MPT Skenario 4 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SASARAN BELAJAR 1. Mempelajari dan Memahami Imunodeficiency 1.1. Definisi Keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan, malnutrisi. 1.2. Penyebab Beberapa penyebab dari imunodefisiensi yang didapat: a. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme Diabetes, sindrom down, gagal ginjal, malnutrisi, penyakit sel sabit. b. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan: Kemoterapi kanker, kortikosteroid, obat imunosupresan, terapi penyinaran c. Infeksi: Infeksi HIV, mononukleus infeksiosa, infeksi bakteri dan/atau jamur yang berat, TB berat d. Penyakit darah dan kanker e. Pembedahan dan trauma 1.3. Klasifikasi a. Imunodefisiensi primer Kelainan imun yang diturunkan akibat mutasi genetik. The Jeffrey Modell Foundation mengembangkan sejumlah tanda waspada/warning signs untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap imunodefisiensi primer. Seseorang dicurigai mengalami imunodefisiensi primer bila mengalami dua atau lebih gejala berikut: - Empat atau lebih infeksi baru pada telinga dalam satu tahun - Dua atau lebih infeksi sinus yang serius dalam satu tahun - Penggunaan antibiotik selama dua bulan atau lebih tanpa memberikan efek - Dua atau lebih pneumonia dalam satu tahun - Berat badan tidak naik-naik atau gagal tumbuh pada bayi - Abses berulang pada organ atau jaringan kulit - Infeksi jamur yang menetap pada kulit dan mulut - Perlu antibiotik intravena untuk membasmi infeksi - Dua atau lebih infeksi organ dalam atau sepsis - Riwayat keluarga dengan imunodefisiensi b. Imunodefisiensi sekunder Sementara imunodefisiensi sekunder bisa muncul sebagai komplikasi penyakit seperti infeksi, kanker, atau efek samping penggunaan obat-obatan dan terapi 1.4. Patofisiologi 1.5. Penegakan diagnosis a. Tes darah, yang dapat mengungkapkan kelainan dalam sistem kekebalan tubuh. Tes termasuk mengukur sel sel darah dan sel imun, b. Identifikasi infeksi, untuk menganalisis infeksi dan penyebabnya apabila pasien tidak merespon pengobatan standar.



c. Uji prenatal, dilakukan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan imunodefisiensi untuk melakukan pengecekan apakah gangguan tersebut juga dialami janin pada kehamilan berikutnya. 2. Mempelajari dan Memahami HIV / AIDS 2.1. Definisi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kupulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (IPD UI). 2.2. Penyebab HIV (Human Immunodeficiency Virus) dibedakan menjadi dua jenis yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan jenis HIV yang paling bersifat virulen, mudah ditransmisikan dan penyebab infeksi HIV terbesar di seluruh negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika Tengah. Sedangkan, HIV-2 bersifat tidak mudah ditransmisikan dan merupakan penyebab AIDS terutama di Afrika Barat. Penularan HIV terjadi melalui tiga rute transmisi utama, yaitu kontak seksual, terpajan cairan tubuh yang terinfeksi HIV, dan penyaluran dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin atau fetus pada saat perinatal. Transmisi secara seksual merupakan rute penyebaran epidemik AIDS terbesar yaitu 75% dari semua kasus penyebaran HIV. 2.3. Manifestasi Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan asimtomatis berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap : a. Tahap infeksi akut Gejala yang muncul tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat juga disertai meningitis aseptik yang ditandai dmam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak. b. Tahap asimtomatis Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi. Pada saat ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraselular. Pada tahap ini aktivitas penderita masih normal c. Tahap simtomatis Pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran napas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas meskipun terganggu. Gejala awal yang akan ditemui sebelum masuk ke fase simtomatik adalah pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh (general limfadenopati) dengan konsistensi kenyal, mobile dengan diameter 1 cm atau lebih. Seiring dengan



menurunnya +jumlah sel CD4 dan meningkatnya jumlah virus di dalam sirkulasi akan mempercepat terjadinya 9infeksi oportunistik. d. Tahap AIDS Terjadi penurunan BB >10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui sebabnya leih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui sebabnya >1 bulan kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis paru, dan pneumonia bakteri. Penderita berbaaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terkhir. Penderita juga dapat terkena beberapa infeksi sekunder, misalnya pneumonia pneumonikistik karinii, toksoplasmolisis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis pada esofagus, trakea, bronkus atau paru. 2.4. Patofisiologi a. Fase Infeksi akut Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) jumlahnya berjuta-juta virion. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi reson imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. b. Fase infeksi laten Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler (SDF) d pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang. Pada fase ini virion di plasma menurun, hal ini karena sebagian besar terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga penurunan limfosit T masih tetap terjadi walaupun virion dalam plasma menurun. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga wekitar 500200 sel/mm3, meskipun telah terjadi setelah serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis (asimtomatis). Fase ini berlangsng rerata sekitar 810 tahun (dapat 3-13 th) setelah terinfeksi HIV. c. Fase infeksi kronis Pada fase ini, di dalam kelenjar limfe terus teerjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi dari kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah sehingga meningkatkan jumlah virion dalam sirkulasi sistemik. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semkain banyak. Terjadi penurunan limfosit T CD4 hingga dibawah 200 sel/mm 3. Turunnya kadar CD4 ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder. d. Fase jendela Yaitu periode dimana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi HIV biasanya muncul 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode ini sangat penting untuk diperhatikan karena sudah dapat menularkan HIV



kepada orang lain. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada fase ini sebaikanya yang mampu mendeteksi antigen p18, p24, p31, p36, gp120, gp41.



2.5. Penegakan diagnosis dan Algoritma pemeriksaan Skrening Enzyme-linked immunoassay (EIA, ELISA) untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya Aglutinasi latek untuk HIV-1



Konfirmasi Western Blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2 Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIN-1 Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk HIV-1 Lain-lain ELISA untuk HIV-1 p24 antigen Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1 Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Tes serologi standar terdiri atas EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p17, p24, p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160). Bila memungkinkan pemeriksaan WB selau dilakukan karena tes penapisan melalui EIA terdapat potensi false positive 2%. Interpretasi WB meliputi : 1) Negatif : tidak ada bentukan pita; 2) Positif : reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24; 3) Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil positif. Akurasi pemeriksaan ini mencapai >98%. WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien. a. Strategi I Hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%). b. Strategi II Menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitasnya tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifikk serta berbeda jenis antigen dan tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Jika hasil pemeriksaan kedua non-reaktif, maka harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil masih tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate. c. Strategi III Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasilnya semua reaktif, itu berarti pasien tsb terinfeksi HIV. Bila hasil tidak sama, keadaan ini disebut equivocal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi tertular HIV. Pemeriksaan ke-3 dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifitas yang lebih tinggi. Bila pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan peeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi HIV. Yang paling sering digunakan adalah teknik Western Blot (WB). 2.6. Komplikasi



2.7. Tatalaksana Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 1). Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), 2). Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, spt jamur, TB, hepatitis; 3). Pengobatan suportif, yaitu makan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain spt dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup. a. Terapi antiretroviral Manfaat pemberian antiretroviral: - Menurunkan angka kematian - Menurunkan risiko perawatan di RS - Menekan viral load - Memulihkan kekebalan - Menurunkan resiko penularan Pemberian ARV menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi jauh lebih baik. infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat jg dapat disembuhkan. Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan limfosit CD4 kurang dari 350 sel/mm3. Pasien asimtomatik dengan limfosit CD$+ 200-350 sel/mm 3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml, terapi ARV dapat dimulai. Terapi ARV tidak dianjurkan pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. 2.8. Pencegahan dan Edukasi Pencegahan HIV penting terhadap kesehatan masyarakat, termasuk sirkumsisi pada pria, pemberian antiretroviral pada pencegahan transmisi ibu yang terinfeksi terhadap anaknya, terapi antiretroviral pada orang yang terinfeksi HIV untuk mencegah transmisi dan antiretroviral untuk profilaksis pada pemaparan. Tehnik pencegahan yang masih dalam proses penelitian adalah vaksin dan mikrobisida vagina.7 Cara utama untuk mencegah infeksi HIV adalah dengan mengurangi resiko paparan HIV seperti berhubungan seksual tanpa kondom atau menggunakan jarum bersama dan peralatan injeksi lainnya. a. pencegahan primer seperti edukasi b. Pencegahan sekunder ditujukan untuk penderita odha c. Pencegahan tersier terdiri dari rehabilitasi fisik dan mental 2.9. Etik dalam menanggapi AIDS (KODEKI) 3. Pandangan Islam terhadap HIV / AIDS



Sumber : Amanah, A., 2015. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT T CD4+ DAN KADAR IL-2 PADA PENDERITA HIV DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (Doctoral dissertation, Master Program of Biomedical Science). Campbell, N. A. & J. B. Reece. 2010. 3. Biologi, Edisi Kedelapan Jilid 3 Terjemahan: Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Erlangga. Djoerban Z, Djauzi S. 2009. HIV/AIDS di indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing; Nasronudin. 2007. Pendekatan biologi, molekuler, klinis, dan sosial HIV dan AIDS. Surabaya: Airlangga University Press; Prayuda, M.R., 2015. Pencegahan dan Tatalaksana HIV/AIDS. Jurnal Agromedicine, 2(3), pp.232-236. Suhaimi, D., Savira, M. and Krisnadi, S.R., 2009. Pencegahan dan penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS pada kehamilan. Majalah Kedokteran Bandung, 41(2). https://www.academia.edu/36651750/Imunodefisiensi