Munakahat Kafaah Dan Walimah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Kafa’ah Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata ( ‫ ) كفىء‬, berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 : ٤ُ‫َولَ ۡم يَ ُكن لَّهُۥ ُكفُ ًوا أ َ َحد‬ yang berarti “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”. Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding” . Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya. [1] Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT: ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم ِمن ذَك َٖر َوأُنث َ َٰى َو َج َع ۡل َٰنَ ُك ۡم‬ ١٣ ‫ير‬ٞ ‫علِي ٌم َخ ِب‬ َّ ‫ٱَّللِ أ َ ۡتقَىَٰ ُك ْۡۚم ِإ َّن‬ َّ َ‫ارفُ َٰٓو ْۚا إِ َّن أ َ ۡك َر َم ُك ۡم عِند‬ ُ َّ‫َٰ ََٰٓيأَيُّ َها ٱلن‬ َ َ‫ٱَّلل‬ َ ‫شعُوبٗ ا َوقَ َبا َٰٓ ِئ َل ِلت َ َع‬ Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 ) Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan. [2]



B.



Landasan Kafa’ah



Kafa’ah diatur dalam pasal 61 KHI dalam membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. Pasal 61 berbunyi: “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.[3] Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasiq, asal bukan perempuan berzina. Alasannya adalah firman-firman allah: ١٠ َ‫ٱَّللَ لَعَلَّ ُك ۡم ت ُ ۡر َح ُمون‬ َّ ‫ة فَأَصۡ ِل ُحوا بَ ۡينَ أَخ ََو ۡي ُك ْۡۚم َوٱتَّقُوا‬ٞ ‫إِنَّ َما ۡٱل ُم ۡؤمِ نُونَ إِ ۡخ َو‬ Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10) ُ ‫َو ِإ ۡن خِ ۡفت ُ ۡم أ َ ََّّل ت ُ ۡق ِس‬ َ ‫طوا فِي ۡٱليَ َٰت َ َم َٰى فَٱن ِك ُحوا َما‬ َ َ‫سآَٰءِ َم ۡثن ََٰى َوث ُ َٰل‬ َ‫ث َو ُر َٰبَ َع فَن ِ ۡن خِ ۡفت ُ ۡم أ َ ََّّل ت َعۡ ِدلُوا فَ َٰ َوحِ دَة ً أ َ ۡو َما َملَ َك ۡ أ َ ۡي َٰ َمنُ ُك ْۡۚم َٰذَلِك‬ َ ‫ط‬ َ ِ‫اب لَ ُكم ِمنَ ٱلن‬ َ َ ُ َّ ۡ َٰٓ ٣ ‫أدن ََٰى أَّل تَعُولوا‬ Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3 ) Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa’ah, yaitu: :‫ تُن َك ُح ال َمرأَة ُ ألَربَ ٍع‬:‫ فاظفر وعن أبى هريرة رضى هللا عنه عن النبى صلى اللة عليه وسلم قال‬,‫ ولدينها‬,‫ ولجمالها‬,‫ ولحسبها‬,‫لمالها‬ .‫ متفق عليه مع بقية السبعة‬.‫بذا الدين ترب يداك‬ Artinya: “Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”. Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy riwayat Abu Hatim Al Mudzanny:[4] ‫ رواه الترمذي‬.‫اذااتاكم من ترضون دينه وخلقه فانكحوا‬ Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”. C. Ukuran Kafa’ah Kafa’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri dalam 5 hal :



1.



Agama



2.



Kedudukan. Yaitu nasab atau silsilah keturunan



3. Kemerdekaan. Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka karena statusnya berkurang sebagai budak. 4. Keterampilan. Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’ dengan gadis seorang yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang. 5. Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima mengalami kemacetan. [5] Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas dasar perintah Nabi SAW. Akan tetapi kafa’ah menjadi syarat lebih utama untuk sebaiknya dilakukan pernikahan. Jika seorang wanita dinikahkan kepada laki-laki yang tidak sekufu’ dengannya, siapa saja yang tidak ridha dengan itu baik pihak istri atau para walinya, berhak melakukan fasakh (pembataan nikah).[6] Jika kita melihat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah, manusia itu sama seperti dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13: ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم مِن ذَ َك ٖر َوأُنث َ َٰى َو َجعَ ۡل َٰنَ ُك ۡم‬ ١٣ ‫ير‬ٞ ِ‫علِي ٌم َخب‬ َّ َ‫ارفُ َٰٓو ْۚا إِ َّن أ َ ۡك َر َم ُك ۡم عِند‬ ُ َّ‫أَيُّ َها ٱلن‬ َ ‫ٱَّلل‬ َ َ‫شعُوبٗ ا َوقَبَآَٰئِ َل ِلتَع‬ َ َّ ‫ٱَّللِ أ َ ۡتقَىَٰ ُك ْۡۚم إِ َّن‬ Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 ) Manusia pada dasarnya sama derajatnya, hanyalah taqwalah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya, bukan seperti kebangsawanan, kebangsaan dan kecantikan.



D. Kriteria Kafa’ah Menurut Ulama’ Fiqih Menurut Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di perselisihka lagi bahwa apabila seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqoha’ juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib). Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13: ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم مِن ذَك َٖر َوأُنث َ َٰى َو َجعَ ۡل َٰنَ ُك ۡم‬ ١٣ ‫ير‬ٞ ِ‫علِي ٌم َخب‬ َّ َ‫ارفُ َٰٓو ْۚا إِ َّن أ َ ۡك َر َم ُك ۡم عِند‬ ُ َّ‫أَيُّ َها ٱلن‬ َ ‫ٱَّلل‬ َ َ‫شعُوبٗ ا َوقَبَآَٰئِ َل ِلتَع‬ َ َّ ‫ٱَّللِ أ َ ۡتقَىَٰ ُك ْۡۚم إِ َّن‬



Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 ) Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah: 1.



Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:



a.



Nasab



Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.



b.



Islam



Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam. Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki Muslim yang atah dan neneknya tidak beragama Islam. c.



Hirfah,



Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan masa yang lain. d.



Kemerdekaan dirinya



Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.



e.



Diyanah,



Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja. f.



Kekayaan.



Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan. 2.



Menurut ulama Malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:



a. Diyanah. b. Terbebas dari cacat fisik Salah satu syarat kufu’ ialah terbebas dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang menonjol, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang sehat dan normal.



3.



Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:



a. Nasab Tidaklah dinamakan sekufu’ pernikahan orang bangsawan Arab dan rakyat jelata atau sebaliknya. b. Diyanah Tidaklah sekufu’ bila orang Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. c. Kemerdekaan dirinya Tidaklah sekufu’ bagi mereka yang merdeka yang menikah dengan budak. 4. Hirfah



4.



Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:



a.



Diyanah



b.



Hirfah



c.



Kekayaan



d.



Kemerdekaan diri



e.



Nasab



Mayoritas Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanahsebagai kriteria kafa’ah. Konsensus itu didasarkan pada Qur’an Surat As-Sajdah: 18, ١٨ َ‫أَفَ َمن َكانَ ُم ۡؤمِ ٗنا َك َمن َكانَ فَاس ِٗق ْۚا ََّّل يَسۡ ت َُوۥن‬



Artinya: “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama. (QS. As-Sajdah :18 ) Menurut Sufyan Al Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraiys tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Perbedaan pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Rasulullah, yaitu: // ,‫ ولدينها‬,‫ ولجمالها‬,‫ ولحسبها‬,‫ لمالها‬:‫ تُن َك ُح ال َمرأَة ُ ألَربَ ٍع‬:‫وعن أبى هريرة رضى هللا عنه عن النبى صلى اللة عليه وسلم قال‬ ]7[.‫ متفق عليه مع بقية السبعة‬.‫فاظفر بذا الدين ترب يداك‬ Artinya: “Wanita itu dikawinkan karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu”. Segolongan fuqoha’ ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan sama kedudukannya dengan factor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Dan semua fuqoha’ yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah. Demikian juga dengan faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian Kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau membatalkan perkawinan dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya).[8] Selanjutnya para fuqoha’ juga bersepakat bahwa kafa’ah hanya berlaku bagi pihak pria untuk wanita, tidak sebaliknya. Jadi apabila pihak pria memilih seorang wanita yang tidak sekufu dengannya tidak menjadi masalah dalam kafa’ah. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 36: ‫ض َٰلَ ٗٗل ُّم ِب ٗينا‬ َّ ‫ضى‬ ُ ‫ٱَّللُ َو َر‬ ِ ۡ‫سولُهُۥَٰٓ أَمۡ ًرا أَن َي ُكونَ لَ ُه ُم ۡٱلخِ َي َرة ُ مِ ۡن أَمۡ ِره ۡ ِۗۡم َو َمن َيع‬ َ ‫ض َّل‬ َ ‫ٱَّلل َو َرسُولَهُۥ فَقَ ۡد‬ َ َ‫َو َما َكانَ ِل ُم ۡؤمِ ٖن َو ََّل ُم ۡؤمِ نَ ٍة ِإذَا ق‬ َ َّ ‫ص‬ ٣٦ Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”



E.



Hikmah Kafa’ah dalam Kehidupan Rumah Tangga



Berikut hikmah kafaah dalam pernikahan yang di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan. Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh sebagian lakilaki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk



mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya Target paling minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq, dan bertanggung jawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya. 2. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya. Konsekuensi dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar. 3.



Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.



Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.



2.1. Pengertian Walimah Walimah (‫لولﻴﻤة‬١) artinya al-jam’u yaitu kumpul, sebab suami dan istri berkumpul. Walimah (‫لولﻴﻤة‬١) berasal dari bahasa arab ‫لولﻴم‬١artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.[1] Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur arab yang secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk penghelatan di luar perkawinan.[2] Sedangkan definisi yang terkenal di kalangan ulama, walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. 2.2. Lafaz dan Arti Hadits I ‫ي أ َ َحدُ ُك ْم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ُ‫ قَ َرأْت‬:َ‫َحدَّثَنَا يَحْ يَى ْب ُن يَحْ يَى قَال‬ ُ ‫ ع َِن اب ِْن‬،‫ ع َْن نَاف ٍِع‬، ٍ‫علَى َمالِك‬ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل‬:َ‫ قَال‬،‫ع َم َر‬ َ ‫هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫«إِذَا د ُ ِع‬:‫سلَّ َم‬ ‫ِإلَى ا ْل َولِي َم ِة فَ ْليَأْتِهَا» روه مسلم‬



Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata, “Aku bacakan kepada Malik”, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian diundang kepada suatu walimah, maka hendaklah ia menghadirinya”. (HR. Muslim)[3] 2.3. Takhrij Hadits I Jika dilihat dari lafaz ‫[ا ْل َولِي َم ِة‬4], maka menurut kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras, hadits tersebut diriwayatkan oleh: 1.



Bukhari, Kitab Nikah, bab ke-71.



2.



Muslim, Kitab Nikah, bab ke-96.



3.



Abu Daud, Kitab Ath’imah, bab ke-1.



4.



Ibnu Majah, Kitab Thaharah, bab ke-25.



5.



Ad-Darimi, Kitab Nikah, bab ke-23.



6.



Imam Malik, kitab Nikah, bab ke-49.



7.



Ahmad bin Hambal, Juz II, hal. 20, 22, dan 27.



2.4. Syarah Hadits I Imam Muhyiddin An-Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan, bahwa hadits ini memerintahkan untuk hadir apabila seseorang diundang kesuatu acara walimah. Akan tetapi, disini terdapat beberapa perbedaan pendapat, mengenai amar atau perintah dalam hadits tersebut, apakah bersifat wajib atau sunat? Perbedaan pendapat itu adalah: untuk undangan walimatul ‘ursy hukumnya 1. fardu ‘ain bagi setiap orang yang diundang, dan kefarduan tersebut bisa hilang dengan sebab uzhur. 2. Fardu kifayah. 3. Sunat. Sedangkan undangan acara selain walimatul ‘ursy terdapat juga perbedaan pendapat, pendapat yang pertama mengatakan bahwa hukumnya sama dengan walimatul ‘ursy, dan pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukumnya sunat.[5] Adapun macam-macam uzhur yang menyebabkan gugurnya kewajiban menghadiri undangan walimah adalah: 1.



Makanan yang disediakan mengandung syubhat.



2.



Undangan tersebut khusus bagi orang kaya saja.



3.



Ada yang akan terzholimi dengan sebab kehadirannya.



4.



Majlis walimah itu tidak layak dihadiri.



5. Apabila kedatangannya itu semata-mata karena menginginkan sesuatu dari si pengundang atau karena takut kepadanya. 6. Apabila di dalam acara tersebut terdapat perkara-perkara mungkar seperti jamuan khamar atau alat-alat lahwi, dan lain sebagainya. [6] 2.5. Lafaz dan Arti Hadits II َّ ‫ «ش َُّر ال‬:ُ‫ أَنَّهُ كَانَ يَوُول‬،ُ‫ع ْنه‬ ‫طعَ ِام‬ َ ُ‫اَّلل‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬ ِ َّ ُ‫ع ْبد‬ ِ ‫ ع َِن اب ِْن‬، ٌ‫ أ َ ْخب ََرنَا َما ِلك‬،‫ف‬ َّ ‫ي‬ َ ‫س‬ ُ ‫اَّلل ْب ُن يُو‬ ٍ ‫شهَا‬ َ ‫ ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ َر ِض‬،ِ‫ ع َِن األَع َْرج‬،‫ب‬ َ َ َ ‫سلَّ َم» روه البخرى‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ َو َم ْن ت َ َركَ الدَّع َْوةَ فوَ ْد‬،‫ يُ ْدعَى لَهَا األ ْغنِيَا ُء َويُتْ َركُ الفُوَ َرا ُء‬،ِ‫الولِي َمة‬ َ ُ‫اَّللَ َو َرسُولَه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫عصَى‬ َ ‫طعَا ُم‬



Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari A’raj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “seburuk buruk makanan adalah makanan walimah(pesta) dimana yang diundang hanyalah orang orang kaya sedangkan orang orang fakir tidak diundang, siapa yang tidak memenuhi undangan walimahan, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasulnya”. (H.R. Bukhari)[7] 2.6. Takhrij Hadits II Jika dilihat dari lafaz ‫[ا ْل َولِي َم ِة‬8], maka menurut kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras, hadits tersebut diriwayatkan oleh: 1.



Bukhari, Kitab Nikah, bab ke-72.



2.



Muslim, Kitab Nikah, bab ke-107, 109, dan 110.



3.



Abu Daud, Kitab Ath’imah, bab ke-1.



4.



Ibnu Majah, Kitab Thaharah, bab ke-25.



5.



Ad-Darimi, Kitab Nikah, bab ke-28.



6.



Imam Malik, kitab Nikah, bab ke-50.



7.



Ahmad bin Hambal, Juz II, hal. 241, 267, dan 405.



2.7. Syarah Hadits II Ibnu hajar Al-Asqalani dalam Fathul Barri Fi Syarhi Shahih Al-Bukhari menerangkan, bahwa hidangan dalam acara walimah akan menjadi makanan atau hidangan terburuk atau paling tercela ketika acara walimah tersebut hanya terkhusus kepada orang-orang kaya saja. Karena itu Ibnu mas’ud berkata, “Apabila suatu walimah hanya dikhususkan kepada orang kaya saja sementara orang miskin tidak diundang, maka kita diperintahkan untuk tidak menghadirinya”. Tetapi, jika undangan tersebut disebarkan secara umum, baik kepada orang kaya maupun fakir, maka hidangan walimah tidak akan menjadi makanan tercela.[9] Jadi, kalimat ُ ‫سولَه‬ َّ ‫صى‬ ُ ‫اَّللَ َو َر‬ َ ‫ َف َقد‬menunjukkan kewajiban untuk menghadiri setiap undangan. َ ‫ع‬ Orang yang tidak menghadirinya dianggap telah memaksiati Allah dan Rasul, karena meninggalkan suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Rasul, sementara meninggalkan atau tidak melaksanakan yang diperintah oleh rasul adalah maksiat.[10] 2.8. Makna Mufradat Hadits I dan II Dari dua hadits di atas, ada beberapa mufrad atau kosa kata yang menurut penulis perlu untuk diberikan makna atau terjemahannya secara harfiyah atau lughowiyah; ‫ِي‬ َ ‫=دُع‬ diundang/diajak[11], ‫ =ال َولِي َم ِة‬pesta/kenduri[12], ‫يَأتِى‬berasal dari kata ‫ =أتى‬datang[13], ‫ =شَر‬tidak َّ baik/jahat[14], ‫=الط َع ِام‬ makanan[15], ‫األَغ ِن َيا ُء‬jamak dari ‫ =الغني‬yang kaya[16], ‫الفُقَ َرا ُء‬jamak dari ‫=الفقير‬ fakir.[17] 2.9. Hukum dan Anjuran Walimah Dalam Islam Walimah merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW pernah berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf: )‫أولم ولو بشاة (متفق عليه‬ Artinya: Adakan walimah, meski hanya dengan satu kambing.[18]



Dalam hadis lain dijelaskan: ‫ ما اولم رسول هللا صلي هللا عليه وسلم علي شيء من نسائه ما او لم علي زينب اولم بشاة (رواه بخاري ومسلم‬:‫عن انس قال‬ ) Artinya: Dari Anas, ia berkata "Rasulullah SAW belum pernah mengadakan walimah untuk istriistrinya, seperti Beliau mengadakan walimah untuk Zainab, Beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing" (HR Bukhari dan Muslim).[19] Jumhur ulama berpendapat, bahwa walimah merupakan suatu hal yang sunnah dan bukan wajib.[20] Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang walimatul ‘ursy. Beliau menjawab, “ Segala puji bagi Allah. Kalau walimatul ‘ursy hukumnya adalah sunah, dan diperintahkan menurut kesepakatan ulama. Bahkan sebagian mereka ada yang mewajibkan, karena menyangkut tentang pemberitahuan nikah dan perayaannya, serta membedakan antara pernikahan dan perzinahan. Oleh karena itu, menurut pendapat ulama, menghadiri hajat pernikahan adalah wajib hukumnya jika orang yang bersangkutan ada kesempatan dan tidak ada halangan.[21] Sedangkan hukum menghadiri undangan, Jumhur ulama penganut Imam Asy-Syafi’i dan Imam Hambali secara jelas menyatakan bahwa mengahadiri undangan ke walimatul ‘ursy adalah fardu ‘ain. Adapun sebagian dari penganut keduanya ini berpendapat bahwa menghadiri undangan tersebut adalah sunnah. Sedangkan dalil hadis yang sudah disebutkan di atas menunjukkan adanya hukum wajib menghadiri undangan. Apalagi setelah adanya pernyataan secara jelas bahwa orang yang tidak mau menghadiri undangan telah berbuat maksiat kepada Allah SWTdan Rasul-Nya SAW.[22] 2.10. Walimah Yang Islami Suatu amalan akan menjadi sangat berkah ketika dilakukan karena mengharap ridha Allah SWT, termasuk dalam penyelenggaraan acara walimah. Selain itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan walimah, yaitu: 1. Sesuai dengan hadits di atas, bahwa undangan tidak boleh dikhususkan terhadap orang-orang kaya saja, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. 2. Orang yang mengundang untuk walimah jangan sampai melupakan kerabat dan rekanrekannya. Jika yang diundang hanya sebagian diantara mereka, tentu akan menyakiti hati sebagian yang lain yang tidak diundang. Dan yang pasti, orang-orang yang shaleh ahrus diundang, apakah mereka fakir ataupun kaya.[23] 3. Disunnahkan menyelenggarakan walimah dengan menyembelih seekor domba atau lebih jika memang ada kesanggupan. 4. Penyelenggaraan walimah ini harus dimaksudkan untuk mengikuti sunnah dan menyenangkan saudara-saudara. 5. Dalam walimah harus dihindarkan hal-hal yang sudah biasa menyebar pada zaman sekarang, yang diwarnai dengan berbagai kemungkaran dan dosa serta yang jelas diharamka syari’at, seperti meminum jenis-jenis minuman yang memabukkan atau apapun yang diharamkan, dan laki-laki yang bercampur dengan wanita. Artinya tidak berbaur antara tamu pria dan tamu wanita [24] 6. Menghindari hiburan yang merusak. Contohnya, suguhan acara tarian oleh wanita-wanita yang berbusana tidak sesuai dengan syariat islam, bahkan cenderung mempertontonkan aurat.



7.



Dalam rumah tempat walimah itu tidak terdapat perlengkapan yang haram.



Karena, ketika di tempat terselenggaranya walimah tersebut terdapat perlengkapan yang diharamkan oleh agama, maka acara tersebut sudah tidak sesuai dengan batasan walimah yang dianjurkan oleh agama. Salah-satu contoh dari peralatan tersebut telah dijelaskan dalam hadits Rosul yang artinya: “Dari Hudzaifah Al-Yaman R.A. Ia berkata: Rosululoh S.A.W. bersabda: “ janganlah kamu minum dangan bejana emas dan perak dan janganlah kamu makan dengan piring emas dan perak, karena Ia untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk Kamu nanti di akhirat.(muttafaq alaih).”[25] 2.11. Adab-Adab Dalam Memenuhi Undangan Ada beberapa adab yang harus diperhatikan dalam memenuhi undangan.[26]Yaitu: 1. Tidak sekedar untuk memuaskan nafsu perut, tetapi harus diniati untuk mengikuti perintah syari’at, menghormati saudaranya, menyenangkan hatinya, mengunjunginya dan menjag dirinya dari timbulnya buruk sangka jika dia tidak memenuhi undangan itu, 2. Mendo’akan tuan rumah jika sudah selesai makan dan mendoakan kedua mempelai dalam undangan walimatul ‘ursy. 3. Tidak memenuhi undangan jika di sana ada kedurhakaan. Dan lain sebagainya, termasuk ada baiknya membantu dengan harta bagi kerabat yang kaya dalam penyelenggaraan walimah. 2.12. Hikmah Walimah Ada beberapa hikmah dalam pelaksanaan walimah, diantaranya: 1.



Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT.



2.



Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.



3.



Sebagai tanda resmi akad nikah.



4.



Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami-istri.



5.



Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.



6. Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri, sehingga mastarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.