PBL Skenario 4 Blok MPT Yarsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Defisiensi Imun 1.1 Definisi Defisiensi dari respon imun atau gangguan dengan ciri khas defisiensi respon imun seperti sel B, sel T, imunodefisiensi kombinasi, penyakit disfungsi fagositik. 1.2 Etiologi Penyakit imunodefisiensi dapat disebabkan dari keturunan (herediter) yang memengaruhi perkembangan sistem imun, atau dapat terjadi akibat efek sekunder penyakit lain (seperti infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas, atau kemoterapi). Secara klinis pasien imunodefisiensi mengalami kenaikan kerentanan terhadap penyakit infeksi dan juga beberapa jenis kanker. Pasien dengan kekurangan imunoglobulin, komplemen, atau sel fagosit biasanya mengalami infeksi bakteri piogenik secara berulang; sebaliknya, pasien dengan gangguan pada imunitas yang diperantarai oleh sel cenderung menderita infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri intrasel. 1.3 Klasifikasi a. Defisiensi Imun Primer (kongenital) Defisiensi imun primer jarang terjadi, kebanyakan dari penyakit ini diturunkan secara genetik dan mempunyai pengaruh terhadap mekanisme imunitas spesifik (humoral maupun selular) atau mekanisme imunitas bawaan, termasuk protein komplemen dan sel seperti fagosit dan sel NK. Kegagalan pada mekanisme imunitas spesifik sering kali diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan pada komponen primer yang terserang (sel B atau sel T atau keduanya). Defek sel T hampir selalu menyebabkan gangguan sintesis antibodi, sehingga defisiensi sel T sendiri biasanya tidak dapat dibedakan dengan defisiensi kombinasi sel T dan sel B. Sebagian besar imunodefisiensi primer membutuhkan perhatian diawal-awal (antara usia 6 bulan dan 2 tuhan, biasanya karena kerentanan janin terhadap infeksi berulang. Modern biologi molekular sudah dapat mengidentifikasikan dasar genetik pada defisiensi imun primer, hal ini dapat menjadi dasar terapi gene replacement pada masa mendatang. Penyakit Etiologi Penyakit Bruton Kelainan pada sel pra-B untuk -Pengurangan jumlah sel B di sirkulasi, berdiferensiasi menjadi sel B dengan pengurangan jumlah Ig pada serum. -Jumlah sel pra-B pada sumsum tulang normal atau dapat berkurang -Pusat germinativum pada organ limfoid tidak berkembang -Tidak terdapat sel plasma pada tubuh -Respon sel T normal Imunodefisiensi Gangguan respons antibodi -Mempunyai sel B matur dalam jumlah variabel umum terhadap infeksi atau vaksin normal -Sel plasma tidak ditemukan -Kurangnya bantuan sel T atau aktivitas supresor sel T yang belebihan



Defisiensi IgA tersendiri



Sindrom DiGeorge



Sindrom Hiper IgM



Imunodefisiensi kombinasi berat (SCID)



Melemahnya pertahanan pada mukosa, memudahkan mereka mengalami infeksi sinopulmonal dan diare berulang Kelainan dalam perkembangan timus yang disertai dengan pematngan sel T yang tidak sempurna. (Delesi pada kromosom 22q11) Mutasi pada gen yang mengkode CD40L pada kromosom X. Yang menyebabkan sel T tidak mampu menginduksi isotype switching sel B. -Mutasi gen yang mengkode ADA (enzim yang membantu metabolisme purin)



-Hambatan pada diferensiasi sel B yang menyekresi IgA menjadi sel plasma -IgM dan IgG terdapat dalam jumlah normal maupun diatas normal. -Tidak ditemukan sel T dalam kelenjar getah bening, limpa, serta darah perifer. -Tidak kerusakan pada imunitas dengan bantuan sel T -Sel B dan Ig serum biasanya normal -Menghasilkan kadar antibodi IgM terhadap antigen secara normal/lebih dari normal. -Kurang mampu menghasilkan IgG, IgA atau IgE -Mmenyebabkan penumpukan metabolit beracun pada maturasi dan proliferasi limfosit -Kegagalan ekspresi MHC kelas II -Limfonodus dan jaringan limfoid mengalami atopi -limfopenia, kekurangan sel T dan sel B -Kenaikan jumlah sel T imatur dan sel B yang tidak berfungsi



b. Defisiensi Imun Sekunder (didapat) Lebih sering terjadi daripada defisiensi imun primer. Defisiensi imun sekunder dapat ditemukan pada penderita malnutrisi, infeksi, kanker, penyakit ginjal atau sarkoidosis. Penyebab yang paling sering terjadi pada pasien yang menerima terapi untuk mensupres fungsi sumsum tulang belakang atau fungsi limfosit. 1.4 Pemeriksaan Pemeriksaan defek produksi antibodi a. Hitung darah komplit dan manual differential. Memudahkan untuk melihat jika ada jumlah yang tidak normal pada limfosit, neutrofil dan trombisit b. Quantitative serum immunoglobulin levels. Kuantisasi dari kadar imunoglobulin dapat dilakukan dengan CLIA (Clinical Laboratories Improvement Act) c. Pengukuran dari spesifik antibodi terhadap vaksin. Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah penyakit kekurangan antibodi ini hanya terjadi jika imunoglobulin serum tidak terlalu rendah atau terjadi saat ig serum rendah. Pemeriksaan defek selular atau kombinasi a. Hitung sel darah putih dengan manual differential harus diperoleh untuk menentukan apakah pasien kekurangan limfosit(limfopenia).



Lahir



≤2500/μL



5-6 bulan – 1 tahun



≤4000/μL



Dewasa



≤1000/μL



Tes ini juga dapaat menentukan apakah pasien mempunyai jumlah neutrofil yangr endah atau mempunyai jumlah neutrofil yang meningkat. Pemeriksaan defek sel imun fagositik a. Hitung darah komplit dan differential dibutuhkan untuk menentukan apakah sel fagostik (neutrofil) dalam jumlah normal. Tes ini dinamakan absolut neutrophil count (ANC) yang dilakukan berkali kali (co, 2 kali per minggu selama 1 bulan) b. Respiratory burst assay. Dilakukan untuk menentukan jika sel fagositik dapat memproduksi oksigen radikal yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri dan jamur. Neutrofil dari pasien dengan CGD (chronic granulomatosus disease) tidak memproduksi oksigen radikal itu. Pemeriksaan defek komplemen. Pemeriksaan CH50 adalah pemeriksaan yang tepat untuk defisiensi komplemen. Untuk defek alternative pathway dapat dilihat dengan uji AH50 2. Memahami dan Menjelaskan HIV 2.1. Definisi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari system kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam family Retroviridae, subfamily Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, system kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indicator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah blood-borne virus yang biasanya ditransmisikan melalui hubungan seksual, penggunaan obat intravena bersama dan penularan dari ibu ke anak (Mother to Child Transmission – MTCT), yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau selama menyusui. Penyakit HIV disebabkan oleh infeksi HIV-1 atau HIV-2, yang masuk dalam family Retroviridae, genus Lentivirus. [Sumber: Medscape – author: Nicholas John Bennett] 2.2. Struktur HIV merupakan suatu virus RNA bentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari family Lentivirus. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop ysng terdiri atas glikoprotein gp120



yang melekat pada glikoprotein gp 4. Di bagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Sumber: IPD 2.3. Klasifikasi Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1. Sumber: IPD 2.4. Etiologi HIV merupakan virus ribonucleid acid (RNA) yang termasuk dalam subfamily Lentivirus dari family Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe: HIV-1 yang menyebar luas ke seluruh dunia; dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa. Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. 2.5. Cara Penularan 1. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual. 2. Melalui darah, yaitu:  Transfusi darah yang mengandung HIV, risisko penularan 90-98%  Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%  Terpapar mukosa yang mengandung HIV, risiko penularan 0,0051% 3. Transmisi dari ibu ke anak  Selama kehamilan  Saat persalinan, risiko penularan 50%  Melalui air susu ibu (ASI) 14% [Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.] 2.6. Patogenesis Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritic selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu (serupa infeksi mononucleosis), disertai Viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respons imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah



dapat diturunkan oleh system imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respons imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju acquired immunodeficiency syndrome (sindrom defisiensi imun yang didapat, AIDS) akan berlangsung lebih cepat. Serokonversi (perubahan antibody negative menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan terhadap jumlah CD4 (jumlah normal 800-1.000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target sel utama HIV. Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200. [Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.] 2.7. Patofisiologi Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4 akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang tidak spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD4 selama bertahun-tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan. [Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV] 2.8. Manifestasi Klinis Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrom retroviral akut, demensia HIV), infeksi oportunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4. Infeksi Retroviral Akut Frekuensi gejala infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatosplenomegaly, nyeri tenggorok, myalgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan, diare, leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan neurologi seperti meningitis aseptic, sindrom Guillain Barre, atau psikosis akut. Sindrom ini biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan. Masa Asimptomatik Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati umum. Penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut juga masa jendela (window period).



Masa Gejala Dini Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara 100-300. Gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia bacterial, kandidosis vagina, sariawan, herpes zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberculosis paru. Masa ini dulu disebut AIDS Related Complex (ARC). Masa Gejala Lanjut Pada masa ini jumlah CD4 di bawah 200. Penurunan daya tahan yang lanjut ini menyebabkan risiko tinggi terjadinya infeksi oportunistik berat atau keganasan. [Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.] 2.9. Diagnosis Pada masa jendela, bila beruntung, kita mungkin mengenal manifestas sindrom retroviral akut. Pemeriksaan antibody HIV pada masa ini masih negative sehingga perlu dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau biakan virus. Indikasi tes antibody HIV adalah kecurigaan kemungkinan risiko penularan seperti melakukan hubungan seks yang taka man, pecandu narkotika suntikan, pasien penyakit menular seksual (PMS), pasien hemophilia (yang sering mendapat infus faktor pembekuan sebelum tahun 1985), tusukan jarum yang telah digunakan pada orang terinfeksi HIV, serta bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV. Tes ini bisa dilakukan pada masa tanpa gejala (asimtomatik). Meski tes ini dappat dilakukan di laboratorium yang mempunyai fasilitas sederhana sebaliknya kita mengirim bahan ke laboratorium yang telah berpengalaman. Pada fase AIDS, manifestasi klinis dapat berupa demam, sariawan, penurunan berat badan, batuk kronik, diare kronik, pembesaran kelenjar limfe, serta kelainan kulit. Anamnesis tentang perilaku berisiko amat penting, tetapi sering kali baru dapat dilakukan bila hubungan dokter-pasien telah terbina baik. Berdasarkan kecurigaan klinis, maka dokte dapat melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Pemeriksaan penunjang yang sederhana, murah dan mudah dilakukan adalah pemeriksaan anti HIV. Diagnosis infeksi HIV berdasar kemungkinan penularan dan pemeriksaan antibody HIV positif (telah dikonfirmasi dengan tes Western Blot). Diagnosis AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik atau kanker terkait yang telah ditetapkan dan antibody HIV positif. Pada revisi kriteria keadaan yang berhubungan dengan AIDS tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4 dibawah 200 sebagai salah satu kriteria sehingga meski belum ada infeksi oportunistik atau kanker terkait, bila jumlah CD4 telah di bawah 200 digolongkan dalam AIDS. Revisi kriteria menurut Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat tahun 1993 untuk keadaan yang berhubungan dengan HIV:     



Kandidosis bronkus, trakea, paru Kandidosis esophagus Kanker serviks invasive Koksidiodomikosis diseminata atau ekstrapulmonal Kriprokokosis ekstrapulmonal



                  



Kriptosprodiosis intestinal kronik (>1 bulan) Infeksi sitomegalovirus (kecuali di hati, limpa, atau kelenjar getah bening) Rinitis sitomegalovirus dengan gangguan pengelihatan Ensefalopati yang terkait HIV Herpes simpleks, ulkus kronik (>1 bulan) atau bronchitis, pneumonia, atau esofagitis Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmonal Isosporiasis intestinal kronik (>1 bulan) Sarkoma Kaposi Limfoma Burkitt (atau terminology yang sesuai) Limfoma imunoblastik (atau terminology yang sesuai) Limfoma primer pada otak Mycobacterium avium kompleks atau M. kansasii diseminata atau ekstrapulmonal Mycobacterium tuberculosis, pulmoner atau ekstrapulmonal Pneumonia Pneumocystis carinii Pneumonia rekurens Leukoensefalopati multifocal progresif Seprikemia salmonella rekurens Ensfalitis toksoplasma Wasting syndrome yang terkait HIV



[Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.] Konseling dan Tes HIV 1. Konseling Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV: a. Konseling dan tes HIV sukarela (voluntary counseling & testing/VCT) b. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (provider-initiated testing and counsling/PITC) Hingga saat ini, PITC merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan. Petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, pasien infeksi menular seksual dan seluruh pasangan seksualnya). 2. Tes HIV Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan tiga pemeriksaan dan selalu didahului dengan konseling pra-test atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifitas tinggi (>99%) Hasil



Interpretasi



Tindak Lanjut



Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan lebih dari tiga bulan sebelumnya maka pasien diberi konseling cara menjaga tetap A1 (-) atau Non-reaktif negative. A1 (-), A2 (-), dan A3 (-) Bila belum yakin ada tidaknya faktor risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan dalam tiga bulan terakhir maka dianjurkan untuk tes ulang dalam 1 bulan Ulang tes dalam 1 bulan; A1 (+), A2 (+), dan A3 (-), atau A1 Indeterminate Konseling cara menjaga agar (+), A2 (-), dan A3 (-) tetap negative ke depannya Lakukan konseling hasil tes A1 (+), A2 (+), dan A3 (+) Reaktif atau Positif positif dan rujuk untuk mendapatkan pengobatan. Pemeriksaan A1 umumnya menggunakan ELISA atau EIA sebagai skrining dasar. ELISA mendeteksi antibody terhadap antigen HIV-1 dan HIV-2; tes ELISA terbaru dapat mendeteksi sekaligus antibody HIV dan antigen p-24 HIV. 



  



Hasil ELISA dapat berupa: positif (sangat reaktif), negative (nonreaktif), indeterminate (reaktif parsial). Jika hasilnya negative, pasien tidak diperiksakan lagi kecuali ada indikasi atau kecurigaan kuat bahwa pasien berada dalam infeksi HIV awal (3 bulan pertama). Jika hasilnya positif atau indeterminate, tes ELISA harus diulang. Setelah tes diulang 2 kali dan hasil keduanya negative, pasien dikatakan negative HIV. Setelah diulang, hasilnya positif/indeterminate, harus dilakukan pemeriksaan dengan Western Blot untuk HIV-1: - Jika Western Blot hasilnya negative, diagnosis HIV-1 dapat disingkirkan - Jika Western Blot hasilnya indeterminate, pemeriksaan harus diulang dalam 4-6 minggu.



Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil “negative”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko. Pemeriksaan HIV lainnya: 



 



Pemeriksaan antigen p-24 (p-24 antigen capture assay): deteksi protein virus p-24 berbentuk antigen yang bebas, atau yang terikat dengan antibody p-24 dalam darah pasien yang terinfeksi HIV. Hitung CD4. CD4 sebagai indicator keadaan system imun pada pasien dengan HIV. Jumlah virus HIV (viral load) dengan PCR-RNA.



Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. PENCEGAHAN INFEKSI OPORTUNISTIK YANG DIREKOMENDASIKAN Infeksi Oportunistik



Indikasi



Obat Profilaksis



Tuberkulosis



 



INH 300mg/hari + 50 mg vit B6/hari, atau INH 900 mg 2x/minggu + 50 mg vit B6/hari sedikitnya selama 1 tahun



Toksoplasmosis M. avium kompleks



PPD lebih 5 mm Penderita dengan riwayat PPD positif tanpa kemoprofilaksis  Risiko kontak dengan penderita TB aktif  Penderita PCP  Belum pernah PCP dengan CD4 350 (boleh ditunda bila CD4 >350 dan viral load rendah 350 sel/mm3 tanpa melihat stadium klinis WHO. IV. Tanpa melihat hitung CD4:  Pasien HIV dengan penyakit TB aktif;  Pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B dengan penyakit hati kronis;  Perempuan HIV yang sedang hamil atau menyusui;  Pada pasien HIV yang memiliki pasangan serodiscordant (berbeda status HIV; satu orang positif dan pasangan negative) dapat dipertimbangkan untuk pemberian ARV untuk mengurangi transmisi pada pasangan yang belum terinfeksi. b. Anjuran Pemilihan ARV Lini Pertama, berupa kombinasi 2 nucleoside reversetranscriptase inhibitors (NRTIs) + 1 non-nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI):  TDF + 3TC (atau FTC) + EFV; bila regimen ini dikontraindikasikan, maka alternatifnya:  AZT + 3TC + EFV  AZT + 3 TC +NVP  TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Tidak direkomendasikan menggunakan d4T sebagai regimen lini pertama karena efek samping toksisitas metabolic yang berat. Perlu diingat, baik sebagai lini pertama maupun kedua, terdapat beberapa kombinasi ARV yang tidak dianjurkan, antara lain:   



Mono atau dual terapi, karena cepat menimbulkan resistensi; d4T + ACT (bersifat antagonis); d4T + ddI (toksisitas tumpeng tindih);







3TC + FTC (bisa saling menggantikan, tetapi tidak boleh digunakan secara bersamaan);  TDF + 3TC + ABC atau TDF + 3TC + ddI (meningkatkan mutase K65R dan sering terjadi kegagalan virologis);  TDF + ddI + NNRTI apapun (sering terjadi di kegagalan virologis secara dini) c. Pemantauan Terapi ARV  Pemantauan klinis pada minggu ke-2 , 4, 6, 8, 12, dan 24 setelah memulai ARV; dilanjutkan setiap 6 bulan bila pasien mencapai kondisi stabil. Penilaian klinis termasuk evaluasi tanda-gejala efek samping obat, kegagalan terapi ARV, frekuensi infeksi, serta konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan.  Pemeriksaan hitung CD4 rutin setiap 6 bulan;  Pemeriksaan jumlah RNA virus (viral load) di Indonesia belum dianjurkan untuk pemantauan rutin terapi ARV. Namun, viral load digunakan untuk mendeteksi kegagalan terapi. Idealnya, viral load diperiksa pada 6 bulan setelah inisiasi ARV, dilanjutkan setiap 12 bulan. Diharapkan, viral load menjadi tidak terdeteksi setelah 6 bulan terapi ARV.  Pemeriksaan laboratorium spesifik terkait efek samping obat:  Terapi AZT: pemeriksaan Hb sebelum terapi dan pada minggu ke-4, 8, dan 12 setelah terapi;  Terapi TDF: pemeriksaan kretinin serum dan urinalisis;  Terapi NVP: pemeriksaan SGPT (ALT) pada minggu ke-2, 4, 8, dan 12 setelah terapi;  Terapi d4T: deteksi kejadian asidosis laktat;  Meski tidak rutin, penggunaan protease inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid. d. Sindrom Pulih Imun (Immune Reconstitution Syndrome/IRIS) Merupakan perburukan kondisi klinis akibat respons inflamasi berlebihan saat pemulihan respons imun pasca pemberian terapi ARV. IRIS dapat bermanifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun noninfeksi. Mekanisme IRIS belum diketahui dengan jelas, namun respons imun yang berlebihan. Kriteria diagnosis sindrom pulih imun menurut Internatuonal Network Study og HIVassociated IRIS (INSHI), sebagai berikut:  Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan: - Mendapat terapi ARV; - Penurunan viral load > 1 loh kopi/mL  Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan inisiasi terapi ARV  Gejala kinis tersebut bukan disebabkan oleh: - Gejala klinis dari infeksi yang ddiketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan; - Efek samping obat atau toksisitas; - Kegagalan terapi, dan - Ketidakpatuhan menggunakan ARV



Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV 2.11. Epidemiologi Infeksi HIV dan AIDS secara global. Infeksi HIV/AIDS adalah pandemik global, dengan laporan kasus pada setiap negara. Perkiraan sementara infeksi HIV pada dewasa di seluruh dunia adalah 37 juta, 2/3 diantaranya penduduk di sub-sahara afrika; 50% kasusnya adalah wanita. Dengan perkiraan 2.5 juta diantaranya adalah anak-anak dibawah 15 tahun. Menurut Joint United Nations Programee terhadap HIV/AIDS pada tahun 2003, terdapat 5juta kasus baru di seluruh dunia (>14.000 kasus baru setiap harinya) dan 3juta kematian yang disebabkan oleh AIDS, hal ini menempatkan penyakit ini menjadi penyakit ke-4 yang menyebabkan kematian secara global.



[Sumber: Kasper, Dennis L et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. McGraw-Hill. 2005] 2.12. Prognosis Prognosis pada pasien dengan infeksi HIV yang tidak diobati buruk, dengan tingkat kematian secara keseluruhan lebih dari 90%. Rata-rata waktu dari infeksi sampai mati adalah 8-10 tahun, meskipun variabilitas individu berkisar kurang dari 1 tahun untuk long-term non progression. Banyak variable telah terlibat dalam tingkat perkembangan HIV, termasuk CCR5—delta32 heterozigositas , kesehatan mental, penyalahgunaan obat bersamaan atau alcohol, superinfeksi dengan HIV strain yang lain, gizi, dan usia. 3. Memahami dan Menjelaskan Etika dalam Menangani Pasien Khusus HIV Jika dokter menemukan pasien yang terdiagnosis HIV positif, dokter diwajibkan untuk merahasiakan hal tersebut seperti yang sudah disebutkan dalam sumpah dokter menurut SK Menkes RI 434/Menkes/SK/X/1983 pada poin 5 disebutkan, saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter. Dalam KODEKI yang diputuskan PB IDI, tentang kewajiban dokter terhadap pasien pada pasal 12 berbunyi, setiap dokter wajib merahasiakan



segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Selain menjaga kerahasiaan pasien, dokter juga diwajibkan untuk memberikan pelayanan kesehatan, seperti yang disebutkan pada KODEKI Pasal 10 berbunyi, setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pa sien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai.keahlian dalam penyakit tersebut. Sikap tulus ikhlas yang dilandasi sikap profesional seorang dokter dalam melakukan tugasnya sangat diperlukan karena sikap ini akan menegakkan wibawa dokter, memberikan kepercayaan dan ketenangan bagi pasien, sehingga pasien bersikap kooperatif yang memudahkan dokter dalam membuat diagnosis dan memberikan terapi. Dokter perlu pula bersikap ramah tamah dan sopan santun terhadap pasien. Pendekatan yang dilakukan dokter dalam upaya penyembuhan hendaknya selalu holistik sifatnya, dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek fisik, tetapi juga aspek psikis, spiritual, dan intelektual pasiennya. Selain itu, dalam pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mennyatakan: “Setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial yang penting” Rahasia kedokteran merupakan hak pasien yang wajib dihormati. Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan undang-udang HIV dalam kehamilan. Pada pemeriksaan antenatal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV seropositif perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh HIV terhadap kehamilan dan sebaliknya pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anah tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menlrrsui. Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasuskasus HIV sero-positif. Dalam hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya atau pihak ketiga lainnya karena ia memiliki hak dan tanggung jawab untuk itu. Jika keadaan ibu hamil tersebut membahayakan pasangannya, perlu dipertimbangkan'untung ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Dokter dengan HIV positif tidak pdrlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhatihati melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologik, serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan. [Sumber: Jusuf Hanafiah, M & Amri Amir. 2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. Jakarta: EGC.] 4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Tentang Kasus HIV Tindakan Preventif



Sumber penyakit AIDS ini jelas, yaitu gonta-ganti pasangan seks, atau perzinaan, dan seks bebas. Maka, pintu ini harus ditutup rapat-rapat. Karena itu, dengan tegas Islam mengharamkan perzinaan dan seks bebas. Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perzinaan itu merupakan perbuatan yang keji, dan cara yang buruk.” (QS. Al-Isra [17]:32) Islam bukan hanya mengharamkan perzinaan, tetapi semua jalan menuju perzinahan pun diharamkan. Islam, misalnya, mengharamkan pria dan wanita berkhalwat (menyendiri/berduaan). Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Hendaknya salah seorang di antara kalian tidak berdua-duaan dengan seorang wanita, tanpa disertai mahram, karena pihak yang ketiga adalah setan.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i). Tidak hanya berduaan, memandang lawan jenis dengan syahwat juga dilarang. Dengan tegas Nabi menyatakan, bahwa zina mata adalah melihat (HR. Ahmad) Nabi juga melarang pandangan kedua (pandangan yang disertai dengan syahwat) (HR. Ahmad,at-Tirmidzi dan Abu Dawud). Bahkan Nabi pernah memalingkan kepala Fadhal bin Abbas ketika memandangi wajah perempuan Khas’amiyah, seraya bersabda, “Pandangan yang bersumber dari syahwat itu merupakan busur panah setan.” Dalam riwayat lain Nabi menyatakan, “Dua mata berzina, ketika keduanya sama-sama melihat. Dua tangan berzina, ketika keduanya meraba.” (as-Sarakhshi, al-Mabsuth, X/145). Tindakan Kuratif Jika seluruh hukum dan ketentuan diterapkan, maka praktis pintu zina telah tertutup rapat. Dengan begitu, orang yang melakukan zina, bisa dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar nekat. Maka terhadap orang-orang seperti ini, Islam memberlakukan tindakan tegas. Bagi yang telah menikah (muhshan), maka Islam memberlakukan sanksi rajam (dilempari batu) hingga mati. Ketika Maiz Al-Aslami dan al-Ghamidiyyah melakukan zina, maka keduanya dirajam oleh Nabi SAW hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghair muhshan), Islam memberlakukan sanksi jild (cambuk) hingga 100 kali. Dengan tegas Allah menyatakan, “Pezina perempuan dan laki-laki, cambuklah masing-masing di antara mereka dengan 100 kali cambukan.” (QS. An-Nur [24]:02) Maslahat dari penerapan seluruh ketentuan dan hukum ini adalah terbebasnya masyarakat dari perilaku seks yang tidak sehat. Tidak hanya itu, perilaku seks yang menjadi sumber penyakit AIDS pun benar-benar telah ditutup rapat. Jika pelaku zina muhshan dirajam sampai mati, maka salah satu sumber penyebaran penyakit AIDS ini pun dengan sendirinya bisa dihilangkan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tertular penyakit AIDS, dan bukan pelaku zina? Seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual, atau anak-anak balita, dan orang lain yang tertular, misalnya, melalui jarum suntuk dan sebagainya? Karena ini merupakan jenis virus yang berbahaya dan mematikan, maka para penderitanya bisa dikarantina. Ini didasarkan pada hadits Nabi, “Larilah kamu dari yang terkena lepra, sebagaimana kamu melarikan diri dari (kejaran) singa.” (HR. Abdurrazaq, al-Mushannaf, X/405). Nabi memerintahkan kita lari dari penderita lepra, karena lepra merupakan penyakit menular. Dari hadits ini bisa ditarik dua hukum: Pertama, perintah melarikan diri, yang berarti penderitanya harus dijauhkan dari orang sehat. Dalam konteks medis, tindakan ini bisa diwujudkan dalam bentuk karantina. Artinya, penderita lepra harus dikarantina. Kedua, lepra sebagai jenis penyakit menular bukan lepra sebagai penyakit tertentu. Berarti, ini bisa dianalogikan kepada penyakit menular yang lain. Karena itu,



berdasarkan hadits ini, penderita AIDS bisa disamakan dengan penyakit lepra, karena sama-sama menderita penyakit menular. Tindakannya juga sama, yaitu sama-sama harus dikarantinakan. Sumber: Rosyidah, F. 2011. Kritik Islam terhadap Strategi Penanggulangan HIV-AIDS Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika HIV-AIDS.