Organofosfat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus “INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT”



Disusun oleh: dr. Otniel Budi Krisetya



Program Internsip Dokter Badan Rumah Sakit Daerah Luwuk, Kabupaten Banggai Periode Oktober 2014 – Oktober 2015 1



LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien Nama



: Tn. R



Umur



: 45 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Alamat



: Toili Barat



Pekerjaan



: Petani



Agama



: Islam



Tgl masuk RS



: 19 september 2015



B. Keluhan Utama Pasien datang dengan penurunan kesadaran setelah minum racun



C. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD BRSD Luwuk dengan keluhan penurunan kesadaran disertai mulut berbusa sejak +/- 9 jam SMRS. Awalnya pasien beraktivitas di ladang pada siang hari ya, namun tiba-tiba ditemukan oleh keluarganya tergeletak di ladang dengan racun rumput yang tergeletak disebelahnya. Pasien langsung tidak sadarkan diri dan mengeluarkan busa dari mullutnya. Keluarga tidak ingat racun apa yang dikonsumsi pasien namun langsung membawa pasien ke puskesmas terdekat. Di puskesmas pasien hanya diberikan cairan saja tanpa pembilasan lambung.



D. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat keluhan serupa



: disangkal



Riwayat hipertensi



: disangkal



Riwayat mondok di RS



: Fraktur Clavicula +/- 1 minggu yll



Riwayat asma/ Alergi



: disangkal



Riwayat penyakit gula



: disangkal



Riwayat alergi



: disangkal



E. Pemeriksaan Fisik a. Kesan Umum : Tampak Sakit Berat Kesadaran



: GCS: E1V1M1 2



b. Vital Sign



:



Tekanan darah : 130/110 mmHg Nadi



: 140 x/menit



Suhu badan



: 36,4oC



Pernafasan



: 40 x/menit



c. Pemeriksaan kulit Turgor dan elastisitas dalam batas normal, kelainan kulit (-), sianosis (-) d. Pemeriksaan kepala  Rambut



: Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata



 Pemeriksaan mata : Palpebra edema (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)  Pupil



: Reflek cahaya (-/-), pinpoint pupil +/+



 Mulut



: Stridor + , Hipersalivasi +



 Pemeriksaan Telinga



: Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)



 Pemeriksaan Hidung



: Sekret (-/-), epistaksis (-)



e. Pemeriksaan Leher



:



 Kelenjar tiroid tidak membesar  Kelenjar lnn Tidak membesar, nyeri (-) f. Pemerikasaan dada



:



 Inspeksi



: retraksi (-), Nafas Cepat dan Dalam (pernafasan Kusmaull)



 Palpasi



: ketinggalan gerak (-)



 Perkusi



: sonor pada seluruh lapang paru



 Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+), Suara tambahan : Ronkhi (+), wheezing (-), krepitasi (-), S1 S2 reguler g. Pemeriksaan Abdomen  Inspeksi : Bentuk bulat, defans muskular (-), venektasi (-), sikatrik (-) 3



 Auskultasi: Peristaltik usus (+)  Perkusi : Timpani, nyeri ketok kostovertebra (-), pekak beralih (-), undulasi (-)  Palpasi: Nyeri tekan abdomen (+) bagian epidastrik dan umbilikalis, abdomen kiri, nyeri lepas tekan (-), massa (-), Nyeri tekan suprapubik (-) . h. Extremitas atas edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+). i. Extremitas bawah: edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+). F. EKG Pada EKG Didapatkan Sinus Tachycardia G. Penegakkan Diagnosa Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dimana terdapat Penurunan Kesadaran, Nafas cepat dan dalam, sinus takikardia, pinpoint pupil, Hipersalivasi, dan riwayat meminum racun rumput maka dapat disimpulkan bahwa Diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah Intoksikasi Organofosfat



H. Penatalaksanaan di IGD 



Pemasangan monitor + Guedel + O2 10 lpm







Intubasi endotrakeal







IVFD RL 20 tpm



Instruksi dr H.Haris Nohu,SpPD: 



Injeksi Atropin Sulfas 1 mg (4 ampul) / 15 menit,diberikan sampai tercapai efek Atropinisasi (Pupil Midriasis, Oksigenasi adekuat)







Inj. Dexamethasone 1 amp







Pro ICU



I. Follow Up



4



Pasien meninggal di ICU pada tanggal 20 September Dini Hari pkl 04.00



5



TINJAUAN PUSTAKA



A. Pendahuluan Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi : -



Insektisida (pembunuh insekta)



-



Fungisida ( pembunuh jamur)



-



Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu) Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit



tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga. Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida banyak digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan dinegara yang sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida adalah sebagai berikut -



Amerika Serikat 45%



-



Eropa Barat 25%



-



Jepang 12%



-



Negara berkembang lainnya 18% Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan



pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.



6



B. Definisi Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.



Struktur umum organofosfat Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. C. Predisposisi Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah : 1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain : a. Umur Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. b. Status gizi



7



Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahantubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yangburuk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memilikitingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebihbesar. c. Jenis kelamin Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oralsejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuhuntuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan.Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jeniskelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuankarena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim



kolinesterase,meskipun



demikian



tidak



dianjurkan



wanita



menyemprot



denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-ratakolinesterase cenderung turun. d. Tingkat pendidikan Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahanpengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebihtinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya jugalebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akanlebih baik. 2. Faktor di luar tubuh (eksternal) a. Dosis Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakinmempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yangdianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha. b. Lama kerja Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak denganpestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.Penurunan aktivitas 8



kolinesterase dalam plasma darah karena keracunanpestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggusetelah melakukan penyemprotan. c. Tindakan penyemprotan pada arah angin Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukanpenyemprotan.Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angindengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saatmenyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih besardibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan arahangin. d. Frekuensi penyemprotan Semakin



sering



melakukan



penyemprotan,



maka



semakin



tinggi



pularesiko



keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai denganketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisidamaksimal 5 jam perhari. e. Jumlah jenis pestisida Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktupenyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar biladibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efeksamping yang semakin besar D. Patofisiologi



Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.



9



Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.



Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan 10



nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. E. Gejala Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat a. Efek muskarinik Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk: diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi. Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk: 



1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi







2. Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan







3. Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensia alvi







4. Genitourinari – Inkontinensia urin







5. Mata – mata kabur, miosis







6. Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan



b. Efek Nikotinik Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat. c. Efek sistem saraf pusat Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah, bingung, cemas, depresi salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma. F. Diagnosis Banding G. Diagnosis 1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. 2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral, yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan. 11



3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan sebelumnya 4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. H. Pemeriksaan penunjang 1) Laboratorium klinik 



analisa gas darah







darah lengkap







serum elektrolit







pemeriksaan fungsi hati







Pemeriksaan fungsi ginjal







sedimen urin



2) EKG 



Deteksi gangguan irama jantung



3) Pemeriksaan radiologi 



Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.



I. Penatalaksanaan a. Stabilisasi Pasien Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum. b. Dekontaminasi Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan 12



sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara. Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah. Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik. c. Pemberian Antidotum a) Agen Antimuskarinik Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea. Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin. b) Oxime Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh



13



organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator. Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat. d. Pemberian anti-kejang Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) J. Komplikasi 



Gagal nafas







kejang







pneumonia aspirasi







neuropati







kematian



KESIMPULAN Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime. Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pasien.



14



15



DAFTAR PUSTAKA



1. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity. Medscape eMedicine, 2011. Available on: http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview. Accessed: 4th May 2011. 2. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi IV. 2006. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Page 214-16 3. Ooi S, Manning P. Guide to Essentials in Emergency Medicine. Singapore: McGrawHill, 2004. Page: 369-71



16