Pajak 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat,pendidikan,kesejahteraan rakyat,kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai suatu Negara. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari penerimaan Negara . lagi pula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa pengeluaran rutin dan pembangunan yang berguna bagi rakyat.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pemahaman Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Berdasarkan UU No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat



2.1.2 Pengertian Wajib Pajak Pajak Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanga-undangan perpajakan.



2.1.3 Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :



a) Fungsi Anggaran (Budgetair) Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Untuk menjalankan tugastugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan, Negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.



b) Fungsi Mengatur (Regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. c) Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. d) Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat



2.2 Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) 2.2.1 Pengertian Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah Perjanjian penghindaran pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states). Beberapa pasal dalam P3B memerlukan aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of application), misalnya tentang pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat perbedaan penafsiran atau penerapan yang bertentangan dengan P3B antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual agreement procedure. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang, karena dalam penerapannya berfungsi melengkapi. Perjanjian dianggap sah dan dapat dijalankan oleh penduduk antar negara bila disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang di negaranya, dalam hal ini bisa DPR atau Presiden. Pengesahan tersebut dikenal dengan istilah ratifikasi.



2.2.2 Tujuan penghindaran Pajak Berganda (P3B) Tujuan Penghindaran Pajak berganda adalah :  Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha. Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.



 Peningkatan investasi modal dari luar negeri. Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.  Peningkatan sumber daya manusia. Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai. Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan dikenakan pajak, maka akan membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar di luar negeri atau menambah ilmu di luar negeri di mana mereka belajar atau bekerja. Hal ini jika diberlakukan maka sumber daya manusia salah satu negara tersebut akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan.  Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak. Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin. Negara yang terkait dengan tax treaty, dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber. Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.  Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara. P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.



Sehingga apabila antara dua negara telah mengadakan perjanjian Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka setiap transaksi yang berhubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Orang Pribadi maupun Badan yang berasal dari kedua negara tersebut. Maka pengenaan pajaknya diatur dalam tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) tersebut. Apabila antara kedua negara tidak terdapat tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka pengenaan pajak penghasilan berdasarkan peraturan perpajakan di negara masing-masing.



2.3 Pembahasan PPh Pasal 26 2.3.1 Pengertian PPh Pasal 26 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Menurut ketentuan PPh Pasal 26, tarif umum yang dikenakan adalah 20% dan bisa berubah jika Wajib Pajak mengikuti Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ada pengecualian mengenai PPh yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia, yaitu tidak berlaku untuk yang bukan BUT di Indonesia..Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).



Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a) Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan b) Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak



2.4 Pemotong dan Pihak yang Dipotong di dalam PPh Pasal 26: 2.4.1 Pemotong PPh pasal 26: 1) Badan Pemerintah Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara RepublikIndonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.



2) Subjek Pajak dalam negeri Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusankeputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.



Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undangundang Pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.



3) Penyelenggara Kegiatan Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.



4) BUT (Badan Usaha Tetap) BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.



5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh pasal 23. ContohnyaRepresentative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.



2.4.2 Pihak yang dipotong di dalam PPh Pasal 26 Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap. Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.



2.5 Tarif dan Objek PPh pasal 26 1) PPh pasal 26 = penghasilan bruto x 20% 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :  Dividen;  Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;  Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;  Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;  Hadiah dan penghargaan  Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.  Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau  Keuntungan karena pembebasan utang. 2) 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa : PPh pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%  Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia. Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk penjualan harta di Indonesia adalah 25% dari harga jual.  Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang (broker) kepada perusahaan asuransi di luar negeri. Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi adalah sebagai berikut :  Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang (broker), sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di Luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.



 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan Reasuransi yangberkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransidi Luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar. 3) 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia : PPh pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%. Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual. 4) PPh pasal 26 = (PKP-PPh terutang) x 20% 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. Penanaman kembali tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:  Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan,  Penanaman kembali dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut,  Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama satu tahun sejak perusahaan tersebut didirikan  Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.



5) Ketentuan tarif 20 % mengikuti kriteria sebagai berikut:  Tarif 20% (final) dari laba bersih juga berlaku atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak, termasuk dalam BUT di Indonesia.  Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak termasuk di dalamnya dalam BUT di Indonesia. Tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang penghasilannya tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.  Tax Treaty atau P3B antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian bisa saja berbeda satu sama lain. Tarifnya biasanya bisa untuk mengurangi tingkat dari tarif biasa yang sebesar 20% dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.



Daftar Tarif PPh pasal 26 dalam P3B di indonesia No Negara Treaty Partner



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18



Afrika Selatan Australia Austria Belgium Bulgaria Canada Renegosiasi Ceko Denmark Finland France Germany Hungary India Italy Japan Kuwait Luxembourg Malaysia



Berlaku Mulai



1-1-99 1-7-93 1-1-89 1-1-75 1-1-93 1-1-80 1-1-99 1-1-97 1-1-87 1-1-90 1-1-81 1-1-92 1-1-94 1-1-88 1-1-96 1-1-83 1-1-99 1-1-95 1-1-87



Dividen Dividen Bunga Royalty PPh Pasal 26 Ayat Portofolio Penyertaan 4 Langsung (Branch Profit Tax) 15% 10% 10% 15% 10% 15% 15% 10% 15% 15% 15% 10% 10% 10% 12% 15% 15% 15% 10% 15% 15% 15% 10% 10% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 10% 10% 10% 15% 15% 10% 12,5% 12,5% 12,5% 20% 10% 10% 15% 15% 15% 10% 10% 15% 15% 15% 10% 15% 10% 10% 15% 10% 10% 15% 10% 15% 15% 15% 15% 20% (*) 15% 10% 10% 15% 10% 15% 10% 10% 15% 12% 15% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 5% 20% 10% 15% 10% 10% 12,5% 10% 15% 15% 15% 15% 12,5%



19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 31 32 33 34 35 36 37 38



39 40 41 42 43 44



Mauritius Netherland Renegosiasi New Zealand Norway Pakistan Philipina Poland Romania Saudi Arabia Singapore South Korea Srilangka Suriah Sudan Sweden Switzerland Taiwan Thailand Tunisia United Kingdom Renegosiasi Ukraina Uzbekistan Uni Emirat Arab USA Renegosiasi Vietnam Yordania



1-1-99 1-1-71 1-6-94 1-1-89 1-1-91 1-1-91 1-1-93 1-1-94 1-1-2000 1-1-89 1-1-92 1-1-90 1-1-95 1-1-99 7-8-2000 1-1-90 1-1-90 1-1-96 1-1-82 1-1-94 1-1-76



10% 15% 15% 15% 15% 15% 20% 15% 15% 20% 15% 15% 15% 10% 10% 15% 15% 10% 15% 12% 15%



5% 10% 10% 15% 15% 10% 15% 10% 12,5% 20% 10% 10% 15% 10% 10% 10% 10% 10% 15% 12% 10%



10% 10% 10% 20% 10% 10% 10% 15% 10% 15% 15% 15% 15% 15% 10% 15% 12,5% 12,5% 20% 20% 10% 15% 10% 15% 15% 15% 10% 20% 15% 10% 10% 15% 10% 12,5% 10% 10% 15% 15% 12% 15% 10% 15%



10% 9% 9% 20% 15% 10% 20% 10% 12,5% 20% 15% 10% 20% 10% 10% 15% 10% 5% 20% 12% 10%



1-1-95 1-1-99 1-1-99 1-1-2000



15% 15% 10% 10%



10% 10% 10% 10%



10% 10% 10% 5%



15% 10% 10% 5%



10% 10% 10% 5%



1-2-91 1-1-97 1-1-2000 1-1-99



15% 15% 15% 10%



15% 10% 15% 10%



15% 10% 15% 10%



15% 10% 15% 10%



15% 10% 10% 20%



(*) Berlaku hanya jika laba usaha ditransfer/didistribusikan kepada perusahaan induk di Hongaria



2.6 Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26 1) PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu. 2) Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3:  Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;  Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;  Lembar ketiga untuk arsip Pemotong. 3)PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. 4) SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2009. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.



2.7 Cara Perhitungan PPh pasal 26 1. Messi atlet dari Nigeria mengikuti perlombaan lari marathon di Indonesia pada mei 2007, dan berhasil merebut hadiah sebesar US$30,000. Kurs untuk US$1 = Rp9.000  Jadi PPh Pasal 26 yang dipotong penyelenggara kegiatan di Indonesia adalah: 20% x US$30,000 x Rp9.000 = Rp54.000.000 2. Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consulting. Mike tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Pada bulan april 2016 Mike memperoleh gaji sebesar US$10.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp10.500,- per US$ 1. Hitunglah PPh Pasal 26?  Penghasilan bruto berupa gaji sebulan: US$10.000 x Rp10.500 = Rp105.000.000  PPh Pasal 26 = 20% x Rp105.000.000 = Rp21.000.000  Jadi, PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2016 adalah Rp21.000.000 3. Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun 2015 sebesar Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan yaitu sebesar 25% x Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT setelah kena pajak yaitu sebesar Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?  PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp13.125.000.000 = Rp2.625.000.000.  Apabila penghasilan setalah pajak sebesar Rp13.125.000.000 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang telah diatur, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. 4. PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 1995 sebesar Rp1 miliar. Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 26-nya adalah sebagai berikut:  



Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)



Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui perusahaan yang ada di Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp1 miliar. PT XYZ mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi di luar negeri, misalnya PT KLM, dengan membayar premi sebesar Rp500 juta. Maka ketentuan PPh Pasal 26-nya adalah:  



Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000 PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)



5. David Beckham yang adalah Warga Negara Inggris memiliki 25% saham PT Persipura Indonesia. Tahun ini Beckham menjual seluruh sahamnya senilai Rp5 miliar kepada Kaka, seorang Warga Negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta Inggris sehubungan dengan transaksi tersebut maka besarnya:  PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp5.000.000.000 = Rp250.000.000 (dan bersifat final). Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham maka: 







Penghasilan atas penjualan saham tersebut dikenakan pajak sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan Neto, sedangkan besarnya Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual. Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut (penjual berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri), pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.



Penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh Pasal 26 kepada Wajib Pajak Luar Negeri untuk mengetahui apakah Wajib Pajak Luar Negeri tersebut berasal dari negara yang mempunyai Tax Treaty atau P3B dengan Indonesia atau tidak. Sebab ketentuan tarif pajaknya akan berbeda.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan, dapat diambil simpulan sebagai berikut : Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya pada tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak bila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir tahun pajak. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).



3.2 Saran kami harapkan bagi pihak yang berwenang dapat bijak dalam hal pemungutan pajak. Semoga hasil yang telah didapat dalam pemungutan pajak dapat digunakan dan dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai pajak tersebut melenceng dari yang seharusnya digunakan untuk masyarakat menjadi kepentingan pemerintah sendiri. Semua warga negara juga harus membayar pajak oleh karena itu kami harapkan pemerintah dapat mengambil tindakan yang tegas dalam hal ini dan tidak membeda-bedakan masyarakat, termasuk masyarakat yang dari luar negeri yang akan membuka usaha maupun bertempat tinggal tetap di Indonesia/ masyarakat yang akan tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama.



DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Pajak Penghasilan. http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajakpenghasilan-pasal-4-ayat-2 Bahrun, M. 2014. Pajak Jasa Konstruksi. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/19556 jasa-konstruksi,-antara-pasal-4-2-dan-pasal-23-uupphMardiasmo.2013.Perpajakan edisi revisi.Yogyakarta : Andi Yogyakarta. http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-26 http://hennytax12.blogspot.com/2013/01/pajak-penghasilan-pasal-26.html http://chusnulnuraeni.blogspot.co.id/2015/04/pajak-penghasilan-pasal26.html