Paper Konseling Keluarga Intervensi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PAPER RANCANGAN INTERVENSI PEMBERDAYAAN KELUARGA PERMASALAHAN PADA SINGLE PARENT DAN ORANGTUA TANPA ANAK



Kelompok 3:



Diva Uswatun Sulkha



15010115130110



Distarina Nurlaili R.



15010115130174



Hana Larasati E.



15010115140169



Diah Fatimatuzzahra



15010115140206



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017



BAB I DESKRIPSI INDIVIDU DAN LATAR BELAKANG



1.1 Biodata A. Biodata Subjek Nama



: Ibu M



Jenis Kelamin



: Perempuan



Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 10 Oktober 1977 Usia



: 40 Tahun



Agama



: Islam



Pendidikan Terakhir : SMA Alamat



: Semarang



Pekerjaan



: Pelayan rumah makan



Riwayat Pernikahan : Janda cerai



B. Biodata Anak 1 Nama



:A



Jenis Kelamin



: Perempuan



Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 5 Januari 2003 Usia



: 14 Tahun



Agama



: Islam



Pendidikann Terakhir : SMP Alamat



: Semarang



C. Biodata Anak 2 Nama



:B



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Tempat/Tanggal Lahir: Semarang, 6 Februari 2007 Usia



: 10 Tahun



Agama



: Islam



Pendidikan Terakhir : SD Alamat



: Semarang



D. Biodata Anak 3 Nama



:C



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Tempat/Tanggal Lahir: Semarang, 7 Maret 2010 Usia



: 7 Tahun



Agama



: Islam



Pendidikan Terakhir : SD Alamat



: Semarang



1.2 Kasus Subjek adalah seorang single mother asal Polandia yang berusia 40 tahun dengan inisial M. Ibu M memiliki 3 orang anak.Anak pertamanya perempuan dan dua lainnya laki-laki.Sejak Ibu M bercerai dengan suaminya, kehidupannya menjadi kacau.Ibu M tidak siap mengurus ketiga anaknya seorang diri.Penghasilannya yang dibawah rata-rata membuatnya tidak bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Ditambah lagi ketiga anaknya tumbuh menjadi anak yang susah diatur dan sering menyalahkan ibunya atas kepergian ayah mereka. Ibu M merasa sangat lelah dengan kehidupan yang ia jalani. Ia merasa tidak punya daya bila harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan intervensi kepada keluarga Ibu M guna membantu mereka memecahkan masalah yang mereka hadapi.Dalam hal ini, Konseling Keluarga adalah metode intervensi yang tepat untuk memperbaiki sistem keluarga di keluarga Ibu M.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Orangtua Tunggal (Single Parent)



2.1 DefinisiOrangtua tunggal (single parent) Orangtua tunggal (single parent) adalah seorang wanita atau pria yang telah ditinggalkan oleh pasangan hidupnya baik karena alasan-alasan tertentu seperti terpisah oleh perceraian maupun kematian atau mengangkat seorang anak tanpa memiliki pasangan dan kemudian memutuskan untuk tidak menikah kembali melainkan membesarkan anak-anaknya seorang diri (Papalia dkk., 2002). Ada dua jenis orangtua tunggal (single parent) yaitu, orangtua tunggal (single parent) yang sama sekali tidak pernah menikah dan yang sudah pernah menikah. Dalam penelitian ini, kategori orangtua tunggal (single parent) yang digunakan adalah seorang wanita atau pria yang sudah pernah menikah dan ditinggalkan oleh pasangannya melalui proses perceraian ataupun kematian dan memilih untuk membesarkan anaknya seorang diri. Hal tersebut dapat terjadi akibat adanya trauma pasca perceraian atau kematian pasangan maupun mendapat penolakan untuk menikah kembali dari anak-anaknya atau anggota keluarga yang akhirnya membuat seorang orangtua tunggal (single parent) memilih untuk tidak menikah kembali melainkan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Bagi seorang orangtua tunggal (single parent), terutama seorang ibu single parent, kecemasan yang timbul akan masa depan, terutama masa depan anakanaknya yang harus dihadapi dan tanggung jawab baru seperti keuangan keluarga, pendidikan anak-anak, serta pola asuh yang semula dijalankan bersama-sama dengan pasangan bukanlah proses yang mudah pada saat pertama kali menjadi orangtua tunggal (single parent). Perasaan takut, tidak berdaya, kehilangan kepercayaan diri, dan berusaha mengubur masa lalu untuk menghadapi masa



sekarang dan masa depan yang belum pasti yang dialami oleh orangtua tunggal (single parent) dapat dipahami melalui struktur eksistensi manusia. Permasalahan yang harus dihadapi oleh orangtua tunggal (single parent) dapat



terbagi



menjadi



tiga



segi,



yaitu



segi



sosial,



ekonomi,



dan



psikologis.Mahmudah (dalam Faradina & Fajrianthi, 2012) menjelaskan bahwa dari segi sosial, persoalan yang biasanya dapat muncul berkaitan dengan anggapan umum dari masyarakat yang masih menganggap negatif kehidupan dari seorang orangtua tunggal (single parent).Penilaian seperti ini lah yang terkadang membuat beberapa orangtua tunggal (single parent) merasa tertekan dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya. Sedangkan, dari segi ekonomi, orangtua tunggal (single parent) yang baru saja ditinggalkan pasangannya, biasanya akan mengalami gangguan dalam masalah keuangan, terutama bagi seorang wanita atau pria yang tidak bekerja dan hidup dari penghasilan pasangannya. Orangtua tunggal (single parent) tersebut harus mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi & menjamin masa depan keluarganya. Selanjutnya, dari segi psikologis, menurut Qaimi (2002), orangtua tunggal (single parent) pada akhirnya harus menduduki dua jabatan sekaligus sebagai seorang ayah dan ibu.Sebagai contoh, seorang wanita single parent harus memiliki dua peran terhadap anak-anaknya yaitu dapat bersikap lemah lembut dan mengurus anak dengan penuh kasih sayang layaknya seorang ibu terhadap anakanaknya sekaligus bersikap jantan dan adil layaknya seorang ayah dalam memegang kendali aturan dan tata tertib keluarga. Tolak ukur keberhasilan seorang wanita single parent dalam mendidik anak-anaknya terletak pada kemampuannya dalam menggabungkan kedua peran dan tanggung jawab tersebut tanpa menjadikan sang anak merasa bingung atau resah.



2.2 Penyebab Seseorang Menjadi Orangtua Tunggal (Single Parent) Qaimi (2002) menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan atau penyebab seseorang menjadi orangtua tunggal (single parent), yaitu: a.



Kematian



Kematian dalam hal ini dapat diartikan sebagai terpisahnya pasangan suami dan istri karena takdir.Hal tersebut dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap perasaan dan kejiwaan dalam keluarga, terutama individu yang ditinggalkan oleh pasangannya karena menganggap kematian telah merusak kebahagiaannya. b.



Perceraian Perceraian dapat diartikan sebagai berakhirnya sebuah rumah tangga karena berbagai macam alasan antara lain yaitu, suami atau istri dianggap tidak menjalankan kewajibannya masing-masing, tidak dapat saling memaafkan dan mengerti satu sama lain, maupun adanya pihak ketiga yang masuk ke dalam hubungan pernikahan dan dianggap merusak keharmonisan.



2.3 Masalah yang Dilalui Oleh Orangtua Tunggal (Single Parent) Menurut Hurlock (2004), terdapat beberapa masalah umum yang biasa dialami oleh orangtua tunggal (single parent), yaitu: a.



Masalah Ekonomi Terdapat ketidakseimbangan ekonomi dalam keluarga setelah terjadi perpisahan antara suami dan istri terutama bagi individu yang sebelumnya tidak bekerja. Pada seorang wanita single parent yang sudah berusia madya dan mulai bekerja, pada umumnya tidak akan memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.



b.



Masalah Praktis Orangtua tunggal (single parent) akan berusaha untuk menjalankan rumah tangga sendirian setelah terbiasa dibantu oleh pasangan.



c.



Masalah Psikologis Orangtua tunggal (single parent) terutama wanita cenderung merasa identitasnya kabur setelah terjadi perceraian karena sebelumnya identitasnya bergantung pada suaminya, hal tersebut dapat memicu stress yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam keluarga.



d.



Masalah Pengasuhan Anak Orangtua tunggal (single parent) serta anak-anaknya akan menghadapi masalah dalam penyesuaian diri dengan kehidupan barunya. Hal ini dapat membuat sang anak merasa bingung, murung, bahkan depresi. Orangtua tunggal (single parent) yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dalam menjalankan



peran



barunya



akan



menimbulkan



masalah



dalam



pengasuhan anaknya. e.



Masalah Peran Ganda Tolak ukur keberhasilan seorang orangtua tunggal (single parent) dalam mendidik



anak-anaknya



terletak



pada



kemampuannya



dalam



menggabungkan kedua peran dan tanggung jawab sebagai seorang ibu sekaligus ayah tanpa menjadikan sang anak merasa bingung atau resah.



2.4 Single Parenting (Pengasuhan oleh Orangtua Tunggal) 1. Orangtua yang Bercerai Mavis Hetherington (dalam Brooks, 2011) telah melakukan penelitian longitudinal mendalam selama empat dekade mengenai keluarga yang utuh, bercerai,



dan



menikah



kembali.



Hetherington



menjelaskan



empat



pertimbangan yang melatarbelakangi semua penelitiannya, yaitu: a. Perceraian bukanlah kejadian fungsional melainkan sebuah kejadian yang akan memicu banyak perubahan bagi orangtua dan anak seiring dengan berjalannya waktu. b. Perubahan yang terkait dengan transisi pernikahan harus dilihat sebagai perubahan dalam keseluruhan sistem keluarga. c. Seluruh lingkungan pergaulan sosial-kelompok teman, tetangga, sekolah, dan jaringan persahabatan mempengaruhi respons seseorang terhadap transisi. d. Ada kerugian yang besar terkait cara anak dan orangtua merespons transisi dalam pernikahan.



Dengan mengamati orangtua dan anak menunjukkan bahwa dibutuhkan 2 tahun untuk beradaptasi dengan semua perubahan dan membangun pola kehidupan yang baru (Brooks, 2011).Dalam semua perubahan ini dan pergolakan emosional atas perceraian,



orangtua



harus



membantu



anak



merasa



aman



dan



dipedulikan.Kemarahan yang terlihat pada banyak perceraian merupakan penanda utama masalah suasana hati dan perilaku anak.



B. Orangtua Tanpa Anak



2.5Definisi Orangtua Tanpa Anak Dariyo (2004) menjelaskan bahwa pernikahan merupakan ikatan suci antara pria dan wanita untuk melangsungkan rumah tangga yang sah secara agama dan tercatat oleh hukum.Dalam sebuah pernikahan, pada umumnya pasangan suami istri menghendaki untuk memperoleh keturunan (Walgito, 2002).Kehadiran anak dalam pernikahan merupakan salah satu tujuan pernikahan.Anak merupakan buah hati pasangan suami istri yang hidup dalam rumah tangga.Kehadiran anak sangat didambakan oleh pasangan yang menikah.



2.6 Nilai Anak Nilai-nilai anak merupakan suatu sistem penilaian masyarakat yang berkaitan dengan kehadiran anak dalam suatu keluarga.Pandangan ini dipengaruhi oleh sistem budaya, adat-istiadat, dan nilai agama yang berlaku secara turun temurun (Dariyo, 2007). Menurut Dariyo (2007), ada 4 nilai-nilai kehidupan anak: (1). Nilai ekonomis, (2). Nilai psikososio-budaya, (3). nilai spiritualitas, dan (4). Nilai biofisiologis bagi orangtuanya (Tri Ambasari dkk, dalam Dariyo 2007). 1.



Nilai Ekonomis Nilai ekonomis pada anak digambarkan sebagai suatu pandangan dimana orangtua menganggap bahwa anak dilahirkan, dididik dan dibina, kelak di



kemudian hari dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa yang dapat membalas budi dengan cara memberi uang kepada orangtuanya 2.



Nilai Psikososio-budaya Anak-anak dipandang sebagai generasi penerus adat-istiadat, tata karma, nilai-nilai, norma, dan etika sosial orangtuanya, sehingga perlu untuk dididik seperti itu.



3.



Nilai Spiritual Banyak pasangan suami-istri yang sampai tua tetap berdua tanpa adanya kehadiran anak kandung dalam kehidupan rumah tangganya, karena tidak dikaruniai anak oleh Tuhan.Dengan demikian, anak mempunyai nilainilai yang berhubungan erat dengan kekuasaan.



4.



Nilai Biofisiologis Hubungan seksual bukan hanya memberi kepuasan, akan tetapi juga sebagai fungsi reproduktif. Oleh karena itu, anak mengandung nilai yang sangat tinggi dalam kaitannya dengan nilai-nilai bio-fisiologis.



2.7 Masalah pada Orang Tua Tanpa Anak Menurut Walgito (2002), salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pernikahan untuk memiliki anak. Namun, berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olson dan DeFrain (dalam Kertamuda, 2009), salah satu masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri adalah tidak memiliki anak.Kondisi tidak memiliki anak dapat mengakibatkan beban emosional terutama bagi wanita, karena dianggap mengalami kegagalan fungsi kewanitaan menjadi ibu (Alam, 2007).Kegagalan kehamilan atau infertilitas dapat



menyebabkan



berbagai



dampak



psikologis.Berdasarkan



sebuah



penelitian yang dilakukan oleh Nurfita (2007), dapat diketahui bahwa infertilitas pada wanita menimbulkan dampak psikologis seperti perasaan sedih, iri, marah, isolasi, dan cemas.Sumber tekanan psikologis tersebut dikarenakan dengan kodrat wanita untuk mengandung dan melahirkan. Menurut Dariyo (2007), pasangan suami istri yang tidak dapat memiliki anak



akan merasa gagal dalam menjalankan fungsi reproduksi sehingga dapat mempengaruhi kondisi psikososio-emosional dalam pernikahan. Hal ini dapat menyebabkan stres, kurang percaya diri, bahkan menyebabkan konflik yang berujung pada perceraian.



BAB III RANCANGAN ASESMEN



3.1 Tujuan Asesmen Mendapatkan data tentang riwayat pernikahan dan latar belakang Ibu M menjadi single mother, serta mengetahui hubungan antara Ibu M dengan ketiga anaknya.



3.2Subjek Keluarga subjek (Ibu M beserta ketiga anaknya) 3.5 Metode yang digunakan Metode yang digunakan dalam proses asesmen ini yaitu wawancara secara mendalam (in-depth interview), yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Sutopo, 2006). Guide Interview Subjek: Ibu M No



Pertanyaan



1



Kapanmemutuskan bercerai



2



Ceritakan kehidupan keluarga sebelum bercerai



3



Alasan bercerai



4



Ceritakan kehidupan keluarga pasca perceraian (perasaan dirinya sebagai orang tua tunggal dan respon anak-anaknya)



5



Hubungan dengan mantan suami setelah perceraian



6



Ceritakan konflik yang sering dihadapi pasca perceraian



7



Mata pencaharian setelah menjadi single mother



8



Bagaimana komunikasi dengan anak-anak



9



Ceritakan hubungan dengan orang-orang sekitar



Subjek: Anak Ibu M No



Pertanyaan



1



Bagaimana perasaan setelah ayah pergi



2



Bagaimana hubungan komunikasi dan perasaan terhadap orang tua pasca perceraian (dengan ibu dan ayah)



3



Bagaimana cara ibu mendidik Anda



4



Apakah sudah merasa cukup dengan dukungan yang diberikan ibu dan keluarga?



5



Sosok ibu seperti apa yang Anda harapkan



Subjek: Orangtua (Ibu) Ibu M No



Pertanyaan



1



Bagaimana hubungan Anda dengan Ibu M



2



Bagaimana hubungan komunikasi Anda dengan menantu dan besan



3



Bagaimana hubungan komunikasi Anda dengan anak-anak Ibu M



4



Sejauh mana Anda tahu mengenai hubungan rumah tangga Ibu M dengan mantan suaminya sebelum bercerai



5



Sejauh mana Anda ikut andil dalam permasalahan tsb



6



Menurut Anda, apa yang menjadi akar permasalahan dalam keluarga Ibu M



BAB IV HASIL ASESMEN



4.1 Deskripsi Permasalahan/Integrasi Data Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada Ibu M, diketahui bahwa beliau telah menjadi single parent selama kurang lebih satu tahun, terhitung saat pengadilan negeri mengabulkan permohonan cerainya pada bulan Februari 2016. Ibu M mengaku pertikaian yang terjadi di rumah tangganya bermula pada saat mantan suaminya (Bapak S) sering pulang kerja hingga larut malam. Ibu M selalu tertidur di ruang tamu demi menunggu bapak S pulang. Namun setiap kali bapak S pulang, Ibu M mendapatkan respons yang kurang menyenangkan. Kerja lembur selalu menjadi alasan yang dilontarkan kepada Ibu M dan ketiga anaknya. Namun karena terlalu seringnya lembur, Ibu M mulai curiga. Hingga akhirnya suatu ketika Ibu M menemukan petunjuk dari Hand Phone Bapak S, di mana terdapat banyak riwayat pesan whatsapp yang berisi obrolan romantis dengan seorang wanita yang diketahui adalah teman kantor bapak S. Mengetahui hal tersebut, Ibu M kemudian meminta penjelasan kepada mantan suaminya tsb. Dan Bapak S pun mengakui perselingkuhannya. Bahkan secara terang-terangan ia mengatakan bahwa dirinya sudah bosan dengan Ibu M karena penampilan fisiknya yang tidak lagi cantik. Sejak saat itu hubungan keduanya menjadi semakin rengggang dan bapak S memutuskan untuk meninggalkan rumah. Kepada ketiga anaknya, Ibu M menjelaskan bahwa ayahnya pergi dinas ke luar kota. Hingga suatu hari Ibu M tidak tahan dengan ulah Bapak S dan pada akhirnya mengajukan gugatan cerai. Pasca bercerai dengan Bapak S, Ibu M mengaku merasa lega karena sudah tidak terikat dengan mantan suaminya tersebut. Namun pada bulanbulan berikutnya, Ibu M mulai merasa lelah dan kewalahan mengurus ketiga



anaknya seorang diri. Peran beliau yang merangkap sebagai ayah bagi anakanaknya membuat beliau harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan ketiga anaknya. Mereka menjadi keluarga yang serba kekurangan secara ekonomi karena Ibu M hanya bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan. Tekanan psikis beliau pun meningkat seiring dengan perubahan perilaku ketiga anak beliau yang semakin hari semakin susah diatur dan malah menyalahkan dirinya atas kepergian bapak S. Ibu M mengaku perubahan perilaku anak-anaknya tersebut bermula ketika beliau harus bekerja hingga larut malam sehingga jarang memiliki waktu berkumpul dengan ketiga anaknya. Ditambah lagi dengan putusnya komunikasi antara Ibu M dengan mantan suaminya, membuat ketiga anaknya sama sekali belum pernah bertemu dengan ayahnya pasca perceraian orang tuanya. Seiring dengan berjalannya waktu, iklim di keluarga kecil tersebut menjadi semakin memanas. Hubungan komunikasi antara seorang Ibu dengan anak yang seharusnya saling mendukung pun sudah tidak didapatkan di keluarga tersebut. Menurut pengakuan ketiga anaknya, renggangnya komunikasi mereka dengan Ibu M berawal dari kesibukan Ibu M dalam mencari nafkah yang membuat beliau sering marah-marah. Ketiga anaknya merasa tidak lagi diperhatikan dan kurang mendapatkan kasih sayang. Mereka mengaku sangat terpukul dengan keadaan keluarganya saat ini di mana tidak ada lagi sosok ayah di keluarga mereka. Mereka berharap keluarganya dapat hidup bahagia seperti dulu lagi dengan hadirnya sosok ayah di tengah-tengah mereka serta mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Ibu M seperti dulu lagi. Permasalahan tersebut kemudian berdampak pada hubungan Ibu M dengan masyarakat. Beliau memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan karena merasa malu dengan permasalahan yang menimpa keluarganya. Kendati demikian, Ibu M masih menjalin komunikasi baik dengan orang tua (Ibu) beliau.



Menurut pengakuan Ibu Salamah (Ibunda Ibu M), akar permasalahan yang menjadikan retaknya rumah tangga putrinya tersebut adalah kesalahan menantunya yang telah berselingkuh dari Ibu M. Ibu Salamah pun menuturkan bahwa selama ini Ibu M selalu menceritakan keluh kesahnya terhadap mantan suaminya tersebut kepada beliau. Menanggapi keluhan dari putrinya, beliau selalu menyarankan agar Ibu M menggugat cerai Bapak S, namun Ibu M tetap bersikukuh mempertahankan rumah tangganya. Hingga pada akhirnya Ibu M sudah tidak tahan lagi dan memilih untuk bercerai.



4.2 Analisis Masalah Seorang ibu single parent yang baru saja bercerai dengan suaminya akan memasuki masa transisi kehidupan, dari struktur keluarga yang biasanya mendapat dukungan dari sosok ayah sebagai tulang punggung keluarga menjadi struktur keluarga tanpa adanya sosok ayah sebagai tulang punggung, sehingga seorang ibu pun harus menjalankan peran ganda dalam keluarganya, yaitu sebagai tulang punggung keluarga sekaligus sebagai pengasuh dalam keluarga. Pada masa transisi ini biasanya ditandai dengan adanya kewalahan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, karena ibu harus membagi waktunya untuk bekerja sekaligus mengasuh anak-anaknya. Dalam mengasuh anakanaknya seorang single mother berpotensi mengalami konflik di mana anak menjadi agresif dan susah diatur sehingga berdampak pada renggangnya hubungan komunikasi antara Ibu dengan anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (1989), menurutnya rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan hubungan keluarga dibandingkan rumah tangga yang pecah karena kematian. Terdapat dua alasan yang mendukung pendapat Hurlock tersebut. Pertama, periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada penyesuaian yang menyertai kematian orang tua. Hozman dan Froiland (dalam Kertamuda, 2009) mengemukakan bahwa kebanyakan anak



melalui lima tahap dalam penyesuaian ini, yaitu; penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditunjukkan kepada orang-orang yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar-menawar dalam usaha mempersatukan orang tua, depresi, dan penerimaan perceraian orang tua. Kedua, perceraian yang disebabkan oleh perceraian dapat dikategorikan sebagai suatu hal yang serius sebab hal tersebut cenderung membuat anak berbeda dihadapan temantemannya. Dalam kasus ini, diketahui bahwa anak-anak Ibu M sedang berada pada tahap kedua, yaitu kemarahan kepada orang tuanya (Ibu M). Hal ini disebabkan karena anak-anak dari Ibu M merindukan suasana hangat dalam keluarganya seperti dulu sebelum perceraian terjadi. Anak-anak Ibu M tidak bisa menerima keadaan mereka saat ini, di mana Ibu M menjadi sibuk bekerja sehingga kurang memberikan kasih sayang dan perhatian pada mereka. Sehingga, anak-anak Ibu M menjadi nakal, susah diatur, dan sering menyatakan kekesalan mereka terhadap Ibu M. Kemarahan anak-anak Ibu M berpotensi untuk berkembang ke tahap selanjutnya, yaitu fase ketiga, dimana mereka akan membujuk orang tuanya untuk bersatu kembali. Apabila keinginan mereka tidak terpenuhi maka mereka akan berontak dan berpotensi untuk memasuki tahap keempat, yaitu depresi. Sementara itu, kelakuan anak-anak Ibu M membuat dirinya menjadi mudah marah, dikarenakan dirinya sibuk bekerja sementara anak-anaknya di rumah menjadi nakal dan susah diatur. Hal ini kemudian menjadi sebuah siklus dalam keluarga Ibu M saat ini, dimana anak-anak Ibu M belum dapat menerima keadaan keluarga mereka saat ini sehingga mereka menjadi nakal dan susah diatur untuk melampiaskan kekesalan mereka dan untuk mendapatkan perhatian dari ibunya, sementara Ibu M terus marah akibat kelakuan yang terus-menerus dilakukan oleh anak-anaknya. Oleh karena itu, kehadiran seorang konselor sangat dibutuhkan. Dalam kasus ini, terdapat beberapa intervensi yang akan dilakukan oleh konselor,



yaitu menggunakan pendekatan Strategi Keluarga dan pendekatan Sistem Keluarga. Secara sederhana, langkah-langkah yang dilakukan konselor yaitudengan memperbaiki pola pikirIbu M dan ketiga anaknya dengan melakukan konseling kelompok.Konselor membuat mereka menyadari keadaan keluarganya saat ini dimana mereka harus hidup tanpa kehadiran seorang ayah dan bahwa perpisahan kedua orang tuanya adalah jalan terbaik yang harus ditempuh. 4.3 Diagnosa Ibu M mengalami kewalahan dalam mengurus anak-anaknya setelah bercerai dengan suaminya. Anak-anaknya menjadi nakal, susah diatur, dan sering menyalahkan dirinya atas kasus perceraiannya. Hal ini membuat Ibu M menjadi mudah marah dan stress, karena selain sibuk bekerja ia harus mengasuh serta menghadapi kelakuan anak-anaknya setiap hari. 4.4 Prognosa Setelah dilakukan intervensi, pola pikir anak-anak Ibu M berubah, di mana mereka dapat menerima dan memahami keadaan keluarganya saat ini, mereka harus hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Sehingga anak – anak Ibu M dapat berpartisipasi dalam mengurus rumah tangga keluarga mereka. Selain itu, Ibu M lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak – anaknya, sehingga keharmonisan keluarga Ibu M dapat kembali.



BAB V RANCANGAN INTERVENSI



5.1 Tujuan Tujuan dari rancangan intervensi yang dilakukan adalah untuk membantu menyelesaikan konflik pada keluarga Ibu M, yaitu stres karena masalah pola asuh dan komunikasi antara Ibu M dengan anak-anaknya pasca perceraian dengan mantan suaminya sehingga keharmonisan keluarga dapat terjalin kembali.



5.2 Sasaran Sasaran dari rancangan intervensi ini adalah untuk membantu mengurangi stress pada Ibu M serta memperbaiki pola pikir dan sikap ketiga anaknya terhadap Ibu M, sehingga dapat memperbaiki masalah komunikasi dalam keluarga. 5.3 Pihak-pihak yang dilibatkan Keluarga subjek (Ibu M beserta ketiga anaknya) 5.4 Target Perubahan Target perubahan perilaku yang diharapkan dari intervensi ini adalah perubahan perilaku dari seluruh anggota keluarga.Ketiga anak Ibu M diharapkan dapat lebih patuh dan mau memahami kondisi keluarganya saat ini, serta mau berpatisipasi untuk membantu menyelesaikan kegiatan seharihari dalam keluarga mereka. Sehingga apabila perubahan yang diharapkan tersebut telah diperoleh, Ibu M dapat merasa lebih tenang dan beban psikologisnya pun akan berkurang karena mendapatkan kekuatan dan dukungan dari anak-anaknya. Ibu M diharapkan dapat mengatur regulasi emosinya dengan lebih baik, serta dapatmengasuh dan mendidik anak-



anaknya dengan cara yang tepat sehingga dapat memperbaiki hubungan di keluarga tersebut. Apabila seluruh target perubahan telah tercapai, diharapkan keharmonisan pada keluarga Ibu M akan kembali. 5.5 Metode yang digunakan dan landasan teori Metode yang digunakan dalam menangani permasalahan ini yaitu Konseling Keluarga (FamilyCounseling) dengan pendekatan Sistem Keluarga (Family System Counseling) dan pendekatan Strategi Keluarga (Strategic Family Counseling). Konseling keluarga merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada anggota keluarga melalui pembenahan sistem keluarga agar potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalah dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga (Sofyan, 2013).Para terapis sistem keluarga berpendapat bahwa kebanyakan simtom timbul dari masalah yang ada dalam sistem, bukan muncul dari setiap individu itu sendiri (Eriksen & Kress, dalam Corey 2009). A. Konseling dengan Pendekatan Sistem Keluarga (Family Systems Counseling) Konseling ini sangat terkait dengan teori family sistem yang juga dikembangkan oleh terapis keluarga yang bernama Carl Whitaker yang menyukai kiasan bahwa”there are no individuals in the world-only fragments of family” . Dengan kata lain bahwaa manusia secara individual tidak dapat melepaskan diri dari ikatan keluarganya. Bagaimana orang berpikir dan bertingkah laku sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, dan orang – orang dapat dipahami dengan memahami keluarganya. Berdasarkan teori sistem keluarga, maka dapatdisimpulkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada anggota keluarga akan memengaruhi dengan kuat pada setiap orang dalam keluarga (Goldenberg dan Goldenberg dalam Olson Defrain, dalam Kertamuda, 2006). Pada



konseling sistem keluarga ini konselor berperan untuk mengatur fungsi dan sistem dalam keluarga. Konseling ini menekankan pada peran dan fungsi dari anggota keluarga yang dapat membuat perubahan pada anggota keluarga yang lain secara keseluruhan. Saling membutuhkan dan saling bergantung antar anggota dalam keluarga keluarga dapat memberikan dukungan pada seluruh keluarga dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Ketika seorang anggota dalam keluarga bermasalah maka untuk memecahkan masalah tersebut tidak hanya salah satu anggota keluarga saja namun keseluruhan anggota dalam keluarga akan dilibatkan. Dalam konsleing ini konselor perlu untuk memahami konsep – konsep sebagai berikut a. Perbedaan yang terdapat pada setiap individu dalam keluarga melalui pemahaman terhadap perbedaan individu, konselor mampu untuk memodifikasi hubungan dalam sistem keluarga. b. Keseimbangan kemampuan intelektual dan emosi pada anggta keluarga.



Salah satu cara untuk dapat memberikan konseling dengan pendekatan ini adalah dengan memberikan pemahaman kepada setiap individu dalam keluarga bahwa mereka berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan terdapat pada kebutuhan, keinginan, serta perhatian dari setiap individu. Oleh karena itu, mereka diharapkan dapat menyampaikan kepada anggota keluarga lainnya melalui konseling, apa yang menjadi harapan, dan keinginannya. Dengan pemahaman terhadap perbedaan diharapkan setiap individu memperoleh cara agar dapat menyikapi dengan baik. Dalam proses konseling konselor perlu untuk melihat kemampuan intelektual dan emosi dari setiap individu dalam keluarga yang sedang bermasalah. Penting karena tidak semua anggota keluarga memiliki persepsi dan kemampuan dalam mencerna setiap permasalahan yang tengah dihadapi. Konseling ini menekankan pada saling ketergantungan



satu sama lain dalam keluarga. Ketergantungan tidak hanya pada kebutuhan pokok saja seperti makan, pakaian, perlindungan, namun yang terpenting



adalah



ketergantungan



akan



kasih



sayang,



perasaan,



persahabatan, sosialisasi, dan kebutuhan – kebutuhan yang tidak tampak namun sangat diperlukan.



B. Konseling dengan Pendekatan Strategi Keluarga (Strategy Family Counseling) Strategi ini memiliki sasaran pada bentuk keluarga, strategi untuk setiap keluarga, dan terapi yang disusun utnuk mengatasi masalah dalam keluarga.Jay Haley (dalam Olson dalam Kertamuda, 2009). Mengatakan bahwa tingkat kebutuhan dalam keluarga akan membantu keluarga (anak) untuk berubah sehingga keterlibatan orang tua menjadi sangat penting. Konselor berperan untuk membentuk serta menciptakan interaksi baru dalam keluarga. Pendekatan konseling keluarga ini bertujuan untuk melakukan perubahan dan mengorganisasikan kembali bentuk keluarga melalui cara yang sehat dan seimbang. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan strategi yang baik agar perubahan yang terjadi sesuai dengan kebutuhan dari keluarga tersebut. Dalam mencapai tujuan diperlukan dukungan dari seluruh anggota keluarga. Menurut Haley (dalam Griffin dan Greene dalam Kertamuda, 2009) terdapat lima tahap dalam melaksanakan konseling ini yaitu: a. Social Stage Tahap dimana konselor membangun rapport dengan klien untuk membuat klien merasa nyaman dengan konselor. Terdapat beberapa tujuan dalam ini, yaitu: mengumpulkan informasi mengenai klien dan anggota keluarga yang terlibat, mengamati & mengukur mood dalam



keluarga, bagaimana keluarga mengatasi masalah, bagaimana anggota keluarga mengorganisasikan diri, dan membuat keputusan sementara. b. Problem Stage Pada tahap ini konselor dapat memulai dengan sharing tentang masalah apa yang dihadapi kliendan menggambarkan secara jelas tentang masalah yang dihadapi. Setelah itu mendorong klien berbicara kepada konselor untuk menjelaskan masalahnya secara detail.Konselor mendengarkan masalah dari persperktif klien, menawarkan saran, menanyakan tentang perasaan klien, dan menunjukkan ketertarikan pada klien. Konselor juga fokus pada proses yang terjadi, bukan pada apa yang dikatakan klien. c. Interaction Stage Pada tahap ini konselor melakukan interaksi dengan keluarga dan mendemonstrasikan masalah yang sedang terjadi antara anggota keluarga. Konselor mendorong anggota keluarga agar mereka dapat saling berbicara satu sama lain. Terdapat dua langkah untuk menyakan masalah, yaitu (1) mendorong seluruh anggota keluarga untuk dapat memberikan komentar mengenai masalah yang dihadapi, (2) mendorong agar terjadi interaksi di antara mereka terkait dengan masalah. d. Goal Setting Stage Pada tahap ini, konselor dapat memberikan tujuan yang jelas dari pelaksanaan antara konselor dan klien, menjaga dan fokus pada masalah yang dihadapi saat ini, fokus pada perubahan yang terjadi pada individu terkait dengan masalah dan secara perlahan mencegah perilaku yang dapat memperpanjang masalah mereka, dan mencatat semua perilaku yang berkaitan dengan tujuan. e. Task Setting Stage



Pada tahap ini, konselor hendaknya memberikan arahan pada pelaksanaan konseling. Setiap individu secara langsung terlibat dalam pemenuhan kebutuhan pada proses konseling agar setiap individu memiliki pengalaman dan dapat digunakan pada sesi selanjutnya.



LAMPIRAN 1: HASIL WAWANCARA Hasil Wawancara dengan Ibu M 1. Kapan Ibu memutuskan untuk berpisah dengan suami? Sejak setahun yg lalu 2. Bisa tolong ceritakan kehidupan keluarga Ibu sebelum berpisah dengan suami Ibu? Sebelumnya keadaan pernikahannya baik-baik saja, tapi semuanya berubah sejak ada orang ketiga. Pada saat itu, suami saya sering pulang malam. Saya selalu menunggu suami saya pulang hingga malam hari. Saya pernah menanyakan kenapa suami saya sering pulang malam. Ia menjawab pulang malam karena kerja lembur. Saya coba menanyakan pada teman suami saya, apakah benar kantornya sering bekerja lembur sampai setiap hari. Ternyata kantornya jarang bekerja lembur. Sejak saat itu saya jadi curiga dengan suami saya. Saat malam hari, ketika suami saya sudah tidur, saya coba intip hp suami saya. Ternyata suami saya berselingkuh. Ada banyak chat dari selingkuhannya di hpnya. Esok paginya saya menanyakan suami saya mengenai hal tsb, tetapi suami saya malah marah-marah kepada saya. Dia bilang dia sudah bosan dengan saya. Dia bilang saya sekarang sudah tidak secantik dulu. Sejak itu hubungan saya dengan suami saya semakin renggang, suami saya menjadi jarang pulang ke rumah. Ketika anak-anak saya menanyakan dimana ayah mereka, saya hanya menjawab bahwa ayah sedang keluar kota. Suatu hari saya kembali marah kepada suami saya, namun suami saya malah marah dan membentak saya. Pada saat itu juga saya memutuskan untuk bercerai. 3. Mengapa Ibu memutuskan untuk bercerai? Saya bercerai karena saya sudah tidak tahan lagi dengan suami saya. 4. Tolong ceritakan kehidupan keluarga Anda setelah Anda berpisah dengan suami Anda. Awalnya saya merasa lega karena telah bercerai dengan mantan suami saya. Namun bulan-bulan berikutnya saya mulai merasa kewalahan untuk



mengurus anak seorang diri, ditambah lagi saya harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Anak-anak saya sering menyalahkan saya atas kepergian suami saya. 5. Bagaimana hubungan Ibu dengan suami Ibu setelah perceraian? Saya sudah tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Dengan keluarga besar dari suami pun saya sudah putus kontak. 6. Tolong ceritakan masalah-masalah yang sering Ibu hadapi setelah berpisah dengan suami Ibu. Saya kewalahan mengurus rumah tangga dan mencari nafkah, apalagi anak-anak sering menyalahkan saya atas kepergian ayah mereka. Anakanak saya pun jadi nakal dan susah diatur 7. Bagaimana cara Ibu mencari nafkah setelah berpisah dengan suami? Saya bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan. 8. Tolong ceritakan bagaimana komunikasi Ibu dengan anak-anak semenjak berpisah dengan suami. Semenjak saya bercerai dengan mantan suami saya komunikasi dengan anak-anak baik-baik saja, tetapi pada bulan – bulan berikutnya komunikasi dengan anak-anak saya renggang, karena saya sibuk bekerja sampai malam. 9. Tolong ceritakan bagaimana hubungan Ibu dengan orang-orang sekitar setelah Ibu berpisah dengan suami. Semenjak saya bercerai saya sibuk bekerja untuk menghidupi anak-anak saya, saya sering pulang malam, selain itu saya juga menarik diri dari tetangga-tetangga saya karena saya merasa malu atas perceraian saya dengan suami saya dulu.



Hasil Wawancara dengan Anak-Anak Ibu M 1. Setelah ayah pergi perasaan mereka sedih, sangat kehilangan ayah mereka, mereka merindukan kasih sayang dari sosok ayahnya. Mereka ingin hidup bahagia seperti dulu.



2. Mereka merasa kurang diperhatikan oleh ibunya, semenjak ibunya sibuk bekerja dan pulang malam. Jadi, komunikasi ibu dengan mereka menjadi merenggang dan tidak harmonis seperti dulu lagi. 3. Semenjak ibu bekerja, ibu lebih sering marah marah kepada mereka, dan kurang memberi kasih sayang kepada mereka. 4. Belum, mereka merasa tidak diberikan dukungan oleh ibunya dan keluarganya, mereka merasa terabaikan. 5. Mereka ingin agar ibu mereka memberikan kasih sayang kepada mereka, lebih memperhatikan mereka.



Hasil Wawancara dengan Orangtua Ibu M 1. Tolong ceritakan hubungan Ibu dengan Ibu M selama ini. Hubungannya baik tidak ada masalah 2. Bagaimana hubungan komunikasi Ibu dengan menantu dan besan setelah Ibu M berpisah dengan suaminya? Semenjak mereka bercerai hubungan saya dengan keluarga besar menantu saya telah putus, sudah tidak ada komunikasi sama sekali dengan mereka. 3. Bagaimana hubungan komunikasi Ibu dengan cucu-cucu setelah Ibu M berpisah dengan suami? Hubungannya baik, tetap berkomunikasi seperti biasa. 4. Sejauh mana Ibu mengetahui mengenai hubungan rumah tangga Ibu M dengan mantan suaminya sebelum bercerai? Sebelum mereka bercerai, ibu M sering bercerita dengan saya mengenai hubungan dengan suaminya saat itu. Dia juga menceritakan permasalahan dengan suaminya itu. 5. Sejauh mana Ibu ikut andil dalam permasalahan yang dihadapai Ibu M? Saya merasa kasihan dengan anak saya dan merasa kesal dengan suaminya, saya sering menyarakan kepada anak saya agar segera bercerai dengan suaminya, tetapi anak saya tetap bersikukuh mempertahankan



rumah tangga mereka. Tetapi pada akhirnya, anak saya memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. 6. Menurut Ibu, apa yang menjadi akar permasalahan dalam keluarga Ibu M? Karena adanya orang ketiga dalam hubungan mereka. Sebelumnya hubungan mereka baik – baik saja, namun hubungan mereka hancur sejak ada orang ketiga itu.



LAMPIRAN 2: MODUL RANCANGAN INTERVENSI Sesi 1 - Perkenalan Alokasi Waktu



Tujuan



2 jam Mengenal Ibu M dan mengetahui masalah sebenarnya yang dihadapinya.



Alat bantu dan



2 buah kursi dan sebuah meja. Ibu M dan konselor duduk



Setting ruangan



berhadapan.



1. Membangun rapport dengan Ibu M. Mendengarkan Ibu M untuk menjelaskan masalah-masalah yang dihadapinya. Aktivitas



2. Konselor menyarankan Ibu M untuk melakukan konseling keluarga dengan membawa ketiga anaknya secara bersamasama ke konselor.



Sesi 2 –Eksplorasi Masalah Alokasi Waktu



Tujuan



2 jam Mengetahui permasalahan yang dihadapi tiap-tiap anggota keluarga agar dapat saling mengerti satu sama lain.



Alat bantu dan



5 buah kursi dan sebuah meja. Ibu M, anak-anak Ibu M, dan



Setting ruangan



konselor duduk secara melingkar.



1. Membangun rapport dengan ketiga anak Ibu M.



2. Setelah rapport terbangun, konselor menanyakan kepada Ibu M dan kepada anak-anaknya mengenai perasaan mereka Aktivitas



saat ini serta untuk menyatakan perasaan mereka terhadap satu sama lain.



3. Konselor memberikan waktu kepada seluruh anggota keluarga untuk mengevaluasi perasaan mereka



Sesi 3–Mendiskusikan dan Menetapkan Tujuan Bersama Alokasi Waktu



2 jam Setiap anggota keluarga dapat memberikan komentar pada



Tujuan



permasalahan



yang dihadapi dan mendiskusikan serta



menetapkan tujuan keluarga yang diinginkan. Alat bantu dan



5 buah kursi dan sebuah meja. Ibu M, anak-anak Ibu M, dan



Setting ruangan



konselor duduk secara melingkar. 1. Konselor memberi pengertian kepada Ibu M dan anakanaknya tersebut untuk berpikir bahwa ayahnya sudah meninggalkan mereka dan kehidupan keluarga mereka



Aktivitas



sekarang telah berubah. Selanjutnya mereka diminta untuk mendiskusikan langkah apa yang akan dilakukan setelahnya di mana mereka harus mampu hidup tanpa ayahnya.



2. Konselor menanyakan kepada Ibu M dan ketiga anaknya, apa harapan mereka masing-masing terhadap anggota keluarga mereka.



Sesi 4 – Memperkuat Sistem Keluarga Alokasi Waktu



1 jam Menetapkan peran-peran dan fungsi masing-masing anggota



Tujuan



keluarga serta peraturan yang harus dipatuhi agar sistem keluarga menjadi teratur.



Alat bantu dan



5 buah kursi, sebuah meja, kertas, dan bolpoin. Ibu M, anak-



Setting ruangan



anak Ibu M, dan konselor duduk secara melingkar. 1. Secara



bersama-sama,



Ibu



M



dan



anak-anaknya



menggunakan sesi ini untuk menyusun daftar peraturan & tugas



masing-masing



anggota



keluarga



yang



harus



dilaksanakan beserta konsekuensinya berdasarkan harapanAktivitas



harapan yang telah disampaikan pada sesi sebelumnya. Dengan disusunnya daftar peraturan dan tugas tersebut, diharapkan kehidupan keluarga Ibu M menjadi lebih teratur dan harmonis.



Evaluasi: Konselor melakukan evaluasi selama 3 bulan terhadap perkembangan keluarga Ibu M secara berkala setiap 1 bulan sekali, yaitu melalui telpon atau kunjungan langsung ke rumah keluarga Ibu M.



DAFTAR PUSTAKA



Dariyo, A. (2004). Psikologi Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo. ________ (2007).Psikologi Perkembangan: Anak dibawah tiga tahun. Jakarta: Grasindo. Faradina, A. F. & Fajrianthi.(2012). Konflik pekerjaan-keluarga dan coping pada single mothers.Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 1, 2, 94-101 Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan: Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Kertamuda, F. E. (2009). Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika. Nurfita, E. (2007). Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.Universitas Sumatra Utara.(Skirpsi). Papalia, Olds SW & Feldman RD. (2002).Human development.8th Edition. Boston: McGraw-Hill. Qaimi, A. (2002). Buaian ibu: peran ganda ibu dalam mendidik anak. Bogor: Cahaya. Walgito, B. (2002). Bimbingan & Konseling Perkawinan.Yogyakarta: Andi Offset.