5 0 8 MB
OMPU BONAHUTA DALAM KERABAT TOGA MANURUNG
Tim Pengarah & Penyusun Silsilah Ompu Bonahuta Manurung Agus Manurung • Arnold Manurung • Betson Manurung • Biden Manurung • Bisman Manurung • Bonar Manurung • Burhan Manurung • Edward Manurung • Esron Manurung • Frederik Manurung • Gerhat Manurung • Hendra P. Manurung • Hulman Manurung • Hophop Manurung • Jonner Manurung • Levi Manurung • Mampe Manurung • Managara Manurung • Maruhum Manurung • Maruli Manurung • Maoris Manurung • Nurdin Manurung (Sibisa) • Nurdin Manurung (Narumambing) • Parluhutan Manurung • Robinson Manurung • Toga Manurung • Saut Manurung
Daftar Isi Pengantar
................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................7 BAB II OMPU BONAHUTA DALAM SILSILAH TOGA MANURUNG............... 11 Toga Manurung............................................................................ 11 Raja Hutagugur Manurung...................................................... .... 17 Ompu Bona Huta Manurung....................................................... 17 Raja Naing.................................................................................... 18 # Ompu Bane................................................................................ 18 # Ompu Lamis............................................................................... 18 Raja Huala.................................................................................... 26 # Ompu Pongki............................................................................. 26 # Raja Nionjur............................................................................... 26 # Raja Togap................................................................................. 26 Guru Pangajian alias Marrangin Bosi.......................................... 28 # Ompu Saur Uluan...................................................................... 29 # Ompu Panguhalan.................................................................... 32 # Ompu Raja Nauli....................................................................... 53 BAB III
ASAL-USUL LELUHUR BATAK....................................................... 72 Asal Leluhur Batak........................................................................ 73 Batak, Lampung, dan Toraja......................................................... 77 Peradaban Batak.......................................................................... 78 Penduduk Batak.......................................................................... 70 Lingkup Tano Batak...................................................................... 80
BAB IV
DALIHAN NATOLU KARAYA BUDAYA YANG MENAKJUBKAN....... 83 Sistem Dalihan Natolu.................................................................. 86 Perilaku Manurut Dalihan Natolu................................................. 86 Dalihan Natolu Bagai Trias Politika................................................ 88 Latar Belakang Timbulnya Dalihan Natolu..................................... 89
2
OMPU BONAHUTA
BAB V
BAB VI
BAB VII
. BAB VIII BAB IX
MARGA DALAM SUKU BATAK.............................................. 93 Timbulnya Marga Batak......................................................... 94 Makna Marga......................................................................... 96 HUTA DAN RUMAH BATAK TOBA........................................ 97 Pengertian Huta...................................................................... 97 Syarat Mendirikan Kampung ( Huta )...................................... 97 Rumah Batak........................................................................... 100 DIMENSI PERKAWINAN MENURUT ADAT BATAK................. 103 HakekatPerkawinanMenurutAdat Batak................................ 103 Proses Perkawinan Menurut Adat Batak................................ 105 Adat Perkawinan Menurut Adat Batak................................... 108 Kekerabatan Batak.................................................................. 109 RAGAM DAN PENGGUNAAN ULOS BATAK........................... 111 Pengertian Setiap Jenis Ulos Batak.......................................... 111 Ulos Batak Menurut Penggunaannya...................................... 113 SEJUMLAH ISTILAH BATAK................................................... 116
OMPU BONAHUTA
3
Pengantar
S
ilsilah atau yang dalam bahasa batak disebut Tarombo adalah suatu hasil pencatatan atau ungkapan lisan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya mengenai susunan, posisi dan keterkaitan (hubungan kekerabatan) seseorang dengan orang lain dalam satu garis ayah (sa ama) dan/atau satu garis leluhur ( sa ompu). Dalam kehidupan sosial-budaya batak, makna silsilah ini merupakan faktor yang amat penting sebab menjadi sebuah sumber data yang mampu menjelaskan mengenai posisi dan hubungan “namarhaha-maranggi” (bersaudara) dalam lingkup kerabat tertentu. Persoalannya, jikalau silsilah itu disusun secara asal jadi (sembarangan) atau tidak berdasarkan data yang akurat, maka acap kali menjadi masalah sosial, sebab akan terjadi saling klaim siapa anak sulung. Dalam budya batak, posisi anak sulung itu mempunyai kedudukan yang istimewa, dan dipandang sebagai “kehormatan”. Masalah ketidak akuratan silsilah banyak dialami oleh marga-marga batak,sehingga terjadilah perselisihan yang serius diantara “namarhaha-maranggi” (bersaudara). Silsilah disampaikan dengan cara lisan secara turun temurun. Sementara kebenarannya tidak berdasarkan data tertulis, maka timbullah silsilah menurut versi masing-masing yang tidak lepas dari kepentingan masing-masing pula. Hal-hal semacam inilah yang juga dialami keturunan (pomparan) Ompu Bona Huta Manurung. Dalam beberapa dekade terakhir ini posisi Ompu Bona Huta Manurung sebagai anak sulung Raja Huta Gurgur diingkari oleh salah satu pomparan (keturunan) anak Raja Huta Gurgur, menyebabkan hubungan sosial “namarhaha-maranggi” (kakak-beradek) diantara anak Raja Huta Gurgur mengalami “keretakan” secara berkepanjangan. Dengan memperhatikan pentingnya silsilah dan masalah “namarhahamaranggi seperti diungkapkan di atas, maka pomparan (keturunan) Ompu Bona Huta Manurung generasi masa kini menyadari betapa pentingnya disusun dan diterbitkan suatu buku yang memuat silsilah (tarombo) Ompu Bona Huta Manurung yang menyeluruh dan akuntabel. Hal itu dipandang penting dengan maksud dan tujuan: Pertama, untuk menjadi sebuah sumber data yang benar dan terpercaya
4
OMPU BONAHUTA
mengenai posisi dan hubungan “namarhaha-maranggi” atas seluruh pomparan Ompu Bona Huta Manurung. Kedua, dengan adanya silsilah itu , maka diharapkan setiap pomparan Bona Huta Manurung akan dapat memahami posisinya apakah sebagai tingkat anak, tingkat pahompu (cucu), sihahaan (sulung), Sianggian (tingkat adek), tingkat among (bapak) dan tingkat ompung (kakek) , dan seterusnya. Dengan adanya kejelasan itu, maka seluruh pomparan Ompu Bona Huta Manurung akan memahami bagaimana keterkaitan hubungan dan etika “namarhaha-maranggi” dan dengan demikian semangat persaudaraan pomparan Ompu Bona Huta Manurung akan semakin terjalin dengan baik. Ketiga, silsilah ini disusun sebagai penegasan sikap seluruh pomparan Bona Huta Manurung, bahwa Raja Huta Gurgur mempunyai 7 ( tujuh) putra, masing-masing bernama : (1) Ompu Bona Huta Manurung sebagai putra sulung (2) Ompu Banua Luhung Manurung , sebagai putra kedua (3) Raja Niangkat Manurung sebagai putra ketiga (4) Raja Niatur Manurung sebagai putra keempat (5) Raja Sijambang Manurung , sebagai putra kelima (6) Tuan Sogar Manurung sebagai putra keenam dan (7) Raja Humuntor alias Raja Tamba Manurung, sebagai putra ketujuh atau anak bungsu. Oleh karena itu, silsilah (tarombo) yang dibuat oleh pihak tertentu dan menyatakan Raja Huta Gurgur mempunyai 4 (empat) putra yaitu : (1) Banua Luhung di Sibisa, (2) Torpaniaji (Ompu Buna Huta) di Sibisa, (3) Sibatunangkar di Ajibata, (4) Parpinggol Lobe-lobe di Sidamanik. Lalu Banua Luhung memperanakkan : (1) Ompu Batu Jongjong dan (2) Raja Mangatur. Kemudian Ompu Patujong memperanakkan Jarojang di Sibisa, dan Raja Mangatur, di Sibisa memperanakkan: (1) Ompu Raja Nauli di Parsunian, (2) Patubamban di Parsinuan, (3) Ompu Niunggul di Sionggang, (4) Raja Sijambang di Jangga, (5) Sompa Oloan di Narumambing, (6) Tuan Sogar di Janjimatogu, dan (7) Raja Humuntor di Samosir seperti yang disebutkan dalam surat pengurus Punguan Pomparan Raja Toga Manurung Boru Dohot Bere BandungNahumaliangna, Nomor: 04/X/2003 tanggal 23 Oktober 2003 adalah silsilah (tarombo) Raja Hutagurgur yang “patut diluruskan”. Alasannya, Raja Sijambang, Tuan Sogar dan Raja Humuntor bukanlah generasi (sundut) kedua setelah Banua Luhung dan/atau bukanlah dalam posisi sebagai cucu Banua Luhung, melainkan masing-masing orang itu adalah adek dari Ompu Bona Huta Manurung dan satu generasi dan/atau sa ama (satu ayah) dengan Ompu Banua Luhung. Posisi mereka adalah anak Raja Hutagurgur. Kekeliruan silsilah itu patut “diluruskan” berdasarkan data yang benar dan akuntabel, seperti silsilah yang dipaparkan dalam buku ini. Silsilah (Tarompbo) Pomparan Ompu Bona Huta ini, pertama-tama disusun berdasarkan data yang terdapat dalam “Tarombo Induk” yang lebarnya 1 meter dan
OMPU BONAHUTA
5
panjangnya 10 meter, yang disusun oleh Pomparan Ompu Bona Huta Manurung generasi (sundut) XI dan XII. Lalu setelah itu, diteruskan atau dilengkapi dengan data sisilah pomparan Ompu Bona Huta Manurung generasi XIII dan seterusnya yang disusun dan disampaikan oleh masing-masing horong (parompu-ompu) dari Pomparan Raja Naing, Raja Huala, dan Guru Pangajian ( Marrangin Bosi). Dalam menyusun Silsilah Ompu Bona Huta Manurung ini dilakukan oleh suatu Tim yang terdiri dari personal tiap ompu dari keturunan Raja Naing, Raja Huala dan Guru Pangajian alias Marrangin Bosi sehingga data tiap individu dari pomparan Ompu Bona Huta per generasi, dikoreksi secara teliti dan bersama-sama oleh Tim. Penyusunan Silsilah Pomparan Ompu Bona Huta Manurung dilakukan selama 2 ( dua) tahun dan telah diupayakan secara optimal dengan data yang selengkaplengkapnya. Namun, harus di akui disana-sini masih terdapat kekurangan, terutama yang menyangkut data tiap orang pomparan Ompu Bona Huta Manurung sejak generasi (sundut) XIV dan seterusnya yang belum semuanya masuk dalam buku Silsilah Ompu Bona Huta Manurung. Kendalanya adalah begitu sulitnya mendapat data tiap individu pomparan Ompu Bona Huta manurung generasi XIV dan seterusnya. Namun, adanya kekurangan data itu, dipandang tidak lagi mengurangi makna dan tujuan penerbitan Silsilah Ompu Bona Huta Manurung sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas. Tim Penyusunan Buku Silsilah Ompu Bona Huta Manurung menimbang dan memutuskan, bahwa kekurangan itu akan disempurnakan pada buku edisi berikutnya. Akhirnya dengan kerendahan hati Tim Buku Silsilah Ompu Bona Huta Manurung, memohon maaf jika dalam penulisan buku ini masih tergolong sederhana, dan masih terdapat kekurangan atau masih harus disempurnakan dalam edisi berikutnya. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih menyertai dan memberkati semua pomparan Ompu Bona Huta Manurung dimana pun berada. Marujuk pada umpasa Situatua : “ Napuran tanotano rangging masiranggingan, badan pomparan Ompu Bona Huta Manurung boi padaodao, Tondi totopa masigonggoman.
Jakarta, Februari 2013. Penulis
6
OMPU BONAHUTA
BAB I
Pendahuluan
D
alam penulisan buku ini, selain menungkap mengenai Silsilah (Tarombo) Ompu Bona Huta Manurung, buku ini juga memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan Asal Leluhur Batak, Dalihan Natolu sebagai falsafah kehidupan sosial, budaya dan adat yang sungguh mengagumkan, Huta dan Rumah Batak yang belakangan ini semakin hilang dari peradaban batak, Dimensi Perkawinan dan Kekerabatan Batak, Ulos Batak serta Istilah-Istilah Batak. Hal itu semuanya dipilih untuk diungkapkan dengan maksud selain untuk dipahami lebih dalam, diharapkan dapat melengkapi wawasan generasi penerus putra batak, terutama putra Pomparan Ompu Bona Huta manurung. Dengan demikian, batak sebagai “bangso” yang berperadapan tinggi, dengan adat dan budayanya yang kuat dapat terpelihara dengan baik ke masa depan. Terkait dengan asal leluhur batak sebagaimana disinggung dalam uraian di atas, dalam Bab III buku ini diungkapkan, bahwa pendapat sebagian besar masyarakat batak yang mengatakan Si Raja Batak adalah keturunan Tantan Debata yang turun dari Banua Ginjang (Benua Atas) ke Banua Tonga (Benua Tengah) dan turun di Sianjur Mula Pusuk Buhit, tampaknya merupakan mitos belaka atau tidak dilandasi oleh pendapat yang rasional. Berbagai indikasi menunjukkan, bahwa perkataan “batak” itu sendiri ternyata tidak hanya digunakan oleh etnis batak, akan tetapi juga oleh masyarakat lain di luar batak yang ada di Tano Batak atau negeri lain. Sebutan “kampung batak” misalnya, tidaklah hanya digunakan oleh orang batak di Tano Batak, akan tetapi juga oleh komunitas masyarakat di Filipina dan di Pulau Pinang. Dengan adanya fakta seperti diungkapkan di atas , timbul pertanyaan apakah leluhur batak itu berasal dari negeri jauh? DR. SHW.Sianipar.DL dalam bukunya Tuho Parngoluan Dalihan Natolu, Sistem Bermasyarakat Bangso Batak menyebutkan bahwa leluhur batak itu berasal dari Asia Bagian Tengah. Pertanyaannya, benarkah suku batak yang ada di Tano Batak berasal dari sana dan oleh karena sesuatu hal atau tekanan yang mengancam kehidupan mereka dari bangsa lain atau kerajaan Mangaraja Burbur, maka mereka harus meninggalkan negerinya Tanah Bongaran ?. Katanya,orang-orang yang disebut bangso batak itu, dengan terpaksa migran
OMPU BONAHUTA
7
(meninggalkan negerinya), lalu harus melakukan perjalanan panjang, berlayar mengarungi laut bebas dan akhirnya terdampar atau sampai di pantai Sumatera Bagian Barat hingga kapalnya bersandar di bandar Barus, dan kemudian membentuk pemukiman yang disebut Tano Batak. Fakta lain menunjukkan, bahwa keberadaan bangso batak tampaknya sudah eksis dan diketahui bangsa-bangsa lain jauh sebelum menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Hal itu terlihat dengan kedatangan misionaris Babtis asal Ingris yaitu Richard Burton dan Nathanael Ward ke Tano Batak (Sibolga) pada tahun 1824 untuk melihat lebih dekat tanah dan bangso batak. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1834, kegiatan mereka diikuti oleh Hanry dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika Serikat. Lalu tahun 1850 Dewan Injili Belanda menugaskan Herman Neubruner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus Batak-Belanda. Tujuannya adalah untuk memudahkan berbicara dengan masyarakat batak. Menyusul kemudian misioner Dr. Lodewig Inggwer Nomensen asal Jerman. Ia datang ke tanah batak (Silindung, Tapanuli) melalui Padang, Sumatera Barat pada tahun 1861. Apa yang ditunjukkan oleh kedatangan para misioner tersebut di atas, bahwa bangsa-bangsa lain yang sudah berperadaban maju, terutama bangsa Amerika dan Eropa yang letak tanah airnya jauh dari Tano Batak, sudah mengetahui adanya suatu “Bangso Batak” yang berperadaban tinggi dan memposisikan diri sebagai “bangso” (bangsa) yang telah mempunyai : (1) Satu tanah air yakni Tano Batak, (2) Sejumlah penduduk dengan adat dan budaya yang sama,(3) Satu bahasa yakni bahasa batak, (4) Askara dan tulisan batak, dan (5) Falsafah dan sistem sosial, adat dan budaya yakni Dalihan Natolu, (6) Lagu kebangsaan yang berjudul “O Tano Batak”. Selain mengungkapkan mengenai asal-usul batak tersebut di atas, pada Bab IV buku ini juga diungkapkan mengenai Dalihan Natulu. Suatu Falsafah dan sistem sosial, budaya dan adat yang terdiri dari subsistem hulahula, subsistem dongan tubu, dan subsistem boru, dimana antara satu aspek dengan aspek lainnya merupakan suatu total yang saling terkait, saling berhubungan dan saling mendukung menuju suatu masyarakat batak yang berperadaban, beradat, dan berbudaya tinggi. Dengan adanya falsafah dan sistem Dalihan Natolu yang sangat mengagumkan itu, maka masyarakat batak benar-benar menjadi ada dan berada (eksis) sebagai “bangso” (bangsa) yang berperadaban tinggi. Bahkan berkat adanya sistem dalihan natolu ini, maka bangso batak menjadi suatu bangsa yang demokratis, terbuka, harmonis dan saling mendukung, menuju masyarakat yang damai dan sejahtera.
8
OMPU BONAHUTA
Pada Bab berikutnya, buku ini juga mengulas “marga dalam suku batak” dan “dimensi perkawinan batak”. Makna marga dan perkawinan menurut adat batak dipandang penting untuk dipahami oleh generasi kini dan mendatang. Sebabnya ditengah-tengah perkembangan sosial-budaya masyarakat global atau oleh pengaruh budaya lain, kadang marga dipandang tidak begitu penting. Sementara perkawinan dengan cara adat dan budaya batak menurut sebagian masyarakat batak, terutama yang berada diperkotaan menilainya sebagai suatu kegiatan yang terlampu rumit dan tidak efektif, sehingga memilih pernikahan dengan cara atau berdasarkan budaya lain. Memang, jika dilihat dari sisi prosesnya yang dimulai dari mahorihori dinding, patua hata, marhusip, marhata sinamot, dan marunjuk., maka perkawinan dengan cara adat batak itu tampak kompleks, dan dengan prosedur yang panjang. Akan tetapi, jika diperhatikan secara seksama, bahwa perkawinan dengan cara adat batak itu memperlihatkan makna dan hakekat perkawinan yang amat dalam dan sakral. Tidak saja terbatas mengikat kasih dua insan menjadi satu. melainkan juga mengikat hubungan kekerabatan antara kerabat mempelai laki-laki dengan kerabat mempelai perempuan, dan bahkan mencakup lingkup kerabat dalam Sistem Dalihan Natolu. Dengan demikian, maka makna dan hakekat perkawinan menurut adat batak itu sungguh menunjukkan hal yang sangat baik,dan dalam. Adat dan budaya batak yang begitu luhur ini patut dipahami dan dihayati oleh seluruh genersi penerus pomparan Ompu Bona Huta Manurung untuk mewujukan suatu keluarga yang damai dan sejahtera. Selain itu, salah satu masalah sosial masyarakat batak akhir-akhir ini adalah menyangkut Ruma Batak dan Huta yang memprihatinkan. Ruma Batak dan Huta terlihat semakin tidak terpelihara dan bahkan “dibiarkan”, sehingga dimana-mana terlihat mengalami kehancuran”. Pada hal kedua hasil karya budaya batak ini bukan saja sebagai kebanggaan masyarakat batak pada masa lampau dan sekarang, tetapi juga merupakan identitas bangso batak. Rumah batak yang dahulu kala berdiri megah menghiasi tiap huta (kampung) sebagai pertanda kejayaan masyarakat batak, kini banyak yang tidak berpenghuni dan rusak dibiarkan. Bahkan terdapat Ruma Batak yang dijual kepada bangsa lain. Kondisi Huta juga demikian. Dahulu menjadi kebanggaan setiap orang batak, sehingga dijaga dan dipertahankan mati-matian, tetapi mengapa sekarang ini kehilangan rasa kepemilikan, dibiarkan satu persatu mengalami kehancuran? Bagaimana kelak Tano Bangso Batak akibat kedua hasil karya budaya itu mengalami “kehancuran” dan hilang dari permukaan bumi Tano Batak ?
OMPU BONAHUTA
9
Hal lain yang diungkapkan dalam buku ini adalah mengenai Ulos Batak. Hasil karya budaya batak ini sejak dahulu kala sampai kini dipandang amat penting sebagai simbol dalam menyampaikan “tali kasihnya” kepada sesama, baik pada saat suka, maupun pada saat duka. Ulos batak ditenun leluhur batak hingga generasi sekarang dalam berbagai jenis, corak (ragi) dan makna. Sebagai hasil karya budaya batak yang juga amat mengagumkan itu, patut terus dipahami oleh generasi muda batak dalam rangka melestarikan ekisistensi “bangso batak” ke masa depan menuju kesejahteraan yang lebih baik. Lahirnya sekte agama kristen tertentu dan “mengharamkan” ulos batak tersebut atau mengajarkan sebagai hasil perbuatan dosa adalah selain ajaran yang “sesat”, juga sekaligus akan “menghancurkan” keberadaan masyarakat batak yang beradat dan berbudaya tinggi. Sebagai Bab penutup, dalam buku ini diungkapkan pengertian berbagai istilahistilah yang timbul dalam perkembangan sosial,adat dan budaya batak. Hal ini dipandang penting sebagai pelestarian wawasan generasi muda pomparan Bona Huta Manurung, sehingga tidak mengalami salah pemahaman.
10
OMPU BONAHUTA
Bab II.
Ompu BonaHuta Dalam Silsilah
Toga Manurung.
S
ilsilah adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat batak, oleh karena dalam adat, sosial dan budayanya senantiasa ingin mengetahui kedudukannya dalam satu ayah (sa ama), satu leluhur (sa ompu) dan semarga. Sementara itu jika orang batak tidak memahami silsilahnya, maka orang itu akan dipandang sebagai batak kesasar (jolma nalilu). Itulah sebabnya setiap orang batak senantiasa mengetahui marganya, leluhurnya dan dongan tubunya (kerabat semarga), hingga hahaangginya serta boru dan bere/ibeberenya (ponakannya). Hal itu dilakukan untuk dapat mengetahui hubungan kekrabatan (partordingni partututuron) dalam suatu klan atau marga (Budaya Batak, Wipedia, Ibid) Begitu juga bagi pomparan Ompu Bona Huta Manurung. Berdasarkan hasil penilitian perpustakaan dan dokumen yang dimiliki, bahwa Raja Mangarerak memperanakkan anak tunggal yang bernama Toga Manurung, dengan satu putri kesayangan yang cantik, bernama Similingiling. Putri tunggalnya ini mempunyai cerita tentang kisahkasih yang melegenda dengan Silahi Sabungan dan Raja Turi. Sebagai hasil (out put) kisah-kasih mereka itu telah menimbulkan hubungan kekerabatan yang amat baik antara pomparan Toga Manurung dengan Pomparan Silahi Sabungan, khususnya turunan Raja Tambun (an) dan Raja Silalahi serta turunan Raja Turi (Simatupang Sianturi), tidak saja pada zaman mereka (pada masa lampau), akan tetapi juga pada masa sekarang,
Toga Manurung adalah pencetus pertama marga Manurung. Generasi sebelumnya belum menggunakan marga, tetapi hanya menggunakan nama. Ia mempunyai dua istri, yaitu boru Limbong dan boru Pasaribu. Dari hasil perkawinannya itu ia mempunyai 3 ( tiga) putra yaitu Raja Huta Gurgur , Raja Huta Gaol dan Raja Simanoroni, dan (2) dua putri yakni Anian Nauli boru Manurung, yang menikah dengan Raja Turi dan Pinta haomasan boru Manurung yang menikah dengan Raja Tambun (anak Silahi Sabungan /Similingiling ). Lima generasi turunan Raja Tambun (an) berturut-
OMPU BONAHUTA
11
turut mengambil boru Manurung. Demikian juga turunan Raja Turi (Raja Sianturi) mengambil boru Manurung tiga generasi berturut-turut. Itulah sebabnya Manurung bagi keturunan Silahi Sabungan dan keturunan Raja Sianturi dalam terminologi adat batak Manurung disebut “mataniari binsar” (matahari terbit), dan sedangkan Manurung memandang keturunan Tambun (an) dan Sianturi sebagai bere/ibebere yang sejati atau dalam adat batak disebut “ianangkon” (telah setara dengan anak kandung). Raja Huta Gugur Manurung memiliki istri boru Sagala. Mempunyai 7 (tujuh) putera, masing-masing bernama (1) Ompu Bona Huta Manurung ,(2) Ompu Banua Luhung Manurung, (3) Raja Niangkat Manurung, (4) Raja Niatur Manurung ,(5) Raja Si Jambang Manurung, (6) Tuan Sogar Manurung, dan (7) Raja Humuntor Manurung alias Raja Tamba . Putra sulungnya, Ompu Bona Huta Manurung mengambil istri boru Sagala . Ia mempunyai 3 (tiga) putra dan 3 (tiga) putri. Putra pertama bernama , Raja Naing Manurung. Ia tetap bermukim di Sibisa dan mengambil istri juga boru Sagala yang menurut adat batak disebut “mangalap boru ni Tulang” (mengambil marga asal ibu). Sedangkan putra kedua bernama Raja Huala Manurung. Putra Ompu Bona Huta yang kedua ini mengikuti karakter orang batak yakni bangga memiliki Huta ( kampung) sendiri, maka ia pun membentuk Huta di Ajibata. Ia mengambil istri boru Sijabat. Sedangkan putra ketiga bernama Guru Pangajian Manurung alias Marangin Bosi, bertempat tinggal di Jangga Dolok. Putra bungsu Ompu Bona Huta ini gemar berburu lalu sampai di Jangga Dolok. Sesuai dengan namanya, Ia adalah seorang yang perkasa dan terkenal amat sakti, sehingga hampir seluruh Jangga di kuasainya. Ia mengambil istri boru Sitorus dari Lumban Sibinbin. Sedangkan putri Ompu Bona Huta Manurung , masing-masing bernama Siboru Tupaolo boru Manurung, marhamuliaan (menikah) dengan Raja Tambun.Putri kedua yang bernama Siboru Sangkar , menikah dengan Raja Situmorang dari Suhut ni Huta, Urat, Samosir. Sedang putri ketiga yang bernama Siboru Bolean menikah dengan Raja Sitohang dari Palipi, Samosir. Pada mulanya semua anak Toga Manurung bermukim di Sibisa. Namun seiring dengan tututan kebutuhan hidup dan pengaruh sifat atau karakter orang batak yang bangga jika “mamungka huta” (membuka kampung baru), dan berkeinginan menjadi raja huta, maka anak-anak-cucu Toga Manurung tidak hanya bermukim (marhuta) di Sibisa, melainkan memperluas huta (kampung) ke Ajibata, Sionggang, Jangga, sampai ke Narumambing, Uluan dan Janjimatugu . Sebagai putra sulung Raja Huta Gurgur, maka Ompu Bona Huta memilih untuk tetap tinggal di Sibisa. Dia melanggengkan kerajaan kakeknya Toga Manurung dan 12
OMPU BONAHUTA
kerajaan ayahnya Raja Huta Gurgur. Ia terus memelihara tanah leluhurnya. Semangat yang demikian itu sampai sekarang ini terus terpelihara. Keurunan Ompu Bona Huta Manurung tetap berada di Sibisa, huta Lumban Jabi-jabi. Huta yang menjadi fakta sejarah itu diperkuat dengan bangunan tugu Ompu Bona Huta yang berdiri di sana. Demikian pula adeknya, Ompu Banua Luhung juga menetap di Sibisa. Sedangkan Raja Niangkat dan Raja Niatur memilih bermukim di Sionggang dengan kampung (huta) masing-masing bernama Parsunian dan Sosor. Sementara itu, anak kelima Raja Hutagugur Manurung yaitu Raja Sijambang memilih bermukim (mamungka huta) di Jangga Toruan. Di sebelah utara yang disebut Jangga Dolok seperti yang telah di uraikan di atas telah menjadi kampung Guru Pangajian alias Marangin Bosi Manurung. Sedangkan Tuan Sogar Manurung mamungka huta (membuka pemukiman baru) di Janjimatogu, Uluan dan Raja Humuntor alias Raja Tamba Manurung bermukim di Samosir. Putra pertama Ompu Bona Huta adalah Raja Naing. Ia mengambil istri boru Sagala.Sijak lahir sampai akhir hayatnya, ia menetap tinggal di Sibisa. Keturnannya merupakan tokoh-tokoh masyarakat. Di zaman perjuangan kemerdekaan, salah satu keturunannya itu bernama Jausin Manurung adalah Ketua Dewan terpilih di Sibisa . Putra kedua Ompu Bona Huta Manurung adalah Raja Huala. Ia mengambil istri boru Sijabat dan bermukim (mamungka huta) di Lumban Manurung Ajibata. Tempat ini adalah sebuah daerah yang telah menjadi bandar Danau Toba. Belakangan ini telah menjadi pelabuhan kapal danau (kapal penyeberangan) dengan rute penyeberangan Ajibata-Samosir, pulang-pergi (PP). Sedangkan putra ke ketiga adalah Guru Pangajian alias Marrangin Bosi. Ia membentuk pemukiman baru (mamungka huta) di Jangga Dolok. Anak bungsu Ompu Bona Huta ini, sesuai dengan namanya adalah orang yang perkasa dan sakti serta suka berburu. Dimasa mudanya dari Sibisa ia berkelana menelusuri hutan belantara dan akhirnya sampai di Jangga, lalu ketemu jodoh dengan boru Sitorus dari Lumban Sibimbin. Mereka memiliki keturunan cukup banyak dan menjadi orang yang berpengaruh ditengah-tengah masyarakat luas. Salah satu keturunannya bernama Baginda Ammad Manurung adalah Kepala Nagari di Jangga. Keturunan Ompu Bona Huta, tidak hanya bermukim di daerah yang disebutkan di atas. Akan tetapi terus meluas hingga ke daerah lain di Uluan. Putra sulung Guru Pangajian yang bernama Ompu Saur Uluan meninggalkan daerah Jangga, lalu mendirikan kampung (mamungka huta) di Lumban Julu. Ia juga adalah seorang yang
OMPU BONAHUTA
13
gemar berburu Senjata menembak dalam perburuan yang dipergunakannyanya pada waktu itu dinamakan “ultop”. Senjata menembak milik Ompu Bona Huta Manurung ini digunakan oleh Ompu Saur Uluan sewaktu meninggalkan Jangga Dolok, dan kini telah menjadi benda bersejarah yang disimpan oleh keturunan Ompu Saur Uluan di Lumban Julu. Sewaktu-waktu, jika terdapat pesta tugu atau tambak pomparan Ompu Bona Huta, ultop (senjata menembak) ini senatiasa di pamerkan kepada keturunan Ompu Bona Huta Manurung. Sedangkan putra kedua Guru Pangajian yaitu Ompu Panguhalan, terus bermukim di Jangga dengan wilayah yang luas. Sampai saat ini wilayah pemukiman itu masih tetap terpelihara eksistensinya, antara lain seperti Lumban Binanga, Huta Narumambing, Huta Bagasan, Sosor Sonah dan Sosor Tombak, dan Huta Golottindang. Putra bungsu Guru Pangajian yang bernama Ompu Raja Nauli. Orang yang satu ini terkenal gagah- perkasa. Sama dengan karakter ayahnya gemar berburu, maka ia meninggalkan Jangga, dan sampai di Uluan, Patane, Porsea. Di daerah uluan ini dia mendirikan Huta dan membentuk “kerajaan baru” yang disebut “Kerajaan Narumambing”. Penggunaan nama itu diambilnya dari nama kampung halamannya di Jangga yang juga bernama Huta Narumambing. Menurut penuturan Hampung ( Kepala Kampung) Herman Manurung, ayahnya bercerita, bahwa Ompu Raja Nauli adalah seorang dengan sosok yang gagah perkasa dan seorang raja yang tangkas dan sakti. Bahkan menurut penuturan Sitorus dari Amborgang ( Bona ni ari ni keturunan Ompu Raja Nauli), bahwa latar belakang terjadinya hubungan cinta antara Ompu Raja Nauli dengan Siborumandailing boru Sitorus dari Amborgang adalah karena termotivasi oleh keperkasaan, dan kesaktian Ompu Raja Nauli. Pada zaman itu melalui Siborumandailing Raja Sitorus Amborgang meminta Ompu Raja Nauli untuk menumpas musuh-musuhnya yang kala itu sedang menyerang mereka. Ompu Raja Nauli bersama pasukannya berhasil menumpasnya, lalu berlanjut pada pernikakan dengan putri Siborumandailing yang juga terkenal sakti dan cantik itu. Kewibawaan dan kekuasaan Ompu Raja Nauli yang amat kuat pada waktu itu tidak hanya ditunjukkan oleh sejarah penumpasan musuh-musuh Raja Sitorus Amborgang dan pernikahannya dengan Siborumandailing pada waktu itu, akan tetapi juga ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa setiap orang yang datang dari Samosir atau daerah lain yang menyeberangi sungai Asahan dan berlabuh di Lumban Datu/ Porsea lalu menuju Onan Pasar Rebo di Siraituruk (dahulu Onan Pasar Rebo bukan di Porsea, tetapi di Siraituruk, sebuah tempat di dekat kampung Lumban Tarihoran.),
14
OMPU BONAHUTA
senantiasa dikenakan retribusi yang disebut “seo”. Oleh karena itu, konon katanya asal kata Porsea itu adalah dari kata “parseoan”. Bahkan lebih dari itu, besarnya wibawa Ompu Raja Nauli itu, juga ditunjukkan jika Raja Sisingamangaraja melewati Patane harus seijin Ompu Raja Nauli. Jika tidak, maka jangan harap bisa melewati jalan Porsea-Lumban Datu- Narumontak- Narumambing (Lumban Bagasan, Lumban Martintin)-Siraituruk dan seterusnya, melainkan harus melewati Porsea-Sihubakhubak-Lumban Nabolon-Raut Bosi, menuju Silamosik dan seterusnya. Jalan raya Porsea-Balasaribu-Siraituruk- Silamosik, pada zaman itu belum ada, sebab jalan raya itu dibangun pada pemerintahan Belanda. Kerjaaannya di Narumambing begitu luas. Sejak dahulu sampai saat ini wilayah itu meliputi beberapa lumban dan sosor yaitu Lumban Martintin, Lumban Bagasan, Sosor Dolok, Batu Naknak, Pangombusan dan Lumban Napittu. Begitu luas huta Narumambing itu dapat dimengerti, sebab Ompu Raja Nauli mempunyai 8 (delapan) putra dan 2 (dua) putri. Masing-masing putranya itu bernama : (1) Raja Pangasean, di Lumban Bagasan (2) Guru Pangilingan di Lumban Martintin, (3) Pangaraja di Lumban Bagasan (4) Raja Minal di Lumban Bagasan (5) Raja Margansip di Sosordolok, dekat Janji Matogu, (6) Raja Mamontang di Batu Naknak, (7) Raja Pangombusan di Pangombusan, dan (8) Partumpak Hoda di Lumban Napittu. Sedangkan puterinya, satu menikah dengan marga Hutagalung dari Tarutung dan satu lagi menikah dengan marga Nadeak dari Jangga yang kemudian menajadi hela sonduhan (menantu yang bermukim di kampung mertau) dan bermukim di Lumban Bagasan, Narumambing. Demikian riwayat singkat Ompu Bona Huta manurung tersebut. Untuk lengkapnya silsilah yang diuraikan di atas, dari generasi pertama hingga kini adalah sebagaimana berikut ini.
OMPU BONAHUTA
15
3
16
3
RAJA
SAGALA SILAU RAJA
3 SIBORU.
3 SIBORU
3
3
PAREME
ANTING
BANUA
SORBADI
DANG
SOMALIN
SANGKAR
TOGA TORUS
TOGA MANURUNG
6
AK
6 SIRAIT
TOGA
6 TOGA BUTAR
BUTAR
Page 13 of 112
RJ. MANGATUR
MANGARER
5
(NAISUANON
4
3
RJ.
6
(NAIRASAON
(NAIAMBAT
5
JAE
JULU
4
RJ. ASIASI
SORBADI
RAJA
LAUT
3
SORBADI
MANGA
BIDING
4
Tn. SORI
SIBORU
RAJA ISOMBAON
2
BULAN
3
RAJA BATAK
RAJA BATAK
1
TATEA
GURU
1
Dilihat dari silsilah Siraja Batak, marga Manurung ada pada generasi (sundut) keenam. Ayahnya Raja Mangarerak, mempunyai 1 (satu) anak laki-laki yaitu Toga Manunurung, dan 1 (satu) putri yaitu Similingiling yang menikah dengan Raja Silahi Sabungan dan melahirkan Raja Tambun. Toga Manurung mempunyai 3 anak laki-laki yaitu Huta Gurgur, Huta Gaol, Simanoroni dan 2 putri yakni Pinta Haomasan menikah dengan Raja Tambun dan Anian Nauli menikah dengan Raja Turi. Kisah itu sangat bersejarah dan membuahkan hubungan kekerabatan yang sangat harmonis antara Manurung sebagai Tulang dan Tambun (an),serta Sianturi sebagai Bere. Hubungan kekerabatan yang sangat bersejarah dan baik itu,tidak saja berlangsung pada waktu itu, tetapi telah terpatri dan menjadi “poda, naso muba, naso mose”, maka secara turun-temurun dan sepanjang zaman hubungan namartulang, dan namarbere itu terus terpelihara dengan baik dan penuh kasih sayang. Suatu warisan nilai kehidupan dari leluhur yang luar biasa dan membuat hubungan sosial, budaya dan adat antar tiga marga tersebut begitu harmonis.
BORBOR
LONTUNG
MAULANA
LIMBONG
SI RAJA
3
SI RAJA
4
RAJA
BIAKBIAK
4
Tn. SARIBU
3
RJ.
OMPU BONAHUTA
OMPU BONAHUTA
17
Keterangan : Putri Omp Bonahuta 3 (tiga ) yaitu : 1.Siboru Tupaolo, menikah dengan Raja Tambun. 2.Siboru Sangkar sodalahi ulubalang so boru-boru, menikah dengan Raja Situmorang, sian Suhut Ni Huta, Urat, Samosir 3.Siboru Bolean, menikah dengan Raja Babiat Sitohang, Palipi Samosir.
9
OMP METAR (AMA MANGGUS) Br Sirait
18
OMPU BONAHUTA
12
11
9
8
IYUAN
MAMPE BR Sinaga
OMP TUAN NAGAJA Br Sirait
OMP JADATAR Br Sijabat
12
11
10
9
8
7
FREDDY
MARTUA Br Lubis
AMA URAS Br Sirait
OMP JUKKAR Br Gultom & Br Sirait
OMP NI ENGGANG Br Sirait
OMP MANGARAJA Br Sinaga
12
11
8
ERY
BONAR Br Simatupang
8
8
HUNIK (+)
OMP LAMIS
Di Pangambolon
OMP JARAOMAS Br Situmorang
BAHAL BATU (+)
7
5
Di sibisa Di sibisa
RJ. NAING RJ. NAING
OMP MANGGAPANG Br Sijabat
Di Sibisa
OMP. BANE
OMP MANJUNJUNG Br Sijabat
OMP BONAHUTA II Br Sinaga
7
6
5
4
4
7
Page 15 of 112
OMP BINSARAN Br Sijabat
AMA JULITA Br Silalahi Di Jakarta
OMP JULITA Br Silalahi Di P. Siantar
12 RYAN HERVYAN Br Sidahuruk Di Jakarta
11
10
OMPU BONAHUTA
19
11
12 RINTO
11 AMA ROSDIANA Di Panambean
OMP ROIDA Br Siahaan Di Panambean
AMA ROIDA Br Sagala Di Panambean
10
NURDIN Br Nababan Di Bekasi
12 ROY NOVENRI
11
OMP METAR
12
11
10
YAKUB
12
11
JAYA P Br Turnip Depok
CHRISTIAN JAVARO
BERLIN Br Sirait Di Panambean
WALDEMAR Br Gultom Di Medan
10
12 YOSUA MERULI
11
OMP ROY Br Siallagan Di Panambean
LERMAN Br Sidabutar DI Tambun
(AMA MANGGUS) Br Sirait
9
11
10
HENRA Br Sagala
JAPITER Br Sitanggang Di Bahkapul
20
14 SAMUEL BADIARAJA
13
ERVIN
12 BAHARAJA Br Sinaga di Bandung
INDRA di Jakarta
13
OMPU BONAHUTA
13
RANTO
14 SAMUEL
OLOAN Br Tindoan
13
SIANTAR ULUAN Br Sinaga & Br Sirait
11
14
KELVIN
14
NOEL
13 MANGATU R Br Marbun
DARTA Br Ambarita di Sibisa
12
12
OMP GULOTTAM
10
13
12 BREGEN Br Siahaan di Hutabayu
DONI
11 FIRMAN Br Sinaga (Cirebon)
AMA GULASA
10
OMP TUAN NAGAJA Br Sirait
13 HENDRI Br Hombing
BILPEN Br Sirait di Sibisa
OMP GUMALAK
10
9
UAL
13 SURUNG
11
11 KONSTAN
10 SAMUEL (TERSENG)
11 PORMAN
OMPU BONAHUTA
21
14
11
13
12
GIHON
13
GULASA Br Gultom
ASALMEN Br Gultom
14
ROBIN Br Sirait
13
12
OMP GUMALAK
JEREMIA Br Gultom Di Jakarta
11
10
INDO
13
NIKSON ( † ) Br Pasaribu
13
FERDINAN
RJ USIA Br Sinaga & Br Gultom
BILPEN Br Sirait di Sibisa
12
11
BERNAD
12 BENSON Br Sihombing Di Tangerang
DORIS Br Saragih
RJ MAROMBUN Br Sigalingging
12
11
AM. SUSUHATON Br Sirait
10
OMP. SUSUHATON
OMPU BONAHUTA
9
22
KRISMAN Br Nainggolan & Br Jawa
11
ODJAK Br Situmorang
11
8
11
MORJAIN
TOGAR Br Saragih
11 SALAMAT Br Pasaribu
Br Situmorang & Br Sirait
10
AM RAJAOMAS Br Sinaga
7 OMP JARAOMAS Br Situmorang
11
HOTMAN Br Sunda
11
SAHAT Br Gultom
9 AM. BANTUN
JAOMAS Br Hutabarat
11
11 HARAPAN Br Hutasoit
VICTOR Br Hutabarat
10
11
PAULUS Br Regar
OMPU BONAHUTA
23
14 SAMUEL BADIARAJA
INDRA di Jakarta
13
13
ERVIN
12 BAHARAJA Br Sinaga di Bandung
13
RANTO
14 SAMUEL
OLOAN Br Tindoan
13
SIANTAR ULUAN Br Sinaga & Br Sirait
11
14
KELVIN
14
NOEL
13 MANGATU R Br Marbun
DARTA Br Ambarita di Sibisa
12
12
OMP GULOTTAM
10
13
12 BREGEN Br Siahaan di Hutabayu
DONI
11 FIRMAN Br Sinaga (Cirebon)
AMA GULASA
10
OMP TUAN NAGAJA Br Sirait
13 HENDRI Br Hombing
BILPEN Br Sirait di Sibisa
OMP GUMALAK
10
9
UAL
13 SURUNG
11
11 KONSTAN
10 SAMUEL (TERSENG)
11 PORMAN
24
10
11
9
11
RONI
SABAN Br Juntak
10
GOMUK Br Sijabat
BINSAR Br Purba
BONAR Br Regar
OMPU BONAHUTA
11
11
YUAN
ROBIN Br Sijabat
10
RAMLI Br Jawa
8
11
BENNY
BITTOA Br Sijabat
11
11 CHAIDIR
ANTON Br Gultom
10
11
9 W. MONANG Br Juntak
EFFENDI Br Sunda
10 RERAK (AMA BINSAR) Br Manik
PARLIN Br Jawa
UCOK 1
11
11
10
10 MANGAPUL
LUDIN Br Nadapdap
9
8
10 MASLAN
BESLY
JABAIK Br Jabat
JALIMA Br Manik
OMP. HUDOGAM Br Saragi
7
UCOK 2
10 MAURID Br Juntak
BONI (TUNGGAL)
9
11
8
10
-
9
10
TOMOK Br Juntak
8
JONNER
ULAPMA Br Purba
MUSU Br Sihombing
8
11
10
JABI Br Juntak
7 OMP. DORI BINTANG Br Sijabat
-
9
10
KASMAN Br Sunda
BUGARI
10
Page 21 of 112
-
9 MANGAPUL
MAKDEN
OMPU BONAHUTA
25
SIMBUL
10
11 RIAN HEPIAN Br. Sidahuruk
10
JABANE
SAMBULO
10
9
10
SABAR
10 PANGIHUTAN Br. Sihombing
AMANI METARIA
10 PANGALASAN Br Silalahi
9
10 PANGI HUTAN
10
10
PANA HATAN
KRISMAN Br Sagala
AMA SERTA
RAJIMAN Br Sagala
9
10
10
9
10
JAMIDIN
10
9
8
10
OMP. SUNGGUL Di Sibisa
10
AMANI MARITJE
LERMAN Br Sidabutar
OMP. METARIA
NURDIN Br Nababan
8
10
JAYA
10
9 JAPINGKIR
10
BERLIN
RUDI
LEMAR Br Sagala
9
9
JONGA
10
9
9 JAUPA
Page 22 of 112
JAPITER
RJ. JULU
HENDRA
9
26
11
5
OMP. BONGAR
7
OMP. MATIDI
11 OMP. BATU LAMAL
10
6
13
HENDRY
11 PALAOMAN
13 FERNNANDO
13
OMP TIMBUL
MARSON
13
KIMRON
OMP. MANGAN
10 OMP. UJUN
8 DATU RAJA
7
6 OMP. MAGO
5 RJ. NIOJUR
10 OMP. GETEL
4Br. Sijabat RJ.Ajibata HUALA Di Br. Sirait
RJ. HUALA
OMP. TABANI
4
11 OMP ROMA
10
9
OMP. CALLYSTA
12
11 OMP ROTUA
10 OMP. MAR SABANG
12 OMP. KINDI
11 OMP ASIMA
7 OP. BANGGA
OMP. RJ. MATIO
OP. MANGONA
OMP. PONGKI
OMP. MANGALIBAS
9
OMP. MANGONJAR
8
OMP HUBANGGAR
7
6 OMP. SAMPANG OLOAN
9 OMP. SURGO OLOAN
OMPU BONAHUTA OMP TONGGI 10 OMP. DERIK
9
10 OMP. BUHIT
Page 23 of 112
OMP. BUHULUAN
RJ. HITAM
AMP. TAMBUN
OMP. SARMA
OMP. MONANG
Br. Sirait di. Lbn. Gambini Sipangambolon
RJ. TOGAP
10
9
8
7
6
5
10 LAMPU
11 BIUNG
10 GOMBUT
11 A. BISMAR
10 PELET
Omp. GOMBUT
Omp. RABUKIT
8
9
Omp. PELET
9 A. PELET
8
OMPU BONAHUTA
27
11
11
10
7
11
9
8
11
10
11
SAING
8
11
BONA
11 A. KASIM
9 A. BOLI
MANGA TIK
11 JASON
HERMANUS
11 HUMALA
8
10 A. NAOBE
AMANI AMAT
A. LAMINTON
10
10
KASAN
AMIR
9 A. PANOLA
MANGATTIK
11 GERMAN
HOTBE
ALIK
AMAN JAMIN
11
10 JAROTIM
MANGON
Omp. OMP. MANGONA
11 JUANG
JAMIN
ALEK
9 A. GROSO
Omp. PALAON
8
7
11 HANUR
11 ALFRED
Page 24 of 112
11 JANSEN
10 A. HAURIA
28
5
OMPU BONAHUTA
OMP. SAURULUAN Di Lbn. Julu
5
4
OMP. PANGUHALAN Di Jangga
Br. Torus dari Lbn. Sibinbin Di Jangga
GURU PANGAJIAN / MARANGINBOSI
5
OMP. RAJA NAULI Br. Torus, dari Amborgang Di Narumambing
9
12
11
10
ANGGAM
10 AMANI TAMBA
OMPU BONAHUTA
29
BUNNA
OMP. SONAN
AMANI SOLIMIN
11
10
MAMULIN
AMANI MANGIUH
11
5
SAUR ULUAN Di Lbn Julu
HALUAN
10
OMP. SAUNANGON
11
GIPUL
9
BAN
11
9
11
9
PAHAL
11
RANTO
AMANI SAUNANGON
10
OMP. PAHAL
10 AMA PAHAL
RJ OMAS
AMANI MANANGSANG
10
LISAN
UMAR
10 AMA DOLOK
8 OMP. DANGOR
7
OMP BONAHUTA II
6
OMP.ULUAN OMP SAUR
OMP. TOGA NABOLON
9
5
30
11
UPA
12 ROBINSON
OMPU BONAHUTA
12
11
AMA ROBINSON
11
BURHAN
ONDAM
12
11
12
11
10
TABI
AMA LOKSA
12
11
11
GUGUN
PATIA
12
AMANI TAMBA
AMANI MANGIUH
TUMPAL
10
12
AMA TUPAL
11
12
PANJANG
BONIAR
TUMBUR
11
TAMBANG
12
AMA MARLELA
11
13
12
OMPU BONAHUTA
31
SEP MAYER
HALOMOAN Br Marpaung
13
12
ALBER
HULMAN Br Tompul
11
13
12
IMANUEL
HORAS Br Marpaung
SAUNANGON / JANSEN
13
12
10
SAMUEL
HENDRY
AMANI SAUNANGON
12
12
KAMIDEN Br. Marpaung
CHOKY Br Panggabean
11
Page 28 of 112
Saut Rhenville Br Pardede.
32
12
12
11
9
7
6
BLIOR / SAUT
UNE
AMANI IPA
OMP. JUARA OMAS I
11
9
7
PANALUSU
AMA LINGGOM
RJ. PATUPORHAS
Lbn. Simangambit Ht.
OMP. JUARA OMAS
OMP. TUNGGUL NI HUTA
OMPU BONAHUTA 8
11
10
6
AMA JARAR Br Torus
Br. Sirait & Br. Torus
AMA MANDERESE (RJ. PARHUASAS)
8
7
11
10
SIHOL Br Torus
PANGOLAT
OMP. TAHAN NABOLON
9
PANGAMBIT
OMP. TUNGGUL NI HUTA
7
RJ PANGUNTAPAS Golottindang
Br TorusdiLbn Sangkalan di Jangga J
5OMP PANGUHALAN OMP PANGUHALAN Br Torus Lbn Sangkalan
OP. TUMONTANG
OMP. SUNGKUNAN II
7
5
11
10
AMA LUNDU Br Torus
PARJANTAN
OMP. PANEOLOAN
7
10
OP NI HURMA Lbn Bair
OMP. SONANG BARITA
OMP. ALTONG
8
7
6
PENGKAR
OMP. BIRONG
13
12
14
RAYA Br Sihombing
F. RIVAI Br Ambarita
14
MAYOR JUARA
JARAR Br Torus Sibatu
14 ROBERT Br Silitonga
OMPU BONAHUTA
33
RT. MARALO
14
14 KELIAMSA Br Ambarita
14
14
15
15 SUNGKUNA N
14 MANGANDAR Br Torus
TONI Br Sirait
FENDI
14 SARBIDIN Br. Torus
14 TOMBAK Br Sitanggang
ASTON Br Purba
MANGISAR Br Torus
14
JANSEN Br. Butar-Butar Lbn Pea, silombu
13
14 MANGAIT Br. Manalu
REANUS Br Hutagalung
Br. Panggabean
14
13 POLUNG Br Sinurat
11
13
15
15
14
JUNTER
HENDRI Br Torus
14
13
MASSEN Br Lbn. Gaol
IMMANUEL
AMAN. N Br Hutahaean
14
Br Butar-butar
13
KARMEN Br Torus
HIRAS
14 HARIONO Br Torus
HENNERY BR Torus Sibatu
MASLAM Br. SAMOSIR
FRANKI
14
15
13 SARIMAN Br Torus
12
Butar
Br.AMA Butar-Butar JARAR Lbn Br. Pea, silombu Butar-
AMA JARAR 11
13
15
14
13
B T
15
14
JAUMUR Br Torus JAUMUR
RONAL Br. Naibahol
MARSEL
HENGKY Br Simatupang
13
DANIEL
14
15
14
13 JAUMUR Br Torus
14 HERMAN Br Aritonang
ANDER Br Torus
14 HOPHOP Br Sirait
JANSEN Br Sirait
KASMAN Br Marbun
ABRAM
ERIKSON Br Hutagalung
13 KARMEN Br Torus
14
14 KENDEDY Br Girsang
13 WALDEMAR Br Butar-butar
13
ANWAR
14
BUSMIN Br. Dolok Saribu
14 MAYDEN
12 HAMPUNG KENAN Br. Butar-butar
MELKY
34
14
13
MAIKEL
BISMAN Br. Torus
14
13
HERI
13
HENDRA
DELITUA Br Nababan
Br Aritonang
14
12
9
13
RINDU
12 MANGARA
12
13
SAHAT Br. Manik
GAYUS
13 MANGARA
12
11
BERLIN
10 PARJANTAN
Br Butar-butar
9 OMP. ALTONG OMP. ALTONG Br Butar-butar
MANGARA
JONY Br Siregar
13
FIRMAN
13 HASOLOAN
12
11 LONGGING
14 HOP HOP Br Sirait
11 PANANGGAM
13 KORNELIUS Br Torus
12DARIANUS DARIANUS Br Juntak Br. Manjuntak
HISAR Br. Tungeang
13
12
14
13 JOHANNES
DARIANUS Br Simanjuntak Br Torus
12
10 PANGOLAT Br. Manik & br. Butar-Butar
14 NATANAEL
SIUTONG Br. Torus
JULIANUS
BENNI
12
11 AMA PIRMAN
MARTUA Br simare-mare
13
AMA TANGGEPONG
11
OMPU BONAHUTA MARINUS
12
RAMLI
13 1. BUDIMAN 2. MARLIN 3. FENDI 4. SIMON 5. SAHAT
12
12
12
BARITA
JOSEP
EFENDI
JOSEP
13
RUDI
11 11
12
11 JONATHAN
12
JANNER
13
LIBER
PENGKAR
VIKTOR
10
12
11
RUSMAN
DOMPAK
PANSER
13
12
PIPIN
11
12
12
PABER
SLAMAT
JOSEP
OMPU BONAHUTA
35
13
ASAN
10 TUNGGUL NI HUTA II
13
12
DAVID
BAGITU
10 TUAN HOSA
10
13
SABAR
GULO
13 JUSUF
JAGA
11 AMANI TUA
10
10
12
13
BULA
PATAIS
10
OMP. TAHAN NABOLON
13
DALDAL
ASEN
OMP.
13
BENGET
12 GABRIEL
13
12
OMP. NI TUNGGUL TUNGGUL HUTA ( II ) NI HUTA II
10
AMANI TIMBANG
10
11 PANJANG
10
10 ONGKAT
9 PANGARAJA
8
PAINAN
NATA NAEL
10 SINATUK (†)
12
11
REUS
JALLAS
10 TANGGAL (†)
12
11
JONAS
LATTAM
10 PONGKAR
11
TIKKI
AMA BOHUAN
10
36
13 SABUNGAN
OMPU BONAHUTA
13
13
12
TULUS
AMANI PARLIN
12 TUNGGUL
13
LATTAM
13
BONTAR
SAMSUL Br Juntak
11
ESMAN
12 JOHAN
13
OMP. TUNDUN
TUAN HOSA
HARIARA
WILIATER
11
10
13
DAULAT
13
12
PETRUS
TUNGKIR
13 SYARIFUDIN
12
TIKKI
13
12
13 HALOMOAN
11
DOMPAK
DAME
13
12
13
TIHAR
Page 33 of 112
MUDIN
OMPU BONAHUTA
37
12
11
AMINTAS
PETRUS
14
13
13
12
GUAS
14
JAIRUS
12
11
HUMALA
PIPIN
OKUS
13
10
SAIL / PETER
MANORSAR
13
12
12
RENGAT
GULO
HOLONG
IMANUEL
JAGA
KASI
11
10
13
12
11
BONGGALI
11
OSMAN
HENOH
BINANGA
12
GULASA
13
12
ANDREAS
Page 34 of 112
HINSA
OLOAN
38
14
HERI
12 BUTOL
OMPU BONAHUTA
BUDI
14 JEPRI
13
14 TRISMAN
14 AGUNG
13 JANAEK
11 AMANI BOTURAN
14 ALDY
13 BETUEL
14 SAMUEL
13 JANUNUT
.
13
14 PANTO
13 JAMIDUK
TAO
14 JESNIO
13 JADENGGAN
11
14 RIFAN
10 DAL DAL
PATAIS
FERDERIK
14 HEBER
TANI
14 JERFAN
13
12
ETAL
12 JARIBUT
13 JAPAET
13
11
10
15 MICHAEL
14 ADNO
13 HIRAS
MANANGAK
14 MASRI
13
12
14 BIGWAN
13 KASIMA
12 LAUT
11 PANSUR
TOGI
14 HOTBEN
15
MONANG
14 GOMPAR
13 JANNES
11 PAKKIOM
13
FERDINAND
14
JASA
OMPU BONAHUTA
39
14
NALOM
13
14
LUHUT
14 MARLIBO
TAHAN Br. Regar
14 MARUDUT
13 ROBINSON
14
MAYUR
TONI (+)
14
14 JUPITER
14
14
13
RICO
WILTER
JIMMY
14
14
MIKAEL
MANONG TONG Br. Siahaan
13
14
13 DUMOLI
14 RONALD
LATAM
SALMON
12 SURUNGAN
11 RAJA UZIA
BAGINDA AMAT
SAHALA Br Nias
12
WOLIN
13
14
13 ANTONIUS
12
15
14
14
SAMUEL
YOSIA SAMUEL
15
14
ONGKAT
MARLAN JOHNTES Br Hutahaya
13
10
RENDI
SIMON
AUDY Br Lahi
RODI
15
13
AGUST Br. Torus
12
ALDO
TOMMY Br Siahaan
MAURITS Br Juntak
13
RENCUS
Page 36 of 112
TOGAR Br. Naibaho
13
12 NAHASON Br. Siahaan
13
SIMON
ASHGAR
RJ. ULIM/ RJ. ISAK
STEVANO SATRIA NATHANAEL
15
14
13
11
12
13 DALRIHOT
14 GILBERT
JESE
LUTER Br Torus
13
SALOMO
14
11 PAKKIOM
40
13
OMPU BONAHUTA
12
13
RAJA ULUAN di P. Siantar
13
JANUS
13
12
14
13
KUTEH
11
10
PUTRA
ANTON
INDRA
13
12
TIMBANG
AMA TIMBANG
13
13
MARKUS
JONATAN
12 SURUNGAN MARET
13
13
SAMAN
13
FRANKI
13
SAMUEL
Page 37 of 112
MINDOR
OMPU BONAHUTA
41
14
JOSUA
13 ONGGUK
TOGAR
14 HESRON
13
14
13
13
DANIEL
GUSTAF (+)
SANAR
PANAL
14 TIMOTEUS
13
13
14
14
AMIR
14 KRISTOPEL
13 DURAHMAN
AMOS
13
IMBOLO
DARIUS
PAUL
12
KASMEN
12
MAOL
14
13
15
GERRY
14
12
15
KRISTO
14
WIRA
13
NATANAEL
13 MARULI Br Harianaja
JULIUS
BENNY
13 MARADEN
STEPEN
13 MARNANG KOK
11
AMA BOHUAN
10
BODIL
PONGKAR
14 HISKIEL
11
10
TIGOR
14 FERDINAND
14
14
EKO
13 NELSON
Page 38 of 112
DEPRIS AGUNG
Br. Nainggolan
13
12 MANING GOR
JUSTIN
42
13
HAPAL Br Juntak
OMPU BONAHUTA
13
BAHA Br Purba
12
TULUS
12
11 OP TOGA
SAUR Br Nainggolan
13
MANASA Br Torus
Br Torus & Dolok Saribu
13
LUDIN Br Torus
11 OP RJ DATAR
10 OP HAPAL
11 RAJIN
9 OP BALGA
11 KONSTAN
9 PARAGUGUN
8 PANEOLOAN Br Torus
11 LANSANG
10 GORA UMA
11
PANDE
ELEK
Page 39 of 112
11
OMPU BONAHUTA
43
15
15
14
BALUBU
15
15
14
GUGUN Br Torus 14
14
13
15
ERIK
14 PALMARUM Br Lubis
MIKA Br Tondatu
14 CHRISTIAN
TOGA Br Regar
14 PANAHATAN
13
JOSUA
ANTONIUS
BENJAMIN
14 PANGULAHAN Br Juntak
JONATHAN
MARUSAHA
13
12
14
13
12
BORIS
SINTONG Br Siahaan
BARSANG Br Torus
11 OMP TOGA Butar-butar
BARITA Br Ginting
DATAR Br Torus
MANASA Br Tirus
MAMALA
BAGAS
BUDI
14 ALEXANDER
13
15
14
14
13
RAHMAT
HISAR Br Siagian
14
RAPIDIM Br Sitohang
GUNTER
14
13
HADI
14
Page 40 of 112
14 YEHESKIEL
VINCENT
44
13
14
ARLEN
12
13 HERMANTO
14
13
12
11
14
13
13
AMIR
13 SUWARD I
GRANT
13
GABE
SARGON Br Tanggang
ARJUNA
12
11
14
13
SUSI
13 BINTARA
Br Sirait
KONSTA
14
13
13
13 PERIANT O
RAEMON
13 MOMPO
13 ARIFIN
13
12
13 FERDI
RISDO
TUMPAL
13 PARDAM EAN
BOLON Br Torus
13
OBET
13 KEVIN
SEAN
12
12 SAOR Br Tobing
14
BONAR
12 TUMPAL Br Panjaitan
13
LEVI
OLOP Br Simamora
12
14
13 DOMINGGOS
13 ARNOLD
NIKANOR
RONALD Br Sitompul
RAJIN Br Torus
12 MAROLOP Br Sirait
Br Sirait N
11
11 KONSTAN
AXEL
TOGAR Br Tambunan
13
13 BITJEN
LUPER
13 BELMAN
12 MARBEN Br Tambunan
14
13
13 ANJAS
VICTOR Br Tambunan
ARAHON Br Lahi
12
NICHOLAS
13 JAMES
PANDE
14 JUMMY
13 JUDANT O
ARDI
HAPOSAN
14 JUMADI
13 NELSON
PANE Br Torus
12
JOYO
14
JOSEPH
14 UCOK
DARIUS
14 REPAY
13 RAKLES
14
13 DR PARLUHUTAN Br Sianipar
JOSUA
ROY
14
OMPU BONAHUTA
13
Page PONTAS 41 of 112
13 ANDREA S
13 JANTER
TIMOTHY
GABARIEL Br Torus
12 JOHARI
14
13
OMPU BONAHUTA
45
14 BALGA
HULANDAP Br Butar-butar
11
14 GAMALIEL
13 BUNGARAN Br Panjaitan
15 ABEDEGO
BITER Br Sihombing
14
14 PRANATA
SANTRI Br Pakpahan
14
13 BERMAN Br Lahi
14 ASMAN Br Sinurat
13 ROMULUS Br Sirait
14 KRISTIAN
13 MARIHOT Br Torus
HUALA Br Torus
14 CHRISHTOP ER
13 NELSON Br Torus
12
14
14
JOLY
14
14
14
ELEK ELEK
15 GILBERT
DODO Br Sinurat
14
14
ANTO
14
13 TAMRIN
13 MINTON Br Torus
14 GULHAP Br Sirait
13 HURADAP Br Torus
13 BERNARD
Br Tambun
13 HENDRY
DEDY
13 PANGERAN Br Simbiring
13 BURMA Br T b
SAUT
Br Daulai
PANUSUNAN
13
NOVEN Br Sihombing
YUDI
13 DESWANTO Br Torus
10 BALAGA BALGA Br Br Torus Torus
SANDI
JONY Br Torus
10
14
13
PERIS Br Juntak
12
11
Br Torus Br Torus & Br & Tambun
11
NATAL
14
OSLAN Br Sirait
BENNY
13
13
12 GUK GUK Br Torus
UCOK
13 GIMSON
14
MITRA
13 MONASIS
ARIF
14 KOHEN
13 RONALD Br Sirait
13
12
NIKO
PELINA
IMANNUEL
14
13 ROMMEL Br Damanik
13
Page 42 of 112
14 RIDWAN
13
SAIBUN
12
8
13
MOH. YASIN
12
11
15
14
SAMUEL
7
SAUT Br Torus
HERMAN Br Aritonang
14
13
12 IMANUEL Br. Torus
13 MANAGARA Br Torus
9
13
PANALUSU Br Tambunan
10 PANDANGAR Br. Nainggolan
OMP. BARUTU
PAHALA
EDWARD Br Torus
13 PATARLAN II
.13
OMP. PANTAS
TAMBAH
9
9
RJ. PATARLAN Di Narumambing
TOHAR
11 Toke UANG BR. SIRAIT
12 H. LILONG
10 PANGHAUL Br. Sinaga
OMP. PANTAS
? Di Tg. Balai
13
BONDIMA
PASI
9
OMPU BONAHUTA
11
46 SAHAT
13 ROBINSON
GAYUS Br. SIBUEA
12
13
JOHN MULER
9
13 CHARLES
Br. Torus Di Narumambing
PALLUPUK
11 RJ. PILEMON BR.
PANGUHALAN II
8
13
TIMBUL
12
13
DUMOLI Br. Sibuea
OMP. MEAN Br. Simatupang
13
PAI AMAN
ANTON
Page 43 of 112
BEN HARD
12
OMPU BONAHUTA
47
11
12
TIHAM
13
12
TIO
12 MARIDIM Br. Torus
SILANDAS Br. Nainggolan
11
BENGET
GIDION
13
12
12 SIHINAM Br. Torus
DARIUS
KENAN
11
BONI Br. Nainggolan
12
13
12
OMP. BOKSA
12
LUPUK
11 RJ. DAUD Br. Torus Br. Sirait
10
12
12
9 PANGU PANGUHALAN HALAN II II
9
SELAMET
HEMOH
12 FERDINAN Br. Simatupang
JEREMIAS
OMP. PANGANTAN
OMP. BARUTU
SAHAT
?
12 REIMON
JAPAR
10
9
?
ASI
12
JONIA
11 RJ. PAULUS Br. Siregar
AMANI PANIHA
12 GUNUNG
12
11
12
POLIN Di Jawa
12
JILIN
SAMUEL Br. Tambunan Br. Sirait
11
MAULI
11
OMPU BONAHUTA
11
10
LEUNG †
PANGA RAMBANG
48
12
11
13
NAEK
RJ. ULI Br. Torus
10
AMA RAJA
12
11
AMANI MEAN
13
WILEM
MALAEUS Br. Torus
OSMAN
13
OMP. MEAN Br. Simatupang
BISTOK
9
13
12
GUMAN
GR. ELIAS Br. Torus
13
11
JINTAR
PANDOAL Br. Sirait
10 RAJA ENGGANG Br. Torus
13
12
10
TOGAP
JOHIM Br. Torus
OMP. SANGGA Br. Torus
Page 45 of 112
10 MARA MULIA
OMPU BONAHUTA
49
15 JEFRI
15 JOSUA
15 PUTRA
14 SOLIDEN Br Marbun
14 OSMAN Br Torus
11 PARNAN TI RAJA Br Sinaga
15 IMMANU EL
13 NORE MARULI Br Nainggola n
15 HENDRO
14 JONER Br Sipayung
15 MARSHA L
15 JORDAN
14 LIBER Br Juntak
15 MANGAR ERA
14 MARLIN
15 KEVIN
14
JOHN CHRISTI AN
15
14 CHARLES Br Dolok Saribu
10
15 MICHAE L
14
15 STEVEN
14 DAPOT Br Marbun
13 TURMAN Br Sinurat
12 JAMBAT AN NIKANOR Br Butarbutar
14
RJ 10 PANGUN RJ. PANGUNTAPOS II TAPOS II (DALIHA) BrBrTorus Torus
14 JOHAN
15 JEFRI
14 GULASA Br Nainggola n
15 RUBEN
14 RICARDO
DATU UMAR Br Sinaga
11
14
EDO
JESE Br Hutapea Br Hutapea Br Butar
13
14
WIDI
13 LILING Br Dayak
14
VIDI
13 TUMBAN G
13 WALTER Br Torus
12 BONA RAJA Br Torus & Br Sirait
13 MARTUA Br Ht. Galung
13 ARSINIUS
13 LILING
12 BONA
Page 47 of 112
13 MARULI
12 JAMBAT AN
RJ PANGRAM PA Br Torus / Br Nadapdap
11
50
15 HERBER T Br Sianipar
OMPU BONAHUTA
15 ANTO
15 JACKKY
14 SIHOL
13 MANDI (SIHOL)
15 BANGUN
14 TOGAR Br Siregar
ORI
14 SAHAT Br Manik
13
12 AMANI PINDO
13 BUHA (DARIUS )
11 OMP. SOJUAO N
15 TIGOR
AMA TIGOR
14
13 IHUT
12 AMANI IHUT (LUSAK)
15 MICHAEL
Br Purba
ROPENDY
14
14 ANDY Br Manik
13 SUMIHA R Br Torus
14 LAM HOT
14 GONG GOM
13 PARULI AN Br Ambarita
12 MOMBA (NAHAS ON) Br Torus
OMP DOMPU (SAKIL)
11
14 REZA ALPINE
13 BIDEN Br Hutahayn
14 EARNEST LAWREN CE
RJ. SOJUAO N
10
OMP. MANAM POL
9
14 JOLDIN
14 MARDUS
13 MUHAM MAD
14 AGUS
14 PANTUR
14 KOTO
14 JANUAR
14 PANNI
13 MARAL O
MARKU S
12
13 BISTON
ALBINU S
13 ESAU
12 HATION G
11 RAJA PANGET A
10 AMANI PAREND E
PANGA MBIT II
9
12
13 SIHOL
8 PALLO TONG
11 AMANI TANGKI AS
OMP. SIHAR ULUAN
8
13 ASMAT
14 MINTON
7
7 PANGA MBIT I PANGAMBIT I
OMPU BONAHUTA
51
15
14
15
CHARL ES
15
DONG OK
KARMI DEN
TAHAN
15
ISIS
15
15
KARDO
GARTI
NASIP
14
13
13
12 JONAR (PAINA SIP)
LAMH OT
15 ANTO
15
POLTA K
14
11 AMANI JONAR
DAVID
15 DANI EL
15
NURDI N
14
MANA NGAP
15
MARU AHAL
14
SABAR JAYA
15
MONA NG
14
COKLI
15
BONAR
15
KAREL
14
JONAT HAN
13
12 TUBIA K (A.TAO N)
G
HOTDI SON
15
EDU
15
LOMPO
14
10 ALENG
PATU PAHAL
9
10 PAHAL
MAR TIN
15
8 PALO
TON PALLOTONG
BONGG AS
14
8
SONAR MIDO
15
14 ASENG( WILIA TER
13 BAHA (AMA LOMPO )
SAUDI N
14
JUNJU NGAN
15
HUMA LA
14
MARU HUM
14
13 GASAN G (AMA HUALA M)
MARO LOP
14
DAYAN
14
KOSTA N
13
BERNA RD
14
NELSO N
13
RUDIA NTO
14
Page 49 of 112
GUGUN
14
NAEN
12
RJ. JUARA
11
52
13
12
11
13 MANGARA
PANAHAN
AMON
11
DAS DAS
10
BELE
10
POLIN
AMANI PANSOHOTAN
13
12
11
SAUDARA
NANTI
NESSONG
TUBUNA
AMANI TUBUNA
9
6
13
12
13 RUMIN TANG
TUMBA
13 JONGGARA
OMP OMP.NI NI HURMA HURMA
6
AMANI LINDUNG
13
9 AMANI BREMBEM
ELIAS
8
13
12 PANGAIT
8 AMANI PAHOTMA
OMP. SONANG BARITA
7
GABA
BAREM
13
12 BARANING
13 MARINGAN
OMPU BONAHUTA 7
10 ALENG
12
11
BINSAR
AMANI BINSAR
KARMIDIN
PANUS
OMP. BIRONG
14
13
12 HOMBAR
11 MANGANTAR (OP JONANG)
ALENG
13 BONGGUK
10
12
13 BUSMIN
12
AMANI UHAL
13
12
11
13
12 MANASE
JUNIOR
JAMILIN
AMANI LUKING
AMANI BIRONG
BILEM
10
9
8
13
JANNES
13 SALMON
12 PAMBITGA M
13 EDISON
TAHAN
GINDAL
OBER
12
LAIDIM
13
Page 50 of 112
JUMONTAN G
13
12 BARIUN
OMPU BONAHUTA
53
Di Parbagasan
Br. Torus Di Lbn Martintin,
OMP. TUMONDOL
9
1. Hutaga lung 2. Nadeak
Hanya Boru kawin ke :
RJ. PANGASEAN
6
9
Di Sosor pergi ke Tj. Balai
BINDU
OMP. PONGKI
Di Lbn Martintin
9
Di Lbn. Martintin Narumambing
8 OMP. JONGGOR ULUAN
Di Lbn. Martintin Narumambing
OMP. BUNTULAN
7
Di Lbn. Martintin Narumambing
GURU PANGILINGAN
6
Di Pabargasan Narumambing
SURIGA
Di Lbn. Martintin
9
PANGARAJA
6
Br. Torus
DUMALIM
Di Sosor Narumambing
RAJA MINAL
Di Lbn. Martintin
9
6
Di Narumambing
OMP. RJ. NAULI
5
Di Sosordolok Narumambing
RJ. MARGANSIP
6
6
Di Batunaknak Narumambing
RJ. MAMONTANG
di Pangombusan Narumambing
RJ. PANGOMBUSAN
6
6
Page 51 of 112
di Napittu Narumambing
PARTUPAK HODA
54
PANGILI NGAN II
Br. Sirait **
13
15
NIKSON
Br. Marpaung
14 MARISON Br. Sirait
BR. SIRAIT
DOLIA
AMANINGGOR
12
AMANI PANGILINGAN
11
10
PAHALA
14
OMPU BONAHUTA
14 TUMPAL
14 ANTON
13 SABAR Br. Torus
14 GONGGOM
Mago
ALBERT (†)
13
Br. Gurning
GOMPARAN / LONGOS
12
Br TorusDidi , lbnLbn partitinMartintin Narumambing Narumambing
9
9 OMP. OMP.TUMONDOL TUMONDOL Br. Torus
MICHAEL
15
14 RICHARD Br. Sirait
EDWIN
Br. Toraja / Torus
14
13 SAHAT Br. Sirait
Br. Sitotrus Br. Sirait **
Br. Torus
OMP. BAGOT
12
THEODORE
15
MARTIN Br. Tarihoran
14
14 RIDHO
BR. MARPAUNG
JULIANUS Br Ambarita
12
BARTHOLO MEUS
13
Br. Torus
POLLUNG / ANDAREAS
SAUT BR. SIRAIT
13
Br. Torus
HAMPUNG HERMAN
DANIEL Br. Panjaitan
14
12
HAMPUNG RJ. GIDION
11
10
JOSEP
Br Dolok Saribu
12
OMPU BONAHUTA
55
14
14
MARUSAHA
RONI
14
14
13
14
Br. Torus
REIMON
RUDIANTO
PHILIP
14
SAKHEUS Br. Torus
ALBOIN Br. Torus
RENHART
13
14
12
14
12
RICO
JULIANUS Br. Ambarita
RUSTAM
POLLUNG / ANDAREAS
14
14
Br. Banten
MANDA
MASRIL
14
MINGGUS Page 53 of
Br. Toraja/Ambarita
13
14
MARINGAN Br. Sihombing
BETSON / TUNGGUL
MINTON
13
56
OMPU BONAHUTA
14
HOTLAS
13
14
Br. Sinurat
BINDU
DIKOLAS
14
13
14
Br. Siallagan
LEVI
JOSEP
Br. Dolok Saribu
NOVALDI
12
MARIO
14
13
OLIVER
WASINTON
Page 54
OMPU BONAHUTA
57
14
ISAK Br. Torus
14 PATANE Br. Jawa
13
MARO JAHAN
15 SAPTIADI
14 MANANG GAK Br. Ritonga
15
FAJAR
15 DAVID
TULUS Br. Damanik
14
13 SAMUEL Br. Torus
15 JANSEN
S A U L ( †)
13
12 RJ. USIA Br. Torus
11 RJ. UPIR Br. Hutagaol
12
AMA SULAM
15 RINALDI
14 TOMBAK Br Purba
KRISTIAN
15 ALEXANDE R
BANGGAL
12
15
14
JUARA Br. Dolok saribu
JANNES
15 NATANAEL
IHLEN YESEKIEL
15
14 MARUHUM Br. Manulang
13 GAY US Br. Nainggolan
RIO KRISTIAN
15
NURDIN Br. Hutahuruk
14
13 MANGASA
OMP. SULAM Br. Torus
10
10 PANGARAJ A II / PINTABOLO
9 OMP. BANGGAL
11
7 PARHORJA
RJ. ONGKAT Br. Gurning
9
PARSON TAHAN Br.
8 PANGGORA Br. Marpaung
7
Br Br.Torus Torus
6 6 PANGARAJ PANGARAJA I AI
13
JAIRUS
13 TOMBAK
12
BISARA
13 HASUDUNG AN
13
11 PANGOLAM Br. Marpaung
PARDO MOAN
13
12
NGOLU
DINGIN
13 MARULAK
58
13
11
MARLON Br. Sianturi
13
ALEX Br. Betawi
PAULUS Br Torus **
12
SAINGIT Br. Torus
OMPU BONAHUTA
13
PANAIL
LUCKY
10
13
12
9 OMP. SOGAR
8 PANAULUSU
PARHORJA Di Pabargasan Narumambing
7
JEFRI
POLTAK Br. Banten
13
ADITYA
12 JONATHAN Br. Betawi
11 PHILEMON/IR IAS BR. SINAGA
1. 2. 3.
3 Boru Maria Yenny Kristin
12 FERDERIK Br. Toru s **
13
RAINAD
13
STEVEN
LODEWIYK
12
13
12
ADEK
KRISTOF
OMPU BONAHUTA
59
HOBBIN
15
PASU
15
14 PARNIN GOTAN
CARLOS
15
NOR MAN
14
15 LEO NARDO
15 WARIS MAN
MINAL
14 RISTON
14 ROMU LUS
13 MANGA TAR
13 SUMIHAR / TIHAR
14
12 PHILI PUS
12 ALONG
AMA BUNTU
11
NIMROT
14
ROBIN
14
MARKUS
RAFLES
14
JANSEN
14
13 REGUEL
LEMAN
12
RJ LIPAN
11
13
OMP. PANANG KUKUH
HENDRI
14
OMP. SAIMI
10
9
RJ. NAING
8
RJ. LIPAN
7
MINAL
6 6 RJ. MINAL RJ.
DESMON
14
13 MATO NDANG
ALBERT
14
SAHAT
14
13 ALPE RIS
14 JEPER SON
12 JOHA NES
THOMAS
14
ABIDEN
13
ROY
14
13 LIPAN ( II )
JOSEP
12
DAUD
11
18
10
7
MANGATUR
OMP. PATAR
TUAN JOBAR
18
DARMAN
18
6
MARTAHAN
9
18
17
16
BUDI
OMP. PARIAMA
Sosor Dolok
RAJA MARGANSIP 6 RJ. MARGANSIP Sosor Dolok
15
18
PANTAS
HARJONO
16
RJ. MANGIRING
18
KALFIN
15
RONI NGIDUN
OMP. BINTANG
YUSUF
OMP PARDOLON
TALEBAN
14
13
12
11
10
PETAL
DATU RONGGUR
OMP. TAGURGUR
10 DATUAN DIRUMAH
OMP. PANTANG (†)
LUTHER
9
8
7
18
12
11
PARDOLON
CHRISTOPER
INGOT
18
12
11
EGA
OMP. LAMBOK
OMP. PARUARAR
OMP. SABA
10
9 OMP. TAGURGUR II
12 JUNGING
OMPU BONAHUTA
61
16 REKINAL
ROLEN SIUS
REYMOND
17
16 MANUN TUN
17 ROLAND CANE SIUS
16 HUMALA
15 HUMBIL
AGUS TINUS
16
15 BISMAR
17 PIERE CORNEL
16 JANUAR
17 CHARLES JECO NIAH
16 R. TULUS
14 NAHOR
16 PARU LIAN
16 RANTO
15 SAMPU ARA
16 JOSUA
15 KALEP
14 HENOK
OMP HUMBIL
13
15 TAKKAS
16 JHONSON
15 MANG IRING
14 JAPET
16 PATUAN
15 TOGU
12
BONI
18 CARLOS D
17 MAMPE TUA
16 FERNAN DOS
15 MARING AN
14
INGOT
12 INGOT
18 MARTIN
SORI AMAN
17
16 GOKLAS
17 SUPARDI
16 ROSMAN
TOGI
KRIS TIAN
JONA THAN
17 JANIARA
16 MARISI
13
Page 59 of 112
17 FRENG KY
16
15
14 JOHANN ES
13 DANIEL
62
17
BENNY
FERRY
R
17
NARNO
LEO
AGUS
17
MELKY
NIXON
17
17
FLI
JULKI
EAS
ANDR
17
RT
ALBE
HAKIM
NGGA
16
16
MANI
UDIN
15
16
17
OMPU BONAHUTA
PUTRA
17
OJAK
16 LAN
RAT
16
16
WIN
DAR OS
APOL
16 AMRI
16 BIN
JOS
ES MAN
16
NAR
SEN
16
JAU
15
16
16
16
15
ANTON
PASU
JEPRI
NUS
JARIA
15 MEN
KAS
16
15
OLAN
HASIH
15 MAN
PIR
LES
CHAR
16
SUDIN
15 MIN
PAI
PABER
15
15 JAMES
MON
SAL
15
NUS
JAN
15
LEN TEM
LEBA
14
14
DUHE
ATIK
PAND
13
EGA
EGA
12
14
12
16 RICARDO
OMPU BONAHUTA
63
16 TOMBAK
16 MANGASI
15 ALEXANDER
16 PARLIN
14
OSIK
15 HALOMOAN
14 JAKOBUS
13
JOSEP
JUNGING JUNGING
12 12
15
EDI
Page 61 of 112
APRIL
ANTO
16
AMM AT
15
AMANI PINAN
14
13 AMANI PAHAL
12 OMP. PA HAL
OMPU BONAHUTA
16
64
HER MAN
17
MUST AR
16
BENNY
17
ESRON
16
BOY
17
BRAM
17
ELI MAN
16
BOBY
17
P. PARM ONAN GAN
17
15 ISAL WALI ATER
14 MAR KUS
ZULK IIFLI
17 PRIY ANTO
17
MAN GATA S
16
SUPRI ADI
17 MICH AEL
17 SALO MO
17
JHON NEDY
16
11
UCOK
16
OMP. 11 SABA OMP. SABA
BAHR UDIN
16 DAR WIN
16
RIDW AN
15
16
16
16
15
RUDI
HER MAN
17
MULE R
RENOL
17
BUDI MAN
16
BOR NOK
17
BINA HAR
DEDY
17
BUNAR
PREN GKY
17
HER MAN
WAL TER
HEN RIK
17
ABDUL
16
14
14
RAJA
14 PILIP US
13
TIMB UL
OMP. PARIA
12
13
12 OMP GURG UR
JUAN D
17
EDI
16
OBER LIN
15
12 HELA SI GAOL
ANDRE
17
MAY UR
16
DANI EL
17
JAME S
16
LEO
17
LUMP AT
15
MAN GARA
17
SUND UNG
16
MAR ULI
17
MAR DJAH AN
16
VIKT OR
15
KAS MA
16
15 DARI ANGIN
14 KA RAL
13 HALI YANG
JAIM AR
15
OMPU BONAHUTA
65
13 13 TOGA BAHR P UM
13 SINDI K
13 13 RUSM RONI AN
12 NGO LU
11 JALA
13 MIDI AN
13 JOHI RUN
13 ANTO NI
13 LEPIS TON
12 SAIB UN
13 KRIS NO
13 WAL TER
14 MA RISI
14 HO RAS
14 ROBI NSON
14 LODE WYK
12 GO RA
13 13 TUMP HARI AK S
13 FREN KY
13 HEND RA
15 WILI AM
14 HOT MAN
13 BOY
14 BAHT IAR
13 PIAT OR
14 POS MA
14 JUNI
15 JIM MY
15 BONA HUTA
14 MARI HOT
13 PIN TAR
14 THA MRIN
14 RAM LI
13 KAP NER
14 HEN DRI
14 HIS AR
14 SA HAT
11 A. TONG GO TUA
10 Omp. TONG GO TUA
10 OP PARU LAM
9 Omp. LANG IT
8 PAN DAI SOTUL
13 RU DOLF
14 GAR OGA
13 BER LIN
14 ROBE RT
9 Omp. PANG GIRA NG
8 PANG KASA
10 PANG AUL
12 AM AN
R. SAND AR DE
7
9 Omp. URAN GGA
11 LI TING
7 Omp. BALO BO
ONTA NG
9 Omp. BA DAR
A. BALO BO
8
6
6 RAJA MAM RJ. MAMONTANG
13 KA S DAN
13 OS CAR
Page 63 of 112
13 PARD AME AN
12 BI ONG
OMPU BONAHUTA
13 13 KUA TAH T AN
11 AMA NI SAB UNG
10 PAN ALIB UNG
66
13 RAN TO
12 SAM UEL
11 AMA NI LIBU NG
15 KEV IN
15 HID AYA T
15 RIZ KY
15 ILH AM
14 PAT UAN
13 PARI AMA
14 14 BIS MUL MAN ER
13 13 13 SLA MAL PUR MAT A ASA
12 RJ. RUSI A
15 AND I
15 WIL LI
14 14 BIST SAN ON TO
15 15 POL ASB ARIS ON
14 14 14 THO FERI ROY MSO AND POL N I TAK
13 GOD ANG
11 A.M ART AIS
10 PAR UAN GAN
13 MAN AMB UAL
14 MID IAN
13 IMB ANG
14 14 14 MAN MAR EDI AHA TAH N AN
12 GIDI ON
14 JHO NSO N
13 ASA L
14 14 14 14 PAR DON JUNI ZUL MEN AL MAR KIF LON LY
13 DER ICK
12 BAL A
OP SUN GKU NAN
9
13 LAN SIUS
14 EDI
13 TAH I
8 8 8 R.O OP. PAR TOG RJ OHO ABO JUNJ L LON UNG
DEB
7
RJ. SANDAR R SAN DEBATA DAR
14 14 14 14 14 GUN HAR PINT PIKS HIS TUR APA AR ON AR N
12 NAN TI
7
14 14 MAR REZ ULA A K
13 SAU T
14 RIC KY
12 RAM PA
OP PAIN SAR
9
15 RAJ A
14 IRV AN
13 SAB AR
15 BENI TO
14 14 14 CHA MAR DAU RLE ULI LAT S
13 SAB AM
15 15 15 TOG RON ZOL I I A
14 POL TAK
10 10 10 PAR BAN OP HON GA ROD OG WAN ANG
14 14 RID DAN WAN IEL
13 TUA
11 11 UTI USIS (A. A MAN GA
10 10 OP. PAR GAN ANT I OAL
9 9 OP. OP JONI BAJ OGA T
15 15 KRIS FELI TIA X N
14 14 SUN JON GKU NER NAN
14 JON FRE DDY
13 LOM O
15 TIM OTY
14 JON RUD I
Page 64 of 112
14 ANT ONI
12 PET ER
OMPU BONAHUTA
67
68
14 PARANCIS
14 LASMAN
14 TIMBUL
14 JONNY
13 MONANG
13 JEMBENG
OMPU BONAHUTA
14 MIDUK
15
14 GOTLAS
HOLMES
14
14 BACHTIAR
15
14 BUNGARA N
JOSIA JOSIA
12
HIMLER
12
KAUNER
15
14 JUTINUS
13 GERMAN
ALBEN
LINTONG (KENAN)
14 BONAR
13
LEVI LEVI (A. (A.LINTONG) LINTONG)
12 12
14 ALEKSAN DER
15
14
14 JOHANNE S
ASNAR
ALIMAN
14 REISTON
15
14
HARDI
ARMONI
14 LISTON
14
HARIS
13 KARMEL
14 HENRY
Page 66 of 112
14 WELINGT ON
OMPU BONAHUTA
13
14
KARTOLO
14
13 MIDIAN
ROBERT Br. Torus
TOGAP
14
M. LUDIN Br Marpaung
WILSON
14
14 ULISANT / TONY Br Jawa
PARLIND UNGAN
14
69
14
TIMRET
14
BERNANDO
UNPONO
14
14
13
14 NOUTEN
14
ALBERT
14
SIRUS
MASTOR
14
13
ST. JORAM JORAM ST. Br.Sibuea Sibuea Br
PARTANO
12 12
POSMAN
14
JHONSON
MANUEL
14
12
12 ST. MARTIN ST. MARTIN (O. (O. LINDANG) LINDANG) Br Br. Sirait Sirait)
BORNOK
HOTLAN
14
14
LUHUT
14
GUGUN
TUNGGUL
14
14
13
RUSTAM/ ARIFIN
14
GORDANL
SAIDI Br. Ambarita
HOTMAN/ ERIKSON
14
13 AMANDUS
ION
Page 67 of 112
14
JHINSON/ ESEKIEL
14
70
14
14
14
SAUT
13
14
HENRY
JHONSON
14
14
13
14 HASIHOLAN
BILIATER
BERNARD
OMPU BONAHUTA
PATAR
GERHAD
14
HENERY
EDWARD
KASMAN
14
13
VICTOR
13
12 12 ARCHINIUS ARCHINIUS Br.Sinurat Sinurat Br
12 12
LUDIN
13
MONANG
14
14
MANAOR
JUANG
BUSMIN
GANDA Br Tompul
13
14
13
SABAM SABAM
RONALD
14
12 12
14
SAHAT
RJ. HERMAN
14 TUNGGUL
JUNUS JUNUS
14
13
14
14
13
RAMSES
HORAS
FIRMAN
14
13
Page 68 of 112
OSDIMAN
14
JUBELEUM
FREDDY
GOSEN
TOGAR
1212 WILIAM (UKUR) (UKUR) WILIAM
66
7
PARTUPAK HODA PARUPAK HODA Di Lbn Lbn.Napittu Napitu Di
Omp. SOHUTURON
8
9
10
11
12
13
14
Omp. DURAMAN
A. SOHUTURON
A. DUNGGAR
PANUHOR
PANGUNJUN
PANCUNSAL
Omp. HURTIK
14
15
16
GITIK
Omp. GITIK
A. GITIK
16
MIDIAN
OMPU BONAHUTA
71
BAB III
Asal-Usul Batak
B
atak adalah salah satu suku (etnis) di dunia, diantara ribuan suku yang tergolong tua dan berperadaban tinggi. Nama sukunya sama dengan nama “negerinya yakni batak. Jauh sebelum masuknya orang luar, seperti kedatangan orang-orang yang menyebarkan agama islam, dan agama kristen serta berlangsungnya penjajahan Belanda dan Jepang ke “Tano Batak” suku ini sudah ada dan eksis sebagai bangso ( bangsa) yang beradab, disebut “ Bangso Batak”. Bahkan keberadaannya pun tampak sudah diketahui oleh bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Inggris, Belanda, Amerika Serikat dan Jerman. Fakta itu terlihat, dimana pada tahun 1824 dua misionaris Babtis asal Ingris yaitu Richard Burton dan Nathanael Ward sudah datang ke Tano Batak ( Sibolga). Tujuannya untuk melihat lebih dekat bagaimana keadaban bangso batak ini. Dari sana kedua misioner itu selama 3 hari lamanya berjalan kaki menuju pedalaman, hingga tiba di daerah Silindung. Di daerah ini mereka selama 2 minggu melakukan observasi kehidupan sosial-adat-budaya batak. Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1834 kegiatan Burton dan Ward diikuti oleh kedatangan Hanry dan Samuel Munson. Mereka adalah penugasan Dewan Komisaris Amerika Serikat untuk misi luar negeri. Lalu pada tahun 1850 Dewan Injili Belanda menugaskan Herman Neubruner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak-Belanda. Tujuannya adalah untuk memudahkan misimisi kelompok kristen Belanda dan Jerman untuk berbicara dengan masyarakat batak Toba dan Simalungun dengan tujuan untuk melakukan pengkristenan masyarakat batak. ( Budaya batak, Wipedia, Bahasa Indonesia, 2012). Kemudian menyusul lagi misioner Dr. Lodewig Inggwer Nomensen asal Jerman. Ompu jemaat Huria Kristen Batak Protestan ( HKBP) yang pertama ini datang ke tanah Batak melalui Padang Sumater Barat dan tiba di Silindung Tapanuli pada tahun 1861. Disana ia memulai misi penginjilan untuk masyarakat batak, hingga meninggal dan dikebumikan di Sigumpar, Porsea. Toba. Apa yang terungkap dari kedatangan dan aktivitas para misioner sebagaimana di uraikan di atas. Pertama, bahwa bangsa-bangsa lain atau minimal lembaga
72
OMPU BONAHUTA
keagamaan dari negara lain yang jauh dari “tano batak” ( tano = negeri) telah mengetahui, adanya komunitas masyarakat batak di tano batak. Kedua, sebelum mereka melakukan tugas dan misinya ke bangso batak, tentu telah mempunyai rencana dan program yang jelas. Mereka bukan begitu saja datang untuk melakukan misinya, melainkan sebelumnya telah mengumpulkan data mengenai bangso batak yang diperoleh mereka dari benua sana. Dengan kata lain, data tentang batak telah ada dan mereka dapati di negeri mereka. Apa yang dapat di tunjukkan hal tersebut di atas adalah suatu pertanda, bahwa leluhur batak bukanlah “Tantan Debata yang turun di Sianjur Mula-mula, Pusuk Buhit” sebagaimana anggapan atau pendapat sebagian orang batak selama ini. Akan tetapi, berdasarkan petunjuk seperti diuraikan di atas, leluhur batak itu berasal dari suatu daerah atau kawasan tertentu di benua Asia. Entah apa sebabnya mereka meninggalkan daerah asalnya itu, lalu berlayar menyeberangi Selat Malaka, terdampar di pantai sumatera bagian barat, dan bermukim di suatu tempat yang kemudian mereka namakan Tano Batak.
Asal Leluhur Batak. Satu misteri yang belum diketahui hingga kini menyangkut asal-usul leluhur orang batak. Entah berasal dari mana belum diketahui. Bahkan kata “batak” pun berasal dari bahasa apa, dan apa artinya belum juga diketahui dengan jelas. Anehnya, pemakaian kata batak itu tidak hanya digunakan oleh suku batak, tetapi juga oleh suku lain. Contohnya di Filipina, kampung Ferdinan Marcos, mantan presiden negara itu, menamakan kampung mereka sebagai Kampung Batak. Di negeri Filipina ada pula satu suku Tagalog dengan perawakan yang relatip sama dengan orang batak dan memiliki bahasa dengan banyak suku kata yang sama artinya dengan bahasa Batak Toba. Dipulau Pinang, Penang, juga ada sebuah kampung yang bernama Kampung Batak ( Peta Kota Penang, 2012) Lalu dengan melihat fakta-fakta itu, timbul pertanyaan, dari manakah asal batak itu? Mengapa ada masyarakat di daerah/negara lain yang menggunakan nama batak? Apakah ada pertalian kerabat atau kesamaan leluhur mereka dengan leluhur batak? Pertanyaan-pertanyaan itu tentu sulit dijawab jika tidak dengan penelitian ilmiah dan mendalam. Akan tetapi realitasnya di negeri yang disebutkan itu terdapat kampung batak. Menurut SHW. Sianipar, kata batak berasal dari kata tukhot yang terbuat dari kayu batak. Kata ini terdiri dari dua suku kata yakni tuk dan hot. Tuk artinya dapat
OMPU BONAHUTA
73
atau mampu menjangkau, dan hot artinya berdiri tegak dan tidak goyah. Jadi tukhot adalah sebuah benda berbentuk bulat panjang (lebih kurang 1,5 m) dengan ukuran diameter tertentu yang terbuat dari kayu keras dan dapat berfungsi sebagai alat penopang bagi seseorang yang hendak beranjak dari tempat duduknya dan/atau pada saat berjalan kaki. Pada zaman dahulu kala Tukhot itu diyakini sangat sakti dan digunakan oleh raja sebagai tongkat raja, dan pada saat perang menjadi sebuah senjata pamungkas untuk melawan musuh. Selain itu tukhot juga merupakan alat mediasi dalam rangka menyampaikan permohonan berbagai hal seperti meminta hujan turun, menghentikan hujan/badai, serta alat penunjuk arah jalan dan manfaat lainnya. Oleh karena itu, benda itu senantiasa dikermatkan oleh pemiliknya dan secara teratur dimantrai sesuai waktu dan syarat yang sudah tentukan. Konon tukhot itu di buat dari kayu batak, dan oleh karena kesaktiannya yang begitu daksyat, maka benda itu dinamakan tukhot sialagundi atau tukhot sisiagogo. Sayang sekali dalam perkembangan peradaban batak kekinian, tukhot semacam itu tidak ada lagi. Dewasa ini tukhot telah merupakan benda biasa yang digunakan orang berusia lanjut atau orang yang mengalami cacat fisik untuk menjadi alat menopang dirinya pada saat bangkit dari tempat duduknya dan/atau pada saat berjalan kaki. Oleh karena itu, dengan hilangnya tukhot sialagundi dari peradaban batak, maka kini tukhot itu tinggal nama dan diungkapkan dalam perumpamaan batak yang berbunyi ” Martkhothon sialagundi, napinungka ni ompu sijolo-jolo tubu, ingkon ma ihuthonon ni naumpudi. Yang artinya, sebuah kearifan lokal dalam rangka pelaksanaan pembangunan atau kehidupan berkelanjutan tano dan bangso batak. Menurut cerita, bahwa awal atau latar belakang pengadaan tungkot sialagundi itu adalah sehubungan dengan kebutuhan mendesak seorang raja yang bernama Mangaraja Burbur. Seorang raja dalam sebuah kerajaan di Asia Bagian Tengah yang terancam diserang oleh kerajaan lain dengan kekuatan raja dan pasukan yang amat kuat. Ancaman itu sangat menakutkan Mangaraja Burbur, sebab dipimpin oleh seorang raja yang perkasa dan sangat sakti. Dahulu kala, jika terjadi pertempuran antar kerajaan, maka raja dengan raja wajib memimpin langsung pertempuran. Raja dengan raja pada akhirnya akan saling berhadapan dan menjadi penentu siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mangaraja Burbur menakar kemampuannya, jika berhadapan dengan raja yang akan menyerangnya, sang raja akan kalah. Dengan pertimbangan itu, maka ia berpikir untuk mendatangkan seorang yang kuat, sakti, perkasa, dan bersedia memimpin pertempuran untuk menghadapi raja atau panglima
74
OMPU BONAHUTA
perang yang akan menyerang mereka. Dalam rangkan itu, ia pun mengumpulkan para penasehatnya untuk mendengarkan pendapat atau apa usul mereka. Para penasehat raja pun menanggapi permintaan Mangaraja Burbur. Namun mereka menyampaikan pemikiran lain atau solusi yang berbeda dengan pendapat raja. Mereka mengusulkan sebaiknya tidak mencari orang sakti, kuat dan perkasa seperti yang diminta Mangaraja Burbur. Pertimbangannya, bahwa kehadiran orang itu dikhawatirkan bisa menjadi masalah dikemudian hari. Kekhawatiran itu terkait dengan loyalitas, dimana setelah memimpin peperangan dan memenangkan pertempuran, bisa-bisa orang itu akan mengambil alih kerajaan. Atas dasar pertimbangan itu, maka penasehat raja menyampaikan usulan lebih baik membuat senjata sakti yang terbuat dari bahan kayu batak. Senjata sakti itu dinamakan tukhot Sialagundi atau Sisiagogo. Tongkat itu terbuat dari kayu keras yang bernama kayu/pohon batak. Melalui proses tertentu diyakini benda itu amat sakti dan mampu menjadi sejata pamungkas raja untuk melumpuhkan siapa saja yang hendak menyerang Mangaraja Burbur. Persoalannya kayu batak itu tidak ada di daerah kerajaan Mangaraja Burbur. Kayu itu hanya ada di Tanah Bongaran. Suatu daerah yang letaknya terisolasi, dikelilingi lembah dan hutan luas (dalam bahasa batak disebut harangan). Ironisnya, daerah itu ternyata sebuah tempat pengucilan selir Mangaraja Burbur. Dimasa lampau slir raja itu diusir dari kerajaan Mangaraja Burbur, sebab melanggar hukum adat yakni hamil mendahului permaisuri raja. Peristiwa itu dianggap sebagai perbuatan aib, memalukan raja, oleh karena terdapat seorang perempuan yang konon slir raja mengandung dan akan melahirkan seorang anak raja, sedangkan permaisuri raja belum mempunyai anak. Agar peristiwa yang dianggap aib itu tidak merebak ke masyarakat luas, maka slir raja itu pun diusir atau ditempatkan di suatu daerah yang kemudian bernama Tanah Bongaran. Daerah itu masih merupakan hutan luas dan hunian binatang-binatang buas. Maka dengan pengucilan slir raja ke tempat itu, diharapkan akan mati dimakan binatang buas. Nyatanya tidak demikian. Ia tidak diganggu binatang buas yang ada di daerah itu. Malah slir raja itu dengan aman melahirkan seorang laki-laki yang kemudian diberi nama Mangaraja Bongaran. Keturunan Mangaraja Bongaran ini terus berkembang dan menjadi komunitas masyarakat sendiri dan membentuk suatu kerajaan baru yang dinamakan Kerajaan Bongaran. Sesuai dengan perintah raja , maka utusannya pun berangkat menuju Tanah
OMPU BONAHUTA
75
Bongaran. Begitu sampai disana, mereka menyampaikan titah Mangaraja Burbur kepada Kerjaan Bongaran agar menunjukkan dan memberikan apa yang disebut dengan pohon/kayu batak. Mangaraja Burbur mengancam, jika kayu batak itu tidak ditunjukkan atau diberikan dalam batas waktu yang ditentukan, maka Kerajaan Bongaran akan dihancurkan dan mereka seluruhnya akan dibunuh. Mendengar ancaman itu, mereka ketakutan, maka terus mencari kayu batak itu keseluruh penjuru wilayah, hingga keluar wilayah Kerajaan Bongaran. Jika dalam perjalanan ada orang yang menanyakan mereka hendak kemana dan untuk apa, mereka senantiasa menjawab sedang mencari pohon batak. Dengan jawaban yang terus seperti itu, maka akhirnya mereka dinamakan orang-orang batak. Mangaraja Bongaran mempunyai tiga anak putra yang bernama Ompu Tuan Doli, Mangara Sumba, dan Ompu Tuan Mangalas ( Sianipar, Ibid, hlm 7). Mereka dan para kerabatnya paham sekali bagaimana bengisnya Mangaraja Burbur. Mereka seluruhnya pasti akan dibunuh jika tidak menyerahkan kayu batak itu. Oleh karena kayu batak itu tidak dapat ditemukan, maka mereka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Tanah Bongaran. Mendengar kepergian mereka itu, Mangaraja Burbur pun marah. Pasukannya mengejar mereka. Rombongan Mangaraja Bongaran itu ketakutan dan terus pergi hingga akhirnya menyeberang Selat Malaka. Mereka terkatung-katung di laut bebas dan akhirnya terdampar atau sampai disuatu pulau yang bernama Pulau Sumatera. Mereka terdampar di pantai bagian barat sumatera dan mendarat pada suatu bandar yang dinamakan Barus. Nama darah itu terjadi, karena penghasil komoditi kapur barus. Sampai sekarang ini komoditi itu merupakan andalan produksi dan komoditi perdagangan dari daerah itu. Pada masa lampau pelabuhan Barus itu adalah pintu gerbang ekonomi Tano Batak. Merupakan persinggahan kapal-kapal luar negeri dan tempat pedagangan bangsa Portugis. Pada penjajahan Belanda dan setelah Indonesia merdeka pelabuhan itu menjadi pelabuhan “tertinggal” dan belakangan ini akhirnya kehilangan sejarah. Pelabuhan dan atau kota yang dikembangkan berikutnya adalah pelabuhan atau kota Sibolga. Walau pelabuhan ini secara tekni-nautis sulit untuk dikembangkan, akan tetapi oleh karena kepentingan politik dan strategi penjajahan Belanda pada Tano Batak, dan sejalan dengan pengembangan Sibolga jadi ibukota Keresidenan Tapanuli, maka pelabuhan inilah yang dikembangkan. Pemerintah Indonesia, rupanya meneruskan konsep pembangunan kepelabuhan yang dilakukan Belanda itu , maka akhirnya Tano Batak sampai dengan sekarang ini dari sisi trasportasi laut menjadi
76
OMPU BONAHUTA
suatu daerah “tertutup”. Pelabuhan Barus yang dahulu kala adalah pintu gerbang ekonomi tanah batak, kini tinggal menjadi sebuah sejarah yang terlupakan dan tano batak hanya mengandalkan jalan darat menuju Pelabuhan Belawan. Pelabuhan Sibolga sampai saat ini tetap saja menjadi pelabuhan lokal dan sulit dikembangkan sebab berada pada posisi pantai dengan keadaan laut terbuka dan ombak sangat besar.
Batak, Lampung dan Toraja. Terdapat pendapat, bahwa suku Batak, suku Lampung, dan suku Toraja adalah tiga suku dengan leluhur yang sama. Konon, leluhur ketiga suku ini adalah turunan dari Mangaraja Bongaran. Mereka datang melalui perjalanan dengan pelayaran perahu/kapal seperti yang diungkapkan di atas. Dalam kisah pejalanan mereka, kerabat anak sulung memilih bandar persinggahan pertama yang dinamakan kemudian Tano Batak. Daerah itu kini meliputi dengan nama daerah Humbang, Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah hingga sekitar Gunung Toba yang dewasa ini terdiri dari Tapanuli Utara, Toba, Samosir, Dairi, Phakpak, Karo, dan Simalungun. Di daerah inilah terdapat pohon haminjon ( kemenyan), buah jeruk yang bernama unte Jungga dan andaliman (rempah-rempah) yang tidak ada di nusantara ini. Tumbuhan atau komoditi itu diperkirakan merupakan tumbuhan atau komoditi yang berasal dari Tanah Bonggaran yang di usung oleh rombongan mereka pada waktu berangkat dari daerah asalnya Asia Bagian Tengah. Kerabat anak nomor dua dan tiga ( bungsu) tidak ikut bermukim di Tano Batak . Mereka meneruskan pelayaran kapalnya hingga menemukan bandar atau daratan kosong ( belum dihuni manusia) dinamai Bandar Lampung. Nama ini berasal dari kata lampung artinya kosong. Dalam bahasa Batak Toba kata lampung adalah lapung yang artinya sama yaitu “ kosong”. Sampai sekarang kedua suku ini, satu dengan yang lain senantiasa mengakui adanya hubungan kekerabatan. Suku Lampung, dan termasuk suku Komering di Sumatera Selatan selalu memandang suku Batak ebagai “saudara tua ”. Sedangkan kelompok kerabat si bungsu terus melanjutkan perjalanan dan sampai ke pantai Makasar, Pulau Sulawesi, lalu menyusuri pedalaman dan menemukan pemukiman yang kemudian dinamai Tano Toraja. Kata “tano” artinya tanah. Sama artinya dengan bahasa Batak Toba. Kesamaan antara suku Batak dengan suku Toraja itu juga terlihat dari adat dan budaya serta hasil karya budayanya yang banyak kesamaan. Dalam hal adat, misalnya ritual untuk adat kematian orang yang sudah
OMPU BONAHUTA
77
ketegori tua ( Bahasa Batak Toba disebut : Sari Matua, Saur Matua, Maulibulung) memiliki kesamaan. Bentuk rumah juga relatip sama , dengan bentuk atau konstruksi seperti gambar berikut ini.
Gambar Ruma (Rumah) Batak
Gambar Ruma (rumah) Toraja
Bahkan mengenai silsilah (tarombo) dan marga pun demikian. Misalnya dalam hal marga, di Batak Toba dikenal dengan marga Manurung, Tobing dan Parapat. Masing-masing marga itu di Toraja disebut Manurun, Toding, dan Parapak. Dalam hal bahasa juga banyak suku kata yang sama, seperti kata mandar yang dalam bahasa batak artinya sarung. Nama itu di Toraja sebagai nama kampung/kota. Kesamaankesamaan yang lain masih banyak lagi dan belum diungkapkan dalam tulisan ini. Dengan melihat pendapat-pendapat seperti diungkapkan di atas, maka pandangan yang mengatakan leluhur batak berasal dari negeri jauh atau dari Benua Asia dan terdampar di pantai Sumatera Bagian Barat tampaknya mendekati kebenaran. Yang mengatakan berasal dari Sianjur Mula-mula, Pusuk Buhit Samosir dan apalagi turun dari Banua Ginjang ( Langit), tampak merupakan pendapat yang tida masuk akal. Pendapat itu muncul, kemungkinan dilatar belakangi keadaan suku batak yang belum menganut agama kristen, atau islam. Masih menganut kepercayaan dan relegi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Na Tolu. ( Budaya Batak, Wipedia, Bahasa Indoneia, 2012).
Peradaban Batak. Jika memperhatikan adat, budaya, hasil karya dan filosofi Dalihan Natolu, tampak jelas, bahwa suku ini sangat berperadaban tinggi. Adanya hasil karya budaya antara lain seperti : (i) Ruma (rumah) Batak atau yang disebut Sibaganding Tua.(ii) Berbagai ragam dan jenis Ulos Batak (iii) Ogung Sabangunan, Uning-Uningan, dan 78
OMPU BONAHUTA
Tortor Batak. (iv) Askara dan Tulisan Batak . (v) Sisilah atau Tarombo (vi) Pengaturan wilayah teritorial yang meliputi Huta, Lumban, Sosor, Banjar, Bius. (vii) Filosofi dan sistem kemasyarakatan yang oleh Batak Toba dan Batak Mandailing menyebut Dalihan Natoli dan oleh Batak Simalungun menyebut Tolu Sahundulan serta oleh Batak Karo menyebutnya dengan Ruhut Sitelu yang masing-masing artinya: “ Hormat marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu”, membuktikan betapa tingginya peradapan batak. Dengan peradabannya yang tinggi itu, maka suku ini telah memposisikan diri sebagai suatu bangsa ( bangso) dengan melengkapi syarat-syarat yang diperlukan yaitu : (i) Satu tanah air yaitu Tano Batak; (ii) Mempunyai sejumlah penduduk yang beradat dan berbudaya relatip sama (iii) Mempunyai bahasa batak; (iv) Mempunyai askara dan tulisan batak; (v) Mempunyai lagu kebangsaan yakni “O ....Tano Batak. (vi) Mempunyai falsafah kehidupan sosial, politik, yakni Dalihan Natolu sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan melihat semua petunjuk itu, maka bangsa ini jauh sebelum menjadi bangsa dan negara Indonesia dalam bentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, tampak sudah ” mumpuni” dan menyiapkan diri menjadi suatu negara- bangsa yang berdaulat yang dinamakan “Bangso Batak”, dengan tanah air “Tano Batak”.
Penduduk. Jumlah penduduk batak saat ini adalah sejumlah sekitar 8 juta jiwa. Jumlah itu relatip sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk suku-suku lain di Indonesia seperti suku Jawa dan suku Sunda. Bahkan lebih sedikit dibanding dengan jumlah penduduk China di Indonesia yang kini telah mencapai 7 persen dari 236,4 juta penduduk Indonesia atau sekitar 16,55 juta jiwa. Lambatnya pertumbuhan penduduk batak seperti diungkapkan di atas, tentu saja dapat dipahami. Dalam perjalanan sejarahnya, batak mengalami peristiwa atau musibah besar yang menghancurkan alam dan penduduknya. Peristiwa itu antara lain dengan meletusnya Gunung Toba pada tahun 200-300 SM. Meletusnya gunung Toba ini meluluh lantakkan hampir seluruh tanah batak dan menyebabkan banyak sekali penduduk meninggal dunia (SHW Sianipar. DL, Tuho Parngoluan Dalihan Natolu Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, 1991). Barang kali dengan latar belakang peristiwa inilah, maka orang batak senatiasa mendambakan dan mendoakan hendaknya mempunyai anak yang banyak. Harapan itu senantiasa diungkapkan dalam setiap pernikahan orang batak yang dalam perumpamaan batak disebutkan : “ Naung sampuli pitu jumadi sampulu ualu, maranak sapulu pitu, marboru sampulu
OMPU BONAHUTA
79
ualu” ( mempunyai putra tujuh belas dan putri delapan belas). Peristiwa besar lain yang dialami bangsa batak adalah terkait dengan serangan Paderi dari Sumatera Barat pada tahun 1886-1887. Serangan yang amat kejam ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Dengan berkedok penyebaran agama islam, mereka bersama pasukannya melakukan pembunuhan, memancung atau memutilasi orang batak, membakar kampung dan rumah, menjarah harta, memperkosa, menjual kaum perempuan untuk dijadikan budak ( Basyral Harahap, Gereget Tuanku Rao , 2007). Pembunuhan, pembakaran kampung dan penjarahan harta yang dilakukan itu, tidak pandang bulu, termasuk pada orang batak yang beragama islam. Itulah sebabnya penyerangan itu disebutkan sebagai kedok atau alasan penyebaran agama islam, tetapi sesungguhnya adalah suatu penjajahan dengan pembantaian masyarakat batak secar tidak berperikemanusiaan. Dalam peperangan itu banyak sekali orang batak dibunuh dan juga meninggal akibat penyakit kolera. Suatu penyakit yang dikala itu dinamakan orang batak sebagai “penyakit begunurnur”-, sebab pada zaman itu belum bisa diketahui mengenai penyakit apa, dan tidak bisa diobati, sehingga begitu banyak manusia dan bangkai binatang yang mati dan berserakan di mana-mana, maka penyakit itu terus mewabah dan menyebabkan sangat banyak penduduk meninggal dunia. Peperangan itu memang berlangsung relatip singkat, tidak mencapai dua tahun. Akan tetapi akibat yang ditimbulkannya begitu mengerikan, dimana hampir setengah penduduk batak meninggal dunia. Jika saja pasukan Paderi itu tidak cepat dilumpuhkan oleh pasukan Belanda dan Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Padang Lawas, serta Tuanku Imam Bonjol ditangkap tentara Belanda (Kapten Steinmis dan Letnan Arbacht), lalu diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon, hingga meninggal di Menado ( Basyral Hamidy Harahap, Ibid hlm102), maka penyerangan Paderi tersebut akan terus berlanjut dan pembunuhan orang batak akan lebih banyak lagi. Kedua peristiwa batak yang disebutkan di atas begitu dakasyat dan mengerikan, sehingga zaman itu disebut sebagai “tingki hagolapon parjolo dan tinggki hagolapan paduahon (zaman kegelapan pertama dan kedua) dan menghambat pertumbuhan penduduk batak.
Lingkup Tano Batak. Pada zaman dahulu yang dimaksud dengan Tano Batak tampaknya tidak dalam batas-batas wilayah seperti kabupaten dan kota sesuai ketentuan admintrasi negara yang ditetapkan pemerintah Indonesia seperti saat ini. SHW Sianipar dalam bukunya
80
OMPU BONAHUTA
mengatakan Tano Batak adalah seluruh wilayah yang dihuni keturunan tiga anak Mangaraja Bongaran yaitu Ompu Tuan Doli, Mangaraja Sumba, dan Ompu Tuan Mangalas. Menurutnya wilayah itu jika dipetakan saat ini, meliputi daerah : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi. ( SHW Sianipar, ibid ). Akan tetapi kebenaran itu tentunya patut diuji dengan penelitian yang seksama sebab faktanya di setiap daerah itu mempunyai penduduk asli yang bukan suku batak.Manurut data ( Arisananta,Tahun 2000) , di Aceh penduduk aslinya adalah suku Aceh, suku Gayo Lut, suku Gayo Luwes, suku Alas, suku Singkil, suku Simeuleu. Masyarakat batak yang bermukim di daerah itu hanya sekitar 39.146 jiwa atau sebesar 2,26 persen dari total penduduk daerah itu. Sedangkan di Sumatera Barat, penduduk aslinya adalah Minangkabau. Jumlah masyarakat batak yang bermukim disana hanya 4,42 persen dari jumlah penduduk daerah itu. Sementara itu, di Riau jumlah masyarakat batak yang menetap bermukim disana hanya sebesar 7,31 persen dari jumlah penduduk daerah itu. Sedangkan di Jambi dengan jumlah penduduk sebanyak 2.405.378 jiwa, lebih dominan dihuni masyarakat Melayu, Kerinci, Minangkabau, dan Banjar. Dengan mengacu pada data kependudukan tersebut, maka tampak jelas, bahwa masyarakat batak di tiap daerah itu merupakan suku minoritas. Bahkan di Jambi, orang batak hampir tak masuk hitungan statistik.( Aris Ananta, dkk, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama, Dalam Era Perubahan Politik, LP 3 ES, 2003). Dengan demikian, daerah batak seperti yang disebutkan Sianipar tersebut di atas tampaknya tidak relevan sebagai tano batak, kecuali daerah sebagian Sumatera Utara dimana saat ini seluas 51 persen merupakan daerah pemukiman komunitas batak. Sementara itu terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa Tano Batak adalah meliputi tiga daerah yaitu : (1) Wilayah Selatan dan Barat Daya Danau Toba. Daerah itu dinamakan Toba. Belanda menyebutnya sebagai pusat tanah batak (Centraal Batak Land). (2) Daerah di sebelah Barat Laut Danau Toba. Daerah ini adalah dataran dan lereng-lereng gunung yang menjorok ke arah Danau Toba. Disana, kini bermukim Batak Karo dan Batak Simalungun. (3) Daerah Angkola, dan Padang Lawas, berbatasan dengan daerah Sumatera Barat. ( Lance Castles, The Political Life of A Sumantran Residency : Tapanuli 1915-1940.Tahun 1972). Gambaran daerah batak dimaksud dapat dilihat seperti tertera dalam peta berikut ini :
OMPU BONAHUTA
81
Sumber : Prof. Dr Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, 1981
Jika di amati, apa yang dikatakan Castles tersebut menunjukkan tano batak cenderung menurut presfektif paska meletusnya Gunung Toba. Letusan Gunung Toba itu begitu daksyat. Menurut para ahli terjadinya Danau Toba adalah akibat meletusnya gunung Toba itu. Dengan meletus gunung Toba itu, maka Tano Batak berubah seperti keadaan dalam peta wilayah tersebut di atas.
82
OMPU BONAHUTA
Bab IV
Dalihan Natolu Karya Budaya Yang Menakjubkan
M
anusia hidup menurut suatu budaya yang serasi baginya, yang pada gilirannya menciptakan suatu kaitan antar manusia yang serasi pula bagi mereka. Dengan budaya, manusia selaku manusia menjadi lebih berada ( to have more) dan tumbuh lebih luhur ( to be more) ( Daoed Joesoef, Kompas, 19 Mei 2012). Demikian pula Batak. Suku yang sejak dahulu kala telah memposisikan diri sebagai “bangso” ini menjadi lebih berada dan tumbuh lebih luhur berkat adanya suatu adat dan budaya yang beranjak dari filosofi Dalihan Natolu. Dalihan natolu adalah suatu sistem budaya yang diciptakan oleh leluhur batak berdasarkan pengalaman historisnya, dan kemudian bertumbuh dan serasi bagi kehidupan sosial dan adat masyarakat batak. Dengan sistem itulah sejak dahulu sampai kini kehidupan masyarakat batak, baik antara individu , maupun antar kelompok kerabat atau antar hula-hula, dengan boru dan dongan tubu melakukan interaksi sosial-adat yang saling terkait, saling mengasihi, dan saling membutuhkan menuju masyarakat yang beradab. Dalihan Natolu adalah sebuah ideologi dan sebuah sistem. Sebagai ideologi, ia merupakan cita-cita yang luhur bagi masyarakat batak. Sedangkan sebagai suatu sistem, maka dalihan natolu merupakan tiga unsur ( subsistem) yang saling terkait dan saling melengkapi. Tiga unsur itu ialah pertama, kelompok kerabat pemberi gadis yang menurut bahasa Puak Toba disebut Hula-hula, dan puak Angkola dan Mandailing disebut Mora, dan bahasa puak Karo disebut Kalimbubu, sedangkan bahasa puak Simalungun disebut Todong. Unsur kedua adalah kelompok kerabat penerima gadis yang dalam bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing disebut Paranak, dalam bahasa Karo disebut Anak beru dan dalam bahasa Simalungun disebut Anak boru. Unsur ketiga adalah kelompok kerabat semarga , dalam bahasa puak Toba disebut Dongan tubu atau dongan sabutuha, atau Kahanggi dalam bahasa Angkola dan Mandailing, dan Senina dalam bahasa Karo, serta Sanina dalam bahasa Simalungun ( Koentjaraningrat, Ibid, hlm 109) OMPU BONAHUTA
83
Untuk jelasnya ketiga kelompok kerabat dalam sistem dalihan natolu sebagaimana diuraikan di atas adalah seperti tabel berikut ini: UNSUR-UNSUR DALIHAN NATOLU DALAM SETIAP PUAK BATAK Puak
Subsistem 1: Semarga
Batak Toba Batak Mandiling Batak Simalungun Batak Karo Batak Pakpak
Dongan Tubu Kahanggi Sanina
Subsistem 2 : Subsistem 3: Marga asal istri, Marga asal yang ibu, nenek, dst. mengambil adek/kakak perempuan dari diri sendiri,ayah, kakek dst. Hula-hula Boru Mora Boru Tondong Boru
Sembuyak/Senima Sabeltek
Kalimbubu Kula-kula
Berru Berru
Sumber : Doangsa PL. Situmeang, Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Sumber : Doangsa PL. Situmeang, Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, 2007. Toba, 2007. Unsur Hula-hula ( horong ni hula-hula) adalah adalah meliputi meliputi : Hula-hula tangkas, Hula-hula Unsur Hula-hula ( horong ni hula-hula) : Hula-hula tangkas, namarhaha maranggi, Hula-hula anak manjae. Di atas level hula-hula dinamakan Tulang, Hula-hula namarhaha maranggi, Hula-hula anak manjae. Di atas level hula-hula Bona tulang, Bona ni ari, dan Matani ari binsar.
dinamakan Tulang, Bona tulang, Bona ni ari, dan Matani ari binsar.
Sedangkan unsur Boru, adalah meliputi : (1) Amang Boru yaitu marga yang mengambil Sedangkan unsur ayah. Boru, (2) adalah meliputi : (1)laki-laki Amang( Boru kakak/adek perempuan Hela yaitu mantu suamiyaitu dari marga putri ) yang kita mengambil kakak/adek Hela yaitu mantu dari sendiri. (3) Boru naposo, perempuan yaitu marga ayah. yang (2) mengambil putri kita laki-laki . (4) Boru( suami natua-tua yaitu )marga yang mengambil kakek. Disebut borumengambil natua-tua sebab putri kita sendiri. (3) Borukakak/adek naposo, yaitu marga yang putrimereka kita . sudah berada di atas yaitu level namboro/amang boru. (4) Boru natua-tua marga yang mengambil kakak/adek kakek. Disebut boru
natua-tua mereka berada dalam di atasbeberapa level namboro/amang boru. Sedangkan, sebab jika suatu margasudah berturut-turut generasi mengambil istri dari
marga tertentu, misalnya marga Tambun yang mengambil istri Pinta Haomasan boru Sedangkan, jika suatu marga berturut-turut dalam beberapa generasi mengambil Manurung ( putri Toga Manurung), lalu lima generasi berikutnya berturut-turut istri dari marga tertentu, dan misalnya marga Tambun istri Pinta mengambil boru Manurung hal yang relatip sama yang yaitu mengambil Raja Turi (Simatupang Haomasan borumengambil Manurungistri ( putri Toga Manurung), lalu( putri limaToga generasi berikutnya Sianturi) yang Anian Nauli br Manurung Manurung) dan tiga generasi berikutnya berturut-turut mengambil maka kepada berturut-turut mengambil boru Manurung dan halboru yangManurung, relatip sama yaitu Raja keturunan mereka dikategorikan sebagai ianangkon ( menjadi seperti anak kandung) Turi (Simatupang Sianturi) yang mengambil istri Anian Nauli br Manurung ( putri Manurung. Dengan kejadian kekerabatan seperti ini, maka baik Tambun (an)- bahkan Toga dan tiga generasi berturut-turut boru semuaManurung) keturunan Silahi Sabungandan berikutnya Sianturi akan selalu memanggilmengambil paman (tulang) kepada margamaka Manurung. marga Manurung akan selalusebagai memanggil Amang ( Manurung, kepadaSebaliknya keturunan mereka dikategorikan ianangkon Boru kepada Silahi Sabungan dan Manurung. kepada Sianturi. Keadaan seperti ini juga adaseperti pada menjadi seperti anak kandung) Dengan kejadian kekerabatan marga-marga lain dalam masyarakat batak.
ini, maka baik Tambun (an)- bahkan semua keturunan Silahi Sabungan- dan Sianturi Unsur ketiga dalam Dalihan Natolu adalah Dongan tubu. Kelompok kerabat ini adalah kerabat yang semarga. Dalam kekerabatan ini orang batak menghitung hubungan keturunan secara patrilineal. Artinya satu kelompok kerabat dihitung atas dasar satu (saripe), satu ayah (saama), satu nenek moyang (saompu) (Koentjaraningrat, OMPU BONAHUTA 84keluarga Ibid, hlm 106).
akan selalu memanggil paman (tulang) kepada marga Manurung. Sebaliknya marga Manurung akan selalu memanggil Amang Boru kepada Silahi Sabungan dan kepada Sianturi. Keadaan seperti ini juga ada pada marga-marga lain dalam masyarakat batak. Unsur ketiga dalam Dalihan Natolu adalah Dongan tubu. Kelompok kerabat ini adalah kerabat yang semarga. Dalam kekerabatan ini orang batak menghitung hubungan keturunan secara patrilineal. Artinya satu kelompok kerabat dihitung atas dasar satu keluarga (saripe), satu ayah (saama), satu nenek moyang (saompu) (Koentjaraningrat, Ibid, hlm 106). Saompu adalah kelompok kerabat yang disebut klen kecil ( minimal clan). Jika telah berpuluh klen dalam satu marga, maka disebut dongan tubu. Dengan demikian kelompok kerabat semarga ini dapat dibagi dua kelompok. Kelompok semarga dalam minimal klen (semarga yang masih kerabat dekat) dikategorikan sebagai kerabat namarhaha-maranggi. Jika sudah lebih luas dari kategori namarhahamaranggi, maka disebut kerabat namardongan tubu. Keseluruhan namarhahamaranggi dan namardongan tubu itulah tersusun dalam bentuk topologi graf silsilah marga-marga batak sebagai berikut ini:
Gambar 2 Topologi graf silsilah marga-marga batak dengan pusat Si Radja Batak (sumber: Situngkir, 2008).
OMPU BONAHUTA
85
Sistem Dalihan Natolu. Sebagaiman telah disinggung dalam uraian di atas, Dalihan Natolu adalah suatu sistem. Sebagai sitem, maka subsistem yang satu dengan subsistem yang lain mempunyai hubungan yang saling terkait, saling menunjang , dan saling membutuhkan untuk mencapai masyarakat yang beradat dan berbudaya. Setiap subsistem tersebut berkedudukan sama. Layaknya seperti tungku yang berdiri sama tinggi, dan dengan jarak yang sama. Kedudukan ketiga subsistem itu hanya dibedakan oleh tugas dan fungsinya. Namun tujuannya adalah sama yakni untuk mencapai kegiatan sosial dan adat tertentu untuk terselenggara dengan baik. Salah satu keunikan dan sekaligus merupakan kelebihan nilai sistem Dalihan Natolu adalah kedudukan tiap subsistem (unsur kelompok kekerabatan) sebagaimana diuraikan di atas tidaklah permanen (tidak tetap), melainkan felksibel dan bersirkulasi, sehingga seorang atau marga tertentu, dalam suatu waktu atau dalam kegiatan adat tertentu dapat berkedudukan sebagai Hula-hula dan dapat sebagai Boru atau Bere, atau sebaliknya Hula-hula tadi menjadi Boru dan Boru tadi menjadi Hula-hula. Hal itu terjadi sebagai konsekwensi pernikahan yang dialami oleh hampir semua orang, dan mengakibatkan tiap individu atau marga mengalami sirkulasi posisi Hula-hula atau Boru, maka kedudukan itu, tergantung pada realitas pernikahan seseorang , diri sendiri, anak, ayah dan kakek. Sehingga untuk melihat posisi kelompok kerabat hula-hula itu adalah marga asal istri , marga asal istri anak, marga asal ibu, dan marga asal nenek. Dalam keadaan seperti ini kelompok kerabat diri/anak/ayah/kakek kita adalah posisi boru. Sebaliknya, jika diri/anak/ayah/kakek dalam posisi kelompok kerabat hula-hula, maka ancuannya adalah dengan melihat marga suami dari pada anak/adek/kakak perempuan/bibi kita. (Situngkir, Dalihan Natolu ke Makro Sosial, 2008)
Perilaku Menurut Dalihan Natolu. Menurut Dalihan Natolu, perilaku sosial-adat Boru terhadap Hula-hula, Tulang, Bona tulang, Tulang robobot, Hula-hula Anak manjae, dan Hula-hula Namarhaha-maranggi harus senantiasa hormat ( “somba marhula-hula”). Perilaku sosial-adat batak seperti itu dilakukan, sebab terdapat pandangan atau keyakinan batak, bahwa jika perilaku sosial-adat yang demikian dipraktikkan, maka pihak boru akan menerima berkat (pasu-pasu) yang berlimpah dari Tuhan. Leluhur orang batak mengamanahkan , bahwa posisi Hula-hula adalah bak Tuhan yang kelihatan (Debata na ni ida), maka terhadap mereka senatiasa
86
OMPU BONAHUTA
harus “dihormati dan diistimewakan”. Misalnya, dalam soal tempat duduk, kepada Hula-hula senantiasa disediakan tempat yang lebih nyaman. Tempat duduk yang lebih nyaman itu, jika di dalam rumah dinamakan Halangulu . Sedangkan jika kalau dalam ruang terbuka, seperti di halaman rumah atau di gedung pertemuan besar, pemahaman nyaman itu diterjemahkan di sebelah kanan tempat duduk pihak boru. Posisi kedudukan hula-hula yang seperti itu, dalam perumpamaan batak diungkapkan: ”Hula-hula, bona ni ari, tinongos ni Debata Mulajadi Nabolon. Sisubuton doi marulak loni, sisombaon ni rim ni tahi. Nidurung ma situma, laos dapot pora-pora. Molo mamasu-masu hula-hula, napogos hian gabe mamora. Obuk do jambulan, na ni dadan bahen samara, pasu-pasu ni hula-hula, pitu sundut soada mara. Artinya, : “ Hula-hula dipandang bak matahari yang memberikan energi , dan merupakan wakil Tuhan. Mereka senantiasa dihormati, dan diharapkaan memberkati, agar yang semula miskin menjadi kaya. Kalau hula-hula memberkati, maka diyakini beberapa generasi boru tiada mara bahaya”. Itulah sebabnya doa restu atau nasehat kerabat hula-hula, tulang dan level di atasnya selalu diharapkan. Harapan doa restu kepada hula-hula itu meliputi hagabeon (banyak keturunan), hamoraon ( kekayaan), dan hasangapon (kehormatan). Adanya sikap dan perilaku adat yang demikian adalah karena Hula-hula sebagai “pemberi” istri dipandang telah nyata memberikan keturunan bagi marga boru. Oleh karena itu, maka dalam melakukan interaksi sosial dan adat dengan Hula-hula pantang hukumnya berkonflik, apalagi “angkat senjata” ( Doangsa PL Situmeang, Ibid, hlm 106). Sebaliknya perilaku sosial dan adat pihak Hula-hula kepada pihak kerabat Boru harus mengayomi dan panjang sabar. Janganlah mentang-mentang kedudukannya sebagai Hula-hula dan dihormati, lalu bertindak sesuka hatinya kepada pihak boru. Dalam terminologi adat batak sikap dan tindakan yang demikian disebut “ elek marboru”. Harus diingat, posisi Boru dalam sitem Dalihan Natolu bukanlah sebagai subordinasi atau berada dibawah Hula-hula. Dalam struktur dalihan natolu sesungguhnya antara kerabat Hula-hula dengan kerabat Boru dan kerabat Dongan tubu mempunyai posisi yang sama, hanya tugas dan fungsi yang berbeda. Kerabat boru adalah salah satu pilar Dalihan natolu dan merupakan faktor menentukan
OMPU BONAHUTA
87
terhadap kesuksesan pelaksanaan kegiatan sosial- adat batak. Malah dalam adat batak pihak boru ini diharapkan sebagai penyumbang materi yang disebut “tumpak” dan atau tenaga yang disebut “gogo”. Itulah sebabnya dalam budaya batak posisi mereka dinamakan “ raja ni boru ” dan oleh karena itu sebutan boru sebagai “parhobas” adalah dalam rangka tugas dan fungsi dan suatu kehormatan. Bukan dalam arti “pelayan” yang dapat disuruh-suruh begitu saja. Mengharapkan mereka untuk melakukan tugasnya sebagai parhobas, haruslah dengan sapaan yang hormat dan santun dengan menyebut : “raja ni parboruon nami”. Harus di ingat, jika seorang dalam kedudukannya sebagai boru melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, maka ia akan dihormati dan di sebut sebagai “ boru paradat, jala naburju” ( boru yang baik hati dan taat adat ). Sebaliknya jika tidak melaksanakannya dengan baik, maka akan disebut orang sombong dan tinggi hati. Sementara itu, perilaku sosial-adat dalam masyarakat batak yang semarga berlaku sikap dan tindakan “manat mardongan tubu ”. Arti “manat” yakni harus berhati-hati (arif dan bijaksana) dalam menyampaikan perkataan dan apalagi tindakan atau perbuatan terhadap kerabat semarga. Ucapan dan tindakan dari seseorang terhadap yang lain janganlah sampai berujung pada perselisihan (konflik). Perbedaan pendapat tentu saja lumrah, tetapi harus senantisa diingat jangan sampai berujung pada “keretakan hubungan sosial-adat”. Masyarakat batak yang semarga ini sering dianalogikan bak pohon yang tumbuh berdekatan, jika ditiup angin bisa bersentuhan atau saling bergesekan. Dengan sikap yang “manat”(hati-hati), maka hubungan sosial akan berlangsung dengan saling menghormati, dan tidak memposisikan diri lebih tinggi dari pada yang lain. Hormat, dalam perkataan, dan apalagi dalam perbuatan adalah kata kunci “manat” dimaksud. Dalam perumpamaan batak diungkapkan: “ Gala-gala si telluk, telluk mardagul-dagul . Molo tung adong nageduk , nanget masiapul-apulan “. Atau dalam bahasa lain diungkapkan “ It takes charakter to disagree graciously. It takes educatiaon to figt ideas . Dibutuhkan karakter untuk menyatakan ketidak setujuan dengan santun. Dibutuhkan pendidikan untuk melawan ide dengan ide. Demikianlah masyarakat batak jika yang semarga (namarhaha-maranggi/ mardongan tubu) berinteraksi atau berkomunikasi.
Dalihan Natolu Bagai Trias Politika. Telah diuraikan dalam tulisan di atas, bahwa orang batak hidup dalam sebuah fundamen dasar yang disebut “Dalihan Natolu” dengan tiga unsur yakni Hula88
OMPU BONAHUTA
hula, Boru dan Dongan tubu, yang menghidupi tata mikro-sosial individu dalam interaksinya dengan orang batak lainnya, serta mengharuskan sikap dan perbuatan somba marhula-hula , elek marboru dan manat mardongan tubu. Tiga aturan ini menjadi landasan tata krama, sopan santun, hingga formalitas adat istiadat suku batak. Mengutip pendapat Situngkir yang disampaikannya pada penulisan buku ini mengatakan, jika dilihat dari sisi sitem politik, maka tiga unsur dalihan na tolu itu menjadi semacam “trias politika” dalam sistem kenegaraan. Hula-hula merupakan analogi Legislatif, Boru analogi Eksekutif dan Dongan Tubu adalah analogi Yudikatif. Semua perilaku administarasi, sapaan dalam ucapan, dan sebagainya, mengacu pada etika tiga aturan unsur Dalihan natolu itu. Melanggar salah satu unsur itu akan berakibat tata laksana sosial, adat dan budaya batak menjadi timpang, dan keseimbangan ketiga unsur dalam sistem Dalihan natolu akan terganggu. Secara sederhana, tiga pihak dengan posisi mikro-sosial ini memiliki kemiripan dengan tiga posisi makro Trias Politika-nya Montesqieu, seperti diuangkapkan dalam skema berikut ini “
Fungsi-fungsi tiga posisi individu dalam Dalihan Natolu dalam alur fungsional trias politika.
Latar Belakang Timbulnya Dalihan Natolu. Dalam uraian di atas telah diungkapkan, budaya/ kebudayaan adalah keseluruhan kompleksistas yang diciptakan manusia dalam pengalaman historisnya. Dalihan natolu adalah budaya/kebudayaan yang diciptakan leluhur batak dengan latar belakang pengalaman historisnya. Latar belakang itu adalah terkait dengan pembagian “jambar juhut” (pembagian hak atas daging seekor babi/sapi/kerbau yang dipotong dan dihidangkan), dalam pelaksanaan pesta perpisahan Tuan Rum
OMPU BONAHUTA
89
dengan keluarga besar Sori Mangaraja ( salah seorang putra Raja Isombaon- pen.) atas penerimaan pelatihan cara bercocok tanam padi oleh Tuan Rum . ( SHW. Sianipar, Ibid, hlm 199.) Makanan tradisdional yang khas dan amat digemari masyarakat batak itu, di bagi dalam tiga bagian. Pertama, bagian dari kepala (ulu) juhut (kurban yang dipotong) .Kedua bagian leher (rukkung) dari juhut, dan ketiga bagian ekor (ihurihur) dari juhut. Tuan Rum sebagai orang yang dihormati memberi petunjuk , bahwa bagian kepala juhut adalah untuk dirinya, dengan pertimbangan dialah yang dijamu dan akan berpisah dengan kerabat Sori Mangaraja. Sedangkan bagian ekor juhut merupakan hak atau bagian keluarga Sori Mangaraja, sebab merekalah yang punya hajatan (Suhut/Hasuhoton ). Kemudian bagian leher juhut (rungkung) adalah untuk juru masak (parhobas) yakni kerabat saudara perempuan Sori Mangaraja . Pembagian juhut itulah yang kemudian menjadi cikal bakal rumusan “Dalihan natolu” . Sementara itu, dalam pelaksanaan jamuan makan itu ,masih ada sekelompok orang yang belum mendapat bagian (jambar) juhut. Kelompok ini sangat aktif dan berperan untuk mensukseskan pelaksanaan jamuan makan dimaksud. Mereka itu adalah rekan sekampung. Dalam bahasa puak Batak Toba kelompok masyarakat ini dinamakan “Dongan sahuta”. Peran unsur Dongan sahuta ini bak “pembantu umum” dalam suatu organisasi moderen dengan tugas dan fungsi untuk menunjang pelakasanaan hajatan atau menjadi patner kerjasama yang penyelenggara hajatan ( hasuhuton bolon) . Persoalannya, dalam pembagian juhut tadi, mereka belum mendapat bagian. Oleh sebab itu, maka Sori Mangaraja meminta petujuk pada Tuan Rum, apa yang selayaknya yang diberikan kepada Dongan sahuta tersebut. Petunjuk Tuan Rum pada Sori Mangaraja, bahwa dengan pertimbangan merekalah rekan sekampung dari Suhut, maka sebaiknya merekalah yang memberikan sebagian dari jambarjuhutnya ( sebagian dari yang diterimanya ). Sori Mangaraja pun memberikan sebagian dari “ihur-ihur” juhut itu pada mereka. Itulah cikal bikal timbulnya sebutan “sihal-sihal “ dalam dalihan natolu atau yang disebut dengan “ dalihan natolu paopat sihal-sihal’’ ( tiga unsur dalihan natolu, ditambah satu unsur sihal-sihal ). Arti sihal-sihal adalah sihol-sihol (kerinduan) yang dimaknai sebagai tambahan diluar pembagian pokok “jambar juhut ” yang sudah dibagikan.
90
OMPU BONAHUTA
Sementara itu, dalam perkembangan kehidupan sosial dan adat batak, terbentuk suatu forum pertemuan yang disebut “Partukoan”. Forum ini kali pertama diadakan di Samon. Sebuah tempat/ daerah di kaki Gunung Toba yang di huni oleh keturunan Ompu Tuan Doli, Mangaraja Sumba, dan Ompu Tuan Mangalas. Tuan Rum setelah berpisah dari Tuan Sori Mangaraja pergi menjumpai Guru Tatea Bulan ( salah satu anak Siraja Batak-pen-). Disana ia mensosialisasikan adat (kebisaan yang berlaku) yang berakar dari Dalihan natolu seperti yang sudah ditemukannya dengan Sori Mangaraja . Dalam forum Partukoan pertama di Samon itu menghasilkan keputusan tiga hal pokok yaitu (1). Ruhut-ruhut (tatalaksana) adat dalihan Natolu. (2) Poda (kebijakansanaan) mengenai sanksi hukum atas pelanggaran adat (3) Tata cara pelakasanaan suatu perjanjian ( Pangalaho ni Padan). Bersumber dari praktik tiga hal pokok ketentuan itu, diambil kesimpulan bahwa dalam setiap pelaksanaan adat senantisa terdapat kelompok-kelopok kerabat yang dinamakan; Suhut/Hasuhuton, Hula-hula, Boru . Ketiga unsur itulah , kemudian dirumuskan menjadi Dalihan natolu seperti diuraikan di atas. Namun, ada pendapat lain. Pendapat itu mengatakan, bahwa Dalihan natolu bersumber dari kata “ tungku dan tiga” dengan analogi “ tungku masak” atau dalam bahasa batak puak toba dinaman dalihan atau tataring. Benda ini terdiri dari tiga batu atau tungku yang posisinya sama jarak dan sama tinggi. Dalihan tempat memasak inilah dipandang sebagai analogi struktur sosial ( social structur) masyarakat batak yang meliputi tiga unsur kelompok kerabat seperti yang telah diuraikan di atas. Tiap-tiap tungku itu, merupakan gambaran tiap kelompok kerabat dimana satu dengan yang lain mempunyai fungsi dan peran masing-masing, tetapi tetap setara , saling terkait, saling mendukung, berinteraksi secara demokrais dan terbuka untuk merencanakan dan melaksanakan suatu kegiatan tertentu untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban sosial, adat dan budaya secara turun temurun. Apa yang tampak dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sistem dalihan natolu adalah sebuah hasil karya budaya batak yang sangat “menakjubkan”, dan yang telah berabad-abad hidup dan terpelihara dalam kegiatan sosial-adat batak. Dirumuskan secara cerdas, dengan visi sangat jauh kemasa depan oleh leluhurnya dan dipraktikan dari zaman ke zaman. Suatu hasil karya budaya yang dapat
OMPU BONAHUTA
91
disebut sebagai ideologi bangso batak . Suatu ideologi dalam pengertian “satu set nilai, cita-cita mulia yang menjadi acuan dan pegangan hidup yang diperjuangkan secara militan secara individu dan kolektif sebagai warga bangsa”. ( Komaruddin Hidayat, Kompas, 2 Mei 2011). Sangat diyakini dengan ideologi Dalihan Natolu inilah masyarakat batak sejak dahulu kala , kini dan kemasa depan akan eksis sebagai “bangso” yang berperadaban tinggi dan dapat sejajar atau bahkan melebihi suku-suku bangsa lain. Dengan ideologi dalihan natolu ini pula “bangso batak” berperikehidupan secara damai, saling terkait, saling membutuhkan, tolong menolong dalam suka dan duka.
92
OMPU BONAHUTA
Bab V
Marga Dalam Suku Batak
M
arga dan silsilah adalah dua hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial, adat dan budaya batak sebab dalam kekerabatan batak meliputi kelompok kerabat kecil yang disebut saripe (satu kepala keluarga) dan saama ( satu ayah). Lebih besar dari itu disebut saompu ( satu kakek atau satu leluhur) atau samarga (satu klan). Suatu kebiasaan dalam kehidupan sosial batak senantiasa ingin mengetahui posisinya dalam satu marga dengan melihat bagaimana silsilahnya. Sementara itu, bagi yang tidak mengetahui marga dan silsilahnya, dianggap sebagai batak kesasar ( jolma nalilu). Oleh karena itu, setiap orang batak harus mengetahui marganya, leluhurnya dan dongan tubunya (kerabat semarga). Hal itu dilakukan untuk dapat mengetahui hubungan kekerabatan (partordingni partututuron) dalam suatu klan atau marga ( Budaya Batak, Wipedia, Ibid) Kekerabatan batak menyangkut hubungan antar orang dalam kehidupan sosial, adat dan budaya. Bagi suku batak ada dua bentuk kekerabatan yakni : (i) Kekerabatan berdasarkan garis keturunan (geologi). Hal ini mengacu pada marga. (ii) Kekerabatan berdasarkan sosologi yaitu suatu kekerabatan yang timbul sebagai hasil suatu perjanjian (padan) antar marga atau karena akibat perkawinan. ( Badaya Batak, Wipedia, Ibid). Sebagai contoh, marga Manurung dengan marga Simamora Debata Raja oleh karena sesuatu hal antara Tuan Sogar Manurung ( salah satu anak Raja Huta Gurgur Manurung) dengan lelehuhur Simamora Debata Raja, membuat perjanjian (padan) menjadi kakak beradek, hinggga keturunan kedua marga ini sampai sekarang tetap berkelanjutan (konsisten) mematuhi perjanjian tak tertulis (padan) tersebut. Marga adalah suatu nama besar seseorang yang tercantum dibelakang nama kecilnya dan digunakan secara turun temurun hingga menjadi suatu identitas kelompok tertentu dalam suatu komunitas masyarakat. “Batak yang sejati”
OMPU BONAHUTA
93
senantiasa mencantumkan nama marga tersebut dibelakang nama kecilnya. Memang dalam akhir-akhir ini ada masyarakat batak yang tidak mencantumkan marganya, tetapi hal itu hanya sebagian kecil. Orang batak yang berperilaku seperti itu, umumnya yang bermukim di perkotaan atau di perantauan. Oleh karena kepentingan tertentu, misalnya kepentingan politik atau agama, maka ia “menyembunyikan” marganya. Namun, pada dasarnya jika ia adalah orang batak, maka akan selalu mencantumkan dan bangga atas marganya. Sumber nama marga ada dua hal. Pertama, bersumber dari nama leluhur yang menjadi pencetus marga itu. Marga Manurung misalnya, pertama kali dicetuskan oleh Toga Manurung dengan kerajaan yang berpusat di Sibisa, Toba, Sumatera Utara. Dialah yang pertama sekali menggunakan marga Manurung. Setelah itu, anaknya Raja Hutagurgur Manurung, Raja Hutagaol Manurung dan Raja Simanoroni Manurung, berikut keturunannya terus menggunakan marga Manurung. Sumber marga yang kedua adalah dengan menggunakan nama kampungnya. Kampung dalam bahasa batak toba disebut Huta, Lumban, dan Banjar. Dalam perkembangan marga-marga batak, cukup banyak masyarakat batak yang mengunakan nama huta/lumban/banjar menjadi nama marga. Contohnya marga ; Hutajulu, Hutagalung, Hutabarat, Hutapea, Hutahayan, Hutagaol, Lumban Tobing, Lumban Gaol, Lumban Raja, Lumban Siantar, Banjar Nahor dan lain-lain. Namun jika diteliti , nama-nama marga-marga itu pada awalnya tetap menggunakan nama leluhur pencetus pertama marga mereka. Entah apa sebabnya atau apa latar belakangnya, mereka membentuk marga baru dengan menggunakan nama kampungnya.
Timbulnya Marga Batak Timbulnya marga batak dipicu oleh faktor yaitu : (1) Sebagai akibat konflik sosial antar kelompok atau antar kampung. Pada zaman dahulu kala, dimana peradaban batak masih rendah, dan terutama di zaman “Parmalim”, konflik masyarakat batak antar kampung yang satu dengan kampung lain sering terjadi. Pada masa itu begitu marak “perdukunan” dan menimbulkan dimana-mana terjadi perang antar kampung ( huta). Sampai saat ini, keadaan kampung yang menggambarkan selalu berperang tersebut masih terlihat dengan jelas. Setiap kampung sekelilingnya dibentengi tembok yang terbuat dari tanah (parik) dan ditanami pohon bambu berduri ( bulu duri) dengan tujuan sebagai benteng pertahanan atas serangan
94
OMPU BONAHUTA
musuh. Dengan berlansungnya permusuhan masyarakat antar kampung yang demikian, maka membentuk identitas kelompok yang dinamakan marga. (2) Faktor penyebab kedua adalah karena terjadi perselisihan semarga, atau karena didorong keiinginan untuk secara mandiri melaksanakan adat, lalu membentuk marga baru dengan menggunakan nama kakek atau nama kampungny ( SHW. Sianipar, Ibid, hlm 199). Dahulu kala, dan bahkan sampai dewasa ini, realitas marga-marga batak mengalami perpecahan yang disebabkan sebagaimana di sebutkan di atas. Cotohcontoh pengembangan atau perpecahan marga itu antara lain seperti : (i) Pane adalah turunan dari marga Sitorus, (ii) Siburian, Sianturi, Toga Torop merupakan turunan marga Simatupang. (iii) Nababan, Silaban, Lumban Toruan, adalah turunan marga Sihombing. (iv) Lumban Batu dan Lumban Gaol adalah turunan marga Toga Marbun. Tentu saja masih banyak lagi marga-marga batak yang mengembangkan marga seperti itu. Sebaliknya, terdapat marga yang tidak mau melakukan pengembangan dari marga induknya. Contohnya, marga Manurung hingga kini masih tetap teguh (konsisten), tidak membentuk marga baru atau melakukan pengembangan dari marga Manurung. Leluhur marga Manurung (Toga Manurung), telah memiliki visi dan kearifan yang jauh kedepan. Rupanya ia sudah memprediksi akan terjadinya perpecahan marga-marga batak, maka semasa hidupnya telah mengamanahkan kearifan yang luar biasa dengan mengatakan : ” Manurung sipolin-polin, sisada anak, sisada boru, sisada jambar, sisada tortor dan sisada urdot “. Kearifan yang sangat filosofis ini, dipahami keturunannya sebagai berikut. “Sipolin-polin” artinya hanya satu, murni atau tulen. Sementara itu “si sada anak, dan si sada boru”, adalah sikap dan tindakan kasih sayang yang sama terhadap semua atau setiap anak (ianangkon ni) Manurung. Dengan kata lain, setiap ianangkon ni Manurung hendaknya diberlakukan sebagai anak kandung sendiri. Sedangkan “si sada jambar, sisada tortor dan sisada urdot”, bahwa keseluruhan masyarakat marga manurung, dalam kehidupan sosial,adat dan budayanya hendaknya seiring dan sejalan, bak sejumlah orang yang sedang menari (manortor), dimana satu dengan yang lain satu gerak ( saurdot). Dengan adanya sikap dan pandangan yang demikian, maka bagi marga Manurung adalah tabu jika “martarombo” (saling bertanya atas tali persaudaraan) menanyakan apakah berasal dari keturunan (pomparan) Raja Hutagugur, Raja
OMPU BONAHUTA
95
Hutagaol dan Raja Simanoroni. Oleh karena itu, dianjurkan , jika martarombo hendaknya mengenalkan diri dengan menyebut keturunanan sihahaan, atau sibitonga, ataupun siampudan. Maksud dan tujuannya agar tidak ada peluang timbulnya marga baru .
Makna Marga Ada sebagian kecil masyarakat batak yang “menyembunyikan” marganya. Umumnya orang batak yang seperti ini, adalah orang-orang batak di perantauan yang mengalami kehilangan identitas, atau karena ada maksud dan tujuan lain. Namun orang yang menyembunyikan marga tersebut sesungguhnya bak burung unta yang menyembunyikan kepalanya kedalam pasir. Marga dalam masyarakat Batak, tentu mempunyai makna yang penting. Makna itu antara lain: (i). Dengan adanya marga, seseorang dapat diketahui kedudukannya apakah sebagai unsur Hula-hula, Dongan tubu, Boru, Tulang, Bona tulang, Bona ni ari, Tulang bao (Robobot), Bere, dan Ibebere. Artinya dengan adanya marga, maka hubungan kekerabatan dalam sistem Dalihan natolu pun akan diketahui dengan jelas, dan sebaliknya jika tidak ada marga, maka sistem daliahan natolu itu pun akan hilang. Dengan kata lain dengan adanya marga itu, maka hubungan kekerabatan (partordingni partuturon) dapat diketahui secara jelas dalam pelaksanaan kegiatan sosial-adat batak. (ii). Makna lain, bahwa marga merupakan suatu perhimpunan dalam rangka kegiatan sosial dan adat bersama yang saling membantu dengan tenaga yang disebut ”gogo” dan sumbangan material yang disebut “tumpak, dan gugu”. (iii). Dengan adanya marga, maka akan dapat dicegah perkawinan sedarah atau semarga, sebab menurut adat batak, haram hukumnya jika terjadi pernikahan semarga. Hingga saat ini hukum itu masih berlaku efektif dan konsisten. Jika dilanggar akan menerima sanksi sosial berupa pengucilan dari marga itu. Sanksi sosial ini dapat dipahami sebab apabila ketentuan itu tidak berlaku efektif , maka dengan sendirinya Dalihan natolu akan sirna.
96
OMPU BONAHUTA
Bab VI
Huta dan Ruma Batak
H
uta dan Ruma Batak adalah dua hasil karya budaya yang menjadi kebanggaan dan sekaligus identitas batak. Dari dahulu kala sampai saat ini, nama kampung di tano batak masih disebut huta, lumban dan sosor, banjar. Lebih tinggi dari itu dinamakan bius. Namun, bius dewasa ini atau setelah adanya pengaturan sistem administrasi di daerah, maka nama itu telah dihapus dan diganti dengan nama desa.
Pengertian Huta Huta adalah sebuah tempat pemukiman yang dihuni beberapa keluarga yang berasal dari satu marga (klen). Itulah sebabnya, maka di tanah batak banyak kita temukan nama-nama kampung dengan menggunakan nama marga, seperti Lumban Manurung, Lumban Sirait, Lumban Sitorus, Lumban Butar-Butar dan lain-lain. Namun, dalam perkembangan berikutnya penghuni suatu kampung tidak lagi terbatas oleh satu marga, tetapi juga telah dihuni oleh marga lain selain marga pendiri kampung tersebut . Perubahan itu terjadi, karena sejak dahulu orang batak sangat sayang pada putrinya, sehingga setelah menikah, dia bersama suaminya memilih untuk tetap tinggal di kampung halaman ayahnya, yang disebut dengan “hela sonduhan”. Kemudian mereka secara turun temurun bermukim di kampung itu. Kebijakan itu dilakukan oleh orang batak, sejalan dengan salah satu filosofi Dalihan natolu yang menyebutkan hendaknya ”elek marboru”. Sementara itu, kehadiran boru pun diharapkan untuk memberikan sumbangsihnya baik yang bersifat immaterial (tenaga/ parhobas) maupun yang material (tumpak) dalam pelaksanaan pesta adat hula-hula.
Syarat Mendirikan Kampung (Huta) Dahulu, mendirikan kampung adalah suatu kebanggaan, dan tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Mendirikan suatu kampung selain sebagai suatu kebanggaan dan sebagai identitas, juga berarti bermaksud menjadi seorang raja yang disebut “Raja Huta”. Oleh karena itu memiliki kampung bagi orang batak adalah suatu
OMPU BONAHUTA
97
kehormatan, maka keberadaannya harus senantiasa dijaga, dipelihara sebaik-baiknya dan dipertahankan dengan “mati-matian”. Itulah yang berlangsung dimasa lampau. Begitu pentingnya kampung bagi batak, maka syarat dan prosedur tertentu harus dilalui dengan sangat ketat. Walau seorang dengan keadaan ekonomi mapan tidaklah serta merta bisa mendirikan kampung. Selain syarat bahwa orang yang akan mendirikan kampung itu adalah sosok yang berpengaruh, dan berwibawa, maka mendirikan kampung harus memenuhi syarat tertentu dan melakukan upacara yang ditentukan untuk itu. Syarat yang harus dipenuhi itu pada masa lampau ( sebelum masuk agama kristen), adalah dengan memberi sajian, berupa sehelai ulos ragi hidup, beras secukupnya, satu buah telor, kue-kue yang dibuat dari tepung beras, serta daun-daunan yang memiliki arti atau simbol tertentu. Upacara adat itu ditujukan pada dewa tanah yang disebut boras pati ni tano. ( Koetjaraningrat, Ibid, hlm 98). Pada saat peresmian kampung juga harus dilakukan penanaman pohon beringin didepan kampung dengan maksud sebagai perlambang alam semesta. ( DL.Tobing, The structure of the Toba-Batak Belief in the High God. Amsterdam, Jacop van , Kampen, 1956). Persyaratan lain dalam mendirikan kampung (huta), harus mendapat persetujuan atau seijin kampung induknya. Untuk memberikan persetujuan itu, harus dengan permufakatan sekampung. Jika ada utang orang yang hendak mendirikan kampung , maka harus membayarnya lebih dahulu kepada kampung induk. Jumlah penghuni setiap kampung rata-rata sekitar 15 -30 rumah (kepalakeluarga). Setiap kampung dikelilingi tembok yang dibuat dari timbunan tanah. Tembok tanah itu ditanami pohon bambu dengan rapat, hingga tumbuh sangat lebat. Fungsinya adalah sebagai benteng pertahanan atas serangan “ musuh ”, pencuri atau gangguan binatang buas. Sebabnya, dahulu kala masyarakat batak sering bermusuhan dan berperang antar kampung. Konflik itu terjadi karena merebut kekuasaan dan mengidap penyakit perilaku sosial hosom, late dan toal dan adanya praktik hadatuon ( perdukunan) yang bersaing ilmu. Hosom, late, dan toal adalah suatu perilaku sosial yang suka membenci, tak bersedia disaingi, merasa paling hebat dan tidak senang kalau orang lain lebih maju dari pada dirinya. Sejak dahulu kala dan sampai saat ini masalah perilaku sosial masyarakat yang satu itu adalah faktor penghambat utama kemajuan orang batak. Ironis sekali, dimana walau agama sejak tahun 1800-an masuk ke tanah batak perilaku sosial itu tetap saja berkembang. Gereja dan Mesjid bertumbuh pesat, tetapi perilaku sosial masyarakat batak yang laten itu juga semakin tumbuh subur.
98
OMPU BONAHUTA
Agama terus mengajarkan kebaikan, tetapi tidak mampu melawan perilaku sosial masyarakat yang demikian. Anehnya, lembaga keagamaan itu pun juga terperangkap perilaku sosial late, hosom dan toal dimmaksud . Dengan kata lain orang-orang dalam lembaga keagamaan itu juga menjadi serupa dengan masyarakat umum. Mereka tetap saja menghadapi masalah late, hosom dan teal/toal, serta adanya perilaku konflik kepentingan, yang menyebabkan saling menyikut. Kembali pada hal bagaimana pentingnya kampung bagi masyarakat batak, pada masa lampau di setiap kampung selalu dibangun sebuah lembaga atau forum desa. Di Karo, Simalungun dan Mandailing forum itu dinamakan Balai Kerapatan ,dan di Toba berupa sebidang tanah daratan yang dinamakan Partungkoan. ( Koentjaraningrat, Ibid, hlm 99) Fungsinya relatip sama yakni tempat musyawarah dan mufakat atau tempat sidang-sidang atas kasus -kasus penting yang terjadi pada masyarakat kampung. Kini, lembaga yang merupakan kearifan lokal itu telah hilang, disebabkan pada masa pemerintahan orde baru atau Soeharto menyeragamkan budaya di Indonesia. Dibawah tingkatan satuan teritorial Huta adalah Lumban yaitu suatu wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang merupakan warga dari suatu bagian marga tertentu. Nama lumban di tano batak hanya ada di Toba dan keberadaannya merupakan bagian dari huta. Artinya sebuah huta adalah terdiri dari beberapa lumban. Contohnya, Huta Narumambing di Uluan adalah meliputi Lumban Martintin, Sosor , Lumban Bagasan, Sosor Dolok, Batu Naknak, Pangombusan dan Lumban Napittu. Dahulu kala seluruh lumban dan sosor ini dinamakan Huta Narumambing dibawa “harajaon’ (kerajaaan) Ompu Raja Nauli Manurung. Sampai sekarang ini seluruh Huta dan atau Lumban itu masih di huni oleh keturunan anak Ompu Raja Nauli Manurung. Sedangkan Sosor adalah berasal dari kata “manosor” yang artinya mengembangkan. Jadi Sosor adalah semacam pemukiman baru yang luasnya lebih kecil dari Huta dan didirikan karena penghuni suatu Huta telah penuh. Oleh karena itu Sosor merupakan feeder ( penunjang) terhadap Lumban dan pada saatnya sebuah Sosor bisa meningkat menjadi Lumban, jika syarat-syaratnya telah terpenuhi. Di Batak Karo, sosor ini dinamakan Barung-barung. Mangenai Bius ialah suatu wilayah yang timbul dari kesepakatan sejumlah kampung yang berdekatan dan memiliki kepentingan sama untuk melaksanakan berbagai upacara adat atau pemberian kurban pada dewa. Dalam bahasa Karo, Angkola, Simalungun, dan Pakpak, dinamakan Partahian, Urung, dan Pertupukan. (Koentjaraningrat , Ibid, hlm 98.)
OMPU BONAHUTA
99
Selain kepentingan upacara adat atau pemberian kurban, dan kumpulan masyarakat, Bius juga acap kali mengadakan pasar bersama yang kemudian berkembang menjadi Onan. Eksistensi Onan sampai saat ini masih efektif sebagai pasar tradisional. Nama Onan yang terkenal dan efektif sampai saat ini antara lain Onan Runggu di Samosir, Onan Pasar di Balige, Onan Porsea di Porsea. Di seluruh Toba dan Samosir, kegiatan Onan berlangsung enam kali dalam satu minggu yakni pada hari Senin sampai Sabtu. Masyarakat dan pedagang dapat memanfaatkannya sebagai pasar yang berdayaguna untuk pertemuan penjual dan pembeli atas berbagai mata dagangan ( komoditi) hasil pertanian dan peternakan serta bahan pokok dari desa ke desa. Bagi muda-mudi, Onan dapat berfungsi semacam tempat pertemuan jodoh atau tempat rekreasi.
Rumah Batak. Rumah Batak atau juga disebut Sibaganding Tua adalah salah satu hasil karya budaya batak yang “ mengagumkan “ dan menjadi salah satu fakta betapa peradaban batak cukup tinggi. Arsitektur dan spesifikasi teknisnya begitu kuat, khas dan unik. Terlihat megah, dan kokoh ( anti guncangan gempa), dengan daya tahan mencapai kurun waktu ratusan tahun. Bentuk rumah memanjang, dengan ukuran panjang sekitar 50 meter dan lebar sekitar 30 meter. Bagian depan dan belakang rumah berbentuk kotak dan setengah bangunan ke atas membentuk primida (segitiga), mirip dengan rumah Toraja. Dari ujung bagian depan sampai dengan belakang atap rumah membentuk busur melengkung kebawah yang dinamakan “bungkulan”.Sedangkan bagian depan dan belakang rumah, setengah bangunan berbentuk kotak dan setengah lagi ke arah atas membentuk segitiga, sehingga rumah batak ini terlihat sangat artistik dan menarik. Atap rumah batak itu dibuat dari ijuk, tersusun rapi dan padat, diikat dengan tali ijuk. Namun, akhir-khir ini sesuai perkembangan zaman, telah ada rumah batak yang menggunakan atap seng. Sedangkan dindingnya di buat dari papan dan tersusun rapi. Dibagian dinding paling bawah sekitar 1 meter vertikal ke atas, dan selanjutnya dinding tersebut membentuk kemiringan, sehingga dinding rumah tampak melebar ke bagian atas. Seluruh dinding rumah, di ukir (digorga), dengan corak dan seni batak dengan 3 (tiga) warna yaitu merah, putih dan hitam. Tiga warana ini adalah warna kesukaan masyarakat batak. Di depan rumah dipasang arca menyerupai wajah manusia. Sedangkan pada sisi kiri dan kanan bagian depan rumah dipasang arca bermentuk kepala singa. 100 OMPU BONAHUTA
Entah apa latar belakang masyarakat batak mengunakan binatang singa ini sebagai ikon rumah batak masih merupakan pertanyaan. Sebabnya, binatang yang satu itu tidak ada di Sumatera, apalagi di tanah batak, tetapi dijadikan semacam ikon di setiap rumah batak. Barang kali penggunaan ikon ini ada kaitannya dengan daerah asal leluhur batak. Rumah Batak Toba adalah rumah panggung, maka tiang-tiangnya cukup banyak dan terbuat dari kayu keras berupa pohon yang namanya Jior. Satu jenis kayu khas di tanah batak yang kualitasnya sangat baik. Sekarang pohon itu kini telah relatip habis ditebang paska kehadiran PT Inti Indorayon Utama/PT. Toba Pulp Lestari ( PT.IIU/PT.TPL), pada tahun 1980-an di tanah batak , Pangombusan, Porsea. Pohon itu dijadikan sebagai kayu gergajian dan di jual sebagai komoditi dagang oleh masyarakat dan PT.IIU/PT.TPL. Tiang-tiang rumah itu, dalam ukuran diameter tertentu dan disusun dengan jarak tertentu, lalu dihubungkan (diikat) dengan kayu gepeng yang panjangnya sekitar 3 meter dan lebar sekitar 10 Cm yang dinamakan “rancang-rancang”. Dengan rancang-rancang inilah seluruh tiang rumah menjadi suatu kesatuan yang utuh, saling menopang, dan membuat fundasi rumah sangat kokoh. Penyangga atap rumah juga seluruhnya terbuat dari kayu keras pilihan, tersusun rapi dengan jarak antara satu dengan yang lain sekitar 20 Cm. Kayu penyangga atap rumah ini dalam bahasa batak toba dinamakan Urur. Salah satu keunikan bangunan Ruma Batak adalah tidak menggunakan paku, tetapi keseluruhan elemen-elemen bangunannya diikat dengan tali ijuk dan tali rotan. Sedangkan pintu masuk rumah di buat dari depan rumah dengan tangga yang terdiri dari induk tangga dan anak tangga. Tangga itu dalam bahasa batak disiebut Balatuk. Anak tangga selalu dalam jumlah ganjil ( antar 5-7 buah) sebagai pertanda bahwa penghuni rumah itu adalah orang yang tidak pernah jadi budak atau diperbudak (hatoban) oleh orang lain. Dengan demikian, Ruma Batak ini tidak sebatas perwujudan artistik, seni dan tempat kediaman, melainkan mengandung falsafah tersendiri. Bentuk rumah yang terlihat anggun adalah perlambang atau simbol cita-cita batak yang memiliki idealisme sebagai sebuah bangsa (bangso) yang besar. Pintu masuk rumah yang mengharuskan setiap orang masuk kedalam rumah dalam posisi menunduk, mengandung arti sebagai etika dan sopan-santun, dimana setiap orang yang memasuki rumah hendaknya dengan sopan dan santun. Sedangkan ruangan tamu terbuka dan luas adalah simbol keterbukaan (transparasi) masyarakat batak. Keterbukaan itu dalam perumpamaan
OMPU BONAHUTA 101
batak toba disebut ” tedak songon indahan di balanga”. Ruma Batak ini juga memberikan gambaran, bahwa penghuni kampung itu adalah tergolong “ mapan atau kaya ” sebab dalam membangunan sebuah rumah batak relatip dengan biaya besar dan seni yang tinggi. Ruma Batak yang demikian dinamakan “ Sibaganding Tua” yaitu Ruma Gorga yang ditempati oleh orang yang dihormati atau yang dituakan. Untuk menempati rumah ini harus dengan upacara resmi yang dalam bahasa batak toba disebut “ Mangompoi “. Beda dengan rumah biasa tidak musti dengan syukuran, tetapi cukup dengan acara biasa yang disebut manuruk jabu ( acara memasuki rumah). Pasangan Ruma Batak ini ada sebuah bangunan yang dinamakan Sopo Godang. Bangunan ini berhadapan dengan Ruma Batak. Sopo Godang menghadap ke selatan dan Rumah Batak menghadap ke utara. Fungsi Sopo Godang adalah sebagai tempat barang-barang berharga dan lumbung padi. Dalam masyarakat batak, rumah diluar Ruma Batak namanya disebut Jabu. Ironisnya kini Huta dan Rumah Batak yang sangat di banggakan itu, satu persatu telah “rusak”. Banyak Huta dan Rumah Batak kini tak terpelihara lagi, “rusak dan bahkan roboh.” Faktor penyebabnya antara lain : (i) Orang batak setiap tahun terus meninggalkan kampungnya dan pindah ke perkotaan atau daerah perantauan. (ii) Masalah kemiskinan yang terus terjadi pada masyarakat batak pedesaan, dan (iii) Semakin menipisnya rasa kepemilikan atas hasil karya budaya batak, termasuk rasa kepemilikan atas Huta dan Rumah Batak. Sementara itu, di kebanyakan kampung (huta) batak, kini telah berubah dengan berdirinya bangunan model rumah dengan bangunan biasa yang dalam bahasa batak dinamakan Rumah Emper. Kalau pun masih ada Ruma Batak kini umumnya tak berpenghuni, dan rusak memprihatinkan. Mentalitas batak masa kini rupanya tidak seperti mentalitas leluhurnya di masa lampau, dan juga tidak seperti orang Toraja yang dengan bangga memelihara huta dan rumahnya sebagai hasil karya budaya yang manggumkan dan dibuat jadi ikon pariwisata nasional dan global.
102 OMPU BONAHUTA
Bab VII
Dimensi Perkawinan Menurut Adat Batak
P
erkawinan manusia adalah perwujudan cinta (kasih sayang) dua manusia dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang sejati dalam rangka mencapai kebahagiaan bersama dan memperoleh sejumlah keturunan (anakcucu) yang berkualitas dan menjadi manusia yang berguna bagi dirinya, keluarganya, masyarakat dan bangsanya serta patuh pada Tuhan. Itulah sebabnya pelaksanaan perkawinan manusia dilakukan berdasarkan adat, pemberkatan oleh lembaga keagamaan dan pencatatan sipil oleh pemerintah. Semuanya itu dilakukan, sebagai konsekwensi betapa perkawinan manusia adalah sakral dan berharga dihadapan manusia, terlebih dihadapan Tuhan.
Hakekat Perkawinan Menurut Adat Batak. Menurut adat batak perkawinan dinamakan “marhasohotan atau hot ripe”. Artinya “berhenti” sebagai status muda/i dan membentuk keluarga baru dengan hakekat atau makna perkawinan seperti diuraikan di atas. Bagi suku batak, perkawinan bukan saja merupakan perwujudan cinta-kasih atas seorang laki-laki dengan seorang perempuan, melainkan menimbulkan konsekwensi kekerabatan yang luas yaitu pembentukan hubungan kekerabatan baru antara pihak mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dalam rentang kerabat menurut “Dalihan na tolu” ( Hulahula, Dongan Tubu dan Boru). Sementara itu, perkawinan menurut adat batak selain sakral, juga berdimensi luas, serta sangat mengikat ( sulit bercerai ). Tidak seperti perkawinan menurut administrasi negara (cacatan sipil) yang dilakukan pemerintah, dapat bercerai dengan keputusan pengadilan. Namun perceraian bagi masyarakat batak yang diikat dengan hukum adat tidaklah cukup dengan keputusan pengadilan itu, tetapi harus disahkan oleh sidang adat dan menanggung akibat sosial, adat, dan ekonomi. Itulah sebabnya bagi masyarakat batak, walau sudah bercerai menurut keputusan
OMPU BONAHUTA 103
pengadilan, jika belum diikuti keputusan menurut hukum adat, maka perceraian itu belum syah dan belum tentu terjadi. Menurut hukum adat batak, perceraian itu hanya boleh dilakukan, jika disebabkan tidak punya anak, atau karena perzinahan atau pun kalau suami meninggal dunia. Sedangkan jika peceraian karena suami meninggal dunia, si perempuan tidak bisa kawin begitu saja, tetapi masih diharapkan kawin liviraat dengan salah satu kerabat suami. Kalau dia tidak bersedia, diharuskan secara resmi meminta diceraikan oleh kerabat pihak almarhum suaminya, baru bisa kawin dengan laki-laki lain diluar kerabat almarhum suaminya. Sementara itu, kalau perceraian itu disebabkan kelalaian istri, misalnya karena berjinah, maka pihak kerabat perempuan wajib mengembalikan maskawin (sinamot) yang diterimanya sebanyak dua kali lipat. Perkawinan menurut adat batak, dibagi dalam beberapa cara yaitu : (1) Kawin menu rut adat, agama dan negara.(2). Kawin lari (mangalua), dalam arti tanpa adat (3) Perkawinan leviraat yang dalam bahasa toba disebut “mangabia” artinya si perempuan kawin lagi dengan adek/kakak suaminya. (4) Perkawinan sororat. Dalam bahasa batak toba perkawinan semacam ini dikatakan “sikkat ni rere” yaitu karena suami meninggal, maka si perempuan kawin lagi dengan anak saudara almarhum suaminya. Dahulu, seorang laki-laki batak senantiasa terikat dalam memilih jodoh. Ia tidak bebas memilih perempuan lain sesuka hatinya. Perkawinan yang dianggap ideal adalah kalau dengan orang rimpal (marpariban) yaitu dengan perempuan saudara laki-laki ibunya. ( Koetjaraningrat, Ibid, hlm 115). Bila laki-laki tidak punya pariban ataupun ada tetapi tidak saling mencintai, lalu ia menikah dengan perempuan lain, maka dia bersama dengan orang tua (ayah dan ibu) laki-laki akan meminta ijin atau memohon restu kepada Tulangnya (Kakak/Adek ibunya laki-laki ). Minta ijin atau mohon doa restu pada Tulang ini dalam bahasa toba dinamakan “ patiur baba ni mual”. Prosedur itu dilakukan orang batak kepada Hula-hulanya (saudara laki-laki dari istri) agar putranya direstui menikah dengan perempuan lain dan didoakan mempunyai banyak keturunan. Adat ini hanya diterapkan pada putra sulung yang akan menikah dan tidak diharuskan lagi pada putra kedua dan seterusnya. Perkembangan kemudian, sejalan dengan pesatnya ilmu pengetahuan sosial dan budaya batak atau karena pengaruh moderenisasi, pandangan “ marboru ni tulang” (mengambil anak perempuan dari saudara ibu laki-laki ) seperti yang diuraikan di atas, tidak lagi sebagai suatu kewajiban. Dengan semakin berkembangnya ilmu kesehatan, maka pandangan yang mengatakan perkawinan dengan rimpal (boru ni
104 OMPU BONAHUTA
tulang) semakin dihindari karena dinilai sebagai suatu perkawinan yang tak berkualitas. Namun, adat atau kebiasaan memohon restu kepada Tulang ( paman) dalam rangka“ patiur baba ni mual” sebagaimana diuraikan di atas, hingga kini masih terus dipraktikkan. Maksud dan tujuannya agar persaudaraan “namar hulahula - marboru “ tetap terpilahara dengan baik. Kebiasaan itu juga di dorong oleh poda (amanah ) leluhur batak yang mengatakan, bahwa hula-hula adalah kerabat yang wajib dihormati seperti yang telah diuraikan dalam Bab lain pada buku ini.
Proses Perkawinan Sesuai Adat Batak Proses perkawinan sesuai adat batak, memerlukan proses yang panjang dan melalui prosedur yang ketat. Tatacara perkawinan itu dimulai dengan tahapan : (1) Marhorihori dinding, (2) Patua hata,(3) Marhusip, (4) Marhata sinamot, (5) Marunjuk, dan (6) Paulak une. Apabila orang tua menerima khabar dari putranya, bahwa ia sudah punya kekasih yang menjadi calon isterinya, maka tindak lanjut berikutnya, ayahnya mengutus delegasi untuk menemui perwakilan orang tua perempuan ke rumahnya atau ketemu disuatu tempat yang disepakati bersama. Tujuannya untuk memberitahukan bahwa pemuda Mr “X” sudah menjalin hubungan cinta dengan putri Mrs “Y” dan berencana untuk melangsungkan perkawinan. Pertemuan delegasi dari kedua belah pihak inilah yang disebut marhorihori dinding yang artinya suatu perundingan sangat terbatas dan bersifat rahasia tentang hubungan cinta dan rencana perkawinan Mr X dan Mrs Y. Pada masa lampau delegasi marhorihoridinding dilaksanakan oleh boru dari pihak calon mempelai laki-laki dan pihak calon mempelai perempuan. Mengapa harus melalui boru tersebut, tentu tujuannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, misalnya jika terjadinya “perundingan buntu”, dan atau terjadi kegagalan di kemudian hari, maka hal itu tidak langsung dialami oleh orang tua laki-laki dan orang tua perempuan, tetapi masih dalam tahap delegasi. Dengan kata lain hubungan putra dan putri mereka belum tersebar luas dan jika mengalami keggalan tidak menimbulkan hal-hal yang dapat memalukan pada siapa pun. Akan tetapi di masa sekarang, terutama bagi masyarakat batak di perkotaan, marhorihori dinding sudah langsung dilaksanakan orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Bahkan peserta marhorihoridinding pun sudah melibatkan kerabat dekat, dengan jumlah sebanyak lima kepala keluarga atau lebih, dan dengan acara makan bersama. Dengan kata lain acara marhorihori dinding dewasa ini telah bersifat langsung dan seperti disebut dalam perumpamaan batak “ pajumpang mata ni OMPU BONAHUTA 105
dengke tu mata ni doton” yang artinya kedua belah pihak bertemu langsung atau tidak melalui perantara lagi. Berlangsungnya perundingan langsung seperti diungkapkan di atas, maka peranan atau fungsi “domu-domu” (perantara) dalam perkawinan batak di masa lampau telah hilang. Adanya perubahan itu, memang dimungkinkan sebab hubungan anak dengan orang tua dewasa ini sudah lebih terbuka,dan demokratis. Orang tua tidak lagi ngotot untuk memaksakan keinginannya, melainkan sudah lebih terbuka dan lebih leluasa memberikan kebebasan memilih kepada putera/putrinya. Setelah selesai tahap marhorihori dinding, maka proses berikutnya adalah meningkatkan pembicaraan dari kedua calon mempelai menjadi pembicaraan orang tua kedua belah pihak. Peningkatan pembicaraan ini dinamakan Patua Hata (meminang). Dahulu patua hata ini dilakukan dengan acara tersendiri dan terbatas dilakukan oleh beberapa orang saja dari pihak kerbat laki-laki, dan tidak mengikut sertakan kaum perempuan atau istri (Doangsa PL Situmeang, Dalihan Natolu Sitem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, 2007). Namun, belakangan ini acara patua hata ini telah dilaksanakan bersamaan dengan acara marhusip. Dalam pelaksanaannya, proses awal dimulai dengan acara patua hata yang dipimpin oleh Raja Parhata masing-masing pihak. Setelah pinangan diterima pihak/kerabat pihak calon mempelai perempuan, maka acara patua hata di tutup, dan kemudian dilanjutkan dengan acara marhusip. Marhusip merupakan peningkatan marherikori dinding dan merupakan perundingan terbatas antara pihak kerabat calon mempelai laki-laki dengan pihak kerabat calon mempelai perempuan. Pelaksanaan marhusip ini boleh dilakukan di tempat mana saja dan sifatnya bersifat informal. Pelaksanaan yang demikian ini adalah marhusip dimasa lampau. Namun, kebiasaan marhusip masa lampau itu, kini telah berubah. Jumlah orang -orang yang mengikuti acara marhusip sudah diperluas atau dihadiri kerabat dongan tubu, dan boru, dari kedua pihak (paranak dan parboru). Hanya kerabat Hula-hula dan Tulang yang tidak ikut menghadirinya. Bahkan jika keadaan ekonomi orang tua laki-laki dan orang tua perempuan tergolong mapan, bisa melaksanakan acara marhusip dengan meriah. Dengan demikian kini marhusip tidak lagi bersifat terbatas dan rahasia, melainkan telah terbuka, tetapi kategori acaranya tetap saja disebutkan marhusip. Apa yang akan dirundingkan atau disepakati meliputi: (1) Besarnya mas kawin (sinamot) yang
106 OMPU BONAHUTA
akan di berikan oleh pihak orang tua calon mempelai laki-laki kepada orang tua calon mempelai perempuan, (2) Kesepakatan pesta pernikahan apakah di kampung pihak laki-laki (ditarohon jual) atau di kampung pihak peremuan (dialap jual). (3) Bentuk pesta, apakah dalam kategori sehari (ulaon sadari) atau beberapa hari (4) Jenis ternak (panjuhuti) yang akan disembeli pada pesta adat perkawinan. (5) Jumlah kepala keluarga yang akan diundang, dari masing-masing pihak. (6). Jumlah ulos herbang yang akan deberikan oleh pihak kerabat mempelai perempuan kepada pihak kerabat mempelai laki-laki. (7) Pemberian uang dari orang tua calon mempelai laki-laki dan orang tua calon mempelai perempuan kepada Hula-hula kedua pihak yang disebut upa tulang dan todoan. Semua hal itu sudah jelas dan final disepakati pada saat marhusip, sehingga dalam acara marhata sinamot boleh dikatakan tinggal finalisasi saja dan disaksikan oleh pihak kerabat Hula-hula dan Tulang. Dengan demikian bedanya dengan acara marhata sinamot hanya terletak pada keikut sertaan kerabat hulahula dan tulang, serta tatacaran perundingan kedua belah pihak melalui Raja Parhata yang diawali dengan pinggan panungkunan, berupa piring yang berisi uang, sirih dan beras secukupnya Setelah tahap Patua Hata, Marhusip, Marhata Sinamot dilalui, maka pesta adat perkawinan dapat diselenggarakan. Jika pesta adat tersebut diselenggarakan dikampung (di alaman) mempelai laki-laki, maka disebut marunjuk. Sedangkan jika pesta adat itu dilakukan di kampung (di alaman) mempelai perempuan, disebut manggalang juhut. Sementara itu, jika mempelai perempuan dan atau laki-laki atau pemberkatan di lakukan di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), maka diharuskan Martompol. Acara ini bukanlah bagian dari hukum adat perkawinan batak, melainkan suatu ketentuan agama, khususnya yang berlaku di HKBP. Maksud dan tujuannya adalah untuk acara ikat janji kedua calon mempelai dan sebagai pewartaan atas rencana pernikahan mereka yang akan dilakukan dikemudian hari. Pewartaan itu disaksikan oleh orang tua/kerabat dan panitua gereja dari masing-masing pihak calon mempelai dan sejumlah kerabat dari masing-masing pihak. Dalam acara martumpol inilah ditanyakan oleh majelis gereja pada kedua calon mempelai apakah masih mempunyai kekasih lain atau tidak. Jika masih ada, maka kepada mereka diberikan kesempatan untuk menyelesaikannya terlebih dahulu secara tuntas. Dengan demikian pemeberkatan mereka pada hari yang telah ditentukan sudah bebas dari ikatan kekasih dengan pihak lain. Proses martumpul semacam ini hanya berlaku bila calon mempelai merupakan jemaat dan diberkati di HKBP. Sementara jika memalaui agama atau
OMPU BONAHUTA 107
gerja lain, proses itu dikesampingkan. Sebelum dilakukan pemberkatan nikah dan/atau pesta adat, ada suatu acara yang diselenggarakan di pagi hari. Acara itu dinamakan marsibuha-buhai. Asal kata marsibuha-buhai ini adalah buha yang artinya permulaan. Jadi yang dimaksud marsibuha-buha i adalah awal dimulainya persaudaraan para kerabat kedua calon mempelai. Kegiatan ini berlangsung singkat, sekitar 1 (satu) jam. Acara marsibuhabuhai diawali dengan sambutan kerabat calon mempelai lakilaki untuk menyampaikan maksud dan tujuannya acara tersebut. Setelah kerabat calon mempelai perempuan memahami maksud dan tujuan itu, maka dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum makan bersama, pihak kerabat calon mempelai laki-laki menyuguhkan makanan (daging) berupa tudu-tudu sipanganon yang siap saji. Sebaliknya, pihak kerabat calon mempelai perempuan juga menyuguhkan 3 ekor ikan mas yang sudah siap saji. Ikan mas itu dinamakan “ dengke simudur-udur, dengke sitio-tio, dengke sahat, dengke gabe yang artinya agar pihak kerabat mempelai lakilaki memperoleh keturunan banyak, hidup sejahtera dan bahagia (sehat, gabe jala horas). Setelah acara itu selesai, maka dilanjutkan dengan doa dan makan bersama. Setelah selesai makan, kedua kerabat dan calon mempelai berangkat menuju gereja unutuk melangsungkan pemberkatan nikah dan pelaksanaan cacatan sipil oleh Dinas Kependudukan dari Pemerintah Daerah setempat.
Adat Perkawinan Batak Adapun urutan singkat prosesi pesta adat perkawinan adalah : (1) Pembukaan protokol pihak kerabat mempelai (2) Jawaban bahwa pihak kerabat mempelai laki-laki telah siap melaksanakan pesta adat perkawinan (3) Hula-hula dan Tulang dari pihak mempelai laki-laki dan atau dari pihak mempelai perempuan memasuki ruangan tempat pesta adat. Mereka memasuki rungan secara sendiri-sendiri dan disambut oleh masing-masing kerabat mempelai laki-laki atau kerabat mempelai perempuan. (4) Mempelai memasuki ruangan tempat pesta adat dan menuju tempat duduk yang telah disediakan (5). Menyampaikan tudu-tudu ni sipanganon dari pihak kerabat mempelai laki-laki kepada kerabat mempelai perempuan, lalu berlanjut dengan jawaban suguhan dengke simudur-udur dari pihak kerabat mempelai perempuan pada kerabat mempelai laki-laki, (6) Doa dan makan bersama.(7) Membagikan sulangsulang (suguhan juhut) kepada hula-hula. Bersamaan dengan itu, membagikan dengke simudur-udur kepada dongan tubu dan boru oleh kerabat mempelai laki-laki. (8). Pembagian jambar juhut sesuai adat yang disepakati kedua belah pihak pada waktu
108 OMPU BONAHUTA
marhusip/marhata sinamot. Pembagian jambar juhut ini biasanya menganut prinsip sidapot solup do naro yang artinya sesuai adat yang berlaku di daerah penyelenggara pesta adat. (9) Para undangan pihak kerebat mempelai laki-laki (dongan tubu, boru, bere/ibebere, dongan sahuta, teman sejawat ) menyampaikan tumpak (sumbangan berupa uang ) kepada orang tua mempelai laki-laki. (10) Pengantin perempuan, secara simbolis mengambil uang sumbangan dari tempat sumbangan dengan jari tangan dan sekali mengambil. Maksudnya adalah sebagai penghormatan kepada mempelai, sebab yang berhak atas sumbangan itu adalah orang tua selaku penyelenggara pesta, sehingga cara mengambilnya pun di batasi seperti itu (11) Marhata sinamot dan hata segabe-gabe .(12) Menyampaikan panadaion berupa uang dalam amplop dari pihak kerabat perempuan kepada kerabat laki-laki sesuai yang disepakati pada saat marhusip. (13) Menyampaikan ulos pasamot dari orang tua mempelai perempuan kepada orang tua mempelai laki-laki. (14) Menyampaikan ulos hela dari orang tua mempelai perempuan kepada kedua mempelai .(15) Menyampaikan ulos pamarai kepada pamarai oleh orang tua mempelai perempuan. (16) Menyampaikan ulos sihunti ampang kepada orang sihunti ampang oleh salah satu keluarga kerabat mempelai perempuan.(17) Menyampaikan titi marangkup berupa uang dari orang tua mempelai perempuan kepada hula-hula mempelai laki-laki (18) Menyampaikan sejumlah ulos holong sesuai yang disepakati pada waktu marhusip kepada kerabat dekat pihak kerabat mempelai laki-laki oleh keluarga kerabat perempuan. (19) Memberikan sejumlah ulos tinonun sadari dalam bentuk uang kepada semua kerabat laki-laki oleh suhut mempelai perempuan. (20) Diberi kesempatan kepada kerabat dekat semarga pihak mempelai perempuan, Hula-hula, Tulang, Bona Tulang, Tulang Robobot, Hula-hula Namarhaha- maranggi, Hula-hula anak manjae untuk menyampaikan ulos herbang kepada mempelai. Bila pelaksanaan pesta perkawinan berada di kampung (halaman) pihak mempelai perempuan, maka akan dilakukan acara “paulak une” oleh pihak mempelai laki-laki. Dahulu kegiatan adat ini dilaksanakan beberapa hari paska pesta perkawinan. Tetapi dewasa ini untuk efektifitas waktu, maka telah dilaksanakan pada hari H pesta adat, sehingga acara Paulak Une ini, merupakan akhir acara pelaksanaan pesta adat.
Kekerabatan Batak Dengan dimensi perkawinan orang batak seperti diungkapkan di atas, maka kekerabatan batak meliputi : (1) Bona ni Ari yaitu tulang (paman) dari kakek dan seterusnya. (2) Bona Tulang, (3) Tulang. Catatan, dari nomor 1-3 semuanya disebut
OMPU BONAHUTA 109
Tulang. (4) Hula-hula tanggakas atau hula-hula pangalapan boru yakni, sadudara lakilaki dari istri, dan (5) Hula-hula namarhaha maranggi yaitu semua hula-hula kakak/ adek laki-laki yang sekandung. (6) Hula-hula anak manjae atau sering disebut Hulahula naposo, yaitu hula-hula putra kita yang sudah menikah menurut hukum adat batak. (7) Dongan Tubu atau dongan sabutuha yaitu saudara kita yang semarga. (8) Iboto yaitu kakak/adek perempuan dan jika sudah menikah, maka suaminya di sebut Lae ( kakak/adek ipar) dan putri kita disebut Boru dan suaminya dinamakan Hela (9) Kakak/adek perempuan dari ayah disebut namboru dan suaminya dipanggil amang boru.(10) Di atas generasi namboru (putri kakek) dinamakan Boru natuatua. Catatan: Kepada mereka ini tetap dipanggil Namboru & Amang boru. (11). Sedangkan putra dan putri adek/kakak perempuan (iboto) dinamakan Bere dan Ibebere. (12) Pariban adalah adek/kakak perempuan yang sudah menikah. Hubungan persaudaran ini dinamakan “marpariban”. Dalam kehidupan sosial atau kekerabatan batak hubungan “marpariban” ini kadang lebih akrab (dekat) dibandingkan dengan hubungan “namarhaha-maranggi”. Hal ini terjadi sebab faktor istri dalam keluarga kadang lebih condong pada pihak keluarga ibunya, maka komunikasi sosial mereka sering lebih efektif. Dengan demikian “namarpariban” ada faktor positifnya, tetapi juga ada negatifnya dalam kehidupan sosial-adat batak. Apa yang terungkap dari pada dimensi perkawinan menurut adat batak seperti duraikan di atas, bahwa perkwinan manusia itu amat sakral dan harus dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Perkawinan manusia tidaklah terbatas sebagai perwujudan cinta seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Menurut adat batak, juga merupakan wujud perkawinan kekerabatan antara orang tua kedua mempelai dan bahkan lebih luas dari pada itu yakni meliputi rentang kerabat Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru sebagaimana dimaksud oleh Dalihan Natolu. Itulah sebabnya, proses dan tatacara perkawinan menurut adat batak begitu panjang dan ketat, sehingga pada akhirnya sangat kuat keterikatan dan tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sangat sulit untuk bercerai, selain diceraikan oleh kematian.
110 OMPU BONAHUTA
Bab VIII
Ragam dan Penggunaan Ulos Batak
U
los batak adalah salah satu hasil harya budaya batak yang amat membanggakan dan merupakan salah satu bukti nyata betapa tingginya peradapan batak pada masa lampau. Ulos batak dibuat (ditenun) terdiri dari benang berwarna putih, hitam dan merah hingga membentuk corak (ragi) menurut ragamnya yang terdiri dari 8 jenis yaitu: (1) Pamunsai atau Pinunsaan, (2) Ragi Idup atau Sirara, (3) Sibolang. (4) Ragi Sitolu Tuho, (5) Ragi Bolean, (6) Ragi Hotang, (7) Ragi Mangiring, (8) Ulos Parompa. Ulos batak diluar jenis ini adalah ulos biasa yang dinamakan “salendang”. Setiap ulos memiliki ciri. Hal itu dapat dilihat dari raginya (coraknya). Ulos jika dibentangkan akan terlihat beberapa bagian pokok yaitu meliputi : (i) Rambu ulos. berada pada kedua ujungnya. (ii) Pangolat ( pembatas), berada pada sisi ujung ulos ,(iii) Ragi (corak) bentangan pada ulos yang terdiri dari bilangan tiga, lima dan tujuh. Selain itu, dalam ulos batak, terdapat garis parngoluon ( tanda-tanda kehidupan), garis somangot ( garis kharisma/semangat), ragi hagabeon ( corak yang menggambarkan harapan keturunan banyak), ragi penghasilan dan ragi harapan keadaan rumah tangga, serta ragi kesehatan ( corak kesehatan) .
Pengertian Tiap Jenis Ulos Dalam uraian di atas telah disebutkan ada 8 (delapan) jenis ulos batak dengan penggunaan yang berbeda-beda, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pamunsai atau Pinunsaan, adalah ulos yang dibuat dengan jenis tertentu, bercorak tujuh garis putih searah menuju kedua ujung ulos yang berwarna putih dan terus bersambung pada rambu ulos. Dahulu ulos semacam ini hanya dimiliki dan digunakan oleh seorang raja pada saat martonggo (berdoa khusus) pada Mulajadi Nabolon ( Tuhan Pencipta Semesta). Namun, saat ini ulos sejenis ini sudah dimiliki banyak orang. Ulos Pinunsaan ini menurut kebiasaan (adat) batak dewasa ini selalu
OMPU BONAHUTA 111
menjadi ulos pasamot yang disampaikan oleh orang tua mempelai perempuan kepada orang tua mempelai laki-laki pada saat pelaksanaan pesta adat perkwinan anak mereka. Ulos Ragi Idup atau sering disebut Sirara adalah ulos yang khusus dibuat dan dipakai seorang laki-laki yang sudah mempunyai anak dan cucu. Dahulu jika seseorang telah memiliki dan menggunakan ulos ini berarti orang itu sudah “gabe” (mempunyai anak, cucu), dan pertanda bahwa orang itu berwawasan luas tentang adat dan budaya batak . Dewasa ini, ulos sejenis ini sudah digunakan sebagai ulos hela ( ulos yang diberikan orang tua mempelai perempuan kepada menantunya pada saat pesta adat perkawinan) dan banyak digunakan orang pada saat pesta adat batak. Ulos Ragi Sibolang. Asal katanya adalah Sibulang. Corak ulos jenis ini di buat secara khusus dan tidak sama. Maksudnya adalah untuk mengangkat sahala ( kharisma) orang yang memilikinya. Ulos ini ditenun secara khusus bagi seorang anak yang dalam kategori sibulangbulangon yaitu anak yang patut dijaga dan dimohon secara khusus kepada Tuhan agar dalam perjalanan hidupnya tidak mengalami gangguan atau musibah apa pun sebab ia kelak diharapkan menjadi raja, atau pemimpin. Namun, sekarang ini ulos sejenis ini sudah diberikan pada orang yang mengalami duka cita karena istri/suaminya meninggal dunia dan ulos ini dimaknai sebagai ulos tujung atau ulos sampe tua. Ulos Ragi Sitolo Tuho. Ulos ini dibuat husus untuk perempuan. Disebut sitolu tuho sebab memiliki tiga tanda “tuho” yang terdapat pada kedua ujung ulos. Pengertian tiga tanda tuho itu yakni hormat marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru sebagaimana dimaksud dengan falsafah Dalihan Natolu. Ulos ini diberikan kepada seorang ibu dengan maksud agar dia mengajar dan membimbing anaknya untuk melakasanakan etika (ruhut-ruhut ni partuturon) menurut Dalihan Natolu. Sekarang, ulos ini telah jarang digunakan dan akibatnya telah sulit ditemukan dan akhirnya tidak ditenun lagi. Ulos Ragi Bolean. Jenis ulos ini diberikan kepada orang yang mengalami musibah, misalnya anaknya terus meninggal dunia atau mengalami musibah yang membahayakan. Oleh karena musibah itu, maka kerabat hula-hula datang kepada orang/keluarga tersebut untuk melaksanakan adat yang disebut mangupaupa. Yang dimaksud dengan mangupaupa adalah suatu adat (kebiasaan) masyarakat batak untuk melakukan doa keselamatan kepada orang/keluarga tertentu agar terhindar dari musibah. Dalam acara mangupaupa ini, kerabat Hula-hula membawa dengke simudur-udur ( 3 ekor ikan batak atau ikan mas yang siap saji dan ditaruh berjejer di dalam piring)
112 OMPU BONAHUTA
untuk diberikan kepada kerabat Boru sebagai media dalam menyamaikan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Setelah selesai menyampaikan ikan tersebut, lalu dilanjutkan dengan memberikan ulos ragi bolean yang maknanya juga sebagai media permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar keluarga yang di doakan senantiasa dilindungi, sehat dan hidup sejahtera. Sekarang ini acara seperti dimaksud tidak lagi memberikan ulos Ragi Bolean, tetapi dengan ulos Ragi Idup. Ulos Ragi Mangiring. Ulos ini bukan ulos untuk “diuloshon” ( diberikan dengan cara membentangkan ke atas bahu atau ke pundak seseorang yang diulosi), melainkan oleh orang tuanya mengikatkan kepinggang putranya yang sedang menuju usia dewasa ( atara 15-17 tahun) . Maksudnya diharapkan agar anak yang sudah melewati masa remaja dan menjadi pemuda yang akan dewasa tersebut mampu“ marharangan” yaitu mampu hidup secara mandiri dan mulai berusaha mencari nafkah. Dalam bentangan ulos sejenis ini terdapat gambar bintang yang berbaris. Gambar bintang itu disebut “bintang maratur” ( bintang teratur). Dalam perkembangannya, ulos sejenis ini telah digunakan untuk mangulosi anak dengan maksud dan harapan agar anak itu senantiasa sehat-sehat . Ulos Bintang Maratur. Ulos jenis ini adalah ulos yang berfungsi sebagai salendang. Corak ulos ini tidak menggambarkan namanya yakni bintang maratur, sebab di dalam bentangan ulos ini tidak ada gambar bintang yang tersusun teratur. Justru Ulos Ragi Mangiring sebagai dijelaskan di atas yang ada gambar bintang teratur ( bintang maratur). Ulos Ragi Parompa. Sesungguhnya maksud dan tujuan ulos ini bukanlah ulos untuk parompa (ulos untuk alat menggendong anak), melainkan diberikan dalam rangka memohon pada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anak itu senantiasa sehat, dan cepat besar dan menjadi anak yang berguna. Dalam umpasa (perumpamaan) batak dikatakan “ Sitongka panahiton, simbur magodang, penggeng matua ( jangan sakit, cepat besar dan lambat tua). Corak ulos ini relatip sama dengan ulos ragi hotang terdiri dari dua warna yaitu merah dan putih. Bedanya tidak mempunyai “kepala ulos,” namun tetap memiliki rambu di kedua ujungnya yang dimaknai sebagai harapan banyak keturunan. Ulos ini diberikan pamannya kepada ponakannya( dari Tulang ke Bere/Ibebere)
Ulos Batak Menurut Penggunaannya. Ulos yang dijelaskan pada uraian di atas adalah ragam ulos menurut jenisnya. Dalam penggunaannya, juga dikenal berbagai ungkapan nama, sebagai berikut ini.
OMPU BONAHUTA 113
Ulos Holong. Dahulu kala masyarakat batak tidak mengenal apa yang disebut ulos holong. Namun pada zaman belakangan ini sebutan ulos holong tersebut telah berkembang pesat. Holong artinya kasih sayang. Rupanya ungkapan kasih sayang ini dikaitkan dengan penggunaan ulos sebagai simbol kasih sayang tersebut. Ulos holong ini pada umumnya diberikan oleh kerabat Hula-hula kepada Borunya, dan atau kerabat Bona Tulang, Tulang Robobot, dan Tulang kepada Bere/Ibeberenya (ponakannya). Dengan berkembangnya kebiasaan pemberian ulos holong ini, maka masalah yang timbul adalah terjadinya inflasi ulos dan semakin rendahnya nilai guna ulos. Masalah itu pun semakin “keruh” dengan berkembangnya kebiasaan baru, dimana bagi orang diulosi, tetapi berhalangan datang dalam pesta adat perkawinan, dapat diberikan melalui titipan. Pada hal pemberian ulos adalah bersifat sakral dan merupakan alat atau media berdoa dari yang mangulosi kepada orang yang diulosi. Ulos Parompa adalah ulos yang diberikan Tulang kepada Bere/Ibebere yang baru lahir dengan maksud agar sehat-sehat selalu, bertumbuh dan senatiasa dilindungi oleh Tuhan. Ulos Sappe Tua adalah ulos yang diberikan oleh Hula-Hula dengan cara meletakkan ke bahu seseorang Boru, karena istri/suaminya meninggal dunia dalam kategori “ Sari Matua dan Saur Matua”. Pengertian Sari Matua adalah mempunyai anak dan cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah. Bagi orang yang sudah menerima ulos Sappe Tua, maka konsekwensinya tidak boleh kawin lagi. Sementara pengertian Saur Matua adalah bahwa semua anak-anak sudah menikah dan mempunyai anak, dan cucu bahkan sudah mempunyai cicit. Di atas kategori Saur Matua adalah Mauli Bulung. Pengeritan Mauli Bulung adalah bahwa orang tersebut meninggal dalam usia yang panjang, mempunyai anak laki-laki dan perempuan, semuanya masih hidup dan semua mempunyai anak dan cucu. Ulos Tujung adalah sehelai ulos yang diberikam oleh Hula-hula dengan cara meletakkannya di atas kepala Boru yang mengalami kematian suami/istri yang belum dalam status Sari Matua. Pemberian ulos ini mengandung arti duka yang mendalam. Pemahaman ulos tujung ini, bahwa orang yang menerima ulos tersebut harus siap menerima segala beban atas meninggalnya suami/istri yang dicintainya. Kategori orang yang meninggal seperti di ungkapkan di atas mempunyai konsekwensi pada acara adat penguburannya. Pada orang yang meninggal dengan kategori belum Sari Matua ini, maka masih dalam duka yang dalam, dikebumikan secepatnya dan tidak ada upacara adat kematian yang mencerminkan “pesta adat”.
114 OMPU BONAHUTA
Sebaliknya bagi orang yang meninggal dunia dengan status Sari Matua, maka bisa dilakukan dengan upacara adat yang mencerminkan “pesta adat”, memberi jamuan makan orang yang melayat dan berlangsung adat menurut unsur Dalihan Natolu. Sementara bagi orang yang meninggal dunia dalam ketegori Saur Matua, dan apalagi Mauli Bulung, dapat dikebumikan dengan upacara adat berskala besar. Orang yang meninggal dunia dengan kategori semacam ini dapat dimaknai sebagai “ suka cita” bagi keturunannya. Oleh karena itu musik tradisi batak ( gondang sabangunan) dan tarian (tortor) batak patut dilakukan oleh keturunannya dalam acara upacara adat kematian yang bersangkutan. Perayaan pesta adat bagi orang yang Maulibulung bisa mencapai waktu 7 hari dan kurban yang disembelih selain sejumlah ekor babi, juga menyembelih kerbau sebesar ukuran berat Gajah. Berbeda dengan acara adat kematian Saur Matua. Acara ini pada umumnya berlansung selama 3 hari dan kurban yang disembelih adalah seekor Sapi. Namun, terdapat keanehan yang dipraktikkan dewasa ini. Oleh karena ketokohan atau kedudukan seseorang yang meninggal begitu besar, maka kategori meninggalnya sering “dirakayasa” dengan meningkatkan statusnya dari Sari Matua menjadi Saur Matua. Pada hal rakayasa tersebut mempunyai konsekwensi terhadap aturan adat dan harapan doa hadirin yang melayat. Ulos Saput adalah sehelai ulos yang diberikan oleh kerabat Tulang (Paman) kepada orang (ponakan /bere) yang meninggal dunia dalam kategori Sari Matua, Saur Matua dan Mauli Bulung. Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa penggunaan ulos batak dewasa ini telah mengalami pergeseran dibandingkan dengan penggunaan ulos batak pada zaman dahulu kala. Kebisaaan-kebiasaan yang dipraktikan dengan tidak terlebih dahulu memahami filosofi tiap jenis dan penggunaan ulos batak merupakan faktor penyebab pergeseran itu terjadi.
OMPU BONAHUTA 115
Bab IX
Sejumlah Istilah Batak
B
anyak istilah dalam bahasa batak seringkali diungkapkan tetapi kadang tidak dipahami apa arti yang sebenarnya, sehingga acap kali salah menafsirkan dan menggunakan. Guna meminimalisasi kesalahan itu, terutama bagi masyarakat batak di masa depan, berikut ini disajikan sejumlah istilah
Suhut, adalah orang yang melaksanakan dan/atau bertanggung jawab atas pelaksanaan suatu hajatan tertentu. Sedangkan Hasuhuton adalah kerabat dekat dalam satu marga yang berperan membantu Suhut atau secara bersama-sama dengan suhut untuk bertanggung jawab mensukseskan suatu pesta adat (hajatan). Simanggokkon, adalah seseorang yang ditunjuk oleh Suhut untuk menyampaikan undangan (gokkon) kepada para undangan yang telah ditentukan supaya datang menghadiri pesta adat perkawinan sesuai dengan jumlah dan siapa yang diundang. Orang Simanggokkon itu adalah pilihan Suhut dari antara anak kandung, atau dari kakak/adek ( Haha-anggi) ataupun dari semarga (dongan tubu) yang masih merupakan kerabat dekat. Pamarai adalah orang yang ditunjuk untuk ikut malaksanakan dan bertanggung jawab terhadap seluruh atau sebagian kegiatan pesta adat perkawinan dengan maksad agar Suhut tidak terlampu berat melaksanakannya atau karena hal tertentu ia tidak bisa melaksanakan/mengikuti acara pesta adat perkawinan . Pamarai ini boleh dari kakak atau adek sendiri, tetapi kalau tidak bersedia atau karena berhalangan, maka bisa menunjuk orang lain dari semarga (Dongan Tubu) yang masih kerabat dekat. Kata pamarai ini berasal dari “abara” ( pundak), maka pamarai adalah orang yang memikul tanggung jawab pelaksanaan pesta adat perkawinan. Oleh karena itu untuk menjadi pamarai harus orang yang benarbenar mampu dan dengan sukarela memberikan pikiran dan tenaganya untuk mensukseskan pesta adat. Dengan demikian, tidaklah seperti kebiasaan sekarang ini dimana kakak atau adek sendiri secara otomatis menjadi pamarai, dan secara otomatis pula mendapat hak ulos pamarai, walau tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Jika ulos pamarai itu tidak diberikan kepadanya, 116 OMPU BONAHUTA
maka bisa berujung pada “sakit hati”. Guna menghindari hal itu , maka pamarai itu senatiasa diberikan kepada kakak/adek sendiri. Sijalo todoan, ialah Tulang, Pamarai, Simandokkon, dan Pariban, dimana mereka berfungsi dan berperan penting dalam mensukseskan ulaon pesta adat perkawinan (marunjuk). Karena pentingnya fungsi dan peranan mereka, maka mereka pun mendapat hak “jambar sinamot” ( sejumlah uang yang berasal dari mas kawin). Jika sudah demikian, maka ulaon marunjuk dinamakanlah parjambar na gok.
Parsinabung. Parsinabung adalah orang yang menguasai seluk beluk dan tatacara adat. Ia berfungsi dan berperan penting dalam mensukseskan pesta adat, sebab dialah yang memimpin acara adat itu dari awal samapai selesai. Syarat Parsinabung selain menguasai seluk beluk dan tatacara adat, ia harus memiliki kepemimpinan dan karisma yang kuat, arif bijaksana serta memiliki kelembutan dalam hati dan perkataan. Dahulu Parsinabung di hunjuk dalam ria (pertemuan) dongan tubu, tetapi akhir-akhir ini telah ada sejumlah sosok dalam setiap marga yang menjadi pilihan Suhut. Tinggal Suhut saja mengharapkan kepada siapa Parsinabung dipercayakan.
Gokkon dohot Jou-jou. Dalam undangan versi masyarakat batak tertulis “gokkon & joujou. Tidak cukup dengan Gokkon (Undangan) saja. Maksud gokkon & jou-jou itu mengandung arti ”gokkon sipaimaon, jou-jou sialusan. Artinya undangan ditunggu dengan jawaban kehadiran seseorang. Tidaklah sekedar datang, tetapi mempunyai kewajiban tertentu. Oleh karena itu gokkon dimaksudkan sebagai harapan kehadiran seseorang/keluarga untuk datang menghadiri pesta adat perkawinan. Sedangkan jou-jou harus dijawab dengan memberikan kewajiban menurut adat yang berlaku.
Mangadati Ulaon mangadati dilakukan sebagai akibat terjadinya perkawinan mangalua ( kawin lari). Sedangkan kawin lari terjadi adalah karena beberapa penyebab antara lain, tidak direstui oleh orang tua laki-laki atau perempuan dan/atau karena kesulitan biaya untuk melakukan perkawinan menurut hukum adat. Supaya perkawinan itu syah menurut hukum adat batak, maka dilakukan upacara (pesta) mangadati.
OMPU BONAHUTA 117
Manuruk-nuruk. Apabila perkawinan seseorang dilakukan dengan cara mangalua, maka untuk mendapatkan pengakuan kerabat, terlebih orang tua perempuan, maka orang tua dan atau kerabat dekat laki-laki yang disebut “paranak” menyampaikan permintaan maaf dengan cara yang disebut “manuruk-nuruk” kepada orang tua dan/atau kerabat pengantin perempuan (parboro). Dalam pelaksanaan acara itu, mereka membawa makanan dan seokor babi ( jika beragama islam dengan kambing) yang sudah siap saji. Makanan ini dinamakan “ tudu-tudu sipanganon”.
Pasahat Sulang-sulang ni Pahompu. Adat ini sebenarnya relatip sama dengan mangadati seperti dijelaskan di atas. Bedanya, adat ini dilakukan setelah keluarga tertentu mempunyai anak. Acara adat inilah yang disebut pesta pasahat sulang-sulang ni pahompu. Maksud dan tujuannya juga sama yakni untuk memenuhi segala sesuatu berkaitan dengan kewajiban adat kepada orang tua dan kerabat perempuan menurut adat dalihan natolu. Dengan dilakukannya adat ini, maka perkawinan mereka telah syah menurut adat batak dan oleh karena itu pula, maka mereka telah dapat mengikuti adat batak sesuai norma adat yang berlaku.
Jenis Ulaon ( Hajatan ) : Ulaon di jabu adalah hajatan yang dilakukan dalam jumlah undangan yang terbatas di dalam rumah, tetapi lengkap dihadiri kerabat dalihan natolu. Sedangkan ulaon saripe adalah hajatan dalam rumah dan dalam batas kerabat yang sangat dekat dan tidak dihadiri kerabat Hula-Hula. Ulaon di alaman atau sering disebut ulaon hatopan adalah pesta adat yang dihadiri oleh undangan dalam jumlah yang relatip banyak dan lengkap dengan seluruh unsur dalihan na tolu. Dahulu, ulaon di Alaman memang benar-benar di halaman rumah. Akan tetapi sekarang ini, terlebih bagi masyarakat batak di perkotaan, halaman rumah sudah diganti dengan sebuah gedung pertemuan tertentu dengan kapasitas undangan yang relatip banyak ( sekitar 500-1.000 kepalakeluarga). Tujuannya adalah agar pelaksanaan pesta lebih nyaman. Marunjuk adalah pesta adat perkawinan menurut adat batak. Marunjuk, asal katanya unjuk, yang artinya pesta. Tetapi penggunanan istilah ini hanya untuk pesta perkawinan saja.
118 OMPU BONAHUTA
Mebat artinya orang orang tua bersama dengan putra dan menantunya mengunjungi orang tua perempuan ( parboru ) ke rumahnya dengan membawa makanan “tudutudu ni sipanganon” yang siap saji. Maksud dan tujuannya untuk memberitahukan, bahwa mereka sehat-sehat, serta agar dikemudian hari mereka bebas mengunjungi orang tua perempuan tanpa beban moral apa pun lagi. Pinggan Panungkunan adalah sebuah piring khusus yang terbuat dari kramik (dalam bahasa batak dinamakan Pinggan Pasu). Di dalamnya di isi beras secukupnya, daun sirih 3 helai, dan sejumlah uang yang terdiri dari beberapa helai pecahan mata uang tertentu. Dahulu isi pinggan panungkunan ini bukan uang, tetapi diisi dengan daging yang sudah di masak dalam jumlah secukupnya. Pinggan panungkunan yang di isi dengan benda dan uang kertas itu adalah berfungsi sebagai alas perundingan mas kawin ( sinamot) , berikut tatacara penyelenggaraan adat perkawinan yang akan dilaksanakan. Pinggaan panungkunan itu digunakan oleh Parsinabung ( orang pembicara ) pihak mempelai laki-laki (paranak) dengan Parsinabung pihak mempelai perempuan (parboru). Sekarang ini piring yang dinamakan Pinggan Pasu tersebut sudah sulit ditemukan kerena dijual oleh para pemiliknya, maka sebagai pring penganti adalah berupa piring yang terbuat dari kramik biasa. Sejumlah beras yang terdapat dalam Pinggan Panungkunan tersebut dimaknai sebagai “Sipir ni Tondi” yaitu sebagai media permohonan pada Tuhan agar dikuatkan roh dan jiwa mereka yang melangusungkan pesta adat perkawinan. Sedangkan daun sirih dimaknai sebagai“ semangat persaudaraan”. Itulah sebabnya pada zaman dahulu kala jika pinggan panungkunan telah diterima oleh “parsinabung” pihak mempelai perempuan, maka daun sirih itu digigitnya atau dimakannya, sebagai tanda telah diterimanya persaudaraan dan persetujuan dimulainya pembicaraan atas hal-hal yang berkaitan dengan pesta adat perkawinan. Sekarang ini, daun sirih itu cukup dipegang dan uangnya diambil sebesar 2/3 dari jumlah uang yang terdapat dalam Pinggan Panungkunan oleh parsinabung pihak Parboru dan sisanya sebesar 1/3 lagi bersama dengan pinggan panungkunan tersebut dikembalikan kepada Parsinabung pihak mempelai laki-laki. Setelah itu, pembicaran dapat dimulai oleh kedua pihak. Semua hadirin dalam pesta perkawinan itu wajib tertib dan mendengar, serta mengikuti pembicaraan kedua Parsinabung tersebut sampai selesai. Sinamot adalah mas kawin berupa mas, perak, kerbau/sapi, tanah/sawah ( sekarang telah diganti dengan sejumlah uang) yang diberikan oleh orang tua
OMPU BONAHUTA 119
mempelai laki-laki kepada orang tua mempelai perempuan, sebanyak yang telah disepakati pada waktu Marhusip dan Marhata Sinamot. Ampang atau dalam bahasa batak Toba juga dinamakan Jual adalah sebuah bakul yang dianyam dari rotan. Satu Ampang berisi 10 tumba ( sama dengan 2 liter) yang di buat dari bambu. Dari asal kata ampang inilah timbul sebutan Sihunti Ampang yaitu orang dari pihak mempelai laki-laki ( adek/kakak/bibi) yang memikul bakul tersebut. Di dalam ampang ini di isi “tudutudu nisipanganon” yang siap saji, untuk disampaikan kepada kerabat mempelai perempuan pada saat pelaksanaan marsibuhabuhai di pagi hari ( sekitar pukul 07.00 ) pelaksanaan pesta perkawinan Marhata ialah suatu perundingan tentang tatacara pelaksanaan kegiatan adat tertentu. Berbeda dengan kata manghatai. Perkataan ini artinya berbincangbincang saja tentang sesuatu atau tentang apa saja. Parsituak na tonggi adalah pemberian uang dalam jumlah tertentu dari Suhut ( yang mempunyai hajatan) kepada Hulahula setelah selesai memberikan/ menyampaikan ulos dalam pesta adat. Ingotingot adalah sejumlah uang pecahan dalam nilai nominal tertentu yang dibagi-bagi kepada semua yang menghadiri acara marhusip, dengan maksud agar segala sesuatu yang sudah diperjanjikan kedua kerabat mempelai, terlebih hubungan cinta kasih kedua calon mempelai, agar senentiasa diingat oleh semua orang yang ikut mengadiri acara marhusip. Dengan adanya ingot-ingot tersebut, maka kedua calon mempelai tidak bebas lagi mencari jodoh dan sudah terikat untuk menjadi calon suami istri yang akan dilangsungkan pada pesta adat pernikahannya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Olopolop adalah ucapan terimaksih kepada semua hadirin atas sukses dan selesainya pesta adat perkawinan melalui cara pemberian sejumlah uang pecahan dari kedua orang tua mempelai. Uang pecahan/recehan itu dimasukkan dalam “pinggan pasu/piring kramik” dan kemudian semua orang yang masih tinggal dalam acara adat pernikahan tersebut mengambil uang pecahan/recehan tersebut secara satu persatu. Pauseang adalah sejumlah barang atau sawah yang dibawa mempelai perempuan yang diberikan oleh orang tuanya pada saat pesta perkawinan untuk menjadi “harta pusaka” mereka, dengan syarat barang atau sawah itu tidak bebas dijual dikemudian hari. Dengan latar belakang inilah, maka jika seorang ibu meninggal dunia, dan setelah dimakamkan, maka akan dilakuka acara yang
120 OMPU BONAHUTA
dinamakan “Ungkap Hombung” yaitu suatu acara khusus untuk membuka peti tempat harta peninggalan ibu yang meninggal tersebut, lalu sejumlah uang diberikan kepada pihak Hula-hula .
Sulang-Sulang Hariapan. Sulang-sulang hariapan ialah suatu cara untuk membayar “hutang adat” seseorang kepada orang lain ( Dongan Tubu dan Dongan Sahuta), oleh kerena dia akan pensiun dari ulaon adat (purna adat). Pelaksananya bukan orang yang bersangkutan, melainkan anaknya ( putra dan putrinya). Sulang-sulang Hariapan ini, pada umumnya dilakukan pada waktu yang bersangkuatan masih sehat dan masih bisa makan dengan bebas agar yang bersangkutan dapat menikmatinya. Dahulu semua orang batak melaksanakan sulang-sulang hariapan, tetapi sekarang ini tidak lagi demikian, terutama bagi masyarakat batak di perantauan dan perkotaan.
Dongan Sahuta. Pelaksanaan pesta adat batak, tidak bisa hanya dilaksanakan oleh Suhut dan Hasuhuton (kerabat yang punya hajatan). Jika sampai hal yang demikian terjadi, maka akan berlaku hukum sosial yang mengatakan “ Suhut do na suhut, dihasuhuthonma ma ulaonna ” Artinya, biarlah yang punya hajatan melaksanakan hajatannya sendiri, tak perlu di bantu. Itulah sebabnya dalam Sistem Dalihan Natolu yang meliputi Subsistem Hula-hula, Subsistem Dongan Tubu dan Subsistem Boru, terdapat lagi satu tambahan Subsistem yang dinamakan Sihal-sihal yaitu Dongan sahuta”. Dongan sahuta adalah rekan sekampung yang berperan penting dalam mensukseskan pesta adat dan menjadi patner ( rekan kerjasama ) Suhut dan Hasuhuton dalam melaksanakan kegiatan adat. Jika Subsistem Boru tidak optimal melaksankan tugasnya sebagai “parhobas”, maka Dongan Sahuta akan membantunya atau bahkan mengambil alih tugas itu. Itulah sebabnya, dongan sahuta juga disebut “raja ni dongan sahuta” dan mendapat hak jambar hata dan jambar juhut.
Parhobas. Pada setiap kegiatan apa pun pada masyarakat adat Batak, agar sukses harus ada panitia pelaksana. Panitia pelaksana itu sudah baku atau secara otomatis diambil dari unsur Boru ,termasuk Bere dan Ibebere ditambah Dongan Sahuta. Merekalah yang disebut parhobas. Unsur parhobas ini dalam ulaon di jabu dan ulaon di alaman sangat berperan penting untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pesta adat
OMPU BONAHUTA 121
Batak. Oleh karena pentingnya peranan itu, maka mereka pun mempunyai hak “jambar juhut”.
Parumaen. Parumaen berasal dari kat Par-uma-an. Kata ini timbul sebagai konsekwensi, bahwa boru yang “marhamulian” adalah dalam arti pulang (muli) ke laki-laki yang menjadi suaminya. Biasanya pada waktu itulah membawa hauma (sebedang tanah sawah) kepada suaminya yang dalam bahasa batak disebut” pauseang”. Itulah latar belakang nama Parumaen (mantu perempuan).
Paniaran. Dewasa ini seringkali salah kaparah menempatkan penggunaan sebutan “Paniaran”. Misalnya, dalam pesta adat, marga tertentu mengundang para istrinya untuk ikut bergabung dalam suatu acara dan memanggilnya dengan sebutan Paniaran. Pada hal kata paniaran timbul dengan latar belakang seorang perempuan janda menjadi istri kedua kerabat suaminya. Prosesnya diawali dengan menjemur pakaian di jemuran pakaian janda tersebut sebagai cara pemberitahuan pada janda yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya bahwa janda tersebut akan dikawini olehnya menjadi isterinya yang kedua. Dari peristiwa inilah asal kata paniaran ( SHW Sianipar, Ibid, halm.105).
Nanialap. Nanialap artinya istri. Latar belakang timbulnya nama Nanialap ini adalah karean istri dijemput dari rumah orang tuanya.
Parsinonduk. Parsinoduk adalah panggilan laki-laki kepada istrinya dengan bahasa batak yang lebih halus. Nama ini timbul dengan latarbelakang peranan istri yang senantiasa menyiapkan makanan suaminya atau keluarga pada waktu makan. Konsekwen panggilan ini , maka tidak baik bila ada orang lain yang menyediakan makanan bagi suami di rumahnya, sebab suami itu adalah miliknya. Sebaliknya Sinonduk yaitu panggilan untuk seorang laki-laki yang menjadi suami seorang perempuan.
Ripe. Ripe artinya adalah milik. Bedanya dengan Nanialap dan Parsinonduk, adalah menyangkut makna kata, dimana kata ripe lebih bersifat pribadi dan menggunakan
122 OMPU BONAHUTA
bahasa “ sehari-hari”. Jika kata ripe berulang menjadi “ripe-ripe”, maka penegrtinanya jadi beda yakni milik bersama.
Tunggani Boru. Tunggani Boru artinya juga istri. Menurut SHW Sianipar, kata tunggani berasal dari asal kata tugane ( tugani) yang artinya seseorang yang di haruskan bertanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh seorang perempuan. SHW Sianipar, Ibid, hlm104). Perempuan dimaksud disebut Tunggani Boru.
Parsinuan. Parsinuan artinya anak yang meneruskan keturunan selanjutnya dalam suatu keluarga tertentu. Penggunaan kata parsinuan di tujukan pada anak laki-laki.
Ihan Batak dan Ihan Mas. Ihan ( ikan) Batak dan Ikan Mas adalah dua jenis ikan yang menjadi ikon kesehatan, banyak keturunan dan hidup sejatera. Ihan batak adalah ikan khusus di Tanah Batak, yang bentuknya seperti ikan aruana. Ikan ini hidup di air yang bersih dengan suhu udara dibawah 20 derajat selsius. Dahulu jenis ikan ini banyak di Danau Toba dan Sungai Asahan serta sungai-sungai lain yang keadaan lingkungannya bersih dengan tingkat suhu tertentu. Sekarang, karena lingkungan hidup Tano Batak sudah rusak , maka jenis ikan ini telah amat langka. Bahkan kini , jenis ikan ini hampir sudah punah. Danau Toba tampaknya tidak layak lagi sebagai tempat hidupnya , sebab telah tercemar limbah, dan masuknya ikan-ikan jenis lain yang memangsa anak-anaknya. Misalnya, masuknya ikan jenis mujahir dan ikan-ikan lain yang tidak ramah lingkungan menyebabkan Ihan Batak relatip punah. Sedangkan Ikan Mas memang masih banyak, tetapi bukan lagi hidup di Danau Toba dan Sungai Asahan, melainkan telah diternakkan di kolam tertentu atau sawah. Ikan ini diberikan oleh Hula-hula kepada Boru pada saat melaksanakan kegiatan adat dengan nama “ dengke simudur-udur,dengke sitio, dengke sahat” dalam maksud agar seperti ikan itu, berbaris, hidup bersih dan sehat serta mempunyai keturunan yang banyak. Jadi desebut dengke sitio, oleh karena ikan batak dan ikan mas itu hidup atau diambil dari air yang bersih. Sementara dengke sahat, maksudnya adalah agar segala doa hula-hula kepada borunya didengar Tuhan. Itulah sebabnya pemberian ikan ini akan di ikuti pemberian ulos batak jenis Ulus
OMPU BONAHUTA 123
Ragi Hotang yang maknanya adalah sama yakni agar banyak keturunan, kaya dan menjadi orang yang terhormat.
Piso-piso. Piso-piso adalah pemberian paling tinggi dari Boru kepada Hulahula. Dahulu kala latar belang timbulnya piso-piso adalah karena seseorang (Hulahula) akan memangku jabatan atau menjadi raja. Dalam rangka itu, maka raja merayakannya dengan pesta adat. Untuk kepentingan tersebut, pihak Boru memberikan sebilah pisau yang disebut Piso Halasan kepada sang raja pada waktu berlangsungnya pesta. Namun, sekarang ini piso-piso telah diganti dengan uang dan diberikan oleh Suhut kepada Hulahula pada saat pesta adat.
Jambar dan Parjambaran. Yang dimaksud dengan jambar adalah hak dalam pembagian daging babi/ kambing/ sapi/ kerbau yang disembeli pada saat pelaksanaan adat tertentu. Bagian dari juhut (daging) itu meliputi ; Ulu (kepala), Rungkung (leher) dan Ihurihur ( bagian belakang). Sedangkan yang disebut parjambaran adalah sujumlah daging yang ditambahkan pada jambar tadi untuk dibagikan kepada para undangan yang berhak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan adat. Dahulu parjambaran ini adalah daging yang dipotong-potong dalam ukuran yang kecil ( dalam bahasa batak disebut tanggo-tanggo). Sekarang, panjambaran terdiri dari (1) Panamboli, (2) Rusuk atau yang sering disebut Somba-somba, dan (3) Soit. Pembagian jambar tidaklah sama di setiap daerah. Misalnya menurut adat di Samosir dengan di Toba Uluan dan di Humbang pembagian jambar juhut berbeda dari pembagian jambar juhut yang disebutkan di atas. Oleh karena masalah perbedaan itu, maka solusinya dilakukan dengan kearifan lokal yaitu : “ sidapot solup do naro” yang artinya pembagian jambar juhut dan atau pemberlakuan adat berlaku menurut norma adat yang dipraktikkan di daerah yang menyelenggarakan pesta hajatan.
Titi Marangkup Sering kali kita mendengar pengucapan kata ini salah dengan mengatakan “tintin marangkup”. Pada hal yang benar adalah “Titi Marangkup” yang artinya semacam jembatan persaudaraan berupa sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh orang tua mempelai perempuan kepada Hula-Hula mempelai Laki-laki. Motivasi pemberian uang ini adalah siapa pun yang menjadi istri Bere
124 OMPU BONAHUTA
(Ponakan) dari pada Hula-hula mempelai laki-laki adalah menjadi putrinya. Oleh karena orang tua mempelai perempuan itu telah mengawinkan putrinya dan menerima sinamot (uang atau barang berharga) dari orang tua mempelai lakilaki, maka wajib memberikan secukupnya uang/barang berharga tersebut kepada Hula-hula mempelai laki-laki. Uang atau barang berharga yang diberikan tersebut dinamakan “Titi Marangkup”. Dengan diberikan/diterimanya uang atau benda berharga itu, maka mereka telah bersaudara, menerima mempelai perempuan itu sebagai putrinya dan ikut bertanggung jawab atas perjalanan rumah tangga mempelai tersebut kemasa depan.
OMPU BONAHUTA 125
Kepustakaan S.H.W. Sianipar. DL. Tuho Parngoluon Dalihan Natolu Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, 1991. Basyral Harahap. Gereget Tuanku Rao, 2007. Budaya Batak , Wipadia, Bahasa Indonesia, 2012. Aris Ananta, dkk, Penduduk Indonesia. Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik LP3ES, 2003. Lance Castles, The Political Life of A Sumantran, Residency Tapanuli 1915 – 1940, Tahun 1972. Prof. DR. Koetjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan Indonesia, 1981. Doangsa PL. Situmeang, Dalihan Natolu, Sistem Sosial, Kemasyarakatan Batak Toba, 2001. DL. Tobing. The Structure of the Toba Batak Belief in the Hight God, Amsterdam, Jacop van, Kampen, 1956. Stungkir, Dalihan Natolu, Ke Makro Soial, 2008. Komaruddin Hidayat, Kompas, 2 Mei 2011. Silsilah ( Tarombo ) Besar Bona Huta Manurung Yang Disusun Generasi XII.
126 OMPU BONAHUTA