebelumnya perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang melaksanakan praktik Corporate Governance yang baik dengan memenangkan berbagai penghargaan Good Corporate Governance. Perusahaan ini memiliki 9 orang BOD, di mana 6 orang di antaranya merupakan independent director. Di antara ke enam independent director tersebut, dua orang merupakan akademisi dan salah satunya adalah profesor dari Harvard Business School. Independent director lainnya antara lain seorang konsultan internasional dan mantan pejabat tinggi negara. Pada tanggal 8 November 2011, Presiden Olympus Corporation yang baru diangkat dua minggu sebelumnya, Shuichi Takayama, mengumumkan pengakuan bahwa perusahaannya telah menyembunyikan kerugian perusahaan selama lebih dari sepuluh tahun dan menggunakan dana yang dinyatakan untuk komisi



30



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



akuisisi beberapa perusahaan untuk menutup kerugian tersebut. Pengumuman ini mengakhiri spekulasi atas perusahaan selama sebulan terakhir. Kerugian Olympus dapat ditelusuri dari awal tahun 1990an ketika perusahaan banyak melakukan investasi pada produk derivatif dan investasi berisiko lainnya untuk mempertahankan laba. Ketika itu penjualan perusahaan-perusahaan Jepang mengalami penurunan akibat penguatan nilai Yen. Namun upaya untuk mempertahankan laba malah menghasilkan kerugian yang lebih besar. Untuk mengatasi kerugian ini, Olympus melakukan strategi pertumbuhan melalui merjer dan akuisisi dengan secara intensif melakukan akuisisi berbagai perusahaan. Permasalahannya adalah informasi mengenai transaksi akuisisi dan pendanaannya dilakukan secara terbatas pada pimpinan Perusahaan di kelompok keuangan dan terkesan rahasia. Karena itu, ketika Michael Woodford, seorang executive managing director dari Olympus Medical Systems Europe, diangkat sebagai Presiden merangkap COO pada bulan April 2011, ia terkejut mendapati adanya transaksi akuisisi yang tidak diketahuinya terhadap sebuah perusahan produsen alat kesehatan Gyrus Group di Inggris yang seharusnya menjadi cakupan wilayah kerjanya. Ia melakukan investigasi dan menemukan pembayaran success fee atas akuisisi ini sebesar US$687 juta atau 31% dari nilai akuisisi yang sebesar US$2,2 miliar, jauh di atas fee yang biasanya dibayar, yaitu sekitar 1-2%. Pada penelusuran lebih lanjut terhadap penerima fee ditemukan bahwa pembayaran dilakukan melalui transaksi yang kompleks dan terkait dengan tiga transaksi akuisisi lainnya yang mencurigakan, yang secara keseluruhan mencapai nilai US$1,7 miliar.



A W S I S A E B



A C



Woodford mengajukan banyak pertanyaan kepada Kikugawa yang menjadi Presiden Olympus pada saat terjadinya akuisisi-akuisisi tersebut. Namun banyak yang tak terjawab. Woodford merencanakan untuk mengundurkan diri, namun Olympus berupaya menahannya dengan mengangkatnya menjadi CEO pada 1 Oktober 2011. Pengangkatan ini tidak menghentikan Woodford untuk terus melakukan penyelidikan. Ia bahkan menunjuk Kantor Akuntan PricewaterhouseCoopers (PwC) untuk melakukan investigasi atas transaksi akuisisi tersebut. Dua minggu kemudian, pada tanggal 14 Oktober 2011, ia diberhentikan dan diganti oleh mantan Presiden Olympus terdahulu, Tsuyoshi Kikukawa.



H I A R E P



Setelah diberhentikan, Woodford melakukan perlawanan dengan mengungkapkan ke publik skandal atas transaksi akuisisi dan perlakuan Board of Director Olympus terhadapnya. Olympus mencoba membantah dan membalas tuduhan Woodford, namun tampaknya tidak sepenuhnya berhasil. Harga saham Olympus terus memgalami penurunan sehingga hanya dalam tempo 12 hari, pada tanggal 26 Oktober 2011, Kikukawa mengundurkan diri dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap perusahaan. Kikugawa digantikan oleh Shuichi Takayama yang segera membentuk tim independen untuk melakukan investigasi atas transaksi akuisisi yang dipermasalahkan. Setelah pengakuan Takayama, Olympus memasuki babak baru. Harga saham semakin jatuh, turun sebanyak 80% pada akhir Desember. Saham Olympus berada dalam pengawasan khusus dan terancam delisting pada Tokyo Stock Exchange. Olympus diminta untuk segera merevisi Laporan Keuangannya selama 5 tahun dan kantor Olympus digeledah oleh kejaksaan. Olympus harus bersiap menghadapi tuntutan hukum dari lembaga penegak hukum di Jepang, Inggris dan Amerika Serikat. Sementara itu, tim independen, menemukan terdapat kerusakan moral (rotten to the core) pada Kikugawa dan beberapa eksekutif, yang menular kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka bekerja sama dengan tiga orang mantan bankir Bank Nomura dalam merancang rekayasa transaksi akuisisi. Mereka melarang tiga bank untuk memberikan informasi yang diminta oleh auditor sehingga gagal mendeteksi kecurangan yang terjadi.



Ikatan Akuntan Indonesia



31



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



3.3 Lingkungan Etika di Indonesia



Indonesia memiliki konteks yang sangat berbeda dengan Amerika Serikat. Peran pemerintah di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan peran bisnis. Lembaga pasar modal masih relatif belum terinstitusionalisasi. Sebagian besar bisnis masih merupakan perusahaan keluarga dimana pemegang saham pengendali adalah pendiri perusahaan. Sebagian bisnis menjadi tumbuh berkembang berkat bantuan Pemerintah ataupun hubungan istimewa dengan Pemerintah yang berkuasa. Sebagian bisnis masih tergantung kepada proyek Pemerintah. Risiko dari suatu peranan negara yang besar adalah korupsi. Di Indonesia, korupsi telah terjadi jauh sejak awal kemerdekaannya, di tahun 1950an, dengan pelaku yang berganti-ganti tergantung siapa yang memegang kekuasaan. Pada awal kemerdekaan, Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal di mana politisi sipil yang memegang kekuasaan dan yang melakukan korupsi. Pada akhir tahun 1950an, Presiden Soekarno memperkenalkan sistem demokrasi terpimpin, mengambil alih kekuasaan dari politisi sipil dan membaginya dengan tentara. Korupsi dilakukan oleh birokrasi dan tentara. Pada tahun 1966, Presiden Soeharto mengambil alih kekuasaan sehingga sepenuhnya berada di tangan tentara dan korupsipun banyak dilakukan oleh tentara. Pada tahun 1998, rakyat Indonesia sepakat untuk melakukan korupsi. Kekuasaan kembali ke tangan politisi sipil dengan pelaku korupsi yang semakin banyak, mulai dari anggota parlemen, birokrasi sampai ke penegak hukum.



A W S I S A E B



A C



Fokus masyarakat terhadap korupsi menyebabkan kecurangan yang dilakukan bisnis tidak terlalu terungkap ataupun mudah terlupakan. Padahal sebagian korupsi terjadi berkat dukungan dari pengusaha dan kolusi antara pemegang kekuasaan dan pebisnis. Pada masa demokrasi liberal tahun 1950-1957, banyak partai politik yang mendirikan perusahaan, sebagai sumber dana untuk persiapan pemilihan umum. Selain itu banyak anggota partai yang berbisnis dengan bermitra pengusaha.



H I A R E P



Sumber korupsi yang besar di masa demokrasi liberal adalah pelaksanaan Program Benteng. Program ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan di dalam perekonomian yang sebelumnya didominasi oleh pengusaha Belanda dan Cina, yaitu dengan dengan mengembangkan pengusaha pribumi melalui pemberian lisensi importir dan fasilitas kredit impor. Dalam kenyataannya sebagian besar lisensi diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkuasa di birokrasi dan partai yang memiliki kewenangan dalam pemberian lisensi dan kredit. Para pemegang lisensi ini kemudian menjual lisensi dengan harga 200%-250% dari nilai nominalnya dan tidak mengembalikan kredit. Sedangkan pembeli lisensi adalah pengusaha Cina yang sebelumnya telah menjadi importir, sehingga ketika itu dikenal sebutan pengusaha Ali Baba. Setelah kejatuhan Soekarno, beberapa pengusaha yang dianggap kroni Soekarno menghadapi tuntutan hukum Mereka dituduh melakukan penyuapan untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor, dan menggunakan melakukan impor material dengan menggunakan perusahaan yang tidak memiliki lisensi. Mereka sempat dipenjara dan aset mereka disita. Orde baru membawa pengusaha baru. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha yang telah lama menjalin hubungan dengan tentara di masa demokrasi terpimpin ataupun yang segera membangun hubungan dengan pejabat baru. Mereka tumbuh dengan pesat bersama dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik akibat tingginya harga minyak dan datangnya investasi asing ke Indonesia. Kebanyakan mengawali usaha dengan menjadi pemasok Pemerintah, memperoleh lisensi, konsesi, dan kredit sebagaimana pengusaha pada periode sebelumnya sampai kemudian berkembang menjadi mitra investor asing. Mereka menjalankan berbagai usaha sepanjang ada kesempatan. Karena itu mereka kemudian disebut sebagai konglomerat.



32



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Mereka lalu memanfaatkan kebijakan liberalisasi pasar modal tidak sekedar untuk memperoleh dana, namun memperoleh dana yang jauh lebih besar dari nilai perusahaan dengan melakukan rekayasa akuisisi internal. Akuisisi internal merupakan strategi yang populer dilakukan oleh kelompok konglomerat sejak tahun 1991 di mana perusahaan-perusahaan dalam kelompok usaha yang sama saling melakukan akuisisi atau cross holding dengan harga yang ditetapkan secara internal untuk perusahaan yang tidak tercatat di bursa atau menggunakan harga pasar yang telah direkayasa untuk perusahaan telah tercatat. Dengan akuisisi internal, pengusaha mendapat dana yang lebih besar dan kesempatan untuk memperoleh pinjaman yang lebih besar lagi untuk mendirikan usaha baru yang kemudian kembali diakuisisi internal. Akuisisi internal menyebabkan aset para konglomerat ini tumbuh berkali-kali lipat. Pada paruh kedua Orde Baru muncul turunan baru dari korupsi, yaitu nepotisme, pada saat keluarga pejabat marak menjadi pengusaha. Sebagaimana pengusaha era sebelumnya, mereka berusaha dengan menjadi pemasok Pemerintah, dan kemudian memperoleh lisensi, konsesi, dan kredit. Sebagian dari proyek, lisensi dan konsesi dijual kepada pengusaha lain. Pengusaha yang ingin berkembang harus bermitra dengan mereka. Pada periode ini semakin sulit untuk dibedakan antara lembaga Pemerintah dan perusahaan milik pribadi pejabat pemerintah. Para pejabat berlomba-lomba untuk memajukan bisnis anak-anaknya.



A W S I S A E B



A C



Sementara itu, setelah akuisisi internal dilarang, pengusaha memanfaatkan kebijakan liberalisasi perbankan dengan mendirikan bank dan memanfaatkan dana masyarakat untuk pembiayaan kelompok usahanya. Setelah Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), pebisnis mencari dana melalui kredit dari bank lain, terutama bank Pemerintah, tukar menukar kredit dengan bank swasta lainnya, dan melakukan pelanggaran BMPK. Pengusaha juga mencari dana melalui utang luar negeri yang menawarkan bunga yang lebih rendah. Dalam tempo singkat jumlah utang swasta luar negeri meningkat dengan pesat sehingga melampaui utang resmi Pemerintah. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$63 hingga US$64 milyar, sementara utang pemerintah US$53,5 milyar. Utang swasta ini berjangka waktu pendek, rata-rata hanya 18 bulan dan sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge. Besarnya utang swasta ini, menurut Bank Dunia, sebagai salah satu sebab utama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998.



H I A R E P



Krisis ekonomi telah membuat Pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar Rp647 triliun, dimana di antaranya sebesar Rp144,5 triliun merupakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI merupakan bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada perbankan untuk menghadapi penarikan dana besarbesaran dari nasabah. BLBI diberikan kepada 48 bank umum swasta nasional. BLBI kemudian menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah bisnis di Indonesia. Skandal berawal dari temuan audit BPK yang menemukan 59,7% dari dana BLBI tersebut, atau sebesar Rp84,84 triliun tidak digunakan untuk membayar dana nasabah, melainkan untuk membiayai kontrak derivatif, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kewajiban kepada pihak terkait. Permasalahan yang lebih besar muncul pada saat Pemerintah kesulitan untuk melakukan penagihan. Pemerintah meminta kesediaan pemilik bank untuk membayar BLBI yang diberikan dengan imbalan akan diberikan pengecualian hukum (release and discharge) atas berbagai pelanggaran yang dilakukan. Jika mereka tidak bersedia, maka BPPN akan melakukan tuntutan hukum. Awalnya pemerintah meminta pemilik bank yang tidak mampu membayar tunai dapat melakukan pengembalian BLBI dengan menyerahkan asetnya, baik berupa perusahaan, saham, aset tetap, dan piutang, melalui perjanjian master settlement and acquisition agreement (MSAA). Pemerintah, melalui BPPN, akan melakukan penjualan atas aset-aset tersebut Pemilik bank awalnya berkeberatan dan mereka baru bersedia menandatangani perjanjian setelah disepakati menggunakan auditor dan konsultan keuangan yang mereka tunjuk. Belakangan terungkap nilai aset yang diberikan digelembungkan. Sebagian lainnya sebetulnya sudah



Ikatan Akuntan Indonesia



33



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



digadaikan ke pihak lain. Permasalahan lainnya adalah pengelolaan perusahaan yang sudah diserahkan masih berada di tangan pemilik lama, karena pemerintah (BPPN) merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengambil alih pengelolaan. Timbul risiko terjadi rekayasa aset dan keuntungan dari perusahaanperusahaan tersebut. Permasalahan lainnya adalah pengelolaan perusahaan yang sudah diserahkan masih berada di tangan pemilik lama, karena pemerintah (BPPN) merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengambil alih pengelolaan. Timbul risiko terjadi rekayasa aset dan keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Akibatnya, dengan pola MSAA ini, Pemerintah harus menanggung kerugian karena hanya dapat menjual aset sekitar 20-30% dari nilai yang seharusnya diperoleh. Lebih dari itu, sebagian pemilik lama berupaya untuk mendapatkan kembali aset yang mereka serahkan pada saat aset tersebut dijual Pemerintah dengan harga murah. Bahkan mereka membelinya dengan kredit dari bank.



A C



Pemerintah lalu memperbaiki MSAA dengana master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA), dimana pemilik bank tidak menyerahkan asetnya, tapi hanya menjaminkan. Mereka bertanggung jawab untuk penjualan aset tersebut. Selain itu mereka juga diminta untuk memberikan jaminan pribadi (personal guarantee) jika terjadi kekurangan atas aset yang dijual. Baik dengan MSAA ataupun MRNIA, pemilik bank diwajibkan melunasi utangnya dalam tempo 4 tahun.



A W S I S A E B



Ternyata perjanjian tidak berjalan seperti yang diharapkan. Banyak pemilik bank yang telah menandatangani perjanjian, gagal untuk menepati pelunasan dalam tempo 4 tahun. Banyak yang mencurigai bahwa para pemilik bank memang tidak berniat untuk melunasi utangnya. Mereka sebetulnya masih memiliki banyak aset dan usaha yang menguntungkan di luar negeri. Namun pemerintah tidak melakukan tindakan tegas. Justru sempat diputuskan waktu pelunasan diperpanjang sampai 10 tahun dengan tingkat bunga yang lebih rendah dan pemberian diskon. Banyak faktor penyebab para pemilik bank tidak membayar kewajibannya. Faktor pertama adalah mereka memperoleh perlindungan dari pejabat pemerintah. Ada pemilik bank yang mendapat keringanan dalam MSAA dan MRNIA, karena memiliki akses langsung dengan pusat kekuasaan. Pihak BPPN juga mengalami kesulitan dalam bernegosiasi dengan pemilik bank, karena intervensi dari pejabat-pejabat tertentu. Akhirnya, semangat dan ketegasan dari pejabat BPPN pudar dan mereka ikut terlibat dalam kolusi.



H I A R E P



Faktor lainnya adalah banyak proses hukum dari pemilik bank yang berjalan lambat. Hanya sebagian kecil yang dilimpahkan ke pengadilan. Sampai dengan akhir tahun 2001, BPPN telah mengajukan 2.400 perkara. Sebanyak 2.064 kasus masih dalam proses penyidikan dan pengadilan, 106 kasus masih dalam tahap banding dan kasasi, dan 230 kasus telah diputus, dan dalam sebagian besar kasus itu BPPN dinyatakan kalah. Pada akhir tahun 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 tahun 2002 tentang pemberian jaminan hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, yang dikenal dengan Inpres Release and Discharge. Berdasarkan Inpres ini, pemilik bank kembali mendapat keringanan. Mereka dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapat Surat Keterangan Lunas, hanya dengan membayar tunai 30% dari kewajibannya dan membayar 70% sisanya dalam bentuk sertifikat bukti hak. Sampai dengan tahun 2008, tidak terlalu banyak kemajuan yang dicapai dalam penyelesaian hukum kasus BLBI. Hanya terdapat 3 kasus yang memperoleh kepastian hukum. Surat Keterangan Lunas yang telah diberikan kepada pemilik bank ternyata tidak sepenuhnya memberikan kepastian hukum. Pada pertengahan tahun 2007 Kejaksaan Agung mengumumkan pembentukan tim khusus beranggotakan 35 orang untuk mengungkapkan kembali kasus BLBI, dengan fokus kepada kasus BCA (Anthony Salim) dan BDNI (Sjamsul Nursalim). Tim ini selanjutnya secara intensif melakukan



34



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



pemeriksaan terhadap mantan pejabat BPPN. Tim khusus mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas, sehingga penugasan diperpanjang dua kali. Akhirnya diumumkan bahwa penyidikan BLBI dihentikan karena kasus itu tidak memiliki bukti hukum. Dua hari kemudian, ketua Tim Jaksa Pemeriksa BLBI Urip Tri Gunawan tertangkap tangan petugas KPK dengan uang sebesar US$650 ribu tidak jauh dari rumah Sjamsul Nursalim di Simpruk setelah ia mengunjungi rumah tersebut. Bersama dengan Urip Tri Gunawan, tertangkap pula Artalyta Suryani, kerabat Sjamsul Nursalim, yang memberikan uang kepada Urip. Krisis perekonomian 1998 dan permasalahan BLBI merupakan skandal bisnis terbesar yang terjadi di Indonesia baik dari segi jumlah kerugian yang diderita pemerintah (dan rakyat) Indonesia maupun dari segi jumlah pelaku bisnis yang terlibat. Skandal ini dapat terjadi tidak sekedar akibat perilaku dari pengusaha, namun juga akibat kompetensi dan kepentingan dari (pejabat) pemerintah yang berkuasa ketika itu, serta kepentingan penegak hukum. Banyak kasus-kasus yang terjadi di awal tahun 2000an yang merupakan kelanjutan dari krisis ekonomi ini.



A C



Kasus lainnya yang melibatkan banyak perusahaan adalah kasus Gayus Tambunan yang terjadi di tahun 2010. Gayus adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IIIA yang bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Awalnya ia tertangkap karena terlibat tindak pidana pencucian uang akibat pencairan pencairan dana tak wajar sebesar Rp24,6 miliar. Masyarakat terkejut dan marah mengetahui Gayus PNS yang berusia 31 tahun tersebut sudah memiliki uang yang sangat besar, berikut rumah dan mobil mewah. Bahkan belakangan kepolisian mengumumkan telah menemukan dan menyita aset lainnya dari Gayus sebesar Rp74 miliar dalam mata uang asing dan logam batangan yang disimpan di safe deposit box sebuah bank swasta.



A W S I S A E B



Dalam persidangan Gayus menyatakan kekayaannya diperoleh dari “membantu” wajib pajak yang tengah dililit masalah di pengadilan pajak, sesuai dengan posisinya yang bertugas di Direktorat Keberatan dan Banding. Selama bekerja di Direktorat Keberatan dan Banding sejak tahun 2007, Gayus menangani sekitar 151 perusahaan dan perorangan dimana 45 ditangani langsung olehnya. Juga tersiar kabar, Gayus membantu perusahaan yang bukan ditanganinya. Selanjutnya dalam repliknya, Gayus mengaku hanyalah ikan teri, dan masih banyak big fish yang belum terkail. Dengan demikian, jika pengakuan Gayus benar, maka sebetulnya akan lebih banyak lagi pegawai pajak dan wajib pajak yang melakukan kecurangan pajak, dan kasus pajak ini dapat menjadi skandal besar yang setara dengan skandal BLBI.



H I A R E P



Instruksi Presiden ditindaklanjuti dengan cepat. Kementerian Keuangan segera menyerahkan 151 dokumen wajib pajak yang terkait dengan Gayus. Pada bulan April, Kepolisian mengumumkan telah memeriksa 107 pegawai pajak yang menangani atau meneliti permohonan keberatan dan banding. Mereka juga mengumumkan telah meminta laporan hasil analisis terhadap 29 petugas pajak yang menangani permohonan keberatan dan banding 19 perusahaan wajib pajak kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sementara itu, PPATK juga telah menyampaikan 42 transaksi mencurigakan. Setelah itu diumumkan pembentukan tim gabungan yang meneliti 12 wajib pajak. Setelah itu tidak diketahui kelanjutan dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga belum terungkap pejabat pajak dan wajib pajak yang terlibat dalam kasus manipulasi pajak, baik yang terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan oleh Gayus, maupun yang diungkapkan Gayus dalam repliknya. Kasus korupsi yang ramai dibicarakan adalah kasus jual beli anggaran di DPR. Kasus ini melibatkan beberapa anggota partai politik, dengan Nazarudin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang dipecat dari partai pada bulan Juli 2011, sebagai bintangnya. Terdapat dua “pasar” untuk jual beli anggaran ini. Pasar yang pertama adalah pada saat proses persetujuan anggaran yang diajukan oleh Kementerian dan Lembaga Negara. Jual beli angggaran terjadi pada saat pembahasan dengan komisi-komisi di DPR, dalam bentuk mempercepat proses pengisian daftar isian pelaksanaan anggaran dan tambahan anggaran yang melebihi usulan Kementerian dan Lembaga. Sedangkan



Ikatan Akuntan Indonesia



35



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



pasar yang kedua untuk transaksi jual beli APBN Perubahan (APBN P). APBN P biasanya berupa anggaran pembangunan infrastruktur yang ditawarkan oleh anggota Badan Anggaran DPR kepada kepala-kepala daerah dan juga pejabat Kementerian. Kepala daerah dan pejabat Kementerian yang tertarik harus segera membayar fee anggaran, walaupun anggaran tersebut belum disetujui. Dalam transaksi jual beli anggaran, kepala daerah bermitra dengan perusahaan yang akan melaksanakan proyek dari anggaran tersebut. Dapat pula terjadi, perusahaan pelaksana proyek sudah disediakan oleh anggota DPR. Pengusaha tersebut sudah dipastikan akan menang dalam tender proyek. Perusahaan yang biasanya membayar fee anggaran, baik kepada anggota DPR maupun kepada kepala daerah atau pejabat Kementerian. Salah satu perusahaan yang terlibat dalam kasus Nazarudin adalah PT Duta Graha Indah Tbk. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1982 dan merupakan salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia. Pertumbuhan perusahaan yang signifikan terjadi pada tahun 2007, pada saat perusahaan melakukan penawaran saham perdana ke pasar modal. Pendapatannya ketika itu meningkat hampir dua kali lipat menembus angka Rp1 triliun, sedangkan asetnya meningkat hampir tiga kali lipat.



A C



Manajer Pemasaran Duta Graha dihukum dua tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi atas penyuapan kepada Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga sebagai success fee atas proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Dalam kesaksiannya di pengadilan, Direktur utama Perusahaan, mengaku bekerja sama dengan Nazarudin dalam berbagai proyek. Ia juga mengakui pemberian success fee kepada pihak-pihak yang membantu dalam bisnis konstruksi merupakan hal yang biasa. Menurutnya, selama sudah mendapatkan keuntungan, ia tidak lagi mempermasalahkan persentase pembagian fee yang disepakati.



A W S I S A E B



Pernyataan Direktur Utama perusahaan tersebut memberikan bukti bagaimana bisnis berkembang di Indonesia dan bagaimana sikap eksekutif Indonesia. Menjalin hubungan dan kolusi dengan politisi dan pejabat pemerintah merupakan hal yang biasa, mendatangkan banyak proyek dan dapat menjadi sumber keberhasilan. Ketrampilan yang dibutuhkan bagi pengusaha dan eksekutif untuk berhasil berbisnis di Indonesia adalah kemampuan untuk membangun, menjaga dan memanfaatkan hubungan dengan penguasa.



H I A R E P



3.4 Tuntutan Masyarakat Terhadap Bisnis



Beberapa permasalahan global yang terjadi membuat penderitaan dan menimbulkan perubahan dalam tata kehidupan manusia. Situasi ini mendorong masyarakat untuk menuntut akuntabilitas dan tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih besar. Selain skandal korporasi yang telah dijelaskan, terdapat dua hal lainnya yang mengakibatkan pandangan yang negatif terhadap perusahaan dan dunia usaha. Masalah Pencemaran Lingkungan: Pemanasan Global dan Krisis Energi Dampak dari pemanasan global dan krisis energi semakin dirasakan oleh semakin banyak orang dan dikhawatirkan semakin memburuk jika tidak dilakukan perubahan. Perusahaan yang bergerak di industri pembangkit listrik, transportasi, manufaktur dan kehutanan dianggap memiliki kontribusi yang besar dalam emisi CO2. Perusahaan besar mendapat kritik sebagai penyebab terkikisnya hutan, terkurasnya perikanan dan barang tambang, sampai dengan membuang sampah-sampah yang membahayakan lingkungan. Terlebih lagi, beberapa perusahaan tercatat telah menimbulkan malapetaka besar bagi lingkungan hidup. Contoh klasik tragedi terbesar adalah ledakan pada pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal India pada tahun 1984 yang menyebabkan bocornya gas methyl isocyanate yang diperkirakan 500 kali lebih beracun dari sianida. Lebih dari 2.000 orang meninggal dan 200.000 terluka, sebagian besar adalah penghuni liar dari tempat-tempat kosong di sekitar pabrik. Sampai saat ini tampaknya ganti rugi terhadap korban



36



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



belum sepenuhnya terselesaikan. Kasus kerusakan lingkungan lainnya adalah bocornya kapal tanker milik perusahaan minyak Exxon yang menumpahkan 12 juta gallon minyak mentah di perairan Alaska pada tahun 1989 dan bocornya pipa yang menumpahkan 74 juta gallon minyak mentah di hutan Amazon Ekuador selama periode 1968 -1992. Anti Globalisasi Gerakan anti globalisasi sering terlihat dalam bentuk demonstrasi pada saat pertemuan KTT yang diselenggarakan oleh WTO, IMF, Bank Dunia, G8 dan organisasi lainnya, mencerminkan sentimen sebagian orang di negara berkembang atas kehadiran perusahaan multinasional melakukan investasi di negaranya. Sentimen ini terutama berdasarkan pada alasan bahwa investasi asing tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Investasi asing memberikan lapangan kerja bagi masyarakat tapi dengan pengorbanan dalam bentuk diskriminasi gaji, pemanfaatan tenaga kerja di bawah umur, pencemaran udara dan kerusakan lingkungan, konsumerisme. Investasi asing juga sering menimbulkan perbenturan budaya. Investasi asing menguras sumber daya alam tanpa memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar. Bahkan sebagian malah menimbulkan biaya sosial dalam bentuk kerusakan lingkungan dari area yang digarap, yang menimbulkan penderitaan fisik seperti penyakit maupun kesulitan mata pencaharian penduduk lokal.



A W S I S A E B



A C



Investasi asing hanya memberikan laba bagi pemegang saham di negara asal, di mana para pemegang saham melaksanakan tanggung jawab sosialnya bagi masyarakat di negara asal investasi. Investasi asing sering melangkah lebih jauh, mengatur masalah politik dari negara tempat investasi untuk menjamin keamanan investasi yang dilakukannya, seperti yang dilakukan oleh ITT di Chili yang terlibat dalam upaya penggulingan presiden terpilih yang dikhawatirkan akan melakukan nasionalisasi atas investasi mereka. Dari hasil survei yang dilakukan oleh McKinsey pada tahun 2007, penolakan terhadap investasi asing dan perdagangan bebas merupakan hal yang dikhawatirkan oleh pemimpin bisnis.



H I A R E P



3.5 Inisiatif Untuk Menciptakan Bisnis yang Bertanggungjawab dan Berkelanjutan



Banyak inisiatif yang telah dirintis untuk menciptakan bisnis yang berkelanjutan. Berikut ini beberapa inisiatif yang cukup besar. Corporate Social Responsibility dari World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) adalah 160 perusahaan internasional yang bergabung dengan komitmen yang sama terhadap lingkungan hidup dan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. WBCSD bertujuan untuk menjadi katalisator perubahan dan membantu tercapainya kerjasama yang lebih erat antara dunia usaha, pemerintah dan organisasi lain yang peduli terhadap lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. WBCSD merintis pengembangan CSR sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Pada saat itu WBCSD menyadari adanya reputasi korporasi yang buruk yang menimbulkan berbagai aksi yang merugikan korporasi, seperti pemboikotan terhadap produk layanan perusahaan, penyerangan terhadap asset perusahaan, kegagalan memperoleh pegawai yang bermutu dan kehilangan dukungan dari pegawai, tambahan biaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu, pembatasan operasi dalam bentuk peraturan perundangan yang baru, hambatan memperoleh pembiayaan, dan lain-lain.



Ikatan Akuntan Indonesia



37



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Masyarakat menuntut perusahaan berperilaku lebih etis dan bertanggungjawab. Mempertahankan reputasi sebagai perusahaan yang etis dan bertanggung jawab penting bagi perusahaan untuk mendapat persetujuan dari masyarakat sehingga dapat beroperasi. Selanjutnya, untuk dapat meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, perusahaan harus menjamin bahwa tidak terjadi konflik dengan masyarakat dan bahkan dapat mengupayakan agar memperoleh manfaat yang nyata. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan mampu menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan dari para pemangku kepentingan, tidak sekedar pemenuhan kebutuhan pemegang saham. Dengan demikian, pertanggungjawaban sosial merupakan hal yang penting bagi penciptaan nilai untuk pemegang saham. Pertanggung-jawaban sosial tidak dapat dilihat hanya sebagai beban bagi perusahaan. Sebaliknya, strategi CSR yang jelas dapat meningkatkan laba karena mengurangi biaya melalui peningkatan dampak sosial yang positif dan mengurangi dampak yang negatif. Strategi CSR yang dapat mengkaitkan nilai bisnis dan sosial akan membuka peluang usaha baru. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan manajemen mengidentifikasi kebutuhan dari pemangku kepentingan, sebelum terjadi tekanan atau kekecewaan dari pemangku kepentingan yang tidak terpuaskan.



A W S I S A E B



A C



Berdasarkan pemikiran di atas, WBCSD menyarankan beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam perumusan strategi, yaitu: • • • •



Pembangunan kapasitas (capacity building) dari masyarakat sehingga dapat membentuk modal sosial (social capital) Pembangunan kemitraan (partnership building) dengan perusahaan lain dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat Kerjasama dalam bidang teknologi, sebagai bagian dari pembangunan kapasitas dan pembangunan kemitraan Keterbukaan dan transparansi untuk mengkomunikasikan bukti-bukti prilaku perusahaan yang bertanggung jawab



H I A R E P



Global Corporate Citizenship dari World Economic Forum CEOs



Sekitar 44 pimpinan perusahaan terkemuka yang tergabung dalam gugus tugas dari World Economic Forum CEOs pada tahun 2002 membuat suatu pernyataan bersama bahwa komitmen mereka untuk menjadi global corporate citizen sama dengan komitmen mereka menjalankan bisnis. Artinya, menjalankan usaha yang bertanggung jawab harus melebihi dari kegiatan filantropi dan harus terintegrasi dengan strategi dan praktik usaha inti mereka. Mereka menyadari bahwa kunci keberhasilan menjadi global corporate citizen adalah hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingan utama. Mereka merekomendasikan suatu Framework for Action untuk pimpinan perusahaan sebagai penanggung jawab akhir penerapan Corporate Citizenship. Framework for action ini dapat digunakan sebagai template yang dapat digunakan dalam proses kepemimpinan di dalam perusahaan dan diharapkan dapat saling melengkapi dengan prinsip dan pedoman Corporate Citizenship yang telah dikembangkan sebelumnya. A Framework for Action yang direkomendasikan adalah: 1. Provide Leadership: tetapkan arah stratejik untuk corporate citizenship dan terlibat dalam perdebatan mengenai globalisasi dan peran dunia usaha dalam pembangunan a. Artikulasikan maksud dan tujuan, prinsip, dan nilai-nilai kepada pihak internal dan eksternal perusahaan b. Promosikan contoh-contoh implementasi yang baik c. Terlibat diskusi dengan sektor keuangan untuk peningkatan kesadaran mengenai pentingnya masalah sosial dan lingkungan hidup d. Ikuti perdebatan globalisasi dan peran dunia usaha dalam pembangunan



38



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



2. Define What It Means For Your Company: definisikan isu kunci, pemangku kepentingan dan cakupan pengaruh yang relevan bagi perusahaan dan industri. a. Definisikan isu kunci, yang terdiri dari Good Corporate governance & Ethics (termasuk ketaatan terhadap hukum peraturan, dan standar internasional, upaya pencegahan tindak penyuapan dan korupsi, dan isu etika lainnya), tanggung jawab terhadap manusia (termasuk hak konsumen dan pekerja), tanggung jawab terhadap lingkungan dan kontribusi yang lebih luas kepada pembangunan (termasuk menjalin hubungan dengan pengusaha lokal, pemberian akses produk dan layanan kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu). b. Tetapkan cakupan pengaruh (spheres of influence) perusahaan, yang dapat meliputi kegiatan inti usaha (core business), masyarakat lokal, asosiasi industri, dan kebijakan publik. c. Identifikasi pemangku kepentingan kunci untuk mengkomunikasikan isu-isu sosial, etika, dan lingkungan. Pemangku kepentingan kunci utama adalah investor, pelanggan, dan pegawai. Pemangku kepentingan lainnya dapat meliputi mitra bisnis, asosiasi industri, masyarakat lokal, serikat pekerja, LSM, institusi riset dan pendidikan, media, lembaga pemerintahan, lembaga internasional dan lain sebagainya.



A W S I S A E B



A C



3. Make It Happen: Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan dan prosedur yang memadai, terlibat dalam dialog dan kemitraan dengan pemangku kepentingan untuk menyatukan corporate citizenship ke dalam strategi dan operasi perusahaan. a. Menjadikan corporate citizenship dalam agenda pimpinan perusahaan, misalnya dengan menciptakan kebijakan dan struktur yang mengawasi penyatuan corporate citizenship ke dalam strategi dan operasi perusahaan dan memantau kinerja sosial dan lingkungan. Struktur dapat berupa: komite yang bertanggung jawab terhadap Direksi dan Komisaris, external advisory panel, pemilihan komisaris dengan komposisi yang mencerminkan keragaman latar belakang. b. Menciptakan sistem kinerja dan insentif yang menjabarkan tujuan dan nilai-nilai perusahaan c. Terlibat dalam dialog dan kemitraan dengan pemangku kepentingan. d. Mendorong inovasi dan kreatifitas, melalui insentif dan dukungan, untuk menciptakan operasi perusahaan yang ramah lingkungan. e. Menyiapkan calon-calon pimpinan usaha di masa depan, dengan mengintegrasikan corporate citizenship ke dalam kegiatan mentoring dan coaching dan program pengembangan eksekutif, mendorong sekolah bisnis untuk mengajarkan dan meneliti corporate citizenship dan menjadi role model bagi mahasiswa sekolah bisnis.



H I A R E P



4. Be Transparent About It: membangun keyakinan pemangku kepentingan dengan mengkomunikasikan prinsip, kebijakan, dan operasi perusahaan secara transparan dan tidak berlebihan. a. Kesepakatan mengenai apa dan bagaimana mengukur kinerja perusahaan dengan pihak internal: pegawai dan mitra bisnis, dan dengan berkonsultasi dengan pemangku kepentingan dari pihak di luar perusahaan. b. Mengembangkan program untuk pelaporan kepada pihak eksternal secara reguler dan konsisten mengenai tahapan komitmen kepada corporate citizenship, dan jika terjadi permasalahan, diskusi yang terbuka dan tepat waktu penting dilakukan untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan. c. Realistis untuk mengatur kecepatan dan mengelola harapan melalui kesepakatan dalam strategi yang jelas, jadual, dan roadmaps untuk implementasi komitmen kepada corporate citizenship.



Ikatan Akuntan Indonesia



39



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



UN Global Impact UN Global Impact merupakan inisiatif yang diciptakan oleh PBB untuk mempromosikan corporate citizenship. PBB menginginkan keterlibatan perusahaan swasta untuk memecahkan beberapa masalah sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh globalisasi. Perusahaan diharapkan dapat berkontribusi secara sukarela melalui organisasi dan supply chain-nya. Perusahaan juga dapat bekerja sama dengan PBB, Pemerintah setempat, atau LSM untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan baik pada masyarakat setempat atau secara internasional. Latar belakang inisiatif ini adalah terjadinya meningkatnya gerakan penolakan globalisasi sepanjang tahun 1990an. Gerakan anti globalisasi ini menolak kemungkinan perusahaan untuk bergerak bebas di pasar bebas dan globalisasi produksi dengan pengorbanan lingkungan hidup, tenaga kerja dan hak asasi manusia.



A C



Inti dari Global Impact adalah sepuluh prinsip yang dikembangkan berdasarkan konvensi dan kesepakatan internasional terhadap hak asasi manusia, tenaga kerja, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan anti korupsi. Global Impact mengupayakan agar sepuluh prinsip ini menjadi bagian yang terintegrasi dari strategi dan operasi perusahaan. Sepuluh prinsip tersebut adalah:



A W S I S A E B



• Hak Asasi Manusia 1. Perusahaan harus mendukung dan menghargai perlindungan terhadap hak asasi manusia yang berada pada cakupan pengaruhnya, dan 2. Harus menjamin mereka tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. • Standar Pekerja 3. Perusahaan harus menjamin kebebasan berserikat dan menghargai hak untuk berunding bersama, 4. Menghilangkan segala bentuk kerja paksa dan wajib (forced and compulsory labour), 5. Menghapus tenaga kerja di bawah umur, dan 6. Menghilangkan diskriminasi dalam kepegawaian dan pekerjaan. • Lingkungan Hidup 7. Perusahaan harus mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan lingkungan;  8. Melakukan inisiatif untuk mempromosikan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar, dan 9. Mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi ramah lingkungan.  • Anti-Korupsi 10. Perusahaan harus bekerja melawan korupsi dalam segala bentuknya, termasuk pemerasan dan penyuapan. 



H I A R E P



40



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi 1. Bachtiar, Emil (2012), Kasus-kasus Etika Bisnis dan Profesi, Salemba Empat. Bab Pendahuluan 2. Brooks, Leonard J. and Paul Dunn (2012). Business & Professional Ethics for Directors, Executives and Accountants. South-Western College Publishing, 6th edition, Chapter 1 3. Greene, Bob, A $100 Million Idea: Use Greed for Good, Chicago Tribune, 15 December 1986, diakses melalui http://articles.chicagotribune.com/ tanggal 4 November 2011 4. Hamilton, Clive, Why Consumer Capitalism Loves Waste, After-dinner Speech to the 6th Asia Pacific Roundtable for Sustainable Consumption and Production, Melbourne Convention Center 10 October 2005 diunduh melalui clivehamilton.net.au tanggal 27 Januari 2012



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



41



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



42



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A Bab IV W S I S ETIKA AKUNTAN A E PROFESIONAL DALAM B BISNIS H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



A C



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



43



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB IV



ETIKA AKUNTAN PROFESIONAL DALAM BISNIS 4.1 Prinsip Utama Akuntan Profesional Ada lima prinsip utama yang harus ditaati oleh seorang akuntan profesional, yaitu:



1. Integritas, Setiap Praktisi harus jujur dan berterus terang dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis. 2. Objektivitas - tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau pihak lain, dan tidak dipengaruhi kepentingan pribadi dan pihak lain dalam mengambil putusan professional atau bisnis. 3. Memiliki kompetensi dan kehati-hatian profesional – selalu memelihara dan meningkatkan kompetensi dan ketrampilan profesional pada tingkat yang dibutuhkan sehingga klien ataupun pemberi kerja memperoleh layanan profesional berdasarkan perkembangan praktik dan peraturan terkini, yang dilaksanakan secara profesional sesuai dengan teknik dan standar profesional yang berlaku. 4. Kerahasiaan – menghargai kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan bisnis, dengan tidak mengungkapkannya kepada pihak lain tanpa persetujuan yang jelas dan memadai dari klien atau pemberi kerja, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku, atau menggunakannya untuk keuntungan pribadi atau pihak ketiga. 5. Perilaku profesional - mematuhi hukum dan peraturan yang relevan dan menghindari semua tindakan yang dapat merusak nama baik dan reputasi profesi. Integritas



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Integritas di dalam Kode Etik Akuntan Profesional berarti suatu kewajiban untuk jujur dan berterus terang dalam hubungan profesional dan hubungan bisnisnya. Akuntan profesional tidak boleh terkait dengan laporan, dokumen, komunikasi, atau informasi lainnya yang diyakininya terdapat kesalahan yang material atau menyesatkan, disusun secara tidak hati-hati, atau adanya penghilangan atau penyembunyian informasi sehingga menghasilkan suatu laporan atau dokumen yang menyesatkan. Objektivitas



Integritas di dalam Kode Etik Akuntan Profesional berarti suatu kewajiban untuk jujur dan berterus terang dalam hubungan profesional dan hubungan bisnisnya. Akuntan profesional tidak boleh terkait dengan laporan, dokumen, komunikasi, atau informasi lainnya yang diyakininya terdapat kesalahan yang material atau menyesatkan, disusun secara tidak hati-hati, atau adanya penghilangan atau penyembunyian informasi sehingga menghasilkan suatu laporan atau dokumen yang menyesatkan. Memiliki kompetensi dan kehati-hatian profesional Akuntan profesional diwajibkan untuk memelihara kompetensi dan ketrampilan profesional pada tingkat yang dibutuhkan sehingga klien ataupun pemberi kerja memperoleh layanan profesional berdasarkan perkembangan praktik dan peraturan terkini, yang dilaksanakan secara profesional sesuai dengan teknik dan standar profesional yang berlaku. Layanan profesional yang kompeten membutuhkan pertimbangan yang cermat dalam menerapkan pengetahuan dan ketrampilan profesional. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi pencapaian kompetensi profesional dan pemeliharaan kompetensi profesional.



44



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Pemeliharaan kompetensi profesional membutuhkan kesadaran yang berkelanjutan dan pemahaman atas perkembangan teknik, profesional, dan bisnis. Pengembangan profesional yang berkelanjutan memungkinkan akuntan profesional untuk mengembangkan dan memelihara kapabilitasnya untuk bekerja secara kompeten dalam lingkungan profesional. Kecermatan dalam bekerja mencakup tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan tuntutan tugas secara berhati-hati, menyeluruh, lengkap dan tepat waktu. Akuntan profesional akan mengambil langkahlangkah yang masuk akal untuk menjamin bahwa orang-orang yang bekerja di bawah tanggungjawabnya memperoleh pelatihan dan supervisi yang memadai. Bila dipandang perlu, akuntan profesional harus memberikan pemahaman kepada klien, pemberi kerja atau pengguna jasa lainnya mengenai keterbatasan yang melekat pada jasa profesional yang diberikan. Kerahasiaan



A C



Prinsip kerahasiaan mewajibkan setiap akuntan profesional untuk tidak melakukan tindakan-tindakan mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia dari klien atau organisasi pemberi kerja yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis kepada pihak luar tanpa izin yang memadai dan terinci kecuali jika terdapat kewajiban hukum dan profesional untuk mengungkapkannya. Selain itu, akuntan profesional juga tidak diperkenankan untuk menggunakan informasi yang bersifat rahasia tersebut utuk keuntungan pribadi atau pihak ketiga.



A W S I S A E B



Akuntan profesional harus tetap menjaga prinsip kerahasiaan, termasuk dalam lingkungan sosialnya, harus selalu berhati-hati terhadap kemungkinan pengungkapan yang tidak disengaja dengan rekan bisnis maupun anggota keluarga. Penjagaan kerahasiaan juga harus dilakukan di dalam organisasi klien dan pemberi kerja. Akuntan profesional juga harus menjaga kerahasiaan informasi dari calon klien atau pemberi kerja. Akuntan profesional harus menyiapkan langkah-langkah dan prosedur untuk memastikan staf yang bekerja di bawah pengawasannya, serta orang-orang yang diminta saran dan bantuan profesionalnya untuk menghargai prinsip kerahasiaan.



H I A R E P



Prinsip kerahasiaan tetap harus dijaga walaupun akuntan profesional sudah tidak memiliki hubungan kerja dengan klien dan pemberi kerja. Jika akuntan profesional berpindah kerja atau memperoleh klien baru, akuntan profesional berhak menggunakan pengalaman yang diperoleh di masa lalu, namun tidak diperkenankan menggunakan informasi rahasia yang dimiliki akibat hubungan kerja di masa lalu. Berikut ini adalah situasi-situasi dimana akuntan profesional diminta untuk mengungkapkan informasi atau pengungkapan dapat diterima, yaitu: 1. 2. 3.



Pengungkapan yang diperbolehkan oleh hukum dan disetujui oleh klien atau pemberi kerja; Pengungkapan yang diminta oleh hukum, sebagai contoh: a. Pengungkapan dokumen atau bukti lainnya dalam sidang pengadilan; atau b. Pengungkapan kepada lembaga yang berwenang mengenai suatu pelanggaran hukum; dan Adanya hak dan tugas profesional untuk mengungkapkannya, sepanjang tidak melanggar hukum yang berlaku, dalam: a. Pelaksanaan penelaahan mutu yang dilakukan oleh organisasi profesi atau regulator; b. Menjawab pertanyaan atau investigasi yang dilakukan oleh organisasi profesi atau regulator; c. Melindungi kepentingan profesional dari akuntan profesional dalam sidang pengadilan; atau d. Mematuhi standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku.



Ikatan Akuntan Indonesia



45



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Dalam memutuskan untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia, akuntan profesional harus mempertimbangkan: • • •



Apakah ada pihak-pihak yang dirugikan atas izin klien atau pemberi kerja untuk mengungkapkan informasi rahasia tersebut. Apakah seluruh informasi yang relevan diketahui dan memiliki bukti. Jika ada fakta yang tidak didukung bukti, informasi tidak lengkap, dan kesimpulan yang tidak meyakinkan, maka pertimbangan profesional harus digunakan untuk menentukan jenis pengungkapan yang akan disampaikan. Jenis media komunikasi yang akan digunakan dan pihak yang dituju.



Perilaku Profesional Prinsip perilaku profesional mewajibkan seluruh akuntan profesional untuk mematuhi setiap ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku, serta menghindari setiap tindakan yang dapat merusak nama baik profesi. Perilaku profesional mencakup setiap tindakan yang dapat menyebabkan pihak ketiga yang rasional dan memiliki informasi, setelah mempertimbangkan seluruh fakta dan permasalahan yang dihadapi oleh akuntan profesional akan mengambil kesimpulan yang negatif terhadap profesi.



A W S I S A E B



A C



Dalam memasarkan dan mempromosikan diri, akuntan profesional tidak boleh merendahkan merendahkan martabat profesi. Akuntan profesional harus jujur dan berkata benar serta tidak boleh: a. Membuat pernyataan yang berlebihan mengenai jasa profesional yang ditawarkan, serta kualifikasi dan pengalaman yang dimiliki; b. Membuat perbandingan yang merendahkan atau tidak didukung bukti terhadap hasil pekerjaan akuntan profesional lainnya.



4.2 Ancaman Terhadap Profesionalitas dan Pengamanannya



H I A R E P



Situasi kerja yang dihadapi oleh akuntan profesional mungkin akan menciptakan ancaman terhadap akuntan profesional dalam menjalankan prinsip utama akuntan profesional. Di lain pihak, tidak mungkin untuk mengidentifikasikan setiap situasi yang menciptakan ancaman dan menentukan tindakan pengamanan yang harus diambil oleh akuntan profesional. Terlebih lagi, perjanjian dan penugasan yang diberikan kepada akuntan profesional dapat berbeda sehingga menciptakan ancaman yang berbeda dan membutuhkan tindakan pengamanan yang berbeda. Karena itu dibutuhkan kerangka konseptual yang mewajibkan akuntan profesional untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengatasi ancaman profesionalitas. Ketika akuntan profesional mengidentifikasi ancaman dan berdasarkan evaluasi ancaman tersebut tidak pada tingkat yang dapat diterima, akuntan profesional harus menentukan apakah pengamanan yang memadai tersedia dan dapat diterapkan untuk menghilangkan ataupun mengurangi ancaman sampai pada tingkat yang dapat diterima, dimana ketaatan pada prinsip tidak dikompromikan. Terdapat kemungkinan akuntan profesional menghadapi situasi di mana ancaman tidak dapat dihilangkan atau dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima, baik karena ancaman sangat signifikan atau tidak terdapat pengaman yang memadai tidak tersedia atau tidak dapat diterapkan. Dalam situasi seperti ini, akuntan profesional harus menolak atau memberhentikan layanan profesional tertentu atau jika diperlukan membatalkan perjanjian dan berhenti dari penugasan.



46



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Ancaman Ancaman dapat tercipta dari berbagai bentuk hubungan dan siutasi. Ancaman dapat dikompromikan atau dapat dianggap dapat dikompromikan dengan prinsip-prinsip utama akuntan profesional. Suatu hubungan atau situasi dapat menciptakan lebih dari satu ancaman dan satu ancaman dapat mempengaruhi ketaatan terhadap lebih dari satu prinsip. Ancaman dapat dikategorikan dalam satu atau lebih kategori di bawah ini: a. Ancaman kepentingan pribadi, yaitu ancaman yang terjadi sebagai akibat dari kepentingan keuangan maupun kepentingan lainnya mempengaruhi pertimbangan atau perilaku akuntan profesional. b. Ancaman telaah-pribadi, yaitu ancaman yang terjadi di mana akuntan profesional tidak sepenuhnya dapat mengevaluasi hasil pertimbangan dari layanan profesional atau pekerjaan sebelumnya yang dibuat oleh akuntan profesional atau individu yang bekerja pada akuntan profesional atau kantor yang mempekerjakan akuntan profesional dimana pertimbangan dari akuntan profesional tergantung dari layanan profesian atau pekerjaan sebelumnya. c. Ancaman advokasi, yaitu ancaman yang terjadi ketika akuntan profesional akan mempromosikan klien atau pemberi kerja pada posisi di mana objektivitas akuntan profesional dikorbankan. d. Ancaman kedekatan, yaitu ancaman akibat hubungan yang dekat atau sudah berlangsung lama dengan klien atau pemberi kerja sehingga akuntan profesional menjadi lebih bersimpati dengan kepentingan mereka atau terlalu mudah menerima pekerjaan mereka. e. Ancaman intimidasi, yaitu ancaman yang terjadi akibat tekanan nyata atau yang dirasakan, seperti upaya untuk mempengaruhi akuntan profesional secara tidak pantas, sehingga akuntan profesional tidak dapat bersikap objektif. Pengamanan



A W S I S A E B



A C



Pengamanan adalah tindakan atau upaya lainnya untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman sampai pada tingkat yang dapat diterima. Pengamanan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: a. b. a. b. c. d. e. f.



Pengamanan yang diciptakan oleh profesi, undang-undang atau pemerintah. Pengamanan dalam lingkungan kerja. Pengamanan yang diciptakan oleh profesi, undang-undang atau pemerintah meliputi: Persyaratan pendidikan, pelatihan dan pengalaman untuk menjadi anggota profesi. Persyaratan pendidikan berkelanjutan. Peraturan mengenai tata kelola perusahaan. Standar profesi. Pemantauan dan prosedur disiplin dari organisasi profesi atau regulator. Review eksternal terhadap laporan, surat pemberitahuan pajak, komunikasi dan informasi yang dihasilkan oleh akuntan profesional oleh lembaga yang memiliki kekuatan hukum.



H I A R E P



Penyelesaian Konflik Etika



Akuntan profesional mungkin akan menghadapi situasi untuk mengatasi konflik dalam menerapkan prinsip utama. Dalam memulai proses penyelesaian konflik etika, baik yang dilakukan secara formal atau informal, akuntan profesional perlu mempertimbangkan beberapa faktor, sebagai berikut: a. b. c. d. e.



Fakta-fakta yang relevan. Isu etika yang terkait. Prinsip utama yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Prosedur-prosedur internal yang telah ada, dan Tindakan-tindakan alternatif.



Ikatan Akuntan Indonesia



47



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Dalam proses penyelesaian konflik etika, akuntan profesional diharapkan dapat memilih tindakan yang dianggapnya paling tepat setelah melakukan perhitungan atas konsekuensi dari seluruh alternatif tindakan yang tersedia. Jika konflik tidak terselesaikan dan akuntan profesional masih dihadapkan pada dilema etika, maka akuntan profesional dapat berkonsultasi dengan orang-orang yang tepat di dalam organisasi untuk membantu memecahkan masalah. Jika konflik terjadi dengan, atau di dalam, organisasi pemberi kerja, akuntan profesional perlu mempertimbangkan untuk berkonsultasi dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap tata kelola organisasi, seperti direksi dan komisaris, atau komite audit. Penting bagi akuntan profesional untuk mendokumentasikan inti permasalahan, rincian dari diskusidiskusi yang dilakukan dan keputusan yang dibuat.



A C



Jika konflik memiliki dampak yang signifikan dan tidak dapat terselesaikan, akuntan profesional mungkin perlu mempertimbangkan untuk memperoleh saran secara profesional dari organisasi profesi atau penasehat hukum. Hal ini tidak melanggar prinsip utama kerahasiaan sepanjang permasalahan didiskusikan kepada organisasi profesi secara anonim atau dengan penasehat hukum berdasarkan hak-hak hukum yang dimiliki. Namun, akuntan profesional perlu sangat berhati-hati dalam mempelajari hak hukum yang dimiliki agar tindakannya tidak menjadi suatu pelanggaran terhadap prinsip utama kerahasiaan.



A W S I S A E B



Jika konflik etika tidak dapat terpecahkan, walaupun seluruh kemungkinan sudah dijajaki, maka akuntan profesional, sepanjang dimungkinkan, menolak untuk tetap diasosiasikan dengan permasalahan yang menjadi konflik. Akuntan profesional harus mempertimbangkan kemungkinan untuk menarik diri sebagai anggota tim yang ditugaskan atau menarik diri untuk penugasan tertentu, atau berhenti dari perusahaan atau organisasi pemberi kerja.



4.3 Etika Akuntan Profesional dalam Bisnis



H I A R E P



Akuntan profesional dalam bisnis, baik secara perorangan atau bersama-sama, bertanggung jawab terhadap penyusunan dan pelaporan keuangan dan informasi lainnya, yang akan digunakan oleh organisasi pemberi kerja atau pihak ketiga. Mereka juga dapat bertanggung jawab untuk memberikan manajemen keuangan yang efektif dan saran-saran untuk berbagai persoalan bisnis. Akuntan profesional dapat merupakan pegawai tetap, mitra, direktur, komisaris, pemilik-pengelola, relawan, atau lainnya yang bekerja pada satu atau lebih organisasi pemberi kerja. Namun, perjanjian kerja dengan organisasi pemberi kerja biasanya tidak mengatur kewajiban tanggung jawab etika dari akuntan profesional. Akuntan profesional mungkin menjabat posisi senior di dalam organisasi. Semakin tinggi jabatan akuntan profesional, semakin besar kemampuan dan kesempatannya untuk mempengaruhi situasi, praktik, dan kebiasaan di dalam organisasi. Akuntan profesional di dalam bisnis diharapkan dapat mendorong budaya berbasis nilai etika pada organisasi pemberi kerja melalui penekanan yang diberikan oleh akuntan profesional terhadap perilaku beretika. Akuntan profesional di dalam bisnis dilarang untuk terlibat dalam bisnis, pekerjaan, ataupun kegiatan yang diketahuinya merusak atau dapat merusak integritas, objektivitas, atau nama baik dari profesi yang mana bertentangan dengan prinsip utama akuntan profesional. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, akuntan profesional menghadapi ancaman yang menyebabkan mereka melanggar prinsip utama profesi. Beberapa contoh situasi yang dapat menciptakan ancaman kepentingan pribadi adalah sebagai berikut:



48



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



• • • • •



Memiliki kepentingan keuangan atau menerima pinjaman atau jaminan dari organisasi pemberi kerja Berpartisipasi dalam perhitungan insentif yang ditawarkan oleh organisasi pemberi kerja. Penggunaan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi secara tidak wajar. Mengkhawatirkan keberlanjutan kerja pada organisasi pemberi kerja. Tekanan keuangan dan bisnis dari pihak di luar organisasi pemberi kerja.



Contoh situasi yang menciptakan ancaman telaah pribadi adalah menentukan perlakuan akuntansi atas kombinasi bisnis setelah melakukan studi kelayakan yang mendukung keputusan kombinasi bisnis tersebut. Sementara itu, dalam berpartisipasi untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi pemberi kerja, akuntan profesional mungkin akan melakukan promosi atas posisi organisasi. Sepanjang promosi tersebut dilakukan tanpa tekanan untuk menyusun laporan keuangan yang salah atau menyesatkan maka situasi tersebut tidak menciptakan ancaman advokasi. Contoh situasi yang menciptakan ancaman kedekatan akuntan profesional di bisnis adalah: • • •



A C



Bertanggung jawab atas pelaporan keuangan organisasi pemberi kerja di mana anggota keluarga dekat bekerja pada organisasi tersebut dan membuat keputusan yang mempengaruhi laporan keuangan organisasi. Hubungan yang telah lama berlangsung dengan kontak bisnis akan mempengaruhi keputusan bisnis. Menerima hadiah atau perlakuan khusus, kecuali jika tidak ada nilainya dan tidak memiliki konsekuensi khusus.



A W S I S A E B



Contoh situasi yang mungkin menciptakan ancaman intimidasi untuk akuntansi profesional di bisnis meliputi: • • • • • • • • • • • •



Ancaman untuk memberhentikan atau mengganti akuntan profesional atau anggota keluarga dekat akibat ketidaksepakatan tentang aplikasi prinsip akuntansi atau bagaimana informasi keuangan dilaporkan. Adanya seseorang yang dominan berupaya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, misalnya yang terkait dengan pemberian kontrak atau penerapan prinsip akuntansi tertentu.



H I A R E P



Pengamanan dalam lingkungan kerja meliputi: Diterapkannya sistem pengawasan perusahaan (corporate oversight) atau struktur pengawasan lainnya. Diterapkannya program etika organisasi. Diterapkannya prosedur rekrutmen pada organisasi pemberi kerja menekankan pentingnya mempekerjakan pegawai yang memiliki kompetensi yang tinggi. Diterapkannya sistem pengendalian intern yang kuat. Diterapkannya proses disiplin yang memadai. Adanya kepemimpinan yang menekankan pentingnya perilaku etika dan ekspektasi terhadap pegawai untuk selalu melakukan tindakan beretika. Diterapkannya kebijakan dan prosedur untuk memantau kualitas kinerja pegawai. Adanya komunikasi tepat waktu mengenai kebijakan dan prosedur organisasi pemberi kerja, termasuk perubahannya, ke seluruh pegawai dan dilakukannya pelatihan dan pendidikan yang memadai mengenai kebijakan dan prosedur tersebut. Diterapkannya kebijakan dan prosedur yang memberdayakan dan mendorong pegawai untuk berkomunikasi ke pimpinan organisasi mengenai isu etika tanpa ketakutan untuk mendapat hukuman. Konsultasi dengan akuntan profesional lain.



Ikatan Akuntan Indonesia



49



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Dalam situasi di mana akuntan profesional di bisnis meyakini adanya perilaku atau tindakan beretika akan terus muncul dalam organisasi pemberi kerja, akuntan profesional dalam bisnis perlu mempertimbangkan saran hukum. Dalam situasi di mana seluruh pengaman telah digunakan dan tidak mungkin untuk mengurangi ancaman ke tingkat yang dapat diterima, akuntan profesional harus mempertimbangkan untuk berhenti dari organisasi pemberi kerja. Potensi Konflik Akuntan profesional diharapkan selalu menaati prinsip utama. Namun ada saat-saat di mana tanggung jawab akuntan profesional terhadap organisasi pemberi kerja konflik dengan kewajiban profesional untuk menaati prinsip utama. Sebagai konsekuensi atas tanggung jawab terhadap organisasi pemberi kerja, akuntan profesional dalam bisnis mungkin akan menghadapi tekanan untuk bertindak atau berperilaku yang dapat menciptakan ancaman untuk menaati prinsip utama. Tekanan ini, baik secara eksplisit atau implisit, dapat datang dari supervisor, manajer, direktur atau individu lain di dalam organisasi pemberi kerja. Akuntan profesional dalam bisnis mungkin menghadapi tekanan-tekanan untuk: • • • •



A W S I S A E B



A C



Bertindak bertentangan dengan hukum atau regulasi. Bertindak bertentangan dengan standar teknis atau profesional. Memberikan jalan untuk menerapkan strategi pengelolaan laba yang tidak beretika atau tidak legal. Berbohong atau secara tidak disengaja menyesatkan (termasuk menyesatkan dengan tidak berkomentar), terutama kepada: a. Auditor. b. Regulator. • Memublikasikan, atau terkait dengan, laporan keuangan dan non keuangan yang secara material berbeda dengan kenyataan, termasuk laporan yang terkait dengan: a. Laporan Keuangan. b. Laporan Pajak. c. Ketaatan Hukum. d. Laporan yang diwajibkan oleh Otoritas Pasar Modal.



H I A R E P



Signifikansi ancaman yang tercipta melalui tekanan, seperti ancaman intimidasi, harus dievaluasi dan pengamanan diterapkan, jika diperlukan, untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman tersebut pada tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pengamanan, yaitu: • Meminta nasehat, dari dalam organisasi pemberi kerja, jika dimungkinkan, penasehat profesional yang independen, atau lembaga profesional yang relevan • Menggunakan proses penyelesaian sengketa formal di dalam organisasi pemberi kerja • Mencari bantuan hukum Penyiapan dan Pelaporan Informasi



Akuntan profesional sering terlibat dalam penyiapan dan pelaporan informasi, baik informasi publik ataupun digunakan di dalam dan di luar organisasi pemberi kerja. Informai ini meliputi informasi keuangan atau manajerial, seperti peramalan dan anggaran, laporan keuangan, pembahasan dan analisis manajemen dan laporan manajemen yang diberikan oleh auditor selama proses audit laporan keuangan. Akuntan profesional harus menyiapkan dan menyajikan informasi secara wajar, jujur, dan mengikuti standar profesional yang relevan sehingga informasi tersebut dapat dipahami sesuai dengan konteksnya. Akuntan profesional dalam bisnis yang memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan atau menyetujui laporan keuangan dari organisasi pemberi kerja harus meyakini bahwa laporan keuangan disajikan sesuai dengan standar pelaporan keuangan yang relevan.



50



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Akuntan profesional dalam bisnis harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga agar informasi yang menjadi tanggung jawabnya dengan: • • •



Menjelaskan sifat dari transaksi bisnis, aset, dan liabilitas. Mengklasifikasikan dan mencatat informasi tepat waktu dan secara memadai. Melaporkan kenyataan secara akurat dan lengkap dengan mempertimbangkan materialitas



Ancaman, seperti ancaman kepentingan pribadi atau ancaman intimidasi terhadap objektivitas atau kompetensi dan kehati-hatian profesional, tercipta ketika akuntan profesional dalam bisnis menghadapi tekanan, baik eksternal ataupun kemungkinan memperoleh keuntungan pribadi, untuk terlibat dalam pemberian informasi yang menyesatkan atau menjadi terlibat dengan pemberian informasi yang menyesatkan melalui tindakan pihak lain.



A C



Signifikansi ancaman harus dievaluasi dan pengamanan diterapkan, jika diperlukan, untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman tersebut pada tingkat yang dapat diterima. Beberapa pengamanan meliputi konsultasi dengan atasan di dalam organisasi pemberi kerja, dengan komite audit atau dengan pihak-pihak yang bertangggung jawab terhadap tata kelola organisasi, atau organisasi profesi yang relevan.



A W S I S A E B



Jika tidak memungkinkan untuk mengurangi ancaman pada tingkat yang dapat diterima, akuntan profesional dalam bisnis diwajibkan untuk menolak untuk terlibat atau dikaitkan dengan informasi yang dinilai oleh akuntan profesional menyesatkan. Akuntan profesional dalam bisnis mungkin tidak mengetahui dirinya dikaitkan dengan informasi yang menyesatkan. Namun, pada saat menyadarinya, akuntan profesional harus mengambil langkah-langkah untuk melepaskan keterkaitan dengan informasi tersebut. Jika diharuskan untuk membuat laporan, akuntan profesional harus mempertimbangkan untuk memperoleh bantuan hukum. Selain itu juga perlu dipertimbangkan untuk berhenti. Bertindak dengan Keahlian yang Cukup



Prinsip utama kompetensi dan kehati-hatian profesional menuntut akuntan profesional dalam bisnis hanya melaksanakan pekerjaan yang dikuasainya melalui pelatihan atau pengalaman yang mencukupi. Akuntan profesional dalam bisnis tidak diperkenankan secara sengaja menyesatkan pemberi kerja mengenai keahlian dan pengalaman yang dimiliki. Situasi yang dapat menciptakan ancaman terhadap ketaatan prinsip utama kompetensi dan kehati-hatian profesional, meliputi: • • • •



H I A R E P



Keterbatasan waktu untuk dapat menyelesaikan pekerjaan secara memadai. Informasi yang tidak lengkap, tidak cukup atau dibatasi untuk menyelesaikan pekerjaan secara memadai. Pengalaman, pelatihan dan pendidikan yang tidak mencukupi dikaitkan dengan kompleksitas pekerjaan yang harus diselesaikan. Sumber daya yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan pekerjaan secara memadai.



Signifikansi ancaman akan tergantung pada faktor-faktor seperti apakah akuntan profesional bekerja dengan pihak lain dengan senioritas yang lebih tinggi di dalam organisasi serta tingkat supervisi dan review pekerjaan yang diterapkan. Signifikansi ancaman harus dievaluasi dan pengamanan diterapkan, jika diperlukan, untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman tersebut pada tingkat yang dapat diterima. Contoh dari beberapa pengamanan meliputi: • • • •



Mendapatkan saran dan pelatihan tambahan. Memperhitungkan dengan baik bahwa tersedia waktu yang mencukupi untuk menyelesaikan pekerjaan. Mencari bantuan dari orang-orang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan. Konsultasi, jika dibutuhkan, dengan: a. Atasan di dalam organisasi pemberi kerja. b. Ahli yang independen. c. Organisasi profesi yang relevan.



Ikatan Akuntan Indonesia



51



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Jika tidak memungkinkan untuk mengurangi ancaman pada tingkat yang dapat diterima, akuntan profesional dalam bisnis diwajibkan untuk menolak untuk melaksanakan tugas dengan memberikan alasan yang jelas. Kepentingan Keuangan Akuntan profesional dalam bisnis mungkin memiliki kepentingan keuangan atau mengetahui adanya kepentingan keuangan dari keluarga dekatnya di mana situasi ini dapat menciptakan ancaman untuk menaati prinsip utama. Sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas dan kerahasiaan mungkin tercipta melalui adanya motif dan kesempatan untuk memanipulasi informasi yang dapat mempengaruhi harga untuk memperoleh keuntungan keuangan. Contoh-contoh situasi yang dapat menciptakan ancaman kepentingan pribadi meliputi situasi di mana akuntan profesional dalam bisnis atau keluarga dekatnya: • • • • •



Memiliki kepentingan keuangan, langsung atau tidak langsung, terhadap organisasi pemberi kerja, dan nilai dari kepentingan keuangan ini secara langsung dipengaruhi oleh keputusan yang dibuat oleh akuntan profesional dalam bisnis. Berhak atas bonus yang dikaitkan dengan laba dan nilai bonus secara langsung dipengaruhi oleh keputusan yang dibuat oleh akuntan profesional dalam bisnis. Memiliki, langsung atau tidak langsung, opsi saham dari organisasi pemberi kerja, di mana nilai dari saham tersebut dipengaruhi secara langsung oleh keputusan yang dibuat oleh akuntan profesional dalam bisnis. Memiliki, langsung atau tidak langsung, opsi saham dari organisasi pemberi kerja yang segera dapat dikonversi. Dapat memperoleh opsi saham dari organisasi pemberi kerja atau bonus terkait dengan kinerja jika target dapat dicapai.



A W S I S A E B



A C



Signifikansi ancaman harus dievaluasi dan pengamanan diterapkan, jika diperlukan, untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman tersebut pada tingkat yang dapat diterima. Dalam melakukan evaluasi signifikansi ancaman, akuntan profesional dalam bisnis harus mengevaluasi sifat dari kepentingan keuangan, yang meliputi besarnya kepentingan keuangan dan menentukan apakah kepentingan tersebut bersifat langsung atau tidak langsung. Signifikansi dan besarnya nilai kepentingan berbeda dari satu individu ke individu lainnya tergantung dari situasi yang dihadapi oleh masing-masing individu. Beberapa contoh pengamanan, meliputi: • • • • • •



H I A R E P



Kebijakan dan prosedur untuk komite independen untuk menentukan tingkat dan bentuk dari remunerasi yang akan diberikan. Pengungkapan seluruh kepentingan yang relevan dan seluruh rencana untuk penjualan saham kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap tata kelola organisasi, sesuai dengan kebijakan yang berlaku pada organisasi pemberi kerja. Konsultasi, jika diperlukan, kepada atasan. Konsultasi jika diperlukan, kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap tata kelola organisasi atau kepada organisasi profesi yang relevan. Prosedur audit internal dan eksternal. Pendidikan yang mengikuti perkembangan terakhir mengenai etika dan peraturan terkait dengan kemungkinan insider trading.



Godaan atau Bujukan Akuntan profesional dalam bisnis atau keluarga dekatnya mungkin menerima godaan/bujukan dalam bentuk hadiah, keramah-tamahan, perlakuan istimewa, dan permintaan yang tidak pantas atas nama persahabatan atau kesetiaan.



52



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Godaan dan bujukan dapat menciptakan ancaman. Ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas atau kerahasiaan tercipta ketika godaan dilakukan untuk mempengaruhi tindakan dan keputusan, mendorong perilaku yang tidak jujur atau melanggar hukum, atau untuk memperoleh informasi rahasia. Ancaman intimidasi terhadap objektivitas dan kerahasiaan tercipta jika godaan diterima dan diikuti dengan ancaman untuk diungkapkan sehingga merusak reputasi akuntan profesional atau keluarga dekatnya. Keberadaan dan signifikansi dari ancaman tergantung dari sifat, nilai dan maksud dibalik godaan dan bujukan. Jika pihak ketiga yang rasional dan memiliki informasi, dengan mempertimbangkan seluruh fakta dan situasi, menilai godaan tidak signifikan dan tidak dimaksudkan untuk mendorong perilaku tidak beretika, maka akuntan profesional dapat memutuskan bahwa tawaran tersebut sebagai hal yang normal dalam bisnis dan dapat memutuskan bahwa tidak terjadi ancaman pada tawaran tersebut. Signifikansi ancaman harus dievaluasi dan pengamanan diterapkan, jika diperlukan, untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman tersebut pada tingkat yang dapat diterima. Jika ancaman tidak dapat dihilangkan atau dikurangi melalui upaya pengamanan, maka akuntan profesional dalam bisnis dilarang untuk menerima tawaran. Bentuk nyata dari ancaman tidak langsung terlihat pada saat tawaran diberikan, namun dengan fakta bahwa tawaran diberikan maka tindakan pengamanan harus segera diterapkan. Beberapa contoh pengamanan, meliputi: • • • •



A W S I S A E B



A C



Memberitahu atasan atau pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola organisasi bahwa tawaran telah diberikan. Memberitahukan kepada pihak ketiga, seperti organisasi profesi atau organisasi tempat pemberi tawaran bekerja. Namun, akuntan profesional sebaiknya meminta nasehat hukum sebelum melakukan tindakan ini. Menyarankan kepada keluarga dekat bahwa mereka berpotensi untuk memperoleh tawaran sebagai dampak dari posisi mereka di organisasi. Memberitahu atasan atau pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola organisasi bahwa anggota keluarga dekat bekerja pada pesaing atau rekanan dari organisasi.



H I A R E P



Akuntan profesional dalam bisnis mungkin menghadapi situasi di mana mereka diharapkan atau ditekan untuk memberikan tawaran untuk mempengaruhi proses pengambilkan keputusan atau memperoleh informasi rahasia. Tekanan ini dapat datang dari dalam organisasi pemberi kerja, seperti rekan kerja atau atasan, atau dari pihak eksternal yang menyarankan tindakan yang dapat menguntungkan organisasi pemberi kerja. Akuntan profesional tidak diperkenankan untuk melakukan penawaran dan jika tekanan datang dari dalam organisasi, maka akuntan profesional dalam bisnis harus mengikuti prinsip dan pedoman mengenai penyelesaian konflik etika, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.



Ikatan Akuntan Indonesia



53



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi IESBA (2013), Handbook of the Code of Ethics for Professional Accountants, International Federation of Accountants, 2013 edition, Part A & Part C



H I A R E P



54



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A Bab V W S I S ETIKA AKUNTAN A E PROFESIONAL B DALAM PRAKTIKIH PUBLIK A R E P



Chartered Accountant Indonesia



A C



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



55



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB V



ETIKA AKUNTAN PROFESIONAL DALAM PRAKTIK PUBLIK 5.1 Ancaman dan Pencegahan Kode Etik Profesi Akuntan Publik menggunakan istilah praktisi untuk akuntan profesional dan menggunakan istilah pencegahan sebagai terjemahan dari safeguards. Kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi dapat terancam oleh berbagai situasi. Sebagaimana telah dijelaskan pada modul sebelumnya, ancaman-ancaman tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. b. c. d. e.



Ancaman kepentingan pribadi; Ancaman telaah pribadi; Ancaman advokasi; Ancaman kedekatan; dan Ancaman intimidasi.



A W S I S A E B



A C



Contoh-contoh situasi yang dapat menimbulkan ancaman kepentingan pribadi bagi Praktisi mencakup antara lain: • • • • • •



Anggota dari tim assurance memiliki kepentingan keuangan terhadap klien assurance. Praktisi memiliki ketergantungan atas jumlah imbalan jasa profesional yang diperoleh dari klien. Anggota dari tim assurance memiliki hubungan bisnis yang penting dengan klien assurance. Kantor Akuntan Publik (KAP) khawatir dengan kemungkinan kehilangan klien penting. Anggota dari tim audit sedang dalam proses negosiasi untuk bekerja pada klien audit. Imbalan jasa profesional yang bersifat kontinjen dikaitkan dengan perikatan assurance.



H I A R E P



Contoh-contoh situasi yang dapat menimbulkan ancaman telaah pribadi mencakup antara lain: • • • • •



Penemuan kesalahan yang signifikan ketika dilakukan pengevaluasian kembali hasil pekerjaan yang lalu oleh anggota yang berbeda dari Kantor Akuntan yang sama (pada handbook dikategorikan sebagai ancaman kepentingan pribadi). Praktisi mengeluarkan laporan assurance mengenai efektivitas sistem keuangan klien yang dirancang dan diimplementasikan oleh Praktisi. Anggota dari tim assurance merupakan pimpinan atau pernah menjadi pimpinan Klien Anggota dari tim assurance merupakan, atau pernah, dipekerjakan Klien dalam posisi yang dapat mempengaruhi hal-hal yang menjadi hal pokok dalam perikatan penugasan. Praktisi memberikan jasa untuk Klien yang secara langsung mempengaruhi informasi yang menjadi hal pokok dalam perikatan penugasan assurance.



Contoh-contoh situasi yang dapat menimbulkan ancaman advokasi mencakup antara lain: • •



Mempromosikan saham dari klien audit. Bertindak sebagai pengacara yang mewakili klien audit dalam litigasi atau perselisihan dengan pihak ketiga.



Contoh-contoh situasi yang dapat menimbulkan ancaman kedekatan mencakup antara lain: • Anggota tim yang ditugaskan memiliki keluarga dekat yang menjadi eksekutif pada klien. • Anggota tim yang ditugaskan memiliki keluarga dekat yang bekerja pada klien dengan posisi yang dapat mempengaruhi hal-hal yang menjadi hal pokok dalam perikatan penugasan.



56



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



• • •



Eksekutif klien atau orang yang dengan posisi yang dapat mempengaruhi hal-hal yang menjadi hal pokok dalam perikatan penugasan sebelumnya merupakan rekan KAP yang bertanggung jawab pada klien tersebut. Anggota tim perikatan menerima hadiah atau perlakuan istimewa dari klien, kecuali nilainya secara jelas tidak signifikan. Pejabat senior KAP memiliki sejarah hubungan yang panjang dengan klien assurance.



Contoh-contoh situasi yang dapat menimbulkan ancaman intimidasi mencakup antara lain: • Ancaman atas pemutusan perikatan. • Klien audit mengindikasikan tidak akan memberikan kontrak non assurance sebagaimana yang direncanakan sebelumnya jika KAP tetap tidak menyepakati perlakuan akuntansi yang dilakukan oleh klien atas transaksi tertentu. • Ancaman atas litigasi. • KAP ditekan untuk mengurangi cakupan pekerjaan secara tidak proporsional untuk menurunkan fee • Praktisi merasa ditekan untuk menyetujui pertimbangan yang dilakukan oleh pegawai klien karena pegawai tersebut lebih ahli dalam hal tersebut. • Praktisi diinformasikan oleh mitra KAP bahwa promosi yang direncanakan tidak dapat terlaksana kecuali praktisi setuju dengan perlakuan akuntansi yang tidak sesuai yang dilakukan oleh klien. Pencegahan



A W S I S A E B



A C



Pencegahan adalah tindakan atau upaya lainnya untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman sampai pada tingkat yang dapat diterima. Pencegahan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: a. Pencegahan yang diciptakan oleh profesi, undang-undang atau pemerintah. b. Pencegahan dalam lingkungan kerja.



Setiap Praktisi harus menggunakan pertimbangannya secara seksama untuk menentukan cara terbaik dalam menghadapi ancaman yang telah diidentifikasi, apakah dengan menerapkan pencegahan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman sampai ke tingkat yang dapat diterima, atau dengan menolak peluang perikatan. Dalam memutuskan, praktisi harus mempertimbangkan apakah pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan, setelah mempertimbangkan semua fakta dan situasi yang dimiliki oleh praktisi pada saat itu, akan menyimpulkan bahwa ancaman akan dihilangkan atau dikurangi sampai pada tingkat yang diterima sehingga ketaatan terhadap prinsip utama tidak dikorbankan.



H I A R E P



Dalam lingkungan kerja, pencegahan yang tepat sangat beragam, tergantung dari situasinya. Pencegahan lingkungan kerja terdiri dari pencegahan pada tingkat institusi dan pada tingkat perikatan. Pencegahan pada tingkat institusi dalam lingkungan kerja mencakup antara lain: • • • •



• •



Kepemimpinan pada KAP yang menekankan pentingnya kepatuhan pada prinsip utama etika profesi. Kepemimpinan pada KAP yang mengharapkan agar anggota tim assurance bertindak untuk melindungi kepentingan publik. Kebijakan dan prosedur untuk menerapkan dan memantau pengendalian mutu pelaksanaan perikatan Kebijakan yang terdokumentasi mengenai kebutuhan untuk mengidentifikasi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi, mengevaluasi signifikansi ancaman, serta mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan untuk menghilangkan ancaman atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Kebijakan dan prosedur internal yang terdokumentasi yang memastikan terjaganya kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi. Kebijakan dan prosedur untuk memastikan teridentifikasinya kepentingan atau hubungan antara KAP atau anggota tim yang ditugaskan dengan klien.



Ikatan Akuntan Indonesia



57



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



• • • • • • • •



Kebijakan dan prosedur untuk memantau ketergantungan KAP terhadap jumlah pendapatan yang diperoleh dari satu klien. Penggunaan rekan dan tim yang berbeda dengan lini pelaporan yang terpisah dalam pemberian jasa profesional selain jasa assurance kepada klien assurance. Kebijakan dan prosedur yang melarang personil yang bukan merupakan anggota tim untuk memengaruhi hasil pekerjaan. Komunikasi yang tepat waktu mengenai kebijakan dan prosedur (termasuk perubahannya) kepada seluruh rekan dan staf KAP, serta pelatihan dan pendidikan yang memadai atas kebijakan dan prosedur tersebut. Penunjukan seorang anggota manajemen senior untuk bertanggung jawab mengawasi berfungsinya sistem pengendalian mutu KAP. Pemberitahuan kepada seluruh rekan dan staf KAP mengenai klien-klien assurance dan entitas-entitas yang terkait dengannya untuk menjaga independensi terhadap klien assurance dan entitas yang terkait tersebut. Mekanisme pendisiplinan yang mendorong kepatuhan pada kebijakan dan prosedur yang telah diterapkan. Kebijakan dan prosedur yang mendorong dan memotivasi staf untuk berkomunikasi dengan pejabat senior KAP mengenai setiap isu yang terkait dengan kepatuhan pada prinsip utama etika profesi yang menjadi kekhawatirannya.



A W S I S A E B



A C



Pencegahan pada tingkat perikatan dalam lingkungan kerja mencakup antara lain: • • • • • • •



Melibatkan Praktisi lain yang tidak terlibat dalam layanan selain assurance untuk menelaah hasil pekerjaan yang telah dilakukan atau untuk memberikan saran yang diperlukan. Melibatkan Praktisi lain yang tidak terlibat dalam tim assurance untuk menelaah hasil pekerjaan yang telah dilakukan atau untuk memberikan saran yang diperlukan. Melakukan konsultasi dengan pihak ketiga yang independen, seperti komisaris independen, organisasi profesi, atau Praktisi lainnya. Mendiskusikan isu-isu etika profesi dengan pejabat klien yang bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan. Mengungkapkan kepada pejabat klien yang bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan mengenai sifat dan besaran imbalan jasa profesional yang dikenakan. Meminta KAP lain untuk mengerjakan, atau mengerjakan ulang, suatu bagian dari perikatan. Merotasi personil senior tim assurance.



H I A R E P



Praktisi dapat mengandalkan juga pencegahan yang telah diterapkan oleh klien, tergantung dari sifat penugasannya. Namun demikian, Praktisi tidak boleh hanya mengandalkan pencegahan tersebut untuk mengurangi ancaman ke tingkat yang dapat diterima. Pencegahan dalam sistem dan prosedur yang diterapkan oleh klien mencakup antara lain: • • • •



58



Klien menugaskan orang-orang di luar manajemen untuk memeriksa dan menyetujui penunjukan KAP. Klien memiliki karyawan yang kompeten dengan pengalaman dan senioritas yang memadai untuk mengambil keputusan manajemen. Klien telah menerapkan prosedur internal untuk memastikan objektivitas dalam proses pemilihan atas perikatan selain assurance. Klien memiliki struktur tata kelola perusahaan yang memastikan terciptanya pengawasan dan komunikasi yang memadai sehubungan dengan jasa profesional yang diberikan oleh KAP.



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



5.2 Penunjukan Profesional Penerimaan Klien Sebelum menerima suatu klien baru, setiap praktisi harus mempertimbangkan potensi terjadinya ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi yang diakibatkan oleh diterimanya klien tersebut. Ancaman potensial terhadap integritas atau perilaku profesional antara lain dapat terjadi dari isu-isu yang selama ini dipertanyakan masyarakat yang terkait dengan klien (pemilik, manajemen, atau aktivitasnya). Isu-isu yang terdapat pada klien yang jika diketahui dapat mengancam kepatuhan pada prinsip utama etika profesi mencakup antara lain keterlibatan klien dalam aktivitas ilegal (seperti pencucian uang), kecurangan, atau pelaporan keuangan yang tidak lazim. Pencegahan yang tepat mencakup antara lain: • •



A C



Memperoleh pemahaman tentang klien, pemilik, manajer, serta pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola dan kegiatan bisnis perusahaan, atau Memastikan adanya komitmen dari klien untuk meningkatkan praktik tata kelola perusahaan atau pengendalian internalnya.



A W S I S A E B



Setiap Praktisi harus menolak untuk menerima suatu klien jika ancaman yang terjadi tidak dapat dikurangi ke tingkat yang dapat diterima dan keputusan untuk menerima suatu klien harus ditelaah secara berkala untuk penugasan yang berulang (recurring engagements). Penerimaan Penugasan/Perikatan



Setiap Praktisi hanya boleh memberikan jasa profesionalnya jika memiliki kompetensi untuk melaksanakan penugasan. Karena itu, sebelum menerima penugasan, setiap Praktisi harus mempertimbangkan setiap ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi yang dapat terjadi. Sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika tim perikatan tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan perikatan dengan baik.



H I A R E P



Pencegahan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman yang terkait dengan penerimaan penugasan ke tingkat yang dapat diterima mencakup antara lain: • • • • • • •



Memperoleh pemahaman yang memadai mengenai sifat dan kompleksitas kegiatan bisnis klien, persyaratan perikatan, serta tujuan, sifat, dan lingkup pekerjaan yang akan dilakukan. Memperoleh pengetahuan yang relevan mengenai industri atau hal pokok dari penugasan. Memiliki pengalaman mengenai peraturan atau persyaratan pelaporan yang relevan. Menugaskan jumlah staf yang memadai dengan kompetensi yang diperlukan. Menggunakan tenaga ahli jika dibutuhkan. Menyetujui jangka waktu pelaksanaan perikatan yang realistis. Mematuhi kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang dirancang sedemikian rupa untuk memastikan diterimanya perikatan hanya bila perikatan tersebut dapat dilaksanakan secara kompeten.



Penerimaan Penugasan/Perikatan Setiap Praktisi hanya boleh memberikan jasa profesionalnya jika memiliki kompetensi untuk melaksanakan penugasan. Karena itu, sebelum menerima penugasan, setiap Praktisi harus mempertimbangkan setiap ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi yang dapat terjadi. Sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika tim perikatan tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan perikatan dengan baik.



Ikatan Akuntan Indonesia



59



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Perubahan dalam penunjukan Praktisi dan KAP Seorang Praktisi yang ditunjuk untuk menggantikan Praktisi lain atau seorang Praktisi yang sedang mempertimbangkan untuk mengikuti tender perikatan dari calon klien yang sedang dalam perikatan dengan Praktisi lain harus menentukan ada tidaknya alasan profesional atau alasan lainnya untuk tidak menerima perikatan tersebut, yaitu adanya hal-hal yang dapat mengancam kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi. Sebagai contoh, ancaman terhadap kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika Praktisi Pengganti menerima perikatan sebelum mengetahui seluruh fakta yang terkait. Signifikansi setiap ancaman harus selalu dievaluasi. Dalam melakukan evaluasi tersebut, Praktisi Pengganti dapat berkomunikasi langsung dengan Praktisi Pendahulu untuk memperoleh pemahaman mengenai latar belakang penggantian Praktisi tersebut, sehingga Praktisi Pengganti dapat memutuskan tepat tidaknya menerima perikatan tersebut. Sebagai contoh, alasan penggantian Praktisi yang dikemukakan oleh calon klien mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan fakta yang sesungguhnya, yang mungkin mengindikasikan adanya perbedaan pendapat antara calon klien dengan Praktisi Pendahulu, sehingga hal tersebut dapat memengaruhi Praktisi Pengganti untuk menentukan diterima tidaknya penunjukan tersebut.



A W S I S A E B



A C



Jika ancaman yang diidentifikasi merupakan ancaman yang signifikan, maka pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan. Pencegahan yang dapat dilakukan oleh Praktisi Pengganti mencakup antara lain: a. Mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan klien secara lengkap dan terbuka dengan Praktisi Pendahulu; b. Meminta Praktisi Pendahulu untuk memberikan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan klien yang diketahuinya yang relevan bagi Praktisi Pengganti, sebelum Praktisi Pengganti memutuskan untuk menerima perikatan tersebut. Ketika menanggapi permintaan untuk tender, Praktisi Pengganti harus mencantumkan dalam dokumen tendernya persyaratan mengenai komunikasi dengan Praktisi Pendahulu sebelum menerima perikatan tersebut dengan tujuan untuk menanyakan ada tidaknya alasan profesional atau alasan lainnya untuk tidak menerima perikatan tersebut.



H I A R E P



Pada umumnya Praktisi Pengganti harus memperoleh persetujuan dari calon klien, sebaiknya secara tertulis, sebelum melakukan komunikasi dengan Praktisi Pendahulu. Jika persetujuan tersebut telah diberikan oleh calon klien, maka Praktisi Pendahulu harus mematuhi semua ketentuan hukum dan peraturan lain yang relevan yang berlaku. Informasi yang diberikan oleh Praktisi Pendahulu kepada Praktisi Pengganti harus disampaikan dengan jujur dan jelas. Jika Praktisi Pengganti tidak dapat melakukan komunikasi dengan Praktisi Pendahulu, maka Praktisi Pengganti harus mencoba untuk memperoleh informasi mengenai semua kemungkinan ancaman yang dapat terjadi melalui cara-cara lain, seperti melakukan wawancara dengan pihak ketiga, atau melakukan penyelidikan mengenai latar belakang manajemen senior atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan dari klien. Setiap Praktisi Pendahulu harus menjaga prinsip kerahasiaan. Lingkup informasi mengenai hal-hal yang dapat dan harus didiskusikan oleh Praktisi Pendahulu dengan Praktisi Pengganti ditentukan oleh sifat perikatan serta hal-hal sebagai berikut: a. Persetujuan dari klien untuk melakukan komunikasi tersebut, atau b. Ketentuan hukum, peraturan, atau kode etik profesi yang terkait dengan komunikasi dan pengungkapan tersebut. Jika tidak memperoleh persetujuan dari klien, Praktisi Pendahulu tidak boleh secara sukarela memberikan informasi mengenai klien kepada Praktisi Pengganti.



60



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Praktisi Pengganti dapat diminta untuk melakukan pekerjaan yang bersifat sebagai pelengkap atau merupakan pekerjaan tambahan dari Praktisi Pendahulu. Kondisi ini mungkin menimbulkan potensi ancaman terhadap kompetensi serta sikap kecermatan dan kehatihatian profesional karena kurang atau tidak lengkapnya informasi. Pencegahan terhadap ancaman ini mencakup antara lain pemberitahuan kepada Praktisi Pendahulu mengenai pekerjaan yang akan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada Praktisi Pendahulu untuk menyediakan semua informasi yang relevan agar Praktisi Pengganti dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.



5.3 Benturan Kepentingan



A C



Setiap Praktisi harus mengidentifikasi setiap situasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan, karena situasi tersebut dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi. Sebagai contoh, ancaman terhadap objektivitas dapat terjadi ketika Praktisi bersaing secara langsung dengan klien atau memiliki kerjasama usaha atau kerjasama sejenis lainnya dengan pesaing utama klien. Ancaman terhadap objektivitas atau kerahasiaan dapat terjadi ketika Praktisi memberikan jasa profesional untuk klien-klien yang kepentingannya saling berbenturan atau kepada klien-klien yang sedang saling berselisih dalam suatu masalah atau transaksi.



A W S I S A E B



Pencegahan yang dilakukan oleh Praktisi umumnya harus mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Memberitahukan klien mengenai setiap kepentingan atau kegiatan bisnis KAP yang dapat menimbulkan benturan kepentingan, dan memperoleh persetujuan dari klien untuk melanjutkan hubungan dengan klien berdasarkan kondisi tersebut, atau b. Memberitahukan semua pihak yang relevan yang teridentifikasi mengenai pemberian jasa profesional oleh Praktisi kepada dua atau lebih klien yang kepentingannya saling berbenturan, dan memperoleh persetujuan dari klien-klien tersebut untuk melanjutkan hubungan dengan mereka berdasarkan kondisi tersebut, atau c. Memberitahukan klien mengenai pemberian jasa profesional oleh Praktisi secara tidak eksklusif untuk suatu klien (sebagai contoh, tidak bertindak secara eksklusif untuk suatu industri atau jasa tertentu), dan memperoleh persetujuan dari klien untuk bertindak demikian. Selain itu, berikut ini adalah pencegahan tambahan yang harus dipertimbangkan: a. Penggunaan tim yang terpisah dalam memberikan jasa profesional kepada klien-klien yang kepentingannya saling berbenturan; b. Penetapan prosedur untuk mencegah akses informasi oleh pihak yang tidak berhak (sebagai contoh, pemisahan fisik yang jelas atas masing-masing tim perikatan tersebut di atas, dan penyimpanan data yang aman dan terjaga kerahasiaannya); c. Penetapan pedoman yang jelas bagi anggota tim mengenai keamanan dan kerahasiaan data; d. Penggunaan perjanjian kerahasiaan yang ditandatangani oleh setiap rekan dan staf KAP; dan e. Penelaahan secara berkala atas penerapan pencegahan oleh pejabat senior KAP yang tidak terlibat dalam perikatan.



H I A R E P



Jika benturan kepentingan menyebabkan ancaman terhadap satu atau lebih prinsip utama etika profesi tidak dapat dihilangkan atau dikurangi ke tingkat yang dapat diterima melalui penerapan pencegahan yang tepat, maka Praktisi harus menolak untuk menerima perikatan tersebut atau bahkan mengundurkan diri dari satu atau lebih perikatan yang berbenturan kepentingan tersebut. Jika klien tidak memberikan persetujuan kepada Praktisi sehubungan dengan permohonan Praktisi untuk memberikan jasa profesionalnya kepada pihak lain (baik klien maupun calon klien) yang kepentingannya



Ikatan Akuntan Indonesia



61



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



berbenturan dengan klien, maka Praktisi tidak boleh melanjutkan pemberian jasa profesionalnya kepada salah satu dari pihak-pihak tersebut. Benturan Kepentingan Setiap Praktisi harus mengidentifikasi setiap situasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan, karena situasi tersebut dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi. Sebagai contoh, ancaman terhadap objektivitas dapat terjadi ketika Praktisi bersaing secara langsung dengan klien atau memiliki kerjasama usaha atau kerjasama sejenis lainnya dengan pesaing utama klien. Ancaman terhadap objektivitas atau kerahasiaan dapat terjadi ketika Praktisi memberikan jasa profesional untuk klien-klien yang kepentingannya saling berbenturan atau kepada klien-klien yang sedang saling berselisih dalam suatu masalah atau transaksi.



5.4 Pendapat Kedua



A W S I S A E B



A C



Ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika dapat terjadi ketika Praktisi diminta untuk memberikan pendapat kedua (second opinions) mengenai penerapan akuntansi, auditing, pelaporan, atau standar/prinsip lain untuk keadaan atau transaksi tertentu oleh, atau untuk kepentingan, pihak-pihak selain klien. Sebagai contoh, ancaman terhadap kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika pendapat kedua tidak didasarkan pada fakta yang sama seperti fakta yang disajikan kepada Praktisi yang memberikan pendapat pertama, atau didasarkan pada bukti yang tidak memadai. Signifikansi ancaman akan tergantung dari kondisi yang melingkupi permintaan pendapat kedua, serta seluruh fakta dan asumsi lain yang tersedia yang terkait dengan pendapat profesional yang diberikan. Ketika diminta untuk memberikan pendapat kedua, setiap Praktisi harus mengevaluasi signifikansi setiap ancaman dan, jika ancaman tersebut merupakan ancaman selain ancaman yang secara jelas tidak signifikan, maka pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima.



H I A R E P



Pencegahan tersebut mencakup antara lain: a. Meminta persetujuan dari klien untuk menghubungi Praktisi yang memberikan pendapat pertama; b. Menjelaskan mengenai keterbatasan pendapat yang diberikan kepada klien; dan c. Memberikan salinan pendapat kepada Praktisi yang memberikan pendapat pertama. Jika perusahaan atau entitas yang meminta pendapat tidak memberikan persetujuannya kepada Praktisi yang memberikan pendapat kedua untuk melakukan komunikasi dengan Praktisi yang memberikan pendapat pertama, maka Praktisi yang diminta untuk memberikan pendapat kedua tersebut harus mempertimbangkan seluruh fakta dan kondisi untuk menentukan dapat tidaknya memberikan pendapat kedua.



5.5 Fee dan Remunerasi Lainnya



Dalam melakukan negosiasi mengenai fee atas jasa profesional yang diberikan, Praktisi dapat mengusulkan jumlah fee yang dipandang sesuai. Kenyataan bahwa jumlah fee yang diusulkan oleh Praktisi yang satu lebih rendah dari Praktisi yang lain bukan merupakan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Namun demikian, ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi dapat saja terjadi dari besaran fee yang



62



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



diusulkan. Sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika besaran fee yang diusulkan sedemikian rendahnya, sehingga dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya perikatan dengan baik berdasarkan standar teknis dan standar profesi yang berlaku. Signifikansi ancaman akan tergantung dari beberapa faktor, seperti besaran fee yang diusulkan, serta jenis dan lingkup jasa profesional yang diberikan. Sehubungan dengan potensi ancaman tersebut, pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Pencegahan tersebut mencakup antara lain: a. Membuat klien memahami persyaratan dan kondisi perikatan, terutama dasar penentuan besaran fee, serta jenis dan lingkup jasa profesional yang diberikan. b. Mengalokasikan waktu yang memadai dan menggunakan staf yang kompeten dalam perikatan tersebut.



A C



Fee yang bersifat kontinjen telah digunakan secara luas untuk jasa profesional tertentu selain jasa assurance. Namun demikian, dalam situasi tertentu fee yang bersifat kontinjen dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi, yaitu ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas. Signifikansi ancaman tersebut akan tergantung dari beberapa faktor sebagai berikut: a. b. c. d.



A W S I S A E B



Sifat perikatan; Rentang besaran fee yang dimungkinkan; Dasar penetapan besaran imbalan jasa profesional; Ada tidaknya penelaahan hasil pekerjaan oleh pihak ketiga yang independen.



Signifikansi setiap ancaman harus dievaluasi dan, jika ancaman tersebut merupakan ancaman selain ancaman yang secara jelas tidak signifikan, maka pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Pencegahan tersebut mencakup antara lain: a. b. c. d.



H I A R E P



Perjanjian tertulis dengan klien yang dibuat di muka mengenai dasar penentuan fee. Pengungkapan kepada pihak pengguna hasil pekerjaan Praktisi mengenai dasar penentuan fee. Kebijakan dan prosedur pengendalian mutu. Penelaahan oleh pihak ketiga yang objektif terhadap hasil pekerjaan Praktisi.



Dalam situasi tertentu, seorang Praktisi dapat menerima fee rujukan atau komisi (referral fee) yang terkait dengan diterimanya suatu perikatan. Sebagai contoh, jika Praktisi tidak memberikan jasa profesional tertentu yang dibutuhkan, maka fee dapat diterima oleh Praktisi karena merujuk klien yang berkelanjutan (continuing client) tersebut kepada tenaga ahli atau Praktisi yang lain. Praktisi dapat menerima komisi dari pihak ketiga (seperti penjual perangkat lunak) sehubungan dengan penjualan barang atau jasa kepada klien. Penerimaan fee rujukan atau komisi tersebut dapat menimbulkan ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas, kompetensi, serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional. Sebaliknya, seorang Praktisi dapat membayar juga fee rujukan untuk mendapatkan klien. Pembayaran imbalan jasa profesional rujukan tersebut dapat menimbulkan ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas, kompetensi, serta sikap kecermatan dan kehatian-hatian profesional.



Ikatan Akuntan Indonesia



63



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Setiap Praktisi tidak boleh membayar atau menerima fee rujukan atau komisi, kecuali jika Praktisi telah menerapkan pencegahan yang tepat untuk mengurangi ancaman atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Pencegahan tersebut mencakup antara lain: a. Mengungkapkan kepada klien mengenai perjanjian pembayaran atau penerimaan fee rujukan kepada Praktisi lain atas suatu perikatan. b. Memperoleh persetujuan di muka dari klien mengenai penerimaan komisi dari pihak ketiga atas penjualan barang atau jasa kepada klien.



5.6 Pemasaran Jasa Profesional



A C



Ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi dapat terjadi ketika Praktisi mendapatkan suatu perikatan melalui iklan atau bentuk pemasaran lainnya. Sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap kepatuhan pada perilaku profesional dapat terjadi ketika jasa profesional, hasil pekerjaan, atau produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan prinsip perilaku profesional.



A W S I S A E B



Setiap Praktisi tidak boleh merusak reputasi profesi dalam memasarkan jasa profesionalnya. Setiap Praktisi harus bersikap jujur dan tidak boleh melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: a. Membuat pernyataan yang berlebihan mengenai jasa profesional yang dapat diberikan, kualifikasi yang dimiliki, atau pengalaman yang telah diperoleh; atau b. Membuat pernyataaan yang merendahkan atau melakukan perbandingan yang tidak didukung bukti terhadap hasil pekerjaan Praktisi lain. Jika Praktisi memiliki keraguan atas tepat tidaknya suatu iklan atau bentuk pemasaran lainnya, maka Praktisi harus melakukan konsultasi dengan organisasi profesi.



H I A R E P



5.7 Hadiah dan Keramah-tamahan



Praktisi maupun keluarga dekatnya mungkin saja ditawari suatu hadiah atau bentuk keramah-tamahan (hospitality) lain oleh klien. Penerimaan pemberian tersebut dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi, sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas dapat terjadi ketika hadiah dari klien diterima, atau ancaman intimidasi terhadap objektivitas dapat terjadi sehubungan dengan kemungkinan dipublikasikannya penerimaan hadiah tersebut. Signifikansi ancaman sangat beragam, tergantung dari sifat, nilai, dan maksud di balik pemberian tersebut. Jika pemberian tersebut disimpulkan oleh pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan sebagai pemberian yang secara jelas tidak signifikan, maka Praktisi dapat menyimpulkan pemberian tersebut sebagai Pemberian yang diberikan dalam kondisi bisnis normal, yaitu pemberian yang tidak dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan atau untuk memperoleh informasi. Dalam kondisi demikian, Praktisi dapat menyimpulkan tidak terjadinya ancaman yang signifikan terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi. Jika ancaman yang dievaluasi merupakan ancaman yang signifikan, maka pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Jika ancaman tersebut tidak dapat dihilangkan atau dikurangi ke tingkat yang dapat diterima, maka Praktisi tidak diperbolehkan untuk menerima pemberian tersebut.



64



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



5.8 Menyimpan Aset Klien



Setiap Praktisi tidak boleh mengambil tanggung jawab menyimpan uang atau aset lainnya milik klien, kecuali jika diperbolehkan oleh ketentuan hukum yang berlaku dan jika demikian, Praktisi wajib menyimpan aset tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penyimpanan aset milik klien dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama etika profesi, sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap perilaku profesional dan objektivitas dapat terjadi dari penyimpanan aset klien tersebut. Praktisi yang dipercaya untuk menyimpan uang atau aset lainnya milik pihak lain harus melakukan pencegahan sebagai berikut: a. Menyimpan aset tersebut secara terpisah dari aset KAP atau aset pribadinya; b. Menggunakan aset tersebut hanya untuk tujuan yang telah ditetapkan; c. Setiap saat siap mempertanggungjawabkan aset tersebut kepada individu yang berhak atas aset tersebut, termasuk seluruh penghasilan, dividen, atau keuntungan yang dihasilkan dari aset tersebut; dan d. Mematuhi semua ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku sehubungan dengan penyimpanan dan pertanggungjawaban aset tersebut.



A W S I S A E B



A C



Selain itu, setiap Praktisi harus selalu waspada terhadap ancaman atas kepatuhan pada prinsip utama etika profesi yang dapat terjadi sehubungan dengan keterkaitan Praktisi dengan aset tersebut, sebagai contoh, keterkaitan Praktisi dengan aset yang berhubungan dengan kegiatan ilegal, seperti pencucian uang. Sebagai bagian dari prosedur penerimaan klien dan perikatan, setiap Praktisi harus melakukan wawancara yang memadai mengenai sumber aset tersebut dan mempertimbangkan kewajiban yang timbul berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam kondisi demikian, Praktisi dapat mempertimbangkan untuk meminta nasihat hukum.



H I A R E P



5.9 Objektivitas



Dalam memberikan jasa profesionalnya, setiap Praktisi harus mempertimbangkan ada tidaknya ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip utama objektivitas yang dapat terjadi dari adanya kepentingan dalam, atau hubungan dengan, klien baik direktur, pejabat, atau karyawannya. Sebagai contoh, ancaman kedekatan terhadap kepatuhan pada prinsip dasar objektivitas dapat terjadi dari hubungan keluarga, hubungan kedekatan pribadi, atau hubungan bisnis.



Setiap Praktisi yang memberikan jasa assurance harus bersikap independen terhadap klien assurance. Independensi dalam pemikiran (independence of mind) dan independensi dalam penampilan (independence in appearance) sangat dibutuhkan untuk memungkinkan Praktisi untuk menyatakan pendapat, atau memberikan kesan adanya pernyataan pendapat, secara tidak bias dan bebas dari benturan kepentingan atau pengaruh pihak lain. Setiap Praktisi harus mengevaluasi signifikansi setiap ancaman yang diidentifikasi dan, jika ancaman tersebut merupakan ancaman selain ancaman yang secara jelas tidak yang signifikan, maka pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Pencegahan tersebut mencakup antara lain: a. Mengundurkan diri dari tim perikatan. b. Menerapkan prosedur pengawasan yang memadai. c. Menghentikan hubungan keuangan atau hubungan bisnis yang dapat menimbulkan ancaman.



Ikatan Akuntan Indonesia



65



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



d. Mendiskusikan ancaman tersebut dengan manajemen senior KAP. e. Mendiskusikan ancaman tersebut dengan pihak klien yang bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan.



5.10 Independensi - Dalam Perikatan Audit dan Review



Perikatan audit dan review merupakan perikatan assurance dimana Praktisi menyatakan pendapatnya (kesimpulan) atas Laporan Keuangan. Perikatan audit dan review meliputi pelaporan atas Laporan Keuangan secara lengkap atau satu laporan keuangan saja. Dalam melaksanakan perikatan audit dan review, anggota tim, KAP, dan Jaringan KAP, diwajibkan untuk bersikap independen terhadap klien audit sehubungan dengan tugas mereka untuk melindungi kepentingan publik.



A C



Independensi yang diatur dalam Etika Profesi mewajibkan setiap Praktisi untuk bersikap sebagai berikut:



A W S I S A E B



a. Independensi dalam pemikiran. Independensi dalam pemikiran merupakan sikap mental yang memungkinkan pernyataan pemikiran yang tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang dapat mengganggu pertimbangan profesional, sehingga memungkinkan seorang individu untuk bertindak dengan integritas menerapkan objektivitas dan, skeptisisme profesional. b. Independensi dalam penampilan. Independensi dalam penampilan merupakan sikap yang menghindari tindakan atau situasi yang dapat menyebabkan pihak ketiga (pihak yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan, termasuk pencegahan yang diterapkan) menyimpulkan bahwa integritas, objektivitas, atau skeptisisme profesional telah dikorbankan. IESBA Code of Ethics for Professional Accountants mengembangkan kerangka konseptual yang membantu akuntan profesional untuk:



H I A R E P



a. Identifikasi ancaman independensi. b. Evaluasi signifikansi dari ancaman yang teridentifikasi. c. Menerapkan pencegahan yang dibutuhkan untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman sampai pada tingkat yang dapat diterima. Jika pencegahan tidak tersedia atau tidak dapat diterapkan maka akuntan profesional harus mengeliminasi situasi atau hubungan yang menciptakan ancaman atau menolak atau membatalkan perikatan audit dan review. IESBA Code of Ethics for Professional Accountants section 290 mencoba untuk memberikan kerangka konseptual pada beberapa situasi, namun disadari bahwa tindak mungkin untuk dapat mendefinisikan setiap situasi yang menciptakan ancaman independensi. Akuntan profesional harus menggunakan pertimbangan profesional untuk menerapkan kerangka konseptual tersebut.



66



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



5.11 Independensi - Dalam Perikatan Assurance Lainnya



Perikatan assurance bertujuan untuk memperkuat tingkat keyakinan pengguna atas hasil evaluasi atau pengukuran yang dilakukan berdasarkan suatu kriteria terhadap suatu hal pokok tertentu. International Framework for Assurance Engagement (Assurance Framework) yang dikeluarkan oleh International Auditing and Assurance Standards Board menjelaskan elemen dan tujuan dari perikatan assurance dan mengidentifikasi perikatan yang harus menerapkan International Standards on Assurance Engagements (ISAE). Kepatuhan pada prinsip utama objektivitas menuntut independensi dari klien assurance. Perikatan assurance terkait dengan kepentingan publik, karena itu anggota dari tim assurance dan KAP independen dari klien assurance dan setiap ancaman harus dievaluasi serta tindakan pencegahan harus diterapkan. Definisi independensi pada perikatan assurance lainnya ini sama dengan definisi pada perikatan audit dan review.



A C



IESBA Code of Ethics for Professional Accountants mengembangkan kerangka konseptual yang membantu akuntan profesional untuk: a. Identifikasi ancaman independensi. b. Evaluasi signifikansi dari ancaman yang teridentifikasi. c. Menerapkan pencegahan yang dibutuhkan untuk mengeliminasi atau mengurangi ancaman sampai pada tingkat yang dapat diterima.



A W S I S A E B



Jika pencegahan tidak tersedia atau tidak dapat diterapkan maka akuntan profesional harus mengeliminasi situasi atau hubungan yang menciptakan ancaman atau menolak atau membatalkan perikatan assurance. IESBA Code of Ethics for Professional Accountants section 291 mencoba untuk memberikan kerangka konseptual pada beberapa situasi, namun disadari bahwa tidak mungkin untuk dapat mendefinisikan setiap situasi yang menciptakan ancaman independensi. Akuntan profesional harus menggunakan pertimbangan profesional untuk menerapkan kerangka konseptual tersebut.



H I A R E P



Ikatan Akuntan Indonesia



67



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi 1. IAPI (2010), Kode Etik Profesi Akuntan Publik 2. IESBA (2013), Handbook of the Code of Ethics for Professional Accountants, International Federation of Accountants, 2013 edition, Part B



H I A R E P



68



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A Bab VI W S I IKLIM ETIKA AS E DAN ORGANISASI B BERINTEGRITAS H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



A C



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



69



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB VI



IKLIM ETIKA DAN ORGANISASI BERINTEGRITAS 5.1 Pentingnya Membangun Iklim Etika dan Organisasi Berintegritas



Banyak pimpinan organisasi dan perusahaan yang beranggapan bahwa permasalahan etika adalah permasalahan individual. Setiap individu bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan tidak beretika yang mereka lakukan, sementara itu organisasi tidak dapat berbuat apa-apa untuk mempengaruhi etika seseorang karena sudah terbentuk melalui keluarga dan pendidikan pada masa kecil mereka.



A C



Memang Gayus Tambunan dari Direktorat Pajak dan Malinda Dee dari Citibank memperoleh hukuman atas tindakan mereka melanggar hukum. Namun apa yang mereka perbuat berpengaruh terhadap organisasi dan perusahaan tempat mereka bekerja. Kepercayaan pembayar pajak berkurang ketika muncul kasus Gayus. Citibank harus membayar dana nasabah yang digelapkan oleh Malinda Dee. Selain itu, tingkat kepercayaan nasabah terhadap Citibank juga menurun dan Citibank mendapat hukuman dari Bank Indonesia. Karena itu, organisasi dan perusahaan sangat berkepentingan terhadap perilaku etika dari orang-orang yang bekerja pada organisasi dan perusahaan tersebut.



A W S I S A E B



Organisasi juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi pada Sears, Roebuck & Company pada tahun 1992. Pada saat itu perusahaan tersebut dibanjiri oleh komplain atas bisnis layanan otomotif. Pelanggan dan pengacara dari 40 negara bagian di Amerika Serikat menuduh Perusahaan telah menyesatkan pelanggan dengan menjual suku cadang yang belum perlu diganti. Hal ini terjadi bukan karena penurunan moral pada pegawai perusahaan. Peristiwa ini juga terjadi bukan disengaja oleh manajemen. Namun terdapat beberapa faktor di dalam organisasi yang menciptakan situasi tersebut.



H I A R E P



Dalam menghadapi penurunan pendapatan, pangsa pasar yang mengecil dan persaingan yang semakin ketat, manajemen perusahaan berupaya untuk meningkatkan kinerja dengan memperkenalkan program sasaran dan insentif yang baru untuk pegawai. Perusahaan meningkatkan kuota minimum dan memperkenalkan insentif produtivitas bagi mekanik bengkel. Asisten pelayanan (service assistants) diberikan target penjualan untuk produk tertentu, seperti rem, shock absorber dan lain-lain per shift dan memperoleh komisi dari penjualan yang dilakukan. Jika mereka gagal mencapai target, mereka akan dipindahkan atau dikurangi jam kerjanya. Mereka mendapat tekanan untuk melakukan penjualan. Dengan tekanan dan insentif yang baru, sementara mereka pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk meningkatkan penjualan, karena penjualan sangat tergantung pada kerusakan mobil, maka mereka mengalami kesulitan untuk melakukan pertimbangan secara jernih. Mereka menjadi sulit untuk membedakan antara layanan yang tidak dibutuhkan dan perawatan yang memang harus dilakukan. Ditambah dengan ketidak-tahuan pelanggan, mereka menetapkan sendiri tindakan dalam area abu-abu yang memiliki berbagai interpretasi. Tanpa dukungan aktif dari manajemen untuk praktik beretika dan ketiadaan mekanisme untuk mendeteksi dan memeriksa penjualan yang meragukan dan hasil pekerjaan yang buruk, pegawai akan bertindak sesuai dengan tekanan yang dihadapi. Karena hal itu yang menjadi prioritas mereka. Setelah tuntutan terhadap Sears diketahui publik, CEO Edward Brennan mengakui tanggung jawab manajemen yang telah menerapkan sistem penetapan sasaran dan kompensasi yang menciptakan situasi penyebab kesalahan. Walaupun perusahaan menyangkal adanya niat untuk memanfaatkan pelanggan, eksekutif kemudian menghapus komisi kepada service assistant dan memberhentikan kuota penjualan untuk suku cadang tertentu. Mereka juga mengumumkan menerapkan sistem blind audit dan merencanakan untuk



70



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



memperluas sistem pemantauan kualitas pelayanan. Untuk menyelesaikan tuntutan hukum, perusahaan menawarkan kupon untuk pelanggan yang membeli suku cadang tertentu selama periode 1990-1992. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelesaikan tuntutan diperkirakan sebesar $60 juta.



5.2 Keterbatasan Program Compliance



Risiko menghadapi kasus hukum akibat tindakan yang dilakukan oleh pegawainya yang melanggar hukum tanpa terdeteksi berdampak pada konsekuensi biaya yang signifikan dan kehilangan nama baik dan kepercayaan pelanggan. Risiko ini menyebabkan banyak organisasi perusahaan yang menyadari pentingnya etika organisasi. Mereka mengembangkan etika organisasi yang mampu mendeteksi dan mencegah pelanggaran hukum. Sementara itu, Pemerintah Amerika juga mendorong perusahaan untuk menerapkan program compliance, dengan memberikan denda yang lebih rendah kepada perusahaan yang melanggar hukum jika mereka sudah menerapkan program legal compliance.



A W S I S A E B



A C



Program compliance biasanya menekankan pada pencegahan tindakan yang melawan hukum, melalui peningkatan pemantauan dan pengawasan serta dengan memberikan hukuman bagi pelanggar. Manajer harus mengembangkan standar dan prosedur, menugaskan pegawai-pegawai yang memiliki jabatan yang tinggi untuk mengawasi kepatuhan terhadap standar dan prosedur, menghindari pendelegasian wewenang kepada orang-orang yang berpotensi untuk melakukan pelanggaran, mengkomunikasikan standar dan prosedur melalui pelatihan dan publikasi, melakukan audit kepatuhan, proses pemantauan, sistem whistleblowing dimana pegawai dapat melaporkan tindakan melawan hukum tanpa merasa takut dihukum, secara konsisten menegakkan standar melalui tindakan-tindakan disiplin, secara cepat melakukan tindakan jika terdeteksi pelanggaran, dan melakukan langkah-langkah pencegahan agar pelanggaran sejenis tidak terulang di masa mendatang. Terdapat beberapa keterbatasan atas program compliance ini. Perusahaan multinasional menghadapi perbedaan hukum dan aturan pada masing-masing negara. Walaupun keterbatasan ini sebetulnya dapat diatasi dengan menetapkan standar yang tertinggi.



H I A R E P



Keterbatasan lainnya adalah program compliance terlalu menekankan kepada pemberian ancaman deteksi dan hukuman untuk mendorong perilaku yang mentaati hukum. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa manusia bersifat self interest yang lebih memperhatikan untung rugi pada suatu pilihan daripada pertimbangan moral. Padahal tidak semua manusia bersifat self interest. Sebagian merasa memiliki kewajiban untuk mentaati hukum. Namun mereka diperlakukan sama dengan sebagian yang bersifat self interest. Hal ini akan lebih bermasalah dalam pemberian hukuman. Tidak semua orang perlu diancam untuk diberi sanksi. Malah pemberian hukuman justru berdampak negatif. Mereka akan melawan program-program yang menekankan pada hukuman terutama jika program dikembangkan tanpa keterlibatan mereka atau jika standar dianggap terlalu tinggi dan sulit untuk dicapai. Keterbatasan utama dari program compliance adalah program ini cenderung untuk tidak mendorong terciptanya imajinasi moral atau komitmen. Hukum tidak dimaksudkan untuk menginspirasi manusia untuk melakukan hal terbaik atau melakukan perbedaan. Program ini bukan pedoman untuk perilaku keteladanan atau bahkan untuk praktik-praktik yang baik. Manajer yang mendefinisikan etika sebagai kepatuhan hukum secara implisit mendukung suatu tingkat moral yang rata-rata (mediocre).



Ikatan Akuntan Indonesia



71



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



5.3 Integritas sebagai Tata Kelola Etika



Pendekatan berbasis integritas ini diyakini akan membuat organisasi memiliki standar yang lebih kuat. Jika program compliance berakar pada upaya untuk menghindari pelanggaran hukum, maka organisasi yang berintegritas berbasis konsep pengelolaan sendiri (self-governance) berdasarkan sekumpulan prinsip. Dari perspektif integritas, tugas dari manajemen etika adalah untuk mendefinisikan dan menghidupkan nilainilai organisasi, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku yang beretika baik, dan untuk menanamkan rasa akuntabilitas bersama di antara pegawai. Tuntutan untuk mematuhi hukum akan dilihat sebagai aspek positif dari kehidupan organisasi daripada sebagai kendala yang tidak diinginkan dan dipaksa oleh pihak otoritas. Pada pendekatan integritas, konsep etika yang disepakati oleh anggota organisasi merupakan kekuatan utama dari organisasi. Nilai-nilai etika akan mempertajam upaya pencarian kesempatan, perancangan sistem organisasi, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan oleh individu dan kelompok. Nilainilai etika akan memberikan kerangka acuan yang sama dalam organisasi dan berfungsi sebagai kekuatan untuk mempersatukan organisasi dari fungsi yang berbeda, bisnis yang berbeda dan kelompok pegawai yang berbeda. Etika organisasi membantu mendefinisikan organisasi dan apa yang diperjuangkan dari organisasi tersebut untuk dicapai.



A W S I S A E B



A C



Bentuk dari program integritas menyerupai dengan program compliance, seperti kode etik, pelatihan, mekanisme pelaporan, investigasi atas potensi pelanggaran, dan audit dan pengawasan untuk menjamin standar dan aturan perusahaan dijalankan dan dipatuhi. Sebagai tambahan, jika dirancang dengan tepat, program berbasis integritas dapat menciptakan dasar untuk mencari kemanfaatan dari kepatuhan terhadap hukum. Pendekatan organisasi yang berintegritas lebih luas, lebih dalam dan lebih sulit dari program compliance. Dikatakan lebih luas karena pendekatan ini berupaya untuk memungkinkan terciptanya perilaku yang bertanggung jawab. Lebih dalam karena mencakup ethos dan sistem operasi dari organisasi dan anggotaanggotanya, nilai-nilai yang mereka pedomani, cara berpikir dan berperilaku. Dan lebih sulit karena membutuhkan upaya secara aktif untuk mendefinisikan tanggung jawab dan aspirasi yang menjadi bagian dari pedoman etika organisasi. Di atas semuanya, etika organisasi merupakan kerja dari manajemen. Pimpinan perusahaan mungkin memegang peran penting pada saat perancangan dan implementasi program integritas, tapi seluruh manajer dari seluruh lini dan seluruh fungsi terlibat dalam proses.



H I A R E P



Terdapat beberapa pendekatan dalam pembentukan organisasi berintegritas ini. Sebagian perusahaan fokus dalam mendefinisikan nilai-nilai inti integritas yang mencerminkan kewajiban-kewajiban dasar sosial, seperti menghargai hak pihak lain, kejujuran, kesepakatan yang adil, dan kepatuhan terhadap hukum. Sedangkan organisasi perusahaan lainnya menekankan pada aspirasi, yaitu nilai-nilai yang diinginkan secara etika tapi bukan merupakan kewajiban moral, seperti layanan yang baik kepada pelanggan, komitmen terhadap keragaman, dan keterlibatan dalam komunitas. Pada saat implementasi, sebagian organisasi memulai dengan perilaku. Organisasi mengembangkan kode etik yang merinci perilaku yang pantas, bersama dengan sistem insentif, audit dan pengawasan. Sedangkan organisasi perusahaan lainnya fokus kepada tindakan-tindakan yang kurang terinci dan lebih memperhatikan pengembangan sikap, proses pengambilan keputusan, dan cara berpikir yang mencerminkan nilai-nilai organisasi. Asumsi yang digunakan adalah komitmen pribadi dan proses pengambilan keputusan yang pantas akan mengarah kepada tindakan yang tepat.



72



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Perbedaan karakteristik dan implementasi antara program compliance dan organisasi berintegritas dapat dilihat pada tabel 2.1 dan 2.2. Tabel 1 Perbedaan Karakteristik Program Compliance dan Integritas Karakteristik Etika



Program compliance



Program Integritas



Sesuai dan taat dengan standar yang diterapkan



Mengelola sendiri sesuai dengan standar yang



dari luar organisasi



dipilih



Tujuan



Mencegah terjadinya tindakan melawan hukum



Kepemimpinan



Dipimpin oleh ahli hukum



Mendorong tindakan-tindakan yang bertang­ gung jawab



A C



Dipimpin oleh manajemen dengan bantuan ahli hukum, spesialis SDM dan lain-lain



Pendidikan, kepemimpinan, akuntabilitas,



Metode



A W S I S A E B



Pendidikan, pengurangan kewenangan, auditing



sistem organisasi dan proses pengambilan



dan pengawasan, pemberian hukuman



keputusan, auditing dan pengawasan, pemberian hukuman



Asumsi perilaku



Otonom/individualis yang didorong oleh



kepentingan diri sendiri yang bersifat material



Sosial, yang dipandu oleh kepentingan diri sendiri yang bersifat material, nilai-nilai, kesempurnaan dan rekan sejawat



Tabel 2 Perbedaan Implementasi Program Compliance dan Integritas Implementasi Standar Staffing



Program compliance



H I A R E P



Hukum Pidana dan UU terkait dengan kegiatan



Nilai-nilai dan aspirasi organisasi, kewajiban



organisasi perusahaan



sosial, termasuk kewajiban taat hukum



Ahli hukum



Mengembangkan standar compliance, pelatihan



Kegiatan



dan komunikasi, pelaporan pelanggaran, investigasi, audit atas ketaatan, penegakan standar



Pendidikan



Program Integritas



Sistem dan standar compliance



Pimpinan dan manajer Menjalankan organisasi berdasarkan nilai-nilai dan standar, pelatihan dan komunikasi, peng­ integrasian nilai-nilai ke dalam sistem organi­ sasi, memberikan bimbingan dan pelatihan, menilai kinerja berbasis nilai-nilai, identifikasi dan pemecahan masalah, mengawasi ketaatan Pengambilan keputusan dan nilai-nilai organisasi, sistem dan standar compliance



Ikatan Akuntan Indonesia



73



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



5.4 Program Integritas yang Efektif



Pada dasarnya tidak ada satu jenis program integritas yang baik. Banyak faktor yang mempengaruhi program integritas pada satu organisasi perusahaan, seperti pribadi pimpinan organisasi, sejarah organisasi, budaya organisasi, lini bisnis, dan regulasi industri. Namun demikian, terdapat beberapa karakteristik dari program integritas yang efektif, yaitu: •











• •



Nilai dan komitmen yang masuk akal dan secara jelas dikomunikasikan. Nilai dan komitmen ini mencerminkan kewajiban organisasi dan aspirasi yang dimiliki secara luas yang menyentuh seluruh anggota organisasi. Pegawai dari berbagai tingkatan menerima nilai dan komitmen tersebut dengan sungguh-sungguh, merasa bebas untuk mendiskusikannya, dan memahami pentingnya dalam praktik. Hal ini bukan berarti semuanya sudah jelas sehingga tidak ada ambiguitas dan konflik. Namun selalu ada keinginan untuk mencari solusi yang sesuai dengan kerangka nilai tersebut. Pimpinan organisasi secara pribadi memiliki komitmen, dapat dipercaya, dan bersedia untuk melakukan tindakan atas nilai-nilai yang mereka pegang. Mereka tidak sekedar juru bicara. Mereka bersedia untuk memeriksa keputusannya sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Konsistensi merupakan bagian penting dari kepemimpinan. Ceramah berkepanjangan dan tidak jelas tentang nilai-nilai perusahaan hanya memancing ketidak-percayaan pegawai dan penolakan terhadap program. Pada saat yang sama, pimpinan harus mengambil tanggung jawab untuk membuat keputusan yang sulit ketika terjadi konflik antara kewajiban etika. Nilai-nilai yang digunakan terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan manajemen dan tercermin dalam kegiatan-kegiatan penting organisasi: penyusunan rencana, penetapan sasaran, pencarian kesempatan, alokasi sumber daya, pengumpulan dan komunikasi informasi, pengukuran kinerja, dan pengembangan SDM. Sistem dan struktur organisasi mendukung dan menguatkan nilai-nilai organisasi. Sistem pelaporan dibuat untuk memungkinkan dilakukannya check and balance untuk mendukung pertimbangan yang objektif dalam pengambilan keputusan. Penilaian kinerja memperhatikan cara kerja dan hasil kerja. Seluruh manajer memiliki ketrampilan pengambilan keputusan, pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang berbasis etika setiap harinya. Berpikir dan memiliki kesadaran etika harus menjadi bagian dari perlengkapan mental seorang manajer. Pendidikan etika biasanya merupakan bagian dari proses.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Keberhasilan dalam menciptakan iklim untuk perilaku yang beretika dan bertanggung jawab membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan investasi yang cukup besar dalam waktu dan sumberdaya. Suatu buku kode etik yang mewah, pejabat yang berpangkat tinggi di bidang etika, program pelatihan, dan audit etika tahunan serta jebakan-jebakan program etika lainnya tidak perlu ditambahkan dalam organisasi yang bertanggung jawab dan taat hukum yang nilai-nilai dimiliki tercermin dalam tindakan yang dilakukan. Program etika formal akan membantu sebagai katalis dan sistem pendukung, tapi integritas organisasi tergantung kepada integrasi nilai-nilai organisasi ke dalam sistem.



5.5 Dampak Organisasi yang Berintegritas terhadap Akuntan Profesional



Konsep organisasi berintegritas dapat membantu akuntan profesional dalam dua hal. Pertama, untuk akuntan profesional yang mengembangkan kantor sendiri, maka pendekatan integritas akan membantu akuntan profesional dalam menghidupkan dan menjaga etika akuntan profesional yang akan memudahkan akuntan profesional dalam menjalankan profesinya. Selain itu, akuntan profesional dapat melakukan penilaian terhadap integritas organisasi dari kliennya dalam menilai risiko yang dihadapi.



74



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Kedua, untuk akuntan profesional yang bekerja di dalam organisasi, penilaian terhadap integritas organisasi merupakan langkah pertama dalam pemilihan organisasi tempat bekerja. Akuntan profesional harus memilih tempat bekerja yang mendorong terciptanya dan terjaganya etika akuntan profesional. Akuntan profesional harus menghindari tempat bekerja yang berpotensi untuk menciptakan konflik-konflik etika dan mendorong akuntan untuk mengorbankan etika profesionalnya. Selain itu, akuntan profesional juga dapat membantu organisasi tempat bekerja untuk menjadi organisasi berintegritas di mana nilai-nilai organisasi selaras dengan nilai-nilai etika profesionalnya.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



75



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi 1. Brooks, Leonard J. and Paul Dunn (2012). Business & Professional Ethics for Directors, Executives and Accountants. South-Western College Publishing, 6th edition, Chapter 5 2. Murphy, Patrick E (1989)., Creating Ethical Corporate Structure, Sloan Management Review, Winter, 8187 3. Paine, Sharpe Lynn (1994), Managing for Oganizational Integrity, Harviard Business Review, March – April, 106-117



H I A R E P



76



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab VII W S I S TINJAUAN TATAAKELOLA: E KONSEP, PRINSIP, DAN B PRAKTIKIH DI INDONESIA A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



77



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB VII



TINJAUAN TATA KELOLA: KONSEP, PRINSIP, DAN PRAKTIK DI INDONESIA 7.1 Alasan Diperlukan Tata Kelola yang Baik



Perkembangan tata kelola perusahaan berangkat dari teori keagenan (agency theory) yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Teori tersebut mendasarkan hubungan kontrak antara prinsipal dan agen. Prinsipal merupakan pihak yang memiliki sumberdaya dan memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk mengelola sumberdaya. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya serta memiliki kewenangan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kesejahteraan prinsipal.



A W S I S A E B



A C



Perusahaan berinteraksi dengan berbagai pihak dalam menjalankan usahanya, antara lain dengan Direksi/Manajemen, pemegang saham pengendali dan non-pengendali, kreditor, pemerintah, karyawan, masyarakat. Sumberdaya tidak hanya berupa modal finansial tetapi antara lain juga modal intelektual dan ketrampilan, layanan publik/infrastruktur, sumber daya alam. Contoh hubungan prinsipal-agen tidak hanya terbatas pada hubungan antara pemegang saham dan manager, hubungan prinsipal-agen dapat pula terjadi hubungan antara: a. b. c. d. e.



Kreditor (prinsipal) dan Manajemen (agen). Pemegang Saham Non-Pengendali (prinsipal) dan Pemegang Saham Pengendali (agen). Pemerintah (prinsipal) dan Manajemen (agen). Karyawan (prinsipal)-Manajemen (agen). Publik (prinsipal)-Manajemen (agen).



H I A R E P



Agen sebagai pihak yang bertugas untuk mengelola perusahaan mempunyai lebih banyak informasi mengenai perusahaan dibanding prinsipal. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi antara prinsipal dan agen. Ketidakseimbangan informasi karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen disebut dengan asimetri informasi (asymmetric information). Tanpa pengawasan yang kuat, agen cenderung untuk mengejar kepentingannya sendiri (yaitu, self interest), yang mungkin bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Dengan tingkat asimetri informasi yang tinggi, tindakan agen tidak dapat dilihat/diamati dengan baik sehingga agen akan cenderung melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya dan merugikan prinsipal. Contoh-contoh manifestasi konflik kepentingan antara prinsipal dan agen adalah: pemegang saham – manajemen (Enron, Worldcom, Bank Global), pemegang saham pengendali – pemegang saham non-pengendali (Parmalat, Bank Century, Satyam), kreditur- manajemen (Bank Century, Parmalat, Great River Garment), masyarakat – manajemen (Inti Indorayon). Berikut adalah penjelasan lebih rinci terhadap beberapa konflik kepentingan. Konflik Pemegang Saham dan Manajer Perilaku mementingkan diri sendiri (self interest) dari manager (agen) akan menimbulkan konflik dengan kepentingan pemegang saham (prinsipal). Manajer lebih suka pertumbuhan dan ukuran perusahaan menjadi besar karena berarti akan mendapat keamanan kerja yang lebih besar, kompensasi yang lebih besar, prestise yang lebih besar dan pengeluaran diskresioner yang lebih besar. Konfik antara manajer dan pemegang saham dapat berbentuk:



78



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



1. Konsumsi penghasilan tambahan yang berlebihan (perquisites) dapat berbentuk manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung. Manfaat langsung misalnya penggunaan mobil perusahaan yang terlalu mewah dan pengeluaran pengeluaran lain yang tidak perlu, sedangkan manfaat tidak langsung misalnya ruangan kantor yang terlalu mewah. 2. Manajer melakukan shirking (lalai) dimana manager tidak bekerja dengan upaya terbaik mereka. Contoh masalah ini dapat dilihat pada kasus Bank Global, kasus Enron dan Worldcom. Konflik antara Kreditur dan Pemegang Saham Ketika membahas konflik Kreditur - Pemegang Saham ini, diasumsikan manager bertindak mewakili pemegang saham yang mengadakan kontrak dengan kreditur. Masalah keagenan terkait hutang terjadi ketika manajer sebagai perwakilan pemegang saham berusaha mentransfer kesejahteraan dari kreditur ke pemegang saham dan atau dirinya sendiri. Ketika perusahaan mengeluarkan hutang yang berisiko, perusahaan memiliki pilihan untuk gagal membayar hutang. Konflik ini dapat terwujud dalam tiga cara yaitu: aset substitusi, underinvestment dan claim dilution.



A W S I S A E B



A C



a. Asset Substitution Problem Aset substitusi terjadi ketika sebuah perusahaan menukar investasi pada aset-aset berisiko rendah kepada investasi pada aset berisiko tinggi. Substitusi aset ini menyebabkan meningkatnya resiko. Peningkatan level resiko ini akan berdampak negatif terhadap kreditur karena meningkatnya kemungkinan perusahaan gagal dalam membayar hutang. Pengalihan aset menimbulkan risiko yang lebih tinggi bagi kreditur dengan tanpa memberikan tambahan kompensasi bagi mereka karena mereka hanya mendapatkan imbal hasil tetap dari hutang yang diberikan kepada perusahaan. Maka dapat dikatakan bahwa substitusi aset ini akan mentransfer keuntungan dari kreditur kepada para pemegang saham. b. Underinvestment Underinvestment terjadi ketika perusahaan menolak untuk berinvestasi pada aset yang berisiko rendah dengan tujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham, namun hal ini berarti dengan mengabaikan kepentingan kreditur. Proyek berisiko rendah akan memberikan keamanan yang lebih bagi pemegang utang karena aliran kas yang dihasilkan dapat melunasi pinjaman. Namun arus kas yang aman tersebut tidak menghasilkan imbal hasil yang memadai untuk pemegang saham. Akibatnya proyek ini ditolak oleh perusahaan meskipun dapat meningkatkan nilai perusahaan secara keseluruhan. c. Claim Dilution Divestasi perusahaan untuk penciptaan sebuah entitas baru melalui penerbitan saham baru adalah situasi lain yang mengarah kekonflik antara pemegang saham dan pemegang obligasi. Manajemen dapat mentransfer kekayaan kepada pemegang saham yang ada atau yang baru dengan menerbitkan utang baru. Dengan menerbitkan utang baru, risiko keuangan perusahaan meningkat dan nilai obligasi akan berkurang.



H I A R E P



Konflik antara Pemegang Saham Pengendali dan Pemegang Saham Minoritas Dalam konflik pemegang saham pengendali - pemegang saham minoritas, pemegang saham pengendali dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk menguntungkan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan para pemegang saham minoritas atau apa yang disebut dengan ekspropriasi. a. Pemegang saham pengendali dapat mengekspropriasi kekayaan pemegang saham non-pengendali melalui antara lain transaksi dengan pihak terafiliasi (RPT). b. Transaksi antara pihak terafiliasi mungkin tidak dilakukan dengan harga dan persyaratan dan kondisi yang sama antara pihak ketiga. Contohnya, perusahaan terbuka membeli bahan baku dengan harga di mark-up dari perusahaan yang 100 persen sahamnya dimiliki pemegang saham pengendali perusahaan terbuka tersebut. Kerugian di perusahaan terbuka sebagian ditanggung pemegang saham non-pengendali sementara keuntungan di perusahaan privat sepenuhnya dinikmati pemegang saham pengendali. Akibatnya terjadi transfer kekayaan dari pemegang saham non-pengendali ke pemegang



Ikatan Akuntan Indonesia



79



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat







saham pengendali. Contoh: Bank Century, Parmalat, Satyam.



Tata kelola korporat berperan untuk mengatasi konflik kepentingan ini dengan melindungi kepentingan prinsipal, mengurangi tingkat informasi asimetri dan mengawasi agen. Tata kelola yang baik akan memberikan perlindungan yang memadai dan memperlakukan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya secara adil. Tata kelola mengatur pembagian tugas, hak, dan kewajiban pihak-pihak dalam organisasi terhadap kehidupan perusahaan, termasuk para pemegang saham, direksi, dewan komisaris dan semua pemangku kepentingan. Pembagian tugas, hak, dan kewajiban juga berfungsi sebagai pedoman pengawasan dan pengevaluasian kinerja dewan komisaris dan direksi/manajemen perusahaan.



7.2 Definisi dan Prinsip Dasar Tata Kelola Definisi



A W S I S A E B



A C



Sebagai sebuah konsep, corporate governance memiliki banyak definisi, berikut beberapa definisi CG:



a. Corporate governance adalah suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi (Cadbury Report, 1992). b. Corporate governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen perseroan (direksi), dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya (OECD). c. Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan yang lain (IICG). d. Good corporate governance adalah suatu tata kelola yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness) (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum). e. Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika (Keputusan Menteri BUMN Nomor kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)).



H I A R E P



Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Corporate governance adalah suatu sistem, proses, seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (pemangku kepentingan) demi tercapainya tujuan organisasi. Prinsip Dasar Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Secara umum terdapat lima (5) prinsip dalam GCG menurut KNKG (2006) yang disingkat TARIF. Berikut penjelasan Mengenai masing-masing prinsip tersebut.



80



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



1. Transparansi (Transparency). Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2. Akuntabilitas (Accountability). Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Akuntabilitas juga berlaku bagi Direksi yang mengelola perusahaan dan Dewan Komisaris yang mengawasi Direksi. 3. Responsibilitas (Responsibility). Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4. Independensi (Independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness). Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



7.3 Tinjauan Struktur Tata Kelola di Indonesia Perbandingan Struktur Satu Dewan dan Dua Dewan Struktur dewan terbagi menjadi dua model yaitu single-board system dan dual-board system. Single-board systems banyak dipakai di negara Anglo-Saxon seperti US, UK, Kanada dan Australia sedangkan dual-board system banyak dipakai di negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda. Indonesia termasuk menganut sistem dual board. Dalam sistim single-board, terdapat satu board of directors (BOD) yang terdiri dari executive dan nonexecutive director. Direktur eksekutif bertanggung jawab untuk kegiatan perusahaan sehari-hari sedangkan non executive tidak terlibat dalam kegiatan perusahaan sehari hari tapi terlibat dalam pembuatan kebijakan strategis perusahaan dan melakukan pengawasan terhadap executive team. Dual board system terdiri dari dua dewan yaitu dewan pengawas (supervisory board) atau dikenal sebagai dewan komisaris dan dewan pelaksana (executive board) atau dikenal sebagai dewan direktur. Dalam dual-board system, peran dewan komisaris dan dewan direktur dipisah secara jelas. Dewan komisaris akan mengawasi kerja dewan direktur. Kelebihan dari sistem satu dewan adalah pengambilan keputusan dapat dilakukan lebih cepat, seluruh anggota dewan mempunyai akses langsung kepada seluruh informasi perusahaan sehingga seluruh dewan mengetahui kegiatan bisnis sehari-hari perusahaan. Kelemahan sistem satu dewan adalah ketergantungan yang tinggi pada CEO, tidak ada pemisahan antara fungsi pengawasan dan pelaksanaan.



Ikatan Akuntan Indonesia



81



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Kelebihan dari sistem dua dewan adalah ada pemisahan antara fungsi pengawasan dan pelaksanaan. Sedangkan kelemahan dari sistem tersebut adalah bahwa dewan komisaris tidak mempunyai akses langsung kepada seluruh informasi perusahaan sehingga tergantung pada informasi dari dewan direktur. Kepengurusan perseroan terbatas di Indonesia menganut sistem dua dewan (two board system) yaitu dewan komisaris dan dewan direktur yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Keduanya mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kesinambungan usaha perusahaan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, dewan komisaris dan Direktur harus memiliki kesamaan persepsi terhadap visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Organ Korporat: RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi Menurut UU PT No 40 tahun 2007, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.



A W S I S A E B



A C



Berdasarkan teori keagenan, Dewan Komisaris adalah organ yang diberi kepercayaan oleh prinsipal untuk mengawasi agen (i.e., Direksi) sedangkan Direksi adalah organ yang diberi kepercayaan oleh prinsipal untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki prinsipal. Hubungan Antar Organ



RUPS merupakan wadah para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota.



H I A R E P



Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Sedangkan Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masingmasing anggota Direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama.



7.4 Overview Prinsip-prinsip Tata Kelola Menurut OECD



Prinsip-prinsip CG OECD 2004 banyak dijadikan acuan masyarakat internasional dalam pengembangan corporate governance. OECD menjelaskan tidak ada satu model corporate governance yang cocok untuk semua negara, masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda. Salah satu contoh adalah keberadaan



82



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



sistem satu dewan dan dua dewan. Berhubung Indonesia menganut sistem dua dewan, maka istilah “Board” dalam OECD umumnya diartikan sebagai “Dewan Komisaris”, dan “Key Executives” sebagai “Direksi”. Terdapat enam prinsip corporate governance dalam Prinsip-prinsip CG OECD. Keenam prinsip ini menjelaskan hal-hal yang mencakup kerangka dasar corporate governance, hak pemegang saham, kesetaraan perlakuan pemegang saham, peranan pemangku kepentingan, keterbukaan dan transparansi,serta tanggung jawab dewan. Prinsip I: Menjamin Kerangka Dasar Corporate governance yang Efektif Prinsip I OECD ini menjelaskan dasar atau basis bagi pengembangan kerangka Corporate governance yang efektif. Secara umum prinsip I menyatakan bahwa “Corporate governance harus dapat mendorong terciptanya pasar yang transparan dan efisien, sejalan dengan perundangan dan peraturan yang berlaku, dan dapat dengan jelas memisahkan fungsi dan tanggungjawab otoritas-otoritas yang memiliki pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum”.



A C



Prinsip ini menjelaskan pentingnya peranan hukum dan regulator dalam menegakkan good corporate governance. Berhubung prinsip ini tidak secara langsung ditujukan ke perusahaan, maka prinsip ini tidak dibahas secara rinci dalam subyek Tata Kelola.



A W S I S A E B



Prinsip II: Hak-hak Pemegang Saham dan Peran Kunci Kepemilikan Saham



Prinsip ini menyatakan bahwa kerangka tata kelola harus melindungi dan memfasilitasi pelaksanaan hakhak pemegang saham. Hal ini terutama mengingat pemegang saham suatu perusahaan publik memiliki hakhak khusus seperti saham tersebut dapat dibeli, dijual ataupun ditransfer tanpa halangan. Pemegang saham tersebut juga berhak atas keuntungan perusahaan sebesar porsi kepemilikannya. Selain itu pemegang saham mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang relevan dan mempunyai hak untuk mempengaruhi jalannya perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Prinsip ini diperlukan untuk mengatasi konflik keagenan antara pemegang saham dan manajemen perusahaan. Dengan dilaksanakannya prinsip ini maka kecil kemungkinan manajemen dapat melaksanakan tindakan menguntungkan dirinya dan merugikan perusahaan.



H I A R E P



Prinsip III: Perlakuan yang Adil terhadap Pemegang Saham Prinsip ini menekankan perlunya kesetaraan perlakuan kepada seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas (non-pengendali) dan pemegang saham asing. Prinsip ini menekankan pentingnya kepercayaan investor di pasar modal. Dibanding pemegang saham pengendali, pemegang saham non-pengendali mempunyai akses yang terbatas terhadap informasi mengenai perusahaan. Mereka juga tidak mempunyai kendali langsung terhadap perusahaan. Kendala tambahan bagi pemegang saham asing adalah mereka berlokasi di tempat yang tidak memungkinkan untuk hadir secara fisik pada RUPS. Selain itu penggunaan bahasa yang berbeda akan lebih menyulitkan investor asing untuk memperoleh informasi dibanding investor domestik. Keadaan ini membuat kekayaan pemegang saham non-pengendali dan asing menjadi rentan untuk diekspropriasi pemegang saham pengendali. Prinsip ke tiga diperlukan untuk mengatasi konflik keagenan antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham non-pengendali sehingga kemungkinan ekspropriasi kekayaan pemegang saham pengendali dapat dihindari.



Ikatan Akuntan Indonesia



83



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Prinsip IV: Peranan Pemangku kepentingan dalam Corporate Governance Prinsip OECD IV (keempat) membahas mengenai peranan pemangku kepentingan dalam Corporate Governance (CG). Secara umum, prinsip ini menyatakan bahwa: “Kerangka corporate governance mengakui hak pemangku kepentingan yang dicakup dalam perundang-undangan atau perjanjian (mutual agreements)`dan mendukung kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan yang bekesinambungan (sustainibilitas) dari kondisi keuangan perusahaan yang dapat diandalkan”. Pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti investor, karyawan, kreditur dan pemasok memiliki sumberdaya yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemangku kepentingan tersebut harus dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan efisiensi dan kompetisi perusahaan dalam jangka panjang. Alokasi yang efektif dapat dilakukan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan kerja sama para pemangku kepentingan dengan perusahaan. Hal tersebut dapat tercapai dengan penerapan kerangka corporate governance dalam pengelolaan perusahaan yaitu dengan adanya jaminan dari perusahaan tentang perlindungan kepentingan para pemangku kepentingan baik melalui perundang-undangan maupun pernjanjian.



A W S I S A E B



A C



Dengan demikian prinsip ini ditujukan untuk mengatasi konflik kepentingan antara pemangku kepentingan dengan manajemen perusahaan. Prinsip V: Keterbukaan dan Transparansi



Pada prinsip ke-5 ini ditegaskan bahwa kerangka kerja corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan informasiyang tepat waktu dan akurat dilakukan atas semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan, termasuk di dalamnya keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan. Prinsip ini diperlukan untuk mengurangi informasi asimetri yang merupakan pemicu dari adanya konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Dengan lebih banyak pengungkapan ke publik, maka pemegang saham publik dan pemangku kepentingan akan dapat lebih mudah memonitor dan menilai kinerja perusahaan. Pemegang saham pengendali dan manajemen akan lebih sulit mengekspropriasi pemegang saham publik dan pemangku kepentingan karena tindakan mereka akan akan lebih mudah terdeteksi.



H I A R E P



Prinsip VI: Tanggung Jawab Dewan



Prinsip CG dari OECD yang terakhir berkaitan dengan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi perusahaan. Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa kerangka kerja tata kelola perusahaan harus memastikan adanya pengarahan strategis dan monitoring yang efektif terhadap direksi oleh dewan komisaris, serta akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Berkaitan dengan adanya dua macam struktur pengawasan dan pengelolaan perusahaan, yaitu dual board dan single board, prinsip ini secara umum dapat diterapkan baik pada perusahaan yang memisahkan fungsi dewan komisaris sebagai pengawas (non-executive director) dan direksi sebagai pengurus perusahaan (executive director), maupun pada perusahaan yang menyatukan antara pengawas dan pengurus perusahaan dalam satu dewan. Prinsip ini pada dasarnya menyatakan bahwa perlu ada pengawasan dan pengarahan strategis terhadap agen (di Indonesia Direksi) oleh dewan (di Indonesia Dewan Komisaris) untuk mengurangi kemungkinan agen melakukan tindakan yang merugikan perusahaan dan sebaliknya memastikan tindakannya adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan.



84



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



7.5 Manfaat Tata Kelola bagi Korporat dan Lingkungan Jika perusahaan menjalankan prinsip-prinsip CG sebagaimana dijelaskan dimuka maka: a. Tingkat informasi asimetri antara prinsipal dan agen akan berkurang serta terdapat pengarahan dan pengawasan yang efektif terhadap agen, b. Kemungkinan berbagai konflik kepentingan antara prinsipal dan agen yang merugikan prinsipal akan semakin berkurang. Tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan kepercayaan investor, membantu melindungi pemegang saham minoritas dan dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih baik dan membina hubungan baik dengan pekerja, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. Ini merupakan prasyarat penting untuk menarik patient capital yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan. Tata kelola yang baik juga akan menghasilkan: a. b. c. d. e. f.



A W S I S A E B



A C



Penciptaan dan peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan, Memungkinkan perusahaan untuk beroperasi secara efisien, mencegah penipuan dan mal praktik, Memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham, Peningkatan nilai suatu perusahaan, Memastikan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan, Pengentasan kemiskinan dengan meningkatkan tanggung jawab sosial.



Berbagai studi di dalam dan luar negeri membuktikan bahwa pelaksanaan GCG meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan. Salah satunya adalah studi IICD yang melihat hubungan antara skor CG dari ASEAN CG Scorecard dengan profitabilitas (diukur dengan Return on Equity (ROE)) dan nilai perusahaan (diukur dengan rasio harga saham/nilai buku ekuitas per lembar saham atau PBV). Pada tahun 2012 perusahaan terbuka yang termasuk dalam 30 perusahaan dengan skor CG teratas memiliki profitabilitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perusahaan terbuka lainnya. Nilai rata-rata ROE 30 perusahaan tersebut adalah sebesar 23% dibandingkan dengan perusahaan lainnya yang hanya memperoleh ROE rata-rata kurang dari 15%. Begitu pula dengan nilai PBV, rata-rata PBV perusahaan yang tergolong Top 30 CG adalah 3.5, sedangkan rata-rata dari perusahaan lainnya hanya 2.



H I A R E P



7.6 Overview Regulasi dan Pedoman Tata Kelola di Indonesia



Krisis Asia menjadi momentum penting yang mendorong urgensi reformasi tata kelola perusahaan di Asia, dan juga di Indonesia. Krisis yang melanda Asia tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah tata kelola perusahaan di Indonesia. Untuk itu, dibentuklah Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) pada tahun 1999 untuk merekomendasikan prinsip-prinsip GCG nasional. Pada tahun 2004, KNKCG diubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dengan pertimbangan untuk memperluas cakupan ke tata kelola sektor publik (public governance). KNKG telah menerbitkan Pedoman Nasional Good Corporate Governance (Pedoman Nasional GCG) pertama kali pada tahun 1999, yang kemudian direvisi pada tahun 2001 dan 2006. Selanjutnya, untuk mendukung upaya reformasi yang dilakukan pemerintah, bermunculan berbagai inisiatif yang digagas oleh berbagai kalangan yang menaruh kepedulian untuk membangun kembali Indonesia setelah krisis. Organisasi tersebut antara lain, Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD), Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), Forum for Corporate governance in Indonesia (FCGI), Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) dan Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI).



Ikatan Akuntan Indonesia



85



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



UU Pasar Modal dan PT Pada awal 1990-an, pasar modal Indonesia diatur melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan. Sejak tahun 1995 Pasar Modal Indonesia memperoleh landasan hukum yang lebih kuat dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU PM). Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tentang perseroan yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang tersebut mengatur antara lain tata kelola perseroan pada umumnya: Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi, dan lainlain. UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan merupakan pengganti dari UU Nomor 1 Tahun 1995, oleh karena itu UU Nomor 40 Tahun 2007 lebih lengkap, lebih maju, lebih praktis, lebih memahami kepentingan kepentingan ekonomi makro dan mikro dibandingkan dengan UU nomor 1 Tahun 1995.



A C



Revisi UU PT ini mencerminkan bahwa masalah tata kelola perusahaan di ndonesia telah diakomodasi sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan yang penting tentang perusahaan di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan



A W S I S A E B



Pada tahun 2011 terbentuk lembaga baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). UU tersebut menggabungkan dua badan pengatur jasa keuangan di Indonesia, yaitu otoritas pasar modal dan industri keuangan non-bank (Bapepam-LK) dan otoritas perbankan (Bank Indonesia), menjadi satu institusi terpadu. Aturan OJK – Bapepam LK sehubungan dengan tata kelola antara lain: a. Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. KEP-82/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Peraturan No. X.M.1: Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu; b. Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. KEP-63/PM/1996 tentang Peraturan Bapepam - LK No. IX.1.4 Pembentukan Sekretaris Perusahaan c. Peraturan Bapepam – LK No KEP-412/BL/2009 No. IX.E.1, tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. d. Peraturan Bapepam-LK No. Kep-86/PM/1996, Tanggal: 24 Januari 1996 X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan ke Publik e. Peraturan Bapepam-LK KEP-431/BL/2012 tentang No. X.K.2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. f. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. g. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP- 45/PM/2004 Tentang Peraturan Bapepam-LK NO. IX.I.6 Tentang Direksi Dan Komisaris Emiten Dan Perusahaan Publik h. Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. KEP-643/BL/2012 tanggal 7 Desember 2012 tentang Peraturan No. IX.I.5: Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit; i. Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. KEP-431/BL/2012 tanggal 1 Agustus 2012 Tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten Atau Perusahaan Publik j. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-286/BL/2011. Tentang Peraturan Nomor VIII.A.2: Independensi Akuntan Yang Memberikan Jasa Di Pasar Modal



H I A R E P



Peraturan BUMN dan BI Dengan semakin kompleksnya risiko yang dihadapi bank, maka semakin meningkat pula kebutuhan praktik good corporate governance oleh perbankan. Dalam rangka meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan pemangku kepentingan dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan, diperlukan pelaksanaan good corporate governance. Peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate governance merupakan salah



86



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



satu upaya untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional. Maka Bank Indonesia pada tahun 2006 mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate governance Bagi Bank Umum. Sehubungan dengan adanya pembaharuan hukum di bidang perseroan terbatas dan badan usaha milik negara, serta memperhatikan perkembangan dunia usaha yang semakin dinamis dan kompetitif, maka untuk lebih meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate governance), dilakukan penyesuaian terhadap Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER – 01 / MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (good corporate governance) pada Badan Usaha Milik Negara. Inisiatif CG Lainnya



A C



Berbagai inisiatif lainnya di bidang tata kelola perusahaan yang bertujuan untuk memberikan insentif atau penghargaan kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik pun telah terbangun. Diantaranya adalah sebagai berikut:



A W S I S A E B



a. Annual Report Award (ARA): merupakan hasil kerja sama 7 (tujuh) institusi yang meliputi, OJK, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian BUMN, Bank Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance, Bursa Efek Indonesia, dan Ikatan Akuntan Indonesia, serta dikoordinasikan oleh OJK. b. Capital Market Awards: diadakan oleh Bursa Efek Indonesia mulai tahun 2006 c. IICD Corporate governance Award: Penghargaan ini diadakan oleh IICD pertama kali pada tahun 2009 dan Instrumen penilaian adalah CG Scorecard yang juga digunakan oleh Institute of Directors lainnya di beberapa negara ASEAN. Sejak tahun 2012 instrumen penilaian yang digunakan adalah ASEAN CG Scorecard. d. IICG Award - Most Trusted Award: IICG meluncurkan Penghargaan “Most Trusted Companies” pada tahun 2001. Penghargaan ini fokus pada perusahaan terbuka, BUMN dan swasta, serta berdasarkan Corporate governance Perception Index (CGPI) versi IICG.



H I A R E P



7.7 Instrumen Penilaian dan Bukti Empiris Terhadap Praktik Tata Kelola di Indonesia dan ASEAN Ada 3 (tiga) penilaian utama terhadap tata kelola perusahaan di Indonesia yang dilakukan oleh lembaga internasional, yaitu sebagai berikut: a. Reports on the Observance of Standards and Codes (ROSC). The World Bank dan International Monetary Fund (IMF) bekerja sama dalam melakukan penilaian atas penerapan Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang disusun oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). b. Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA). CLSA merupakan asosiasi broker dan grup investasi bersamasama dengan the Asian Corporate governance Association (ACGA) secara periodik (dua tahun sekali) menerbitkan Corporate governance Watch yang merupakan survey atas praktik tata kelola di Asia sejak tahun 2002. Dalam CG Watch, CLSA menilai tata kelola perusahaan di beberapa negara di Asia-Pasifik. Dalam CG Watch tahun 2012, Indonesia mendapatkan nilai yang cukup baik dalam aspek akuntansi dan auditing, namun masih memerlukan perbaikan dalam aspek lainnya. Dari dua belas negara yang dinilai, Indonesia menempati urutan terbawah. c. ASEAN CG Scorecard. ASEAN Corporate governance Scorecard (ASEAN CG Scorecard) diperkenalkan sebagai suatu alat untuk memeringkat kinerja tata kelola perusahaan publik dan terbuka di ASEAN. Inisiatif ASEAN CG Scorecard berasal dari ASEAN Capital Market Forum (ACMF), yang merupakan



Ikatan Akuntan Indonesia



87



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



kumpulan regulator pasar modal dari negara-negara anggota ASEAN. Scorecard ini dikembangkan pada tahun 2011 dan bertujuan untuk mengukur dan meningkatkan efektivitas dari implementasi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan. Indonesia bersama-sama dengan 5 (lima) negara anggota ACMF lainnya (Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam) adalah negara-negara yang mengembangkan scorecard tersebut dan menggunakannya untuk menilai praktik CG perusahaanperusahaan terbuka dengan kapitalisasi pasar besar di masing-masing negara.



Pada bagian ini akan dibahas penilaian tata kelola oleh Bank dunia dan ASEAN Capital Market Forum.



Penilaian Tata Kelola Korporat Indonesia oleh Bank Dunia (ROSC) a. Latar Belakang Corporate governance telah diadopsi sebagai salah satu dari dua belas best-practice standards oleh masyarakat keuangan internasional. Bank Dunia melakukan penilaian atas praktik CG di suatu negara berdasarkan Prinsip-prinsip Corporate Governance OECD. Penilaiannya adalah bagian dari program Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) sehubungan Reports on the Observance of Standards and Codes (ROSC).



A W S I S A E B



A C



Tujuan dari inisiatif ROSC adalah untuk mengidentifikasi kelemahan yang dapat menyebabkan kerentananan ekonomi dan keuangan suatu negara. Penilaian Corporate Governance ROSC dilakukan dengan mengevaluasi kerangka hukum dan peraturan suatu negara yang terkait dengan prinsipprinsip CG OECD, termasuk juga praktik dan kepatuhan dari perusahaan yang terdaftar dan tingkat penegakan aturan-aturan tersebut. Penilaian distandarisasi dan dilakukan secara sistematis dan memasukkan rekomendasi kebijakan dan country action plan. Sebagai respon terhadap hasil evaluasi, banyak negara telah mulai melakukan reformasi hukum, peraturan dan tata kelola kelembagaan. Penilaian berfokus pada tata kelola perusahaan yang terdaftar di bursa efek. Penilaian dapat diperbarui untuk mengukur kemajuan selama kurun waktu tertentu. Partisipasi suatu negara dalam proses penilaian dan publikasi laporan akhir bersifat sukarela. Pada akhir Juni 2010, 75 penilaian telah selesai pada 59 negara di seluruh dunia.



H I A R E P



b. Metodologi Penilaian



Di Indonesia, pada tahun 2010 penilaian ini dilakukan berdasarkan diskusi teknis dengan Bapepam-​​ LK, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Komite Nasional Governance, Kementerian Negara BUMN, Indonesia Stock Exchange, Kamar Dagang (KADIN), Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Company Registry (Departemen Perdagangan), Asosiasi Reksa Dana Indonesia, Asosiasi Eminten Indonesian, Asosiasi Notaris, dan perwakilan dari perusahaan, bank, dan pelaku pasar. IICD bertindak sebagai mitra lokal Bank Dunia dalam melakukan penilaian. Selain dalam bentuk laporan, temuan dari ROSC ini juga dinyatakan dalam Detailed Country Assessment (DCA) yang disajikan sebagai lampiran terpisah. Sumber data untuk ROSC dan DCA adalah Corporate governance Score Cards tahun 2006, 2007, dan 2008 yang disiapkan oleh IICD dan juga hasil survei kepada perusahaan publik dan focus groups yang diselenggarakan oleh IICD yang memasukkan juga peserta dari pasar modal dan lokal. c. Struktur Instrumen Detailed country assessment (DCA) adalah alat yang dikembangkan oleh Bank Dunia untuk melaksanakan penilaian Tata Kelola Perusahaan ROSC. DCA memberikan latar belakang untuk Tata Kelola Perusahaan berdasarkan ROSC, dan menilai pelaksanaan masing-masing Prinsip OECD Corporate governance. DCA menggunakan OECD Metodologi untuk menilai pelaksanaan prinsip Corporate governance OECD.



88



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Pertanyaan disusun menurut enam Bab Prinsip OECD dan dalam setiap Bab sesuai dengan 64 subprinsip OECD. Dalam setiap Prinsip, ada tiga bagian: a. Legal and regulatory framework (hukum dan kerangka peraturan). Pertanyaan-pertanyaan ini menilai kecukupan undang-undang termasuk aturan tata kelola, undang-undang sekuritas dan peraturan dan hukum perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan hukum dan peraturan selanjutnya dipecah dengan terpisah “kriteria penting-essensial criteria (EC)”, sesuai metodologi tersebut. b. Compliance and enforcement (kepatuhan dan penegakan). Bagian kedua adalah menelaah kepatuhan dengan undang-undang dan regulasi dan penegakan hukum serta peraturan (jika ada). Fokusnya adalah pada praktik yang sebenarnya terjadi. c. Comments and analysis (komentar dan analisis).



A C



Bagian terakhir merangkum penilaian setiap prinsip berdasarkan pada isu-isu utama pada masingmasing pertanyaan. Setiap pertanyaan dijawab berdasarkan hasil penelaahan hukum/regulasi atau informasi yang dikumpulkan berdasarkan praktik-praktik yang sebenarnya terjadi. Untuk setiap pertanyaan jawabannya adalah baik “Ya” (yang berarti bahwa ada sudah penuh atau hampir penuh sesuai dengan pertanyaan itu), “Sebagian”, atau “Tidak” (yang berarti bahwa kerangka tata kelola perusahaan umumnya tidak sesuai dengan pertanyaan spesifik).



A W S I S A E B



d. Hasil Penilaian terhadap Indonesia dan Perbandingannya terhadap Negara ASEAN Lainnya



Hasil penilaian terbagi menjadi empat hal yaitu pencapaian, hambatan utama yang dihadapi, penilaian dan langkah selanjutnya. Berikut penjelasannya:



1. Pencapaian



Menurut penilaian Bank Dunia (ROSC) pencapaian yang telah diraih Indonesia adalah bahwa Bapepam-​​ LK secara aktif terus mendorong penerapan berbagai peraturan untuk memberi perlindungan yang lebih baik bagi investor. Pedoman Good Corporate Governance (GCG) pertama kali diadopsi pada tahun 1999, kemudian diamandemen pada tahun 2006. Pada tahun 2006 itu Bank Indonesia telah mengeluarkan aturan tata kelola untuk bank. Kemudian tahun 2007 mulai diberlakukan UU PT yang menyebutkan secara spesifik tugas dan tanggung jawab dewan komisaris dan dewan direktur. Tahun 2012 Kementerian Badan Usaha Milik Negara juga melakukan reformasi tata kelola perusahaan yang signifikan dengan mengeluarkan aturan untuk penerapan Good Corporate governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).







Berdasarkan peraturan Bapepam-​​LK yang telah direvisi, transaksi yang mengandung benturan kepentingan terlebih dahulu harus disetujui oleh para Pemegang Saham Independen. Pada tahun 2007 UU PT memperluas hak-hak pemegang saham sampai pada masalah ganti rugi privat (private redress).







Keharusan dari regulator dan tuntutan dari publik telah meningkatkan profesionalisme dewan komisaris dan direksi serta tingkat pengungkapan informasi perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah menyatakan niat untuk mengadopsi standar akuntansi dan audit internasional.







Perusahaan telah menghasilkan laporan yang relatif tepat waktu dan lengkap. Dewan komisaris lebih profesional sehubungan dengan tanggung jawab mereka dan memiliki anggota dewan yang independen. Banyak anggota dewan komisaris yang telah mengikuti pelatihan tentang tugas-tugas mereka dan bidang lainnya.



H I A R E P



Ikatan Akuntan Indonesia



89



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



2. Hambatan



UU PT yang baru telah menjelaskan tugas pokok anggota dewan komisaris, namun dewan komisaris masih belum melaksanakan berbagai fungsi penting yang disyaratkan oleh OECD CG Principles, antara lain dalam proses pemilihan Dewan Komisaris dan Direksi. Dewan komisaris memiliki anggota yang belum berfungsi, sebagian disebabkan karena komisaris dianggap tidak memiliki keterampilan teknis yang memadai. Pemegang saham minoritas hanya memiliki sedikit pengaruh pada proses pemilihan anggota dewan komisaris.







Pada tahun 2010 Bank Dunia menilai bahwa proses pemilihan auditor eksternal di Indonesia belum diatur dengan jelas, auditor eksternal tidak memiliki kewajiban yang jelas kepada pemegang saham atau perusahaan. Namun sejak tahun 2011 telah berlaku UU No 5 tentang Akuntan Publik yang khusus mengatur profesi akuntan publik. UU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan profesi akuntan publik. Pengawasan terhadap profesi akuntansi dan audit terbagi pada Bapepam-​​LK dan PPAJP (sebuah divisi dari Departemen Keuangan). Namun PPAJP memiliki sumber daya yang terbatas dibandingkan dengan jumlah kantor akuntan publik dan akuntan yang harus ditanganinya.







Kelemahan signifikan lainnya adalah kurangnya pengungkapan kepemilikan ultimat akhir dan kontrol. Pemegang Saham memiliki hak yang terbatas untuk mengakses informasi mengenai perusahaan dan banyak perusahaan hanya menyajikan sedikit atau sama sekali tidak ada informasi yang relevan di situs Web mereka. Sementara itu laporan tata kelola perusahaan yang diwajibkan cenderung memiliki konten yang terbatas.







Hak-hak pemegang saham dihormati, namun pemegang saham memiliki hak yang lemah untuk mengusulkan agenda atau mengajukan pertanyaan dalam RUPS.







Peraturan tentang take overs (pengambil-alihan) berubah pada bulan Juni 2008 dan memerlukan batas yang lebih tinggi sebelum penawaran tender dibuat. Pelaku pasar telah mencatat bahwa perubahan ini telah membuat sulit bagi pemegang saham besar untuk mengakumulasi saham dan melakukan delisting dari bursa.















90



A W S I S A E B



A C



H I A R E P



Beberapa ketentuan mengenai CG telah diadopsi ke dalam peraturan namun pegungkapan mengenai CG masih bersifat sukarela, perusahaan tidak diminta untuk menjelaskan atau menyatakan bahwa perusahaan telah memenuhi kode CG, seperti pedoman GCG dari KNKG. Hal ini menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepatuhan perusahaan terhadap aturan tersebut. Pemegang saham jarang menggunakan hak ganti rugi (redress right) mereka terhadap hukum. Pengadilan berjalan lambat dan hanya sedikit tuntutan yang telah diajukan terhadap perusahaan atau Direksi atau Dewan Komisaris.



3. Penilaian



Penilaian dilakukan berdasarkan hukum dan praktik di Indonesia dibandingkan dengan prinsip OECD.







Tabel berikut menyampaikan hasil penilaian Bank Dunia terhadap praktik CG di Indonesia. Skor Indonesia membaik sejak penilaian terakhir dilakukan pada tahun 2004. Kenaikan terbesar adalah dalam hak pemegang saham, di mana rata-rata ketaatan meningkat dari 56 ke 76, dan perlakuan yang adil bagi pemegang saham, naik dari 60 ke 75. Namun demikian beberapa perbaikan yang masih harus dilakukan. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan asia pasifik (India, Malaysia, Thailand, Philippines, Vietnam), Indonesia agak tertinggal di beberapa bidang utama, tetapi mendekati beberapa negara yang menjadi benchmark di kawasan Asia Pasifik, terutama India, Thailand, dan Malaysia.



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



CG Principles



2009



2004



Asia Pacific Region



72



-



68



Shareholder Rights



72



56



73



Equitable Treatment of Shareholders



75



60



62



Role of Stakeholders



70



60



71



Disclosure & Transparency



73



60



72



Responsibility of the Board



66



60



68



Enforcement & Institutional Framework



A C







4. Langkah Ke Depan







Berikut adalah sejumlah reformasi mendasar yang direkomendasikan Bank Dunia:







a. Regulasi yang lebih baik mengenai pengungkapan kepemilikan saham dan pengungkapan non keuangan lainnya; b. Mewajibkan hak-hak kunci pemegang saham dimasukkan ke dalam peraturan perusahaan; c. Membuat komisaris independen dan komite audit menjadi lebih efektif,; d. Mengamandemen hukum perusahaan agar semakin melindungi pemegang saham; e. Memasukkan dan memperluas kekuasaan anggota dewan, dalam hukum perusahaan dan CGCG; f. Mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan kepatuhan mereka terhadap CGCG; g. Memberikan suara lebih besar bagi pemegang saham minoritas pada proses pemilihan dewan, h. Peningkatan kemampuan Bapepam-​​LK untuk mengawasi pengungkapan perusahaan dan bidang utama lainnya; i. Mendorong pelatihan untuk dewan dan media.







A W S I S A E B



Selain reformasi tersebut diatas, pemerintah juga harus meninjau mengenai penawaran tender dan aturan delisting, serta peran PPAJP dan pengawasan terhadap akuntansi dan auditing. Analisis yang lebih mendalam mengenai tata kelola perusahaan pada BUMN juga harus dipertimbangkan.



H I A R E P



7.8 Penilaian Berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital Market Forum a. Latar Belakang



Inisiatif tata kelola perusahaan ASEAN adalah salah satu dari beberapa inisiatif integrasi pasar modal regional dari ASEAN Capital Markets Forum (ACMF). Enam negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam setuju untuk berpartisipasi dalam inisiatif ini. Selanjutnya enam ahli tata kelola dari tiap negara terlibat untuk mengembangkan ASEAN CG Scorecard atas dasar pengalaman nasional mereka, memvalidasinya terhadap praktik-praktik terbaik pada dunia internasional dan akhirnya menerapkannya dengan menilai perusahaan publik di negara-negara masing-masing.



ASEAN CG Scorecard bertujuan untuk:







a. Meningkatkan standar-standar dan praktik-praktik tata kelola korporasi dari perusahaanperusahaan terbuka di ASEAN. b. Menunjukkan perusahaan-perusahaan publik di ASEAN yang memiliki tata kelola korporasi yang baik dan menunjukkan kepada investor global bahwa perusahaan-perusahaan ASEAN adalah







Ikatan Akuntan Indonesia



91



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat







tempat yang menarik untuk berinvestasi. c. Melengkapi inisiatif-inisiatif Forum Pasar Modal ASEAN (ACMF) lainnya dan mempromosikan ASEAN sebagai suatu kelompok aset berkelas.



b. Metodologi Penilaian Penilaian dilakukan terhadap 100 perusahaan publik terbuka di masing-masing negara berdasarkan nilai kapitalisasi pasar. Perusahaan yang dinilai harus dapat memberikan laporan tahunan dalam bahasa Inggris. Ke depan, penilaian direncanakan untuk diperluas ke lebih banyak perusahaan terbuka. ASEAN CG Scorecard adalah suatu instrumen penilaian praktik CG perusahaan terbuka dan didasarkan pada informasi publik, yang antara lain terkandung dari laporan tahunan dan situs web perusahaan. Sumber informasi lain adalah pengumuman perusahaan, surat edaran, anggaran dasar, notulen rapat pemegang saham, kebijakan tata kelola perusahaan, kode etik, dan laporan keberlanjutan. Hanya informasi dalam bahasa Inggris yang tersedia untuk umum dan mudah diakses dan dipahami yang digunakan dalam penilaian. c. Struktur Instrumen



A W S I S A E B



A C



Instrumen penilaian terbagi menjadi 2 level yaitu level 1 dan level 2. Level 1 terdiri dari 185 item dan dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan prinsip-prinsip OECD yaitu Rights of Shareholders (26 items, bobot 10%), Equitable Treatment (17 items, bobot 15%), Role of Stakeholders (21 items, bobot 10%), Disclosure and Transparency (42 items, bobot 25%), Responsibilities of the Board (79 items, bobot 40%). Setiap item/pertanyaan dalam level 1 diberi jawaban ‘Yes’, ‘No’, atau ‘Not Applicable (NA)’ dengan nilai satu jika menjalankan praktik GCG atau nol jika tidak menjalankannya. Beberapa item mungkin mendapat nilai NA dengan nilai nol jika item tersebut tidak berlaku bagi perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang tidak memiliki komite nominasi akan memperoleh nilai NA untuk item-item yang berkaitan dengan komite nominasi.



H I A R E P



Ketika sebuah praktik diwajibkan oleh hukum, regulasi atau aturan listing di negara tersebut, perusahaan diasumsikan mengadopsi praktik tersebut. Nilai keseluruhan di setiap bagian dari level 1 kemudian dihitung dengan menambahkan semua poin di bagian itu dan dinyatakan dalam persentasi, disesuaikan untuk item yang “Not Applicable” untuk perusahaan. Level 2 berisi 11 item bonus dan 23 item hukuman (penalty). Item-item dalam bonus menunjukkan praktik-praktik CG yang sangat baik sehingga perusahaan yang menjalankannya mendapat poin tambahan. Item penalti mengurangi nilai perusahaan yang menjalankan praktik tata kelola yang buruk, seperti mendapat sanksi dari regulator karena melanggar pelanggaran. Bonus dan denda item dimaksudkan untuk meningkatkan robustness dari Scorecard dalam menilai sejauh mana perusahaan menerapkan semangat tata kelola yang baik. Total bonus dan denda poin ini kemudian ditambah atau dikurangi dari skor total pada level 1 untuk mendapatkan skor final bagi perusahaan. d. Hasil Penilaian terhadap Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara ASEAN Lainnya Pada tahun 2012 IICD rata-rata nilai tata kelola perusahaan adalah 43,4 dengan nilai maksimum sebesar 75,4 dan nilai minimum adalah 20,8. Pada tahun 2013, rata-rata nilai mengalami peningkatan menjadi 54,6 dengan nilai maksimum 82,3 dan nilai minimum 31,4. Nilai rata- rata ini tergolong relatif rendah, menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan terbuka di Indonesia belum mempraktikkan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang berbasis internasional, namun terjadi perbaikan yang signifikan selama setahun terakhir.



92



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat







Ada beberapa alasan untuk skor yang rendah tersebut:







a. Sebagian besar praktik tata kelola perusahaan yang tercakup dalam ASEAN CG Scorecard bersifat sukarela, sedangkan perusahaan publik di Indonesia cenderung hanya menerapkan item yang wajib saja. Karena tidak ada persyaratan “comply or explain” terhadap CGCG dalam aturan tata kelola perusahaan di Indonesia, beberapa perusahaan publik mungkin tidak merujuk sama sekali pada C GCG dan tidak mengetahui praktik tata kelola perusahaan yang dapat diadopsi secara sukarela. b. Beberapa praktik tata kelola perusahaan diwajibkan oleh regulator, tetapi tidak semua perusahaan publik melaksanakan keharusan tersebut. Jadi perusahaan publik di Indonesia masih perlu meningkatkan kepatuhan mereka dengan aturan.







Peningkatan rata-rata skor pada tahun 2013 terjadi karena pada tahun akhir tahun 2012, BapepamLK mengeluarkan sejumlah aturan yang mengadopsi sebagian item-item yang ada di ASEAN CG Scorecard. Selain itu, sosialisasi yang terus dilakukan IICD melalui serangkaian lokakarya juga meningkatkan kesadaran perusahaan untuk memperbaiki praktik CG mereka. Pada bulan Februari 2014, OJK menyampaikan rencana penerbitan sejumlah aturan yang bertujuan meningkatkan praktik CG perusahaan terbuka. Rencana ini dituangkan dalam dokumen Corporate Governance Roadmap. Analisis lebih lanjut dari hasil penilaian ini mengungkapkan bahwa nilai rata-rata tata kelola Bank (58,9) dan BUMN (62.2) secara signifikan lebih tinggi dari nilai perusahaan non-bank (40,5) dan perusahaan swasta (39,9). Hal ini mungkin disebabkan karena Bank dan BUMN diawasi ketat oleh Bank Sentral dan Kementerian BUMN, selain oleh BAPEPAM-LK. Dengan demikian, monitoring oleh regulator memainkan peran penting dalam meningkatkan praktik tata kelola perusahaan di Indonesia.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



93



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate Governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/upload/asean_cg_ scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate Governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006_id.pdf. 4. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf. 5. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate Governance Country Assessment: Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 6. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan ke Publik. 7. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. 8. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 9. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 10. Rezaee, Zabihollah, 2009, Corporate Governance and Ethics, John Wiley.



H I A R E P



94



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab VIII W S I S PRINSIP PERLINDUNGAN A E TERHADAP HAK B PEMEGANG H SAHAM I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



95



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB VIII



PRINSIP PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PEMEGANG SAHAM 8.1 Latar Belakang



Pemegang saham adalah penyedia modal bagi perusahaan. Tujuan utama dari perusahaan adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (dengan tetap memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan), sehingga peranan dari tata kelola perusahaan adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham dan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Prinsip hak-hak dasar pemegang saham diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik antara pemegang saham dengan manajemen yang berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan. Oleh karena itu, kerangka tata kelola perusahaan harus memastikan hak pemegang saham dilindungi dan juga memfasilitasi pemegang saham untuk melaksanakan hak-hak tersebut. Hak-Hak Dasar Pemegang Saham



A W S I S A E B



A C



Menurut OECD (2004), beberapa hak dasar pemegang saham harus termasuk hak untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Metode yang aman untuk registrasi kepemilikan. Transfer saham. Mendapatkan informasi yang relevan dan material mengenai perusahaan tepat waktu dan secara reguler. Berpartisipasi dan memberikan suara di RUPS. Memilih dan mengganti anggota dewan. Memperoleh bagian atas laba perusahaan.



H I A R E P



Pemegang saham juga mempunyai hak untuk berpartisipasi dan mendapat informasi yang memadai terkait keputusan mengenai perubahan mendasar yang terjadi di perusahaan, seperti: 1. Amandemen statuta atau akte pendirian perusahaan 2. Otorisasi tambahan saham 3. Transaksi luar biasa/material, termasuk diantaranya pengalihan hampir semua atau semua aset perusahaan. Pedoman GCG yang dikeluarkan KNKG (2006) juga menyebutkan hak-hak dasar pemegang saham tersebut, yaitu: a. Hak untuk menghadiri, menyampaikan pendapat, dan memberikan suara dalam RUPS; b. Hak untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan secara tepat waktu, benar dan teratur, kecuali hal-hal yang bersifat rahasia; c. Hak untuk menerima bagian dari keuntungan perusahaan yang diperuntukkan bagi pemegang saham dalam bentuk dividen dan pembagian keuntungan lainnya; d. Hak untuk memperoleh penjelasan lengkap dan informasi yang akurat mengenai prosedur yang harus dipenuhi berkenaan dengan penyelenggaraan RUPS; e. Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis dan klasifikasi saham dalam perusahaan, maka: (i) setiap pemegang saham berhak mengeluarkan suara sesuai dengan jenis, klasifikasi dan jumlah saham yang dimiliki; dan (ii) setiap pemegang saham berhak untuk diperlakukan setara berdasarkan jenis dan klasifikasi saham yang dimilikinya.



96



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Hak untuk Metode yang Aman untuk Registrasi Kepemilikan Dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 (UU PT) disebutkan bahwa direksi perusahaan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham. Peraturan Bapepam-LK No. X.H.2 mengatur kewajiban Biro Administrasi Efek dan emiten untuk mengadministrasikan, menyimpan dan memelihara catatan, pembukuan, data dan keterangan tertulis yang berhubungan dengan pemegang saham: Hak untuk Transfer Saham Tidak terdapat aturan yang melarang pemegang saham untuk mentransfer sahamnya ke pihak lain. Dalam UU Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, disebutkan pemblokiran rekening Efek hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atas perintah tertulis dari Bapepam atau berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, atau Ketua Pengadilan Tinggi untuk kepentingan peradilan dalam perkara perdata atau pidana.



A C



Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Relevan dan Material Mengenai Perusahaan Tepat Waktu dan Secara Reguler



A W S I S A E B



Terdapat beberapa peraturan Bapepam-LK yang mengharuskan perusahaan memberikan informasi material kepada pemegang saham, seperti peraturan X.K.6 yang mengharuskan perusahaan untuk menyediakan laporan tahunan kepada pemegang saham pada saat RUPS. Peraturan Bapepam-LK IX.I.1, mengharuskan perusahaan mengumumkan kepada publik hasil RUPS dalam waktu dua hari setelah RUPS dalam dua surat kabar Indonesia (salah satunya harus terdistribusi nasional). UU PT juga mengatur jika pemegang saham meminta, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, dan risalah RUPS. Hak untuk Berpartisipasi dan Memberikan Suara di RUPS



Pasal 52 UU PT menyebutkan pemegang saham berhak menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS.



H I A R E P



Hak untuk Memilih dan Mengganti Anggota Dewan



Pasal 94 dan 111 UU PT menyebutkan bahwa pemegang saham mempunyai hak untuk melakukan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris. Hak untuk Memperoleh Bagian Atas Laba Perusahaan Pasal 52 UU PT juga menyebutkan pemegang saham berhak menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi. Hak untuk Berpartisipasi dan Mendapat Informasi yang Memadai Terkait Keputusan Mengenai Perubahan Mendasar yang Terjadi di Perusahaan Dalam UU PT disebutkan bahwa perubahan anggaran dasar, penambahan modal perusahaan harus ditetapkan oleh RUPS. Menurut peraturan Bapepam-LK, transaksi material harus mendapat persetujuan pemegang saham (IX.E.2) serta transaksi yang mengandung benturan kepentingan harus mendapat persetujuan pemegang saham yang independen (IX.E.1). Hak-hak lain yang disebutkan dalam UU PT antara lain: • •



Pemegang saham dengan hak suara minimal 10% dapat mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Pemegang saham dengan hak suara minimal 10% juga dapat mengajukan permintaan ke pengadilan



Ikatan Akuntan Indonesia



97



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat







• • •



untuk melakukan inspeksi atas perusahaan jika meyakini bahwa perusahaan atau anggota dewan melakukan tindakan ilegal yang mengakibatkan dampak buruk ke pemegang saham atau pihak ketiga. Pemegang saham juga dapat meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa perubahan anggaran dasar; pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. Pemegang saham dengan hak suara minimal 10% juga dapat meminta dilakukan RUPS. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan. Melalui RUPS, pemegang saham mempunyai hak untuk melakukan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.



A C



Selain hak-hak tersebut di atas, berdasarkan peraturan Bapepam-LK (IX.D.1), pemegang saham perusahaan publik juga mempunyai hak memesan efek terlebih dahulu, yaitu hak yang memungkinkan pemegang saham yang ada untuk membeli efek baru, sebelum ditawarkan ke pihak lain.



A W S I S A E B



8.2 Keputusan Material yang Membutuhkan Persetujuan dalam RUPS



Pemegang saham perusahaan biasanya terdiri dari banyak individu atau institusi sehingga tidak dapat memegang tanggung jawab untuk mengelola aktivitas perusahaan. Tanggung jawab untuk strategi dan operasi perusahaan berada di tangan dewan dan manajemen. Namun terdapat beberapa keputusan yang membutuhkan persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bapepam-LK mengeluarkan aturan mengenai transaksi material (IX.E.2) dan transaksi yang mengandung benturan kepentingan (IX.E.1). Transaksi material adalah transaksi dengan nilai sama dengan atau lebih besar dari 20% ekuitas perusahaan. Untuk transaksi dengan nilai antara 20% hingga 50% ekuitas, perusahaan wajib mengumumkan ke publik rincian transaksi tersebut paling lambat 2 hari setelah perjanjian transaksi ditandatangani. Informasi yang diungkapkan antara lain adalah ringkasan laporan penilai yang meliputi diantaranya pendapat mengenai kewajaran transaksi. Transaksi dengan nilai lebih besar dari 50% ekuitas perusahaan harus mendapat persetujuan dari RUPS dan diumumkan ke publik sebagaimana halnya transaksi dengan nilai lebih kecil dari 50%. Transaksi yang mengandung benturan kepentingan harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen.



H I A R E P



Dalam peraturan Bapepam-LK IX.E.1, selain diatur mengenai transaksi benturan kepentingan, juga diatur mengenai transaksi afiliasi (transaksi pihak berelasi). Transaksi afiliasi harus dilaporkan ke Bapepam-LK dan dilaporkan ke publik paling lambat dua hari setelah terjadinya transaksi, sedangkan transaksi benturan kepentingan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pemegang saham independen atau wakil mereka dalam RUPS.



8.3 Penyelenggaraan RUPS



Pemegang saham perusahaan biasanya terdiri dari banyak individu atau institusi sehingga tidak dapat memegang tanggung jawab untuk mengelola aktivitas perusahaan. Tanggung jawab untuk strategi dan operasi perusahaan berada di tangan dewan dan manajemen. Untuk memfasilitasi hak-hak pemegang saham



98



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan material dalam perusahaan, maka perlu diselenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Untuk itu diperlukan aturan-aturan yang mengatur mengenai peneyelenggaraan RUPS tersebut. Pemegang saham mempunyai kesempatan untuk berpatisipasi dalam RUPS dan mendapatkan informasi yang cukup mengenai aturan RUPS, termasuk mekanisme pengambilan suara, yaitu: 1. Pemegang saham harus diberikan informasi yang cukup dan tepat waktu mengenai tanggal, lokasi, dan agenda RUPS, dan juga informasi lengkap dan tepat waktu mengenai isu yang akan diambil dalam RUPS.



Berdasarkan Peraturan Bapepam-LK (IX.J.1), RUPS harus diumumkan 28 hari sebelum tanggal pelaksanaan RUPS. Undangan RUPS, termasuk agenda RUPS, harus dilakukan paling tidak 14 harus sebelum RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Dalam panggilan RUPS wajib dicantumkan tanggal, waktu, tempat, mata acara, dan pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor perusahaan.



A W S I S A E B



A C



2. Pemegang saham mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan ke dewan, termasuk pertanyaan mengenai audit eksternal tahunan, memasukkan agenda dalam RUPS, dan mengajukan resolusi, dengan batasan tertentu.











Pemegang saham mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, walaupun berdasarkan UU PT, pertanyaan tersebut harus terkait dengan agenda RUPS. Pemegang saham mempunyai hak yang relatif lemah untuk menambahkan agenda RUPS, karena mereka harus melakukan rapat pemegang saham dengan minimum 10% kepemilikan atau harus ada persetujuan bulat dari seluruh pemegang saham. Pemegang saham dapat memberikan hak suara secara langsung atau in absentia. Hal ini untuk memfasilitasi partisipasi pemegang saham dalam RUPS tanpa diharuskan hadir secara langsung dalam RUPS. Proxy tersebut tidak perlu dibuat di hadapan notaris. Dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 memungkinkan electronic voting pada saat RUPS, tetapi masih sangat jarang perusahaan yang menggunakannya.



H I A R E P



Namun belum ada aturan yang mengharuskan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pemegang saham mengenai prosedur pengambilan suara dalam RUPS maupun prosedur bagi pemegang saham non pengendali untuk mengajukan calon anggota dewan. Di dalam Pedoman KNKG (2006) disebutkan nominasi anggota dewan seharusnya dilakukan oleh Komite Nominasi dan Remunerasi, yang diketuai oleh komisaris independen. Penunjukan komisaris independen seharusnya memperhatikan masukan dari pemegang saham minoritas, yang diperoleh melalui komite tersebut.



8.4 Pengungkapan Struktur Kepemilikan, termasuk Kepemilikan Piramid, Cash-flow Right, Control Right dan Hubungannya dengan Insentif untuk Ekspropriasi Menurut OECD (2004), apabila terdapat struktur modal maupun perjanjian terkait modal saham yang memungkinkan pemegang saham tertentu untuk mendapatkan tingkat pengendalian yang tidak proporsional dengan kepemilikan sahamnya, maka hal tersebut perlu diungkapkan. Adanya struktur piramida, cross shareholdings (UU PT melarang cross-holding), serta saham dengan hak suara terbatas atau hak suara yang berbeda dapat mengurangi kemampuan pemegang saham minoritas untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan.



Ikatan Akuntan Indonesia



99



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Adanya perjanjian pemegang saham juga dapat menyebabkan kelompok pemegang saham tertentu, yang masing-masing individu hanya memiliki sebagian kecil saham perusahaan, dapat bertindak sebagai pemegang saham mayoritas atau pemegang saham dengan suara terbesar. Perjanjian pemegang saham tersebut dapat mengatur berbagai hal yang dapat mengubah kemampuan pemegang saham untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan, oleh karena itu keberadaan struktur modal dan perjanjian pemegang saham tersebut perlu diungkapkan. Control right (voting right) atau hak kendali/hak suara adalah kemampuan untuk menggunakan hak suara dalam RUPS. Prinsip yang umum adalah one share one vote. Sedangkan cash flow rights adalah hak atas pembayaran kas atau dividen. Jika pemegang saham pengendali memiliki perusahaan melalui struktur piramida atau cross-shareholding, maka dimungkinkan control rights dari pemegang saham tersebut lebih besar dibandingkan cash flow rights-nya. Claessens et al. (2002) melakukan studi di sembilan negara Asia Timur (termasuk Indonesia) dan menemukan pada negara-negara tersebut control rights umumnya lebih besar dari cash flow rights melalui struktur piramida dan cross-shareholding. Hal ini menimbulkan insentif untuk melakukan ekspropriasi atas pemegang saham minoritas.



A W S I S A E B



A C



Berikut adalah ilustrasi mengenai cash flow right dan control right. Alternatif A adalah jika investor memutuskan untuk investasi langsung di perusahaan publik dan Alternatif B meggunakan struktur piramida (yaitu investasi tidak langsung melalui perusahaan lain). Control rights dihitung dari persentase kepemilikan yang paling kecil dari rantai kepemilikan.



Investor A Alternatif A: investasi langsung di Perusahaan Publik Investor A: Control right = cash flow rights = 60%



70%



60%



H I A R E P



Alternatif B: Investasi tidak langsung melalui PT B Investor A: Control right = 60%; Cash Flow right = 60%*70% = 42%



PT B



60%



Perusahaan Publik



Adanya perbedaan control rights dalam struktur piramida tersebut dapat menimbulkan motivasi untuk melakukan ekspropriasi. Contoh: Investor A sebagai pengendali dari PT B, yang pada akhirnya mengendalikan PT A dapat mengarahkan terjadinya transaksi yang dilakukan perusahaan publik, seperti penjualan aset dari perusahaan publik ke perusahaan lain yang dimiliki investor A, misal PT B. Aset di perusahaan publik tersebut dijual dengan harga lebih rendah dari harga pasar sehingga menimbulkan kerugian di perusahaan publik. Misal kerugian tersebut sebesar Rp100 juta. Bagi PT B yang membeli aset tersebut akan mendapatkan keuntungan Rp100 juta. Kerugian yang diderita di perusahaan publik akan menjadi tanggungan dari semua pemegang saham. Investor A sebagai pemegang saham tidak langsung hanya akan rugi sebesar cash flow rights-nya yaitu 42%, namun investor A akan mendapatkan kentungan sebagai pemegang saham langsung PT B yaitu sebesar 70%. Ilustrasi ini menunjukkan jika selisih antara control rights dan voting rights semakin besar, maka insentif pemegang saham pengendali untuk melakukan ekspropriasi juga semakin besar. Oleh karena itu, informasi mengenai pemegang saham ultimat perusahaan merupakan informasi penting bagi pemegang saham perusahaan.



100



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Peraturan Bapepam-LK X.K.6 yang direvisi tahun 2012 telah mengharuskan adanya pengungkapan informasi mengenai pemegang saham utama dan pengendali, baik langsung maupun tidak langsung, sampai kepada pemilik individu, yang disajikan dalam bentuk skema atau diagram. Peraturan Bapepam-LK tersebut juga mengharuskan adanya uraian tentang nama Komisaris dan Direktur dan persentase kepemilikannya dalam saham perusahaan. Namun belum diwajibkan adanya pengungkapan mengenai kepemilikan saham tidak langsung dari Komisaris dan Direktur tersebut. Belum ada aturan yang mengatur mengenai kewajiban pengungkapan terkait perjanjian pemegang saham.



8.5 Pasar Pengendalian Perusahaan Berjalan dengan Efisien dan Transparan



A C



Menurut OECD (2004), aturan dan prosedur yang mengatur mengenai akuisisi pengendalian perusahaan dan transaksi luar biasa (seperti merger, penjualan aset perusahaan secara signifikan) harus diatur spesifik dan diungkapkan sehingga investor memahami hak dan kewajibannya. Transaksi tersebut harus terjadi pada harga yang transparan dan dalam kondisi yang wajar sehingga hak-hak pemegang saham tetap terlindungi. Anti-take-over devices tidak dapat digunakan oleh manajemen dan dewan untuk menghindari akuntabilitas.



A W S I S A E B



Di Indonesia terdapat pengaturan terkait pengambilalihan perseroan. Berdasarkan UU PT, keputusan untuk melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan harus disetujui RUPS. UU tersebut dan juga Peraturan Bapapm-LK (IX.J.1) mengatur RUPS tersebut wajib dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS. UU PT juga mengatur bahwa setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, antara lain Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.



H I A R E P



Peraturan Bapepam-LK IX.H.1 mengatur mengenai Pengambilalihan Perusahaan Terbuka. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa calon pengendali baru yang melakukan negosiasi yang dapat mengakibatkan Pengambilalihan dapat mengumumkan negosiasi tersebut dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta menyampaikan pengumuman tersebut kepada Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih, Bapepam dan LK, dan Bursa Efek. Menurut peraturan Bapepam IX.H.1, pihak yang melakukan pengambilalihan yang mengakibatkan perubahan pengendali wajib mengumumkan dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta menyampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat satu hari kerja setelah terjadinya pengambilalihan. Pihak yang melakukan pengambilalihan tersebut wajib melakukan penawaran tender untuk sisa saham yang ada. Peraturan Bapepam-LK X.M.1 mewajibkan setiap pihak yang memiliki 5% (lima perseratus) atau lebih saham yang disetor serta Direktur atau komisaris Emiten atau Perusahaan Publik melaporkan kepada OJK atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham perusahaan. Pasar pengendalian adalah salah satu mekanisme tata kelola perusahaan, yaitu pasar bertindak sebagai salah satu alat untuk mendisiplinkan manajemen. Manajemen dapat diberhentikan jika pengakuisisi meyakini hal tersebut dapat membuat perusahaan beroperasi lebih efisien. Namun, juga perlu dipastikan bahwa pada saat terjadi pengambilalihan tersebut, hak-hak pemegang saham tetap terlindungi.



Ikatan Akuntan Indonesia



101



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Anti-take-over devices adalah alat yang digunakan dewan untuk menghindari terjadinya pengambilalihan yang tidak diinginkan. Anti-take-over devices harus mendapat persetujuan pemegang saham. Pemegang saham dapat menggunakan alat tersebut untuk menghindari terjadinya pengambilalihan dan penggantian manajemen jika menurut pemegang saham hal tersebut adalah yang terbaik bagi perusahaan dan pemegang saham. Namun, penggunaan anti-take-over devices yang berlebihan akan menyebabkan fungsi pasar pengendalian menjadi tidak berjalan, sehingga tidak dapat mendisplinkan manajemen. Penggunaan secara berlebihan tersebut pada akhirnya dapat merugikan pemegang saham. Belum ada aturan yang spesifik yang mengatur mengenai tugas dewan pada saat terjadi pengambilalihan tersebut dan juga belum ada aturan khusus mengenai anti-take-over devices karena sebagian besar kepemilikan adalah kepemilikan terkonsentrasi.



A C



8.6 Fasilitasi Dilaksanakannya Hak-hak Semua Pemegang Saham, termasuk Investor Institusi



A W S I S A E B



Berdasarkan OECD (2004), pemegang saham, termasuk investor institusi, harus dapat menggunakan hak-haknya. Investor institusi yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai fidusia harus mengungkapkan kebijakan tata kelola perusahaan dan voting policies terkait investasi yang dilakukannya. Dalam masa sekarang semakin banyak saham yang dimiliki investor institusional. Pada perusahaan yang sahamnya banyak dimiliki investor institusi, efektivitas dan kredibilitas sistem tata kelola perusahaan dan pengawasan perusahaan, banyak tergantung pada investor institusi yang melaksanakan hak-hak pemegang saham. Oleh karena itu penting dilakukan pengungkapan mengenai bagaimana investor institusi melaksanakan hak-hak kepemilikannya. Kegagalan investor institusi melaksanakan hak-hak kepemilikan dapat berakibat kerugian pada investor. Investor institusi yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai fidusia harus mengungkapkan bagaimana mereka mengelola konflik kepentingan yang timbul dari pelaksanaan hak-hak kepemilikan terkait investasinya. Konflik tersebut dapat timbul dari hubungan bisnis yang material, seperti perjanjian untuk mengelola dana portofolio perusahaan. Adanya konflik kepentingan tersebut harus diungkapkan.



H I A R E P



Belum ada aturan yang spesifik mengatur mengenai investor institusi. Investor institusi sebagaimana investor lainnya mempunyai hak-hak sebagai pemegang saham. Terkait tata kelola yang harus diadopsi investor institusi, Bapepam-LK mengeluarkan pedoman mengenai tata kelola dana pensiun. KNKG juga mengeluarkan pedoman GCG untuk perusahaan asuransi. Juga terdapat Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 152/PMK.010/2012 Tentang  Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. Tata kelola untuk bank diatur oleh Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006).



8.7 Para Pemegang Saham untuk Saling Berkonsultasi terkait dengan Pelaksanaan Hak-haknya



Pemegang saham, termasuk pemegang saham institusional, dapat berkomunikasi satu sama lain terkait hak-hak pemegang saham. Dalam perusahaan dengan kepemilikan tersebar, individu pemegang saham mungkin hanya memiliki sedikit kepemilikan di perusahaan sehingga kurang mempunyai insentif untuk melakukan monitoring. Bagi investor institusional hal ini juga dapat terjadi jika investor institusional hanya memiliki kepemilikan kecil. Oleh karena itu, pemegang saham individu dan institusional dapat bekerjasama dan berkoordinasi untuk menominasi dan memilih anggota dewan, memasukkan agenda dalam RUPS, dan melakukan diskusi langsung dengan perusahaan untuk meningkatkan tata kelola perusahaan. Hingga kini belum ada aturan yang mendorong perusahaan untuk memfasilitasi pemegang saham untuk berkonsultasi satu dengan yang lain.



102



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



8.8 Peran Akuntan Profesional dalam Memfasilitasi Pelaksanaan Hak Pemegang Saham Berikut adalah beberapa peran akuntan profesional terkait prinsip hak-hak pemegang saham:



a. Akuntan manajemen berperan dalam menyiapkan laporan keuangan perusahaan. Dalam laporan keuangan tersebut terdapat berbagai informasi yang berguna bagi penggunanya, seperti informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan, kebijakan akuntansi, transaksi pihak berelasi, struktur kepemilikan. Informasi tersebut perlu disampaikan secara transparan, akurat dan tepat waktu ke pemegang saham. Akuntan publik berperan melakukan verifikasi atas informasi dalam laporan keuangan dan memberikan pendapat mengenai kewajaran dari laporan keuangan. Akuntan profesional yang merupakan anggota komite audit mempunyai peranan melakukan pengawasan atas hal tersebut. b. Akuntan manajemen dan internal audit berperan dalam merancang dan mengimplementasikan sistem informasi dan pengendalian yang mendorong keterbukaan terhadap pemegang saham, terkait dengan pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan terhadap pemegang saham. Akuntan profesional yang merupakan anggota komite audit melakukan pengawasan atas hal tersebut.



A W S I S A E B



A C



8.9 Pelaksanaan Prinsip Perlindungan terhadap Hak-hak Pemegang Saham di Indonesia Menurut Hasil Penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard Hasil Penilaian oleh Bank Dunia



Berdasarkan hasil penilaian Bank Dunia (2010), sudah terdapat berbagai peraturan yang mengatur mengenai hak-hak dasar pemegang saham di Indonesia. Transaksi yang mengandung benturan kepentingan harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen. Namun masih terdapat beberapa hambatan. Seperti, pemegang saham minoritas kurang mempunyai pengaruh dalam pemilihan anggota dewan. Pemegang saham juga mempunyai hak yang lemah untuk mengajukan agenda RUPS atau mengajukan pertanyaan dalam RUPS.



H I A R E P



Kelemahan signifikan terkait dengan terbatasnya pelaporan kepemilikan dan pengendalian ultimat, yang membatasi efektivitas aturan mengenai benturan kepentingan. Pemegang saham juga mempunyai hak yang terbatas untuk mengakses informasi dari perusahaan dan banyak perusahaan yang tidak atau hanya mencantumkan sedikit informasi di dalam website perusahaan. Pemegang saham mempunyai hak untuk memilih anggota dewan. Tetapi pada umumnya, tidak ada kandidat dewan alternatif yang diajukan. Pemegang saham minoritas dapat menominasikan kandidat, tetapi tidak ada mekanisme yang memungkinkan pemegang saham non pengendali untuk menunjuk anggota dewan. Berdasarkan penilaian Bank Dunia, skor tata kelola Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan penilaian pertama tahun 2004, dan peningkatan terbesar skor tersebut berasal dari prinsip hak-hak Pemegang Saham. Skor prinsip Hak-hak Pemegang Saham pada tahun 2004 adalah 56, dan kemudian meningkat menjadi 72 di tahun 2010. Beberapa reformasi yang perlu dilakukan terkait dengan prinsip-prinsip hak pemegang saham adalah: a. Aturan yang lebih baik terkait pengungkapan kepemilikan dan pengungkapan non keuangan lainnya. b. Mengharuskan hak-hak utama pemegang saham dimasukkan ke dalam akte pendirian perusahaan. c. Mengamandemen UU PT agar lebih melindungi kepentingan pemegang saham. Beberapa hal yang perlu diamandemen antara lain:



Ikatan Akuntan Indonesia



103



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat







a) Mengurangi ambang batas untuk tindakan pemegang saham dari 10% menjadi 5%, karena adanya kepemillikan terkonsentrasi. b) Memberikan pemegang saham hak eksplisit untuk mengakses informasi tertentu. c) Mengharuskan perubahan atas hak suara dari tipe saham tertentu harus disetujui super majority dari saham yang terpengaruh, jika terdapat lebih dari satu tipe saham. d) Mengatur peranan dewan dalam merekomendasikan dividen pada saat RUPS dan mengatur batasan waktu kapan dividen harus dibayar. e) Memberikan Dewan Komisaris secara eksplisit kekuasaan untuk menyetujui transaksi material dan mengelola konflik kepentingan d. Memberikan pemegang saham minoritas hak yang lebih besar dalam pemilihan dewan Proses pada pengadilan di Indonesia memerlukan prosedur dan waktu yang lebih lama dan juga biaya yang lebih besar dibandingkan negara-negara OECD dan juga negara-negara Asia Timur. Hal ini bukan saja merugikan pemegang saham, tetapi juga pemangku kepentingan lain seperti karyawan dan kreditur, dan juga regulator.



A W S I S A E B



8.10 Hasil Penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard



A C



Nilai rata-rata untuk kategori ini paling rendah dibandingkan nilai rata-rata kategori lain: pada tahun 2012 adalah 33,1 dan tahun 2013 adalah 41,5. Rata-rata skor yang rendah ini terutama disebabkan karena bukan perusahaan publik di Indonesia tidak mempublikasikan notulensi RUPS, yang memberikan informasi berguna bagi investor untuk mengevaluasi proses dan substansi dari RUPS tersebut. Selain itu, panggilan RUPS tidak dilakukan paling lambat 21 hari sebelum tanggal RUPS dan sebagian besar perusahaan publik mengumumkan hasil RUPS lebih 1 hari setelah tanggal RUPS. Item-item agenda yang memerlukan persetujuan RUPS umumnya tidak disertai penjelasan dan rationale dari Direksi Perusahaan tidak megungkapkan keberadaan kebijakan yang memungkinkan pemegang saham untuk memilih direksi dan komisaris secara individu. Sebagian besar perusahaan publik juga membayarkan dividen lebih dari 30 hari setelah diumumkan.



H I A R E P



Salah satu keunggulan di Indonesia dalam kategori ini adalah UU PT mengharuskan remunerasi anggota dewan untuk disahkan oleh pemegang saham dalam RUPS. Perubahan fundamental dalam perusahaan juga harus mendapat persetujuan dari pemegang saham. Berdasarkan survey yang dilakukan IICD, perusahaan mematuhi aturan hukum terkait pelaksanaan RUPS. Sebagian besar RUPS diselenggarakan di tempat dimana sebagian besar pemegang saham berada, misalnya di Jakarta.



8.11 Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk menilai praktik perlindungan terhadap hakhak pemegang saham perusahaan terbuka



Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian praktik perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard: 1. Hak-hak dasar pemegang saham: apakah perusahaan membayar dividen (interim dan final/tahunan) dengan adil dan tepat waktu, yaitu semua pemegang saham diperlakukan setara dan dibayar dalam waktu 30 hari sejak (i) diumumkan untuk dividen interim dan (ii) disetujui dalam RUPS untuk dividen final. 2. Hak pemegang saham untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perubahan fundamental perusahaan, seperti amandemen anggaran dasar perusahaan, otorisasi saham tambahan,



104



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



transfer aset perusahaan yang pada dasarnya mengakibatkan penjualan perusahaan. 3. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam dan pengambilan suara dalam RUPS dan diinformasikan mengenai aturan, termasuk prosedur pengambilan suara yang mengatur berjalannya RUPS. a. Pengambilan suara dilaksanakan dengan polling (tertutup) dan bukan dengan angkat tangan. b. Pengambilan suara dapat dilakukan in absentia (tanpa kehadiran fisik). c. Pihak independen ditunjuk untuk menghitung dan memvalidasi hasil perhitungan suara. 4. Transparansi panggilan dan penyelenggaraan RUPS: a. Perusahaan memberikan alasan dan penjelasan terhadap setiap item agenda RUPS. b. Risalah RUPS dipublikasi. Dalam risalah RUPS antara lain tercantum daftar hadir komisaris dan direktur, prosedur pengambilan suara, tanya jawab, hasil pengambilan suara untuk tiap agenda rapat. c. Panggilan RUPS dilaksanakan paling lambat 21 hari sebelum tanggal RUPS. d. Terdapat penilai independen yang menilai kewajaran transaksi merjer, akuisisi, pengambilalihan. e. Perusahaan memfasilitasi dilaksanakannya hak kepemilikan oleh semua pemegang saham, ternasuk investor institusi.



A W S I S A E B



A C



Dalam ASEAN CG Scorecard juga diberikan penilaian tambahan (bonus) dan pengurangan (penalti) untuk beberapa hal, yaitu: 1. Bonus: jika perusahaan memperbolehkan penggunaan secure electronic voting in absentia dalam RUPS. 2. Penalti: jika a. perusahaan tidak memberikan perlakuan yang sama untuk pembelian saham kembali untuk semua pemegang sahamnya, b. perusahaan menghalangi upaya komunikasi antara pemegang saham, c. terdapat tambahan item agenda yang tidak diumumkan sebelumnya, d. tidak ada pengungkapan keberadaan perjanjian pemegang saham, voting cap dan multiple voting rights, serta keberadaan struktur kepemilikan piramid.



H I A R E P



Ikatan Akuntan Indonesia



105



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate Governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/upload/asean_ cg_scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Claessens, S., S. Djankov, and L.H.P. Lang, 2002, The Separation of Ownership and Control in East Asian Corporations, Journal of Financial Economics 58, 81-112 4. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Covernance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006_id.pdf. 5. Manne, H., 1965, Mergers and the Market for Corporate Control, Journal of Political Economy, 73, 110-120. 6. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf. 7. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 8. Aturan-aturan yang terkait dengan corporate governance, yaitu UU Perseroan RI, UU Pasar Modal, dan berbagai aturan OJK/BEI. Undang-Undang dan aturan tersebut dapat diunduh dari Internet dan situs OJK/Bapepam-LK. 9. Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. 10. Peraturan Bapepam-LK No. IX.D.1 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu 11. Peraturan Bapepam-LK No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. 12. Peraturan Bapepam-LK No. IX.E.2 tentang Transaksi Material & Perubahan Kegiatan Usaha Utama. 13. Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.1 tentang Rencana dan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. 14. Peraturan Bapepam-LK No. IX.J.1 tentang Pokok-pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Dan Perusahaan Publik. 15. Peraturan Bapepam-LK No. X.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka. 16. Peraturan Bapepam-LK No. X.H.2 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Biro Administrasi Efek dan Emiten Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri. 17. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 18. Peraturan Bapepam-LK No. X.M.1 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu. 19. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 152/PMK.010/2012 Tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. 20. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 21. Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.



H I A R E P



106



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A Bab IX W S I S PRINSIP PERLAKUAN A E SETARA TERHADAP B PEMEGANG H SAHAM I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



A C



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



107



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



PRINSIP PERLAKUAN SETARA TERHADAP PEMEGANG SAHAM



BAB IX



9.1 Latar Belakang Perkembangan struktur pendanaan perusahaan melahirkan berbagai jenis dan kelompok pemegang saham. Perusahaan dapat menerbitkan beberapa jenis seri saham dengan profil berbeda sesuai dengan kombinasi kebutuhan pendanaan perusahaan dan profil investor yang diharapkan. Pada perusahaan keluarga yang go public terbentuk kelompok pemegang saham pengendali (pemilik keluarga) dan pemegang saham non-pengendali (publik). Pada perusahaan milik negara yang go public terdapat negara sebagai salah satu kelompok pemegang saham, selain pemegang saham publik. Era globalisasi keuangan juga melahirkan kelompok pemegang saham asing pada banyak perusahaan, selain pemegang saham domestik. Seluruh kelompok pemegang saham (investor) tersebut menanamkan dana di perusahaan dan berharap dana tersebut dikelola sebaik mungkin sehingga memberikan mereka optimal return.



A W S I S A E B



A C



Dana investor tersebut dikelola oleh manajemen dan/atau kelompok pemegang saham tertentu (yaitu pemegang saham pengendali). Manajemen dan/atau pemegang saham pengendali sangat mungkin memiliki kepentingan yang berbeda dari kelompok pemegang saham lainnya. Sementara kelompok pemegang saham lain (misalnya pemegang saham non-pengendali dan asing) memiliki keterbatasan akses informasi dan pengendalian dalam melakukan pengawasan terhadap tindakan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali. Akibatnya manajemen dan/atau pemegang saham pengendali memiliki insentif dan kesempatan untuk melakukan tindakan yang menguntungkan kelompoknya namun mungkin merugikan pemegang saham non-pengendali.



H I A R E P



Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menjamin perlindungan terhadap kelompok pemegang saham non-pengendali dan asing dari tindakan/keputusan manajemen dan/atau kelompok pemegang saham pengendali yang tidak adil dan tidak setara. Hal ini yang dituangkan dalam prinsip “Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham”. Prinsip ini menjelaskan kerangka dasar upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin perlakuan setara untuk kelompok pemegang saham yang sama, pencegahan tindakan manajemen/pemegang saham pengendali yang bersifat merugikan (abusive) pemegang saham nonpengendali dan asing, serta perlindungan hukum bagi kelompok pemegang saham yang hak-haknya diciderai oleh manajemen dan/atau pemegang saham pengendali. Kesamaan Hak untuk Saham dengan Kelas yang Sama Untuk mencapai struktur pendanaan yang optimal, tidak sedikit perusahaan yang menerbitkan beberapa jenis saham. Misalnya perusahaan dapat menerbitkan saham preferen yang tidak memiliki hak suara namun memiliki hak didahulukan dalam pembayaran dividen. Perusahaan juga dapat menerbitkan beberapa jenis seri saham biasa dengan karakteristik yang berbeda-beda. Perusahaan milik negara yang go public memiliki jenis saham khusus yang merupakan milik pemerintah (misalnya saham Dwi Warna Pemerintah Indonesia di beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah go public). Saham milik pemerintah tersebut umumnya memiliki karakteristik hak suara yang berbeda dari kelompok saham lainnya. Untuk kepentingan tertentu, terdapat kemungkinan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali memberikan perlakuan atau hak yang berbeda untuk kelompok pemegang saham yang sama. Selain itu, manajemen dan/atau pemegang saham pengendali dapat menyembunyikan informasi profil seri saham



108



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



tertentu dari calon investor sehingga keputusan yang diambil oleh calon investor menjadi tidak tepat. Manajemen dan/atau pemegang saham pengendali juga dapat melakukan keputusan penerbitan jumlah atau seri saham baru yang dapat merugikan pemegang saham lama. Berbagai insentif dan keberadaan informasi asimetris memungkinkan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali melakukan tindakan merugikan tersebut. Oleh sebab itu diperlukan pelaksanaan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama untuk seluruh pemegang saham yang berasal dari seri yang sama. Kesamaan hak untuk saham dengan kelas yang sama tersebut merupakan salah satu sub-prinsip dari Prinsip OECD ke-3, yaitu sub-prinsip A.1. Menurut sub-prinsip A.1, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menjamin kesamaan hak untuk saham dengan kelas yang sama, yiatu: a. Pada seri kelas yang sama, seluruh saham harus memiliki hak yang sama; b. Semua investor harus dapat memperoleh informasi tentang hak masing-masing seri dan kelas saham sebelum melakukan pembelian saham; dan c. Setiap perubahan pada hak suara harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang saham yang memperoleh dampak negatif dari perubahan hak suara tersebut.



A W S I S A E B



A C



Sebagian besar sub-prinsip A.1 di atas telah diakomodasi dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)1, yaitu sebagai berikut (World Bank, 2010): a. UU PT Pasal 53 ayat (2) menyatakan setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Pasal ini merupakan dasar hukum perlakuan yang sama pada kelompok saham yang sama. b. Peraturan Bapepam-LK VIII.G.7 mewajibkan perusahaan mengungkapkan jenis saham dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Ketentuan ini memungkinkan calon investor mengetahui jenis dan karakteristik saham perusahaan sebelum melakukan pembelian saham.



H I A R E P



Pedoman umum GCG Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) juga mengatur beberapa hal terkait sub-prinsip A.1. Dalam Bab V tentang Pemegang Saham terdapat Prinsip Dasar yang menyatakan bahwa Perusahaan harus menjamin dapat terpenuhinya hak dan tanggung jawab pemegang saham atas dasar asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) sesuai dengan peraturan perundangundangan dan anggaran dasar perusahaan. Lebih jauh, dalam Pedoman Pelaksanaan dari Prinsip Dasar terkait Pemegang Saham dinyatakan sebagai berikut: a. Pedoman Pelaksanaan 1.1.a, tentang prinsip one-share-one-vote, merupakan wujud perlakuan yang sama kepada seluruh kelompok pemegang saham yang memiliki hak suara. b. Pedoman Pelaksanaan 1.1.e, tentang hak pemegang saham dalam hal terdapat lebih dari satu jenis dan klasifikasi saham dalam perusahaan. Pemegang saham berhak: (i) mengeluarkan suara sesuai dengan jenis, klasifikasi dan jumlah saham yang dimiliki; dan (ii) setiap pemegang saham berhak untuk diperlakukan setara berdasarkan jenis dan klasifikasi saham yang dimilikinya. Transaksi dengan Pihak Berelasi/Mengandung Benturan Kepentingan Salah satu transaksi yang mengandung potensi tindakan yang bersifat abusive dari satu kelompok pemengang saham tertentu (yaitu pemegang saham pengendali) kepada kelompok pemegang saham lainnya (yaitu pemegang saham non-pengendali) adalah transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan. Dalam PSAK 7 disebutkan bahwa transaksi pihak-pihak berelasi adalah suatu pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-pihak yang berelasi, terlepas apakah ada harga yang dibebankan. Pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas 1



Saat ini telah berubah menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)



Ikatan Akuntan Indonesia



109



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya. PSAK 7 selanjutnya merinci kriteria orang atau entitas yang memiliki relasi. Transaksi antar pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan dapat mencakup transaksi yang bersifat operasional dan rutin, seperti transaksi penjualan dan pembelian barang dan jasa, serta dapat juga berupa transaksi strategis seperti pendanaan, investasi, merger, dan lainnya. Transaksi antar pihak berelasi dapat dilakukan dengan tujuan efisiensi, misalnya seperti penghematan biaya penjualan dan pemasaran, menjaga kemandirian ketersediaan dan kualitas bahan baku, dan lainnya. Namun demikian transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan juga berpotensi menjadi abusive terhadap pihak tertentu. Transaksi abusive tersebut terjadi ketika manajemen dan/atau pemegang saham pengendali dapat mengarahkan transaksi yang hanya menguntungkan perusahaan yang dikendalikannya dan menyebabkan kerugian di perusahaan yang berelasi. Misalnya sekelompok pemegang saham memiliki kendali di PT A dan pengaruh yang signifikan di PT B. PT B memasok bahan baku ke PT A. Kelompok pemegang saham dan/ atau manajemen yang mewakilinya di PT B dapat mengarahkan transaksi penjualan ke PT A tersebut pada harga tertentu agar PT A memperoleh bahan baku di bawah harga wajar sehingga mampu memperoleh keuntungan lebih besar pada saat menjual hasil produksinya. Sementara PT B mungkin memperoleh keuntungan yang lebih kecil atau bahkan merugi dikarenakan transaksi tersebut. Pemegang saham nonpengendali di PT B akan dirugikan dengan transaksi pihak berelasi seperti ini. Hal serupa dapat terjadi dalam bentuk transaksi lainnya, termasuk transaksi pendanaan, investasi, merjer, akuisisi, dan lain-lain. Oleh sebab itu diperlukan pelaksanaan prinsip-prinsip yang melindungi pemegang saham, khususnya pemegang saham non-pengendali, dari transaksi pihak berelasi yang bersifat abusive.



A W S I S A E B



A C



Menurut prinsip OECD ke-3, sub-prinsip A.2, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangani transaksi pihak berelasi yang berpotensi abusive, yaitu sebagai berikut: a. Memberlakukan regulasi yang mewajibkan pengungkapan transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan yang dilakukan perusahaan. b. Memberlakukan regulasi yang menegaskan peran Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan sebagai wujud tanggung jawab anggota Dewan Komisaris kepada perusahaan dan seluruh pemegang saham. c. Memberlakukan regulasi yang mengatur bahwa transaksi yang dilakukan untuk kepentingan kelompok usaha tertentu harus dikompensasikan dengan penerimaan manfaat sepadan dari kelompok usaha lainnya. d. Memberlakukan hak untuk memesan saham lebih dulu atas penerbitan saham baru perusahaan. e. Memberlakukan regulasi yang mewajibkan persetujuan RUPS atas transaksi pihak berelasi dengan batasan sahnya keputusan RUPS yang tinggi (super-majority voting rules). f. Memberlakukan regulasi yang meningkatkan peran serta pemegang saham non-pengendali dalam pemilihan anggota Dewan Komisaris, khususnya komisaris independen. g. Memberlakukan regulasi yang mewajibkan atau mengizinkan pemegang saham pengendali membeli saham yang dimiliki oleh pemegang saham non-pengendali pada harga yang ditetapkan oleh penilai independen. h. Memberlakukan regulasi yang memberikan hak kepada pemegang saham non-pengendali untuk melakukan tuntutan hukum atas tindakan yang dilakukan perusahaan, manajemen, dan Dewan Komisaris, yang merugikan pemegang saham non-pengendali.



H I A R E P



Pada tahun 2009, OECD menerbitkan panduan untuk menangani transaksi pihak berelasi yang bersifat abusive, khususnya untuk kawasan Asia, yaitu “Guide on Fighting Abusive Related Party Transactions in Asia”. Panduan ini merupakan penerjemahan lebih lanjut dari prinsip OECD ke-3. Terdapat sembilan rekomendasi utama yang terdapat dalam panduan tersebut, yaitu sebagai berikut:



110



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



1. The legal definition of “related parties” should refer to control and be broad enough to capture relevant transactions that present a risk of potential abuse. It should be sufficiently harmonised with respect to different bodies of law such as company law, listing rules and accounting standards in each jurisdiction to avoid misunderstanding and an excessive regulatory burden, thereby underpinning better implementation and enforcement. 2. The legal and regulatory framework for “related party transactions” should provide appropriate and effective threshold-based tiers, referring to materiality for disclosure and shareholders’ approval and/or board approval of related party transactions according to the risk of potential abuse. It should also take into account regulatory efficiency, weighing the potential cost and benefits. 3. A company should develop and make public a policy to monitor related party transactions that should be subject to an effective system of checks and balances as well as a disclosure process. This can include the possibility for non-controlling shareholders to review the independence of directors in a timely manner. 4. The external auditor should be independent, competent and qualified in order to provide an assurance to the board and shareholders that material information concerning related party transactions is fairly disclosed and alert them to any significant concerns with respect to internal control. The policy framework should support this role effectively. 5. Independent directors should play a central role in monitoring related party transactions, such as designing board approval procedures, conducting investigations and having the possibility for obtaining advice from independent experts. Their role should be supported by the policy framework. 6. Objective judgement in the decision-making process of the board should be ensured. This would include giving non-controlling shareholders sufficient influence over the nomination and election of directors, in particular independent directors, and the design of their incentive structures, such as remuneration policy. 7. Where reliance is placed on shareholders’ approval, a voting system should be established with a majority of disinterested shareholders for the approval of related party transactions at Shareholders Meetings. 8. The legal and regulatory framework should ensure that legal action, including specialized courts and alternative dispute resolution, does not prohibit minority shareholders from seeking legal redress quickly and cost-effectively. 9. A coherent regulatory system dealing with related party transactions, particularly disclosure, board oversight and shareholder approval should be established in each jurisdiction to facilitate implementation and enforcement efforts.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Bagaimana upaya menangani transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan yang bersifat abusive di Indonesia? Tabel 9.1 mengikhtisarkan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan tersebut. Sementara itu, dalam Pedoman Umum GCG Indonesia, Bab V tentang Pemegang Saham, bagian Pedoman Pelaksanaan, terdapat beberapa ketentuan sebagai berikut: a. Pedoman Pelaksanaan 1.2.a mewajibkan pemegang saham pengendali untuk: (i) memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan; dan (ii) mengungkapkan kepada instansi penegak hukum tentang pemegang saham pengendali yang sebenarnya (ultimate shareholders) dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, atau dalam hal diminta oleh otoritas terkait. b. Pedoman Pelaksanaan 1.2.c tentang kewajiban pemegang saham untuk dapat: (i) memisahkan kepemilikan harta perusahaan dengan kepemilikan harta pribadi; dan (ii) memisahkan fungsinya sebagai pemegang saham dengan fungsinya sebagai anggota Dewan Komisaris atau Direksi dalam hal pemegang saham menjabat pada salah satu dari kedua organ tersebut. Banyak perusahaan di Indonesia yang dimiliki oleh keluarga sehingga keberadaan pemegang saham keluarga sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sangat dimungkinkan. Pemegang saham keluarga sekaligus manajemen dapat melakukan tindakan yang merugikan pemegang saham non-pengendali. Oleh sebab itu pedoman pokok pelaksanaan 1.2.c sangat relevan.



Ikatan Akuntan Indonesia



111



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Tabel 9.1 Penerapan Prinsip OECD ke-3: Sub-Prinsip A.2 dalam Peraturan Perundangan-undangan No



Tema



UU PT



1



Hak pemegang saham, khususnya non-pengendali melakukan tuntutan hukum atas tindakan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali yang merugikan



Pasal 61 tentang hak setiap pemegang saham mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Lebih lanjut, Pasal 97 ayat (6) memung­ kinkan pemegang saham (minimum mewakili 10% dari jumlah seluruh saham dengan hak suara) untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh pemegang saham kepada anggota Dewan Komisaris, yang diatur di Pasal 114 ayat (6). Pengaturan ini merupakan bentuk perlin­ dungan hukum bagi pemegang saham, khususnya pemegang saham non-pengendali, untuk menuntut haknya pada saat haknya tersebut diciderai oleh manajemen dan/atau pemegang saham pengendali.



2



Pasal 62 tentang hak pemegang saham untuk meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa: (a) perubahan anggaran dasar; Hak pemegang saham non-pen- (b) pengalihan atau penjamin­an gendali untuk meminta Perse- kekayaan Perseroan yang memroan membeli saham yang dimi- punyai nilai lebih dari 50% (lima likinya puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau (c) penggabung­ an, peleburan, pengambil­alihan, atau pemisahan. Pasal ini merupakan perlindungan yang bersifat ex-ante kepada pemegang saham non-pengendali atas kemung­kinan tindakan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali yang merugikan.



H I A R E P



112



Ikatan Akuntan Indonesia



UU PM



Pasal 5 (n) menyatakan Bapepam-LK dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat yang disebabkan oleh pelanggaran atas ketentuan di pasar modal. Ketentuan ini merupakan upaya perlindungan ex ante yang dapat dilakukan OJK. Pasal 111 menyatakan setiap Pihak yang menderita kerugian sebagai akibat dari pelanggaran atas ketentuan di pasar modal dapat menuntut ganti rugi kepada Pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Ketentuan ini merupakan wujud perlindungan yang bersifat ex-post atas tindakan yang merugikan pihak tertentu.



Peraturan Bapepam-LK (OJK)



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



No



Tema



UU PT



3



Pasal 79 ayat 2 yang memungkin­ kan pemegang saham mengajukan RUPS, yaitu minimum mewakili 10% dari seluruh jumlah saham yang memiliki suara. Hak pemegang saham untuk Pasal ini memberikan kesemmengajukan RUPS patan kepada pemegang saham non-pengendali untuk mengajukan RUPS atas hal-hal yang mungkin dapat merugikan pemegang saham non-pengendali.



4



Super-majority voting rules



Pasal 88 yang mengatur tentang ketentuan kourum RUPS yang tinggi (yaitu minimum 2/3 dari seluruh pemegang saham) dan ketentuan sahnya keputusan RUPS (yaitu minimum 2/3 dari suara yang diberikan) untuk pengambilan keputusan perubahan anggaran dasar. Pasal ini menunjukkan upaya UU PT dalam mencegah tindakan manajemen atau pemegang saham pengendali melakukan tindakan yang mung­ kin merugikan pemegang saham non-pengendali. Semakin tinggi­nya batasan kuorum dan syarat sah keputusan RUPS akan menurunkan probabilitas manajemen dan/atau pemegang saham pengendali mendominasi keputusan RUPS.



5



Pasal 138 yang memungkinkan pemegang saham (minimum mewakili 10% dari seluruh jumlah saham yang memiliki suara) untuk mengajukan pemeriksaan terhadap Perseroan. Pasal Hak pemegang saham untuk ini memungkin­ kan pemegang mengajukan pemeriksaan ter­ saham non-pengendali untuk hadap Perseroan melakukan pemeriksaan terhadap tindakan-tindakan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali yang dicurigai merugikan pemegang saham non-pe­ ngendali.



H I A R E P



UU PM



Peraturan Bapepam-LK (OJK)



A C



IX.J.1 mengatur hal yang sama dengan UU PT untuk perubahan anggaran dasar. Sementara untuk RUPS terkait transaksi luar biasa (seperti merger, akuisisi, dll) ketentuan kuorum RUPS adalah ¾ dari jumlah seluruh pemegang saham yang memiliki hak suara dan batas sahnya keputusan RUPS adalah ¾ dari jumlah suara yang diberikan. Seperti halnya UU PT, ketentuan ini merupakan upaya pencegahan tindakan manajemen dan/atau pemegang saham pengendali yang merugikan pemegang saham non-pengendali (perlindungan yang bersifat ex-ante).



A W S I S A E B



Ikatan Akuntan Indonesia



113



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



No



6



7



Tema



UU PT



Pre-emptive rights



H I A R E P



Ketentuan pengungkapan dan persetujuan transaksi pihak berelasi/mengandung benturan kepentingan



UU PM



Peraturan Bapepam-LK (OJK) IX.J.I – poin 6 (a) mengatur tentang kewajiban memberikan preemptive rights kepada pemegang saham lama pada saat perusahaan menerbitkan saham baru. Ketentuan ini hanya dikecualikan jika penambah­ an saham tersebut tidak melebihi 10% paid-in-capital selama dua tahun terakhir (IX.D.4). Ketentuan ini melindungi pemegang saham lama, khususnya pemegang saham non-pengendali, dari kemungkinan penurunan % kepemilikan dikarenakan penerbitan saham baru oleh perusahaan.



A W S I S A E B



A C



• IX.E.1 mengatur secara khusus transaksi afiliasi (transaksi pihak berelasi) dan transaksi yang mengandung benturan kepentingan. Peraturan ini mengarahkan perusahaan pada pelaksanaan transaksi yang bersifat wajar dan arm’s length. IX.E.I mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan transaksi pihak berelasi kepada publik dan melaporkannya kepada regulator (OJK), serta mewajibkan transaksi dengan benturan kepentingan untuk disetujui terlebih dahulu oleh RUPS pemegang saham independen. Ketentuan ini adalah upaya pencegahan transaksi dengan pihak berelasi yang berpotensi merugikan pemegang saham non-pengendali.



• VIII.G.7 mewajibkan penyajian terpisah dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan dengan pihak berelasi, serta pengungkapan transaksi pihak berelasi dalam catatan atas laporan keuangan. • X.K.6 mewajibkan pengungkapan transaksi pihak berelasi dan transaksi benturan kepentingan dalam laporan tahunan perusahaan.



Sumber: diikhtisarkan dari hasil studi World Bank (2010)



114



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Pedoman Pelaksanaan 1.2.d menyatakan bahwa dalam hal pemegang saham menjadi pemegang saham pengendali pada beberapa perusahaan, perlu diupayakan agar akuntabilitas dan hubungan antar-perusahaan dapat dilakukan secara jelas. Pengendalian di beberapa perusahaan memungkinkan kelompok pemegang saham tertentu melakukan transaksi berelasi yang merugikan pemegang saham non-pengendali. Oleh sebab itu akuntanbilitas dan pengungkapan informasi pengendalian di beberapa perusahaan tersebut merupakan hal yang sangat penting. Jika kita bandingkan peraturan perundang-undangan dan Pedoman Umum GCG Indonesia dengan saransaran dalam panduan OECD, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia telah memiliki kerangka hukum dalam menangani transaksi pihak berelasi yang berpotensi abusive. Namun demikian beberapa aspek masih perlu diperbaiki, yaitu terkait dengan peningkatkan kesempatan pemegang saham non-pengendali dalam nominasi dan seleksi komisaris independen serta mereview independensi komisaris, peran komisaris independen dalam menelaah transaksi pihak berelasi, serta kewajiban pengungkapan kebijakan perusahaan dalam menangani transaksi pihak berelasi. Salah satu upaya perbaikan yang dilakukan regulator, dalam hal ini OJK, adalah menerbitkan Kep-643/BL/2012 atau peraturan IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, yang mengatur didalamnya tugas dan tanggung jawab Komite Audit untuk menelaah dan memberikan saran kepada Dewan Komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik.



9.2 Perdagangan oleh Orang Dalam



A W S I S A E B



A C



Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip B, melarang perdagangan oleh orang dalam (insider trading) dan transaksi abusive lainnya yang memanfaatkan hubungan dekat dengan perusahaan, termasuk dengan pemegang saham pengendali, untuk kepentingan pribadi yang merugikan perusahaan dan investor. Keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hubungan tersebut, misalnya abnormal return dari perubahan harga saham, menjadi motivasi terjadinya insider trading. Keberadaan informasi asimetris sering menyulitkan untuk mencegah dan membuktikan transaksi insider trading ini. Sementara di sisi lain dampak transaksi ini, selain merugikan perusahaan dan investor, juga dapat menurunkan kredibilitas pasar modal secara keseluruhan. Oleh sebab itu prinsip pelarangan perdagangan oleh orang dalam sangat penting untuk dilaksanakan. Prinsip OECD sub-prinsip B mewajibkan regulator melarang perdagangan oleh orang dalam tersebut serta menegakkan hukuman atas pelanggaran aturan tersebut.



H I A R E P



Menurut UU PM Pasal 95, perdagangan oleh orang dalam mencakup: a. Pembelian atau penjualan atas efek emiten atau perusahaan publik; b. Pembelian atau penjualan atas efek perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik; oleh orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan yang memiliki informasi orang dalam. Perdagangan oleh orang dalam juga mencakup upaya orang dalam yang (UU PM Pasal 96): a. Mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud; atau b. Memberi informasi orang dalam kepada Pihak mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek. Dalam Pasal 97 UU PM ditambahkan bahwa perdagangan oleh orang dalam juga mencakup transaksi yang dilakukan oleh pihak lain yang memperoleh informasi orang dalam dari orang dalam dengan cara melawan hukum. Transaksi efek emiten dan perusahaan publik yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang memiliki informasi orang dalam emiten dan perusahaan publik tersebut juga termasuk perdagangan oleh orang dalam, kecuali transaksi tersebut dilakukan atas perintah nasabahnya dan Perusahaan Efek tidak



Ikatan Akuntan Indonesia



115



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



memberikan rekomendasi kepada nasabahnya mengenai efek yang bersangkutan (Pasal 98 UU PM). Dalam penjelasan atas pasal 95, orang dalam yang dimaksud dalam UU PM adalah: a. Komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik; b. Pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik; c. Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau d. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas. Sanksi atas pelanggaran pelarangan perdagangan oleh orang dalam diatur dalam Pasal 104 UU PM. Pihakpihak yang terlibat dalam perdagangan oleh orang dalam terancam sanksi pidana 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda maksimum Rp15 milyar.



A C



Peraturan Bapepam-LK X.K.1 tentang keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada publik merupakan salah satu upaya membatasi kemungkinan perdagangan oleh orang dalam. Peraturan X.K.1 mewajibkan emiten atau perusahaan publik menyampaikan kepada OJK dan mengumumkan kepada masyarakat, secepat-cepatnya, paling lambat hari kerja ke-2, setelah diperoleh keputusan atau informasi atau fakta material yang dapat mempengaruhi nilai efek perusahaan atau keputusan investasi pemodal. Informasi atau fakta material yang diperkirakan dapat mempengaruhi harga efek atau keputusan investasi pemodal, antara lain hal-hal sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.



A W S I S A E B



Penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, atau pembentukan usaha patungan; Pemecahan saham atau pembagian dividen saham; Pendapatan dari dividen yang luar biasa sifatnya; Perolehan atau kehilangan kontrak penting; Produk atau penemuan baru yang berarti; Perubahan dalam pengendalian atau perubahan penting dalam manajemen; Pengumuman pembelian kembali atau pembayaran efek yang bersifat utang; Penjualan tambahan efek kepada masyarakat atau secara terbatas yang material jumlahnya; Pembelian, atau kerugian penjualan aktiva yang material; Perselisihan tenaga kerja yang relatif penting; Tuntutan hukum yang penting terhadap perusahaan, dan atau direktur dan komisaris perusahaan; Pengajuan tawaran untuk pembelian efek perusahaan lain; Penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan; Penggantian Wali Amanat; Perubahan tahun fiskal perusahaan;



H I A R E P



Peraturan Bapepam-LK X.M.1 yang mengatur keterbukaan informasi pemegang saham tertentu juga ditujukan untuk mencegah atau mendeteksi sedini mungkin perdagangan oleh orang dalam. X.M.1 mewajibkan Direktur atau Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik melaporkan kepada OJK atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham perusahaan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya transaksi. Kewajiban tersebut berlaku juga bagi setiap Pihak yang memiliki 5% (lima perseratus) atau lebih saham yang disetor. Salinan dari laporan tersebut harus tersedia untuk dilihat umum dan dapat disalin di OJK. Kewajiban pengungkapan informasi yang sama dalam laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan juga diatur dalam X.K.6 dan VIII.G.7. Pemegang saham dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 61 UU PT dan/atau Pasal 111 UU PM untuk menuntut pelanggaran terhadap hak-haknya dan kerugian yang disebabkan perdagangan oleh orang dalam (World Bank, 2010). Pasal 61 UU PT memberikan hak kepada setiap pemegang saham mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak



116



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



adil dan tanpa alasan sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Sementara itu, Pasal 111 UU PM menyatakan setiap Pihak yang menderita kerugian sebagai akibat dari pelanggaran atas ketentuan di pasar modal dapat menuntut ganti rugi kepada Pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Ketentuan ini merupakan wujud perlindungan yang bersifat ex-post atas tindakan yang merugikan pihak tertentu. Pencegahan perdagangan oleh orang dalam juga disebutkan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pada Bab V tentang Pemegang Saham, bagian Pedoman Pelaksanaan 2.4, disebutkan bahwa Perusahaan tidak boleh memihak pada pemegang saham tertentu dengan memberikan informasi yang tidak diungkapkan kepada pemegang saham lainnya. Informasi harus diberikan kepada semua pemegang saham tanpa menghiraukan jenis dan klasifikasi saham yang dimilikinya.



9.3 Fasilitas Penggunaan Hak Voting Melalui Kustodian atau Cross-border



A C



Kepemilikan saham pada suatu perusahaan pada umumnya melibatkan pihak lain yang berperan sebagai kustodian. Kustodian memiliki saham di suatu perusahaan atas nama investor sehingga hak suara yang dimilikinya seharusnya digunakan dalam kerangka kepentingan investor. Namun demikian terdapat potensi kebijakan penggunaan suara oleh kustodian tidak sejalan dengan kepentingan investor. Oleh sebab itu diperlukan prinsip yang mengatur norma penggunaan hak suara oleh kustodian.



A W S I S A E B



Permasalahan yang lebih kompleks dihadapi oleh investor asing. Investasi yang dilakukan oleh pemegang saham asing pada umumnya melalui intermediaries lintas negara (cross-border). Kondisi tersebut menimbulkan permasalahan dalam penentuan hak pemegang saham asing dalam menggunakan hak suaranya (OECD, 2004). Hambatan jalur komunikasi dan waktu yang terbatas menyebabkan pemegang saham asing memiliki keterbatasan untuk menggunakan hak suaranya. Oleh sebab itu diperlukan prinsip yang mengatur norma untuk menekan hambatan penggunaan hak suara oleh pemegang saham asing.



H I A R E P



Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip A.3 dan A.4, berkait dengan kedua isu di atas. Pada sub-prinsip A.3, OECD menegaskan bahwa penggunaan hak suara oleh kustodian harus dilakukan sesuai kesepakatan dengan investor (beneficial owners). OECD menegaskan perlunya mencari keseimbangan antara upaya mencegah penggunaan hak suara oleh kustodian yang tidak sesuai dengan kepentingan investor dengan kepraktisan dalam penggunaan suara oleh kustodian. Menurut OECD, pernyataan dari kustodian bahwa kecuali diperintah lain, hak suara akan digunakan oleh kustodian dalam kerangka kepentingan investor, sudah cukup memadai. Prinsip OECD juga menegaskan bahwa investor yang memiliki saham melalui kustodian tetap harus memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam tata kelola perusahaan. Sub-prinsip A.4 menegaskan perlunya upaya-upaya untuk menghilangkan pembatasan cross-border voting. Menurut sub-prinsip A.4, kerangka hukum dan peraturan yang berlaku harus mengatur dengan jelas pihak berhak mengendalikan hak suara dalam situasi cross-border, serta jika memungkinkan dapat menyederhanakan rantai perantaranya. Sub-prinsip A.4 juga menganjurkan penentuan periode pemanggilan pemegang saham yang cukup memadai sehingga pemegang saham asing memiliki kesempatan yang sama dengan pemegang saham domestik. Penggunaan teknologi dianjurkan sebagai upaya lain menghilangkan hambatan cross-border voting tersebut. Penerapan sub-prinsip A.3 dalam kerangka hukum di Indonesia terdapat pada UU PM yang mewajibkan kustodian menyampaikan seluruh informasi terkait RUPS yang relevan kepada pemegang saham akhir atau ultimate shareholders (World Bank, 2010). Ketentuan ini memberikan perlindungan hak atas informasi kepada pemegang saham. Dalam peraturan Bapepam-LK, IV.A.3, juga diatur tentang hak dan kewajiban pemegang saham terhadap kustodian, termasuk kewajiban kustodian untuk meneruskan informasi yang



Ikatan Akuntan Indonesia



117



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



relevan bagi pemegang saham (World Bank, 2010). Namun ketentuan terkait sub-prinsip A.3 ini belum diatur secara eksplisit dalam UU PT dan Pedoman Umum GCG Indonesia. Dalam kerangka hukum di Indonesia, tidak terdapat perbedaan hak pemegang saham asing dan pemegang saham domestik. Peraturan di Indonesia telah menerapkan beberapa norma yang sesuai dengan sub-prinsip A.4, yaitu kejelasan tentang pihak yang berhak menggunakan hak suara, periode pemanggilan pemegang saham untuk RUPS yang memadai, serta pengakuan sistem perwakilan dan penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan RUPS. Berikut ketentuannya (World Bank, 2010): a. Pasal 83 UU PT mengatur bahwa pengumuman RUPS harus dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS. Hal yang sama juga diatur dalam Peraturan Bapepam-LK IX.J.1 yang juga menyebutkan bahwa pemanggilan RUPS paling lambat dilakukan 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan RUPS. Dengan demikian, peraturan di Indonesia yang mewajibkan panggilan RUPS dilakukan paling lambat 14 hari sebelum penyelenggaraan RUPS adalah lebih lama dari international best practices yaitu 21 (dua puluh satu) hari. Dibanding international best practices, ketentuan ini kurang memberikan waktu yang memadai bagi pemegang saham untuk menghadiri RUPS, termasuk bagi pemegang saham asing. b. Pasal 85 UU PT yang memungkinkan pemegang saham mewakilkan kehadirannya di RUPS atau Pasal 77 UU PT yang memungkinkan penggunaan media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya dalam pelaksanaan RUPS. Pasal ini mengurangi hambatan pemegang saham dalam menghadiri RUPS, khususnya pemegang saham asing.



A W S I S A E B



A C



Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham dalam Proses dan Prosedur RUPS



RUPS merupakan organ tertinggi dalam perusahaan. Berbagai keputusan penting/strategis tentang perusahaan diputuskan melalui RUPS, seperti pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris, pembagian dividen, persetujuan Laporan Keuangan, perubahan anggaran dasar, persetujuan atas transaksi tertentu, dan lainnya. Oleh sebab itu partisipasi pemegang saham dalam RUPS merupakan hak dasar pemegang saham.



H I A R E P



Namun demikian, seperti telah dijelaskan sebelumnya, manajemen dan/atau pemegang saham pengendali memiliki motivasi dan peluang untuk membatasi pengaruh pemegang saham non-pengendali atau asing terhadap berbagai keputusan penting/strategis perusahaan, termasuk membatasi partisipasi mereka dalam RUPS. Pengenaan biaya peserta RUPS, pelarangan perwakilan suara, atau jeda waktu yang singkat antara pemberitahuan dan pelaksanaan RUPS, merupakan contoh berbagi upaya yang dapat dilakukan untuk membatasi partisipasi pemegang saham non-pengendali atau asing dalam RUPS (OECD, 2004). Hal ini akan menciderai hak dasar pemegang saham non-pengendali atau asing. Oleh sebab itu diperlukan penerapan prinsip yang menjamin perlakuan setara terhadap pemegang saham dalam proses dan prosedur RUPS. Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip A.5, menegaskan perlunya membangun proses dan prosedur RUPS yang menjamin perlakuan yang setara kepada seluruh pemegang saham. Proses dan prosedur yang menyulitkan dan berbiaya tinggi harus dihindarkan. Perusahaan harus berupaya mengembangkan jalur komunikasi dan pengambilan keputusan pemegang saham yang lebih baik. Segala hambatan terhadap partisipasi pemegang saham dalam RUPS harus dihilangkan. Penggunaan teknologi informasi harus dioptimalkan untuk menghilangkan hambatan tersebut. Peraturan Bapepam-LK, IX.I.1, mengarahkan pelaksanaan RUPS yang memudahkan bagi pemegang saham untuk menghadirinya (terkait perencanaan jadwal, tempat, agenda, dan prosedur RUPS). IX.I.1 juga mewajibkan perusahaan menyampaikan hasil RUPS kepada OJK paling lambat dua hari setelah pelaksanaan serta mempublikasikannya. Pasal 83 dan Pasal 85 UU PT serta Peraturan Bapepam-LK IX.J.1, seperti diuraikan sebelumnya, juga merupakan kerangka hukum yang mengarahkan pada perlindungan atas partisipasi pemegang saham dalam RUPS. (World Bank, 2010).



118



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Pedoman Umum GCG Indonesia tidak secara spesifik mengatur tentang perlakuan yang setara kepada pemegang saham dalam pelaksanaan RUPS. Namun dalam Bab V tentang Pemegang Saham, Pedoman Pelaksanaan 2.5 mewajibkan Perusahaan memberikan penjelasan lengkap dan informasi yang akurat mengenai penyelenggaraan RUPS. Selain itu, prosedur penyelenggaraan RUPS dalam Pedoman Umum GCG Indonesia dapat mendukung upaya perlakuan setara kepada pemegang saham dalam pelaksanaan RUPS. Berikut Pedoman Pokok Pelaksanaan yang terkait dengan penyelenggaraan RUPS: a. Pemegang saham diberikan kesempatan untuk mengajukan usul mata acara RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. Panggilan RUPS harus mencakup informasi mengenai mata acara, tanggal, waktu dan tempat RUPS; c. Bahan mengenai setiap mata acara yang tercantum dalam panggilan RUPS harus tersedia di kantor perusahaan sejak tanggal panggilan RUPS, sehingga memungkinkan pemegang saham berpartisipasi aktif dalam RUPS dan memberikan suara secara bertanggung jawab. Jika bahan tersebut belum tersedia saat dilakukan panggilan untuk RUPS, maka bahan itu harus disediakan sebelum RUPS diselenggarakan; d. Penjelasan mengenai hal-hal lain yang berkaitan dengan mata acara RUPS dapat diberikan sebelum dan atau pada saat RUPS berlangsung; e. Risalah RUPS harus tersedia di kantor perusahaan, dan perusahaan menyediakan fasilitas agar pemegang saham dapat membaca risalah tersebut.



A W S I S A E B



A C



Terkait bahan rapat yang menyertai panggilan RUPS, dengan perkembangan teknologi informasi, bahan rapat tersebut sebaiknya dimuat di situs web perusahaan sehingga mudah diakses oleh pemegang saham jauh hari sebelum tanggal RUPS. Bahan rapat yang disediakan cukup rinci sehingga pada saat RUPS pemegang saham dapat mengajukan pertanyaan dan melakukan pemungutan suara berdasarkan informasi yang lengkap. Berikut adalah contoh informasi tersebut: profil lengkap calon direktur/komisaris, kebijakan dividen serta rencana dividen yang akan dibayar, calon kantor akuntan publik serta partner yang mengaudit laporan keuangan, dan seterusnya.



H I A R E P



9.4 Pengungkapan Informasi Benturan Kepentingan anggota Direksi dan Dewan Komisaris



Direksi sebagai pimpinan puncak perusahaan dan Dewan Komisaris sebagai organ pengawas tertinggi di perusahaan memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan/tindakan yang dilaksanakan perusahaan. Tindakan atau keputusan tersebut seharusnya didasarkan pada kepentingan perusahaan dan seluruh pemegang saham. Namun Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dapat memiliki kepentingan pribadi (self-interest) atas keputusan/tindakan tertentu yang akan dilaksanakan perusahaan. Misalnya, direktur dan/ atau komisaris memiliki saham di perusahaan lain yang memasok bahan baku ke perusahaan atau membeli produk dari perusahaan. Kondisi tersebut dan kewenangan Direksi dan/atau Dewan Komisaris dapat menimbulkan benturan kepentingan. Direktur dan/atau komisaris dapat mempengaruhi keputusan/tindakan perusahaan yang menguntungkan kepentingan pribadinya namun merugikan perusahaan. Kepemilikan terkonsentrasi (misalnya pada kepemilikan keluarga) dan struktur perusahaan konglomerasi pada beberapa negara, meningkatkan potensi benturan kepentingan direktur dan/atau komisaris, yang umumnya perwakilan pemegang saham pengendali, dengan kepentingan perusahaan, khususnya kepentingan pemegang saham non-pengendali. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menangani kemungkinan benturan kepentingan direktur dan/atau komisaris dengan kepentingan perusahaan.



Ikatan Akuntan Indonesia



119



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip C, menegaskan kewajiban komisaris dan direktur untuk mengungkapkan kepada Dewan Komisaris, jika mereka secara langsung, tidak langsung, atau atas nama pihak ketiga, memiliki kepentingan material terhadap transaksi atau kegiatan yang secara langsung mempengaruhi perusahaan. Benturan kepentingan tersebut dapat disebabkan oleh hubungan bisnis, hubungan keluarga, atau hubungan khusus lainnya di luar perusahaan, yang dapat memengaruhi objektifitas penilaian direktur dan/atau komisaris terhadap transaksi atau aspek tertentu yang berpengaruh terhadap perusahaan. Hubungan khusus tersebut mencakup situasi dimana direktur dan/atau komisaris memiliki hubungan dengan perusahaan melalui hubungannya dengan pemegang saham yang memiliki pengendalian atas perusahaan tersebut. Subprinsip C juga menganjurkan agar pihak-pihak yang memiliki benturan kepentingan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atas transaksi atau aspek yang mengandung benturan kepentingan tersebut. Kewajiban pengungkapan informasi benturan kepentingan direktur dan komisaris tersebut diatur secara tidak langsung pada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. UU PT Pasal 99 ayat (1) melarang Direksi mewakili Perseroan jika terdapat benturan kepentingan antara Direksi dan Perseroan. Pasal 101 mewajibkan anggota Direksi melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.



A W S I S A E B



A C



Pedoman Umum GCG Indonesia juga mengatur secara tidak langsung kewajiban pengungkapan informasi benturan kepentingan direktur dan komisaris dalam Bab III tentang Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku, bagian 3.2, yaitu sebagai berikut: a. Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, komisaris dan direktur, serta karyawan perusahaan; b. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis perusahaan diatas kepentingan ekonomis pribadi atau keluarga, maupun pihak lainnya; c. Komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan pihak-pihak lain; d. Dalam hal pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut serta; e. Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan harus mengeluarkan suaranya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan; f. Setiap komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan yang memiliki wewenang pengambilan keputusan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memiliki benturan kepentingan terhadap setiap keputusan yang telah dibuat olehnya dan telah melaksanakan pedoman perilaku yang ditetapkan oleh perusahaan.



H I A R E P



9.5 Peran Akuntan Profesional



Akuntan profesional dapat berperan aktif dalam mewujudkan prinsip perlakuan yang setara terhadap pemegang saham, diantaranya, namun tidak terbatas pada: a. Melakukan audit secara profesional, khususnya dalam memastikan pengungkapan transaksi pihak berelasi sesuai dengan PSAK dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Membantu komisaris independen dalam melakukan reviu atas kewajaran transaksi pihak berelasi.



120



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



c.



Merancang dan mengimplementasikan sistem informasi dan pengendalian yang mendorong terciptanya perlakuan setara terhadap pemegang saham, khususnya terkait dengan transaksi pihak berelasi dan perdagangan orang dalam. d. Mengendalikan diri dan unit/area yang menjadi tanggung jawabnya dari keterlibatan perdagangan oleh orang dalam. Akuntan dan bidang pekerjaannya merupakan salah satu pihak yang berpotensi dikategorikan sebagai orang dalam. e. Mendorong keterbukaan dan kewajaran dalam pengungkapan transaksi pihak berelasi dan transaksi yang mengandung benturan kepentingan.



9.6 Pelaksanaan Prinsip Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham di Indonesia



A C



Reviu pelaksanaan prinsip perlakuan setara terhadap pemegang saham di Indonesia akan menggunakan hasil penilaian World Bank dan IICD-ASEAN CG Scorecard. Tabel 9.2 mengikhtisarkan hasil penilaian Bank Dunia yang tertuang dalam Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC) (World Bank, 2010).



A W S I S A E B



Tabel 9.2 ROSC: Pelaksanaan Prinsip Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham di Indonesia Sub-Prinsip



Pencapaian



3.A.1



• Terdapat kerangka hukum yang mewajibkan hak yang sama untuk seri dan jenis saham yang sama. • Terdapat kerangka hukum yang mewajibkan pengungkapan seluruh jenis saham perusahaan secara tepat waktu kepada calon investor (dalam laporan keuangan dan prospektus). • Pemegang saham pada seri dan jenis yang sama memperoleh hak yang sama dalam penggunaan hak suara dan pembagian dividen. • Pada umumnya perusahaan hanya memiliki satu jenis saham dan investor dapat dengan mudah mempelajari karakteristik setiap jenis saham yang diterbitkan perusahaan.



H I A R E P



Keterbatasan



Kerangka CG belum mewajibkan atau mendorong adanya persetujuan atas perubahan hak suara suatu seri atau jenis saham tertentu oleh pemegang saham yang terkena dampaknya melalui mekanisme RUPS.



Ikatan Akuntan Indonesia



121



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Sub-Prinsip



3.A.2



3.A.3



3.A.4



122



Pencapaian



Keterbatasan



• Terdapat beberapa otoritas yang bertanggung jawab menegakan UU PT, UU PM, Peraturan Bapepam-LK (OJK), Peraturan BI, dan Peraturan Bursa. • Ketentuan hukum menganut supermajority vote. • Ketentuan hukum memberikan hak kepada pemegang saham (termasuk pemegang sahan non-pengendali) mengajukan RUPS-LB. • Ketentuan hukum memberikan hak kepada pemegang saham untuk mengajukan pemeriksaan khusus terhadap Perseroan. • Tidak memungkinkan adanya “shadow directors”1. • Ketentuan hukum memberikan hak kepada pemegang sa• Pemegang saham tidak ditemukan menggunakan haknya ham untuk menuntut perusahaan membeli kembali sahamuntuk meminta pembelian kembali sahamnya oleh perusanya pada nilai wajar jika pemegang saham tidak menyetujui haan pada saat pemegang saham tidak menyetujui tindakan tindakan perusahaan yang dapat merugikan. yang dilakukan perusahaan. • Ketentuan hukum memberikan hak kepada pemegang sa• Pemegang saham tidak ditemukan menggunakan haknya ham untuk menuntut Perseroan, Direksi, dan Dewan Komisuntuk menuntut Direksi dan Dewan Komisaris atas nama aris. Perseroan atas kelalaian yang dilakukan. • Ketentuan hukum memberikan hak kepada pemegang sa• Regulator tidak ditemukan pernah menuntut Direksi atau ham untuk menuntut ganti rugi atas tindakan perusahaan Dewan Komisaris atas kelalaian yang dilakukan. yang tidak adil atau merugikan. • Tidak terdapat pernyataan yang tegas dalam peraturan pe• Ketentuan hukum memberikan hak kepada pemegang sarundang-undangan yang mewajibkan atau mendorong ham atas nama Persero menuntut Direksi dan Dewan Kopelaksanaan transaksi pihak berelasi secara wajar, arm’s misaris. length, dan berbasis harga pasar. • Ketentuan hukum dapat membatalkan keputusan RUPS, Dewan Komisaris, dan Direksi. • Pemegang saham memiliki preemptive rights. • Transaksi pihak berelasi yang di atas batas tertentu wajib mendapatkan persetujuan pemegang saham. • Regulator melakukan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. • Regulator melakukan tindakan perlindungan investor selain menempuh jalur hukum pada saat terjadi pelanggaran terhadap hak-hak investor.



H I A R E P



A W S I S A E B



• Ketentuan hukum mewajibkan kustodian menginformasikan RUPS yang akan datang dan menyampaikan informasi relevan terkait RUPS kepada pemegang saham (ultimate shareholders). • Pemegang saham (ultimate) dapat mengarahkan pihak kustodian melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan pemegang saham. • Ketentuan hukum menjamin pemegang saham dapat mengeluarkan perintah yang mengikat tentang penggunaan hak suaranya oleh pihak yang mewakili. • Dalam praktik ketentuan di atas dilaksanakan oleh kustodian.



A C



Kerangka CG belum mewajibkan kustodian mengungkapkan informasi tentang hak suara dan kebijakan penggunaan hak suara tersebut kepada pemegang saham (ultimate) jika tidak ada instruksi khusus dari pemegang saham.



• Ketentuan hukum melarang adanya perbedaan partisipasi investor asing dalam pasar modal. • Dalam kententuan hukum yang berlaku, pemegang saham asing memiliki hak yang sama dengan pemegang saham domestik. • Ketentuan hukum mengatur dengan jelas pihak yang berhak Belum ditemukan praktik penggunaan sistem informasi untuk menggunakan hak suara. mendukung pemberian hak suara pada saat RUPS. • Ketentuan hukum mewajibkan waktu yang memadai untuk pengumuman pelaksanaan RUPS dan pemanggilan pemegang saham. • Dalam praktik tidak ditemukan pelanggaran atas ketentuan di atas.



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Sub-Prinsip



3.A.5



3.B



3.C



Pencapaian



Keterbatasan



• Ketentuan hukum mengarahkan pelaksanaan RUPS yang terencana dengan baik (jadwal, tempat, agenda, prosedur, dll). • Ketentuan hukum mewajibkan diseminasi hasil RUPS secara Ketentuan hukum belum mengatur mekanisme tertentu dalam tepat waktu. penggunaan hak suara, terutama terkait isu-isu sensitif. • Dalam praktik, pemegang saham non-pengendali berpartisipasi aktif dalam RUPS. • Dalam praktik, tidak ditemukan pelanggaran atas ketentuan di atas. • Ketentuan hukum melarang perdagangan oleh orang dalam. • Ketentuan hukum mendefinisikan orang dalam. • Ketentuan hukum melarang tindakan manipulasi pasar. • Ketentuan hukum mewajibkan pengungkapan perdagangan oleh orang dalam • Ketentuan hukum mewajibkan regulator untuk melakukan analisis data perdagangan saham. • Terdapat regulator yang diberikan kewenangan untuk mengawasi dan menegakan hukum terhadap perdagangan oleh orang dalam, manipulasi pasar, serta transaksi merugikan lainnya. • Dalam praktik, terdapat bukti regulator melakukan penegakan hukum atas pelanggaran berupa perdagangan oleh orang dalam, manipulasi pasar, serta transaksi merugikan lainnya.



• Tidak ada batasan periode dimana Direksi dan Dewan Komisaris tidak diperbolehkan melakukan perdagangan saham perusahaan. • Walaupun pemegang saham dapat menutut pelanggaran hak-haknya, namun dalam praktik jarang ditemukan penuntutan oleh pemegang saham walaupun terdapat tindakan yang melanggar hak pemegang saham tersebut. • Dalam praktik, tidak semua perdagangan oleh orang dalam diungkapkan perusahaan. • Dalam praktik, terdapat keyakinan bahwa perdagangan oleh orang dalam dilakukan namun tidak terdeteksi



• Terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan Dewan Komisaris dan Direksi untuk mengungkapkan adanya kepentingan langsung terhadap transaksi yang akan dilakukan perusahaan. • Dalam praktik, Dewan Komisaris dan Direksi mengundurkan diri dari pengambilan keputusan yang mengandung benturan kepentingan.



• Tidak ada pengungkapan khusus dari Dewan Komisaris dan Direksi jika terdapat benturan kepentingan terhadap transaksi tertentu • Tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi untuk mengawasi dan mengelola benturan kepentingan masih perlu ditingkatkan. • Upaya untuk mencegah benturan kepentingan masih terbatas. • Dalam praktik, Direksi dan Dewan Komisaris tidak secara reguler menginformasikan bisnis, keuangan, dan kepentingan yang dimilikinya. • Dalam praktik, masih banyak perusahaan yang tidak memiliki kebijakan untuk menangani benturan kepentingan.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Hasil lain dari penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard (2012-2013) menunjukkan rerata skor penerapan prinsip OECD ke-3 di Indonesia masih rendah, dengan nilai rata-rata 35,2 pada tahun 2012 dan 51,6 pada tahun 2013. Beberapa keterbatasan yang ditemukan pada tahun 2012 adalah: a. Panggilan RUPS jarang disajikan dalam bahasa Inggris. b. Informasi pendukung yang menjelaskan agenda RUPS tidak tersedia atau tidak mudah untuk diperoleh. Termasuk didalamnya adalah informasi tentang kandidat anggota Direksi dan Dewan Komisaris, auditor, kebijakan dividen, dan target pembayaran deviden. c. Sebagian besar perusahaan tidak memiliki atau tidak mengungkapkan keberadaan kebijakan yang mewajibkan anggota Dewan Komisaris dan Direksi untuk melaporkan transaksi saham perusahaan yang dilakukannya dalam kurun waktu tiga hari setelah transaksi. d. Sebagian besar perusahaan tidak memiliki atau tidak mengungkapkan keberadaan kebijakan yang mewajibkan komite independen mereviu bahwa transaksi pihak berelasi yang material dilakukan dalam kepentingan perusahaan2. 2 Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada akhir tahun 2012, OJK merevisi peraturan tentang pembentukan dan pedoman kerja Komite Audit dan menyebutkan salah satu tugas Komite Audit adalah menelaah dan memberikan saran kepada Dewan Komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik.



Ikatan Akuntan Indonesia



123



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Selain keterbatasan tersebut, hasil penilaian IICD-ASEAN Scorecard juga mengidentifikasi beberapa pencapaian praktik CG dalam penerapan prinsip OECD prinsip ke-3, yaitu: a. UU PT mewajibkan anggota Dewan Komisaris dan Direksi untuk tidak memberikan suara pada diskusi dewan untuk agenda tertentu dimana mereka memiliki benturan kepentingan b. Hanya sedikit transaksi pihak berelasi yang dapat diklasifikasikan sebagai bantuan keuangan oleh perusahaan kepada entitas selain perusahaan anak yang sepenuhnya dimiliki perusahaan.



9.7 ASEAN CG Scorecard



Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian praktik CG untuk prinsip perlakuan setara terhadap pemegang saham di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard: Tabel 9.3 ASEAN CG Scorecard: Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham 1



A W S I S A E B



Item Penilaian



No. Saham dan Hak Suara



A C



Kriteria Penilaian



Ya: 1 Tidak: 0



1.1



Apakah saham biasa yang diterbitkan perusahaan menerapkan konsep ‘one share one vote’?



1.2



Ya: 1 Ketika perusahaan memiliki lebih dari satu jenis saham, apakah perusahaan mengungkapkan Tidak: 0 hak suara untuk setiap jenis saham tersebut? NA: jika perusahaan hanya memiliki satu jenis saham



2 2.1 2.2



Pengumuman RUPS



Apakah setiap keputusan RUPS hanya mencakup satu topik tertentu, yaitu tidak terdapat gabungan topik dalam satu keputusan RUPS?



Ya: 1 Tidak: 0



Apakah pengumuman RUPS diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan diumumkan pada tanggal yang sama dengan pengumuman RUPS dalam bahasa lokal?



Ya: 1 Tidak: 0



H I A R E P



Apakah pengumuman RUPS menyertakan informasi berikut ini: Profil calon direktur atau komisaris (setidaknya umur, kualifikasi, tanggal pertama pengangkatan, pengalaman, dan rangkap jabatan di perusahaan publik lainnya) yang akan dipilih/dipilih kembali



Ya: 1 Tidak: 0



Profil auditor yang akan dipilih/dipilih kembali



Ya: 1 Tidak: 0



Penjelasan kebijakan dividen



Ya: 1 Tidak: 0



2.6



Jumlah pembayaran dividen final



Ya: 1 Tidak: 0



2.7



Dokumen proxy



Ya: 1 Tidak: 0



2.3



2.4 2.5



3 3.1



Apakah perusahaan memiliki kebijakan dan/atau ketentuan yang melarang direksi/komisaris dan pekerja memperoleh keuntungan dari informasi yang tidak tersedia umum di pasar?



Ya: 1 Tidak: 0



3.2



Apakah direksi dan komisaris diwajibkan untuk melaporkan transaksi saham perusahaan yang dimilikinya yang dilakukannya dalam rentang waktu tiga hari kerja?



Ya: 1 Tidak: 0



4



124



Pelarangan Insider Trading dan Abusive Self-Dealing



Transaksi Pihak Berelasi oleh Komisaris dan Direksi



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



No.



Item Penilaian



Kriteria Penilaian



4.1



Apakah direksi dan komisaris diwajibkan untuk mengungkapkan kepentingan pribadi (selfinterest) dalam transaksi yang dilakukan perusahaan atau bentuk benturan kepentingan lainnya?



Ya: 1 Tidak: 0



4.2



Apakah perusahaan memiliki kebijakan yang mewajibkan komite independen melakukan penelaahan atas transaksi pihak berelasi yang signifikan/material untuk menilai apakah transaksi tersebut dilakukan dalam kerangka kepentingan perusahaan dan pemegang saham?



Ya: 1 Tidak: 0



4.3



Apakah perusahaan memiliki kebijakan yang mewajibkan atau direksi atau anggota dewan komisaris untuk tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atas agenda dimana mereka menghadapi benturan kepentingan?



Ya: 1 Tidak: 0



4.4



Apakah perusahaan memiliki kebijakan untuk melarang pemberian pinjaman kepada direktur dan komisaris atau kebijakan yang menjamin pemberian pinjaman tersebut dilakukan dalam kerangka arm’s length dan pada tarif pasar?



Ya: 1 Tidak: 0



5



Perlindungan terhadap Pemegang Saham Minoritas dari Tindakan Abusive



A W S I S A E B



A C



5.1



Apakah terdapat transaksi pihak berelasi yang dapat diklasifikasikan sebagai bantuan keuangan kepada entitas selain anak perusahaan yang dimiliki 100%?



Ya: 0 Tidak: 1



5.2



Apakah perusahaan mengungkapkan bahwa transaksi pihak berelasi dilakukan secara wajar dan dalam kerangka arm’s length?



Ya: 1 Tidak: 0



Selain unsur penilaian di atas, terdapat juga unsur bonus sebagai berikut:



Tabel 9.4 ASEAN CG Scorecard: Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham – Bonus No. 1 1.1 2



2.1



Item Penilaian Pengumuman RUPS



H I A R E P



Apakah penyampaian pengumuman RUPS (beserta agenda detil dan dokumen pendukung) dilakukan paling lambat 28 hari sebelum pelaksanaan RUPS?



Kriteria Penilaian



Ya: Penambahan nilai Tidak: 0



Pelarangan Insider Trading dan Abusive Self-Dealing



Apakah perusahaan memiliki kebijakan yang mewajibkan direksi/komisaris dan manajemen kunci menyampaikan kepada Dewan Komisaris atau pihak yang memperoleh delegasi dari Dewan Komisaris, setidaknya satu hari sebelum mereka melakukan transaksi saham perusahaan yang dimilikinya



Ya: Penambahan nilai Tidak: 0



Selain bonus, juga terdapat unsur penalti sebagai berikut: Tabel 9.5 ASEAN CG Scorecard: Perlakuan Setara terhadap Pemegang Saham - Penalti



No. 1 1.1 2 2.1



Item Penilaian



Kriteria Penilaian



Pelarangan Insider Trading dan Abusive Self-Dealing Apakah terdapat kasus perdagangan oleh orang dalam yang terbukti yang melibatkan direksi/ komisaris, manajemen, dan karyawan perusahaan, dalam tiga tahun terakhir?



Ya: Pengurangan nilai Tidak: 0



Perlindungan terhadap Pemegang Saham Minoritas dari Tindakan Abusive Apakah terdapat kasus pelanggaran terhadap undang-undang, ketentuan, dan peraturan terkait transaksi pihak berelasi yang signifikan atau material dalam tiga tahun terakhir?



Ya: Pengurangan nilai Tidak: 0



Ikatan Akuntan Indonesia



125



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/ upload/asean_cg_ scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate Governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Hobson, Michael D., 1998, The Law of Shadow Directorship, Bond Law Review, Volume 10, Issue 2, Article 4. 4. Ikatan Akuntan Indonesia, 2012, Standar Akuntansi Keuangan. 5. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006 id.pdf. 6. Manne, H., 1965, Mergers and the Market for Corporate Control, Journal of Political Economy, 73, 110-120. 7. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernance principles/31557724.pdf. 8. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2009, Guide for fighting abusive related party transactions in Asia, http://www.oecd.org/daf/ca/ corporategovernanceprinciples/43626507.pdf 9. Peraturan Bapepam-LK No. IV.A.3 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan 10. Peraturan Bapepam-LK No. VIII.G.7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik 11. Peraturan Bapepam-LK No. IX.D.4 tentang Penambahan Modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu 12. Peraturan Bapepam-LK No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. 13. Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.1 tentang Rencana dan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. 14. Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerjaan Komite Audit 15. Peraturan Bapepam-LK No. IX.J.1 tentang Pokok-pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Dan Perusahaan Publik. 16. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan kepada Publik. 17. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentangKewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 18. Peraturan Bapepam-LK No. X.M.1 tentangKeterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu. 19. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 20. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 21. Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.



H I A R E P



126



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A Bab X W S I S PRINSIP TANGGUNG A E JAWAB DEWAN B H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



A C



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



127



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



PRINSIP TANGGUNG JAWAB DEWAN



BAB X



10.1 Latar Belakang



Pada perusahaan yang berbentuk PT, terdapat pemisahan antara pemilik modal dengan manajemen perusahaan. Pemilik adalah pihak yang menyediakan modal dan manajemen adalah pihak yang memanfaatkan modal untuk kepentingan terbaik perseroan. Para pemangku kepentingan juga menyediakan modal (misalnya kreditur) dan sumberdaya lain kepada manajemen untuk dikelola agar memberi manfaat ke mereka. Pada dasarnya, pemilik modal terutama pemegang saham non-pengendali serta para pemangku kepentingan tidak dapat secara langsung berhubungan dengan dan mengawasi manajemen. Keadaan ini dapat mendorong manajemen maupun pemegang saham pengendali untuk mengambil tindakan yang hanya menguntungkan dirinya dan merugikan perseroan. Dalam keadaan inilah prinsip CG OECD yang keenam menyatakan perlunya suatu badan yang melakukan pengawasan dan pengarahan strategis terhadap pihak manajemen agar kepentingan perseroan dapat terjamin. Prinsip GCG dari OECD yang keenam berkaitan dengan tanggung jawab dewan (board).



A W S I S A E B



A C



Dalam struktur dua dewan yang dianut Indonesia, dewan yang relevan dalam melaksanakan fungsi pengawasan adalah Dewan Komisaris. Kerangka tata kelola perusahaan harus memastikan adanya pengawasan yang efektif terhadap Direksi oleh Dewan Komisaris. Atas pelaksanaan tugasnya, maka baik Dewan Komisaris maupun Direksi harus akuntabel terhadap perusahaan dan para pemegang saham. Adanya akuntabilitas kedua dewan ini memungkinan pemegang saham maupun pemangku kepentingan menilai sejauh mana tugas mereka telah dilaksanakan untuk kepentingan terbaik perusahaan. Berdasarkan penilaian kinerja tersebut, penghargaan atau sanksi dapat diberikan kepada anggota kedua dewan tersebut yang pada akhirnya akan mendorong mereka untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya.



H I A R E P



Tanggung jawab dewan komisaris yang paling utama adalah memonitor kinerja manajemen perusahaan dan berusaha mencapai tingkat imbal balik (return) yang memadai bagi pemegang saham. Selain itu, dewan komisaris juga harus mencegah timbulnya benturan kepentingan dan menyeimbangkan berbagai kepentingan di perusahaan. Agar dewan dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif, maka dewan harus mampu melakukan penilaian yang obyektif dan independen. Dewan komisaris juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan selalu mematuhi ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Agar dewan dapat melaksanakan tugas dengan baik, perlu kriteria mengenai dewan komisaris yang meliputi kompetensi, komposisi.



10.2 Rincian Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris yang Perlu Dilaksanakan



Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan, bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa Perusahaan melaksanakan GCG.Tugas Dewan Komisaris adalah sebagai pengawas dan penasihat Direksi dan dilaksanakan berdasarkan informasi yang lengkap, dengan itikad baik, berhati-hati, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perusahaan. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Keputusan Dewan Komisaris mengenai hal yang diatur



128



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



dalam Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas, sehingga keputusan kegiatan operasional tetap menjadi tanggung jawab Direksi. Menurut prinsip OECD ke VI, tugas Board1 termasuk sebagai berikut: 1. Meninjau dan mengarahkan strategi perusahaan, rencana kerja utama, kebijakan risiko, anggaran tahunan dan rencana bisnis; menetapkan target kinerja; monitoring pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta mengawasi pengeluaran modal utama, akuisisi dan divestasi. 2. Memantau efektivitas praktik tata kelola perusahaan dan membuat perubahan yang diperlukan. 3. Memilih, menentukan kompensasi, memantau dan bila perlu, mengganti eksekutif dan mengawasi perencanaan suksesi. 4. Menyelaraskan remunerasi anggota dewan dan manajemen kunci dengan kepentingan jangka panjang perusahaan dan pemegang saham. 5. Memastikan proses nominasi dan pemilihan anggota Dewan Komisaris dan Direksi dilakukan secara formal dan transparan. 6. Memantau dan mengelola potensi benturan kepentingan dari manajemen, dewan dan pemegang saham, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan penyalahgunaan dalam transaksi dengan pihak terkait. 7. Memastikan integritas dari sistem pelaporan akuntansi dan keuangan perusahaan, termasuk audit independen dan sistem pengendalian yang tepat, khususnya sistem manajemen risiko, keuangan dan pengendalian operasional, dan kepatuhan terhadap hukum dan standar yang relevan. 8. Mengawasi proses pengungkapan dan komunikasi.



A W S I S A E B



A C



Dalam konteks Indonesia, tugas-tugas di atas dapat diterapkan sebagai tugas Dewan Komisaris dengan memastikan bahwa tugas tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Penyesuaian yang perlu dilakukan adalah: 1. Penetapan target kinerja dilaksanakan oleh Direksi dengan mempertimbangkan pengarahan dan masukan dari Dewan Komisaris. 2. Pemantauan efektivitas tata kelola dilakukan Dewan Komisaris sedangkan Direksi mengimplementasi dan melakukan perubahan tata kelola. 3. Penetapan dan pemberhentian anggota Direksi dilakukan oleh RUPS. Dewan Komisaris dapat berperan dengan memberikan rekomendasi nama-nama calon kepada RUPS. Dewan Komisaris juga dapat berperan mengawasi perencanaan suksesi anggota Direksi. 4. Penentuan remunerasi anggota Direksi dilakukan oleh RUPS. Dewan Komisaris dapat berperan dengan mengusulkan remunerasi anggota Direksi kepada RUPS. 5. Pemantauan potensi konflik kepentingan dilakukan Dewan Komisaris sedangkan Direksi mengelolanya. 6. Pengawasan terhadap integritas sistem pelaporan keuangan, pengendalian internal, manajemen risiko, ketaatan hukum dilakukan oleh Dewan Komisaris sedangkan Direksi mengelolanya. 1. 2. 3.



H I A R E P



Dewan Komisaris Perseroan berwenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Memeriksa catatan dan dokumen lain serta kekayaan Perusahaan; Meminta dan menerima keterangan yang berkenaan dengan Perseroan dari Direksi; Memberhentikan untuk sementara anggota Direksi apabila anggota Direksi tersebut bertindak bertentangan dengan Anggaran Dasar Perseroan dan/atau peraturan perundangan yang berlaku; 4. Membentuk komite-komite Dewan Komisaris seperti komite audit, nominasi, remunerasi dan/atau komite lainnya.



1 OECD menggunakan istilah Board sebagai organ yang bertugas melakukan pengawasan terhadap manajemen. Dalam struktur dua dewan yang dianut Indonesia, dewan yang relevan adalah Dewan Komisaris.



Ikatan Akuntan Indonesia



129



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Dewan Komisaris Perseroan dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan Perseroan oleh Direksi. Laporan pengawasan Dewan Komisaris disampaikan kepada RUPS untuk memperoleh persetujuan. Pertanggungjawaban Dewan Komisaris kepada RUPS merupakan perwujudan akuntabilitas pengawasan atas pengelolaan Perseroan dalam rangka pelaksanaan prinsip GCG.



10.3 Peran Dewan Komisaris dan Direksi dalam Menegakkan Standar Etika Butir VI.B dari OECD CG Principles menyebutkan bahwa apabila keputusan dewan akan mempengaruhi berbagai kelompok pemegang saham, maka dewan harus memperlakukan seluruh pemegang saham secara adil. Mungkin ada anggota dewan yang dinominasikan oleh pemegang saham tertentu (misalnya pemegang saham pengendali), akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya, anggota dewan harus melaksanakannya untuk kepentingan semua pemegang saham. Dewan tidak dapat bertindak sendiri-sendiri mewakili konstituen mereka masing-masing.



A W S I S A E B



A C



Selanjutnya dalam Butir VI.B dari OECD CG Principles disebutkan bahwa Dewan Komisaris memiliki peran penting dalam pengaturan ethical tone sebuah perusahaan, tidak hanya untuk tindakan sendiri, tetapi juga dalam mengawasi Direksi/manajemen kunci dan konsekuensinya bagi manajemen secara umum. Standar etika yang tinggi penting untuk perusahaan dalam jangka panjang sebagai sarana agar perusahaan menjadi kredibel dan dapat dipercaya, tidak hanya dalam operasi sehari-hari, tetapi juga sehubungan dengan komitmen jangka panjang perusahaan. Kode etik perusahaan secara luas berfungsi sebagai standar perilaku baik untuk Dewan Komisaris dan Direksi maupun manajemen kunci sebagai dasar untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mungkin sering bertentangan. Paling tidak, kode etika harus menetapkan batas-batas yang jelas pada usaha untuk mengejar kepentingan pribadi, termasuk yang berhubungan dengan transaksi saham perusahaan.



H I A R E P



Dewan Komisaris dan Direksi harus memberikan teladan atas pelaksanaan prinsip etika, nilai dan peraturan kepada seluruh pihak didalam perusahaan. Anggota Dewan Komisaris dan Direksi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, wajib mentaati Standar Etika dan dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan Perusahaan selain gaji dan tunjangan lainnya, termasuk santunan purna jabatan yang diterimanya sebagai anggota Dewan Komisaris dan Direksi sesuai peraturan perundang-undangan yangberlaku. Direksi berkewajiban memastikan kepatuhan dari seluruh Karyawan Perusahaan dan pihak-pihak yang terkait di luar Perusahaan terhadap Standar Etika Perusahaan, termasuk menyelesaikan setiap konflik yang timbul.



10.4 Proses Nominasi Anggota Dewan Komisaris dan Direksi



Menurut Keputusan Ketua Bapepam Kep-45/PM/2004, Tentang Peraturan Bapepam-LK NO. IX.I.6 Tentang Direksi Dan Komisaris Emiten Dan Perusahaan Publik, calon anggota Dewan Direksi dan Dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Mempunyai akhlak dan moral yang baik; 2. Mampu melaksanakan perbuatan hukum; tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam



130



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. Proses nominasi anggota Dewan Komisaris dan Direksi dapat dilakukan oleh Komite Nominasi. Komite Nominasi adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. Komite wajib menjalankan prosedur Nominasi sebagai berikut: 1. Menyusun komposisi dan proses nominasi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris; 2. Menyusun kriteria yang jelas yang digunakan sebagai acuan dalam proses nominasi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris; dan 3. Melakukan evaluasi atas kinerja anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sehingga dapat disusun tindak lanjut pengembangan atas kompetensi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris maupun dalam perencanaan suksesi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris.



A C



Prosedur nominasi dapat melalui proses sebagai berikut: 1. Komite Nominasi melakukan analisis terhadap profil/kualifikasi anggota Dewan dan mengidentifikasi gap kualifikasi yang tidak dimiliki oleh anggota Dewan. Kualifikasi anggota Dewan yang dicari adalah yang dapat mengisi gap tersebut. 2. Calon anggota Dewan yang berasal dari internal maupun eksternal Perseroan diajukan oleh Direksi kepada Komite Nominasi. 3. Selain calon yang diajukan oleh Direksi, Komite Nominasi dapat juga melakukan seleksi calon anggota Dewan dari eksternal Perseroan. 4. Komite Nominasi memberikan rekomendasi mengenai calon anggota Dewan kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS.



A W S I S A E B



Prosedur Nominasi harus dijalankan secara formal, transparan dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Emiten atau perusahaan Publik, serta peraturan perundang-undangan. Jika pada suatu perusahaan tidak terdapat Komite Nominasi, proses nominasi diselenggarakan oleh Dewan Komisaris. Rapat Dewan Komisaris sehubungan proses nominasi hanya dapat diseleggarakan dalam hal dihadiri oleh mayoritas dari jumlah anggota Dewan Komisaris termasuk seorang Komisaris Independen.



H I A R E P



10.5 Ukuran, Komposisi, dan Kompetensi Dewan Komisaris



Anggota Dewan Komisaris harus memenuhi syarat kemampuan dan integritas sehingga pelaksanaan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat untuk kepentingan perusahaan dapat dilaksanakan dengan baik. Anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan perusahaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok usahanya dan atau pihak lain. Anggota Dewan Komisaris harus memahami dan mematuhi anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugasnya. Untuk itu Dewan Komisaris harus memahami dan melaksanakan Pedoman GCG. Menurut KNKG, jumlah anggota Dewan Komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan. UK Code B.1 Supporting Principle menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris harus cukup memadai sehingga memenuhi persyaratan bisnis dan dewan dapat dikelola tanpa gangguan yang tidak semestinya dan tidak boleh begitu besar untuk menjadi berat. Sebagian besar kode tata kelola perusahaan menentukan bahwa ukuran dewan komisaris harus sesuai, tidak boleh terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil. Dewan Komisaris dapat terdiri dari Komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai Komisaris Independen dan Komisaris yang terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan



Ikatan Akuntan Indonesia



131



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi. Jumlah Komisaris Independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebaiknya salah satu dari Komisaris Independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. Saat ini ketentuan Bursa mengharuskan paling sedikit proporsi Komisaris Independen terhadap total anggota Dewan Komisaris adalah 30%. Selain aspek independensi, aspek kompetensi juga perlu diperhatikan dalam menentukan komposisi Dewan Komisaris. Menurut ASEAN CG Scorecard, paling tidak satu komisaris harus memiliki pengalaman bekerja di industri dimana perusahaan berada. Selain itu, sebaiknya perusahaan memiliki kebijakan yang mendorong komposisi anggota Dewan Komisaris maupun Direksi beragam. Keragaman ini dapat terkait dengan latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, gender, dan lainnya.



A C



Prinsip VI.E.3 OECD menyatakan bahwa anggota Dewan Komisaris harus mampu berkomitmen secara efektif dengan tanggung jawab mereka. Jika seorang anggota komisaris memegang jabatan terlalu banyak, maka komitmennya dapat terganggu dan hal ini dapat mengganggu kinerjanya. ASEAN CG Scorecard menyarankan agar ada kebijakan yang membatasi rangkap jabatan sebagai komisaris di beberapa perusahaan terbuka, yaitu maksimal lima kursi dewan di perusahaan terbuka yang dapat dipegang secara bersamaan oleh seorang komisaris.



A W S I S A E B



Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 jumlah anggota dewan Komisaris paling sedikit tiga orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Dari jumlah tersebut, paling tidak satu orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen. Paling kurang 50% dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah Komisaris Independen. Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham harus memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.Anggota dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulusPenilaianKemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan. Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota dewanKomisaris dan/atau anggota Direksi.



H I A R E P



Menurut Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER — 01 /MBU/2011, komposisi Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, paling sedikit 20% merupakan anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas Independen.



10.6 Asurans terhadap Independensi Komisaris Independen



UU PT menyatakan pula bahwa perseroan dapat mengatur adanya satu orang atau lebih Komisaris Independen yang merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan atau anggota Dewan Komisaris lainnya. Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Indonesia melalui peraturan BEI tanggal 1 Juli 2000 mengenai beberapa kriteria tentang komisaris independen adalah sebagai berikut: 1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) Perusahaan Tercatat yang bersangkutan; 2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau komisaris lainnya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;



132



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



3. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan; 4. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; 5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.5 disebutkan bahwa Emiten dan Perusahaan Publik wajib memiliki Komite Audit yang diketuai oleh Komisaris Independen. Komisaris independen adalah anggota Komisaris yang: 1. Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik; 2. Bukan merupakan orang yang bekerja pada emiten dan perusahaan publik dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan serta mengawasi kegiatan emiten atau perusahaan publik dalam waktu enam bulan terakhir; 3. Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik; 4. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, Komisaris, Direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik; 5. Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik; dan 6. Tidak mempunyai hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.



A W S I S A E B



A C



Kedudukan komisaris independen sangat penting agar pengambilan keputusan dewan komisaris dapat bersifat objektif dalam mengevaluasi kinerja manajemen perusahaan. Dari perspektif keagenan, keberadaan komisaris independen dapat mengurangi benturan kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan serta antara pemegang saham pengendali dengan non-pengendali. Independensi anggota komisaris independen tergantung kepada beberapa hal, di antaranya lama periode menjabat sebagai komisaris independen di perusahaan tersebut. BEI telah mengeluarkan aturan mengenai masa jabatan direktur independen maupun komisaris independen perusahaan publik maksimal dua periode berturut-turut. Aturan tersebut terdapat dalam Surat Keputusan Direksi PT BEI Nomor KEP00001/BEI/01-2-14 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat. Aturan yang terbit pada 20 Januari 2014 itu mulai berlaku pada tanggal 30 Januari 2014. Dalam ASEAN CG Scorecard, masa jabatan maksimal komisaris independen adalah 9 tahun.



H I A R E P



10.7 Proses Pelaksanaan Tugas Dewan Komisaris dan Direksi



Prinsip VI.F OECD CG Principles menyatakan bahwa dalam rangka untuk memenuhi tanggung jawab dewan, anggota dewan komisaris harus memiliki akses ke informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu. Anggota dewan memerlukan informasi yang relevan secara tepat waktu untuk mendukung pengambilan keputusan mereka. Menurut KNKG, sesuai dengan visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan, Dewan Komisaris dan Direksi perlu bersama-sama menyepakati hal-hal tersebut di bawah ini:



1. Rencana jangka panjang, strategi, maupun rencana kerja dan anggaran tahunan; 2. Kebijakan dalam memastikan pemenuhan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan serta dalam menghindari segala bentuk benturan kepentingan;



Ikatan Akuntan Indonesia



133



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat







3. Kebijakan dan metode penilaian perusahaan, unit dalam perusahaan dan personalianya; 4. Struktur organisasi sampai satu tingkat di bawah Direksi yang dapat mendukung tercapainya visi, misi dan nilai-nilai perusahaan.



Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Dalam hal Dewan Komisaris mengambil keputusan mengenai hal-hal yang ditetapkan dalam anggaran dasar atau peraturan perundang-undangan, pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas, sehingga keputusan kegiatan operasional tetap menjadi tanggung jawab Direksi. Kewenangan yang ada pada Dewan Komisaris tetap dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas dan penasihat. Dalam hal diperlukan untuk kepentingan perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengenakan sanksi kepada anggota Direksi dalam bentuk pemberhentian sementara, dengan ketentuan harus segera ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan RUPS. Dalam hal terjadi kekosongan dalam Direksi atau dalam keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar, untuk sementara Dewan Komisaris dapat melaksanakan fungsi Direksi.



A C



Dalam rangka melaksanakan fungsinya, anggota Dewan Komisaris baik secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri berhak mempunyai akses dan memperoleh informasi tentang perusahaan secara tepat waktu dan lengkap.



A W S I S A E B



Dewan Komisaris harus memiliki tata tertib dan pedoman kerja (charter) sehingga pelaksanaan tugasnya dapat terarah dan efektif serta dapat digunakan sebagai salah satu alat penilaian kinerja mereka. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisaris dapat membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada Dewan Komisaris untuk memperoleh keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, sekurang-kurangnya harus membentuk Komite Audit, sedangkan komite lain dibentuk sesuai dengan kebutuhan.



H I A R E P



10.8 Akuntabilitas Dewan Komisaris dan Direksi: Penilaian Kinerja terhadap Dewan dan Anggotanya Menurut Razaee (2009) akuntabilitas Dewan Komisaris dan Direksi dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu2: 1. Akuntabilitas Kepada Pemegang Saham. Dewan Komisaris dan Direksi bertanggung jawab kepada pemegang saham untuk melindungi hak dan kepentingan pemegang saham. Untuk itu Dewan Komisaris dan Direksi harus mempertimbangkan suara mayoritas dari pemegang saham, melaksanakan rekomendasi dari mayoritas pemegang saham, berinteraksi dengan pemegang saham, mempertimbangkan pandangan dan input mereka, menghadiri rapat tahunan pemegang saham dan berkeinginan untuk menjawab pertanyaan pemegang saham. 2. Akuntabilitas Atas Efektifitas Operasi Perusahaan. Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan operasi perusahaan dan Direksi bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi perusahaan. Perlu adanya evaluasi secara teratur atas kemampuan teknis, keahlian keuangan, pengalaman dan kualifikasi lainnya dari Dewan Komisaris dan Direksi, mensyaratkan pengembangan dan pendidikan profesional berkelanjutan untuk Dewan Komisaris dan Direksi dan menentukan standar yang tinggi untuk kehadiran mereka pada setiap rapat.



2



134



Disesuaikan dengan konteks Indonesia yang terdiri dari dua dewan.



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



3. Akuntabilitas untuk Keterlibatan atas Pengambilan Keputusan Strategis Perusahaan Untuk Menjamin Kinerja Yang Berkelanjutan. Dewan komisaris mengawasi dan direksi memastikan ketepatan dan kekuatan rencana strategis manajemen, keputusan, tindakan, dan kinerja untuk menjamin kinerja berkelanjutan. Dalam OECD Principle VI.D.2. disebutkan bahwa salah satu tugas dewan komisaris adalah memonitor efektifitas praktik tata kelola perusahaan serta membuat perubahan-perubahan yang diperlukan. Untuk memonitor efektifitas praktik tata kelola perusahaan, perlu ada penilaian terhadap kinerja semua pihak didalam perusahaan termasuk Dewan Komisaris, Direksi, serta semua anggota kedua dewan tersebut sebagai bentuk akuntabilitas pelaksanaan tugas mereka. Dalam ASEAN CG Scorecard disebutkan bahwa perusahaan harus mengungkapkan kriteria yang digunakan dalam melakukan penilaian dan bagaimana proses penilaian dilakukan, Menurut Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER — 01 /MBU/2011, RUPS wajib menetapkan Indikator Pencapaian Kinerja (Key Performance Indicators) dari Dewan Komisaris berdasarkan usulan dari Dewan Komisaris yang bersangkutan. Indikator Pencapaian Kinerja merupakan ukuran penilaian atas keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pemberian nasihat oleh Dewan Komisaris. Dewan Komisaris wajib menyampaikan laporan triwulanan perkembangan realisasi Indikator Pencapaian Kinerja kepada para Pemegang Saham/Menteri.



A W S I S A E B



A C



Direksi adalah organ perusahaan yang bertanggungjawab penuh atas pengelolaan perusahaan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi bertanggung jawab kepada RUPS. Pertanggungjawaban Direksi kepada RUPS merupakan perwujudan akuntabilitas pengelolaan perusahaan dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. Kinerja Direksi dievaluasi oleh Dewan Komisaris baik secara individual maupun kolektif berdasarkan unsur-unsur penilaian kinerja yang disusun oleh Komite Nominasi. Pelaksanaan penilaian dilakukan pada tiap akhir periode tahun buku. Hasil penilaian kinerja Direksi  oleh Dewan Komisaris disampaikan dalam RUPS.



H I A R E P



10.9 Sistem Remunerasi Anggota Dewan



Dalam OECD Principle VI.D.4 disebutkan bahwa salah satu tugas dewan komisaris adalah menyelaraskan remunerasi anggota Direksi dan Dewan Komisaris dengan kepentingan jangka panjang perusahaan dan pemegang saham. Penetapan besarnya remunerasi bagi anggota Dewan Komisaris dan Direksi dapat dilakukan melalui Komite Nominasi dan Remunerasi. Perhitungan remunerasi dievaluasi oleh Komite Nominasi dan Remunerasi sebelumnya dikaji oleh Dewan Komisaris, dan kemudian ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Besar remunerasi didasarkan pada hasil kinerja individu dan Perseroan. Remunerasi anggota Dewan Komisaris dapat didasarkan pada orientasi kerja, market competitiveness, dan penyelarasan kapasitas keuangan Perseroan untuk memenuhinya, serta hal-hal lain. UK Code (June 2010) menyatakan bahwa tingkat remunerasi untuk dewan komisaris harus mencerminkan komitmen waktu dan tanggung jawab masing-masing dewan. Pengungkapan mengenai struktur gaji untuk dewan komisaris memungkinkan pemegang saham dapat memprediksi apakah dewan tersebut digaji sesuai dengan pekerjaannya. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-431/Bl/2012 Tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau perusahaan publik hanya menyatakan bahwa perlu ada pengungkapan mengenai prosedur, dasar penetapan, dan besarnya remunerasi yang diberikan kepada anggota dewan komisaris, namun tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci. Dalam ASEAN CG Scorecard dijelaskan lebih rinci mengenai hal-hal yang perlu diungkapkan sehubungan dengan remunerasi, antara lain pengungkapkan kebijakan remunerasi (gaji, tunjangan, manfaat dalam



Ikatan Akuntan Indonesia



135



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



bentuk natura dan honorarium lainnya, insentif jangka pendek dan panjang) bagi anggota Direksi serta hubungannya dengan indikator kinerja. Pengungkapan mengenai struktur gaji dari anggota Dewan Komisaris pihak (pemegang saham atau Dewan Komisaris) yang menyetujui remunerasi dari anggota Direksi.



10.10 Peran dan Tanggung Jawab Sekretaris Perusahaan



Dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-63/PM/1996, dinyatakan bahwa dalam rangka perkembangan Pasar Modal di Indonesia serta untuk meningkatkan pelayanan Emiten atau Perusahaan Publik kepada masyarakat pemodal, maka kepada setiap Emiten atau Perusahaan Publik wajib membentuk fungsi Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary ) yang antara lain bertugas:



A C



1. Mengikuti perkembangan Pasar Modal khususnya peraturan-peraturan yang berlaku di bidang Pasar Modal; 2. Memberikan pelayanan kepada masyarakat atas setiap informasi yang dibutuhkan pemodal yang berkaitan dengan kondisi Emiten atau Perusahaan Publik; 3. Memberikan masukan kepada direksi Emiten atau Perusahaan Publik untuk mematuhi ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya; 4. Sebagai penghubung atau contact person antara Emiten atau Perusahaan Publik dengan Bapepam dan masyarakat; Fungsi Sekretaris Perusahaan ini dapat dirangkap oleh direktur Emiten atau Perusahaan Publik.



10.11 Fungsi Pengawasan



H I A R E P



A W S I S A E B



Menurut OECD Principle ke VI, salah satu tugas dewan komisaris adalah memonitor dan mengelola potensi benturan kepentingan dari manajemen, anggota Dewan serta pemegang saham. Termasuk juga memonitor jika terjadi penyalahgunaan aset perusahaan dan penyelewengan dalam transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Hal ini merupakan fungsi penting dewan komisaris dalam mengawasi sistem pengendalian internal perusahaan yang meliputi pelaporan keuangan dan penggunaan aset perusahaan serta menjaga perusahaaan dari transaksi dengan pihak terkait yang sangat berlebihan. Fungsi-fungsi ini kadang-kadang ditugaskan kepada auditor internal yang memiliki akses langsung ke dewan komisaris. Dewan komisaris harus mendorong karyawan yang ingin melaporkan perilaku yang melanggar hukum/ tidak etis tanpa takut akan mendapat pembalasan. Adanya kode etik perusahaan dapat membantu proses ini dengan adanya perlindungan hukum bagi individu yang bersangkutan. Dalam sejumlah perusahaan, baik audit komite atau komite etika yang ditetapkan sebagai titik kontak, untuk karyawan yang ingin melaporkan tentang tindakan tidak etis atau perilaku ilegal yang mungkin juga membahayakan integritas laporan keuangan. Peran Akuntan Profesional dalam Memfasilitasi Tanggung Jawab Dewan Salah satu tugas dewan komisaris adalah memastikan integritas dari sistem pelaporan akuntansi dan keuangan perusahaan, termasuk independen audit dan sistem pengendalian yang tepat terutama sistem manajemen risiko, keuangan dan pengendalian operasional, dan kepatuhan terhadap hukum dan standar



136



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



yang relevan. Laporan keuangan perusahaan harus diaudit oleh auditor yang independen, kompeten dan berkualitas, untuk memberikan jaminan eksternal dan obyektif kepada dewan komisaris dan pemegang saham bahwa laporan keuangan sudah menyajikan posisi keuangan dan kinerja perusahaan dalam semua hal yang material. Jika auditor kompeten dalam melaksanakan tugasnya, maka hal tersebut akan sangat membantu dewan komisaris dalam menjalankan tugas pengawasannya. Management letter yang dibuat auditor eksternal juga dapat digunakan untuk memfasilitasi tanggung jawab dewan. Management Letter isinya memberitahukan kelemahan dari pengendalian internal perusahaan (baik kelemahan yang material maupun yang tidak material) yang ditemukan selama pelaksanaan pemeriksaan, disertai dengan saran-saran perbaikan dari KAP. Selain itu auditor berkewajiban untuk mengkomunikasikan setiap ketidakberesan material yang ditemukan selama audit kepada dewan komisaris melalui komite audit. PSA 32 (SA 316.05) menetapkan bahwa tanggung jawab auditor dalam kaitannya dengan kekeliruan (error) dan ketidakberesan (irregularities) adalah sebagai berikut:



A C



1. Menentukan risiko bahwa suatu kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material. 2. Berdasarkan penentuan ini, auditor harus merancang auditnya untuk memberikan keyakinan memadai bagi pendeteksian kekeliruan dan ketidakberesan. 3. Melaksanakan audit dengan seksama dan tingkat skeptisme profesional yang semestinya dan menilai temuannya.



A W S I S A E B



Unit Audit Internal bertanggung jawab untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil audit serta memantau tindak lanjut hasil audit, menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian internal dan sistem manajemen risiko sesuai dengan kebijakan perusahaan Perseroan, melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektifitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional, sumber daya manusia, pemasaran, teknologi informasi, dan kegiatan lainnya, serta melakukan pemeriksaan khusus apabila diperlukan. Oleh karena itu unit audit internal sangat membantu Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan atas kegiatan operasional Perseroan. Akuntan profesional yang bekerja di unit audit internal sangat berperan dalam memberdayakan unit tersebut karena keahliannya dalam pelaporan keuangan, sistem informasi dan pengendalian, serta audit.



H I A R E P



Komite Audit berfungsi membantu Komisaris dalam bidang pengawasan dan pengendalian agar Perusahaan dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, serta membantu meningkatkan efektivitas, akuntabilitas, transparansi dan obyektivitas dalam pengelolaan Perusahaan. Dalam melaksanakan fungsi ini Komite Audit bekerja secara independen dan bertanggung jawab kepada Komisaris. Paling tidak satu anggota komite audit harus mempunyai keahlian dan pengalaman di bidang akuntansi agar komite audit dapat efektif menjalankan tugasnya. Akuntan intern juga sangat berperan dalam memfasilitasi tanggung jawab Dewan Komisaris sehubungan dengan tugas dewan komisaris dalam meninjau dan mengarahkan strategi perusahaan, rencana kerja utama, kebijakan risiko, anggaran tahunan dan rencana bisnis; menetapkan target kinerja; monitoring pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta mengawasi pengeluaran modal utama, akuisisi dan divestasi. Hasil Penilaian ROSC dan ASEAN Scorecard Hasil penilaian ROSC 2010 terhadap Indonesia menunjukkan bahwa: 1. Anggota dewan komisaris dan direksi seharusnya mengungkapkan konflik kepentingan mereka, namun dalam praktiknya hanya ada bukti parsial bahwa anggota dewan secara regular melaporkan konflik kepentingan mereka.



Ikatan Akuntan Indonesia



137



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



2. Menurut peraturan Bapepam-​​LK, Dewan Komisaris dan Direksi diwajibkan untuk menandatangani laporan tahunan (termasuk laporan keuangan) dan mengkonfirmasi tanggung jawab mereka untuk itu. Perusahaan diwajibkan untuk memiliki fungsi audit internal dan Direksi bertanggung jawab atas pengendalian internal perusahaan. Direksi juga bertanggung jawab untuk melakukan manajemen risiko yang diawasi oleh Dewan Komisaris. 3. Kompensasi untuk dewan komisaris dan direksi biasanya ditetapkan oleh RUPS. Bank dan perusahaan lain yang memiliki komite nominasi dan remunerasi dapat memberi saran kepada para pemegang saham mengenai kebijakan gaji dewan komisaris dan dewan direksi. 4. Tidak ada peraturan yang menghubungkan gaji dengan kinerja jangka panjang. Dalam praktiknya, Dewan Komisarislah yang menetapkan kompensasi dan nominasi direksi, tetapi keputusan-keputusan kunci dibuat oleh pemegang saham pengendali. 5. Meskipun tidak didorong oleh CGCG, beberapa lembaga menawarkan pelatihan bagi anggota dewan dan sangat banyak direksi dan komisaris yang berpartisipasi dalam program pelatihan. CGCG mendorong beberapa evaluasi atas dewan, dan banyak perusahaan tampaknya menjalankan evaluasi kinerja untuk anggota Dewan, meskipun mereka hanya mengungkapkan sedikit tentang detail dari prosesnya.



A W S I S A E B



A C



Berdasarkan penilaian ASEAN Scorecard tahun 2012 (2013), skor rata-rata pada kategori tanggung jawab dewan adalah 44,1 (48,8), dengan skor minimal 19,2 (30,3) dan skor maksimum77,2 (76,3). Beberapa praktik yang baik yang telah dilakukan perusahaan terbuka di Indonesia adalah bahwa pada umumnya paling tidak ada satu komisaris yang sebelumnya memiliki pengalaman bekerja dalam industri utama di mana perusahaan beroperasi dan prosedur pengendalian internal dan sistem manajemen risiko telah sesuai dan diungkapkan secara memadai. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya skor bagian E ini adalah kurangnya pengungkapan mengenai proses nominasi untuk anggota dewan termasuk eksekutif kunci, pengungkapan yang tidak memadai mengenai penilaian kinerja dewan, anggota dewan dan komite, kurangnya aturan tentang masa jabatan dari komisaris independen, dan jumlah perusahaan terbuka yang dapat dipegang oleh komisaris pada saat yang sama dan beberapa perusahaan tidak mengungkapkan frekuensi rapat Dewan Komisaris dan kehadiran setiap anggota Dewan Komisaris, meskipun pengungkapan ini diharuskan oleh BAPEPAM-LK.



H I A R E P



The ASEAN Corporate governance Scorecard, memberi bonus penghargaan kepada perusahaan yang mempraktikkan tata kelola perusahaan melebihi standar minimum dan memberi penalti bagi perusahaan yang memiliki praktik tata kelola perusahaan yang buruk atau yang melanggar peraturan atau hukum yang berlaku. Sebagian besar perusahaan di Indonesia tidak mendapatkan bonus atau penalti. Beberapa perusahaan mendapatkan poin bonus karena Dewan Komisaris atau komite audit menyatakan kecukupan atas pengendalian internal perusahaan dan sistem manajemen risiko. Dalam kategori penalti, sekitar sepertiga dari perusahaan terbuka di Indonesia memiliki struktur modal piramida, struktur kepemilikan seperti ini meningkatkan risiko ekspropriasi bagi pemegang saham nonpengendali. Dua puluh persen perusahaan terbuka di Indonesia gagal mengungkapkan tanggal pengangkatan komisaris independen dan hampir 30% dari perusahaan memiliki komisaris independen dengan masa jabatan lebih dari 9 tahun. Masa jabatan yang terlalu lama ini dapat menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan komisaris untuk mempertahankan independensinya. Perlu ada bagian yang menjelaskan Part E, termasuk bagian Bonus dan Penalti terkait (sudah).



138



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Menggunakan ASEAN CG Scorecard Untuk Menilai Prinsip Tanggung Jawab Dewan Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian praktik tanggung jawab dewan di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard: 1. Tanggung jawab dewan komisaris: kebijakan tata kelola perusahaan, peran dan tanggung jawab dewan komisaris, serta jenis keputusan yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris. 2. Kode etik atau perilaku: rincian kode etik atau perilaku; pernyataan semua komisaris, direktur, manajemen senior dan karyawan wajib mematuhi kode etik; penerapan dan penegakkan kepatuhan terhadap kode etik atau perilaku. 3. Visi/Misi Perusahaan: pernyataan visi dan misi; Dewan Komisaris telah meninjau visi, misi dan strategi selama setahun terakhir; Dewan Komisaris memantau implementasi strateji perusahaan. 4. Struktur dan komposisi Dewan: proporsi komisaris independen minimal 50% dari total anggota Dewan Komisaris; komisaris independen benar benar independen dari manajemen dan pemegang saham mayoritas; kebijakan membatasi masa kerja sembilan tahun atau kurang bagi komisaris independen; kebijakan membatasi rangkap jabatan komisaris independen pada waktu bersamaan di maksimal 5 perusahaan; keberadaan direktur yang memegang posisi di dewan di lebih dari dua perusahaan terbuka di luar grup bisnis (jika ada, maka nilai nol).



A W S I S A E B



A C



5. Rapat dan kehadiran Dewan Komisaris: Rapat Dewan Komisaris dijadwalkan sejak awal tahun; Dewan komisaris mengadakan rapat setidaknya enam kali dalam setahun; Masing-masing komisaris menghadiri setidaknya 75% dari semua rapat yang diselenggarakan dalam setahun; Kuorum minimal 2/3 untuk keputusan dewan; Dewan Komisaris bertemu secara terpisah tanpa kehadiran Direksi setidaknya sekali dalam tahun. 6. Akses terhadap informasi: Bahan rapat dewan diberikan kepada para komisaris setidaknya lima hari kerja sebelum rapat; sekretaris perusahaan memainkan peran penting dalam mendukung dewan dalam melaksanakan tanggung jawabnya; sekretaris perusahaan berlatar belakang hukum atau akuntansi atau telah mengikuti pelatihan praktik sekretaris perusahaan.



H I A R E P



7. Penunjukan dan Pemilihan Kembali Komisaris: Kriteria yang digunakan dalam memilih komisaris baru; proses pemilihan komisaris baru; semua komisaris mengikuti proses pemilihan ulang setidaknya sekali tiga tahun. 8. Remunerasi direktur dan komisaris: Kebijakan dan struktur remunerasi para direktur (gaji, tunjangan, manfaat-in-kind dan honorarium lainnya) termasuk penggunaan insentif jangka pendek, jangka panjang, dan ukuran kinerja; kebijakan dan struktur honor para komisaris; pemegang saham atau dewan komisaris menyetujui remunerasi untuk para direktur; komisaris independen mendapat hak opsi, saham atau bonus kinerja (jika ya, maka nilai nol). 9. Audit internal: Keberadaan unit audit internal, identifikasi kepala unit audit internal, pengangkatan dan pemberhentian kepala audit internal harus disetujui komite audit (atau Dewan Komisaris). 10. Pengawasan risiko: Pengungkapan sistem pengendalian internal dan manajemen risiko di perusahaan, Dewan Komisaris telah meninjau sistem pengendalian yang material serta sistem manajemen risiko, pengungkapan bagaimana risiko-risiko kunci dikelola, opini/pendapat Dewan Komisaris/Komite Audit/Direksi terhadap kecukupan sistem pengendalian internal/manajemen risiko. 11. Ketua Dewan Komisaris: Chairman of the Board dan Chief Executive Officer adalah orang yang berbeda (Karena Indonesia menganut struktur dua dewan, maka kedua jabatan ini pasti orang yang berbeda), komisaris utama adalah komisaris independen, komisaris utama adalah direktur utama selama tiga tahun terakhir (jika ya, maka nilai nol), peran dan tanggung jawab komisaris utama diungkapkan. 12. Keahlian dan Kompetensi: Setidaknya satu orang anggota komisaris memiliki pengalaman bekerja sebelumnya di industri utama dimana perusahaan beroperasi, perusahaan memiliki dan mengungkapkan kebijakan yang mendorong keragaman (diversity) anggota Dewan Komisaris.



Ikatan Akuntan Indonesia



139



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



13. Pengembangan anggota dewan: Perusahaan memiliki program orientasi bagi komisaris dan direktur yang baru, perusahaan memiliki kebijakan yang mendorong komisaris dan direktur untuk berpartisipasi dalam program pendidikan profesional. 14. Penunjukan dan penilaian kinerja Direksi: Pengungkapan bagaiamana Dewan Komisaris merencanakan suksesi anggota Direksi, Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja tahunan terhadap anggota Direksi. 15. Penilaian Kinerja Dewan Komisaris: Penilaian kinerja tahunan dilakukan terhadap Dewan Komisaris, Pengungkapan proses penilaian kinerja Dewan Komisaris, Pengungkapan kriteria yang digunakan dalam penilaian kinerja Dewan Komisaris. 16. Penilaian Kinerja anggota Dewan Komisaris: Penilaian kinerja tahunan dilakukan terhadap komisaris, Pengungkapan proses penilaian kinerja komisaris, Pengungkapan kriteria yang digunakan dalam menilai kinerja komisaris.



A C



17. Penilaian Kinerja Komite: Penilaian kinerja tahunan dilakukan oleh Dewan Komisaris terhadap komitekomite di bawah Dewan Komisaris.



H I A R E P



140



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/upload/asean_cg_ scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006_id.pdf. 4. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf. 5. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate Governance Country Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 6. Kep Bapepam No 431/BL/2012, Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 7. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP- 45/PM/2004 Tentang Peraturan Bapepam-LK NO. IX.I.6 Tentang Direksi Dan Komisaris Emiten Dan Perusahaan Publik 8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. 9. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : Per — 01 /Mbu/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance)Pada Badan Usaha Milik Negara 10. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 11. Rezaee, Zabihollah, 2009, Corporate Governance and Ethics, John Wiley.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



141



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



142



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab XI W S I S KOMITE-KOMITE DIBAWAH A E DEWAN KOMISARIS B H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



143



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Bab XI



KOMITE-KOMITE DI BAWAH DEWAN KOMISARIS 11.1 Latar Belakang



Menurut prinsip CG OECD VI.E 1 dan 2, Dewan dapat mempertimbangkan untuk membentuk komite khusus untuk membantu dewan dalam melaksanakan tugas-tugas dimana terdapat potensi benturan kepentingan. Contoh dari tanggungjawab tersebut adalah memastikan integritas laporan keuangan dan non keuangan, penelaahan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, nominasi anggota dewan dan eksekutif kunci, serta remunerasi dewan. Apabila komite-komite di bawah dewan komisaris tersebut telah terbentuk, mandat, komposisi dan prosedur kerja mereka harus ditentukan dengan baik dan diungkapkan oleh Dewan.



11.2 Manfaat Keberadaan Komite



A W S I S A E B



A C



Tugas dan tanggung jawab dewan komisaris sangat besar dan berat. Maka dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisaris dapat membentuk komite untuk membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menyatakan bahwa ada beberapa komite yang dapat dibentuk antara lain Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi, Komite Kebijakan Risiko, dan Komite Kebijakan Corporate governance. Komite ini bertugas memberikan usulan dan masukan kepada Dewan Komisaris.



H I A R E P



Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER — 01 /MBU/2011, yang menyatakan bahwa organ pendukung dewan komisaris terdiri dari Komite Audit, sekretariat Dewan Komisaris dan Komite lainnya (Komite Pemantau Manajemen Risiko, Komite Nominasi dan Remunerasi, dan Komite Pengembangan Usaha). Sekretariat Dewan Komisaris dan Komite lainnya tidak wajib ada, hanya jika diperlukan. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum menetapkan aturan yang lebih ketat dimana Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang Komite Audit, Komite Pemantau Risiko serta Komite Remunerasi dan Nominasi (Komite Remunerasi dan Komite Nominasi dapat terpisah ataupun tidak terpisah). Menurut UU PT Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris dapat membentuk komite untuk membantu menjalankan tugas pengawasan. Seorang atau lebih anggota komite ini adalah anggota Dewan Komisaris. Komite ini dipilih dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. Yang dimaksud dengan “komite” dalam UU PT ini antara lain Komite Audit, Komite Remunerasi, dan Komite Nominasi. Komite Audit Komite Audit adalah Komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja Direksi dan Tim Manajemen sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Perseroan publik membentuk Komite Audit sebagai bentuk kepatuhan terhadap Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.5. Selain itu, pembentukan Komite Audit sesuai dengan keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-29/PM/2004 jo No. Kep-643/BL/2012 tentang Komite Audit dan keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta No. Kep-305/BEJ/07-2004.



144



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Tugas dan Tanggung Jawab Komite Audit Tugas pokok dari Komite Audit pada prinsipnya adalah membantu Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan atas kinerja perusahaan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan review sistem pengendalian internal perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas fungsi audit. Laporan keuangan merupakan produk dari manajemen yang kemudian diverifikasi oleh eksternal auditor. Dalam pola hubungan tersebut, dapat dikatakan bahwa Komite Audit berfungsi sebagai jembatan penghubung antara perusahaan dengan eksternal auditor. Tugas komite audit juga erat kaitannya dengan penelaahan terhadap risiko yang dihadapi perusahaan, dan juga ketaatan terhadap peraturan. Menurut lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-643/BL/2012 halaman 3, tugas dan tanggung jawab Komite Audit antara lain adalah: Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan Emiten atau Perusahaan Publik kepada publik dan/atau pihak otoritas antara lain laporan keuangan, proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi keuangan Emiten atau Perusahaan Publik;



A C



1. Melakukan penelaahan atas ketaatan terhadap peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan kegiatan Emiten atau Perusahaan Publik; 2. Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara manajemen dan Akuntan atas jasa yang diberikannya; 3. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan Akuntan yang didasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan fee; 4. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas temuan auditor internal; 5. Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan oleh Direksi, jika Emiten atau Perusahaan Publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko di bawah Dewan Komisaris; 6. Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik; 7. Menelaah dan memberikan saran kepada Dewan Komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik; dan 8. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi Emiten atau Perusahaan Publik.



H I A R E P



A W S I S A E B



Menurut Razaee (2009) tanggung jawab komite audit dapat dikelompokkan menjadi 8 hal yaitu fungsi tata kelola, pengendalian internal, pelaporan keuangan, aktivitas audit, penegakan kode etik, program whistle blower, manajemen risiko dan fraud laporan keuangan. Perbedaannya dengan aturan OJK adalah bahwa menurut Razaee (2009) dan section 201 dan 201 SOX Komite Audit memiliki tanggung jawab untuk menunjuk akuntan publik, sementara menurut aturan OJK Komite Audit hanya bertanggung jawab memberi rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan Akuntan Publik. Menurut Razaee (2009) Komite Audit juga bertanggung jawab dalam mengawasi penegakan kode etik di perusahaan untuk memastikan bahwa kebijakan “tone at the top” yang tepat telah diimplementasikan di perusahaan, mengawasi pembentukan dan penegakan whistle blower program yang sesuai dengan SOX dan memantau agar tidak terjadi fraud pada laporan keuangan. Tugas tersebut tidak disebutkan dalam aturan OJK. Kualifikasi Komite Audit Menurut lampiran keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-643/BL/2012 halaman 2, persyaratan sebagai Komite Audit adalah: 1. Wajib memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan, pengalaman sesuai dengan bidang pekerjaannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik; 2. Wajib memahami laporan keuangan, bisnis perusahaan khususnya yang terkait dengan layanan jasa atau kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik, proses audit, manajemen risiko, dan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya;



Ikatan Akuntan Indonesia



145



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



3. Wajib mematuhi kode etik Komite Audit yang ditetapkan oleh emiten atau perusahaan publik; 4. Bersedia meningkatkan kompetensi secara terus menerus melalui pendidikan dan pelatihan; 5. Wajib memiliki paling kurang satu anggota yang berlatar belakang pendidikan dan keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan; 6. Bukan merupakan orang dalam kantor akuntan publik, kantor konsultan hukum, kantor jasa penilai publik atau pihak lain yang memberi jasa assurance, jasa non-assurance, jasa penilai dan/atau jasa konsultasi lain kepada emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir; 7. Bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau mengawasi kegiatan emiten atau perusahaan publik tersebut dalam waktu (enam) bulan terakhir kecuali komisaris independen; 8. Tidak mempunyai saham langsung maupun tidak langsung pada emiten atauperusahaan publik; 9. Dalam hal anggota Komite Audit memperoleh saham emiten atau perusahaan publik baik langsung maupun tidak langsung akibat suatu peristiwa hukum, maka saham tersebut wajib dialihkan kepada pihak lain dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah diperolehnya saham tersebut. 10. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik tersebut; dan 11. Tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik tersebut.



A W S I S A E B



A C



Dalam aturan OJK, disebutkan bahwa minimal satu anggota komite audit memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan. Dalam Razaee (2009), juga dikatakan bahwa minimal harus ada satu anggota komite audit yang memiliki financial expert, dan selanjutnya Razaee (2009) menjelaskan kriteria financial expert yaitu: seorang yang memahami standar akuntansi yang berlaku, memahami mengenai estimasi, akrual dan cadangan, berpengalaman dalam membuat, mengaudit, menganalisa dan mengevaluasi laporan keuangan yang memiliki isu akuntansi yang dalam dan kompleks dan memahami pengendalian internal serta prosedur pelaporan keuangan dan memahami fungsi komite audit. Dalam aturan OJK tidak mendefinisikan bagaimana karakteristik dari komite audit yang memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan.



H I A R E P



Berdasarkan aturan SEC, seseorang harus memperoleh atribut financial expert melalui pendidikan dan atau pengalaman sebagai principal financial officer, principal accounting officer controller, public accountant, auditor atau pengalaman lain dalam fungsi yang sama. Komisaris perusahaan harus menerapkan definisi SEC tersebut dan mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan anggota Komite Audit untuk menentukan mana komite audit yang memenuhi persyaratan sebagai financial expert. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria, Dewan Komisaris harus merekrut paling tidak satu orang yang memenuhi kualifikasi tersebut. Perusahaan juga harus mengungkapkan nama Komite Audit yang memiliki financial expert dan apakah yang bersangkutan independen dari manajemen. Jika tidak independen, perusahaan harus mengungkapkan bahwa di perusahaan tidak memiliki financial expert yang independen dan jelaskan alasannya. Komposisi Komite Audit Menurut Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-643/Bl/2012 Tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, komite audit paling kurang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang terdiri dari Komisaris Independen dan pihak dari luar Emiten atau Perusahaan Publik. Minimal satu anggota komite audit harus memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan. Ketentuan ini hampir sama dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate governance Bagi Bank Umum, dimana Anggota Komite Audit paling sedikit terdiri dari 3 orang, namun dalam Peraturan Bank Indonesia disebutkan bahwa 3 orang itu terdiri dari seorang komisaris independen, seorang dari pihak independen yang memiliki keahlian di



146



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



bidang keuangan atau akuntansi dan seorang dari pihak independen yang memiliki keahlian di bidang hukum atau perbankan. Ketua Komite Audit harus berasal dari komisaris independen karena Komite Audit harus bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris. Masa tugas anggota Komite Audit tidak boleh lebih lama dari masa jabatan Dewan Komisaris dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode berikutnya. Menurut Razaee (2009), reformasi CG setelah SOX telah meningkatkan persyaratan komposisi Komite Audit secara signifikan dimana seluruh anggota Komite Audit harus independen dan financially literate (melek financial), minimal satu orang anggota adalah financial expert dan memiliki sumber daya dan otoritas yang memadai. Ukuran Komite Audit berkisar antara 3 sampai 6 orang dan harus independen yang dapat dilihat dari:



A C



1. Tidak menerima kompensasi selain yang sudah ditentukan; 2. Tidak memberikan jasa penasehat dan konsultasi kepada perusahaan dimana dia menjadi komite audit atau afiliasinya atau bisnis terkait; 3. Tidak menjadi pegawai perusahaan atau afiliasinya dalam 5 tahun terakhir; 4. Dst. Wewenang Komite Audit



A W S I S A E B



Menurut Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-643/BL/2012, dalam melaksanakan tugasnya Komite Audit mempunyai wewenang sebagai berikut: 1. Mengakses dokumen, data, dan informasi Emiten atau Perusahaan Publik tentang karyawan, dana, aset, dan sumber daya perusahaan yang diperlukan; 2. Berkomunikasi langsung dengan karyawan, termasuk Direksi dan pihak yang menjalankanfungsi audit internal, manajemen risiko, dan Akuntan terkait tugas dan tanggung jawab Komite Audit; 3. Melibatkan pihak independen di luar anggota Komite Audit yang diperlukan untuk membantu pelaksanaan tugasnya (jika diperlukan); dan 4. Melakukan kewenangan lain yang diberikan oleh Dewan Komisaris.



H I A R E P



Menurut Razaee (2009) wewenang komite audit dapat lebih luas lagi karena meningkatnya tanggung jawab yang diberikan kepada Komite Audit. Jika diperlukan, Komite Audit dapat melibatkan penasehat luar dan perusahaan harus menyediakan dana yang dibutuhkan untuk membayar penasihat tersebut. Dalam kondisi tertentu dimana ada kemungkinan fraud atas laporan keuangan yang melibatkan manajemen atau auditor, Komite Audit dapat meminta accounting advisor atau forensic investigator. Akuntabilitas Komite Audit



Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-643/BL/2012 menyatakan bahwa Komite Audit harus mengadakan rapat secara berkala paling kurang satu kali dalam 3 (tiga) bulan (4 kali dalam setahun). Rapat Komite Audit hanya dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota. Keputusan diambil dalam rapat harus berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Menurut Razaee (2009), rapat Komite Audit harus menjadi sebuah forum untuk saling jujur​​, terbuka, dan forum dialog yang konstruktif antara anggota Komite Audit, manajemen, internal auditor dan eksternal auditor. Oleh karena itu pada beberapa rapat Komite Audit sebaiknya dihadiri oleh beberapa pihak tersebut sehingga dapat meningkatkan efektifitas fungsi Komite Audit. Frekuensi rapat Komite Audit dan bagaimana partisipasi anggota Komite Audit dalam rapat tersebut tergantung pada sejauh mana keterlibatan Komite Audit dalam fungsi pengawasan. Komite Audit harus mengadakan pertemuan paling tidak 4 kali dalam setahun untuk mereviu laporan keuangan kuartalan perusahaan dan untuk membahas masalah penting



Ikatan Akuntan Indonesia



147



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



lainnya. Kualitas dan kuantitas rapat memiliki dampak signifikan terhadap efektifitas komite audit dalam melaksanakan tugas pemantauan. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-643/BL/2012 menyatakan bahwa setiap rapat Komite Audit dituangkan dalam risalah rapat, termasuk apabila terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions), yang ditandatangani oleh seluruh anggota Komite Audit yang hadir dan disampaikan kepada Dewan Komisaris. Komite Audit wajib membuat laporan kepada Dewan Komisaris atas setiap penugasan yang diberikan. Komite Audit wajib membuat laporan tahunan pelaksanaan kegiatan Komite Audit yang diungkapkan dalam Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Menurut Razaee (2009, halaman 130-131) Komite Audit harus membuat agenda tertulis dengan baik atas setiap rapat yang dilakukannya yang berisi:



A C



1. Hasil rapat sebelumnya, 2. Telaah atas laporan keuangan dan laporan audit pada periode tersebut, 3. Telaah atas manajemen periode tersebut, identifikasi kelemahan internal control, respon manajemen atas kelemahan material tersebut, 4. Telaah atas program whistle blower, 5. Telaah atas program manajemen resiko perusahaan, 6. Telaah atas internal auditor, eksternal auditor, rencana audit, ruang lingkup dan temuan audit.



A W S I S A E B



Ada tiga jenis laporan komite audit yaitu: 1. Laporan reguler (minutes of meetings) kepada dewan komisaris yang berisi agenda, aktivitas, hasil musyawarah dan rekomendasi komite audit; 2. Laporan tahunan resmi kepada dewan komisaris yang berisi ringkasan wewenang, tugas, tanggung jawab pemantauan, sumber daya, pendanaan, kinerja, rekomendasi, dan hasil musyawarah tahun lalu dan agenda untuk tahun depan; 3. Laporan tahunan resmi kepada pemegang saham yang menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan sesuai standar akuntansi, Komite Audit telah mengadopsi piagam, Komite Audit telah meninjau laporan keuangan yang telah diaudit bersama dengan manajemen, Komite Audit telah berdiskusi dengan eksternal audit mengenai masalah yang perlu mendapat perhatian.



H I A R E P



Dalam Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-643/BL/2012 juga diatur bahwa emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian Komite Audit dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengangkatan atau pemberhentian. Informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian tersebut wajib dimuat dalam laman (website) bursa dan/atau laman (website) Emiten atau Perusahaan Publik. Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki piagam Komite Audit (audit committee charter) yang memuat paling tidak mengenai tugas dan tanggung jawab serta wewenang, komposisi, struktur, dan persyaratan keanggotaan, tata cara dan prosedur kerja, kebijakan penyelenggaraan rapat, sistem pelaporan kegiatan, ketentuan mengenai penanganan pengaduan atau pelaporan sehubungan dugaan pelanggaran terkait pelaporan keuangan dan masa tugas Komite Audit. Piagam Komite Audit (audit committee charter) ini wajib dimuat dalam laman (website) Emiten atau Perusahaan Publik. Komite Lainnya Ada beberapa komite yang dapat dibentuk oleh Dewan Komisaris, antara lain Komite Kompensasi (remunerasi), Komite Nominasi, Komite Kebijakan Corporate Governance. Komite Kompensasi (Remunerasi) dibentuk dengan tujuan untuk membuat rencana kompensasi dan manfaat bagi para komisaris, direktur, dan eksekutif senior perusahaan. Komite ini perlu dibuat agar ada pihak yang independen dan kompeten dalam membuat sistem remunerasi yang dapat memotifasi kinerja optimal dari anggota Dewan Komisaris, Direksi dan eksekutif perusahaan sehingga dapat meningkatkan nilai pemegang saham.



148



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Komite Corporate Governance dibentuk untuk mengembangkan dan memonitor prinsip tata kelola perusahaan, termasuk peran dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris dan pegawai perusahaan. Komite ini harus menjamin adanya pembagian kekuasaan yang tepat antara pemegang saham, Dewan Komisaris dan Direksi. Komite ini bertugas membuat deskripsi tugas dari masing masing pihak. Komite Nominasi dibentuk untuk melakukan evaluasi dan nominasi atas anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang baru. Komite ini juga memfasilitasi proses pemilihan Komisaris dan Direktur oleh pemegang saham. Proses nominasi yang efektif dapat menghasilkan Komisaris dan Direktur yang memiliki kualifikasi untuk menjalankan tugasnya dan mengurangi kemungkinan terpilihnya anggota dewan yang didasarkan pada aspek lainnya selain kualifikasi. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, menyatakan bahwa ada beberapa komite yang dapat dibentuk yaitu Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi, Komite Kebijakan Risiko, Komite Kebijakan Corporate Governance.



11.3 Komite Nominasi dan Remunerasi



A W S I S A E B



A C



Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menetapkan kriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta sistem remunerasinya. Komite Nominasi dan Remunerasi juga bertugas membantu Dewan Komisaris mempersiapkan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi dan mengusulkan besaran remunerasinya. Dewan Komisaris dapat mengajukan calon tersebut dan remunerasinya untuk memperoleh keputusan RUPS dengan cara sesuai ketentuan Anggaran Dasar. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, Komite Nominasi dan Remunerasi diketuai oleh Komisaris Independen dan anggotanya dapat terdiri dari Komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan. Keberadaan Komite Nominasi dan Remunerasi serta tata kerjanya dilaporkan dalam RUPS.



H I A R E P



11.4 Komite Kebijakan Risiko



Komite Kebijakan Risiko bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan. Anggota Komite Kebijakan Risiko terdiri dari anggota Dewan Komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan.



11.5 Komite Kebijakan Corporate Governance



Komite Kebijakan Corporate Governance bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Anggota Komite Kebijakan Corporate Governance terdiri dari anggota Dewan Komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan. Bila dipandang perlu, Komite Kebijakan Corporate Governance dapat digabung dengan Komite Nominasi dan Remunerasi.



Ikatan Akuntan Indonesia



149



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



11.6 Komite-komite menurut Peraturan Menteri BUMN dan Bank Indonesia



Menurut Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER — 01 /MBU/2011, organ pendukung Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, terdiri dari Komite Audit, sekretariat Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas (jika diperlukan), dan komite lainnya (jika diperlukan). Komite lainnya antara lain Komite Pemantau Manajemen Risiko, Komite Nominasi dan Remunerasi, dan Komite Pengembangan Usaha. Seorang atau lebih anggota dari komite tersebut harus berasal dari anggota Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas. Ketentuan lebih lanjut mengenai sekretariat, komite audit dan komite lainnya diatur dalam peraturan menteri tersendiri. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum, dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang Komite Audit, Komite Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi dan Nominasi.



A C



Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Remunerasi dan Komite Nominasi secara terpisah. Pengangkatan anggota komite dilakukan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat dewan Komisaris. Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk menjalankan tugasnya secara efektif. Komite tersebut wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.



A W S I S A E B



Komite Audit bertugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan. Dalam rangka melaksanakan tugas Komite Audit paling kurang melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Internal; kesesuaian pelaksanaan audit oleh Kantor Akuntan Publik dengan standar audit yang berlaku; kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku; pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan Satuan Kerja Audit Internal, akuntan publik, dan hasil pengawasan Bank Indonesia, guna memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris. Komite Audit wajib memberikan rekomendasi mengenai penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.



H I A R E P



Komite Pemantau Risiko paling kurang melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut dan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko, guna memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris. Komite Remunerasi dan Nominasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang terkait dengan kebijakan remunerasi dan terkait dengan kebijakan nominasi. Terkait dengan kebijakan remunerasi, komite ini bertugas: 1. Melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi ; dan 2. Memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris mengenai: a. Kebijakan remunerasi bagi dewan Komisaris dan Direksi untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham; b. Kebijakan remunerasi bagi Pejabat Eksekutif dan pegawai secara keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi;



150



Terkait dengan kebijakan nominasi, komite ini bertugas: a. Menyusun dan memberikan rekomendasi mengenai sistem serta prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris dan Direksi kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham; b. Memberikan rekomendasi mengenai calon anggota Dewan Komisaris dan/atau Direksi kepada



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat







dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham; c. Memberikan rekomendasi mengenai Pihak Independen yang akan menjadi anggota Komite kepada Dewan Komisaris.



Komite Remunerasi dan Nominasi wajib memastikan bahwa kebijakan remunerasi paling kurang sesuai dengan kinerja keuangan dan pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku; prestasi kerja individual; kewajaran dengan peer group; dan pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Bank.



11.7 Peran Profesi Akuntan Profesional dalam Memfasilitasi Tanggung Jawab Komite



A C



Akuntan profesional akan sangat membantu dalam memfasilitasi tanggung jawab Komite Audit dan komite lainnya antara lain adalah:



A W S I S A E B



1. Sebagian anggota Komite Audit adalah akuntan profesional, dengan demikian efektif tidaknya Komite Audit antara lain bergantung pada komitmen, independensi dan kemampuan akuntan profesional dalam menjalankan tugas sebagai anggota Komite Audit. 2. Auditor eksternal berkomunikasi secara reguler dan terbuka dengan Komite Audit. 3. Akuntan profesional yang bekerja di unit audit internal memastikan bahwa kerja sama unit audit internal dengan Komite Audit dilaksanakan dengan standar berlaku dan praktik terbaik. 4. Akuntan internal dapat membantu pelaksanaan berbagai tugas Komite Audit seperti dalam melakukan penelaahan atas laporan keuangan, proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi keuangan perusahaan. 5. Akuntan profesional memfasilitasi pengembangan indikator kinerja (keuangan dan non-keuangan) yang sesuai bagi Dewan Komisaris, Direksi, Komite-Komite, dan anggota Dewan. 6. Akuntan profesional memfasilitasi pengembangan sistem remunerasi anggota Dewan yang berdasarkan indikator kinerja dan mencerminkan kepentingan jangka panjang perusahaan.



H I A R E P



11.8 Pelaksanaan Peran Komite di Indonesia menurut Hasil Penilaian Bank Dunia (ROSC) dan ASEAN CG Scorecard Penilaian Bank Dunia pada tahun 2010 menyebutkan bahwa UU PT di Indonesia tidak menentukan siapa yang memilih atau memberhentikan auditor eksternal, dan peraturan Bapepam-​​LK sehubungan komite audit tidak menyebutkan tugas Komite Audit dalam menunjuk auditor eksternal serta dalam menilai potensi benturan kepentingan. Namun dalam peraturan Bapepam-LK tahun 2012 sudah menyebutkan tentang tugas Komite Audit sehubungan dengan proses penunjukan audit eksternal yaitu Komite Audit mengajukan nama eksternal auditor kepada Dewan Komisaris. Aturan tersebut juga menyatakan tugas Komite Audit untuk menganalisis potensi benturan kepentingan dan menyampaikan hasilnya ke Dewan Komisaris.



Berdasarkan penilaian ASEAN Scorecad tahun 2012-2013, beberapa praktik yang baik yang telah dilakukan perusahaan terbuka di Indonesia adalah bahwa anggota Komite audit sepenuhnya independen dan pada umumnya sudah ada pengungkapan mengenai tugas, komposisi, jumlah pertemuan, dan kehadiran komite audit. Sedangkan kelemahannya adalah kurang memadainya pengungkapan mengenai penilaian kinerja komite, termasuk komite audit.



Ikatan Akuntan Indonesia



151



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Mayoritas perusahaan terbuka di Indonesia belum memiliki komite nominasi dan remunerasi. Untuk perusahaan yang memiliki, mayoritas anggotanya bukan pihak independen, demikian pula ketuanya bukan komisaris independen.



11.9 Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk Menilai Komite-Komite di Perusahaan Terbuka



Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian mengenai komite yang berada di bawah Dewan Komisaris di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard: 1. Komite Nominasi: Keberadaan Komite Nominasi, mayoritas anggota Komite Nominasi adalah pihak independen, ketua Komite Nominasi adalah komisaris independen, pengungkapkan tugas/kerangka acuan/piagam Komite Nominasi, pengungkapan jumlah pertemuan Komite Nominasi, Komite Nominasi bertemu setidaknya dua kali selama tahun, tingkat kehadiran anggota pada rapat Komite Nominasi diungkapkan. Jika perusahaan tidak memiliki Komite Nominasi, maka jawaban untuk item ke dua hingga terakhir adalah ‘Not Applicable’.



A W S I S A E B



A C



2. Komite Remunerasi: Keberadaan Komite Remunerasi, mayoritas anggota Komite Remunerasi adalah pihak independen, ketua Komite Remunerasi adalah komisaris independen, pengungkapkan tugas/ kerangka acuan /piagam Komite Remunerasi, pengungkapan jumlah pertemuan Komite Remunerasi, Komite Remunerasi bertemu setidaknya dua kali selama tahun, tingkat kehadiran anggota pada rapat Komite Remunerasi diungkapkan. Jika perusahaan tidak memiliki Komite Remunerasi, maka jawaban untuk item ke dua hingga terakhir adalah ‘Not Applicable’. 3. Komite Audit: Keberadaan Komite Audit, anggota Komite Audit mayoritas adalah pihak independen, ketua Komite Audit adalah seorang Komisaris Independen, perusahaan mengungkapkan piagam Komite Audi, Laporan Tahunan mengungkapkan profil atau kualifikasi anggota Komite Audit, setidaknya salah satu anggota Komite Audit memiliki keahlian akuntansi, Laporan Tahunan mengungkapkan jumlah pertemuan Komite Audit, Komite Audit bertemu setidaknya empat kali sepanjang tahun, kehadiran anggota pada rapat Komite Audit diungkapkan, Komite Audit memiliki tanggung jawab utama untuk memberi rekomendasi tentang penunjukan, pengangkatan kembali dan pemberhentian auditor eksternal.



H I A R E P



152



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate Governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/upload/asean_ cg_scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006_id.pdf. 4. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf. 5. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment: Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 6. Kep Bapepam No 431/BL/2012, Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 7. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep- 45/Pm/2004 Tentang Peraturan BapepamLk No. Ix.I.6 Tentang Direksi Dan Komisaris Emiten Dan Perusahaan Publik 8. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-643/Bl/2012 Tentang Pembentukan Dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit 9. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/Pbi/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum 10. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : Per — 01/Mbu/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance)Pada Badan Usaha Milik Negara 11. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 12. Rezaee, Zabihollah, 2009, Corporate Governance and Ethics, John Wiley.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



153



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



154



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab XII W S I S PENGUNGKAPAN A E DAN TRANSPARANSI, B PENGENDALIAN INTERNAL H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



155



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



BAB XII



PENGUNGKAPAN DAN TRANSPARANSI, PENGENDALIAN INTERNAL 12.1 Latar Belakang



Prinsip transparansi mengharuskan informasi tersedia dan dapat langsung diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut. Prinsip pengungkapan dan transparansi menyatakan bahwa perusahaan harus mengungkapkan semua informasi material mengenai perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Beberapa informasi material tersebut antara lain kondisi keuangan, struktur kepemilikan, transaksi pihak berelasi, dan tata kelola perusahaan. Laporan keuangan perusahaan harus diaudit oleh auditor eksternal yang independen dan kompeten, serta media komunikasi harus menberikan akses informasi yang relevan yang sama, tepat waktu, dan efisien dari sisi biaya untuk semua pemangku kepentingan.



A W S I S A E B



A C



Prinsip ini terutama berguna bagi pihak pengguna informasi eksternal karena pihak eksternal mempunyai keterbatasan akses informasi sebagaimana yang dimiliki pihak internal (manajemen, pemegang saham pengendali). Adanya ketidakseimbangan informasi antara pihak eksternal dan internal yang tercermin dari pihak internal ilegal/tidak etis dan mengakibatkan kerugian besar bukan hanya pada perusahaan dan pemegang sahamnya, tetapi juga untuk perekonomian secara keseluruhan. Aturan pengungkapan yang transparan akan mengurangi ketidakseimbangan informasi sehingga kemungkinan terjadinya tindakan yang dapat merugikan perusahaan dapat diperkecil. Pengungkapan yang transparan juga sangat penting untuk pengawasan perusahaan dan bagi pemegang saham untuk melaksanakan hak-hak pemegang sahamnya berdasarkan informasi yang memadai. Adanya praktik pengungkapan yang baik di suatu pasar modal dapat meningkatkan minat investor untuk berinvestasi dan juga untuk melindungi investor.



H I A R E P



Informasi yang disampaikan perusahaan kepada pemegang saham maupun calon investor perlu disediakan secara reguler, dapat diandalkan, dan dapat dibandingkan dengan cukup rinci agar investor dapat menilai akuntabilitas manajemen, dan mengambil keputusan. Informasi yang kurang memadai atau kurang jelas dapat mengurangi kemampuan pasar untuk berfungsi dengan baik, meningkatkan biaya modal, dan mengakibatkan alokasi sumber daya yang kurang tepat. Terdapat dua jenis pengungkapan, yaitu pengungkapan wajib dan pengungkapan sukarela. Regulator menetapkan pengungkapan wajib apa saja yang harus dilakukan perusahaan. Peratuan Bapepam-LK mengharuskan perusahaan publik untuk menyampaikan laporan keuangan tengah tahunan dan tahunan (X.K.2), serta menyampaikan laporan tahunan (X.K.6). Bursa Efek Indonesia juga mengatur kewajiban perusahaan tercatat untuk menyampaikan laporan keuangan interim (Peraturan No. I-E). Perusahaan secara sukarela juga dapat melakukan pengungkapan sukarela, melebihi pengungkapan wajib yang diharuskan regulator. Pertimbangan manfaat dibandingkan biaya juga perlu diperhatikan, seperti dampak dari pengungkapan terhadap posisi kompetitif perusahaan. Yang perlu diungkapkan adalah informasi yang material. Informasi material adalah informasi yang jika tidak diungkapkan atau disajikan secara tidak wajar akan mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomis oleh pengguna informasi.



156



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



12.2 Kebijakan Pengungkapan Menurut OECD (2004), pengungkapan harus termasuk, namun tidak terbatas pada, informasi material terkait: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Kinerja keuangan dan operasi peusahaan. Tujuan perusahaan. Kepemilikan dan hak suara utama. Kebijakan remunerasi untuk anggota Dewan Komisaris dan Direksi dan informasi mengenai anggota dewan, termasuk kualifikasinya, proses seleksi, jabatan direktur dan komisaris perusahaan yang lain dan apakah mereka independen. Transaksi pihak berelasi. Faktor-faktor risiko yang diketahui. Isu terkait karyawan dan pemangku kepentingan lain. Struktur dan kebijakan tata kelola, terutama kode atau kebijakan tata kelola yang ada dan proses implementasinya.



A W S I S A E B



A C



Berdasarkan UU PT No. 40 Tahun 2007 dan UU Pasar Modal, perusahaan terdaftar harus membuat dan menyerahkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. Laporan keuangan tersebut terdiri dari laporan posisi keuangan (neraca), laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Di dalam laporan keuangan juga terdapat pengungkapan mengenai struktur kepemilikan perusahaan. Laporan keuangan auditan dapat diperoleh dari perusahaan dan di website Bursa Efek Indonesia. Penerapan standar pelaporan yang berkualitas tinggi diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan investor untuk melakukan pengawasan atas perusahaan, dengan memberikan pelaporan yang semakin meningkat keandalannya dan daya bandingnya dan juga memberikan informasi yang lebih baik mengenai kinerja perusahaan. Prinsip pengungkapan dan transparansi mendukung adanya pengembangan standar internasional yang berkualitas tinggi yang dapat berperan dalam meningkatkan transparansi dan daya banding laporan keuangan antar perusahaan dan juga antar negara. Standar tersebut harus dikembangkan dengan melibatkan sektor privat dan pihak lain yang berkepentingan seperti asosiasi profesi dan ahli yang independen. Standar domestik yang berkualitas tinggi dapat dicapai dengan membuat standar domestik tersebut konsisten dengan standar akuntansi internasional tersebut.



H I A R E P



Indonesia telah melakukan konvergensi terhadap IFRS, yang resmi dicanangkan pada tahun 2008, dengan target pencapaian tahun 2012. Saat ini mayoritas PSAK sudah merupakan hasil konvergensi dengan IFRS, walaupun belum semuanya IFRS versi terakhir. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 mengenai Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan mengharuskan perusahaan terdaftar untuk menyampaikan laporan tahunan kepada OJK paling lama 4 bulan setelah tahun buku berakhir. Laporan tahunan wajib dimuat dalam website Emiten atau Perusahaan Publik bersamaan dengan disampaikan laporan tahunan tersebut kepada OJK. Laporan tahunan wajib memuat: a) ikhtisar data keuangan penting, b) laporan Dewan Komisaris, c) laporan Direksi, d) profil perusahaan, e) analisis dan pembahasan manajemen, f) tata kelola perusahaan, g) tanggung jawab sosial perusahaan, h) laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan i) surat pernyataan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi atas kebenaran isi laporan tahunan. Di dalam aturan tersebut juga diatur kewajiban pengungkapan mengenai sistem manajemen risiko (termasuk jenis risiko) dan pengendalian internal. Namun belum ada aturan yang mengharuskan perusahaan mengungkapkan kepatuhannya terhadap Pedoman GCG yang dikeluarkan KNKG.



Ikatan Akuntan Indonesia



157



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Di dalam laporan tahunan tersebut juga diharuskan dilakukan pengungkapan mengenai anggota dewan, diantaranya terkait kualifikasi, kehadiran dalam rapat, independensi, remunerasi. Hal lain yang juga wajib diungkapkan adalah kepemilikan, termasuk informasi mengenai pemegang saham utama dan pengendali, baik langsung maupun tidak langsung, sampai kepada pemilik individu, yang disajikan dalam bentuk skema atau diagram. Aturan terkait kepemilikan ultimat tersebut baru diatur dalam Peraturan X.K.6 yang direvisi pada tahun 2012. Transaksi pihak berelasi juga harus diungkapkan. Hal ini juga diatur dalam PSAK No. 7 Pengungkapan Pihak Berelasi, yang juga mengatur mengenai kewajiban untuk mengungkapkan remunerasi dewan. Kewajiban mengungkapkan remunerasi dewan tersebut juga diatur dalam Peraturan X.K.6. Peraturan Bapepam-LK (X.K.1) juga mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan kepada publik informasi yang secara material dapat mempengaruhi harga saham dalam waktu 2 hari.



12.3 Prinsip ‘Comply or Explain’ terhadap CG code



A W S I S A E B



A C



Idealnya, perusahaan publik harus mengungkapkan dalam laporan tahunan pernyataan mengenai bagaimana perusahaan menerapkan CG code sehingga memungkinkan pemegang saham untuk mengevaluasi bagaimana prinsip-prinsp tersebut telah diterapkan, pernyataan apakah perusahaan publik telah mematuhi atau tidak mematuhi semua prinsip dalam CG code tersebut selama satu periode tahun buku. Perusahaan harus mengungkapkan alasan mengapa perusahaan tidak mematuhi CG code tersebut. Salah satu negara yang sudah mewajibkan hal tersebut adalah Inggris. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada kewajiban melaksanakan prinsip “comply or explain” tersebut, namun OJK merencanakan untuk menerapkan ketentuan tersebut, seperti yang tercantum dalam CG Roadmap yang diluncurkan OJK pada bulan Februari 2014.



H I A R E P



12.4 Saluran Komunikasi



Saluran yang digunakan perusahaan untuk mendiseminasi informasi harus memberikan akses yang adil, tepat waktu, dan efisien bagi pengguna informasi. Saluran untuk komunikasi dapat bernilai sama pentingnya dengan isi informasi itu sendiri. Internet dan teknologi informasi lain dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan diseminasi informasi karena informasi di internet dapat diakses dengan mudah dan tepat waktu kepada siapapun yang mempunyai akses ke internet. Peraturan Bapepam-LK X.K.6 mengharuskan perusahaan publik untuk menyediakan soft-copy laporan tahunan mereka di website perusahaan. Pengumuman yang disampaikan perusahaan ke Bursa Efek Indonesia (BEI) akan ditampilkan BEI dalam website-nya, termasuk laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan publik.



12.5 Pengungkapan dan Transparansi oleh Pihak Perantara (intermediaries) Kerangka tata kelola perusahaan harus dilengkapi dengan pendekatan efektif yang menyediakan dan mendorong analis, broker, agen pemeringkat, dan pihak lain untuk melakukan analisis atau memberikan nasihat yang relevan untuk investor, yang bebas dari konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi integritas analisis atau nasihat pihak-pihak tersebut. Selain diperlukan auditor eksternal yang kompeten dan independen, dan juga untuk memfasilitasi diseminasi informasi yang tepat waktu, diperlukan langkah-langkah untuk memastikan integritas dari



158



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



profesi dan aktivitas pihak-pihak yang melakukan analisis dan memberikan saran ke pasar. Pihak-pihak perantara tersebut memerankan peranan penting dalam mendorong dewan untuk mengikuti praktik tata kelola perusahaan yang baik. Masalah akan timbul jika pihak-pihak perantara tersebut memiliki konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi pertimbangan mereka. Konflik tersebut dapat terjadi jika pihak yang memberikan masukan ke perusahaan juga ingin memberikan jasa lain ke perusahaan, atau jika mereka memiliki kepentingan material di perusahaan atau di perusahaan pesaing. Kekhawatiran tersebut menunjukkan perlunya pengungkapan dan transparansi oleh pihak perantara seperti analis, lembaga pemeringkat, bank investasi, dan lain-lain. Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah keharusan pengungkapan penuh atas konflik kepentingan dan bagaimana entitas perantara mengelola konflik tersebut. Salah satu aspek pengungkapan yang penting adalah bagaimana entitas merancang insentif untuk karyawannya untuk mengeliminasi potensi konflik kepentingan, sehingga investor dapat menilai risio yang ada dan kemungkinan bias yang timbul.



A W S I S A E B



A C



12.6 Peran Pengendalian Internal dan Manajemen Risiko dalam Mengurangi Konflik Keagenan dan Penegakan GCG Sistem tata kelola perusahaan yang efektif memungkinkan perusahaan mencapai tingkat kepatuhan dan kinerja yang sesuai ekspektasi pemegang saham dan pemangku kepentingan. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian internal yang efektif dan manajemen risiko dalam proses bisnis normal dan juga proses tata kelola perusahaan, dan kedua hal tersebut membentuk kerangka akuntabilitas dan pelaporan reguler ke pemegang saham (HK CPA, 2005). Pengendalian internal sangat penting untuk memastikan keberhasilan operasi perusahaan dan berjalannya operasi sehari-hari perusahaan, serta membantu perusahaan mencapai tujuan usahanya. Cakupan pengendalian intern sangat luas, yaitu termasuk semua pengendalian yang terkait proses strategis, tata kelola, dan manajemen, yang mencakup semua aktivitas dan operasi perusahaan. Tidak hanya terbatas pada aspek keuangan dan pelaporan semata. Cakupannya juga bukan hanya semata aspek kepatuhan, tetapi juga aspek kinerja perusahaan.



H I A R E P



Pengendalian internal (COSO, 2013) adalah proses, yang dipengaruhi oleh dewan, manajemen, dan personel lain di perusahaan, yang dirancang untuk memberikan keyakinan memadai terkait pencapaian tujuan berikut: 1. Efektivitas dan efisiensi operasi 2. Keandalan pelaporan keuangan 3. Kepatuhan terhadap hukum dan regulasi yang berlaku Kerangka pengendalian internal COSO (2013) menyebutkan tiga kategori tujuan yang terkait dengan aspek pengendalian internal yang berbeda-beda, yaitu tujuan operasi (efektivitas dan efisiensi operasi perusahaan, termasuk termasuk tujuan kinerja operasi dan keuangan, serta melindungi aset perusahaan), tujuan pelaporan (pelaporan keuangan dan non keuangan baik internal maupun eksternal), dan tujuan kepatuhan (kepatuhan terhadap hukum dan regulasi yang berlaku).



Ikatan Akuntan Indonesia



159



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Pengendalian internal terdiri dari 5 komponen yang terintegrasi, yaitu (COSO, 2013): 1. Lingkungan Pengendalian Lingkungan pengendalian adalah kumpulan standar, proses, dan struktur yang memberikan dasar untuk menjalankan pengendalian internal dalam perusahaan. Direksi dan Dewan Komisaris adalah pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan contoh (sering disebut dengan istilah tone at the top) pentingnya pengendalian internal bagi seluruh karyawan di perusahaan. Lingkungan pengendalian terdiri atas nilai integritas dan etika organisasi, parameter yang memungkinkan Dewan Komisaris untuk menjalankan fungsi pengawasannya, struktur organisasi dan penetapan otoritas dan tanggung jawab, proses untuk menarik, mengembangkan, dan mempertahankan orang-orang yang kompeten, serta ukuran, insentif, dan imbalan kinerja yang sesuai untuk mendorong akuntabilitas atas kinerja. 2. Penilaian Risiko Penilaian risiko adalah proses dinamis dan iteratif untuk mengidentifikasi dan menilai risiko dari pencapaian tujuan perusahaan. Penilaian risiko merupakan dasar untuk menentukan bagaimana mengelola risiko. Sebelum melakukan penilaian risiko, perusahaan perlu menetapkan tujuan perusahaan, yang kemudian dikaitkan dengan berbagai tingkat yang ada di perusahaan terkait dengan operasi, pelaporan, dan kepatuhan. Manajemen menetapkan tujuan tersebut dengan cukup jelas yang memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko dari tujuan tersebut. Penilaian risiko juga mengharuskan manajemen untuk mempertimbangkan pengaruh dari kemungkinan perubahan yang terjadi dalam lingkungan eksternal dan perubahan dalam model bisnis perusahaan yang dapat menyebabkan pengendalian internal menjadi tidak efektif.



A W S I S A E B



A C



3. Aktivitas Pengendalian Aktivitas pengendalian adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan kebijakan dan prosedur untuk memastikan arahan manajemen untuk memitigasi risiko untuk mencapai tujuan telah dijalankan. Aktivitas tersebut dilakukan di tiap tingkat dalam perusahaan, dalam setiap proses bisnis. Beberapa aktivitas tersebut antara lain otorisasi dan persetujuan, verifikasi, rekonsiliasi, dan penilaian kinerja bisnis. Dalam aktivitas pengendalian diperlukan adanya pemisahan tugas, yang apabila tidak dimungkinkan maka perlu diganti dengan aktivitas pengendalian yang lain.



H I A R E P



4. Informasi dan Komunikasi Informasi sangat penting bagi perusahaan untuk menjalankan pengendalian internal. Manajemen mendapatkan atau menghasilkan dan menggunakan informasi yang relevan dari berbagai sumber (internal dan eksternal) untuk mendukung berfungsinya komponen pengendalian internal. Komunikasi adalah proses berkelanjutan dan iteratif untuk menyediakan, membagi, dan mendapatkan informasi yang diperlukan. Komunikasi internal adalah cara mendiseminasikan informasi di dalam perusahaan. Komunikasi eksternal memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan informasi yang relevan dari luar dan memberikan informasi yang diperlukan pihak eksternal. 5. Aktivitas Monitoring Monitoring adalah evaluasi untuk menilai apakah tiap elemen dari pengendalian internal sudah ditetapkan dan berfungsi sebagaimana seharusnya. Evaluasi terus menerus diterapkan dalam proses bisnis pada berbagai tingkat di perusahaan akan memberikan informasi yang tepat waktu. Evaluasi terpisah yang dilakukan secara periodik dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Temuan dari monitoring akan dievaluasi terhadap kriteria yang ditetapkan regulator, badan yang menetapkan standar yang diakui, atau Direksi dan Dewan Komisaris. Setiap defisiensi dikomunikasikan ke Direksi dan Dewan Komisaris.



160



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Dengan sistem pengendalian internal yang efektif, Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai keyakinan yang memadai bahwa operasi perusahaan berjalan secara efektif dan efisien, dapat memprediksi secara memadai sifat dan waktu terjadinya kejadian eksternal yang dapat mempengaruhi perusahaan serta memitigasi risiko yang timbul ke tingkat yang wajar, melakukan pelaporan yang sesuai dengan peraturan yang ada, serta mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan tersebut, berarti perusahaan juga patuh terhadap berbagai aturan yang ditetapkan regulator terkait konflik kepentingan khususnya dan tata kelola perusahaan pada umumnya. Setiap perusahaan mempunyai eksposur terhadap risiko. Risiko adalah elemen yang tidak dapat dihindari dari suatu bisnis. Setiap perusahaan harus dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai risiko yang dihadapinya dan menggunakan hasil analisis tersebut dalam pengambilan keputusan perusahaan. Beberapa jenis risiko yang umumnya dihadapi perusahaan (HK CPA, 2009) adalah risiko bisnis (seperti strategi bisnis yang salah, target pengambilalihan), risiko keuangan (seperti risiko kredit, risiko tingkat bunga, penyalahgunaan sumberdaya keuangan perusahaan, terjadinya fraud), risiko kepatuhan (seperti melanggar aturan regulator pasar modal dan aturan Bursa Efek), risiko operasi dan lainnya (seperti proses manajemen yang tidak efektif dan efisien, kehilangan aset).



A W S I S A E B



A C



Manajemen risiko penting untuk mengurangi kemungkinan tujuan perusahaan tidak tercapai karena adanya kejadian yang tidak terduga. Dewan harus menentukan jenis dan tingkat risiko yang dapat diterima perusahaan, dan mempertahankan risiko pada tingkat tersebut. Pengendalian internal adalah salah satu cara mengelola risiko (HK CPA, 2005). Perusahaan perlu menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan perusahaan. Perusahaan perlu menyeimbangkan antara mengambil risiko dan menghindari risiko. Dewan Komisaris, terutama Komisaris Independen, mempunyai peranan penting untuk mengawasi Direksi sehingga dapat membatasi keinginan Direksi untuk melakukan ekspansi yang mempunyai risiko tinggi, yang berpotensi merugikan perusahaan. Keinginan direksi tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tujuan mensejahterakan pemegang saham. Sistem manajemen risiko yang berfungsi baik dapat mengurangi konflik tersebut dan membantu dewan dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.



H I A R E P



Direksi bertanggung jawab dalam perancangan dan implementasi sistem pengendalian internal dan Dewan Komisaris melakukan pengawasan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, salah satu unit yang membantu Direksi adalah unit audit internal. Emiten atau perusahaan publik harus mempunyai unit audit internal. Bank juga diwajibkan oleh BI untuk membentuk Satuan Kerja Audit Internal (auditor internal). Auditor internal wajib menguji dan mengevaluasi pelaksanaan sistem manajemen risiko sesuai dengan kebijakan perusahaan. Dalam Peraturan Bapepam-LK disebutkan bahwa salah satu tanggung jawab Komite Audit adalah melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan oleh Direksi, jika Emiten atau Perusahaan Publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko di bawah Dewan Komisaris. Dalam beberapa perusahaan fungsi tersebut dilakukan oleh Komite Pemantau Risiko di bawah Dewan Komisaris. Khusus untuk bank, BI juga mengharuskan bank untuk mempunyai Komite Pemantau Risiko. BI juga mewajibkan Direksi setiap bank untuk membentuk Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko. Laporan tahunan perusahaan diharuskan (Peraturan Bapepam L-K No. X.K.6) mengungkapkan mengenai sistem pengendalian internal yang diterapkan oleh perusahaan (paling kurang mengenai pengendalian keuangan dan operasional, serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya; dan reviu atas efektivitas sistem pengendalian internal), serta sistem manajemen risiko (paling kurang mengenai gambaran umum mengenai sistem manajemen risiko perusahaan; jenis risiko dan cara pengelolaannya; dan reviu atas efektivitas sistem manajemen risiko perusahaan).



Ikatan Akuntan Indonesia



161



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



12.7 Peran Akuntan Profesional Berikut adalah beberapa peran akuntan profesional terkait prinsip pengungkapan dan transparansi: 1. Akuntan manajemen mempunyai peranan dalam menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, serta memastikan perusahaan menyampaikan informasi yang transparan, akurat, dan tepat waktu ke pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. 2. Akuntan manajemen membantu Direksi dan satuan tugas terkait dalam merancang dan mengimplementasikan sistem informasi dan sistem pengendalian internal yang mendorong keterbukaan terhadap pemegang saham. Akuntan publik pada saat melakukan audit juga melakukan pengujian atas pengendalian internal dan memberikan rekomendasi perbaikan yang diperlukan. 3. Auditor internal secara berkala melakukan pengujian atas pengendalian internal serta melaporkan hasilnya kepada Direksi dan Dewan Komisaris (juga Komite Audit). Auditor internal membantu Direksi dalam memperkuat dan meningkatkan pengendalian internal. Auditor internal memberikan saran/masukan untuk memperbaiki proses pengidentifikasian risiko dan manajemen risiko. 4. Akuntan profesional sebagai anggota Komite Audit, membantu Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan atas sistem pelaporan keuangan, sistem pengendalian internal dan manajemen risiko perusahaan serta ketaatan terhadap aturan yang berlaku, termasuk aturan terkait pengungkapan dan transparansi.



A W S I S A E B



A C



12.8 Pelaksanaan Prinsip Pengungkapan dan Transparansi di Indonesia menurut Hasil Penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard Hasil Penilaian oleh Bank Dunia



Pada saat World Bank (2010) melakukan studi belum ada aturan mengenai kewajiban pengungkapan pemegang saham ultimat, sehingga salah satu kelemahan yang disebutkan oleh Bank Dunia adalah belum adanya kewajiban tersebut. Namun pada tahun 2012, Bapepam-LK telah merevisi peraturan X.K.6 yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan mengenai pemegang saham ultimat tersebut.



H I A R E P



Hasil studi World Bank (2010) memberikan beberapa rekomendasi terkait pengungkapan dan transparansi, yaitu: 1. Regulasi yang lebih baik terkait pengungkapan kepemilikan dan pengungkapan non keuangan lainnya; 2. Mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan ketaatan terhadap kode GCG; 3. Meningkatkan kapabilitas Bapepam-LK untuk mengawasi pengungkapan perusahaan. Pengungkapan aspek non keuangan perlu diatur secara lebih efektif dan dipatuhi oleh perusahaan publik. Pengungkapan tersebut antara lain mencakup: remunerasi anggota dewan (termasuk remunerasi tiap individu anggota dewan, kebijakan remunerasi, dan kaitannya dengan kinerja jangka panjang perusahaan; serta kebijakan manajemen risiko dan konflik kepentingan). Bank Dunia juga merekomendasikan perusahaan publik untuk mengembangkan website dan mencantumkan berbagai informasi dalam website tersebut. Dalam Peraturan X.K.6 yang direvisi tahun 2012, Bapepam-LK telah mewajibkan perusahaan publik untuk mempunyai website. Beberapa hal yang wajib dimuat di website antara lain adalah laporan tahunan, piagam komite audit, dan piagam internal audit.



162



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Hasil Penilaian oleh IICD – ASEAN CG Scorecard Rata-rata skor untuk kategori ini relatif yang paling tinggi dibandingkan skor di kategori lain karena beberapa praktik pengungkapan telah diwajibkan oleh Bapepam-LK atau BEI. Rata-rata skor ini adalah 53,7 pada tahun 2012 dan 63,5 pada tahun 2013, dengan skor maksimum 85,0 dan skor minimum 19,5 untuk tahun 2012 dan 90,0 dan 33,3 untuk tahun 2013. Beberapa pengungkapan yang diwajibkan antara lain, indikator kinerja keuangan, transaksi pihak berelasi (nama pihak-pihak berelasi, sifat, dan nilai transaksi pihak berelasi), laporan keuangan interim, dan laporan keuangan auditan. Laporan keuangan auditan harus dipublikasi dalam waktu 90 hari sejak tanggal tutup buku serta harus ada pernyataan Direksi yang menyatakan kewajaran laporan keuangan. Berikut adalah beberapa area yang masih perlu ditingkatkan dalam kategori ini: 1. Perusahaan publik hanya mengungkapkan kepemilikan langsung oleh pemegang saham besar, anggota direksi dan komisaris. Perusahaan publik belum melakukan pengungkapan kepemilikan tidak langsung dari pihak-pihak tersebut. 2. Perusahaan publik jarang yang melakukan pengungkapan di laporan tahunan terkait dengan ketaatan terhadap kode GCG, karena belum ada aturan yang mewajibkan. 3. Perusahaan publik melakukan pengungkapan profil anggota Direksi dan Komisaris, tetapi kebanyakan tidak mengungkapkan jabatan yang dipegang anggota dewan di perusahaan terdaftar lainnya. 4. Sebagian besar perusahaan publik juga tidak mengungkapkan audit fee dan non-audit fees yang dibayarkan kepada KAP yang mengaudit perusahaan mereka.



A W S I S A E B



A C



12.9 Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk Menilai Praktik Pengungkapan dan Transparansi Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian praktik pengungkapan dan transparansi di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard:



H I A R E P



1. Struktur kepemilikan yang transparan: mengungkapkan identitas pemegang saham dengan kepemilikan 5% atau lebih, mengungkapkan kepemilikan saham secara langsung maupun tidak langsung dari pemegang saham mayoritas/substansi, mengungkapkan kepemilikan saham langsung dan tidak langsung oleh direktur dan komisaris, mengungkapkan perusahaan induk, perusahaan anak, perusahaan asosiasi, ventura bersama, entitas bertujuan khusus. 2. Kualitas laporan tahunan, yaitu terkait pengungkapan risiko utama, tujuan perusahaan, indikator kinerja keuangan dan non keuangan, kebijakan dividen, kebijakan whistle-blowing, informasi mengenai direktur dan komisaris (biografi, pelatihan yang diikuti, jumlah rapat, jumlah kehadiran dalam rapat, remunerasi), pernyataan mengenai kepatuhan terhadap CG Code (Comply or Explain). 3. Pengungkapan transaksi pihak berelasi: kebijakan review dan persetujuan terhadap transaksi pihak berelasi, informasi pihak berelasi, sifat serta jumlah transaksi. 4. Pengungkapan transaksi perdagangan orang dalam oleh pihak dalam perusahaan. 5. Pengungkapan audit fee dan non audit fee serta apakah besaran non-audit fee lebih besar daripada audit fee (Jika ya, nilainya nol). 6. Penggunaan saluran komunikasi: pelaporan interim, website, analysts’ briefing, press conferences. 7. Informasi yang terdapat dalam website apakah mencakup informasi yang lengkap dan terkini. Informasi tersebut adalah: laporan tahunan dan laporan keuangan, anggaran dasar, panggilan RUPS, operasi bisnis perusahaan, struktur pemegang saham, struktur grup bisnis perusahaan, materi yang disampaikan ke analis dan media.



Ikatan Akuntan Indonesia



163



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



8. Penerbitan laporan keuangan dan laporan tahunan secara tepat waktu serta pernyataan kewajaran laporan keuangan tahunan oleh Direksi. 9. Pengungkapan nomor kontak unit/pihak yang bertanggung jawab atas hubungan investor. Dalam ASEAN CG Scorecard juga diberikan penilaian tambahan (bonus) dan pengurangan (penalti) untuk beberapa hal, yaitu: 1. Bonus: jika perusahaan mengumumkan laporan keuangan dalam waktu kurang dari 60 hari dan jika perusahaan mengungkapkan rincian remunerasi Presiden Direktur. 2. Penalti: jika perusahaan menerima opini audit selain opini wajar tanpa pengecualian, serta jika perusahaan merevisi laporan keuangan selain karena alasan perubahan kebijakan akuntansi.



H I A R E P



164



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/upload/asean_cg_ scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate Governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission. 2013. Internal Control – Integrated Framework. 4. Hong Kong Institute of Certified Public Accountants. 2005. Internal control and risk management – a basic framework. http://app1.hkicpa.org.hk/corporate_relations/media/pressrelease/2005/ICRM_Guide_final. pdf 5. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006_id.pdf. 6. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate Governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf. 7. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 8. Peraturan Bursa Efek Indonesia No. I-E tentang Kewajiban Penyampaian Informasi. 9. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan ke Publik. 10. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. 11. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 12. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



165



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



166



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab XIII W S I S PERAN TANGGUNG A E JAWAB AUDITOR B EKSTERNAL H DAN INTERNAL I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



167



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



PERAN DAN TANGGUNG JAWAB AUDITOR EKSTERNAL DAN INTERNAL



Bab XIII



13.1 Latar Belakang Audit tahunan harus dilakukan oleh auditor eksternal yang independen, kompeten, dan mempunyai kualifikasi agar dapat memberikan asurans eksternal dan obyektif bahwa laporan keuangan telah menyajikan posisi keuangan dan kinerja perusahaan secara wajar dalam semua hal yang material.



A C



Tanggung jawab auditor eksternal adalah memberikan opini terkait kewajaran laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Fungsi auditor eksternal adalah memberikan kredibilitas atas laporan keuangan dan mengurangi risiko informasi bahwa laporan keuangan adalah bias, menyesatkan, tidak akurat, tidak lengkap, dan mengandung kesalahan material.



A W S I S A E B



Auditor internal dapat memberikan beberapa jasa asurans yang dibutuhkan perusahaan. Auditor internal juga dapat membantu auditor eksternal dalam melakukan audit, terutama terkait dengan pengendalian intern perusahaan.



13.2 Peran Auditor Eksternal terkait Asurans terhadap Kualitas Informasi yang Diungkapkan dan Sistem Pengendalian Internal



H I A R E P



Masalah keagenan yang timbul dari pemisahan kepemilikan dan manajemen menyebabkan isu asimetri informasi menjadi semakin penting. Manajemen sebagai agen berkepentingan untuk menghasilkan laporan keuangan yang menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik dari yang seharusnya agar kinerjanya dinilai baik dan atau untuk menutupi tindakannya mengekspropriasi kekayaan pemegang saham. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk jasa auditor eksternal yang independen untuk memverifikasi asersi manajemen atas laporan keuangan. Auditor seringkali dipandang sebagai gatekeepers untuk melindungi investor dari laporan keuangan yang menyesatkan. Tanggung jawab auditor eksternal adalah memberikan opini terkait kewajaran laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Fungsi auditor eksternal adalah memberikan kredibilitas atas laporan keuangan dan mengurangi risiko informasi bahwa laporan keuangan adalah bias, menyesatkan, tidak akurat, tidak lengkap, dan mengandung kesalahan material (Rezzae, 2009). UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Perbankan (UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998) mengharuskan laporan keuangan perusahaan terkait (perusahaan dengan nilai aset relatif besar, perusahaan publik, institusi keuangan baik bank maupun non bank) untuk diaudit. Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) adalah badan yang mempunyai otoritas untuk menetapkan standar audit. IAPI telah mengeluarkan Kode Etik berdasarkan IFAC Code of Ethics for Professional Accountants di tahun 2008 yang efektif per 1 Januari 2010. IAPI telah melakukan konvergensi standar auditnya dengan International Standards on Auditing (ISA). Standar audit tersebut berlaku efektif per 1 Januari 2013 untuk perusahaan publik dan per 1 Januari 2014 untuk perusahaan lain.



168



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Standar audit yang ada mengharuskan auditor eksternal untuk melakukan pengujian atas pengendalian internal. Tujuan dari pengujian tersebut adalah untuk mengetahui efektivitas dari disain dan/atau operasi pengendalian internal dalam pencegahan atau pendeteksian salah saji material di laporan keuangan. Jika auditor eksternal melakukan audit atas laporan keuangan perusahaan yang memiliki fungsi audit internal, maka auditor eksternal dapat melakukan koordinasi pekerjaan auditnya dengan auditor internal. Untuk dapat menjalankan tugasnya, perlu dipastikan auditor eksternal adalah independen dan kompeten. Diperlukan mekanisme untuk meningkatkan independensi auditor eksternal dan untuk memperketat akuntabilitasnya terhadap pemegang saham. Diperlukan badan pengawas auditor yang beroperasi atas nama kepentingan publik, mempunyai anggota yang sesuai dengan tugasnya, mempunyai tanggung jawab dan kekuasaan yang memadai, serta pendanaan yang mencukupi yang tidak berada di bawah kendali profesi auditing.



A C



Tanggung jawab pembinaan dan pengawasan untuk akuntan publik berada di bawah Menteri Keuangan, yang dilakukan melalui salah satu divisinya yaitu Pusat Pengawasan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP). Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai asosiasi profesi akuntan publik di Indonesia, juga membantu proses pengawasan tersebut melalui salah satu tugasnya yaitu melakukan reviu mutu bagi anggotanya (UU AP). Berdasarkan amanah dari UU AP, saat ini sudah dibentuk Komite Profesi Akuntan Publik yang bertugas memberikan pertimbangan terhadap kebijakan pemberdayaan, pembinaan, dan pengawasan Akuntan Publik dan KAP; penyusunan standar akuntansi dan SPAP; dan hal-hal lain yang diperlukan berkaitan dengan profesi Akuntan Publik.



A W S I S A E B



Dalam UU PT tidak disebutkan secara eksplisit siapa yang memilih dan memberhentikan auditor eksternal. Menurut Pedoman GCG yang dikeluarkan KNKG, auditor ditetapkan dalam RUPS berdasarkan usulan dewan komisaris dan didasarkan rekomendasi dari komite audit. Peraturan Bapepam-LK IX.I.5 mengharuskan komite audit memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan akuntan publik yang didasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan audit fee. Dalam praktiknya, auditor ditetapkan dalam RUPS.



H I A R E P



Isu ketergantungan atas audit fee yang diterima oleh auditor eksternal telah menjadi masalah yang cukup lama. Kehilangan klien besar akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi remunerasi individu akuntan publik dan juga bagi KAP. Selain itu, isu independensi juga timbul jika KAP menerima non audit fee dari perusahaan yang sama (Gwilliam dan Marnet, 2007). Bapepam-LK mewajibkan perusahaan (Peraturan X.K.6) untuk mengungkapkan informasi mengenai auditor eksternal terkait dengan besaran fee dan periode penugasan yang telah dilakukan. Besaran fee tersebut mencakup semua fee yang diterima auditor eksternal, baik audit fee maupun non audit fee. Jasa non audit yang diberikan auditor eksternal dapat secara signifikan mengurangi independensi dari auditor dan dapat menyebabkan auditor melakukan audit atas pekerjaan mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, seperti Enron, WorldCom, auditor eksternal mendapatkan non audit fee yang sangat besar bahkan lebih besar dibandingkan audit fee, yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya independensi auditor eksternal. Untuk itu, diperlukan aturan yang mengatur mengenai jasa non audit yang dapat diberikan auditor eksternal. Peraturan Bapepam-LK VIII.A.2 mengenai Independensi Akuntan Yang Memberikan Jasa Audit di Pasar Modal mengatur mengenai jasa non atestasi yang tidak dapat diberikan oleh auditor perusahaan, yaitu: 1. 2. 3. 4.



Pembukuan atau jasa lain yang berhubungan dengan catatan akuntansi klien atau laporan keuangan; Desain sistem informasi keuangan dan implementasi; Audit internal; Konsultasi manajemen;



Ikatan Akuntan Indonesia



169



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



5. Konsultasi sumber daya manusia; 6. Penasihat keuangan; 7. Jasa perpajakan, kecuali telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Komite Audit. Persetujuan Komite Audit tersebut tidak termasuk jasa perpajakan untuk mewakili klien di dalam maupun di luar pengadilan perpajakan dan/atau bertindak untuk dan atas nama klien dalam perhitungan dan pelaporan perpajakan; atau 8. Jasa-jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Terkait dengan independensi, regulator juga mengatur mengenai kewajiban rotasi audit. PMK No. 17/ PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik mengatur mengenai batasan masa pemberian jasa audit, yaitu untuk KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. KAP dan AP dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien tersebut setelah 1 (satu) tahun tidak memberikan jasa audit umum untuk klien tersebut.



A C



Selain isu independensi, isu lain yang juga penting adalah meningkatkan kompetensi akuntan publik. Akuntan publik harus mempunyai ijin yang dikeluarkan Menteri Keuangan (persyaratan untuk memperoleh ijin diatur dalam UU AP), hal ini untuk memastikan akuntan publik memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Akuntan yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam-LK serta memenuhi persyaratan yang diatur Bapepam-LK. Akuntan publik yang mengaudit bank juga wajib terdaftar di Bank Indonesia.



A W S I S A E B



Untuk memastikan tingkat kompetensi profesional yang memadai sudah dimiliki auditor, diperlukan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (PPL) dan juga mengawasi pengalaman kerja dari auditor. PMK No. 17/PMK.01/2008 mewajibkan AP untuk mengikuti PPL yang diselenggarakan dan/atau diakui IAPI dan PPAJP.



H I A R E P



13.3 Peran Auditor Internal terkait Kualitas Informasi yang Diungkapkan dan Sistem Pengendalian Internal Direksi dan dewan komisaris mempunyai peranan penting dalam penerapan tata kelola perusahaan. Auditor internal mempunyai peranan penting dalam membantu direksi dan dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawab untuk menerapkan tata kelola perusahaan. Fungsi internal audit seharusnya menyediakan asurans dan jasa konsultasi yang obyektif dan independen untuk semua aktivitas perusahaan, termasuk manajemen risiko, pengendalian inter, pelaporan keuangan, dan fungsi tata kelola lainnya. Menurut KPMG (2008), auditor internal mempunyai beberapa peranan untuk membantu direksi dan komisaris maupun komite audit dalam melaksanakan tanggung jawab terkait tata kelola perusahaan, yaitu memberikan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



170



Evaluasi objektif dari risiko dan kerangka pengendalian internal yang ada di perusahaan; Analisis sistematis dari proses bisnis dan pengendalian terkait; Review dari keberadaan dan nilai aset; Sumber infomasi terkait major fraud and irregularities; Ad hoc reviews dari area yang menjadi perhatian, termasuk tingkat risiko yang tidak dapat diterima; Review kerangka kepatuhan dan isu kepatuhan; Review kinerja operasional dan keuangan; Rekomendasi penggunaan sumber daya yang lebih efektif dan efisien; Penilaian pencapaian tujuan perusahaan; Umpan balik atas kepatuhan terhadap nilai dan kode etik perusahaan.



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Dapat dilihat bahwa peranan auditor internal di atas menunjukkan auditor internal mempunyai peranan penting dalam menjamin kualitas informasi yang diungkapkan perusahaan dan sistem pengendalian internal perusahaan. Untuk menjalankan tugasnya, internal auditor perlu menjaga independensi dari unit yang diauditnya serta mempunyai kompetensi yang memadai. Terkait independensi, independensi internal auditor tidak dalam posisi yang independen seperti auditor eksternal, karena internal auditor adalah karyawan perusahaan. KPMG (2008) menyebutkan bahwa walaupun auditor internal harus melapor ke Direksi, namun auditor internal juga harus menyampaikan laporan ke Komite Audit. Adanya keharusan internal auditor untuk menyampaikan laporan ke Komite Audit dan adanya adanya tugas Komite Audit untuk melakukan penelaahan atas rencana kerja internal auditor dapat memitigasi isu independensi internal auditor tersebut. Auditor internal juga seharusnya dapat melakukan pertemuan dengan Dewan Komisaris atau Komite Audit, tanpa kehadiran Direksi, untuk dapat lebih meningkatkan independensinya. Auditor internal juga memerlukan kompentensi yang memadai agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya (Gwilliam dan Marnet, 2007).



A C



Menurut peraturan Bapepam-LK (IX.I.7), auditor internal mempunyai beberapa tugas dan tanggung jawab:



A W S I S A E B



1. Menyusun dan melaksanakan rencana Audit Internal tahunan; 2. Menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian interen dan sistem manajemen risiko sesuai dengan kebijakan perusahaan; 3. Melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektivitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional, sumber daya manusia, pemasaran, teknologi informasi dan kegiatan lainnya; 4. Memberikan saran perbaikan dan informasi yang obyektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkat manajemen; 5. Membuat laporan hasil audit dan menyampaikan laporan tersebut kepada direktur utama dan dewan komisaris; 6. Memantau, menganalisis dan melaporkan pelaksanaan tindak lanjut perbaikan yang telah disarankan; 7. Bekerja sama dengan Komite Audit; 8. Menyusun program untuk mengevaluasi mutu kegiatan audit internal yang dilakukannya; dan melakukan pemeriksaan khusus apabila diperlukan.



H I A R E P



Salah satu tugas dan tanggung jawab unit audit internal yang disebutkan di atas adalah membuat laporan hasil audit dan menyampaikan laporan tersebut kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris, serta bekerja sama dengan Komite Audit. Peraturan Bapepam-LK mengenai Komite Audit (IX.I.5) mewajibkan Komite Audit diketuai komisaris independen, sehingga laporan yang disampaikan internal auditor tersebut juga diterima oleh komite audit. Ketentuan ini konsisten dengan KPMG (2008), yang juga merekomendasikan bahwa walaupun auditor internal harus melapor ke Direksi, namun auditor internal juga harus menyampaikan laporan tersebut ke Komite Audit. Dalam tugas dan tanggung jawab unit audit internal tersebut, belum disebutkan secara eksplisit tanggung jawab internal auditor terkait kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan regulasi yang berlaku. Hal ini berbeda dengan KPMG (2008). Tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab Komite Audit (Peraturan Bapepam-LK IX.I.5). Dalam peraturan Bapepam-LK (IX.I.5), komite audit juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas temuan auditor internal. Walaupun Kepala Unit Audit Internal bertanggung jawab kepada direktur utama, untuk menjaga independensi dari unit audit internal, Peraturan Bapepam-LK (IX.I.7) mengharuskan Kepala Unit Audit Internal diangkat dan diberhentikan oleh direktur utama dengan persetujuan Dewan Komisaris. Untuk memberhentikan kepala Unit Audit Internal tersebut juga hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris.



Ikatan Akuntan Indonesia



171



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Peraturan Bapepam-LK (IX.I.7) mewajibkan beberapa persyaratan auditor internal yang antara lain terkait aspek kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai teknis audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan bidang tugasnya dan memiliki pengetahuan tentang peraturan perundangundangan di bidang pasar modal dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Berbeda dengan auditor eksternal yang diwajibkan peraturan yang ada untuk secara berkala mengikuti PPL, sampai saat ini belum ada kewajiban bagi auditor internal untuk meningkatkan pengetahuannya dengan mengikuti PPL. Dalam Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6, diwajibkan beberapa pengungkapan di laporan tahunan terkait auditor internal, yaitu nama; riwayat jabatan, pengalaman kerja yang dimiliki, dan dasar hukum penunjukan; kualifikasi atau sertifikasi sebagai profesi audit internal (jika ada); struktur dan kedudukan unit audit internal; tugas dan tanggung jawab unit audit internal sesuai dengan yang dicantumkan dalam piagam (charter) unit audit internal; dan uraian singkat pelaksanaan tugas unit audit internal pada tahun buku.



A C



13.4 Akuntabilitas Auditor Eksternal terhadap Pemegang Saham dan Menjalankan Tugas dari Perusahaan untuk Melakukan Audit secara Profesional



A W S I S A E B



Auditor eksternal mempunyai akuntabilitas ke pemegang saham dan berkewajiban kepada perusahaan untuk melakukan pekerjaan audit secara profesional. Auditor eksternal idealnya harus direkomendasikan oleh komite audit yang independen dan auditor eksternal tersebut kemudian ditunjuk oleh dewan atau pemegang saham sebagai praktik tata kelola yang baik sebagai klarifikasi bahwa auditor eksternal mempunyai akuntabilitas kepada pemegang saham. Saat ini, auditor eksternal tidak mempunyai liabilitas yang jelas terhadap pemegang saham perusahaan. Dalam UU Akuntan Publik (UU AP) No.5 Tahun 2011 juga tidak disebutkan secara eksplisit mengenai liabilitas tersebut. Dalam pasal 26 hanya disebutkan bahwa Akuntan Publik bertanggung jawab atas jasa yang diberikan. UU AP mengatur adanya sanksi administratif yang dapat diberikan kepada akuntan publik maupun KAP jika melanggar ketentuan adminsitratif, dan diberikan sanksi pidana jika melakukan pelanggaran pidana (seperti melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi, dan/atau memalsukan data yang berkaitan dengan jasa atau dengan sengaja melakukan manipulasi, memalsukan, dan/atau menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja atau tidak membuat kertas kerja yang berkaitan dengan jasa yang diberikan). Ketentuan tersebut diharapkan mendorong akuntan publik lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi kepentingan berbagai pihak, terutama pengguna laporan keuangan.



H I A R E P



Peraturan Bapepam-LK (IX.I.5) dan Peraturan BI (No. 8/4/PBI/2006) mengharuskan komite audit memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan akuntan publik. Hal tersebut juga menggarisbawahi bahwa auditor eksternal bertanggung jawab melaksanakan pekerjaannya secara profesional untuk perusahaan, bukan untuk individu atau kelompok manajemen tertentu.



13.5 Tugas dan Tanggung Jawab Auditor Internal dan Eksternal dalam Penegakan GCG



Struktur tata kelola perusahaan yang efektif didukung oleh direksi dan dewan komisaris yang tanggap; tim manajemen yang bekerja keras, kompeten, dan beretika; fungsi auditor eksternal yang independen dan kompeten; serta fungsi internal audit yang efektif. Fungsi audit yang dijalankan auditor eksternal memerankan peranan penting dalam mencapai tata kelola perusahaan yang efektif. Fungsi auditor eksternal dapat dipandang sebagai aktivitas yang menambah nilai



172



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



terkait dengan kredibilitas yang diberikan atas laporan keuangan (Rezzae, 2009). Laporan keuangan adalah salah satu sumber informasi utama terutama bagi pihak di luar perusahaan. Berbagai informasi material yang dibutuhkan berbagai pihak, termasuk pemegang saham, diungkapkan melalui laporan keuangan. Auditor internal dapat berfungsi untuk menilai efektivitas dari struktur dan praktik tata kelola di perusahaan dan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan proses dan aktivitas tata kelola di perusahaan (Rezzae, 2009). Auditor internal juga telah dibekali dengan pelatihan serta dalam posisi yang memadai untuk menilai dan memastikan manajemen kinerja dan akuntabilitas ayng efektif; mengidentifikasi dan mengkomunikasikan risiko dan pengendalian terkait kepada direksi dan dewan komisaris serta komite audit; menilai mekanisme tata kelola perusahaan internal dan eksternal; serta memberikan asuranas atas efektivitas struktur tata kelola perusahaan.



A C



13.6 Pelaksanaan Peran Auditor Eksternal dan Auditor Internal Menurut Hasil Penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard Hasil Penilaian oleh Bank Dunia



A W S I S A E B



IAPI telah melakukan konvergensi standar auditing dengan International Standards on Auditing (ISA). Standar audit tersebut berlaku efektif pada atau setelah tanggal 1 Januari 2013 untuk Emiten, dan tanggal 1 Januari 2014 untuk selain Emiten. IAPI juga telah mengeluarkan Kode Etik untuk akuntan publik pada tahun 2008, yang berlaku efektif 1 Januari 2011. Peraturan Bapepam-LK mengeaskan adanya ketentuan independensi yang harus dipatuhi akuntan publik dan kantor akuntan publik, dan juga membatasi jasa non audit yang dapat diberikan. Bapepam-LK menetapkan aturan rotasi auditor, yaitu maksimum 6 tahun untuk KAP dan 3 tahun untuk AP. Pengawasan untuk profesi akuntansi dan auditing dilakukan oleh Pusat Pengawasan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP), yang merupakan salah satu divisi di bawah Menteri Keuangan. PPAJP mengeluarkan ijin untuk KAP dan AP, yang juga harus disertifikasi oleh IAPI. Auditor perusahaan terdaftar juga harus terdaftar di Bapepam-LK, dan auditor bank harus terdaftar di BI.



H I A R E P



Pada saat Bank Dunia melakukan penilaian, belum ada aturan jelas mengenai pemilihan auditor eksternal. Pada tahun 2012, OJK mengeluarkan revisi terkait aturan Komite Audit (IX.I.5), yang menyebutkan salah satu tugas dan tanggung jawab komite audit adalah memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan Akuntan yang didasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan fee. Auditor eksternal tidak mempunyai liabilitas yang jelas terhadap pemegang saham perusahaan. Pengawasan atas profesi akuntan dan auditing dilakukan di antara IAPI, Bapepam-LK, dan PPAJP. Namun PPAJP mempunyai sumber daya terbatas dibandingkan jumlah KAP dan akuntan yang ada. Menurut hasil survey Bank Dunia, IAPI mempunyai prosedur untuk me-review kualitas pekerjaan dari anggotanya dan dapat memberikan sanksi atas anggota tersebut, tetapi hal ini tidak dirasakan sebagai mekanisme yang efektif untuk investor. Sampai saat ini belum ada KAP di Indonesia yang dituntut karena hasil pekerjaannya yang tidak memenuhi standar, baik oleh perusahaan, pemegang saham, maupun pihak ketiga. Sampai saat ini, penegakan aturan terkait auditor eksternal adalah dalam bentuk pemberian sanksi administratif maupun denda bagi akuntan publik maupun KAP yang melakukan pelanggaran aturan.



Ikatan Akuntan Indonesia



173



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Hasil penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard Hasil penilaian menunjukkan masih jarang perusahaan yang mengungkapkan audit fee dan non audit fee dari auditor eksternal yang mengaudit laporan keuangan perusahaan. Menggunakan ASEAN CG Scorecard untuk Menilai Peran Auditor Eksternal dan Internal Penilaian terkait peranan auditor eksternal tercakup dalam penilaian praktik pengungkapan dan transparansi di perusahaan terbuka, sedangkan penilaian terkait peranan auditor internal tercakup dalam penilaian praktik tanggung jawab dewan (dijelaskan di bagian lain). Penilaian untuk peranan auditor eksternal yang termasuk ke dalam penilaian pengungkapan dan transparansi: Pengungkapan audit fee dan non audit fee serta apakah nilai audit fee di atas atau di bawah non-audit fee.



A C



Penalti: a. Jika perusahaan menerima opini audit selain opini wajar tanpa pengecualian, serta jika perusahaan merevisi laporan keuangan selain karena alasan perubahan kebijakan akuntansi. b. Jika direksi atau manajemen senior merupakan mantan karyawan atau partner dari KAP yang saat ini mengaudit perusahaan.



H I A R E P



174



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate Governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/upload/asean_ cg_scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate Governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Gwilliam, D. dan O. Marnet, 2007, Audit within the Corporate governance Paradigm. http://www.standrews.ac.uk/business/ecas/7/papers/ECAS-GwilliamMarnet.pdf 4. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006_id.pdf. 5. KPMG, 2008, Internal Audit’s Role in Effective Corporate governance, http://www.kpmg.com/AU/ en/IssuesAndInsights/ArticlesPublications/Documents/Internal-audit’s-role-in-effective-corporategovernance.pdf 6. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf. 7. Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. 8. Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. 9. Peraturan Bapepam-LK No. IX.I.7 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal. 10. Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik. 11. Rezaee, Zabihollah, 2009, Corporate Governance and Ethics, John Wiley. 12. Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. 14. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment: Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www.worldbank. org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



175



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



176



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A C



A Bab XIV W S I PRINSIP PERANAS E PEMANGKUBKEPENTINGAN DAN TANGGUNG JAWAB H I A KORPORAT R E P



Chartered Accountant Indonesia



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



177



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Bab XIV



PRINSIP PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DAN TANGGUNG JAWAB KORPORAT 14.1 Latar Belakang



Kesuksesan perusahaan dalam memperoleh laba dan meningkatkan kemakmuran pemegang saham dipengaruhi oleh peran optimal dari banyak pihak, selain manajamen, yaitu seperti investor, kreditor, pelanggan, pemasok, masyarakat, pemerintah, dan lainnya. Kepercayaan investor dan kreditur terhadap perusahaan akan menekan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Kepuasaan pelanggan atas produk yang dihasilkan perusahaan akan meningkatkan penjualan perusahaan. Kerjasama yang baik dengan pemasok dapat menjamin kualitas, kontinuitas, dan harga bahan baku yang optimal. Kepedulian terhadap masyarakat akan meningkatkan respek masyarakat terhadap keberadaan dan produk perusahaan. Ketaatan terhadap peraturan pemerintah akan menghindarkan perusahaan dari berbagai permasalahan hukum. Seluruh hubungan positif perusahaan dengan para pemangku kepentingannya memiliki dampak ekonomi yang positif pula untuk kelangsungan usaha dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan perlu untuk mengakui dan menghormati hak para pemangku kepentingannya dalam seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan perusahaan, serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan jangka panjang bersama. Hal tersebut ditegaskan dalam prinsip OECD ke-4 tentang peran pemangku kepentingan dalam tata kelola perusahaan yang menyatakan bahwa kerangka CG harus mengakui dan menghormati hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan atau melalui kesepakatan bersama, dan mendorong kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kemakmuran, lapangan kerja, serta kelangsungan hidup perusahaan.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



14.2 Tanggung Jawab Korporat, Akuntabilitas, dan Pelaporan Korporat



Seperti dijelaskan di atas, perusahaan/korporat memiliki tanggung jawab yang lebih luas, yaitu bukan hanya kepada para pemegang sahamnya saja, melainkan kepada seluruh pemangku kepentingan. Tanggung jawab korporat tidak hanya meningkatkan kekayaan pemegang saham, melainkan juga menjamin hak-hak pemangku kepentingan lainnya tidak dilanggar, yaitu diantaranya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab berikut ini: 1. Menghasilkan produk yang berkualitas dan aman. 2. Menggunakan sistem produksi yang ramah lingkungan dan menggunakan sumber daya secara efisien. 3. Memperlakukan tenaga kerja sesuai peraturan perundang-undangan dan azas kemanusiaan, termasuk misalnya tidak mempekerjakan anak di bawah umur. 4. Menggunakan bahan baku yang berkualitas, aman, dan tidak merusak lingkungan. 5. Memenuhi kewajiban kepada kreditor atas dana yang ditanamkan di perusahaan. 6. Menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat merugikan masyarakat. 7. Mentaati seluruh peraturan perundang-undangan, seperti peraturan perpajakan, serta menghindari praktik yang melanggar ketentuan yang berlaku, seperti transaksi penyelundupan, pelanggaran hak cipta, dan lainnya.



178



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



8. Mentaati seluruh perjanjian dan/atau komitmen dengan berbagai pihak. 9. Mengarahkan pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Menurut teori pemangku kepentingan, tanggung jawab korporat mencerminkan kebutuhan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan dalam menjalankan perannya sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan (Freeman dan Phillips (2002) dalam Utama, 2011). Utama (2011) menyebutkan bahwa upaya manajemen sangat mempengaruhi pemenuhan tanggung jawab korporat. Oleh sebab itu pemangku kepentingan membutuhkan informasi tentang pertanggungjawaban peran manajemen dalam memenuhi tanggung jawab korporat tersebut. Keterbatasan akses informasi menyebabkan pemangku kepentingan tidak dapat mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab korporat. Pemangku kepentingan tidak dapat memberikan apresiasi atas perusahaan yang telah menjalankan tanggung jawab korporat dengan baik, dan memberikan hukuman atas perusahaan yang tidak memenuhinya. Kondisi ini akan menurunkan motivasi perusahaan memenuhi tanggung jawab korporat. Selain itu, keterbatasan akses informasi juga menyebabkan perusahaan dapat melakukan tindakan yang menciderai hak pemangku kepentingan. Oleh sebab itu diperlukan pengungkapan informasi upaya manajemen/perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab korporatnya (Utama, 2011).



A W S I S A E B



A C



Utama (2011) menyebutkan terdapat beberapa infrastruktur yang perlu dimiliki untuk mendukung terciptanya pelaporan tanggung jawab korporat yang transparan dan akuntabel, yaitu sebagai berikut: 1. Standar pelaporan tanggung jawab korporat yang berterima umum sebagai acuan pelaporan; 2. Struktur dan mekanisme tata kelola yang mendorong pelaporan tanggung jawab korporat yang akuntabel dan transparan; 3. Pihak eksternal dan independen yang memberikan asersi atas pelaporan tanggung jawab korporat; 4. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban pelaporan tanggung jawab korporat; dan 5. Tekanan publik akan praktik dan pelaporan tanggung jawab korporat



H I A R E P



14.3 Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan



Sebagian kepentingan atau hak pemangku kepentingan diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Sebagian lainnya hanya diatur dalam kesepakatan bersama antara perusahaan dan pemangku kepentingan. Pemenuhan atas kepentingan atau hak pemangku kepentingan tersebut akan menghindarkan perusahaan dari permasalahan hukum dan pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh sebab itu perusahaan harus mengakui dan menghormati kepentingan para pemangku kepentingan tersebut. Hal tersebut ditegaskan dalam beberapa sub-prinsip OECD ke-4. Sub-prinsip A menyatakan bahwa hakhak pemangku kepentingan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dihormati. Sub-prinsip B menyebutkan bahwa pengakuan dan penghormatan atas hak-hak pemangku kepentingan tersebut harus disertai dengan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan jika hak-haknya tersebut dilanggar. Secara khusus, sub-prinsip C menggarisbawahi wujud penghormatan dan pengakuan peran karyawan sebagai salah satu pemangku kepentingan perusahaan melalui pengembangan mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi karyawan. Demikian juga dengan sub-prinsip F yang secara khusus mengatur tentang pengakuan dan penghormatan hak kreditur melalui keberadaan kerangka penyelesaian kebangkrutan yang efektif dan efisien serta penegakan hukum yang efektif atas hak-hak kreditur. Pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam tata kelola perusahaan diatur di sub-prinsip D, yaitu melalui jaminan akses informasi yang relevan, memadai, andal, tepat waktu, dan reguler. Di sisi lain, sub-prinsip E, bentuk pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan



Ikatan Akuntan Indonesia



179



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



juga ditunjukkan oleh kebebasan pemangku kepentingan, khusunya orang dalam perusahaan, untuk mengkomunikasikan dugaan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada pihak berwenang. Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur hak-hak pemangku kepentingan perusahaan, yaitu diantaranya sebagai berikut (World Bank, 2010): 1. UU PT: Kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab korporat (Pasal 74) a. Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris (Pasal 61, 97, dan 114) serta mengajukan pemeriksaan terhadap Perseroan (Pasal 138) b. Pengungkapan informasi kepada kreditur atas keputusan RUPS terkait penurunan modal dan hak kreditur untuk menolak keputusan RUPS tersebut (Pasal 44 dan 45) 2. UU PM: a. Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan kesalahan informasi yang disampaikan perusahaan (Pasal 80) b. Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran undang-undang pasar modal (Pasal 111) c. Kewajiban Akuntan yang terdaftar pada OJK yang memeriksa laporan keuangan Pihak-pihak yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal, untuk menyampaikan pemberitahuan yang bersifat rahasia kepada OJK jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan perundangundangan terkait pasar modal atau hal-hal yang membahayakan keadaan keuangan pihak yang dimaksud atau kepentingan para nasabahnya. 3. Peraturan Bapepam-LK X.K.1 tentang keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada publik. 4. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur hak-hak tenaga kerja dan hubungannya dengan pemberi kerja (pengusaha/perusahaan). 5. UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar hukum penyelesaian sengketa pemangku kepentingan selain melalui penuntutan dan mekanisme pengadilan. 6. UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 7. UU No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan Peraturan Pemerintah terkait: a. Keterwakilan pekerja dalam Dewan Pengawas (Pasal 12 dan 13). b. Tanggung jawab manajemen atas kerugian dana pensiun yang disebabkan karena kelalaian manajemen (PP No. 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja dan PP No. 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan) 8. UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Khusus untuk emiten atau perusahaan publik, OJK menerbitkan peraturan X.K.6 yang mengatur beberapa aspek terkait pengungkapan tanggung jawab korporat, yaitu: a. Kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan laporan keuangan kepada OJK serta memuatnya dalam website perusahaan yang dapat diakses setiap saat; b. Kewajiban laporan tahunan perusahaan memuat tanggung jawab sosial perusahaan (tanggung jawab korporat). Informasi tentang tanggung jawab korporat tersebut mencakup kebijakan, jenis program, dan biaya yang dikeluarkan, antara lain terkait aspek: a) Lingkungan hidup, seperti penggunaan material dan energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, sistem pengolahan limbah perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki, dan lain-lain; b) Praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja, seperti kesetaraan gender dan kesempatan kerja, sarana dan keselamatan kerja, tingkat perpindahan (turnover) karyawan, tingkat kecelakaan kerja, pelatihan, dan lain-lain;



H I A R E P



180



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat







c. Pengembangan sosial dan kemasyarakatan, seperti penggunaan tenaga kerja lokal, pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan prasarana sosial, bentuk donasi lainnya, dan lain-lain; dan d. Tanggung jawab produk, seperti kesehatan dan keselamatan konsumen, informasi produk, sarana, jumlah dan penanggulangan atas pengaduan konsumen, dan lain-lain. Emiten atau Perusahaan Publik dapat mengungkapkan informasi tersebut di atas pada laporan tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada OJK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility report). Selain berbagai ketentuan di atas, terdapat beberapa peraturan perundangan-undangan lainnya yang juga terkait dengan perlindungan hak-hak pemangku kepentingan, yaitu:



A C



9. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 10. UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Pratik Usaha Tidak Sehat. 11. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 tahun 1999. 12. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.



A W S I S A E B



Pengakuan dan penghormatan atas hak pemangku kepentingan tersebut telah diakomodasi dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pemangku kepentingan mendapatkan perhatian serius dan disebutkan pada hampir seluruh bab dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Namun secara khusus peran pemangku kepentingan diuraikan di Bab VI. Empat kelompok pemangku kepentingan menjadi fokus perhatian Pedoman Umum GCG Indonesia, yaitu karyawan, mitra bisnis, pengguna produk dan jasa, serta masyarakat. Mitra bisnis yang dimaksud dalam pedoman ini adalah pemasok, distributor, kreditur, debitur, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi usaha dengan perusahaan. Uraian pedoman pokok pelaksanaan atas peran-peran masing-masing kelompok pada Pedoman Umum ini telah mengakomodasi substansi prinsip OECD ke-4. Pada bagian lain Pedoman Umum GCG Indonesia juga mengatur tentang hal berikut ini (World Bank, 2010):



H I A R E P



1. Pada Bab III tentang Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku, diuraikan tentang panduan bagi perusahaan dalam menjalankan usaha, termasuk interaksinya dengan para pemangku kepentingan. 2. Mengarahkan perusahaan mengembangkan sistem dapat melindungi pihak yang menjalankan peran sebagai whistleblower. 3. Mengarahkan pengungkapan informasi yang diperlukan oleh pemangku kepentingan.



14.4 Peran Aktif Korporat dalam Memberantas Korupsi Korupsi merupakan salah satu tindakan kejahatan ekonomi yang luar biasa. Korupsi memiliki dampak negatif yang sangat besar dan juga sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak-hak pemangku kepentingan, khususnya masyarakat/publik karena dana yang dikorupsi merupakan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat/publik dan dikelola negara. Tindakan kejahatan korupsi pada umumnya tidak hanya melibatkan pejabat publik, melainkan juga dunia usaha. Dunia usaha (korporat) sering kali menjadi pendorong tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh sebab itu upaya pemberantasan korupsi harus mengikutsertakan peran aktif korporat. Upaya korporat dalam menghindari penyuapan akan menekan peluang pejabat publik melakukan korupsi. Korporasi juga dapat berperan aktif melaporkan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.



Ikatan Akuntan Indonesia



181



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Prinsip OECD tidak secara eksplisit mengatur tentang peran aktif korporat dalam memberantas korupsi. Namun demikian, sub-prinsip A dan E mengandung semangat anti korupsi yang harus dilaksanakan perusahaan. Upaya korporat dalam menghindari tindakan korupsi merupakan penghormatan korporat terhadap hak pemangku kepentingan, yaitu negara dan masyarakat (society). Sementara itu, peran aktif korporat menjadi whistleblower atas dugaan tindakan korupsi merupakan salah satu bentuk implementasi sub-prinsip E. Peran korporat dalam memberantas korupsi juga dinyatakan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pada Bab 1 tentang Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate Governance, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk Peranan Dunia Usaha, disebutkan bahwa dunia usaha berperan dalam mencegah terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada yang secara khusus mengatur peranan korporasi atau dunia usaha dalam memberantasi korupsi. Namun UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 tahun 1999, Pasal 20, menyebutkan bahwa korporasi dapat terlibat dalam tindakan korupsi. Korporasi melakukan tindakan korupsi jika korporasi melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri (korporasi) atau orang (korporasi) lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengelolaan/ penggunaan dana dari pemerintah yang tidak sesuai dengan peruntukannya merupakan salah satu bentuk tindakan korupsi yang dapat dilakukan oleh korporat (misalnya korporat memberikan barang/jasa yang kualitasnya lebih rendah dari spesifikasi yang telah disepakati pada harga yang sama). Tindakan korupsi oleh korporat dapat dilakukan dalam bentuk pemberian suap kepada pejabat publik untuk mempengaruhi keputusan pejabat publik sehingga mengambik keputusan yang menguntungkan korporasi namun merugikan keuangan negara (misalnya pemberian suap terkait pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintahan). Pemberian gratifikasi oleh korporasi kepada pejabat publik termasuk tindakan korupsi. Penerimaan dan pengelolaan dana hasil korupsi oleh korporat sebagai upaya tindakan pencucian uang juga termasuk rangkaian tindakan korupsi.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Uraian di atas menunjukkan korporat dapat melakukan berbagai tindakan korupsi atau mendukung tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh sebab itu korporasi memegang peranan penting dalam mencegah tindakan korupsi tersebut. Peran aktif korporasi untuk tidak terlibat tindakan korupsi serta mencegah dan/atau melaporkan tindakan korupsi akan berdampak signifikan terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi.



14.5 Peran Aktif Korporasi dalam Melestarikan Lingkungan Korporasi dihadapkan pada persaingan yang kompetitif, keterbasan sumber daya, dan tujuan perolehan laba untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Oleh sebab itu korporasi melakukan berbagai upaya yang tidak jarang memiliki dampak negatif kepada pihak lain, termasuk lingkungan. Tidak sedikit aktivitas korporasi menimbulkan kerusakan terhadap alam. Kerusakan alam tersebut pada akhir akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan mahluk hidup di dalamnya, termasuk kepada manusia. Tindakan korporasi seperti ini pada akhirnya akan mengancam kelangsung hidup alam, manusia, dan pada akhirnya perusahaan itu sendiri. Oleh sebab itu diperlukan prinsip dan upaya yang mendorong peran korporasi dalam mencegah hal tersebut. Korporasi justru harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip OECD ke4, sub-prinsip A. Lingkungan dan komunitas masyarakat dimana korporasi berada merupakan salah satu pemangku kepentingan dan menurut sub-prinsip A, seluruh hak pemangku kepentingan yang ditetapkan



182



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



melalui peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab itu, sesuai dengan sub-prinsip A, korporasi harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan dan memberdayakan komunikasi masyarakat disekitarnya. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan juga tertuang dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pedoman Pokok Pelaksanaan asas Responsibilitas menyatakan bahwa perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Selain itu, pada bab tentang organ perusahaan, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk organ Direksi, sub-bagian tanggung jawab sosial, salah satu fungsi pengelolaan perusahaan yang diemban Direksi adalah terkait dengan tanggung jawab sosial, yaitu: 1. Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha perusahaan, Direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggung jawab sosial perusahaan; 2. Direksi harus mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.



A W S I S A E B



A C



Dalam UU PT juga terdapat beberapa pengaturan terkait peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial, yaitu sebagai berikut: 1. Pasal 66 ayat 2 menegaskan bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan informasi minimum yang harus disajikan perusahaan dalam laporan tahunannya. 2. BAB V secara khusus membahas tentang kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Selain mematuhi UU PT, peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan juga dilakukan dengan memenuhi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan lingkungan. Peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dapat diwujudkan melalui beberapa aktivitas sebagai berikut:



H I A R E P



1. Penciptaan produk yang ramah lingkungan (misalnya produk yang mudah untuk didaur ulang). 2. Penggunaan sistem produksi yang efisien dalam mengkonsumsi sumber daya (misalnya hemat bakar bakar, hemat listrik, air, dan lainnya). 3. Penggunaan sistem pengelolaan polusi yang aman dan efektif. 4. Penggunaan bahan baku secara efisien dan bahan baku ramah lingkungan. 5. Pelaksanaan program restorasi sumber daya alam yang dikonsumsi dalam proses produksi (misalnya restorasi hutan atau restorasi kawasan tambang). 6. Pemberdayaan ekonomi komunikasi dan masyarakat berbasis kemandirian dan pembangunan berkelanjutan.



14.6 Penyaluran Pengaduan oleh Pemangku Kepentingan terhadap Kemungkinan Pelanggaran Aturan/Etika oleh Orang Dalam Korporat



Berbagai skandal keuangan terbesar pada umumnya melibatkan pimpinan perusahaan dan banyak pihak yang berkolusi. Keterlibatan manajemen tingkat atas dan/atau kejahatan secara berkolusi menyebabkan sistem pengendalian internal perusahaan tidak dapat berjalan optimal. Kejahatan kerah putih tersebut pada umumnya diketahui oleh orang dalam perusahaan. Namun orang dalam yang mengetahui kejahatan tersebut akan menghadapi risiko tinggi terhadap keselamatan diri dan/atau keluarganya jika berupaya melaporkannya. Selain



Ikatan Akuntan Indonesia



183



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



itu, mereka akan menghadapi kendala mencari pihak independen untuk menangani laporan mereka karena kejahatan melibatkan pimpinan puncak dan banyak pihak. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk membangun mekanisme penyaluran pengaduan oleh berbagai pihak (pemangku kepentingan) terhadap kemungkinan kejahatan dan/atau pelanggaran aturan/etika yang dilakukan oleh orang dalam korporat. Mekanisme tersebut harus menjamin independensi penanganan laporan dan menjamin keselamatan pihak pelapor. Prinsip OECD ke-4, sub-prinsip E, menegaskan bahwa untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik, maka perlu dilakukan upaya yang memungkinkan para pemangku kepentingan, termasuk karyawan secara individu dan lembaga yang mewakilinya, dapat secara bebas mengkomunikasikan kemungkinan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada Board (Dewan Komisaris atau lembaga yang diberi kewenangan ini, misalnya Komite Audit) dan mendapatkan perlindungan atas pelaksanaan haknya tersebut. Pelanggaran aturan/etika oleh pimpinan perusahaan memiliki dampak negatif yang sangat besar, baik bagi perusahaan maupun pemegang saham. Oleh sebab itu perusahaan dan pemegang saham seharusnya memiliki kepentingan yang sama atas penerapan prinsip ini.



A C



Menurut OECD, di beberapa negara, peraturan perundang-undangan mendorong Dewan Komisaris untuk memberikan perlindungan kepada pihak pelapor atau whistleblower, dan memberikan akses langsung yang bersifat rahasia kepada anggota komisaris yang independen, anggota komite audit, atau komite etika. Beberapa perusahaan juga dapat mengembangkan unit yang berperan sebagai ombusman atas keluhankeluhan yang disampaikan. Beberapa regulator juga membuat jalur telepon dan email pengaduan yang bersifat rahasia. OECD menegaskan perlindungan yang sama harus diberikan baik kepada whistleblower yang merupakan institusi maupun individu. Jika mekanisme di dalam perusahaan tidak dapat memfasilitasi mekanisme whistleblowing atau penangangan tidak dilakukan dengan memadai, maka whistleblower dapat melaporkannya kepada pejabat publik yang berwenang. Perusahaan tidak boleh melakukan tindakan hukuman atau tindakan diskriminatif terhadap whistleblower.



A W S I S A E B



Pedoman Umum GCG Indonesia telah mengatur tentang whistleblower pada beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:



H I A R E P



1. Bab 1 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan Peranan Negara, disebutkan bahwa Negara didorong memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (whistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain. 2. Bab 3 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, Fungsi Pedoman Perilaku, disebutkan bahwa pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis. 3. Bab 3 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, pelaporan atas pelanggaran dan perlindungan bagi pelapor, disebutkan bahwa: a. Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan bahwa pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu; b. Setiap perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat memberikan tugas kepada komite yang membidangi pengawasan implementasi GCG. Pedoman Umum GCG Indonesia mendorong keberadaan mekanisme whistleblowing dan perlindungan terhadap whistleblower secara sukarela (voluntary) dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk menerapkannya. Namun demikian, dalam Peraturan Bapepam-LK X.K.6 disebutkan bahwa jika emiten atau perusahaan publik memiliki sistem whistleblowing, maka perusahaan wajib mengungkapkannya dalam



184



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



laporan tahunan sebagai komponen dari informasi tentang tata kelola perusahaan. Informasi tentang sistem whistleblowing yang wajib diungkapkan antara lain meliputi: (a) cara penyampaian laporan pelanggaran; (b) perlindungan bagi pelapor; (c) penanganan pengaduan; (d) pihak yang mengelola pengaduan; dan (e) hasil dari penangangan pengaduan. Saat ini belum terdapat UU yang secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi whistleblower. UU yang ada saat ini baru mengatur tentang perlindungan saksi dan korban secara umum, yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lebih lanjut, pada tahun 2011, terdapat beberapa aturan kesepakatan yang diterbitkan untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower, namun hanya untuk tindak pidana tertentu, yaitu: 1. Peraturan Bersama: (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jaksa Agung Republik Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (4) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor: (1) M.HH-11.HM.03.02.th.2011; (2) PER-045/A/JA/12/2011; (3) 1 Tahun 2011 ; (4) KEPB-02/01-55/12/2011; dan (5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. 2. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.



14.7 Peran Akuntan Profesional



A W S I S A E B



A C



Akuntan profesional dapat berperan aktif dalam mewujudkan prinsip peran pemangku kepentingan, diantaranya, namun tidak terbatas pada:



H I A R E P



1. Mendorong pengungkapan tentang pemenuhan tanggung jawab korporat. 2. Membangun sistem pengendalian internal perusahaan yang menjamin ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan, kontrak perjanjian, serta norma-norma yang berlaku. 3. Membangun sistem yang menghubungkan remunerasi karyawan dengan kinerja jangka panjang perusahaan sehingga dapat meningkatkan partisipasi karyawan dalam tata kelola perusahaan. 4. Membangun sistem informasi yang menjamin pengungkapan informasi yang tepat waktu dan andal kepada seluruh pemangku kepentingan. 5. Membangun sistem whistleblowing yang andal dan aman bagi para pihak yang menjalankan peran sebagai whistleblower dan informatif bagi pihak berwenang untuk menindaklanjuti informasi yang diperoleh. 6. Mendorong pengungkapan informasi yang relevan dan andal dalam kerangka penyelesaian kebangkrutan perusahaan, untuk melindungi para pemangku kepentingan, khususnya kreditur.



Ikatan Akuntan Indonesia



185



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



14.8 Pelaksanaan Prinsip Peran Pemangku Kepentingan di Indonesia Reviu pelaksanaan prinsip peran pemangku kepentingan di Indonesia akan menggunakan hasil penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard. Tabel 14.1 mengikhtisarkan hasil penilaian Bank Dunia yang tertuang dalam Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC) (World Bank, 2010). Tabel 14.1 ROSC: Pelaksanaan Prinsip Peran Pemangku Kepentingan di Indonesia Prinsip



Pencapaian



Keterbatasan



• Terdapat kerangka hukum yang mengatur bahwa hubung­an kerja didasarkan pada perjanjian kerja antara perusahaan (pengusaha) dan pekerja. • Terdapat kerangka hukum yang mewajibkan Dewan memastikan pemenuhan hak dan kewajiban terkait pemangku kepentingan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4.A



A W S I S A E B



• Kerangka CG mendorong Dewan untuk memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, walaupun tidak diatur secara tersurat dalam peraturan perundang-undangan.



• Dalam parktik, perusahaan taat terhadap perjanjian kerja dengan karyawan.



A C



Dalam praktik, terdapat kemung­ kinan pelanggaran terhadap pemenuhan perjanjian kerja jika perjanjian kerja tersebut memberikan beban yang berlebihan terhadap perusahaan.



• Dalam praktik, perusahaan taat terhadap perjanjian de­ngan berbagai pemangku kepentingan lainnya.



• Ketentuan hukum memungkinkan pemangku kepentingan melakukan penuntutan kepada perusahaan atas pelanggaran hak-haknya.



H I A R E P



• Ketentuan hukum telah memfasilitasi mekanisme lain, selain pengadilan, yang dapat ditempuh pemangku kepentingan dalam memperjuangkan hak-haknya.



4.B



• Ketentuan hukum memungkinkan Dewan dimintai pertanggungjawaban dan/atau dituntut secara pidana atas pelanggaran terhadap hak pemangku kepentingan yang dilakukannya. • Ketentuan hukum memungkinkan pemangku kepentingan menuntut pelanggaran atas hak memperoleh informasi yang diatur dalam peraturan per­ undang-undangan yang berlaku.



186



Ikatan Akuntan Indonesia



• Dalam praktik, tidak banyak ditemukan pemangku kepentingan yang menuntut ke pengadilan atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan terhadap hak-haknya. • Sistem pengendalian lebih birokratis, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian kasus, serta membutuhkan biaya yang tinggi. • Dalam praktik, mekanisme selain pengadilan, tidak banyak digunakan oleh para pemangku kepentingan dalam mencari keadilan. • Pedoman Umum GCG Indonesia mendorong perusahaan untuk mengembangkan whistleblowing system, namun karena pedoman ini bersifat sukarela, maka penerapannya belum banyak dilakukan.



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Prinsip



Pencapaian



Keterbatasan



• Tidak terdapat ketentuan hukum yang melarang perusahaan menghubungkan remunerasi karyawan dengan kinerja perusahaan dan dalam praktik hal ini dilakukan perusahaan, baik sebagai kebijakan perusahaan maupun termasuk dalam kontrak kerja antara perusahaan dan karyawan. • Tidak terdapat ketentuan hukum yang melarang perusahaan memberikan insentif kepada karyawan melalui pemberian saham perusahaan dan dalam praktik ditemukan beberapa perusahaan go public yang memiliki program ESOP. 4.C



• Pemberian saham kepada karyawan harus melalui persetujuan pemegang saham. • Karyawan yang memiliki saham perusahaan memperoleh hak yang sama seperti pemegang saham lainnya. • Ketentuan hukum mewajibkan pengelolaan dana pensiun dilakukan oleh pihak yang independen dari perusahaan. Pihak independen tersebut diwajibkan bertindak sesuai dengan kepentingan karyawan, menghindari konflik kepentingan, dan bertanggung jawab penuh atas kegagalan dalam melaksanakan tanggung jawabnya.



4.D



4.E



A W S I S A E B



Ketentuan hukum mendorong perusahaan mengungkapkan informasi material kepada para pemangku kepentingan.



H I A R E P



• Ketentuan hukum telah mengatur tentang hak masing-masing kelompok kreditur pada saat perusahaan mengalami kebangkrutan. • Ketentuan hukum telah mengatur tentang restrukturisasi utang. 4.F



• Ketentuan hukum telah semakin baik berupaya agar penyelesaian restrukturisasi dan likuidasi dilakukan dalam waktu yang lebih cepat dan tidak berbiaya tinggi. • Dalam praktik, kreditur berpartisipasi dalam proses restrukturisasi perusahaan bermasalah. • Dalam praktik, kreditur juga dapat menyita jaminan atas pinjaman yang dilakukan perusahaan.



A C



Peran serta kreditur dalam tata kelola masih terbatas, misalnya ditunjukkan oleh ketentuan yang hanya mewajibkan pelaksanaan rapat tahunan kreditur pada perusahaan yang mengalami financial distress. • Tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan perusahaan memiliki sistem whistleblowing (kewajiban untuk memiliki kebijakan yang melindungi karyawan yang berperan sebagai whistleblower atas tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Dewan dan/atau manajemen puncak) • Walaupun terdapat ketentuan hukum yang melindungi korban dan saksi, serta terdapat perlindungan tambahan untuk pelapor kasus korupsi dan pencucian uang, namun belum terdapat ketentuan hukum yang mengatur khusus tentang whistleblower.



Berdasarkan Strength of Legal Rights Index yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia masih termasuk negara dengan hak hukum kreditur yang lemah. Indonesia mendapatkan skor 5 dari skala 0-10. (http://data. worldbank.org)



Ikatan Akuntan Indonesia



187



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Hasil lain dari penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard (2012-2013) menunjukkan rerata skor penerapan prinsip OECD ke-4 pada perusahaan Indonesia adalah 52,2 pada tahun 2012 dan 58,5 pada tahun 2013. Dibandingkan prinsip lain, dispersi skor penerapan prinsip ke-4 ini juga sangat lebar. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan secara ekstensif mengungkapkan kebijakan dan program terkait pemangku kepentingannya, sedangkan beberapa perusahaan lainnya justru sangat sedikit mengungkapkan informasi yang sama dalam laporan tahunan atau website perusahaannya. Temuan ini merupakan catatan penting bagi regulator, mengingat UU PT dan peraturan OJK mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunannya. IICD-ASEAN CG Scorecard mengidentifikasi beberapa praktik tanggung jawab sosial perusahaan yang lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan go public di Indonesia, yaitu: 1. 2. 3. 4.



Kebijakan dan aktivitas terkait interaksi dengan komunitas; Kebijakan terkait kesehatan, keamanan, dan kemakmuran karyawan; Kebijakan terkait program pelatihan dan pengembangan karyawan; dan Pengungkapan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan sebagai salah satu bagian dalam laporan tahunan perusahaan.



A W S I S A E B



A C



IICD-ASEAN CG Scorecard juga mengidentifikasi beberapa tanggung jawab sosial perusahaan yang belum banyak dilakukan perusahaan-perusahaan go public di Indonesia, yaitu: 1. Kebijakan dan aktivitas dalam proses seleksi pemasok; 2. Kebijakan dan aktivitas anti korupsi; dan 3. Mekanisme whistle-blowing. ASEAN CG Scorecard



Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian praktik CG untuk prinsip peran pemangku kepentingan di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard:



H I A R E P



Tabel 14.2 ASEAN CG Scorecard: Peran Pemangku Kepentingan



No. 1



Item Penilaian



Kriteria Penilaian



Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan Apakah perusahaan mengungkapkan kebijakan yang: Menjelaskan keberadaan dan ruang lingkup upaya perusahaan untuk menangani aspek kesehatan dan keselamatan pelanggan



Ya: 1 Tidak: 0



Menjelaskan praktik seleksi pemasok?



Ya: 1 Tidak: 0



1.3



Menjelaskan upaya perusahaan untuk menjamin bahwa proses bisnis perusahaan bersifat ramah lingkungan atau konsisten dengan upaya pembangunan berkelanjutan?



Ya: 1 Tidak: 0



1.4



Menjelaskan upaya perusahaan dalam membangun interaksi dengan komunitas di sekitar perusahaan beroperasi?



Ya: 1 Tidak: 0



1.5



Mengatur tentang program dan prosedur anti-korupsi yang dimiliki perusahaan?



Ya: 1 Tidak: 0



1.6



Menjelaskan perlindungan terhadap hak-hak kreditur?



Ya: 1 Tidak: 0



1.1 1.2



Apakah perusahaan mengungkapan aktivitas yang telah dilakukan dalam rangka mengimplementasikan kebijakan di atas?



188



Ikatan Akuntan Indonesia



Berlanjut...



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



...Lanjutan No.



Item Penilaian



Kriteria Penilaian



1.7



Kesehatan dan keselamatan pelanggan



Ya: 1 Tidak: 0



1.8



Kriteria dan proses seleksi pemasok



Ya: 1 Tidak: 0



1.9



Proses bisnis yang ramah lingkungan



Ya: 1 Tidak: 0



1.10



Interaksi dengan komunitas



Ya: 1 Tidak: 0



1.11



Program dan prosedur anti korupsi



Ya: 1 Tidak: 0



1.12



Hak-hak kreditur



1.13



Apakah perusahaan memiliki laporan tanggung jawab sosial tersendiri atau laporan keberlanjutan tersendiri?



2



Ketika kepentingan pemangku kepentingan dilindungi oleh hukum, pemangku kepentingan memiliki kesempatan untuk melakukan penuntutan terhadap pelanggaran atas hak-haknya



2.1



Apakah perusahaan menyediakan informasi tentang jalur pengaduan (pihak yang dapat dihubungi) di halaman website atau laporan tahunan perusahaan, yang dapat digunakan oleh pemangku kepentingan untuk menyampaikan pendapat dan/atau keluhan atas kemungkinan pelanggaran hak-hak mereka?



3



Mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi pekerja dimungkinkan untuk dikembangkan



3.1



Apakah perusahaan secara eksplisit mengungkapkan kebijakan terkait kesehatan, keselamatan kerja, serta kesejahteraan karyawannya?



Ya: 1 Tidak: 0



Apakah perusahaan mempublikasikan data terkait kesehatan, keselamatan kerja, serta kesejahteraan karyawannya?



H I A R E P



Ya: 1 Tidak: 0



Apakah perusahaan memiliki program pelatihan dan pengembangan untuk karyawannya?



Ya: 1 Tidak: 0



Apakah perusahaan mempublikasikan data tentang program pelatihan dan pengembangan untuk karyawannya?



Ya: 1 Tidak: 0



Apakah kebijakan remunerasi/kompensasi perusahaan mempertimbangkan ukuran kinerja keuangan perusahaan selain yang bersifat jangka pendek?



Ya: 1 Tidak: 0



3.2 3.3 3.4 3.5



4



A C Ya: 1 Tidak: 0



A W S I S A E B



Ya: 1 Tidak: 0



Ya: 1 Tidak: 0



Pemangku kepentingan, termasuk karyawan individu dan lembaga yang mewakilinya, dapat secara bebas mengkomunikasikan kemungkinan tindakan pelanggaran aturan/ etika kepada dewan komisaris dan mendapatkan perlindungan atas pelaksanaan haknya tersebut



4.1



Apakah perusahaan memiliki prosedur untuk mengakomodasi laporan karyawan atas dugaan tindakan yang melanggar ketentuan hukum (termasuk korupsi) dan tindakan tidak etis?



Ya: 1 Tidak: 0



4.2



Apakah perusahaan memiliki kebijakan atau prosedur untuk melindungi karyawan/orang yang melaporkan tindakan pelanggaran hukum atau tindakan tidak etis dari ancaman?



Ya: 1 Tidak: 0



Ikatan Akuntan Indonesia



189



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Selain unsur penilaian di atas, terdapat juga unsur penalti sebagai berikut: Tabel 14.3 ASEAN CG Scorecard: Peran Pemangku Kepentingan - Penalti No. 1



Item Penilaian Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan



1.1



Apakah pernah terdapat pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan terkait pekerja/ketenagakerjaan/ pelanggan/kebangkrutan/komersial/kompetisi atau lingkungan?



2



Ketika pemangku kepentingan berpartisipasi dalam proses tata kelola, pemangku kepentingan tersebut memiliki akses terhadap informasi yang relevan, memadai, dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan reguler



2.1



Apakah perusahaan pernah memperoleh sanksi dari regulator karena kegagalan perusahaan dalam mengumumkan informasi atas kejadian material pada rentang periode yang diwajibkan?







H I A R E P



190



Kriteria Penilaian



Ikatan Akuntan Indonesia



Ya: Pengurangan nilai Tidak: 0



A C



Ya: Pengurangan nilai Tidak: 0



A W S I S A E B



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi 1. ACMF, ASEAN Corporate governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/ upload/asean_ cg_scorecard.pdf 2. ACMF-ADB, ASEAN Corporate governance Scorecard: Country Report and Assessments 20122013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-andassessments-2012-2013 3. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate governance Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006 id.pdf. 4. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernance principles/31557724. pdf. 5. Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja 6. Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan 7. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan kepada Publik. 8. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentangKewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. 9. Peraturan Bersama: (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jasa Agung Republik Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (4) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor: (1) M.HH-11.HM.03.02.th.2011; (2) PER-045/A/JA/12/2011; (3) 1 Tahun 2011 ; (4) KEPB-02/01-55/12/2011; dan (5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. 10. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. 11. Undang-Undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun 12. Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal 13. Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat 14. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 15. Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 16. Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 17. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Revisi atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 18. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 19. Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 20. Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 21. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 22. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 23. Utama, S., 2010, An evaluation of support infrastructures on corporate responsibility reporting in Indonesia, Asia Business & Management Vol 10 No. 3, 405-424. 24. World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www. worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf. 25. World Bank, Strength of Legal Rights Index, http://data.worldbank.org/indicator/IC.LGL. CRED.XQ



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



191



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



192



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



A W S I STUDI KASUS AS E B H I A R E P



Chartered Accountant Indonesia



A C



MODUL Ikatan Akuntan Indonesia



193



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



KASUS



SATYAM1 Latar Belakang



Kasus penipuan terbesar di India adalah kasus Satyam Computer Services (Satyam) (Bhasin, 2013). Satyam adalah perusahaan pengekspor jasa perangkat lunak keempat terbesar, dengan operasi menyebar di 68 negara. Kasus yang oleh media India diberi nama “India’s Enron” (Basilico et al., 2012; Bhasin, 2013), tersebut meliputi penipuan (fraud) dan manipulasi laporan keuangan selama periode 10 tahun. Ironisnya, Satyam berarti “truth” dalam bahasa India kuno “Sanskrit” (Basilico et al., 2012). Satyam bahkan pernah memenangkan “Golden Peacock Award” untuk the best governed company di tahun 2008 (Basilico et al., 2012; Behan, 2009).



A W S I S A E B



A C



Kasus penipuan di Satyam tersebut terutama dilakukan oleh chairman perusahaan tersebut, yaitu Ramalinga Raju (Raju). Mr. Ramalinga Raju (Chairman dan Pendiri Satyam), yang telah ditangkap dan mengaku melakukan penipuan sebesar $1.47 billion (atau Rs. 7,800 crore). Raju dan saudaranya, B. Rama Raju, yang merupakan Managing Director menyembunyikan penipuan tersebut dari dewan, manajer senior, dan auditor perusahaan.



Sejarah Satyam



Satyam Computer Services Limited adalah perusahaan yang sedang ‘naik daun” dalam industri ‘outsourced’ IT-services di India. Satyam didirikan tahun 1987 di Hyderabad (India) oleh Ramalinga Raju (Sharma, 2011). Pada awal berdirinya perusahaan tersebut hanya mempunyai 20 pegawai dan kemudian berkembang pesat sebagai perusahaan global. Satyam menawarkan jasa outsourcing teknologi informasi (TI) dan proses bisnis untuk berbagai sektor industri (Bhasin, 2013).



H I A R E P



Pada tahun 2004, bisnis jasa TI Satyam mencakup 13,120 orang teknisi yang melayani 300 pelanggan di seluruh dunia. Pada saat itu, pasar jasa TI di seluruh dunia diestimasi sekitar $400 billion, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sekitar 6.4%. Untuk dapat bersaing secara kompetitif, baik dengan pesaing domestik dan global, perusahaan melakukan berbagai strategi pertumbuhan (Bhasin, 2013).



Manipulasi Laporan Keuangan



Dalam laporan keuangannya, Satyam melaporkan kinerja yang sangat baik dalam semua parameter operasi (dapat dilihat di Tabel 1). Tabel 1. Kinerja Operasi Satyam (Rs. dalam juta) Kinerja



2003-04



2004-05



2005-06



2006-07



2007-08



Average Growth Rate (%)



Penjualan Bersih



25,415,4



34,642,2



46,343,1



62,284,7



81,372,8



38



Laba Operasi



7,743



9,717



15,714,2



17,107,3



20,857,4



28



Laba Bersih



5,557,9



7,502,6



12,397,5



14,232,3



17,157,4



33



Arus Kas Operasi



4,165,5



6,386,6



7,868,1



10,390,6



13,708,7



35



ROCE (%)



27,95



29,85



31,34



31,18



29,57



30



ROE (%)



23,57



25,88



26,85



28,14



26,12



26



Sumber: www.geogit.com (Bhasin, 2013) 1 Penjelasan dalam kasus ini memberikan pengantar dan tinjauan terhadap kasus. Untuk dapat menjawab pertanyaan dalam kasus ini peserta didik agar membaca referensi yang diberikan serta mencari dan membaca literatur lain yang relevan.



194



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Selama periode 2003-2008, hampir semua ukuran keuangan yang menjadi perhatian investor menunjukkan perusahaan mengalami pertumbuhan yang pesat. Satyam menghasilkan total pendapatan Rs. 25,415.4 juta pada tahun 2003-04. Pada bulan Maret 2008, pendapatan perusahaan bertumbuh lebih dari 3 kali lipat, dengan rata-rata pertumbuhan 38%. Rata-rata tingkat pertumbuhan laba operasi, laba bersih, dan arus kas operasi perusahaan masing-masing adalah 28%, 33%, dan 35%. Laba per saham perusahaan juga memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 40%. Harga saham perusahaan awalnya di bulan Januari 2003 adalah sebesar 138,08 INR meningkat tajam menjadi 526,25 INR, yaitu peningkatan 300% dalam periode 5 tahun (www. capitaliq.com, dalam Bhasin, 2013). Berdasarkan data-data tersebut, Satyam menunjukkan pertumbuhan perusahaan dan nilai pemegang saham yang signifikan. Namun, angka-angka dalam laporan keuangan tersebut tidak menunjukkan kondisi Satyam yang sesungguhnya (Bhasin, 2013). Pada tanggal 7 Januari 2009, Raju menyampaikan surat ke Board of Directors2 dari Satyam yang menyatakan bahwa ia telah memanipulasi angka-angka di laporan keuangan selama bertahun-tahun. Raju menyatakan bahwa ia telah menyebabkan aset di neraca Satyam dicatat lebih (overstated) sebesar $1.47 billion. Sejumlah $1.04 billion dari utang bank dan kas sebenarnya tidak ada. Satyam juga mencatat kurang liabilitas di dalam neraca. Satyam mencatat lebih laba hampir di setiap kuartal selama beberapa tahun untuk memenuhi ekspektasi analis (Bhasin, 2013).



A W S I S A E B



Tabel 2 Neraca dan Laporan Laba Rugi Satyam per 30 September 2008 (Rs. dalam crore) Aktual Saldo Kas dan Bank Bunga diakru atas deposito bank Liabilitas disajikan lebih rendah Piutang disajikan lebih tinggi Total Pendapatan



H I A R E P



Laba Operasi Sumber: Bhasin (2013)



Dilaporkan



A C



Selisih



321



5.361



5.040



Nil



376



376



1.230



None



1.230



2.161



2.651



490



2.112



2.700



588



61



649



588



Perbedaan yang timbul antara laba operasi aktual dan laba yang dicatat di laporan keuangan akibat manipulasi yang dilakukan telah bertambah selama bertahun-tahun. Perbedaan tersebut menjadi sulit untuk dikelola perusahaan. Raju menjelaskan bahwa berbagai upaya untuk menghilangkan perbedaan tersebut tidak berhasil dan akuisisi Maytas merupakan upaya terakhir untuk mengganti aset fiktif dengan aset riil (Sharma, 2011). Tetapi investor beranggapan upaya tersebut merupakan upaya untuk mengalirkan kas keluar dari Satyam, yang mana keluarga Raju hanya mempunyai kepemilikan sedikit, ke perusahaan yang dikendalikan oleh Raju dan keluarganya (Bhasin, 2013).



Peranan Dewan



Satyam memenangkan berbagai penghargaan untuk inovasi, tata kelola, dan akuntabilitas perusahaan. Di tahun 2007, Ernst & Young menganugerahi Raju dengan penghargaan with ‘Entrepreneur of the Year’ (Rishi and Singh, 2011). Pada bulan April tahun 2008 Satyam memenangkan penghargaan dari MZ Consult sebagai ‘leader in India in CG and accountability’ (Bhasin, 2013). Di tahun yang sama, di bulan September the World Council for Corporate governance yang berbasis di London menganugerahi Satyam ‘Global Peacock Award’ untuk akuntabilitas perusahaan yang global excellence (Behan, 2009; Rishi and Singh, 2011). Namun, kurang dari 5 bulan setelah penganugerahan tersebut, Satyam diketahui melakukan penipuan akuntansi. 2 India menganut struktur single board, i.e., dewan hanya ada satu yaitu Board of Directors yang bertugas melakukan pengawasan terhadap tim eksekutif serta pengambilan keputusan strategis.



Ikatan Akuntan Indonesia



195



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Pada tanggal 7 Januari 2009, Ramalinga Raju mengajukan pengunduran diri setelah menginformasikan anggota board dan Securities and Exchange Board of India (SEBI) bahwa laporan keuangan Satyam telah dimanipulasi. Raju dan kepala internal audit global menggunakan berbagai teknik untuk melakukan penipuan tersebut. Raju menciptakan berbagai rekening koran untuk melakukan penipuan. Ia memanipulasi akun bank untuk menambah nilai kas di neraca. Ia juga memanipulasi laporan laba rugi dengan mencatat pendapatan bunga dari akun bank palsu tersebut. Raju juga mengungkapkan bahwa ia membuat 6,000 akun gaji palsu selama beberapa tahun dan menggelapkan uang tersebut setelah disetor perusahaan. Kepala internal audit global perusahaan membuat identitas pelanggan palsu dan membuat tagihan palsu untuk pelanggan palsu tersebut untuk meningkatkan total pendapatan perusahaan. Ia juga memalsukan persetujuan board untuk mendapatkan pinjaman atas nama perusahaan. Selain itu, terdapat indikasi bahwa kas yang diperoleh perusahaan melalui pendaftaran saham perusahaan melalui American Depository Receipts di Amerika Serikat tidak pernah tercatat di dalam neraca (Bhasin, 2013).



A C



Satyam semula berniat untuk mengakuisisi saham di Maytas Infrastructure Limited. Pada tanggal 16 Desember 2008, Board of Directors Satyam, termasuk 5 independent directors, telah menyetujui proposal untuk membeli 51% saham di Maytas Infrastructure (perusahaan di bidang pengembangan infrastruktur, konstruksi, dan manajemen proyek) senilai $300 juta dan semua saham Maytas Properties (perusahaan investasi real estat) senilai $1.6 juta. Raju memiliki 37% kepemilikan di Maytas Infrastructure dan 35% kepemilikan di Maytas Properties (seluruh saham dimiliki anggota keluarga Raju). Tanpa menunggu persetujuan pemegang saham, Board of Directors menyetujui keputusan manajemen (Bhasin, 2013).



A W S I S A E B



Keputusan untuk melakukan akuisisi tersebut kemudian dibatalkan 12 jam kemudian, setelah investor menjual saham Satyam dan mengancam akan menuntut manajemen perusahaan. Hal ini kemudian diikuti dengan tuntutan hukum di Amerika Serikat terkait dengan keputusan akuisisi Maytas tersebut. Investment bank DSP Merrill Lynch, yang ditunjuk Satyam untuk mencari partner atau pembeli untuk perusahaan, akhirnya melaporkan perusahaan (blew the whistle) dan menghentikan perikatannya dengan perusahaan segera setelah mereka menemukan adanya kejanggalan keuangan (Bhasin, 2013).



H I A R E P



Behan (2009) menyampaikan sejumlah praktik board governance di Satyam:



1. Komposisi Dewan Dari 6 orang non executive board, empat diantaranya adalah akademisi, satu orang adalah mantan sekretaris kabinet dari pemerintah India, dan satu orang yang merupakan mantan CEO dari perusahaan teknologi. Dua dari independent directors Satyam mempunyai jabatan sebagai anggota board dalam 8 perusahaan lain. 2. Independensi Dewan UU Perseroan di India mengharuskan sepertiga dari board of directors harus independen, tetapi perusahaan mempunyai diskresi untuk menunjuk independent directors tersebut. (Kunal, 2011). Satyam menyebutkan bahwa lima dari 9 directors di perusahaannya adalah independent directors. Salah satu independent directors Satyam adalah Profesor dari Harvard Business School yaitu Krishna Palepu, yang menerima pembayaran sebesar $200,000 dalam setahun terkait dengan jasa profesional yang diberikannya ke perusahaan. Dalam kasus Satyam, independent directors ditunjuk oleh pihak yang paling terlibat dalam kasus tersebut (Kunal, 2011). Posisi chairman dan CEO di Satyam dipegang dua orang yang berbeda, namun keduanya adalah saudara (yaitu Ramalinga Raju dan B. Rama Raju). Selain itu, non-management directors juga tidak melakukan pertemuan secara berkala dengan management directors.



196



Tujuh dari semibilan directors yang hadir dalam rapat board pada saat pengambilan keputusan secara bulat untuk mengakuisisi Maytas Infra dan Maytas Properties. Dua directors yang tidak berpartisipasi



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



dalam pengambilan keputusan tersebut adalah pendiri perusahaan (Ramalingga Raju dan B. Rama Raju), karena peraturan yang ada hanya memperbolehkan directors yang tidak memiliki benturan kepentingan yang dapat ikut dalam pengambilan keputusan. Hal ini menimbulkan kecurigaan atas peranan dari independent directors yang hadir dalam rapat tersebut. Independent directors seharusnya juga mempertanyakan mengapa perusahaan mempunyai saldo kas yang sangat besar (sebagaimana disajikan dalam laporan keuangan perusahaan yang dimanipulasi). 3. Komite Dewan Pada bulan Agustus 2008, Satyam mengakui bahwa mereka tidak memiliki anggota komite audit yang ahli keuangan, sebagaimana diharuskan dalam aturan regulator pasar modal di Amerika Serikat. Peranan komite audit adalah memastikan transparansi di perusahaan, laporan keuangan dan pengungkapan keuangan memberikan informasi yang tepat, memadai, dan dipercaya, dan meminimalisir kasus penipuan, iregularitas, dan kegagalan pengendalian internal dalam perusahaan. Namun dalam kasus Satyam, komite auditnya gagal menjalankan fungsi tersebut (Sharma, 2011).



A C



Satyam juga tidak mempunyai Nominating/Corporate governance Committee. Struktur dewan di Satyam justru memiliki satu komite yang jarang dimiliki perusahaan lain, yaitu “Investors’ Grievance Committee” (Behan, 2009).



Peran Auditor Eksternal



A W S I S A E B



Kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit laporan keuangan Satyam dari Juni 2000 sampai dengan ditemukannya penipuan tersebut di tahun 2009. Banyak pihak mengkritik PwC karena tidak dapat mendeteksi penipuan tersebut. Salah satu pos yang menjadi perhatian adalah $1.04 milyar yang diklaim Satyam dalam neracanya sebagai deposito tanpa bunga. Perusahaan yang logis seharusnya tidak akan pernah menginvestasikan uangnya di dalam sekuritas yang tidak memberikan imbal hasil. Hal tersebut harusnya menjadi perhatian auditor. Selain itu, penipuan yang dilakukan Satyam telah berlangsung selama bertahun-tahun dan melibatkan akun di neraca dan laporan laba rugi. PwC telah mengaudit perusahaan tersebut selama hampir 9 tahun dan tidak menemukan penipuan tersebut, sedangkan Merrill Lynch menemukan adanya penipuan tersebut sebagai bagian dari due diligence hanya dalam waktu 10 hari (Bhasin, 2013).



H I A R E P



PwC awalnya menyatakan bahwa mereka telah melakukan audit sesuai dengan standar auditing yang berlaku (Bhasin, 2012). Seminggu setelah pengakuan Raju, auditor Satyam akhirnya mengakui bahwa laporan audit mereka salah karena berdasarkan laporan keuangan yang salah yang diberikan oleh Satyam (Sharma, 2011). Berdasarkan hasil investigasi Serious Fraud Investigation Office (SFIO), peran PwC dalam kasus Satyam mirip dengan peran Arthur Anderson dalam kasus Enron. Partner PwC, S Goplakrishnan and S Talluri, menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya kasus penipuan yang dilakukan perusahaan. Namun laporan SFIO menyatakan bawah auditor tidak menggunakan mekanisme pengujian yang independen, namun menggunakan alat investigasi Satyam. PwC juga tidak melaporkan ke pemegang saham adanya kelemahan pengendalian dalam Sistem Informasi dan eksposur risiko dari penipuan, walaupun mereka sudah mengobservasi adanya kelemahan pengendalian tersebut (Sharma, 2011). Kepala internal audit Satam, VSP Gupta, juga menyatakan bahwa walaupun cakupan sumber daya internal audit Satyam tidak memadai untuk ukuran bisnis perusahaan, PwC mengabaikan fakta tersebut dan tetap memberikan sertifikasi atas perusahaan. PwC bahkan tidak melakukan pengujian 1% dari seluruh invoice dan juga tidak melakukan verifikasi yang memadai atas piutang. PwC juga tidak melakukan tugasnya dengan baik dalam memverifikasi saldo kas dan bank. Seharusnya, jika perusahaan mengklaim mempunyai saldo kas dan bank dengan jumlah tertentu, auditor harus melakukan pengecekan atas saldo tersebut dan juga pengecekan atas mekanisme pengendalian internal. Auditor tidak dapat hanya mengandalkan catatan yang dibuat perusahaan (Sharma, 2011).



Ikatan Akuntan Indonesia



197



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Hal lain yang juga menjadi sorotan dalam investigasi atas auditor adalah antara tahun 2003- 2008, audit fee yang dibayarkan Satyam ke PwC mengalami peningkatan tiga kali lipat. Audit fee ini jauh lebih tinggi dari audit fee yang dibayarkan perusahaan lain yang sejenis, seperti TCS, Infosys, Wipro, ke auditor mereka Laporan SFIO juga menyebutkan bahwa PwC melakukan outsourcing fungsi audit ke KAP lain (Lovelock and Lewis), tanpa persetujuan dari Satyam (Sharma, 2011).



Proses Hukum



Otoritas di India segera melakukan investigasi setelah kasus penipuan tersebut terungkap. Otoritas India menangkap Raju dan saudaranya (B. Ramu Raju, mantan managing director), Srinivas Vdlamani (kepala internal audit), dan juga Direktur Keuangan (Srinivas Vadlamani) dengan tuntutan melakukan penipuan. Otoritas India juga menangkap dan mengajukan tuntutan atas beberapa auditor perusahaan (PwC) (Senior partner S Gopalakrishnan dan Srinivas Talluri) dengan tuntutan terlibat dalam penipuan (Sharma, 2011).



A C



Adanya kasus Satyam tersebut dan peran dari PwC dalam kasus tersebut menyebabkan investor juga khawatir dengan klien-klien yang diaudit PwC, yang mengakibatkan penurunan harga saham dari sekitar 100 klien PwC, yang bervariasi antara 5-15% (Bhasin, 2013).



Kejadian Setelahnya



A W S I S A E B



Segera setelah berita penipuan yang dilakukan Satyam, Merrill Lynch memutuskan perikatannya dengan Satyam dan PwC mendapat perhatian dari banyak pihak serta ijin operasinya dicabut. Harga saham Satyam mengalami penurunan signifikan, yang mengakibatkan kerugian besar bagi investor. Raju didakwa melakukan tindakan kriminal, termasuk konspirasi kriminal, melanggar kepercayaan, dan pemalsuan (Bhasin, 2013). Pemerintah India mengambil beberapa tindakan untuk menyelamatkan perusahaan agar tidak mengalami nasib yang sama seperti Enron dan WorldCom. Pemerintah menunjuk board of directors baru yang mengusahakan perusahaan dapat stabil dan mengembalikan kepercayaan berbagai pihak pada perusahaan sehingga perusahaan dapat dijual dalam waktu 100 hari. Beberapa perusahaan akhirnya ada yang mengajukan penawaran untuk membeli perusahaan pada tanggal 13 April 2009, dengan perusahaan pemenangnya adalah Tech Mahindra, yang membeli Satyam dengan harga $1.13 per lembar, kurang dari sepertiga harga saham Satyam sebelum Raju mengungkapkan penipuan tersebut (Bhasin, 2013).



H I A R E P



Pertanyaan: 1. 2. 3. 4.



198



Jelaskan mekanisme yang digunakan Raju untuk memanipulasi laba selama bertahun-tahun. Menurut Anda, apa permasalahan dari pekerjaan audit yang dilakukan PwC di Satyam? Lakukan analisis pelaksanaan prinsip Pengungkapan dan Transparansi di Satyam. Lakukan analisis pelaksanaan prinsip Tanggungjawab Dewan di Satyam, termasuk di dalamnya komposisi dewan, pelaksanaan tugas dewan, peran komite audit peran direktur keuangan, unit internal audit, dan akuntan internal terhadap penipuan yang dilakukan Satyam.



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi2 1. Basilico, E., Grove, H, and Patelli, L. 2012. Asia’s Enron: Satyam (Sanskrit word for truth), Journal of Forensic & Investigative Accounting, Vol. 4, No. 2, 142-160. 2. Behan, B. 2009. Governance Lessons from India’s Satyam. Business Week. http://www.businessweek. com/stories/2009-01-16/governance-lessons-from-indias-satyambusinessweek-business-news-stockmarket-and-financial-advice, diakses tanggal 28 April 2014. 3. Bhasin, M. 2012. Corporate Accounting Frauds: A Case Study of Satyam Computers Limited International Journal of Contemporary Business Studies, Vol. 3, No. 10, 16-42. 4. Bhasin, M. 2013. Corporate Accounting Scandal At Satyam: A Case Study Of India’s Enron. European Journal of Business and Social Sciences, 1 (12), 25-47. http://www.ejbss.com/recent.aspx. 5. Kunal, K. 2011. Satyam Fiasco: A Failure Of Corporate governance. http://ssrn.com/abstract=1969172. 6. Rishi, M. and A. Singh. 2011. Corporate governance and International Best Practices: The Case Of Satyam. Journal of Services Research, 11 (1), 121-142. 7. Sharma, J.P. 2011. What Went Wrong With Satyam?. http://www.iodonline.com/Articles/Inst%20 of%20Directors-WCFCG%20Global%20Covention-Paper%20Prof%20J%20P%20Sharma-What%20 Went%20Wrong%20With%20Satyam%20new.pdf



H I A R E P



2 pustaka.



A W S I S A E B



A C



Dalam mengerjakan kasus, peserta didik diharapkan mencari dan menggunakan literatur tambahan selain yang tercantum di daftar



Ikatan Akuntan Indonesia



199



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



KASUS



PT SUMALINDO LESTARI TBK1 Profil Singkat



Berikut ini profil singkat PT Sumalindo Lestari Tbk. (SULI) yang diikhtisarkan dari Laporan Tahunan SULI 2012: 1. SULI didirikan pada tahun 1980. SULI bergerak di bidang kehutanan dan industri perkayuan. Pada awal pendiriannya, SULI mengelola 1 areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 132.000 ha dan pabrik kayu lapis dengan kapasitas produksi 66.000 m3/tahun. 2. Pada rentang waktu 1980 s.d. 1990an, SULI melakukan beberapa penggabungan usaha sehingga memperoleh tambahan areal hutam alam seluas 260.000 ha. Kapasitas produksi kayu lapis dan kayu lapis olahan juga meningkatkan menjadi 190.000 m3/tahun. Pada akhir tahun 1980-an, SULI juga mulai melakukan diversifikasi usaha dengan mengembangkan bidang hutan tanaman. 3. Pada tahun 1994 SULI melakukan penawaran umum 25 juta saham biasa atas nama masyarakat dan mencatatkan seluruh saham yang telah dikeluarkan di Bursa Efek Jakarta atau sekarang dikenal sebagai Bursa Efek Indonesia (BEI). Dana yang diperoleh dari penawaran umum ini digunakan untuk membiayai investasi pembangunan industri Medium Density Fiberboard (MDF) dengan kapasitas produksi 100.000 m3/tahun serta untuk membiayai pengembangan hutan tanaman Perseroan dan anak Perseroan. SULI kembali melakukan penawaran umum terbatas pada tahun 1998 dalam rangka penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu dengan menawarkan 343.750.000 saham. Dana yang dihasilkan digunakan untuk mengakuisisi seluruh saham yang ditempatkan dan disetor di PT Suryaraya Wahana yaitu perseroan yang memiliki investasi di bidang industri MDF berkapasitas 100.000 m3/ tahun. 4. Pada tahun 2002 terjadi peralihan pemilik mayoritas dari PT Astra International Tbk yang menguasai 75% saham perusahaan ke PT Sumber Graha Sejahtera (PT SGS). 5. Selama periode tahun 2002 s.d. 2010 SULI melakukan dua kali penawaran umum terbatas. Selama periode tersebut SULI juga melakukan pengembangan kapasitas produksi, memperoleh tambahan izin pengelolaan hutan alam dari pemerintah, melakukan penggabungan usaha dan akuisisi, serta melakukan divestasi pada salah satu anak perusahaannya.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikhtisar Data Keuangan



Berikut ikhtisar data keuangan SULI lima tahun terakhir: Tabel 1. Ikhtisar Data Keuangan SULI: 2009 s.d. 2013 (dalam juta Rupiah) Keterangan



2013*



2012*



2011**



2010**



2009**



Kas dan Bank



17.332



21.290



7.403



11.527



37.717



Piutang Usaha dan Piutang Lain-lain



54.084



72.123



49.385



54.868



108.063



Persediaan - Bersih



134.294



106.245



187.224



196.763



208.357



Aset Lancar



244.245



494.039



312.598



381.203



467.966



Aset tidak Lancar



696.896



934.740



1.382.421



1.574.333



1.541.570



Jumlah Aset



941.141



1.428.779



1.695.019



1.955.536



2.009.536



1 Penjelasan dalam kasus ini memberikan pengantar dan tinjauan terhadap kasus. Untuk dapat menjawab pertanyaan dalam kasus ini peserta didik agar membaca referensi yang diberikan serta mencari dan membaca literatur lain yang relevan.



200



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Utang Bank Jangka Pendek



-



161.027



217.087



221.059



264.024



98.114



95.294



117.013



141.225



189.926



Kewajiban Jangka Panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun



577.176



631.579



736.736



361.442



254.714



Kewajiban Lancar



845.368



1.324.673



1.467.638



979.524.00



924.677



Kewajiban tidak Lancar



467.769



150.523



186.411



620.191



810.786



Jumlah Kewajiban dan Ekuitas



941.141



1.428.779



1.695.019



1.955.536



2.009.536



Pendapatan Usaha



177.698



303.056



408.729



592.238



667.300



Laba (rugi) Kotor



29.433



8.509



(42.181)



(37.992)



(112.791)



Laba (rugi) usaha



(70.440)



(222.448)



(206.128)



(127.320)



(201.215)



Beban Keuangan



(224.426)



(120.254)



(76.811)



(73.737)



(90.940)



Laba (rugi) sebelum manfaat (beban) pajak tangguhan



(290.995)



(116.954)



(306.357)



(36.917)



(82.491)



(35.354)



(32.598)



(8.493)



38.611



(17.462)



(325.579)



(150.684)



(314.850)



1.694



(99.953)



Utang Usaha



Manfaat (beban) Pajak Laba (rugi) Bersih



A W S I S A E B



Sumber:*) Laporan Keuangan Tahun 2013; **) Laporan Tahunan 2011



A C



Dalam Laporan Tahunan 2010, 2011, dan 2012, manajemen perusahaan menjelaskan bahwa penurunan kinerja perusahaan disebabkan oleh penurunan volume penjualan MDF setiap tahunnya, baik untuk pasar pasar ekspor, maupun pasar domestik. Penurunan kinerja industri MDF ini terbanyak disebabkan oleh minimnya modal kerja Perseroan yang mengakibatkan berkurangnya suplai bahan baku kayu baik yang berasal dari internal maupun yang dibeli dari pihak luar. Sehingga manajemen mengambil kebijakan menghentikan mesin produksi MDF. Perusahaan juga menyebutkan cuaca yang tidak menentu sebagai faktor yang mempengaruhi kinerja operasional hutan alam dan hutan tanaman. Penurunan kinerja keuangan tersebut juga menyebabkan SULI tidak dapat memenuhi utang yang jatuh tempo. Proses restrukturisasi utang yang belum berhasil dilakukan juga menghambat upaya perusahaan memperoleh modal kerja untuk memperbaiki kinerja operasional dan keuangan perusahaan. Rencana divestasi sebagaian saham di PT Kalimantan Powerindo (KP) yang diharapkan dapat menjadi sumber dana modal kerja tidak dapat direalisasikan karena tidak terjadinya kesepakatan antara PT Bank CIMB-Niaga selaku kreditor KP dengan PT Bangun Daya Persada (BDP) selaku calon investor KP.



H I A R E P



Sengketa Pemegang Saham Pengendali dan Pemegang Saham Publik2 Pada tahun 2011, pemegang saham publik, atas nama Imani United Pte. Ltd dan Deddy Hartawan Jamin, pemegang 13,78% saham perusahaan, mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Permohonan pemeriksaan ini diduga disebabkan oleh penurunan kinerja perusahaan selama beberapa tahun terakhir yang tidak mencerminkan kapasitas perusahaan. Dalam laporan tahunan perusahaan tahun 2012, disebutkan perusahaan menguasai lebih dari 840 ribu ha hutan lama dan 73 ribu ha hutan tanaman industri. Dengan kapasitas produksi kayu lapis hingga 1,1 juta m3/tahun, perusahaan menguasai lebih dari 30% pasar Indonesia dan termasuk lima besar produsen kayu di dunia. Namun laporan keuangan perusahaan sejak tahun 2008 terus mengalami kerugian. Harga saham perusahaan yang pada tahun 2007 mencapai Rp4.800/lembar mengalami penurunan drastis sampai Rp100/ lembar di tahun 2012. Kondisi tersebut memunculkan keraguan pada pemegang saham publik tentang pengelolaan perusahaan. Menurut beberapa pemberitaan di media online, Deddy Hartawan Jamin, sebagai pemegang saham publik telah mempertanyakan perihal penurunan kinerja perusahaan tersebut. Direktur Utama perusahaan, Amir Sunarko menyebutkan krisis ekonomi 2008 sebagai penyebab penurunan kinerja tersebut. Upaya pemegang 2



Informasi diikhtisarkan dari sumber pemberitaan online www.news.liputan6.com, www.bisnis.com, dan www.republika.co.id.



Ikatan Akuntan Indonesia



201



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



saham publik untuk memperoleh keterbukaan informasi tidak berhasil, bahkan di RUPS upaya tersebut selalu digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham pengendali. Deddy Hartawan Jamin juga mengidentifikasi beberapa kejanggalan berikut ini: 1. Terdapat piutang ragu-ragu yang merupakan pinjaman tanpa bunga yang diberikan kepada anak perusahaan, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ), yang mencapai Rp140 milyar dalam bentuk Zero Coupon Bond (ZCB) selama 1 (satu) tahun. Pada mulanya tidak terdapat penjelasan sedikitpun tentang siapa yang menerima utang tersebut. 2. Setelah penerbitan obligasi tersebut, perusahaan menjual kepemilikannya di SHJ ke PT Tjiwi Kima Tbk. Pembayaran dilakukan dengan pemberian uang muka dan mencicil sisanya selama tiga tahun, sebagian lainnya dibayar dengan kayu hasil tebangan yang ada di areal eks SHJ. Transaksi ini dinilai merugikan. Penentu nilai aset SHJ diduga tidak mencerminkan nilai wajarnya, karena penilaian hanya didasarkan atas saham dan besaran utang kepada SULI. Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal SHJ pun seharusnya masuk dalam perhitungan aset. 3. Surat persetujuan Menteri Kehutanan atas penjualan SHJ kepada Tjiwi Kimia tertanggal 1 Oktober 2009, padahal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang mengagendakan penjualan SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober 2009. Apalagi dalam salah satu klausulnya, ditegaskan bahwa jika terjadi sengketa di antara pemegang saham, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan dan tidak melibatkan Kementerian Kehutanan.



A W S I S A E B



A C



Fakta-fakta tersebut serta kegagalan memperoleh keterbukaan informasi melalui mekanisme internal perusahaan menyebabkan Deddy Hartawan Jamin mengajukan gugatan ke PN Jakarta Selatan. Ada dua hal yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam bidang industri kehutanan. Pada tanggal 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan telah mengabulkan permohonan tersebut. Upaya memperjuangkan keterbukaan ini sempat mendapat halangan dari Sumalindo dengan mengajukan Kasasi di MA, namun mendapat penolakan tahun 2012. Dalam jalannya persidangan, seperti diberitakan di beberapa media online, terungkap beberapa dugaan pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, yaitu:



H I A R E P



1. Adanya dugaan praktik illegal logging yang sangat masif dan sistematis di area perusahaan yang tidak tercatat dalam laporan keuangan 2. Adanya dugaan penambangan batubara secara besar-besaran di area SHJ yang berlangsung sejak awal tahun 2006, namun seluruh aktivitas penambangan tersebut dan keuntungan yang dihasilkannya tidak tercatat dalam laporan keuangan perusahaan. Penggugat menduga telah terjadi kejahatan perusahaan yang merupakan konspirasi direksi dan pemegang saham pengendali. Dugaan tersebut didasarkan pada fakta adanya hubungan kekeluargaan antara direksi dan pemegang saham pengendali. Presiden Direktur SULI adalah Amir Sunarko, sedangkan Komisari Utama-nya adalah Ambran Sunarko (sebelum digantikan oleh Wijiasih Cahyasasi pada tahun 2010). Pemegang saham pengendali SULI adalah PT Sumber Graga Sejahtera (SGS) yang pemegang saham dan direksinya dikendalikan oleh Aris Sunarko. Aris Sunarko, Amir Sunarko, dan Ambran Sunarko dalah keluarga kandung. Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa SGS sebagai pemegang saham SULI tidak menyetujui pemeriksaan buku SULI diperiksa dengan alasan apapun. Dalam kasus gugatan pemegang saham publik di atas, penggugat mengajukan tuntutan ganti rugi, baik materiil maupun immateriil, senilai 18 triliun rupiah lebih. Penggugat juga meminta kepada Majelis Hakim agar nilai gugatan ganti rugi tersebut dikembalikan untuk kepentingan perusahaan.



202



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Informasi Perkara Hukum dalam Laporan Keuangan SULI



Informasi tentang perkara hukum di atas mulai diungkapkan dalam laporan keuangan SULI tahun 2012 dan 2013. Dalam catatan atas laporan keuangan tahun 2013 disebutkan sebagai berikut: 1. Deddy Hartawan Jamin (tercatat sebagai pemegang saham Perusahaan pada saat mengajukan permohonan) dan Imani United Pte Ltd (belum tercatat sebagai pemegang saham Perusahaan pada saat mengajukan permohonan) (“Para Pemohon”) mengajukan Permohonan Pemeriksaan Perusahaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Surat No. 006/DK/I/2011 tanggal 10 Januari 2011. Berdasarkan Putusan Penetapan Perkara Perdata No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jkt.Sel tanggal 28 April 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan Para Pemohon. Atas penetapan tersebut, Perusahaan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dengan Memori Kasasi No. 06/LGA/SULIK/V/2011 tanggal 20 Mei 2011. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan No. 3017/K/Pdt/2011 tanggal 12 September 2012 yang menolak permohonan kasasi Perusahaan. Atas putusan Mahkamah Agung tersebut, Perusahaan mengajukan permohonan peninjauan kembali melalui Memori Peninjauan Kembali tanggal 6 Desember 2013. Sampai dengan tanggal penyelesaian laporan keuangan konsolidasian, Perusahaan belum menerima putusan dari Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali tersebut. 2. Deddy Hartawan Jamin, pemegang saham Perusahaan, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Perusahaan sebagai Tergugat I dan pihak-pihak lain sebagai tergugat lainnya, dengan Perkara No. 02/Pdt.G/2013/ PN.JKT.Sel tanggal 2 Januari 2013. Materi gugatan antara lain menyangkut transaksi pengalihan saham Perusahaan di SHJ kepada PT Tjiwi Kimia dan pengalihan tagihan perusahaan di SHJ (ZCB I) kepada Marshall, serta transaksi pemindahan (inbreng) Hutan Tanaman Industri sebagai setoran modal Perusahaan pada PT Sumalindo Alam Lestari (SAL) yang dilakukan pada tahun 2010. Berdasarkan putusan yang diucapkan pada tanggal 5 Desember 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan menerima eksepsi dari para tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Atas putusan ini, Penggugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui Memori Banding tanggal 12 Februari 2014. Sampai dengan tanggal penyelesaian laporan keuangan konsolidasian, perkara ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Sehubungan dengan gugatan Deddy Hartawan Jamin tentang transaksi pengalihan saham SULI di SHJ kepada PT Tjiwi Kimia dan pengalihan tagihan perusahaan di SHJ (ZCB I) kepada Marshall, pada catatan atas laporan keuangan SULI 2010 disebutkan bahwa ZCB I diterbitkan SHJ kepada SULI atas tagihan SULI kepada SHJ sampai dengan 30 Juni 2009. Tagihan tersebut kemudian dialihkan ke Marshall Enterprise Limited (Marshall), pihak ketiga, bersamaan dengan penjualan kepemilikan saham SHJ yang dimiliki SULI kepada Tjiwi. Penjualan tagihan berupa ZCB sebelumnya telah mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada tanggal 15 Oktober 2009.



Penjelasan Keputusan Hukum



Seperti diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan SULI tahun 2013, atas gugatan Deddy Hartawan Jamin dan Imani United Pte Ltd tentang permohonan pemeriksaan perusahaan, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan mengeluarkan putusan yang menolak permohonan kasasi SULI. Dalam Putusan MA No. 3017/K/Pdt/2011 tanggal 12 September 2012, dijelaskan poin-poin landasan penolakan permohonan kasasi SULI, yaitu sebagai berikut: 1. Para pemohon selaku pemegang saham publik minoritas didalam mengajukan permohonan pemeriksaan atas perseroan dinilai memenuhi persyaratan hukum; 2. Dasar hukum permohonan pemeriksaan terhadap perseroan mengacu pada UU PT No. 40 tahun 2007;



Ikatan Akuntan Indonesia



203



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



3. Terdapat fakta hukum yang menjadi dasar adanya dugaan perseroan dan atau direksi atau dewan komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham, yaitu: a. Kejanggalan dan keanehan penjualan saham termohon kepada PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) tidak terbuka/transaparan. b. Kejanggalan dan keanehan penerbitan ZCB oleh SHJ tanpa jaminan dan penjualan ZCB sebelum persetujuan RUPS-LB tanggal 15 Oktober 2009. c. Adanya dugaan pelanggaran transaksi yang dilakukan oleh Perseroan. d. Tindakan korporatif direksi diduga menyebabkan kerugian terhadap pemegang saham publik minoritas. 4. Tindakan inbreng aset SULI pada SAL adalah transaksi afiliasi dan tidak pernah disampaikan oleh SULI kepada pemegang saham publik minoritas. 5. Adanya dugaan kinerja negatif direksi dan dewan komisaris menyebabkan SULI mengalami kerugian terus-menerus. 6. Pemegang saham publik minoritas (para pemohon) telah meminta penjelasan dan data-data melalui surat dan forum RUPS tahunan dan RUPS-LB, namun tidak mendapatkan tanggapan dan jawaban yang jelas, terang, dan tuntas dari direksi dan komisaris Perseroan.



A W S I S A E B



A C



Sementara itu, terkait gugatan kedua dari Deddy Hartaman Jamin, sebuah media online menyebutkan bahwa penolakan gugatan disebabkan karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai gugatan penggugat tidak jelas dan tidak memiliki korelasi yang jelas dengan obyek gugatan (www.gresnews.com).



Struktur Kepemilikan



Tabel 2 menyajikan struktur kepemilikan SULI dari tahun 2009 s.d. 2013. Salah satu pemegang saham SULI yaitu PT Sumber Graha Sejahtera ternyata merupakan bagian dari konglomerasi Samko Timber Limited (lihat Bagan 1). Dalam laporan keuangan Samko Timber Limited dalam lima tahun terakhir dapat diketahui adanya kepemilikan keluarga Sunarko baik secara langsung maupun tidak langsung. Tabel 3 menyajikan pemegang saham substansial di Samko Tiimber Limited untuk periode 2009 s.d. 2013.



H I A R E P



Tabel 2. Struktur Kepemilikan SULI: 2009 s.d 2013



Pemegang Saham



2013



2012



2011



2010



2009



24,63%



31,00%



31,00%



31,00%



51,63%



Gem Treasury Investments Limited



13,10%



16,48%



16,48%



Deddy Hartawan Jamin



15,34%



16,34%



13,72%



8,90%



6,96%



5,26%



5,26%



5,26%



5,14%



1,21%



1,21%



PT Sumber Graha Sejahtera



Emirates Tarian Asset Management Pte. Ltd



16,03%



Deutche Bank AG (Private Banking)



Lion Trust Singapore Limited (S/A Auspicium Universal Premier Fund)



15,14%



Lion Trust Singapore Limited (S/A Pegasus Capital Fund)



5,41%



Wijiasih Cahyasasi (Presiden Komisaris)



0,96%



Koperasi-koperasi



0,05%



0,06%



0,06%



0,06%



0,11%



Lain-lain (masing-masing dengan kepemilikan dibawah 5%)



25,37%



29,65%



32,27%



38,75%



36,16%



Sumber: Laporan Keuangan SULI 2010 s.d. 2013



Tabel 3. Pemegang Saham Substansial Samko Timber Limited: 2009 s.d. 2013 Sumber: Laporan Keuangan Samko Timber Limited 2009 s.d. 2013



204



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Transaksi Pihak Berelasi



Dalam laporan keuangan SULI dapat diketahui adanya transaksi pihak berelasi. Jenis transaksi pihak berelasi adalah penjualan, pembelian, dan pinjaman modal kerja. Transaksi pihak berelasi tersebut menimbulkan saldo piutang usaha dan utang usaha pada laporan posisi keuangan. Seluruh utang kepada pihak berelasi tidak dibebani utang. SULI menyatakan dalam laporan keuangannya bahwa transaksi dengan pihak-pihak berelasi telah dilakukan dengan persyaratan dan kondisi yang disepakati antar pihak yang bertransaksi (tidak ditemukan pengungkapan bahwa transaksi pihak berelasi dilakukan dalam kondisi arm’s length). Tabel 4 dan 5 mengikhtisarkan rincian transaksi pihak berelasi serta rincian aset dan liabilitas yang terkait dengan pihak berelasi pada periode 2009 s.d. 2013. Bagan 1. Struktur Perusahaan Samko Timber Limited



A C



Samko Timber Limited 99.99%



PT Sumber Graha Sejahtera 24.6%



99.92%



PT SLJ Global Tbk*



PT Makmur Alam Lestari



100%



99.92%



99.91% 98.45%



PT Panca Usaha Palopo Plywood



99.58%



PT Putra Sumber Utama Timber



99.92%



99.98%



PT Sejahtera Usaha Bersama



99.91%



99.98%



100%



PT Dinamika Maju Bersama



100%



PT Anugrah Karunia Alam



PT Kharisma Megah Dharma



100%



Samkowood Product Sdn Bhd



98.99%



PT Wana Makmur Sejahtera



PT Sulawesi Powerindo



99.82%



99.92%



99.82%



PT Alam Raya Makmur



97.66%



PT Putra Sumber Kreasitama



PT Mitra Lestari Abadi



69.10%



PT Sumber Kimindo



PT Musirawas Lestari Makmur



70.21%



PT Navatani Persada



PT Surya Sumber Rezeki



59.75%



PT Arangan Hutan Lestari



PT Makmur Alam Sentosa



99.92%



Samko USA LLC



PT Bioforest Indonesia



H I A R E P 99.92%



51%



Samko Trading Pte. Ltd



Bioforest Pte. Ltd



99.90%



A W S I S A E B 100%



100%



Perpect Corps. Ltd



99.95%



PT Sari Alam Sejahtera



99.95%



PT Agrindo Persada Lestari



65%



PT Cipta Graha Kreasindo



PT Nusantara Makmur Sentosa



PT Kreatif Cipta Bersama



PT Kreasi Putra Pratama



Associate Company Subsidiary Companies



Indonesia Singapore Malaysia USA Seychelles



*) Formerly PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk Sumber: Group Structure (www.samkotimber.com)



Ikatan Akuntan Indonesia



205



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Tabel 4. Rincian Transaksi Pihak Berelasi: 2009 s.d. 2013 No



Pihak Berelasi



Sifat Transaksi



Sifat Hubungan



1



PT Borneo Karya Persada (Dahulu PT Sumalindo Mitra Resindo)



Pembelian resin



Pihak berelasi lainnya



2



PT Sumber Graha Sejahtera



Penjualan kayu lapis dan kayu lapis olahan



Pemegang saham



2013



2012



2011



2010



2009



6.199



13.056



23.067



-



-



-



2.727



7.129



4.584



2.649



Tabel 5. Rincian Aset dan Liabilitas terkait Pihak Berelasi: 2009 s.d. 2013 Aset/Lialibitas



Sifat Transaksi



Sifat Hubungan



2013



2012



2011



2010



-



-



710



512



75



Aset Piutang Usaha PT Sumalindo Graha Penjualan kayu Sejahtera lapis dan kayu lapis silabus Liabilitas Jangka Pendek Utang usaha-pihak berelasi PT. Borneo Karya Pembelian mesin Persada PT. Pelayaran Nelly Jasa Dwi Putri pengangkutan



pemegang saham



A W S I S A E B



Pihak berelasi lainnya pihak berelasi lainnya



2009



A C



2.002



3,240



2.647



7.444



-



810



665



631



626



650



PT Sumber Graha Tidak ada Pemegang 11 9 - - Sejahtera keterangan saham 2.823 3.914 3.278 8.070 650 Liabilitas Jangka Panjang Utang kepada pihak berelasi Pihak PT. Borneo Karya Pinjaman modal berelasi 7.409 6.766 5.822 - Persada kerja lainnya PT. Sumber Graha Tidak ada Pemegang - - - 5.436 5.436 Sejahtera keterangan saham



H I A R E P



Pertanyaan



1. Lakukan analisis kemungkinan pelanggaran prinsip hak pemegang saham dan prinsip perlakuan yang setara kepada pemegang saham dalam kasus SULI di atas! 2. Hitung hak kendali dan hak arus kas pemegang saham pengendali SULI serta simpulkan bagaimana dampak perbedaan hak kendali dan hak arus kas terhadap insentif ekspropriasi pemegang saham pengendali. 3. Jelaskan dugaan Anda terhadap pola abusive transaction yang mungkin dilakukan oleh manajemen dan/atau pemegang saham pengendali terhadap pemegang saham publik SULI dan jelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi! 4. Jelaskan pendapat Anda terhadap tindakan yang ditempuh oleh Deddy Hartawan Jamin di atas jika dilihat dari sudut pandang peraturan perundang-undangan di Indonesia!



206



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Referensi3 1. Putusan No. 3017 K/Pdt/2011. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. putusan. mahkamahagung.go.id. 2. http://news.liputan6.com/read/729338/diduga-corporate-crime-sumalindo-digugat-bayar-rp-187triliun. Tanggal akses 24 April 2014 3. http://www.bisnis.com/hukum/hukum-bisnis/11679-pemegang-saham-minta-sumalindo-diauditindependen). Tanggal akses 24 April 2014 4. http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=180512-hakim-tolak-gugatan-pemilik-sahamminoritas-terhadap-pt-sumalindo. Tanggal akses 01 Mei 2014 5. http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/11/19/mwikuz-belajar-dari-kemelutsumalindo. Tanggal akses 24 April 2014 6. http://www.samkotimber.com/web/html/about_structure.php. Tanggal akses 30 April 2014. 7. PT Sumalindo Lestari Jaya. Laporan Tahunan. 2010 8. PT Sumalindo Lestari Jaya. Laporan Tahunan. 2011 9. PT Sumalindo Lestari Jaya. Laporan Tahunan. 2012 10. PT Sumalindo Lestari Jaya. Laporan Keuangan Tahunan. 2013 11. Samko Timber Limited. Annual Report. 2009 12. Samko Timber Limited. Annual Report. 2010 13. Samko Timber Limited. Annual Report. 2011 14. Samko Timber Limited. Annual Report. 2012 15. Samko Timber Limited. Annual Report. 2013



H I A R E P



3



A W S I S A E B



A C



Dalam mengerjakan kasus, peserta didik diharapkan mencari dan menggunakan literatur tambahan selain yang tercantum di daftar pustaka.



Ikatan Akuntan Indonesia



207



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



PT Bank Mandiri (Persero) Tbk



Kasus



Sejarah Bank Mandiri Krisis ekonomi yang melanda di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan banyak bank di Indonesia terpaksa ditutup atau dibekukan kegiatannya oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah membengkaknya pinjaman luar negeri sampai lebih dari tiga kali lipat karena nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar. Selain itu masalah muncul karena banyak penyaluran kredit yang berindikasi KKN. Banyak kredit disalurkan kepada industri terkait yang memiliki hubungan kepemilikan dengan bank tersebut. Peyaluran yang berindikasi KKN ini tidak hanya dilakukan oleh perbankan swasta, tetapi bank pemerintah (BUMN). Hanya saja, dalam perjalanannya pemerintah lebih cenderung membekukan kegiatan perbankan swasta, sedangkan bank pemerintah dilakukan restrukturisasi dengan cara penggabungan (merger) dan rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi pemerintah untuk menambah modal bank.



A W S I S A E B



A C



Dalam rangka penggabungan tersebut, akhir Februari 1998, pemerintah mengumumkan rencana restrukturisasi bank pemerintah dengan cara penggabungan. Bank pemerintah yang akan digabung adalah Bank Ekspor Impor (Bank Exim), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Bumi Daya (BBD), dan Bank Dagang Negara (BDN). Tanggal 2 Oktober 1998 gabungan keempat bank pemerintah telah berganti nama menjadi Bank Mandiri. Penggabungan seluruh laporan keuangan efektif dilakukan pada akhir Juli 1999 sekaligus dilakukan pengurangan jumlah kantor cabang dan sumber daya manusia yang ada di empat bank tersebut. Dalam proses penggabungan dan pengorganisasian ulang tersebut, jumlah cabang Bank Mandiri dikurangi sebanyak 194 buah dan karyawannya berkurang dari 26.600 menjadi 17.620. Menurut Samosir (2003), dari hasil analisis terhadap kinerja keuangan dan tingkat efisiensi Bank  Mandiri dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja Bank  Mandiri sebelum merger menunjukkan sebagai Bank  pemerintah yang tidak sehat. Hal tersebut dapat diketahui dari tingkat pencapaian Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), yang menunjukkan keempat Bank BUMN dalam kondisi bangkrut, dimana utang yang dimiliki telah melebihi modal berkali-kali. Disamping itu, perbandingan utang terhadap aktiva sangat buruk yaitu jumlah utang yang dimiliki tidak dapat dilunasi dengan aset yang ada di empat Bank tersebut. Merger yang dilakukan pemerintah terhadap empat Bank tidak sehat merupakan pilihan terakhir dibandingkan penutupan (likuidasi) Bank BUMN. Tujuan ini tidak lain menghindari pengeluaran yang lebih besar lagi untuk membayar uang para deposan, mencegah terjadinya domino effect seiring krisis ekonomi yang berlangsung, dan mencegah bertambahnya jumlah pengangguran.



H I A R E P



Direktur Utama Bank Mandiri yang pertama adalah Robby Djohan. Pada bulan Mei 2000, posisi Djohan digantikan ECW Neloe. Neloe menjabat selama lima tahun, sebelum digantikan Agus Martowardojo sebagai Direktur Utama sejak Mei 2005. Agus Martowardojo kemudian digantikan oleh Zulkifli Zaini pada Mei 2010 setelah Agus diangkat menjadi Menteri Keuangan. Pada April 2013 Zulkifli Zaini digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin untuk periode 2013-2016. Sejak tahun 2005, Bank Mandiri berkomitmen untuk menjalankan program transformasi selama 5 tahun dengan tujuan untuk membentuk Bank Mandiri menjadi Bank Multispesialis yang dominan. Pada bagian berikut dibahas mengenai overview praktik corporate governance (CG) di Bank Mandiri sebelum transformasi (pra 2005) dan dampak praktik CG yang lemah terhadap kinerja keuangan dan non-keuangan pada periode sebelum Bank Mandiri melakukan transformasi. Kemudian dibahas mengenai proses transformasi CG di Bank Mandiri dan overview praktik CG setelah transformasi (pasca 2005). Pada bagian terakhir dibahas mengenai dampak transformasi terhadap kinerja keuangan dan non-keuangan di Bank Mandiri.



208



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Overview Praktik CG di Bank Mandiri Sebelum Transformasi (Pra 2005)1 Menjelang RUPS Bank Mandiri pada 16 Mei 2005, BPK sebagai auditor Bank Mandiri mengungkapkan bahwa ada 36 modus penyimpangan penyaluran kredit bermasalah di bank Mandiri. Dari hasil audit investigasi BPK ditemukan keganjilan dan penyimpangan dalam penyaluran kredit, terutama kepatuhan pihak manajemen tentang sikap kehati-hatian dalam penyaluran kredit. Kredit tersebut dikucurkan kepada 28 perusahaan, di antaranya PT Lativi Media Karya senilai (Rp 300 miliar), PT Siak Zamrud Pusaka (Rp 24,8 miliar) dan PT Cipta Graha Nusantara (Rp 161 miliar). Umumnya modus penyimpangan adalah dengan cara penghapusbukuan pinjaman. Dalam laporannya, BPK menemukan kebijakan penghapusbukuan utang Bank Mandiri mencapai Rp31,6 triliun. Tiga debitor di antaranya tercatat dari Grup Garuda Mas senilai Rp4,8 triliun. Ada juga kasus pemberian kredit tidak sehat senilai Rp1,8 triliun untuk Grup Domba Mas (bergerak di sektor perkebunan). Bank Mandiri juga menyimpan catatan debitor yang masuk kategori pengawasan khusus, antara lain PT Argo Pantes dengan nilai kredit Rp516 miliar, APAC Inti Corpora senilai Rp700 miliar, dan PT Semen Bosowa Maros yang dipimpin M. Aksa Mahmud yang juga Wakil Ketua MPR pada saat itu.



A W S I S A E B



A C



Sebenarnya kasus kredit macet di Bank Mandiri terjadi sejak pertengahan 1990-an. Kredit senilai 1 triliun rupiah lebih ini kemudian direkapitalisasi dan di-refinancing. Namun, belakangan macet lagi. Anehnya, Bank Mandiri lalu mengambil alih kredit tersebut. Padahal, manajemen bank Mandiri tahu bahwa perusahaan penerima kredit sudah tak layak lagi dibantu. Menurut pengamat ekonomi Dradjad Wibowo (anggota Komisi 11 DPR), hasil investigasi BPK menunjukkan, pengucuran kredit dari Bank Mandiri berisiko tinggi. Dugaan keterlibatan sejumlah orang kuat juga harus diusut Kejagung dengan ekstra hati-hati. Direktur Pengawasan dan Informasi Bank Indonesia Siti Chalimah Fadjrijah menyatakan bahwa memang ada indikasi bahwa manajemen Bank Mandiri secara internal tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. BI telah berulang kali mengingatkan Bank Mandiri agar mewaspadai penyaluran pinjaman kepada pihak kedua.



H I A R E P



Masyarakat Profesional Madani menduga masih ada kredit macet lain di Bank Mandiri sebesar Rp5 triliun sampai Rp12 triliun. Seringnya terjadi penyimpangan kredit di sejumlah bank milik pemerintah diduga disebabkan adanya konspirasi antara manajemen bank dengan kreditor yang melibatkan politikus. Pengamat ekonomi Drajad Wibowo menyatakan kasus kredit macet di Bank Mandiri, sebenarnya terjadi secara sistemik dan merupakan bentuk kegagalan pengawasan internal Bank Mandiri mulai dari level komisaris, direksi hingga pengawasan yang ada di bawahnya. Anggota Komisi XI DPR ini menyimpulkan sistem pengawasan dan personel Bank Mandiri perlu dirombak. Dia juga mengatakan BI sesungguhnya sudah mengetahui ketidakberesan penyaluran kredit senilai Rp1 triliun lebih itu. Namun, BI tidak tegas menangani masalah ini sehingga kasus ini berkepanjangan dan tidak terselesaikan. Sedangkan Harry Azhar Azis, yang juga anggota Komisi XI DPR, melihat bahwa sebagian direksi Bank BUMN tak lebih dari kepanjangan tangan pejabat pemerintah. Pejabat pemerintah dapat mencampuri urusan internal bank BUMN, terutama dalam pemberian kredit kepada pengusaha. Berbagai kasus kredit macet yang muncul mengindikasikan adanya campur tangan pejabat pemerintah. Harry Azhar Azis menyatakan juga bahwa pemegang kekuasaan sering menekan pejabat bank untuk memberikan kredit kepada pengusaha rekannya. Ini adalah bentuk intervensi politik terhadap sistem perbankan sehingga kredit yang dikeluarkan sering tidak melalui proses kehati-hatian sehingga banyak yang bermasalah. Sementara itu analis perbankan, Angger P Juwono mengatakan bahwa kasus bank Mandiri tidak terkait dengan kinerja manajemen saat itu. Itu adalah kredit macet lama dan pencadangannya sudah dilakukan. 1



Informasi ini diikhtisarkan dari sumber pemberitaan online www. liputan6.com, www.suaramerdeka.com, dan www.antikorupsi.org



Ikatan Akuntan Indonesia



209



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Karena itu Angger menyatakan bahwa sulit dibendung opini yang berkembang di masyarakat mengenai adanya agenda tersembunyi di balik membongkar kredit macet Bank Mandiri yang diangkat menjelang RUPS Bank Mandiri pada 16 Mei 2005. Pada 26 Januari 2006, tiga orang bekas direktur Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan dituntut hukuman 20 tahun penjara. Jaksa mendakwa mereka korupsi dengan memperkaya pihak lain dalam kasus kredit Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara dan PT Media Televisi Indonesia. Menurut jaksa, Neloe (mantan Direktur Utama Bank Mandiri), Pugeg (mantan direktur risiko dan manajemen), dan Sholeh (direktur kredit korporasi) melanggar ketentuan pemberian kredit. Akibat ketidakhati-hatian dan ketidakcermatan mereka, kredit senilai Rp160 miliar kepada PT Cipta yang dicairkan pada 28 Oktober 2002 menjadi macet karena mereka memberikan kredit tanpa analisis yang lengkap, cermat, akurat, dan komprehensif terhadap calon debitor. Namun Setelah melewati 5 bulan masa persidangan, tiga petinggi bank Mandiri tersebut di vonis bebas.



A C



Dampak Praktik CG yang Lemah terhadap Kinerja Keuangan dan Non-Keuangan Sebelum Transformasi  Kinerja keuangan



A W S I S A E B



Menurut Samosir (2003), jika dilihat dari rasio keuangan, kinerja Bank  Mandiri setelah merger tidak menunjukkan dampak yang positif atau dapat dikatakan tidak sehat. Sebagian besar (70%) pendapatan Bank Mandiri berasal dari pendapatan bunga obligasi pemerintah Pendapatan bunga dari pemberian kredit hanya sebesar 18% untuk tahun 2001. Dengan demikian, kinerja Bank  selama tiga tahun (1999-2001) tidak lebih baik dibandingkan sebelum merger. Merger tidak selalu menciptakan efisiensi, walaupun peningkatan total aktiva dapat mencapai skala ekonomis, belum cukup untuk menciptakan efisiensi Bank  Mandiri. Beberapa aspek yang mempengaruhi efisiensi Bank Mandiri terlihat dari aset, modal, utang jangka pendek, utang jangka panjang, jumlah SDM. Sementara itu, Bank Mandiri hanya diposisi keempat apabila dilihat efisiensi relatif diantara Bank pemerintah saat itu.



H I A R E P



Dalam website Mandiri Investor Relation disebutkan bahwa sebelum transformasi tahun 2005, Bank Mandiri menghadapi sejumlah kemunduran yang disebabkan karena turunnya laba. Salah satu kemunduran adalah dengan adanya non-performing loans dimana terjadi peningkatan rasio Net Consolidated Non Performing Loan (NPL) dari 1,60 % pada tahun 2004 naik menjadi 15,34 % pada tahun 2005. Hal ini memiliki dampak langsung dan dramatic terhadap laba Bank Mandiri yang turun 80% dari Rp5.3 triliun di tahun 2004 menjadi Rp603 miliar di 2005. Penurunan laba ini berpengaruh terhadap harga saham perusahaan yang turun dari Rp2.050 pada bulan January 2005 menjadi Rp1.110 pada bulan November 2005. Kinerja Non keuangan



Sebelum tahun 2005 diindikasikan bahwa banyak penyimpangan penyaluran kredit di bank Mandiri sehingga banyak terjadi kredit macet. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Sudhono Iswahyudi menyatakan bahwa nilai total pemberian kredit macet tersebut mencapai lebih dari Rp1 triliun. Kredit tersebut dikucurkan kepada 28 perusahaan, di antaranya PT Lativi Media Karya senilai (Rp300 miliar), PT Siak Zamrud Pusaka (Rp24,8 miliar) dan PT Cipta Graha Nusantara (Rp161 miliar). Masyarakat Profesional Madani menduga masih ada kredit macet lain di Bank Mandiri sebesar Rp5 triliun sampai Rp12 triliun. Proses Transformasi CG Dalam website Bank Mandiri disebutkan bahwa sejak tahun 2005 Bank Mandiri melakukan transformasi yang terbagi menjadi dalam 2 tahap. Tahap I dimulai dar tahun 2005 dan tahap II dimulai dari tahun 2010. Tahun 2005 adalah titik balik Bank Mandiri ketika perusahaan fokus untuk menjadi Regional Champion



210



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Bank. Untuk itu Bank Mandiri memformulasikan program transformasi yang komprehensif dari empat strategi pokok yaitu: a. Penanaman corporate culture yang baru melalui restrukturisasi organisasi yang berdasarkan pada kinerja, memperbaiki sistem evaluasi performance-based, mengembangkan leadership dan talent, serta training dan hiring staf untuk memenuhi kebutuhan strategic perusahaan. b. Pembatasan secara agresif untuk Non-Performing Loan dengan penekanan pada penyelesaian hutang bermasalah dan memperkuat sistem managemen resiko. c. Mempercepat akselerasi usaha sehingga dapat mempercepat tingkat rata rata pertumbuhan pasar melalui strategi yang terbaik pada setiap segmen. d. Mengembangkan aliansi antara direktur and unit bisnis sehingga mengoptimalkan pelayanan kepada pelanggan dan mencari seluruh kesempatan bisnis dari pelanggan saat ini dan value chains mereka.



A C



Untuk mencapai tujuan menjadi pemain regional utama, Bank Mandiri melakukan program transformasi dalam tiga tahap yaitu: 1. Tahap Satu – “Back on Track” (2006-2007): Selama tahap ini, fokus diutamakan pada program restrukturisasi dan menetapkan fondasi pertumbuhan Bank Mandiri dimasa depan; 2. Tahap Dua – “Outperform the Market” (2008-2009): Selama periode ini penekanan diutamakan pada memperluas bisnis Bank untuk menjamin pertumbuhan yang signifikan pada semua segment dan berusaha mencapai profitabilitas yang melebihi rata-rata pasar; 3. Tahap Tiga – “Shaping the End Game” (2010): Pada tahap ini Bank Mandiri bertujuan untuk menjadi Regional Champion Bank melalui konsolidasi dari bisnis jasa keuangan menekankan pada kesempatan pertumbuhan strategic non-organic. Hal ini termasuk meningkatkan kinerja anak perusahaan dan mengakuisisi bank atau perusahaan keuangan lainnya yang dapat memberi nilai tambah bagi Bank Mandiri.



A W S I S A E B



Sesuai dengan transformasi bisnisnya, sejak tahun 2005 Bank Mandiri juga melakukan transformasi kultural berdasarkan reformulasi dan reinvigoration (penyegaran) dari kunci utamanya. Dalam melakukan hal ini, Bank Mandiri mengidentifikasi five core corporate cultural values, yaitu serangkaian prinsip yang dijadikan sebagai panduan moral dalam berperilaku, bertindak dan mengambil keputusan. Lima prinsip ini dikenal dengan istilah “TIPCE”, yaitu Trust, Integrity, Professionalism, Customer Focus dan Excellence: • • • • •



H I A R E P



Trust Membangun keyakinan dan sangka baik diantara stakeholders dalam hubungan yang tulus dan terbuka berdasarkan kehandalan. Integrity Setiap saat berpikir, berkata dan berperilaku terpuji, menjaga martabat serta menjunjung tinggi kode etik profesi. Professionalism Berkomitmen untuk bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab. Customer Focus Senantiasa menjadikan pelanggan sebagai mitra utama yang saling menguntungkan untuk tumbuh secara berkesinambungan. Excellence Mengembangkan dan melakukan perbaikan di segala bidang untuk mendapatkan nilai tambah optimal dan hasil yang terbaik secara terus-menerus.



Ikatan Akuntan Indonesia



211



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



Bank Mandiri secara signifikan meningkatkan kualitas pemberian jasa kepada pelanggannya. Selama enam tahun berturut-turut (2007, 2008, 2009, 2010, 2011 and 2012), Bank Mandiri telah menjadi pemberi jasa utama (service leader) diantara bank lokal berdasarkan dari survey Marketing Research Indonesia (MRI). Selain itu pencapaian Bank Mandiri dalam menerapkan good corporate governance telah banyak diakui.



Overview Praktik CG Setelah Transformasi (Pasca 2005)



        Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Mandiri menanamkan nilai-nilai transparansi, independensi, akuntabilitas, tanggung jawab, keadilan melalui berbagai program sosialisasi kepada seluruh jajaran Bank. Dalam website Bank Mandiri masih dapat dilihat surat terbuka Direksi Bank Mandiri pertanggal 4 Januari 2002 yang ditandatangani oleh Direktur Utama Bank Mandiri saat itu, E.C.W. Neloe mengenai Pemberian Hadiah atau Imbalan Kepada jajaran PT Bank Mandiri. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan Good Corporate governance di PT Bank Mandiri, pegawai dalam berhubungan dengan Nasabah dan Rekanan terikat dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku, Kode Etik Bankir Indonesia, Code of Conduct (Pedoman Perilaku) PT Bank Mandiri dan Peraturan Disiplin Pegawai PT Bank Mandiri. Pegawai terikat dengan Prgram Implementasi Perilaku 3 TIDAK atau dikenal dengan istilah 3 `NO` Behaviors, yaitu tidak terlambat (no delays),tidak melakukan kesalahan (no errors), tidak meminta/menerima hadiah atau imbalan (No. special payment) yang telah dicanangkan Direksi PT Bank Mandiri sebagai upaya untuk mensosialisasikan budaya perusahaan kepada seluruh jajaran Bank. Pegawai PT Bank Mandiri dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima sesuatu hadiah atau Imbalan dalam bentuk apapun dari Nasabah/Rekanan atau Pihak Ketiga lainnya. Para Nasabah dan Rekanan juga dihimbau untuk tidak memberikan Hadiah atau Imbalan kepada direksi atau pegawai PT Bank Mandiri (Persero), termasuk juga dalam kaitannya dengan perayaan Hari raya Keagamaan, tahun baru, hari Ulang Tahun, dan hari-hari Besar lainnya.



A W S I S A E B



A C



Dalam website Bank Mandiri disebutkan juga bahwa perbaikan kinerja Bank Mandiri dilakukan dengan perbaikan menyeluruh, dengan orientasi kepada pelanggan. Budaya pelayanan, peningkatan omset dan perbaikan kualitas kredit dilakukan secara bersama-sama.



H I A R E P



Sejak berdirinya, Bank Mandiri telah bekerja keras untuk menciptakan tim manajemen yang kuat dan profesional yang bekerja berlandaskan pada prinsip-prinsip good corporate governance yang telah diakui secara internasional. Bank Mandiri disupervisi oleh Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh Menteri Negara BUMN yang dipilih dari anggota komunitas keuangan yang terpandang. Manajemen ekskutif tertinggi adalah Dewan Direksi yang dipimpin oleh Direktur Utama. Dewan Direksi Bank Mandiri terdiri dari banker dari legacy banks dan juga dari pihak luar yang independen dan sangat kompeten. Bank Mandiri juga mempunyai fungsi offices of compliance, audit dan corporate secretary, dan juga secara rutin diperiksa oleh Bank Indonesia, BPKP dan BPK serta auditor eksternal yang memiliki standar internasional. Di bank Mandiri, persetujuan dan monitoring kredit dikendalikan dengan proses persetujuan four eyes yang terstruktur, dimana keputusan kredit dipisahkan dari kegiatan marketing dari unit Bisnis. Penerapan GCG di Bank Mandiri antara lain dilakukan dengan memberlakukan Code of Conduct dan Business Ethic sebagai pedoman berperilaku bagi seluruh jajaran Bank Mandiri mengenai hubungan sesama internal maupun pihak eksternal, seperti pemegang saham, perusahaan afiliasi, investor, pelanggan, pemasok, pemerintah dan masyarakat. Kebijakan lain yang diterapkan Bank Mandiri, adalah mewajibkan seluruh pegawai untuk mengisi dan menandatangani Annual Disclosure setiap tahunnya. Melalui ketentuan ini, seluruh sumber daya manusia di Bank Mandiri mengikatkan diri untuk melaksanakan kode etik, sumpah jabatan, maupun peraturan lain yang berlaku. Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, Bank Mandiri juga mengatur adanya larangan perangkapan jabatan bagi Direksi dan Komisaris yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan Bank.    



212



Ikatan Akuntan Indonesia



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



Dampak Transformasi Terhadap Kinerja Keuangan Dan Non-Keuangan2 Kinerja Keuangan Perubahan yang terjadi melalui program transformasi berhasil meningkatkan kinerja Bank Mandiri secara konsisten seperti terlihat pada berbagai parameter keuangan. Non-performing loans turun secara signifikan seperti ditunjukkan oleh penurunan rasio net consolidated NPL dari 15.34% pada tahun 2005 menjadi 0.62% pada tahun 2010, sementara laba bersih perusahaan melonjak dari Rp0.6 trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp9.2 trilyun pada tahun 2010. Harga saham perusahaan naik dari Rp1,110 pada tanggal 16 November 2005 menjadi Rp7,850 pada 31 December 2013. Dalam kurun waktu kurang dari 9 tahun, kapitalisasi pasar Bank Mandiri melonjak 8 kali lipat dari hanya 21.8 triliun menjadi Rp183.2 triliun.



A C



Bank Mandiri sukses melakukan rights issue pada bulan February 2011. Pada tahun 2012, total ekuitas Bank Mandiri telah mencapai Rp88.8 triliun untuk menjadi bank pertama di Indonesia untuk memenangkan gelar International Bank sesuai dengan kriteria Arsitektur Perbankan Indonesia. Tahun 2012 Bank Mandiri adalah lembaga keuangan terbesar di Indonesia dengan aset Rp733.1 trilyun, pemberi pinjaman terbesar dengan pinjaman sebesar Rp472.4 trilyun, dan penyimpanan dana pihak ketiga terbesar dengan Rp556,3 trilyun. Bank Mandiri mempertahankan kualitas aset yang baik dengan rasio NPL gross dan net masing maing 1.90% and 0.58%.



A W S I S A E B



Pada Maret 2013 Penyaluran kredit Bank Mandiri tumbuh 19,7 persen dari Rp327,17 triliun menjadi Rp391,6 triliun dengan rasio NPL netto terjaga pada 0,57 persen, jauh dibawah level yang ditetapkan BI yaitu 5 persen. Nilai aset perusahaan juga tumbuh 17,1 persen (year on year) dari Rp546,9 triliun menjadi Rp640,6 triliun pada Maret 2013. Kinerja Non Keuangan



H I A R E P



Berbagai macam penghargaan kerap di peroleh Bank Mandiri, informasi lengkap dapat dilihat di website Bank Mandiri. Pada tahun 2007 Bank Mandiri memperoleh peringkat kedua dalam Banking Service Excellence Award 2007 oleh Majalah Infobank. Asia Money Magazine memberikan penghargaan atas komitmen Bank Mandiri atas penerapan GCG dengan memberikan Corporate governance Award untuk katagori Best Overall for Corporate governance in Indonesia dan Best for Disclosure and Transparency. Bank Mandiri juga dinobatkan sebagai Bank Terbaik di Indonesia di ajang Asia Money Best Bank Awards. Bank Mandiri juga di nobatkan sebagai Perusahaan Paling Terpercaya di ajang Indonesia Institute for Corporate governance (IICG) dan SWA pada 2012. Bank Mandiri terus memperkuat penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) dalam setiap proses bisnis. Salah satu hasilnya adalah pengakuan dari jurnal Asian Corporate governance (CGA) sebagai ikon implementasi GCG terbaik di Indonesia. Tahun 2013 Bank Mandiri mendapat Anugerah CGA Annual Recognition Award 2013: Best of Asia untuk kategori Asia’s Icon on Corporate governance. The Best of Asia ini merupakan yang kelima kalinya diberikan kepada Bank Mandiri secara berturut-turut. Penghargaan ini diberikan atas dasar survei kepada lebih dari 12.000 perusahaan dari 15 negara di Asia sebagai responden belum termasuk 120 perusahaan lainnya dari kawasan Amerika dan Eropa. Semua responden yang memberikan pendapat dalam survey ini adalah perusahaan-perusahaan di industri keuangan seperti investor, analis, fund manager dan dana investasi. Tidak cukup menyandang gelar Best Bank In Indonesia, menurut data dari Bank Indonesia (BI) di tahun 2012 Bank Mandiri menyandang predikat sebagai pemilik aset perbankan terbesar yang hingga kini terus bertambah jumlahnya. Tahun 2012 total aset Bank Mandiri mencapai kurang lebih Rp375 triliyun. Pada 2



Informasi ini diikhtisarkan dari website Bank Mandiri



Ikatan Akuntan Indonesia



213



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



tahun 2013 Bank Mandiri mempekerjakan 33.982 karyawan dan mengoperasikan 2.050 cabang di seluruh Indonesia dan 6 kantor cabang luar negeri/perwakilan kantor/anak perusahaan. Selain itu, Bank Mandiri memiliki jaringan dari 230.000 unit Electronic Data Capture serta saluran elektronik dan komprehensif yang meliputi Mandiri Mobile, Internet Banking, SMS Banking dan Call Center 14000. Bank Mandiri juga didukung oleh enam anak perusahaan yang beroperasi di perbankan syariah, pasar modal, pembiayaan konsumen, asuransi jiwa, asuransi umum, serta bank niche fokus di segmen kredit mikro. Pertanyaan Berdasarkan perspektif konflik keagenan, jelaskan akar permasalahan yang kemungkinan besar menyebabkan praktik CG relatif belum berjalan baik sebelum tahun 2005 serta dampak konflik keagenan tersebut terhadap kinerja Bank Mandiri. 1. Analisis apakah proses transformasi CG dan praktik CG setelah transformasi di Bank Mandiri telah mencakup prinsip CG ke dua hingga prinsip CG ke enam dari OECD. 2. Jelaskan bagaimana transformasi CG di Bank Mandiri dapat berdampak terhadap kinerja Bank.



H I A R E P



214



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C



ETIKA PROFESI



DAN tata kelola korporat



REFERENSI 1. Samosir, P. Agunan, Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger Dan Sebagai Bank Rekapitalisasi, Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 7, No. 1 Maret 2003 2. Syarifudin et al., Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan:Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe Dkk. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), September 2006 3. www.bankmandiri.co.id, website diakses pada 16 April 2014 http://ir.bankmandiri.co.id/phoenix. zhtml?c=146157&p=irol-homeProfile, website diakses pada 18 April 2014 4. http://m.liputan6.com/news/read/100876/kejagung-didesak-segera-menuntaskan-kasus-bankmandiri, website diakses pada 2 mei 2014 5. http://home.liputan6.com/read/113364/kredit-macet-bank-mandiri-membengkak, website diakses pada 2 mei 2014 6. http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/17/nas03.htm, website diakses pada 2 mei 2014 7. http://www.antikorupsi.org/id/content/mantan-direksi-bank-mandiri-dituntut-20-tahun,website diakses pada 2 mei 2014 8. http://news.liputan6.com/read/100636/kasus-bank-mandiri-akibat-ketidakkonsistenan-kebijakan-bi, diakses pada 2 mei 2014



H I A R E P



A W S I S A E B



A C



Ikatan Akuntan Indonesia



215



ETIKA PROFESI DAN tata kelola korporat



H I A R E P



216



Ikatan Akuntan Indonesia



A W S I S A E B



A C