Naskah Monolog [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MASPANAK” Karya Arthur S Nalan TERDENGAR MUSIK PEMBUKA. JUGA SUARA SIRINE MERAUNG RAUNG. GAMBARAN-GAMBARAN KETIKA WABAH PANDEMI COVID 19 MULAI MELANDA. (BENTUK VISUALISASINYA DISERAHKAN KEPADA SUTRADARA PENGGARAP MONOLOG INI) (MUNCUL ATANG (KALAU PEMAINNYA LAKI-LAKI) ATAU ITING (KALAU PEMAINNYA WANITA). BERJALAN TERJEGAL TULISAN-TULISAN “LOCK DOWN”BERKALI-KALI SEHINGGA SEPERTI TERKURUNG. DIA MERAUNG TERIAK DAN TERDENGAR SUARA DARI SEBUAH TOA. TERDENGAR SUARA: Pandemi belum berlalu Tapi kita tetap bersatu Lewat karya anak bangsa Masker Panakawan disingkat Maspanak ! ATANG/ITING (PADA PENONTON) Kenalkan namaku Atang/Iting, aku pedagang di pasar Tanabang. Pandemi datang aku diterjang tak bisa dagang. Lokdon, ya Lokdon mengunci segalanya. Tapi apa aku harus menyerah ? (BERGERAK) Tidak tentunya. Tapi ngomong-ngomong usaha apa ? (BERPIKIR KERAS) Usaha...usaha.. usaha.. makanan ? Ah aku tak punya bakat dagang makanan, makanan apa lagi, yang belinya siapa ? (BERJALAN BERPUTAR) Usaha-usaha..usaha....dasar pandemi...dasar Lokdon... ! (TERIAK) Aku bisa gila, aku kan perlu mencari sesuap nasi ! Aku perlu sesuap nasi ! (MEMBUAT KOPI/TEH) Wabah gila ini, datang menerjang dari Wuhan Cina, seluruh dunia kena. Katanya pakai wedang wuwuh, ah hanya hoak, katanya pake jamu-jamuan, tambah hoak lagi. Mending minum dulu kopi/teh hangat sambil mikir, supaya aku dapet sesuap nasi, aku harus usaha apa ? (DUDUK MENIKMATI KOPI/TEH). Wah kalau kopi/teh dapat menenangkan, seharusnya aku tenang juga berkir, dan berkir. (MENYERUPUT KOPI). TIBA-TIBA HP NYA BERBUNYI. Apa Koba ? Lokdon, ditutup. Jadi kamu nganggur. Aku juga nganggur. Nanti kalau ada kerjaan, aku kontak. Pokoknya kamu harus bantu, iya nanti diberitahu. Sedang apa ? Sedang ngopi/ngeteh ! Mau ? Bikin sendiri ! Gak punya, bayangkan saja. Kalau kata Mas Wir, imajinasi. Mas Wir yang suka bikin puisi itu, langganan kita ! Iya nanti dikasih tahu Koba, iya iya Loook Dooon (DIAM) Apa yang harus kulakukan ? Ya Tuhan. LAMPU REDUP LAMPU TERANG TAMPAK ATANG/ITING HABIS SEMBAHYANG. MEMBUAT KOPI/TEH. DUDUK MINUM TENANG. Tadi terlintas masker lewat sekilas setelah sholat. Aku akan mencoba membuat masker, ya masker. (MULAI BERHARAP) nanti dulu, kalau hanya masker, polos, dari kain, biasabiasa saja, mungkin yang lain juga bikin. (BERDIRI DAN BERJALAN) Hey...hey...hey itu dia, lukisan kaca warisan Kakek Otong, empat tokoh Panakawan. Semar, Petruk, Gareng, Bagong. (SADAR SENDIRI) Astaganaga-naga, ya, mereka. (OPTIMIS) Aku akan buat



masker bergambar Panakawan disablon dan dibordir. (BERPIKIR) tapi harus yang murah, terjangkau siapa saja. Aku kerja sendiri ? Ya enggalah, ada istri/suami yang pasti bantu. Eh, bagaimana kalau aku ngajak Sueb/Saibah tukang jahit sahabatku, (MENGAMBIL HP) Assalamualaikum, Eb/Ibah lagi apa ? Ngelamun ? Jangan ngelamun dong. Gini, aku punya ide, aku mau bikin masker tapi disablon dan dibrodir tokoh wayang Panakawan, Semar, Petruk, Gareng. Bagong, ya itu mereka, kamu juga kan tahu. Mereka tokoh populer yang merakyat. Siapa tahu menarik orang untuk beli, tapi jangan mahal bagaimana ? Jualnya ? Ya pakai online dong. Aku yang mendesain, kamu yang buat. (AGAK KAGET) Apa ? Gak tertarik ?! Bener nih, kamu kan butuh sesuap nasi, modal ya, aku cari. Bener gak tertarik, ya sudah, gak apa-apa. (MENUTUP HP) Sueb/Saibah gak tertarik, bahkan mentertawkanku. Dia bilang (MERUBAH SUARA) Kamu jangan gila, sekarang pandemi membuat orang gila, tapi aku gak mau ikut-ikutan gila. Begitu katanya diakhiri dengan ketawa. (DIAM) Ah, sudahlah, kenapa tidak aku coba sendiri, dibantu istriku/suamiku, dia kan bisa jahit juga. Si Koba akan kuajak juga. (DIAM) Tapi darimana modalnya ya ? (TERSENYUM BERCAMPUR TERTAWA CAMPUR SEDIH) Paling ke Pegadaian, ke mana lagi. LAMPU REDUP LAMPU TERANG (PADA PENONTON) Saudara-saudara, alhamdulillah ternyata Masker Panakawan diminati (MELIHAT LUKISAN KACA PANAKAWAN) Terimakasih Panakawan, aku dan istriku/suamiku mendapatkan jalan dari Tuhan karena melihat kamu, aku bisa dapatkan sesuap nasi. Juga Si Koba, bantuannya luar biasa. (ADA KONTAK HP) Ya, Masker Panakawan, betul Pak. Dengan siapa ya ? Pak Boyo, astaga, masa bapak pesen masker murah, apa pak ? Panakawannya ? Berapa banyak pak ? (KAGET) 500 buah ? (KAGET LAGI) 100 dulu ? Ya, Pak Boyo. Apa ? Sanggup ? Ya harus sanggup Pak, ini rejeki dari Tuhan, baik Pak. Kapan harus kelar ? Seminggu ? Sanggup pa. Kami kejar Pak. LAMPU REDUP LAMPU TERANG (PADA PENONTON) Saudara-saudara, pesanan Pak Boyo berhasil kelar, aku dan istriku/suamiku berjibaku, aku terpaksa mengerahkan seluruh famili dan tetangga. Menjahit, menyablon, membordir, mengepak siang malam. Oh ya, mendengar aku sukses, Sueb/Biah menilpun minta bagian, aku tolak halus, aku bilang, maaf sueb/biah aku sudah jalan duluan, kalau kamu mau bikin tokoh wayang yang lain atau mikimos saja. (TERTAWA KECIL) Ya, kalau udah sukses, kok mau numpang sukses. Tapi sudahlah. Pokoknya aku terus bikin Maspanak jadi merek Maskerku. LAMPU REDUP LAMPU TERANG (PADA PENONTON) Meskipun Pasar Tanabang masih lokdon, ambil hikmahnya, Pandemi memberi rejeki, tapi juga jangan lupa berdoa. (MELIHAT LUKISAN PANAKAWAN) Panakawan kamu inspirasiku. Terimakasih Kakek Otong. Siapa mau beli masker Maspanak. LAMPU PADAM . Bandung, 17 Mei 2021



SAKITKU BUKAN KEGAGALANKU Oleh: Griselda Wodong Apakah aku harus pergi, untuk sengaja dicari? Apakah aku harus hilang, untuk sengaja dikenang?  Jika hidup semudah itu, aku ingin hidup di dalamnya.  …. Setiap detik terasa berat bagiku, setiap hari terasa sulit bagiku, setiap bulan terasa capek bagiku, bahkan berganti tahun aku masih tidak baik-baik saja.  Hai sobat, tahukah kamu? Apa yang ku alami saat ini bukan keinginanku, rasa terperangkap dalam ruang hampa dengan rumitnya pikiranku, aku tidak menghendaki ini…. Tapi.. Kenapa ini terjadi padaku? Aku pun tak tahan diikat dengan stranger voice yang tak tahu dari mana datangnya… Setiap kali aku mencoba berdamai dengan diri, rasanya sangat sulit..  Kata sahabatku, “Jika terasa sulit, tersenyumlah.. ” Tersenyum adalah media termurah untuk mengalihkan pikiran negatifku…  Bagaimana bisa aku tersenyum di saat hati berkata tidak? Bimbang diri tak pernah hilang…  Apa memang diriku terlalu lemah untuk bertarung?  Apa memang diriku kurang bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan kepadaku?  Apa memang sakitku adalah kegagalanku? Itulah kata mereka di luar sana..  Tahukah sobat? Aku juga tidak menginginkan ini terjadi, aku juga benci diriku yang saat ini, aku juga benci dengan kehidupanku, aku juga ingin keluar dari rasa sakit ini…..  Aku selalu khawatir, tentang bagaimana kamu memandangku..  Aku selalu takut, tentang bagaimana kamu membicarakanku..  Aku selalu cemas terlihat berbeda dari kalian. Sempat terlintas di benakku untuk menyerah, karena terlalu capek terjebak di situasi ini. Sampai kapan?  Aku muak dengan keadaan ini, aku tidak peduli, aku jenuh.  Tapi, jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga ingin tertawa bersenda gurau dengan kalian, aku juga ingin menikmati keramaian yang ada..  Sobat, bolehkah aku meminta? Cukup aku yang berhak menilai diriku, cukup aku yang bertarung dengan diriku, cukup aku…  Bisakah kamu tidak menghakimiku? Bisakah kamu menerima diriku? Bisakah kamu memberikan dukungan untukku?



Setidaknya, dengan begitu aku bisa merasa pantas untuk sembuh, aku bisa merasa tidak sendirian, aku bisa merasa banyak yang menungguku dan aku bisa menyudahi kesulitan ini.  Kalau kamu bertemu aku di luar sana, sampaikan padaku “Aku ini berharga, siapapun aku, bagaimanapun aku, aku bisa melewati ini.”, “Aku bisa menerima ini dan mencintai segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diriku.”, “Aku tidak sendirian.” Dengan begitu, aku bisa tahu. Kamu, aku, kita masih sama-sama manusia biasa yang tidak sempurna. Mungkin itu sinyal untuk kembali mendengarkan hati.  Semua kisah di hidupku adalah milikku. Semua yang terjadi padaku adalah tentang rasa. “Semoga aku bisa menemukan harapan baru.”



Aku Si Kosong Karya: Chairil Anwar Hahahahaha… Enak jadi kalian.. Kalian itu bebas, kalian bisa melakukan apa saja yang kalian mau. Sedangkan, aku hanya si kosong. Aku anak yatim piatu/aku tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Hidupku terasa suram. Tak ada satupun orang yang mau menemani diriku. Dulu, iya itu dulu. Dulu aku memiliki keluarga yang sangat sayang padaku. Tetapi, tetapi karena keegoisan yang aku miliki semuanya jadi hancur. Orangtuaku menderita. Sampai ia meninggalkan diriku.. Ayah, ibu, maafkan aku! Maafkan aku yang telah durhaka padamu. Maafkan akuuuuu.. Maafkan akuuuu. Aku menyesal. Aku menyesal Tuhan. Tolong Tuhan. Tolong kembalikan duniaku seperti dulu. Aku rindu. Aku rindu sosok yang memperhatikan diriku. Aku rindu. Aku sangat rindu Tuhaaaaaannn. Semua terlihat gelap. Semua gelap, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku bingung. Aku bingung harus ke mana. Ayah, ibu, tolong akuuu. Maafkan aku. Aku sangat menyesal. Maafkan aku, maafkan aku, aku selalu berpikir buat apa aku hidup di dunia ini, buat apa, kalau tak ada satupun orang yang sayang padaku. Buat apaaaaaa. Lebih baik aku ikuti saja orangtuaku agar aku bisa berkumpul. Aku bisa berkumpul dengannya. Tuhan maafkan aku, maafkan jika cara ini, cara ini salah. Maafkan aku aaaaahhhh.



Bahaya Oleh :Putu Wijaya DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK. Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku? BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA. Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, memanggil kenang-kenangannya kepada perasaan marah, jengkel atau keki. Mungkin terhadap orang lain. Tapi bisa saja emosi itu sudah menggerakkannya untuk memaksa kita jadi sasaran pelepasan. Apalagi kalau kita pernah dengan tidak kita sadari sudah melukai perasaannya, tidak menyahut waktu ia menyapa, atau kita lupa membayar hutang kita waktu bercukur yang lalu. Ia kan juga seorang manusia biasa yang bisa goyah hatinya kalau memegang pisau?! Dengan pikiran seperti itu, aku jadi takut potong rambut secara lengkap. Kalau rambut sudah digunting, aku langsung bilang stop. Tidak usah dirapikan dengan pisau. MELEPASKAN SELIMUT DAN MEMBUANGNYA Aku tak pernah lagi memberikan kesempatan tukang cukur memegang pisau, apalagi di dekat leherku. Bukan hanya dari tukang cukur. Dari setiap sudut, 360 derajat memancar ancaman. Di mana-mana ada bahaya. Coba apa jaminannya, kalau kita pesan makanan di restoran, koki restoran itu tidak memasukkan racun tikus ke dalam makanan? Kita tidak tahu siapa yang memasak di belakang sana. Kita tidak bisa nyelonong ke belakang dan melihat mereka memasukkan bumbu ke dalam masakan, setiap kali mau makan. Bisa saja mereka itu koki-koki gila. Seorang pembunuh. Atau musuh kita yang menyamar jadi koki. Dengan gampang ia memasukkan baygon atau air accu bekas, lalu cuci tangan. Sementara satu atau dua jam kemudian kita akan kaku dilarikan ke gawat-darurat, tapi tak tertolong lagi. Dan jaminan apa yang ada di jalan raya, yang dapat menjamin mobil yang datang dari arah depan atau belakang kita, tidak akan menggilas kita? Jaminan apa yang dapat kita andalkan, bus yang kita tumpangi tidak akan dibelokkan oleh supir masuk ke dalam jurang? Jaminan apa yang dapat kita andalkan, dokter-dokter bukannya memberikan obat penyembuh, tapi ramuan kimia yang justru merangsang kanker ganas di tubuh kita? Jaminan apa yang bisa menjamin kita aman di dalam rumah. Bahwa kabel listrik tidak akan putus lalu menyengat kita yang sedang enak-enak tidur. Di mana-mana, baik di rumah, di jalan raya, di sekolah, di kantor, bahkan di WC, selalu ada bahaya mengintai. Kita hidup tanpa perlindungan. Kita harus melindungi diri kita.



Aku mulai sakit karena pikiran-pikiran itu. Aku begitu cemas. Aku sudah memvonis orang lain adalah pembunuh. Kehidupan adalah ranjau. Dunia adalah gelanggang pembantaian. Jalan satu-satunya adalah mengasingkan diri. Aku memperkecil hubunganku dengan siapa saja. Aku berusaha menyendiri dan juga mempersenjatai diri dengan rasa awas, was-was dan curiga terhadap segalanya.



“Apakah Kita sudah Merdeka” Putu Wijaya



Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan, aku leyek-leyek nonton TV. Ketika lagu sorak sorei di kumandangakan, si Kampret cucu ku, pelan-pelan mendekat lalu berbisik, Kek apakah kita sudah merdeka? aku terkejud, apa? apakah kita sudah merdeka?.    Aku mulai marah, siapa yang menyuruh mu menanyakan itu? Aku baca di koran, si Kampret mengeluarkan sobekan kertas koran dari sakunya, kemudian menunjukan sebuah kepala berita. Darah ku mendidih, media sekarang semuanya edan, dagangannya tuh sensasi semua, bukan fakta!   Aku gayut tangan Kampret lalu ku dudukan di samping ku. Duduk! Jangan ngomong dulu, aku mau bicara, apa-apa saja kerjaan guru mu disekolah? Apakah guru mu sudah berhenti mengajar sejarah Indonesia?   Apakah guru mu tidak pernah memberitahukan kepada mu, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10 pagi di Jl. Pegangsaan Timur No 56, Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan kita.   Proklamasi, kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekannya. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. Diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945, atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.   Nah, sejak itu kita merdeka. Jadi kita udah merdeka ya Kek? Woohh jelas. Kalau kita sudah merdeka Kek, kenapa kita masih miskin?    Hampir saja tangan ku ini menampar mulut si Kampret, untung aku ingat tuyul ini masih cucu ku sendiri. Sambil geram, Kampret dengarkan baik-baik!    Kalau kita ini merdeka, itu artinya kita telah bebas dari penindasan penjajah, kita bebas menentukan nasib kita sendiri, kita bebas berbuat, kita bebas berpikir, kita bebas menentukan sikap kita sendiri. Tapi kalau kamu itu lapar, miskin, sakit, terpuruk, gagal, kecewa, kalah, hina, wohh itu bukan urusan kemerdekaan.   Gini! Kalau kamu itu mau kaya, harus kerja keras, mencari sendiri kekayaan mu, membalik sendiri nasib kamu, tidak ada orang yang mau nolong. Kalau kamu mau berhasil, mau jaya, mau hebat, wohh harus kerja keras, harus berani bersaing, harus berani berkorban, harus berjuang melawan tantangan. Gak ada orang itu mau menyuapi, apalagi mengasihani.    Kalau kamu itu ulet, berprestasi, pinter, wohhh kamu akan menjadi orang nomor satu, tapi kalau kamu males, bodoh, teler, melempem, doyannya hanya mengeluh, mengemis, protes, wohhh yakin kamu akan menjadi orang kere seumur hidup mu.   Karna jika kita ini merdeka, kita harus bisa mempergunakan sebuah kebebasan yang di berikan kemerdekaan, jangan mentang-mentang kamu pikir terus seenakmya sendiri, kebablas, seenak udel mu sendiri.   Padahal kalau kamu itu merdeka, kemerdekaan kamu di batasi. Di batasi oleh kemerdekaankemerdekaann lain milik saudara-saudara mu, yang ada di lingkungan sekitar kamu, yang sama-sama merdekanya dengan kamu.   



Walhasil, kalau kamu merdeka, sebenarnya kamu tidak merdeka. Ngerti? Si Kampret tidak menjawab, ngerti? Tidak. Nah dengan kamu bilang “tidak” artinya kamu orang yang merdeka, hanya orang merdeka yang berani kapan saja bilang “tidak.”   Di layar televise sang Saka telah di kerek, di iringi lagu Indonesia Raya, aku jadi merinding, aku terlempar pada masa revolusi, ketika aku keluar masuk hutan, bersembunyi dibalik ketiak-ketiak bukit, mencekam konvoi tentara kolonial, menghancurkan jembatan, malammalam mengendap-endap ke kota, menyusuri tangki militer untuk mencuri senjata.    Tapi kami di sergap, karna ada pengkhianatan, kami lari dan kaki ku tertembak, kami semua jatuh ke dalam sumur tua.    Jadi betul Kek, kita sudah merdeka? Sang Saka telah naik, berada di puncak tiang, anggun perkasa, aku telah turut aku telah ikut membayar ongkos perjalanannya, hingga kaki ku pincang sampai sekarang, tapi sama sekali tidak ada rasa menyesal. Jadi betul Kek, kita sudah merdeka?    Pada masa kemerdekaan, aku meletakan senjata ku, kembali ke sawah, hidup ku tenang. Sampai pada suatu saat ada yang memfitnah ku, mengatakan aku adalah pengkhianat ketika dulu kami di sergap.   Aku di perkarakan dan di penjarakan 5 tahun, didalam penjara akhirnya aku sadar, orang yang memfitnah ku, itulah pengkhianat sebenarnya. Setelah bebas, aku cari dia di kota, tapi ternyata dia sudah jadi pejabat yang sangat di cintai masyarakat.    Dia tau aku datang, dia suruh orang untuk membrangus ku. Aku bukan pahlawan lagi, aku hanya orang biasa yang mencintai keluarga ku, aku lari aku melarikan diri, aku menghilang.    Kenapa ketika mengingat semua ini, aku sedih sekali. Inikah artinya kemerdekaan? Aku menjerit aku menangis di dalam batin.   Kalau betul Kek, kita sudah merdeka, kenapa Kakek menangis? Terkejut, cepat-cepat aku segak air mata ku, ku gayut tangan Kampret, ku tutup mulutnya dan aku bilang. ,Kampret! Kakek menangis karna kita sudah merdeka, hanya orang merdeka yang bisa, boleh, dan berani menangis di manapun kapanpun ia ingin menangis.