MTE Infeksi Covid Dalam Kehamilan 1-Dikonversi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Meet The Expert



INFEKSI COVID DALAM KEHAMILAN



Oleh : Arfozha Radya Gruveno 2040312008 Rara Avira Viandini 2040312102 Ghina Muthmainnah



2040312078



Nadiya Ulfa Mawardi Nurul Ramadhini Isna Annisatuzzakiyah



2040312051 2040312130 2040312013



Preseptor : Prof.Dr.dr.Yusrawati, Sp.OG(K)-FM



BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUP DR M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2021



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Corona virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan gangguan pada saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang terjadi pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada Desember 2019 dan menyebar dengan cepat di seluruh dunia. Kasus infeksi ini pertama kali berasal dari sebuah Pasar yang menjual berbagai seafood dan hewar liar di kota tersebut. Berdasarkan analisis sampel Swab oleh Chines Centre for Disease Control and Prevention (CCDC) diketahui terdapat sekuens genome SARS-CoV-2 pada subjek penderita dan juga kelelawar yang dicurigai sebagai hospes reservoir. Hingga saat ini, SARS-CoV-2 dapat tertransmisi dari manusia ke manusia.1 Badan kesehatan dunia, WHO, mengumumkan COVID-19 sebagai wabah pandemi pada tanggal 30 Januari 2020. Hal ini disebabkan karena begitu cepatnya perkembangan kasus COVID-19 dalam 2 minggu dan telah menyebar di seluruh dunia.2 Data menyebutkan bahwa terdapat 7.734 kasus yang telah terkonfirmasi di Cina pada hari itu. Pada tanggal 30 Maret 2020,WHO mengkonfirmasi terdapat 632.146 kasus dengan 30.105 kasus kematian di 203 Negara di seluruh dunia.3 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa terdapat total 1.285 terkonfirmasi positif dengan 114 kematian pada hari itu.4 Sebanyak 80% infeksi COVID-19 tergolong asimptomatis maupun dengan gejala ringan (mild), 15% sedang (severe) yang membutuhkan oksigen, dan 5% berat yang membutuhkan ventilator (WHO, 2020). Gejala COVID-19 muncul setelah masa inkubasi (1–5 hari) yaitu masa dimana virus SARS-CoV-2 masuk dan menginfeksi saluran pernapasan pasien. Gejala COVID-19 dapat terjadi pada hari ke 7 hingga ke 14 tergantung dari status sistem imun seseorang. Gejala klinis COVID-19 yang sering muncul yaitu panas tinggi (>37.5°C),bersin,sesaknapas,dan batukkering. Manifestasi klinis lain yang mungkin muncul pada pasien diantaranya



diare, limfopenia, dan kerusakan paru-paru yang ditunjukkan dari pemeriksaan foto toraks.5 Wanita hamil merupakan kelompok yang rentan mengalami gangguan kesehatan khususnya penyakit infeksi dikarenakan adanya perubahan fisiologi tubuh dan mekanisme respon imun di dalam tubuhnya. Selain itu juga terdapat perubahan imunitas tubuh dari arah Th1 ke arah Th2. Berdasarkan data kasus wanita terkonfirmasi positif di Amerika Serikat pada Agustus 2020 sejumlah 15.735 jiwa (0,3% dari total kasus terkonfirmasi positif).6 Menurut data Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Jakarta, 13,7% perempuan hamil lebih mudah terinfeksi Covid-19, dibandingkan mereka yang tidak hamil.7 1.2 Tujuan Penulisan Penulisan Meet The Expert ini bertujuan untuk memahami srta menambah pengetahuan mengenai infeksi Covid dalam kehamilan. 1.3 Batasan Penulisan Batasan penulisan Meet The Expert ini membahas mengenai infeksi Covid, pengaruh Covid pada kehamilan, pengaruh kehamilan pada Covid, pengaruh Covid pada janin. 1.4 Metode Penulisan Penulisan Meet The Expert ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan yang merujuk ke berbagai literatur.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 COVID-19 2.1.1 Definisi Corona virus disease 2019 (COVID-19) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus RNA yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Tanda dan gejala umum berupa gangguan pernafasan akut, batuk, dan sesak nafas.8 2.1.2 Epidemiologi Prevalensi kasus COVID-19 di seluruh dunia, berdasarkan data laporan WHO per tanggal 28 Juli 2021, didapatkan 195.266.156 kasus terkonfirmasi dengan 4.180.161 kematian.9 Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia.8 Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) sampai dengan 28 Juli 2021, total kasus terkonfirmasi secara keseluruhan mencapai 3.287.727 kasus dengan 88.659 kematian.10 Prevalensi kasus COVID-19 di Provinsi Sumatera Barat, berdasarkan data terbaru per tanggal 28 Juli 2021 kasus terkonfirmasi COVID-19 sebanyak 68.074 kasus dengan kematian sebanyak 1.445 kasus.11 Angka kejadian COVID-19 di Kota Padang per tanggal 28 Juli 2021 sudah mencapai 32.356 kasus dengan 463 kasus kematian.12 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 5-10 µm. Penularan melalui droplet dapat terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam ±1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan seperti batuk atau bersin sehingga droplet berisiko mengenai mukosa mulut dan hidung



atau



konjungtiva.



Penularan SARS-CoV-2 juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet sekitar orang yang terinfeksi.8 Selain itu, SARS-COV-2 dapat terdeteksi pada spesimen non-pernapasan, seperti tinja, darah, sekret mata, air mani, dan air susu ibu. Oleh karena itu rute penularan lain juga telah dipertimbangkan, meskipun peran mereka dalam penularan virus masih belum diketahui.15 Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di harihari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala.13 2.1.4 Patogenesis Virus SARS-CoV-2 dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring, kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius. Selanjutnya, virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan



Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem renal dan traktus gastrointestinal.16 Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung pada priming protein S ke protease selular, yaitu TMPRSS2.17,18,19 Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang hampir identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia dibandingkan dengan SARS-CoV.20 Periode inkubasi untuk COVID-19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta pasien belum merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah, terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk dengan ditandai oleh timbulnya sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARSD), sepsis, dan komplikasi lain.Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan usia (di atas 70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hipertensi, dan obesitas.16,21 Sistem imun innate dapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-I-like receptors, NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor antiviral seperti sel CD8+, sel Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV, dicirikan dengan replikasi virus yang cepat dan produksi IFN yang terlambat, terutama oleh sel dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya diikuti oleh peningkatan kadar sitokin proinflamasi seiring dengan progress penyakit.19,22



Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imun yang berlebihan pada inang. Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan disebut “badai sitokin”. Badai sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi berlebihan dimana terjadi produksi sitokin yang cepat dan dalam jumlah yang banyak sebagai respon dari suatu infeksi. Dalam kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun innate dikarenakan blokade oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya, hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNF-α, IL-8, MCP-1, IL-1 β, CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit. Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan sel NK, bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan sitokin proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan paru yang menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan ini dapat berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.16,19 Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah melalui droplet. Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui fekal-oral. Penelitian oleh Xiao dkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 73 pasien yang dirawat karena Covid-19, terdapat 53,42% pasien yang diteliti positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya meskipun pada sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih lanjut, penelitian juga membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 yang berlimpah pada sel glandular gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta ditemukan protein nukleokapsid virus pada epitel gaster, duodenum, dan rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga dapat menginfeksi saluran pencernaan dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi melalui fekal-oral.18,23



Gambar 2.1 Patogenesis dan Respon Imun Pada SARS-COV216



Gambar 2.2 Respon Immune Pada Covid-1916



2.1.5 Manifestasi Klinis Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah,



dan batuk kering. Beberapa orang mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Tidak ada perbedaan antara populasi umum dengan ibu hamil terhadap gejala yang mungkin timbul. Berdasarkan RCOG 2020 menyatakan bahwa kehamilan dan persalinan tidak meningkatkan risiko infeksi terhadap COVID-19. Perubahan sisitem imun fisiologis pada ibu hamil, berhubungan dengan gejala infeksi COVID-19 yang lebih besar. Kebanyakan ibu hamil hanya mengalami gejala cold/flu-like sympthomps derajat ringan sampai dengan sedang. Pada telaah sistematis pada 108 kasus kehamilan terkonfirmasi covid-10 didapatkan gejala klinis paling sering didapatkan adalah demam dan batuk (tabel 2.1.). Lebih dari 90% tidak memerlukan terminasi kehamilan. Risiko akan meningkat pada kehamilan dengan komorbid.13 Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.24 Tabel 2.1. Gejala Klinis pada Kehamilan terkonfirmasi Covid-1924



2.1.6 Diagnosis WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RTPCR.13 2.2 COVID-19 pada Kehamilan Kehamilan umumnya dianggap sebagai keadaan berisiko tinggi di konteks kondisi infeksi, sebagai perubahan imunologis kehamilan dapat meningkatkan kerentanan terhadap patogen dan komplikasi terkait mereka. Wanita hamil yang memiliki COVID-19 dan menunjukkan gejala lebih mungkin daripada wanita tidak hamil dengan COVID-19 dan gejalanya memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (ICU), membutuhkan ventilator (untuk bantuan pernapasan), atau meninggal karena penyakit tersebut. . Namun, risiko keseluruhan penyakit parah dan kematian bagi wanita hamil rendah. Wanita hamil dan baru saja hamil dengan beberapa kondisi kesehatan, seperti obesitas dan diabetes gestasional, mungkin memiliki risiko penyakit parah yang lebih tinggi, mirip dengan wanita tidak hamil dengan kondisi ini.27 2.2.1 Manifesasi Klinis dan Pertimbangan Manifestasi Pulmonal Kehamilan yang berpotensi berdampak pada fungsi paru-paru dan perubahan anatomi dalam sistem pernapasan. Perubahan fisiologis pada bentuk dada dan elevasi diafragma karena rahim menyebabkan perubahan fungsi pernapasan. Meskipun ada peningkatan 30-40% dalam volume tidal, pengurangan volume dada menyebabkan penurunan kapasitas residu fungsional, volume akhir ekspirasi, dan volume residu sejak awal kehamilan. Pengurangan total kapasitas paru-paru dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekret dapat menyebabkan ibu hamil lebih rentan terhadap gangguan pernapasan berat infeksi.40



ACOG merekomendasikan evaluasi klinis yang cepat untuk gangguan pernapasan dengan pemeriksaan fisik, analisis gas darah, denyut nadi oksimetri, dan penilaian radiologis sesuai indikasi. 1. Analisis gas darah dan oksimetri nadi Perubahan fisiologi pernafasan



selama



kehamilan



adalah



peningkatan ventilasi menit istirahat, peningkatan volume tidal sementara, frekuensi napas ibu hampir tidak berubah. Pada pasien hamil dengan infeksi COVID-19, memerlukan suplementasi oksigen lebih baik untuk ibu maupun janin. WHO merekomendasikan target oksigenasi yang lebih tinggi pada kehamilan, target SpO2 pada orang dewasa yang tidak hamil adalah >90%, sementara tujuan ini meningkat menjadi 92-95% pada ibu hamil. Hiperkapnia pada penderita COVID-19 yang tidak hamil memungkinkan untuk ventilasi pelindung, sementara hiperkapnia ibu dapat menyebabkan asidosis respiratorik pada janin. 2. Temuan radiologis Ibu hamil dengan COVID-19 lebih mungkin untuk memiliki konsolidasi campuran atau lengkap pada pencitraan dada.27 Manifestasi Imunologi Temuan laboratorium di antara pasien dengan COVID-19 adalah jumlah sel darah putih normal yang disertai dengan jumlah limfosit total yang menurun, atau limfopenia. Kehamilan, di sisi lain, ditandai oleh adanya leukositosis ringan dengan neutrofilia. Studi retrospektif dari 55 wanita hamil, jumlah limfosit yang lebih rendah adalah dicatat pada pasien dengan COVID-19 yang dikonfirmasi dibandingkan dengan kontrol, yang mungkin menunjukkan bahwa limfopenia dapat diandalkan sebagai penanda untuk perkembangan penyakit pada populasi ini.27 Sistem Koagulasi Interaksi kompleks antara respon imun terhadap infeksi dan aktivasi jalur koagulasi menyebbakan keadaan prokoagulan pada pasien yang menderita COVID19.32 Pasien berisiko mengalami trombus arteri dan vena. Kehamilan juga menimbulkan peningkatan risiko hiperkoagulabilitas.37 Akibatnya,penggunaan



profilaksis tromboemboli vena di antara pasien hamil dan pascapersalinan dengan COVID-19 juga direkomendasikan.27 Manifestasi Kardiovaskular Kehamilan menimbulkan perubahan hemodinamik, peningkatan curah jantung, peningkatan volume plasma, dan berkurangnya resistensi vaskular. Pada pasien COVID-19 dengan populasi orang dewasa secara umum, komplikasi kardiovaskular termasuk cedera miokard, miokarditis, kardiomiopati, infark miokard, dan aritmia.4 Meskipun tidak ada penelitian khusus yang menilai hal ini asosiasi dalam kehamilan, wanita hamil dengan penyakit dasar pada kardiovaskular atau metabolik mungkin berisiko tinggi menderita komplikasi terkait COVID-19.27 2.2.2 Skrining dan Diagnosis COVID-19 pada Maternal13 1. Skrining Universal untuk Covid-19 pada semua ibu hamil yang akan melahirkan perlu dilakukan secara rutin. Hal ini berdasar temuan pada studi di New York, dari 215 ibu yang melahirkan, 15.3% (33 kasus) yang positif, dengan mayoritas kasus yang positif tersebut (88%) tanpa gejala 2. Idealnya semua ibu hamil yang akan melahirkan dilakukan pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction test (RT-PCR) yang didapat melalui swab nasopharing dan oropharing sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosis pasti ("Universal testing dengan Swab RT-PCR"). 3. Pemeriksaan RT PCR merupakan standar baku (gold standard) untuk diagnosis Covid-19. 4. Skrining dikerjakan pada saat awal ibu hamil yang akan melahirkan datang ke rumah sakit (di Instalasi Gawat Darurat/Unit Gawat Darurat) 5. Rekomendasi skrining pada ibu bersalin secara umum tidak dibedakan dengan skrining Covid-19 secara khusus, yaitu dengan melakukan penapisan anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap gejala ISPA (demam [>38'C], batuk, sesak dan gejala flu lainnya) serta riwayat kontak erat dan atau riwayat domisili atau perjalanan ke daerah dengan transmisi lokal Covid-19.



6. Skrining ini tidak dapat mengidentifikasi kasus tanpa gejala yang tentunya ditambah dengan kesulitan untuk mengevaluasi riwayat kontak erat di masyarakat terutama di daerah dengan transmisi lokal Covid-19 yang masih tinggi dan luas maka diperlukan strategi tambahan untuk melakukan skrining Covid-19 pada kasus maternal yang mayoritas ditemukan dalam kondisi asimptomatik. 7. Sebagai tambahan maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk meningkatkan sensitivitas metode skrining tersebut, meliputi: tes serologis (darah lengkap dan rapid test Covid), CT scan thoraks atau foto thoraks 8. Pemeriksaan serologis antibodi Covid-19 dengan metode ELISA juga perlu dikerjakan untuk skrining awal. Antibodi Ig M dan Ig A terdeteksi dengan median 5 hari (Inter Quartile Range/IQR: 3-6 hari), dan Ig dideteksi setelah 14 hari (IQR: 10-18 hari). Pada jurnal ini juga disebutkan bahwa IgM, IgA dan IgG pada beberapa kasus dapat terdeteksi pada hari pertama gejala timbul untuk menunjukkan bahwa skrining dengan rapid ini ‘masih bisa digunakan’ dan ‘hasilnya sulit diprediksi’ Sehingga dapat digunakan sebagai alternatif skrining pada RS yang tidak dapat melakukan testing universal karena keterbatasan sumber daya. 9. Pemeriksaan darah lengkap yang dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis Covid-19 meliputi: Limfopenia dan Neutrofil/limfosit rasio (NLR) > 5.8 (sesuai Covid-19 Early Warning Score) 10. CT scan thoraks memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi dini Covid 19. Idealnya pada RS dengan fasilitas CT Scan thoraks melakukan pemeriksaan ini sebagai bagian dari skrining awal Covid-19 pada ibu yang mau melahirkan. 11. Gambaran Pneumonia pada CT Scan atau Foto thoraks mendukung kecurigaan ke arah Covid-19. Pada CT Scan biasanya didapatkan gambaran Ground Glass Opacities (GGO) atau konsolidasi multilobar bilateral, sedangkan pada foto thoraks didapatkan gambaran ruang udara perifer berbayang (peripheral airspace shadowing). 12. Jika RS tidak memiliki fasilitas CT Scan thoraks atau sulit melakukan pemeriksaan ini secara rutin, maka metode ini dapat digantikan dengan



pemeriksaan foto thoraks. Saat ini sedang dikembangkan kecerdasan buatan berbasis CT scan untuk meningkatkan akurasi diagnosis Covid 19 menggunakan foto toraks. 13. Penggunaan CT-Scan low dose dan foto thoraks dalam satu kali pemeriksaan memiliki paparan radiasi yang cukup rendah dan aman untuk ibu hamil. 14. Di RS dengan satuan tugas khusus Covid-19 atau ada dokter spesialis Paru, hasil pemeriksaan skrining bisa dikonsulkan kepada yang bersangkutan untuk memastikan kategori kasus. 15. Dari hasil skrining pasien dapat dikategorikan sebagai kasus non covid, suspek atau konfirmasi. 16. Pasien dengan salah ssatu item pemeriksaan skrining yang positif dapat dikategorikan sebagai kasus suspect (suspected cases). 17. Berdasarkan ‘Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 revisi 5 Kemenkes’ jika didapatkan kasus suspek dari evaluasi skrining diatas maka dilakukan pemeriksaan diagnostik covid-19 dengan swab RT-PCR 18. Pasien suspect perlu dimasukkan di ruang isolasi/ruang khusus di IGD/UGD untuk mencegah penularan kepada pasien maupun tenaga kesehatan sambil menunggu pemeriksaan diagnostik lanjutan. Upayakan untuk mempersingkat waktu pasien berada di ruang publik di IGD/UGD. 19. Pasien suspect perlu dilakukan diagnosis dengan pemeriksaan PCR COVID-19 dari swab nasopharing dan oropharing. 20. Pasien suspect harus diperlakukan sebagai pasien Covid-19 positif sebelum ada hasil pemeriksaan PCR yang menyatakan sebaliknya. Sehingga perawatannya di ruang isolasi dan jika diperlukan penatalaksanaan persalinan yang tidak dapat ditunda, maka dilakukan penatalaksanaan persalinan sesuai dengan tatalaksana persalinan Covid-19. 21. Pasien dengan kegawatdaruratan obstetrik atau dengan gejala Covid-19 sedang/berat perlu dilakukan perawatan di RS (hospitalisasi). 22. Penentuan kriteria hospitalisasi pada pasien dengan gejala Covid-19 tanpa ada masalah obstetrik dapat menggunakan Modified Early Obstetrics Warning Score (MEOWS)(6) (tabel 3.1) atau melihat dari severitas gejala



Covid(7) (tabel 3.2). Pasien dengan skor MEOWS > 4 wajib mendapat perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) 23. Pasien dengan gejala ringan (tidak ada sesak dan tanda vital stabil), tanpa komorbiditas, tanpa kegawatdaruratan obstetri dapat melakukan isolasi mandiri di rumah atau tempat khusus dengan pengawasan parameter klinis harian. Pasien dengan gejala sedang atau berat harus segera dirawat di ruang isolasi khusus di rumah sakit.



Gambar 2.3. Algoritma Skrining & Diagnosis Ibu Hamil Datang ke RS13 2.2.3 Tatalaksana COVID-19 pada Kehamilan13 1. Terapi Medis dan Suportif Ibu hamil dengan penyakit ringan namun mempunyai komorbiditas (misalnya, hipertensi yang tidak terkontrol atau diabetes gestasional atau pregestasional, penyakit ginjal kronis, penyakit kardiopulmoner kronis, keadaan imunosupresif) atau penyakit sedang sampai kritis harus dirawat di rumah sakit. Pasien rawat inap yang hamil dengan penyakit berat, yang mendapat terapi oksigen disertai komorbiditas, atau dalam kondisi kritis harus dirawat oleh tim



multi disiplin di rumah sakit rujukan tingkat lanjut tipe B atau A dengan layanan obstetri dan unit perawatan intensif orang dewasa (ICU). Status COVID-19 saja tidak selalu menjadi alasan untuk memindahkan wanita hamil yang tidak kritis dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19. Klasifikasi keparahan penyakit menurut US National Institutes of Health, adalah sebagai berikut:13 •



Ringan – setiap tanda dan gejala (misalnya, demam, batuk, sakit tenggorokan, malaise, sakit kepala, nyeri otot) tanpa sesak napas, dyspnea, atau foto thoraks abnormal.







Sedang – adanya bukti gangguan saluran napas bawah dengan penilaian klinis atau pencitraan dan saturasi oksigen (SpO2) > 93 % pada suhu kamar.







Berat – frekuensi pernapasan > 30 kali per menit, SpO2 ≤ 93 persen pada suhu kamar, rasio PaO2/FiO2 < 300, atau infiltrasi paru > 50 %.







Penyakit kritis – kegagalan pernafasan, syok sepsis, dan/atau beberapa disfungsi organ.



Definisi lain dari keparahan (misalnya, berat = saturasi oksigen periferal ibu [SpO2] ≤ 94 persen pada suhu, memerlukan oksigen tambahan, ventilasi mekanis, atau oksigenasi membran ekstrorporeal) 2. Terapi Suportif Oksigen Selama kehamilan, saturasi oksigen perifer ibu (SpO2) harus dijaga pada ≥95 persen, yang melebihi kebutuhan pengiriman oksigen ibu, untuk kebutuhan janin. Jika SpO2 turun di bawah 95 persen, analisis gas darah arteri (AGD) diperlukan untuk mengukur tekanan parsial oksigen (PaO2): Maternal PaO2 > 70 mmHg diperlukan untuk mempertahankan gradien difusi oksigen dari ibu ke sisi janin dari plasenta.13 3. Profilaksis Tromboemboli Vena Data tentang risiko tromboemboli pada COVID-19 walaupun masih terbatas namun menunjukkan peningkatan risiko. American Society of Hematology, Society of Critical Care Medicine, dan International Society of Thrombosis and Haemostasis merekomendasikan terapi profilaksis tromboemboli vena secara rutin pada pasien yang



dirawat



di



RS



dengan



COVID19



kecuali



ada



kontraindikasi



(misalnya, perdarahan, trombositopenia berat).1 Semua ibu hamil dengan COVID19, harus dilakukan penilaian kemungkinan terjadinya tromboemboli vena (VTE).3 Pemberian profilaksis VTE antepartum untuk yang tidak sakit parah atau kritis dan akan segera melahirkan dapat diberikan unfractioned heparin 5000 unit secara subkutan setiap 12 jam.27 Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang belum melahirkan atau yang postpartum. Semua wanita hamil yang telah dirawat di rumah sakit dan telah terkonfirmasi COVID-19 diberikan tromboprofilaksis selama 10 hari setelah keluar dari rumah sakit. Untuk wanita dengan morbiditas persisten, pertimbangkan durasi tromboprofilaksis yang lebih lama. Pertimbangkan untuk memperpanjang ini sampai 6 minggu pascapersalinan untuk wanita dengan morbiditas berkelanjutan yang signifikan.13 4. Deksametason Deksametason 6 mg setiap hari selama 10 hari atau sampai keluar dari RS direkomendasikan untuk pasien tidak hamil yang sakit parah yang menggunakan oksigen tambahan atau dukungan ventilasi. Glukokortikoid juga dapat berperan dalam manajemen syok refraktori pada pasien sakit kritis dengan COVID-19.13 Pada ibu hamil yang memenuhi kriteria untuk penggunaan glukokortikoid untuk perawatan ibu COVID-19 (seperti yang disebutkan di atas), dan berisiko lebih tinggi untuk kelahiran preterm dalam tujuh hari, direkomendasikan memulai terapi dengan dosis biasa dexamethasone (empat dosis 6 mg yang diberikan secara intramuskuler 12 jam terpisah) atau betametason (dua dosis 12 mg yang diberikan secara intramuskuler 24 jam terpisah) untuk menginduksi pematangan paru janin diikuti oleh prednisolon (40 mg per hari secara oral) ) atau hidrokortison (80 mg intravena dua kali sehari) untuk menyelesaikan pemberin steroid ibu. Hal ini untuk menghindari paparan deksametason atau betametason yang berkepanjangan terhadap janin, yang melalui sawar plasenta dalam bentuk aktif secara metabolik dan mungkin memiliki efek buruk (misalnya, peningkatan risiko kelahiran prematur, gangguan perkembangan saraf jangka panjang). 13 5. Terapi Anti Viral Remdesivir adalah analog nukleotida yang memiliki aktivitas melawan SARS-CoV-2 secara in vitro dan coronaviruses terkait (termasuk sindrom pernapasan akut parah [SARS] dan Timur Tengah terkait sindrom pernapasan coronavirus [MERS-CoV]) baik secara in vitro dan dalam penelitian hewan. Mekanisme kerja remdesivir terutama terkait dengan replikasi virus.



Remdesivir merupakan analog nukleosida adenosine yang akan mengganggu kerja RNA polymerase dari virus dan selanjutnya menurunkan kemampuan replikasi virus Disebabkan oleh kemiripan remdesivir dengan adenosine, salah satu nukleotida untuk pembentukan RNA, maka dapat memungkinkan RNA polymerase salah mengenali remdesivir sebagai adenosine. Penempatan analog adenosine ini lalu akan mengakhiri proses transkripsi, yang akhirnya menyebabkan virus tidak dapat bereplikasi atau menginfeksi sel yang lain.



28



Remdesivir belum mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA). Namun dapat digunakan dengan aturan khusus FDA (emergency use authorization) untuk penanganan orang dewasa, anak-anak, dan ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 dan saat ini sedang dalam uji klinis. Beberapa data pendahuluan dari studi RCT multinasional (Adaptive COVID-19 Treatment Trial [ACTT]) menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang mendapat remdezivir memiliki waktu pulih secara klinis lebih pendek dibandingkan yang mendapat plasebo. Namun data uji klinis untuk menilai efektifitas remdesivir pada pasien dengan gejala ringan dan sedang masih sangat terbatas. Obat ini telah digunakan tanpa laporan tentang toksisitas janin pada wanita hamil dengan Ebola dan infeksi virus Margburg. Hampir semua uji acak dariobat selama pandemi COVID-19 telah mengecualikan wanita hamil dan menyusui.13 Karena persediaan remdesivir terbatas, direkomendasikan agar remdesivir diprioritaskan untuk digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 yang membutuhkan oksigen tambahan tetapi yang tidak menggunakan oksigen aliran tinggi, ventilasi noninvasif, ventilasi mekanis, atau oksigenasi membran ekstrakriloreal (ECMO). Penggunaan selama 5 hari atau sampai keluar rumah sakit (AI). Jika pasien yang menggunakan oksigen tambahan saat menerima remdesivir berkembang hingga membutuhkan oksigen aliran tinggi, ventilasi mekanis noninvasif atau invasif, atau ECMO, maka pemberian remdesivir harus dihentikan.13 Lopinavir / Ritonavir adalah terapi kombinasi antiprotease dan merupakan rejimen obat yang disukai karena diketahui relatif aman dalam kehamilan. Obat ini adalah inhibitor SARS-CoV 3CLpro in vitro, dan protease ini juga memiliki ikatan kuat terhadap SARS-CoV 2. Lopinavir terbukti memiliki mekanisme menghambat kerja enzim 3CL protease (atau disebut juga dengan 3CLpro atau Mpro) dan papain- like protease PLpro yang berperan penting pada proses replikasi coronavirus.28



Dosis yang dianjurkan adalah dua kapsul Lopinavir/Ritonavir (200 mg / 50 mg per kapsul) secara oral bersama dengan nebulisasi inhalasi interferon-α (5 juta IU dalam 2 mL air steril untuk injeksi) dua kali sehari. Obat ini sudah banyak digunakan dalam terapi ibu hamil dengan HIV, dan tidak ada bukti teratogenesitas



karena



transfer



plasentanya



rendah.



Namun



data



yang



menunjukkan efikasi leponavir/ritonavir pada pasien dengan Covid-19 sangat terbatas, dan kemungkinan dosis yang lebih tinggi dibandingkan terapi HIV diperlukan untuk tatalaksana SARS-CoV 2.13 Chloroquine dan hydroxychloroquine telah dievaluasi untuk pengobatan COVID-19 dalam uji klinis acak kecil, seri kasus, dan studi observasi. Hydrochloroquine (HCQ) adalah analog chloroquine yang digunakan untuk terapi penyakit autoimun, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Hydrochloroquine memiliki keuntungan dengan efek toksisitas berat yang lebih ringan dan interaksi obat yang lebih sedikit dibandingkan chloroquine. Mekanisme kerja klorokuin secara molekuler belum dapat dipahami dengan



jelas.



Berdasarkan



hasil



penelitian



terdahulu,



klorokuin



dan



hidroksiklorokuin diduga dapat menghambat coronavirus dengan melalui serangkaian mekanisme. Pertama, baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin dapat mengubah pH pada permukaan membran sel sehingga dapat menghambat bersatunya (‘fusion’) virus tersebut dengan membran sel. dan imunomodulasi pelepasan sitokin.28–31. Kedua klorokuin dapat menghambat quinone reductase 2 yang memiliki peran penting dalam pembentukan asam sialic asam tersebut ditemukan pada protein sel transmembran yang merupakan komponen penting ikatan virus dan reseptor 27. Ketiga, klorokuin dapat menghambat proses glikosilasi protein virus dan sekaligus juga dapat memengaruhi proses glikosilasi reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang diduga merupakan mediator masuknya virus. 28



Hydrochloroquine adalah obat yang sedang dalam penelitian untuk terapi Covid-19 dan sampai saat ini belum terbukti efektif pada kehamilan. HCQ teramsuk aman dalam kehamilan, sudah dibuktikan melalui terapi SLE dan penyakit rematik pada kehamilan. Selain itu HCQ juga aman pada ibu menyusui karena kadar yang terdeteksi di air susu ibu sangat sedikit. 13 Direkomendasikan



untuk



tidak



menggunakan



klorokuin



atau



hydroxychloroquine untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AII). Panel merekomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin dosis tinggi (600 mg dua kali sehari selama 10 hari) untuk pengobatan COVID-19 (AI). Direkomendasikan pula untuk tidak menggunakan hydroxychloroquine plus azithromycin untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AIII).13 Beberapa penelitian menunjukkan kejadian aritmia pada pasien covid-19 yang mendapat terapi HCQ atau chloroquine, sering pada kombinasi dengan azithromycin dan obat lain yang memperpanjang interval QTc, karena itu FDA merekomendasikan untuk tidak menggunakan HCQ atau chloroquine untuk terapi covid-19 di luar rumah sakit atau uji klinis.13 6. Antibiotik Kerusakan paru-paru yang luas oleh virus secara substansial meningkatkan risiko pneumonia bakteri sekunder. Antibiotik diindikasikan hanya jika ada bukti infeksi bakteri sekunder. Namun, antibiotik harus diberikan tanpa penundaan jika sepsis bakteri dicurigai. Ceftriaxone intravena dapat diberikan pada awalnya sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas.13 7. Imunomodulator Plasma konvalesens Terapi plasma konvalesen merupakan terapi antibodi yang bersifat pasif, yaitu memberikan antibodi terhadap penyakit infeksi tertentu kepada sesorang yang bertujuan untuk mengobati atau mencegah orang tersebut terhadap penyakit itu dengan cara memberikan imunitas yang bersifat cepat. Plasma konvalesen diperoleh dari pasien COVID-19 yang telah sembuh, diambil melalui metoda plasmaferesis dan diberikan kepada pasien COVID-19 yang berat atau potensial mengancam nyawa. Terapi plasma konvalesen diberikan bersama-sama dengan terapi standar COVID-19 (anti virus dan berbagai terapi suportif lainnya) dan bertujuan untuk menurunkan angka kematian dengan memberikan antibodi yang



spesifik.29 Mengikuti protokol transfusi plasma konvalesens. Sampai saat ini belum cukup data untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak dari terapi ini untuk tatalaksana Covid-19.13 Interleukin-1 (Anakinra ) dan Interleukin-6 Inhibitor (Tocilizumab) Cytokine storm adalah respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan akibat infeksi maupun penyebab lain yang ditandai dengan pelepasan sitokin yang tidak terkontrol yang menyebabkan inflamasi sistemik dan kerusakan multi-organ. Pada pasien COVID-19, kadar IL-6 meningkat tajam dan berperan dalam induksi diferensiasi limfosit B dan produksi antibodi serta proliferasi dan diferensiasi limfosit T. Cytokine storm pada COVID-19 dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, terjadi perpindahan cairan dan sel darah dalam alveolus yang mengakibatkan acute respiratory distress syndrome (ARDS) hingga kematian. Dengan demikian, menghambat kerja IL-6 merupakan salah satu terapi potensial untuk pasien COVID-19. 29 Transduksi sinyal sel oleh IL-6 harus diinisiasi oleh ikatan antara IL-6 dan reseptornya, IL-6R yang bersama sama membentuk kompleks dan berikatan dengan protein membran sel. Reseptor IL-6 (IL-6R) memiliki dua bentuk yaitu membrane bound IL-6R (mIL-6R) dan soluble IL-6R (sIL-6R). Tocilizumab merupakan antibodi monoclonal penghambat IL-6 yang dapat secara spesifik berikatan dengan mIL-6R dan sIL-6R sehingga dapat menghambat kerja dari IL-6. 29 Anakinra merupakan antagonis reseptor IL-1 rekombinan yang memiliki mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada kondisi ARDS yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2. Pada sebuah studi klinis yang melibatkan 52 pasien, Anakinra dapat menurunkan kebutuhan pemakaian ventilasi mekanis invasif dan menurunkan kematian pada pasien COVID-19 tanpa efek samping yang serius. 29 Sampai saat ini belum cukup data untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak Interleukin1 inhibitor (seperti anakinra) dan Interleukin-6 inhibitor (seperti sarilumab, siltuximab, tocilizumab) untuk tatalaksana Covid-19. Sehingga pemakaiannya secara rutin untuk penanganan Covid-19 pada kehamilan tidak dianjurkan, melainkan hanya untuk uji klinis. Dari beberapa obat ini, hanya Tocilizumab yang digunakan sebagai obat off-label untuk ibu hamil dengan gejala berat atau kritis dengan kecurigaan adanya sindroma aktivasi sitokin (cytokine storm) dengan peningkatan kadar IL-6 sebagai upaya terakhir atau berdasar



protokol penelitian.13



Gambar 2.4. Algoritma Terapi Covid 19 pada Kehamilan13



Gambar 2.5 Bagan Cara Kerja Obat COVID13



Gambar 2.6 Bagan Cara Kerja Obat COVID13



2.3 Kehamilan pada COVID-19 Menurut ASRM, sejauh ini hamil dalam keadaan terinfeksi virus COVID19 masih tergolong aman. Namun, perlu diketahui bahwa infeksi COVID-19 dapat berlangsung selama berminggu-minggu, sehingga berada di trimester pertama kehamilan dan pulih dari COVID-19 mungkin jauh dari ideal. ASRM menyarankan untuk mulai proses mendapatkan kehamilan 10 hari setelah gejala mulai atau setelah dinyatakan COVID-19 positif. 30 Sebuah penelitian kohort wanita hamil dengan COVID-19 menunjukkan bahwa infeksi pada awal kehamilan meningkatkan risiko komplikasi. Data ini menyoroti pentingnya vaksinasi pada pasien yang menginginkan atau merencanakan pembuahan dan/atau yang sedang hamil, untuk mencegah penyakit yang parah dan memperkuat argumen bahwa risiko COVID-19 pada wanita hamil lebih besar daripada risiko bahaya dari vaksinasi COVID-19.31 Virus ini masih sangat baru, sehingga belum banyak diketahui tentang efeknya pada kehamilan. Tetapi saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa virus corona meningkatkan risiko keguguran pada setiap tahap kehamilan, termasuk beberapa minggu pertama. Juga tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus mempengaruhi perkembangan bayi di dalam rahim.32 Namun, wanita hamil minimal harus mengikuti panduan yang sama tentang COVID-19 seperti orang lain (misalnya tentang tes atau isolasi diri), meskipun beberapa wanita hamil mungkin ingin mengambil tindakan pencegahan ekstra. Berbeda halnya jika wanita hamil pada trimester ketiga (hamil lebih dari 28 minggu), yang harus sangat memperhatikan physical distancing dan meminimalkan kontak dengan orang lain.32







Saran utama untuk semua wanita hamil adalah:32 Tetap di rumah jika ada anggota keluarga Anda yang memiliki gejala virus corona







Tetap bergerak dan terhidrasi, ini dapat mengurangi risiko pembekuan darah pada kehamilan







Tetap aktif dengan olahraga teratur, makan makanan yang sehat dan seimbang, dan minum suplemen asam folat dan vitamin D







Follow-up kehamilan dengan pemindaian dan antenatal care kecuali disarankan untuk tidak melakukannya







Hubungi layanan kesehatan jika memiliki kekhawatiran tentang kondisi ibu hamil atau janinnya.



2.4 Pengaruh COVID-19 terhadap Perkembangan Janin dan Bayi 2.4.1 Pengaruh COVID-19 terhadap Perkembangan Janin Beberapa sampel diperoleh pada saat persalinan dan melahirkan untuk menguji keberadaan coronavirus dengan qRT-PCR, termasuk cairan ketuban yang disedot dari vagina selama persalinan, darah tali pusat, dan segmen tali pusat, selaput janin dan plasenta, swab nasofaring dan tenggorokan neonatus, aspirasi lambung dan sampel mekonium telah diuji dan negatif untuk coronavirus, hal ini menunjukkan tidak ada bukti penularan vertikal pada wanita yang terkena pneumonia coronavirus COVID-19 dan non-COVID-19 pada akhir kehamilan.33,34 Studi yang dilakukan di London melaporkan neonatus yang lahir dari ibu hamil dengan COVID-19 yang dinyatakan positif SARS-CoV-2 dalam sampel usap faring 36 jam setelah lahir, kemudian dikonfirmasi bahwa pengujian qRT-PCR plasenta dan darah tali pusat negatif untuk SARSCoV- 2, diyakini bahwa ibu atau anggota keluarga menularkan infeksi ke bayi melalui kontak dekat setelah melahirkan, bukan di dalam rahim melalui plasenta.35,36 Dalam studi saat ini, prosedur pengujian sistematis untuk infeksi virus corona, termasuk radiografi dada dan uji RT-PCR serial dengan beberapa sampel klinis tidak menunjukkan adanya SARS-CoV-2, MERS-CoV dan SARSCoV di bayi yang baru lahir. Tes antibodi CoV dilakukan dengan serum ibu dan bayi baru lahir. Pada beberapa ibu, serum imunoglobulin G dideteksi dengan menggunakan tes serologis.



Namun, antibodi CoV untuk IgG, IgM, dan IgA tidak terdeteksi pada sampel darah bayi baru lahir. Oleh karena itu, tidak ada bukti penularan intrauterin SARS-CoV-2 dan CoV lainnya dari ibu ke bayi yang baru lahir. Ini mungkin karena ekspresi yang sangat rendah dari enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2) pada sel antarmuka ibu ke janin awal. Virus ini dapat ditularkan melalui kontak dekat atau droplet ke bayi yang baru lahir setelah lahir. Dengan demikian, ibu dan neonatusnya harus dirawat di ruang isolasi untuk mencegah penularan neonatus dan tindakan perlindungan yang efektif harus diterapkan selama persalinan dan perawatan pascapersalinan untuk mencegah penularan virus dari ibu ke bayi baru lahir.37,38 2.4.2 Pengaruh COVID-19 terhadap Perkembangan Janin Pada infeksi COVID-19 di usia kelahiran late pregnant menunjukkan tidak satupun bayi lahir terkonfirmasi positif dari 7 kelahiran yang terjadi berdasarkan tes RT-PCR. Dari keseluruhan bayi tidak ada yang mengalami asfiksia. Rata-rata berat lahir bayi yang dilaporkan yaitu 2096 ± 660g diantaranya terdapat 2 bayi prematur yang mengalami gejala mendengkur sedang (mild grunting) namun mereda dengan bantuan non-invasive continuous positive airway pressure (nCPAP) ventilation. Berdasarkan pengamatan X-



ray dada ditemukan bahwa 2 kasus bayi premature tersebut mengalami neonatal respiratory distress syndrome (NRDS).39 COVID-19 pada trimester ketiga terbukti tidak menimbulkan respon imunitas seluler maupun humoral pada fetus, serta tidak ada aktivitas diferensiasi limfosit yang berlebihan. Tidak satupun dari 51 bayi yang terlahir dari ibu dengan COVID-19 yang menunjukkan gejala seperti demam maupun gangguan pernapasan. Berdasarkan analisis ekspresi sel limfosit diketahui bahwa kadar limfosit secara umum normal yaitu pada CD3, CD4, CD8 dan CD19. Sedangkan pada CD16-CD56 terdapat sedikit penurunan kadar. Hanya ada 1 dari 51 (1,96%) bayi yang mengalami peningkatan sitokin IL-6 yang ekstrim dan ditemukan adanya enterokolitis selama 3 minggu awal paska kelahiran. Namun demikian, 50 dari 51 bayi (98,04%) tidak ditemukan adanya gejala abnormal.40



Pengaruh COVID-19 pada terhadap perkembangan janin selama kehamilan belum banyak diketahui. Sebuah kores pondensi menyebutkan bahwa terdapat potensi COVID-19 saat kehamilan dapat memicu terjadinya gangguan perkembangan syaraf (neurodevelopmental disorder). Hal ini mungkin terjadi sebab COVID-19 dapat mempengaruhi sistem imun dari ibu yang memungkinkan terjadinya perubahan epigenetik pada DNA janin. Selain dapat menimbulkan epigenetik, peningkatan kadar sitokin sebagai aktivitas sistem imun dapat memicu terjadinya Autism Spectrum Disorder(ASD) dan Schizophrenia. Peningkatan IL-6 pada ibu hamil juga dapat menimbulkan perubahan struktur otak, gangguan fungsi otak seperti gangguan fungsi memori, serta gangguan neuro psikiatrik. Namun sejauh ini, belum ada kasus klinis yang menunjukkan adanya gangguan perkembangan syaraf otak pada janin yang terjadi karena adanya COVID-19 pada ibu hamil.40



1.



2.



3.



4. 5. 6. 7.



8. 9. 10. 11. 12. 13.



14.



15. 16.



17. 18.



DAFTAR PUSTAKA Lu H, Stratton CW, Tang YW. Outbreak of pneumonia of unknown etiology in Wuhan, China: The mystery and the miracle.JMedVirol.2020;92(4):401 402.doi:https://doi.org/10.1002/jmv.256782. WHO. Novel Coronavirus (2019-NCoV) Situation Report - 12. World;2020.https://www.who.int/docs/default source/coronaviruse/situationreports/20200201-sitrep-12 ncov.pdf?sfvrsn=273c5d35_2.3. World Health Organization. Coronavirus Disease 2019 (COVID19)SituationReport-70.World;2020.https://www.who.int/docs/defaultsource/coronaviruse/situation-reports/20200330-sitrep-70-covid19.pdf?sfvrsn=7e0fe3f8_4.4. Kementerian Kesehatan Repulik Indonesia. Situasi COVID-19. Indonesia; 2020. https://www.kemkes.go.id/ RohmahMK,Nurdianto, AR.Perspective of molecular immune response of sars-cov-2 infection. Jurnal Teknologi Laboratorium. 2020; 9(1):58–66. CDC. Center for Disease Control and Prevention. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Cases in the U.S. CDC. 2020 [cited 13 Agustus 2020] Wijaya, C. Hamil Saat Pandemi COVID-19: Mau Periksa Disuruh Pulang Hingga Harus Tunggu Hasil Tes COVID-19 Meski Sudah Sudah Bukaan Delapan. BBC News. 2020 [cited 13 agustus 2020] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). Revisi ke 5. Jakarta; 2020. World Health Organization [2021]. Diakses 28 Juli 2021 - Available at : https://covid19.who.int/ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [2021]. Diakses 28 Juli 2021. Available at - https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19 Provinsi Sumatera Barat [2021]. Diakses 28 Juli 2021. Available at : https://corona.sumbarprov.go.id/ (Daftar Pustaka : Dinas Kesehatan Kota Padang [2021]. Diakses 28 Juli 2021 - Available at : https://dinkes.padang.go.id/covid19). POGI, 2020. Rekomendasi penanganan infeksi virus corona (Covid-19) pada maternal (hamil, bersalin, dan nifas). Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Pokja Infeksi Saluran Reproduksi. pp.1-23. Yuniarti E, Hermon D, Dewata I, Barlian E, Iswamdi U. Mapping the High Risk Populations Against Coronavirus Disease 2019 in Padang West Sumatra Indonesia. International Journal of Progressive Sicineces and Technologies. 2020:20(2);50-8. Harrison AG, Lin T, Wang P. Mechanisms of SARS-CoV-2 Transmission and Pathogenesis. Trend in Immunology. 2020;41(12):1100-15. Gennaro, F. Di, Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese, N., & Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases ( COVID-19 ) Current Status and Future Perspectives : A Narrative Review. International Journal of Environmental Research and Public HealthEnvironmental Research and Public Health, 17(2690), 1–11. https://doi.org/10.3390/ijerph17082690 Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020). Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–129. Kumar, C. V. S., Mukherjee, S., Harne, P. S., Subedi, A., Ganapathy, M. K., Patthipati, V. S., & Sapkota, B. (2020). Novelty in the Gut : A Systematic



19.



20.



21.



22.



23. 24.



25. 26.



27. 28.



29.



30.



31.



32.



Review Analysis of the Gastrointestinal Manifestations of COVID-19. BMJ Open Gastroenterology, 7(e000417), 1– 9. https://doi.org/10.1136/bmjgast2020-000417 Lingeswaran, M., Goyal, T., Ghosh, R., & Suri, S. (2020). Inflammation , Immunity and Immunogenetics in COVID-19 : A Narrative Review. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 35(3), 260–273. https://doi.org/10.1007/s12291- 020-00897-3 Zhang, H., Penninger, J. M., Li, Y., Zhong, N., & Slutsky, A. S. (2020). Angiotensin - Converting Enzyme 2 ( ACE2 ) as a SARS - CoV - 2 Receptor : Molecular Mechanisms and Potential Therapeutic Target. Intensive Care Medicine, 46(4), 586–590. https://doi.org/10.1007/s00134- 020-05985-9 Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M., Sinto, R., … Yunihastuti, E. (2020). Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45–67. Allegra, A., Gioacchino, M. Di, Tonacci, A., Musolino, C., & Gangemi, S. (2020). Immunopathology of SARS-CoV-2 Infection : Immune Cells and Mediators , Prognostic Factors , and ImmuneTherapeutic Implications. Journal of Molecular Sciences, 21(4782), 1–19. https://doi.org/10.3390/ijms2113 4782 Xiao, F., Tang, M., Zheng, X., Liu, Y., Li, X., & Shan, H. (2020). Evidence for Gastrointestinal Infection of SARS-CoV-2. Elsevier Gastroenterology, 158(6), 1831– 1833. Retrieved from https://doi.org/10.1053/j.gastro.2020.02.055 Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet 2020; DOI: 10.1016/S0140-6736(20)30360-3. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014067320303603. Retrieved July 28, 2021. RCOG. Principles for the testing and triage of women seeking maternity care in hospital settings , during the COVID-19 pandemic. 2020. Guo L, Ren L, Yang S, Xiao M, Chang D, Yang F, et al. Profiling Early Humoral Response to Diagnose Novel Coronavirus Disease (COVID-19). Clin Infect Dis. 2020;1–28. Syeda, S., Baptiste, C., Breslin, N., Gyamfi-Bannerman, C., & Miller, R. (2020). The clinical course of COVID in pregnancy. Seminars in Perinatology. Setiadi AP, Wibowo YI, Halim SV, Brata C, Presley B et al. Tata Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19: Sebuah Kajian Naratif. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 2020. 9(1) :70–94 Perhimpunan Dokter Paru Indonesi ( 2020). Pedomen Tatalaksana Covid-19 Edisi 3. https://www.papdi.or.id/pdfs/983/Buku%20Pedoman%20Tatalaksana%20CO VID-19%205OP%20Edisi%203%202020.pdf. diakses 1 agustus 2020 American Society for Reproductive Medicine. FAQs Related to COVID-19 [Internet]. ReproductiveFacts.org. 2020. Available from: https://www.reproductivefacts.org/faqs/faqs-related-to-covid-19/ Di Mascio D, Sen C, Saccone G, Galindo A, et al: Risk factors associated with adverse fetal outcomes in pregnancies affected by Coronavirus disease 2019 (COVID-19): a secondary analysis of the WAPM study on COVID-19. J Perinat Med. 2020;49:111-115. Tommy’s Hub. Pregnancy and coronavirus : information for pregnant women.2021. Available from : https://www.tommys.org/pregnancyinformation/blogs-and-stories/im-pregnant/pregnancy-news-andblogs/pregnancy-and-coronavirus-information-pregnant-women



33. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet. 2020;395(10226):809–15. 34. Haddad LB, Jamieson DJ, Rasmussen SA. Pregnant women and the Ebola crisis. N Engl J Med. 2018;379(26):2492–3. 35. Wang S, Guo L, Chen L. A case report of neonatal COVID-19 infection in China [published online March 12, 2020]. Clin Infect Dis. 2020. https://doi.org/10.1093/cid/ciaa2 25. 36. Zeng L, Xia S, Yuan W, Yan K, Xiao F, Shao J, et al. Neonatal early-onset infection with SARS-CoV-2 in 33 neonates born to mothers with COVID 19 in Wuhan, China. JAMA Pediatr. 2020;174:722–5. 37. Alserehi H, Wali G, Alshukairi A, Alraddadi B. Impact of Middle East Respiratory Syndrome coronavirus (MERS-CoV) on pregnancy and perinatal outcome. BMC Infect Dis. 2016;16(1):105. 38. Zheng Q-L, Duan T, Jin L-P. Single-cell RNA expression profiling of ACE2 and AXL in the human maternal–Fetal interface. Reprod Dev Med. 2020;4(1):7. 39. Yang P, Wang X, Liu P, Wei C, He B et al. Cilinical characteristic and risk assessment of newborns born to mothers with Covid-19. Journal of Clinical Virology. 2020;127:1–5. 40. Liu P, Zheng J, Yang P, Wang P, Wang X, et al. The immunologic status of newborns born to SARS-CoV-2 infected mother in Wuhan, China. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology.2020;146(1):101–109. 41. Martin-Filho PR, Santos HP, Santos VS. COVID-19 during pregnancy: Potential risk for neurodevelopmental disorders in neonates? European Journal of Obstetrics & Gynecological and Reproductive Biology. 2020; 250: 255–256. 29. 42. Elizabeth A. N. Wastnedge, Rebecca M. Reynolds, Sara R. van Boeckel, Sarah J. Stock, Fiona C. Denison, Jacqueline A. Maybin, Hilary O. D. Critchley. Physiological Reviews Pregnancy And Covid-19. the American Physiological Society. 2021