Referat Keracunan Organofosfat [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Abdu
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT FEBRUARI 2022



KERACUNAN ORGANOFOSFAT



Oleh : Muh. Chandra Alim



Pembimbing : dr.



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE 2022



1



PENDAHULUAN Pada tahun 1983 dilaporkan angka mortalitas keracunan pestisida yang tidak disengaja mencapai 7 per 10 juta laki-laki dan 0,5 per 10 juta wanita. Biasanya, sekitar 20.000 kasus intoksikasi organofosfat dilaporkan setiap tahunnya. Pada tahun 1998, American Association of Poison Control Centers melaporkan sebanyak 16.392 jiwa terpapar organofosfat dan 11 jiwa diantaranya mengalami kematian. Anak-anak yang terpapar senyawa ini sepertinya lebih besar di negara berkembang karena anak-anak banyak yang bekerja di ladang pertanian atau disewa sebagai buruh pertanian. Penggunaan organofosfat sebagai agen bunuh diri ternyata di negara berkembang lebih besar. Bunuh diri dan keracunan organofosfat menyebabkan 200.000 kematian setiap tahunnya di negara berkembang.1 World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyebutkan total 137.300 kematian dan 7.825.000 tahun kehidupan yang hilang karena disabilitas (DALY/ disability-adjusted life years) akibat keracunan karena zat-zat kimia termasuk pestisida. Penggunaan organofosfat sendiri diperkirakan sebesar 40% dari total penggunaan pestisida di seluruh dunia. Meskipun banyak pestisida organofosfat dimetabolisme secara cepat dan tidak menetap di lingkungan, senyawa ini umumnya beracun karena kemampuannya menghambat asetilkolinesterase secara ireversibel. Di seluruh dunia, sekitar tiga juta orang terpapar organofosfat setiap tahunnya dengan 300.000 kasus berakibat fatal. Pada tahun 2004, diperkirakan terdapat satu hingga lima juta keracunan organofosfat per tahun. Kasus kematian akibat keracunan organofosfat mencapai angka 99% di Asia, Eropa dan Amerika Serikat.2,3,4



1



PEMBAHASAN A. KERACUNAN 1. Definisi Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.5 2. Jalan Masuk Racun masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu6 : a. Ditelan (per oral ; ingesti) b. Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi) c. Melalui penyuntikan (parenteral ; injeksi) d. Penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit e. Melalui anus atau vagina (perektal ; pervaginam) 3. Klasifikasi Racun dapat digolongkan sebagai berikut5: a. Pestisida 1) Insektisida a) Organoklorin i. Derivat Chlorinethane: DDT ii. Derivat Cyclodiene         : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan, Aldrin, Heptachlor, toxapene. iii. Derivat Hexachlorcyclohexan      : Lindan, myrex.



2



b) Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion. c) Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam. b. Herbisida 1) Chloropheoxy 2) Ikatan Dinitrophenal 3) Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave 4) Ikatan Urea 5) Ikatan Triasine: Atrazine 6) Amide: Propanil 7) Bipyridye c. Fungisida 1) Caplan 2) Felpet 3) Pentachlorphenal 4) Hexachlorphenal d. Rodentisida 1) Warfarin 2) Red Squill 3) Norbomide 4) Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide 5) Aepha Naphthyl Thiourea 6) Strychnine 7) Pyriminil 8) Anorganik: a) Zinc Phosfat b) Thallium Sulfat c) Phosfor d) Barium Carbamat e) Al. Phosfat f) Arsen Trioxyde e. Bahan Industri



3



f. Bahan untuk rumah tangga g. Bahan obat-obatan h. Racun (tanaman dan hewan) Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu1: a. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga. Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya. b. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan. Misalnya: pestisida, herbisida. c. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan. Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb. d. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium. Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb. e. Racun-racun yang terdapat di alam bebas. Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang. 4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun adalah sebagai berikut5,6 : a. Cara pemberian Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya. Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat. b. Keadaan tubuh 1) Umur



4



Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan. 2) Kesehatan Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai  dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai. 3) Kebiasaan Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya. 4) Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)



5



Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut. c. Racunnya sendiri 1) Dosis Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan beratringannya akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi. 2) Konsentrasi Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya



zat-zat



korosif,



konsentrasi



lebih



penting



bila



dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut. 3) Bentuk dan kombinasi fisik Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung



6



kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan. 4) Adiksi dan sinergisme Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi. 5) Susunan kimia Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya. 6) Antagonisme Kadang-kadang



dijumpai



kasus



dimana



seseorang



memakan lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik. B. Keracunan Organofosfat Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktur dasar organofosfat baru



7



dipublikasikan pada tahun 1948.Golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan.Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf7,8.



                       



Table 1. Jenis-Jenis pestisida golongan organophosfat7 Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain7,8 :  Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).  Kadusafos, merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.



8



 Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.  Klorpirifos, merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi.LD50 oral (tikus) sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.  Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.  Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.  Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.  Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan proinsektisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida nonsistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.  Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan leadstructure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf



9



yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.  Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida nonsistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.  Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57 – 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg. 1. Mekanisme Keracunan Organofosfat Insektisida golongan organofosfat yang tidak membutuhkan aktifitas metabolic yang disebut juga dengan inhibitor langsung, dimana akan menghasilkan efek toksik pada daerah yang kontak langsung, termasuk keringan (berhubungan langsung dengan kulit), miosis atau pupil pinpoint (kontak dengan mata), dan/atau bronkospasme (kontak dengan pernafasan). Pada insektisida golongan organofosfat, ada organofosfat dengan inhibisi langsung (yang mengandung = O) dan organofosfat dengan inhibisi tak langsung (yang mengandung = S) tergantung dari dibutuhkan atau tidaknya pengaktivan



metabolic



sebelum



terjadinya



hambatan



pada



acetylcholinesterase. Dengan kata lain, senyawa organofosfat indirek harus menjalani bioaktivasi sehingga menjadi aktif secara biologi. Senyawa organofosfat indirek contohnya parathion, diazinon, malathion, dan chlorpyrifos menjadi lebih toksik dibandingkan senyawa induknya9. Organofosfat diabsorpsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan jalan utama pajanan pekerjaan melalui kulit. Setelah diabsorbsi sebagian besar diekskresikan dalam urin, hamper seluruhnya



10



dalam bentuk metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat dalam metabolism senyawa organofosfat. Selang waktu antara absorpsi dan ekskresi bervariasi. Pada umumnya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk –thion (mengandung sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung oksigen), dalam –okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada lingkungan sehingga hasil tanaman pekerja dijumpai pajanan residu yang dapat lebih toksik dari pestisida yang digunakan. Sebagian besar sulfur dilepaskan ke dalam bentuk mercaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk –thion organofosfat. Mercaptan memiliki aroma yang rendah, dan reaksi-reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu keliru sebagai akibat keracunan akut organofosfat. Konversi dari –thion menjadi -okson juga dijumpai secara invivo pada metabolism mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat menghidrolisa organofosfat ester, menghasilkan alkali fosfat dan fenol yang memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi. Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja pada ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot, penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. Setelah masuk dalam tubuh, golongan organofosfat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Keadaan ini akan menimbulkan efek yang luas5,9,10 . Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut



11



dalam bentuk komponen yang stabil. Potensiasi aktivitas parasimpatik postganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil, stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventrikular dihambat. Mula-mula stimulasi disusul dengan depresi pada sel sistem saraf pusat (SSP) sehingga menghambat pusat pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang bervariasi pada ganglion dapat mengakibatkan tekanan darah naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil. Kematian disebabkan karena kegagalan pernafasan dan blok jantung5,10 2. Gejala Keracunan Organofosfat Efek dari keracunan organifisfat dapat local (keringat dari kulit yang kontak dengan agen toksik) ataupun sistemik. Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat biasanya akan muncul 5 menit hingga 12 jam setelah kontak. Diagnosis intoksikasi organofosfat pada umumnya terjadi 6 jam setelah kontak. Jika gejala muncul 12 jam setelah kontak makan dapat dipertimbangkan kausa lain dan jika gejala muncul 24 jam setelah kontak maka intoksikasi organofosfat menjadi samar-samar9. Tanda dan gejala akut dari intoksikasi organofosfat berhubungan dengan inhibisi asetilkolinesterase. Manifestasi klinik dari kontak dengan senyawa organofosfat berupa9,11 :  Efek muskarinik (system parasimpatis) termasuk keringat, hipersalivasi, hiperlakrimasi, bronchospasme, dyspnea, gejala gastrointestinal (mual, muntah, keram abdomen, dan diare), miosis (pupil pinpoint), penglihatan kabur, inkontinensia urin, wheezing, bradikardi.  Efek nikotinik (system saraf simpatis dan motorik) termasuk hipertensi, fasikulasi oto, keram otot, kelemahan motorik, takikardi, dan paralisis  Efek CNS termasuk kecemasan, pusing, insomnia, mimpi buruk, sakit kepala, tremor, bingung, ataksia, koma. Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat ini dapat digambarkan dalam DUMBELS : Diare, Urination, Miosis, Bronkospasme, Emesis, Lakrimasi, Salivasi. Tanda dan gejala dari intoksikasi ini tidak akan terjadi



12



kecuali aktifitas kolineterase sekitar 50 persen atau kurang dari aktifitas normalnya9. Tanda dan gejala dari intoksikasi sedang hingga berat akan berubah dalam beberapa hari hingga minggu. Dalam beberapa kasus intoksikasi organofosfat berat, hal ini bisa terjadi selama 3 bulan atau sebelum sel darah merah kolinesterase kembali normal. Kematian dari kasus ini biasanya terjadi karena kegagalan pernafasan mulai dari depresi pusat pernafasan, paralisis otot-otot pernafasan, dan sekresi bronchial yang berlebihan, edema pulmonal, dan bronkokonstriksi. Kematian pad keracunan organofosfat yang akut terjadi pada pasien yang tidak diterapi dalam waktu 24 jam atau pasien yang mendapatkan terapi selama 10 hari. Jika tidak terjadi anoksia, maka penyembuhan total dapat terjadi, biasanya 10 hari setelah kontaminasi9. Pada umumnya, efek kronik dari intoksikasi organofosfat adalah delayed neuropathy. Beberapa organofosfat dapat memicu neuropathy yang dikenal dengan organophosphate-induced delayed neuropathy (OPIDN). Jenis organofosfat yang dapat menyebabkan OPIDN adalah TOCP, mipafox, trichlorphon, leptophos, dan methamidophos. Hal ini menunjukkan bahwa hanya beberapa senyawa organofosfat yang dapat menyebabkan OPIDN.9 Terjadinya suatu OPIDN tidak berhubungan secara fisilogis dengan inhibisi kolinesterase. Teori tentang OPIDN mencakup dua proses pada system saraf. Pertama, terjadi fosforilasi pada protein saraf. Enzim ini disebut dengan neuropathy target esterase (NTE), yang juga dikenal dengan neurotoxic esterase. Kedua, transformasi dari enzim. Proses ini melibatkan pembelahan grup R dari fosfor, menghasilkan residu negative yang melekat pada sisi aktif enzim. Sindrom ini berkembang dalam 8-35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat. Gejala awal dari OPIDN adalah keram dan kekakuan pada kaki dan kemudian pada tangan. Selanjutnya, kelemahan akan terjadi pada tungkai bawah. Kelemahan bilateral pada tungkai (foot drop)dan pergelangan tangan (wrist droop) dapat terjadi dan biasanya reflex tendon tidak ada atau normal9. 3. Diagnosis Kriteria diagnosis pada keracunan adalah12 :



13



a. Anamnesa kontak antara korban dengan racun. b. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari keracunan racun yang diduga. c. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa na benda bukti tersebut memang racun yang dimaksud. d. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain. e. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan adanya racun serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban , secara sistemik. Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di tubuh manusia. Salah satu hal yang dapaat digunakan untuk mengindentifikasi adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik. Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk investigasi kasus keracunan organofosfat12. 4. Tatalaksana Penanganan yang dapat diberikan pada pasien dengan keracunan organofosfat yaitu2,5 :  Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan menghilangkan gejala –gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena



14



atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan.  Pralidoksim. Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, keefektifannya dipertanyakan. Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. Pralidoksim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka. Pertolongan pertama keracunan organofosfat yang mengenai kulit adalah mencuci bagian yang terpapar dengan sabun dan air dingin. Lebih baik lagi jika mandi, mengganti pakaian, mencuci pakaian yang terpapar dengan menggunakan sarung tangan. Jika mata yang terkena maka harus dicuci dengan air mengalir paling tidak selama 15 menit. Jika organofosfat tertelan, pertolongan awal adalah melegakan saluran napas dengan membersihkan sisa muntahan dan lender berlebih di dalam rongga mulut korban. Kemudian miringkan korban. Pastikan korban masih bernapas. Jika tidak, segera berikan bantuan hidup dasar, tetapi gunakan masker atau kain untuk menghindari organofosfat meracuni penolong. Sebaiknya upayakan untuk mengetahui jenis racun penyebabnya7. 5. Pencegahan Pencegahan adalah tindakan relatif sederhana dan mudah dilakukan. Hal penting yang harus diperhatikan, antara lain bahan rumah tangga yang mengandung organofosfat harus dijauhkan dari jangkauan anak atau tempatkan pada wadah yang tidak dapat dibuka oleh anak7. Cara penyimpanan pestisida : a. Pestisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda, sebaiknya tertutup dan dalam lemari terkunci.



15



b. Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh disimpan dekat makanan. Campuran yang rasanya manis biasanya paling berbahaya. Tandatanda harus jelas juga untuk mereka yang buta huruf. c. Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus dibakar agar sisa pestisida musnah sama sekali. d. Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti di botolbotol, sangat besar bahayanya.



16



PENUTUP Keracunan adalah masuknya zat racun ke tubuh, baik melalui saluran cerna, napas, maupun kulit dan mukosa sehingga menimbulkan gejala keracunan. Keracunan masih sering terjadi pada anak. Organofosfat adalah zat kimia sintesis yang terkandung pada pestisida untuk membunuh hama (serangga, jamur, atau gulma). Organofosfat juga digunakan dalam produk rumah tangga, seperti pembasmi nyamuk, kecoa, dan hewan pengganggu lainnya. Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena menghambat enzim kolinesterase. Enzim ini berfungsi agar asetilkolin terhidrolisis menjadi asetat dan kolin. Organofosfat mampu berikatan dengan sisi aktif kolinesterase sehingga kerja enzim ini terhambat. Asetilkolin terdapat di seluruh sistem saraf. Asetilkolin berperan penting pada sistem saraf autonomy yang mengatur berbagai kerja, seperti pupil mata, jantung, pembuluh darah. Asetilkolin juga merupakan neurotransmitter yang langsung memengaruhi jantung serta berbagai kelenjar dan otot polos saluran napas.



17



DAFTAR PUSTAKA 1. R. Kamanyire and L. Karalliedde.Organophosphate toxicity and occupational Exposure. Occupational Medicine 2004;54:69–75.DOI: 10.1093/occmed/kqh018 2. World Health Organization. 2016. The Public Health Impact of Chemicals. Jenewa: WHO Document Production Service. 3. Perwitasari, D.A., D. Prasasti, W. Supadmi, S.A.D. Jaikishin, dan I.A. Wiraagni. 2017. Impact of organophosphate exposure on farmers’ health in Kulon Progo, Yogyakarta: Perspectives of physical, emotional and social health. SAGE open medicine, 5, p.2050312117719092. 4. Putri, D., N. Aryana, Y. Aristiawan dan D. Styarini. 2017. Screening of the presence organophosphates and organochlorines pesticide residues in vegetables and fruits using gas chromatography-mass spectrometry. AIP Conference Proceedings. Vol. 1803, No. 1: 020042). 5. Santoso, Jihad. Keracunan Arsenik. [online] April, 2012 6. Mun’im, Abdul. Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Binarupa Aksara . Jakarta : 1997. Hal 329-46 7. Asti, Yodenca. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. 2008. 8. Joseph Fenton. Insecticides In : Toxicology A case-Oriented Approach.



CRC Press. Washington D.C : 2002. 9. Philip Wiliiams, dkk. Properties and Effects of Pesticides In : Priciple of



Toxicology. A Wiley – Interscience Publication. New York. 2000. Hal. 345-51 10. Sari Lubis, Halinda. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Keracunan Pestisida Golongan Organofosfat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2002. 11. Hodgson Ernest. A Textbook of Modern Toxicology. A John Wiley & Sons, Inc Publication. New Jersey. 2004. Hal. 54-64



18



12. Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus



Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences.Jakarta. 2008. Hal 35-9



19