Paradigma Ekologi Arsitektur Sebagai Metode Perancangan PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARADIGMA EKOLOGI ARSITEKTUR SEBAGAI METODE PERANCANGAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA SRI YULIANI ARCHITECTURE DEPARTMENT, FACULTY OF ENGINEERING SEBELAS MARET UNIVERSITY EMAIL: [email protected]



Abstract: Architectural design concepts have a tendency to adapt to the environment through a variety of approaches in the design method. Orientation shift to environment-friendly design is also the demands of the environment which previously largely ignored until the climate change. The purpose of this research is to study methods of designing the concept of ecological architecture that can be adapted in the design strategy based on sustainable development in managing climate management to achieve conservation and nature conservation in the tropical climate. The research method uses a theoretical comparative study of methods and content analysis methods to the study of literature and precedents relevant to know the perception of the application of the concept of Ecological Architecture as a design method. The study recommends the knowledge and conceptual basis for the planning and design that aims to achieve sustainable development with emphasis on the quality of the local development of a balanced and harmony with nature.



Keywords: ekologi arsitektur, metode perancangan, pembangunan berkelanjutan, keseimbangan lingkungan



PENDAHULUAN Konsep Ekologi Arsitektur merupakan paduan antara ilmu lingkungan dan ilmu arsitektur yang berorientasi pada model pembangunan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan alam dan lingkungan buatan. Dewasa ini, teori konsep Ekologi Arsitektur mulai bermunculan, sehingga perencana dan perancang semakin mempunyai wawasan yang luas dalam pemahaman konsep Ekologi Arsitektur. Konsep Ekologi Arsitektur atau yang sering disingkat dengan Eko-Arsitektur semakin popular tidak hanya di akademisi, akan tetapi juga menjangkau hingga kalangan praktisi. Bahkan dalam arsitektur publik, banyak peluang dan prospek yang ditawarkan berangkat dari prinsip desain yang ekologis, sayembara desain, properti perumahan berkonsep alam atau bentuk kegiatan lain yang mengapresiasi keberadaan lingkungan dan alam. Namun demikian, ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pemahaman konsep EkoArsitektur ini sehingga sering rancu dengan beberapa konsep senada yang sangat mirip diantaranya Arsitektur Hijau (Green Architecture), Arsitektur Bioklimatik (Bioclimatic Architecture), Arsitektur Hemat Energi dan beberapa istilah lain yang



mempunyai satu pandangan. Di sisi lain, dari sudut pandang akademis, sering terjadi perdebatan panjang apakah Ekologi Arsitektur, Arsitektur Hijau, Arsitektur Bioklimatik, Arsitektur Hemat Energi dan Arsitektur Berkelanjutan adalah sebuah metode perancangan yang mempunyai pijakan sama atau memang ada perbedaan yang mendasar. Pandangan yang kurang jelas ini secara akademis memerlukan kajian untuk menegaskan kapan disebut Ekologi Arsitektur, atau Arsitektur Hijau atau yang lain, sehingga tidak mengaburkan esensi konsep yang digunakan dalam metode perancangan. Paradigma membangun berlandaskan konsep Ekologi Arsitektur merupakan muara dari berbagai aliran perancangan arsitektur. Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani (2006) dalam bukunya Arsitektur Ekologis, merangkum bahwa perkembangan arsitektur ekologis dapat dilacak dari berbagai pendekatan dimulai tahun 1920an hingga 1960an yang mengutamakan kebebasan ekspresi dalam bentuk dan fungsi. Perkembangan dilanjutkan kearah filsafat dalam arsitektur antroposofik, dan muncul arsitektur organik dimana bentuk adalah fungsi. Perkembangan arsitektur terus dilanjutkan dengan lahirnya arsitektur merdeka, arsitektur alternatif dan arsitektur



eksperimental. Perkembangan arsitektur juga mengalami perubahan ketika mulai dirasakan krisis energi, maka lahirlah arsitektur hemat energi, dilanjutkan arsitektur sehat dan sekarang ini arsitektur ekologis. EkoArsitektur memperhatikan kebutuhan pembangunan secara holistik dan ramah lingkungan. Dalam konteks Ekologi Arsitektur, sering kali dihubungkan dengan Ruang Terbuka Hijau. Baik yang bersifat lokal internal dalam sebuah bangunan, maupun bersifat meluas dalam perencanaan kawasan. Banyak studi dilakukan tentang penurunan kualitas lingkungan yang berujung pada temuan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau secara kualitatif dan kuantitatif. Studi kasus yang ada di Kota Surakarta, Hari Yuliarso dkk (2007) menemukan fakta bahwa perkembangan dunia usaha cenderung membentuk hunian menjadi tempat tinggal sekaligus tempat usaha, yang belakangan bahkan menurunkan luasan space untuk Ruang Terbuka Hijau secara individu dalam bangunan hingga berdampak meluas ke wilayah kota. Dwinta Nori Fitria (2011) melakukan analisis pengaruh pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap kualitas lingkungan Kota Surakarta, menunjukkan peningkatan kualitas lingkungan yang terdiri dari kualitas fisik lingkungan dan ketersediaan ruang rekreasi yang akan berpengaruh terhadap kesehatan mental masyarakat Kota Surakarta. Peningkatan kualitas melalui pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dari 73,33% menjadi 88% cukup signifikan jika diaplikasikan untuk wilayah Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia. METODOLOGI Penelitian tentang kajian konsep Ekologi Arsitektur sebagai metode perancangan ini dilakukan dengan tahapan dan metode sebagai berikut: 1. Tahap I, melakukan observasi permasalahan lingkungan akibat pembangunan. Observasi ini dilakukan secara random di beberapa kota di Jawa Tengah diantaranya Surakarta dan Semarang. Dilanjutkan dengan melakukan identifikasi metode perencanaan yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan. 2. Tahap II, melakukan analisis dengan metode komparasi dan content



analysis untuk membandingkan kondisi lapangan dan kajian pustaka. 3. Tahap III, merumuskan strategi berbasis Ekologi Arsitektur dari teori dan preseden.



KOMPILASI paradigma



ANALISIS kajian teori



STRATEGI



•Studi Pustaka: konsep EkoArsitektur •Studi Lapangan: kebutuhan konsep pembangunan berkelanjutan



•Studi Komparasi konsep Ekologi Arsitektur •Identifikasi metode perancangan secara content analysis



•Konsep Ekologi Arsitektur sebagai metode perancangan pembangunan berkelanjutan



Gambar 1. Skema metodologi penelitian Sumber: (Sri Yuliani, 2012)



HASIL DAN PEMBAHASAN Tuntutan Arah Pembangunan Arah pembangunan berkonsep Ekologi Arsitektur sebenarnya merupakan proses adaptasi pada sumber daya alam dan kepedulian akan kondisi lingkungan yang semakin menurun. Faktor utama yang menjadi orientasi pembangunan adalah adanya kondisi perubahan iklim yang berpengaruh ke banyak faktor kehidupan, tidak hanya manusia namun juga hewan dan tumbuhan. Sue Roaf (2005) dalam bukunya yang berjudul Adapting Building and Cities for Climate menyampaikan bahwa karena pengaruh perubahan iklim, ada kecenderungan dinamika perubahan paradigma pembangunan. Perubahan bangunan yang puncaknya di tahun 1900an mengarah pada penyediaan kenyamanan bangunan yang didesain secara individu dalam Active Building Design berangsur-angsur mengarah kepada pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada Passive Building Design. Dinamika pembangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan ini dalam pernyataan Roaf mulai memuncak tahun 2000an. Konsep pembangunan berkelanjutan mengalami perkembangan semakin pesat karena sangat relevan dengan kondisi dan situasi lingkungan di bumi yang semakin merosot sehingga mulai terbangun konsep yang ramah terhadap lingkungan.



Pembangunan sekecil apapun itu akan mempunyai dampak perubahan terhadap lingkungannya. Sebagai contoh, ketika meletakkan bangunan di lahan yang semula kosong, tentulah akan mempengaruhi perubahan lingkungan mulai dari kondisi fisik tanah, air, udara maupun infra struktur yang disediakan. Berikut ini merupakan gambaran pengaruh pembangunan yang terjadi di perkotaan.



Gambar 2. Latar belakang pengaruh perkembangan pembangunan ke berbagai bidang Sumber: (Kementerian Pekerjaan Umum, 2005)



Hasil World Sustainable Building Conference di Tokyo pada tahun 2005 yang dituangkan dalam TOKYO DECLARATION sebagai dikutip dari makalah seminar Kementerian Pekerjaan Umum (2006), menghasilkan beberapa kesepakatan untuk arahan pembangunan yang memerhatikan lingkungan, diantaranya menyebutkan konsentrasi program yang diarahkan pada: 1. Pengaruh bangunan gedung dan permukiman dalam penggunaan sumberdaya, degradasi lingkungan global dan perubahan iklim global. 2. Langkah konkrit menghadapi isu sustainability. 3. Sepakat melaksanakan harmoni, simbiosis dan kerjasama. 4. Promosi spirit Kyoto Protocol. 5. Penerapan prinsip-prinsip Sustainable Building. 6. Kondisi lokal dan kerjasama internasional. 7. Pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan. 8. Partisipasi dan kerjasama. Tinjauan Aspek Kebijakan dan Regulasi Pemerintah melalui jajaran kementerian terkait, diantaranya Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Lingkungan Hidup telah menyiapkan perangkat undang-undang



yang mengatur pengelolaan dan pengolahan pembangunan, antara lain: 1. UU Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman 2. UU Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung 4. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang 5. UU RI No 28 Tahun 2008 tentang Bangunan Gedung, diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. 6. UU Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 06/PRT/M/2007 tanggal 16 Maret 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. 8. SNI 03-1733-2004 Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan 9. SNI 19-14001-2005 Sistem manajemen lingkungan – Persyaratan dan panduan penggunaan. Beberapa aspek regulasi diatas, secara tegas mengatur pembangunan secara bertanggung jawab, yaitu pembangunan yang direncanakan secara beritegrasi dengan konservasi lingkungan, sehingga pembangunan dapat berkelanjutan. Paradigma Ekologi Arsitektur Ulla Myhr, Rolf Johannson (2008) merumuskan keterkaitan dampak yang disebabkan oleh adanya pembangunan terhadap lingkungan, bahwa dampak berpengaruh tidak hanya secara fisik dalam lingkungan, namun juga mempengaruhi lingkungan dalam bangunan baik internal dan eksternal. Dampak yang perlu mendapat perhatian adalah dampak jangka panjang, yang akan menurunkan kualitas lingkungan secara berangsur-angsur.



Gambar 3. Dampak pembangunan terhadap lingkungan. Sumber: (Ulla Myhr, Rolf Johannson, 2008)



Kenneth Yeang merupakan salah satu tokoh arsitektur Asia yang dikenal sangat memperhatikan konsep ekologis dan menghasilkan beberapa karya rancangan arsitektur yang popular. Dalam setiap desain yang dirancang didominasi dengan metode perancangan berbasis manajemen lingkungan yang teliti dan cermat. Desain mode (Ken Yeang, 1999) yang dikembangkan sebagai dasar pertimbangan konseptual meliputi: 1. Tata lingkungan bangunan luar dalam bentuk lansekap alami. 2. Pengolahan konfigurasi bangunan 3. Pemanfaatan potensi iklim dalam bangunan 4. Penggunaan teknologi tepat guna dan efisien 5. Pertimbangan sosial budaya penghuni bangunan Beberapa dasar pertimbangan tersebut dikembangkan dalam metode perancangan yang berkonsep Ekologi Arsitektur. Metode yang dilakukan sangat aplikatif dan variatif sehingga karya rancangan menjadi tidak monoton walaupun pada dasarnya menggunakan konsep yang sama. Lebih jauh, dalam penelitian Aplimon Jerobisonif (2011) berpendapat bahwa metode dan aplikasi desain ekologis yang dilakukan Ken Yeang dalam perkembangan karya-karya arsitekturnya disimpulkan bahwa dalam konteks desain ekologis ada dua konsep utama yang digunakan yaitu pendekatan desain bioclimatic yang dimanfaatkan sebagai aspek physical integration dengan passive dan low energy system yang memperhatikan faktor kenyamanan penghuni. Selain itu, pertimbangan desain diperhatikan melalui pendekatan desain ecomimicry yang merupakan wujud systemic dan temporal integration dengan tujuan mendapatkan desain yang ekologis didalam seluruh daur hidup bangunan. Konsep desain ekologis kemudian dijabarkan dalam prinsip utama yaitu



meminimalkan jumlah sampah yang akan menimbulkan masalah-masalah lingkungan, baik sampah pembangunan maupun dalam operasionalnya; melakukan sistem desain yang alami; memahami faktor-faktor ekologis yang dapat diolah dan dipertahankan pada keberlanjutan tapak; mempertimbangkan perancangan yang hemat energi dalam jangka panjang; membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan alam. Selanjutnya diterapkan dalam aplikasi desain ekologis Ken Yeang dengan beberapa fitur yang dikelompokkan menjadi: 1. Orientasi dan konfigurasi bangunan, 2. Landscape dan Penanaman, 3. Desain Fasad Bangunan, dan 4. Material dan Komponen Ekologis. Pengolahan desain ini apabila secara cermat diperhatikan, ada tujuan bahwa konsep Ekologi Arsitektur berpegang pada perancangan sistem dalam bangunan yang tidak berdampak atau berdampak kecil ketika diletakkan pada lingkungan alam. Sri Yuliani (2011) dalam Jurnal Region, menyebutkan bahwa pendekatan perancangan yang efisien dan berwawasan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat adalah dengan menggunakan metode perancangan berbasis Ekologi Arsitektur. Pada tulisan yang lain The 12th International Conference on Sustainable Environment and Architecture (SENVAR) 2011 melalui makalahnya The Application of Ecological Concepts on The Flats’ Roof in Humid Tropical Region, menyimpulkan bahwa prinsip penerapan konsep Ekologi Arsitektur pada penggunaan atap hijau sangat optimal untuk menyediakan kenyamanan thermal pada rumah susun. Selain itu sistem yang dibangun dalam ekosistem bangunan rumah susun tersebut mempunyai potensi meningkatkan aktifitas produktif penghuni dan dapat membentuk lingkungan yang lebih segar dan sehat. Hal ini dapat dikembangkan tidak hanya berhenti di obyek rumah susun, namun dapat diaplikasi pada bangunan bertingkat lainnya, seperti rumah took (ruko), mall tempat perbelanjaan atau bangunan bertingkat yang lain milik pemerintah maupun swasta. Dijelaskan bahwa faktor alam dapat dimanfaatkan untuk menyediakan kualitas lingkungan bagi kehidupan manusia. Bangunan, sekalipun merupakan benda mati, sebaiknya mempunyai korelasi dengan lingkungan alamnya.



Simon Guy (2011) menemukan kajian tentang perdebatan arsitektur berkelanjutan terhadap pemetaan praktek dan penerapan logika desain alternatif menunjukkan persaingan untuk mengangkat nilai-nilai lingkungan dengan mempertahankannya secara alami atau melalui membentuk profil technonatural pembangunan green building. Disini secara tegas ditemukan, bahwa praktek merencana dan merancang masih banyak yang mengedepankan unsure teknologi dalam estetika yang mengabaikan lingkungan alam. Beberapa desain yang terbentuk semata-mata hanya memposisikan alam sebagai komponen penunjang. Untuk lebih memahami heterogenitas arsitektur berkelanjutan bagaimanapun juga kita harus menjelaskan beberapa cara mengatasi masalah lingkungan dengan cara diidentifikasi, didefinisikan, diterjemahkan, dihargai dan kemudian diwujudkan dalam bentuk lingkungan binaan melalui desain beragam dan jalur pembangunan yang berkelanjutan. Stuart Wilson and Gavin Scott (2011)



manusia selama ini masih dapat hidup di lingkungan normal yang kadang tidak sedap dipandang, tidak sehat atau bahkan mengkhawatirkan, walaupun dalam batin tidak cocok, namun karena keadaan yang mengharuskan, maka tetap menerima dan melakukan upaya bertahan. Sebagai contoh, manusia tetap merasa ‘nyaman’ tinggal di bantaran sungai yang sering banjir, atau di pinggiran jalan kereta api meski dari faktor kenyamanan dan keamanan tidak layak huni. Tapi mereka tetap mendirikan hunian dengan membayar harga yang tidak murah, yang mungkin tidak dapat mengevaluasinya secara memadai. Pembangunan yang tidak memanusiawikan manusia ini tentunya tidak akan berkelanjutan, kualitas lingkungan semakin menurun dan manusiapun semakin tidak dapat bersahabat dengan alam. Faktor utama dalam temuan Stuart Wilson dan Gavin Scott, adalah manusia dengan segala peran dan aktifitasnya menjadi penentu keseimbangan ekologis. Dengan kata lain, ketika pembangunan berkelanjutan menjadi tujuan konsep Ekologi Arsitektur, manusia menjadi faktor utama, baik budaya, sosial dan ekonomi.



Maibritt



Pedersen



Zari



(2011)



mengemukakan bahwa penggabungan pemahaman yang menyeluruh tentang biologi dan ekologi ke dalam desain arsitektur akan signifikan dalam penciptaan lingkungan yang dibangun yang memberikan kontribusi untuk kesehatan masyarakat manusia, sekaligus meningkatkan integrasi positif dengan siklus karbon alami. Maibritt Pedersen Zari (2012) menegaskan 'netral' terhadap lingkungan dalam hal penggunaan energi, emisi karbon, pembangkit limbah atau penggunaan air adalah target layak tetapi sulit dalam desain arsitektur dan perkotaan. Namun, lingkungan binaan mungkin perlu melampaui upaya hanya untuk membatasi hasil lingkungan negatif dan bukan bertujuan untuk keuntungan bersih lingkungan yang positif. Ini berarti bahwa lingkungan dibangun perlu memberikan kontribusi lebih dari mengkonsumsi sekaligus remediating kerusakan lingkungan masa lalu dan saat ini. Pembangunan tersebut bisa disebut 'regeneratif'. Potensi untuk memahami dan kemudian meniru jasa ekosistem dieksplorasi untuk menetapkan tujuan untuk pengembangan regeneratif, merancang mereka dan mengukur keberhasilan atau kegagalan karena mereka berevolusi dari waktu ke waktu. Poin memanfaatkan kunci diidentifikasi di mana sistem dari lingkungan yang dibangun dapat diubah untuk bergerak ke arah lingkungan perkotaan regeneratif. Menganalisis lingkungan perkotaan dibangun dari perspektif bagaimana fungsi ekosistem bisa menjadi langkah penting menuju penciptaan lingkungan binaan di mana integrasi positif dengan, dan pemulihan, ekosistem lokal dapat terwujud.



Ceridwen Owen dan Kim Dovey (2008) menggunakan kerangka teori sosiologi Bourdieu, makalah ini membahas 'lapangan' arsitektur melalui mata arsitek terlibat dalam upaya untuk arsitektur berkelanjutan. Praktek arsitektur berkelanjutan sering digambarkan sebagai salah satu usaha untuk melayani dua majikan dalam bidang seni dan ilmu masingmasing. Dalam istilah Bourdieu, ini tumpang tindih lahan tempat praktek arsitektur berkelanjutan seperti bermain dua pertandingan pada bidang yang sama. Untuk memainkannya secara efektif memerlukan kepekaan rasa dalam menentukan kedua permainan yang terintegrasi secara ideal adalah untuk mencetak dua gol secara



bersamaan. Namun, keinginan untuk integrasi tidak mudah menyadari dan bagian dari perjuangan yang lebih dari definisi arsitektur dan keberlanjutan. Elit hijau waspada terhadap kooptasi, namun apabila mereka memainkan permainan estetika, mereka akan dikeluarkan dari lapangan. Para elit seni, meskipun gelisah tetap dihadapkan pada kesadaran bahwa jika permainan tidak berubah menjadi ‘hijau’ maka lapangan akan berubah menjadi ‘cokelat’. Makalah ini menyimpulkan bahwa interaksi terus-menerus antara integrasi dan pemisahan merupakan kondisi di bidang praktik arsitektur, sementara itu, wilayah paling produktif untuk rekonsiliasi terletak pada posisi keberlanjutan dan arsitektur sebagai praktek sosial (komersiil). Secara singkat dirumuskan bahwa banyak konsep Ekologi Arsitektur yang tidak mengakar dari tujuan untuk melestarikan alam, namun yang terjadi adalah semata-mata pembangunan yang mengeksploitasi alam untuk menjunjung nilai-nilai estetika (seni).



Mohammad Taleghani, Hamid R. Ansari dan Philip Jennings (2010) menyatakan bahwa keberlanjutan merupakan isu penting bagi zaman kita dan arsitektur memiliki peran penting dalam pembangunan berkelanjutan. Bangunan bertanggung jawab untuk sekitar 40% dari konsumsi energi dunia tahunan. Selain itu, selama dekade terakhir, beberapa pendekatan baru telah muncul untuk penggabungan keberlanjutan dan energi terbarukan ke dalam pendidikan arsitektur. Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi energi bangunan adalah untuk mendidik arsitek dalam desain bangunan yang didukung oleh bentuk-bentuk energi terbarukan untuk pemanasan, pendinginan pencahayaan, dan ventilasi. Perbandingan pendidikan arsitektur berkelanjutan di negara-negara ekonomi maju dengan yang di negara yang berkembang menyediakan beberapa wawasan tentang bagaimana untuk memodernisasi kurikulum arsitektur untuk memfasilitasi proses pembangunan berkelanjutan. Pemahaman konsep Ekologi Arsitektur dibangun dari aspek pendidikan. Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani (2006) menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia mengalami kemerosotan kualitas kehidupan dalam tata ruang kota yang tidak direncanakan dengan matang. Ruang kota yang sebenarnya tidak hanya mempunyai ruang tunggal (single-



minded space) yang memfasilitasi fungsi tunggal pada suatu kawasan di wilayah kota, akan tetapi memerlukan ruang beraneka ragam (open-minded space) yang menjaga kelestarian lingkungan dengan menghadirkan fungsi sekunder yang mendukung fungsi primer, Misalnya untuk merencanakan pedestrian, tidak semata-mata membuat jalur akses sirkulasi, namun juga menghadirkan peneduh, ruang duduk untuk beristirahat, maupun furniture street yang lain agar fungsi pedestrian menjadi optimal. Perencanaan dengan mengoptimalkan potensi alam lingkungan sebagai pendukung faktor kenyamanan fisik ternyata juga berpengaruh terhadap kualitas ruang hidup manusia baik secara fisik maupun non fisik. Tujuan dari metode perencanaan tersebut tidak hanya untuk menjaga kualitas lingkungan namun sebenarnya diharapkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Secara singkat dinyatakan bahwa berkonsep Eko-Arsitektur merupakan konsep membangun holistik, memperhatikan unsur-unsur terkait yakni manusia, bangunan dan lingkungan dengan pertimbangan pemanfaatan untuk masa sekarang dan yang akan datang. Ciri-ciri iklim tropis lembab Indonesia (Prasasto Satwiko, 2004) yg mendapat prioritas untuk diadaptasi dalam penerapan konsep EkoArsitektur diantaranya: 1. Kelembaban tinggi hingga 90% 2. Temperatur udara tinggi rata-rata 32oC 3. Curah hujan tinggi rata-rata 15002500mm setahun 4. Radiasi matahari secara global sekitar 400 watt/m2 5. Langit cenderung berawan 6. Kecepatan angin rata-rata relatif rendah kurang dari 2m/s 7. Flora dan fauna beragam Sumber daya alam yang berpotensi untuk dimanfaatkan dan berinteraksi secara harmonis dengan pembangunan meliputi: 1. Matahari 2. Angin 3. Keragaman flora dan fauna 4. Tanah yang subur Pengelolaan sumber daya alam dalam desain arsitektural direspon dari kondisi lingkungan di luar bangunan yang ditentukan oleh iklim setempat (iklim makro) dan keadaan lingkungan di sekitarnya (iklim mikro). Untuk mendapatkan kondisi lingkungan didalam



bangunan dapat diusahakan dengan beberapa cara, diantaranya: 1. Sistem Desain Pasif (Pasive Building Design), merupakan metode desain arsitektural yang mengandalkan elemen pembentuk iklim yang potensial mampu memberikan kenyamanan fisik. 2. Sistem Desain Aktif (Active Building Design), dimaksudkan sebagai metode desain arsitektural yang dalam perancangannya memanfaatkan peralatan mekanis/elektrikal. Sue Roaf dkk (2007) membuat ilustrasi pemanfaatan matahari untuk bangunan dalam gambar berikut ini.



Gambar 5. Contoh bangunan berkonsep Ekologi Arsitektur. Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007, hal 330)



Gambar 6. Contoh desain bangunan berbahan reuse material. Sumber: (Sue Rof dkk, 2007, hal 343)



Gambar 4. Pemanfaatan matahari dalam bangunan. Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007. Hal 217)



Selain sumber daya alam, faktor utama yang menjadi penentu dalam konsep Ekologi Arsitektur adalah pemanfaatan sumber daya manusia, budaya dan teknologi yang dapat dihasilkan mempunyai peran yang dominan. Beberapa contoh karya desain dengan konsep Ekologi Arsitektur:



Gambar 7. Contoh bangunan berkonsep Ekologi Arsitektur. Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007. Hal 356)



Keputusan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor: 200/UN27/PN/2012 dalam kontrak penelitian yang direncanakan untuk dua tahun.



Gambar 8. Skema sistem hubungan alam dan bangunan pada bangunan berkonsep Ekologi Arsitektur. Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007, hal 358)



KESIMPULAN Latar belakang konsep Ekologi Arsitektur adalah kerusakan lingkungan, -sehingga mengakibatkan perubahan iklim, krisis energidan tuntutan kualitas hidup manusia. Regulasi pembangunan berwawasan lingkungan menjadi koridor perancangan yang tidak hanya berskala regional, namun juga skala nasional hingga internasional. Konsep Ekologi Arsitektur adalah konsep membangun yang memperhatikan keseimbangan lingkungan alam dan buatan dengan unsur utama manusia, bangunan dan lingkungan. Manusia sebagai pelaku dan pengguna mempunyai keragaman sosial budaya untuk mengolah bangunan dan lingkungan secara harmonis. Perancangan berkonsep Ekologi Arsitektur merupakan perencanaan yang bertujuan mendesain sistem yang mampu menjaga simbiosis lingkungan dalam bangunan atau kawasan sehingga tidak membebani siklus alami. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kepada Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan dukungan penelitian dalam Program DIPA BLU Universitas Sebelas Maret Tahun Anggaran 2012 melalui Surat



DAFTAR PUSTAKA Aplimon Jerobisonif, 2011. Aplikasi Desain Ekologis Dalam Karya Arsitektur Ken Yeang, abstrak thesis, penerbit ETD (electronic theses & dissertations) UGM Yogyakarta. Ceridwen Owen & Kim Dovey. 2008. Fields Of Sustainable Architecture. The Journal of Architecture Volume 13, Issue 1, 2008. Taylor & Francis. Dwinta Nori, Galing Yudana, Widharyatmo. 2011. Pengaruh Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kualitas Lingkungan Kota Surakarta. Jurnal Region Vol 4 No.1 Januari 2011 ISSN 1858-4837. Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) UNS. Hal 19-26. Hari Yuliarso, Sri Yuliani. 2007. Dampak Perkembangan Ruko terhadap Ruang Terbuka Hijau Kota Surakarta. LPPM UNS: Laporan penelitian tidak dipublikasikan. Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani, 2006. Arsitektur Ekologis, Konsep arsitektur ekologis di iklim tropis, penghijauan kota dan kota ekologis, serta energi terbarukan. Penerbit Kanisius dan Soegijapranata University Press, Semarang Kementerian Pekerjaan Umum, 2005. Kebijakan dan Aspek Regulasi dalam Seminar Green Architecture di Jakarta tanggal 28 November 2006. Ken Yeang, 1999. The Green Skyscarpers, New York: Penerbit Longman. Maibritt Pedersen Zari. 2010. Biomimetic design for climate change adaptation and mitigation. Journal of Building Research & Information. Volume 40 Issue 1 2012. Taylor & Francis. Maibritt Pedersen Zari. 2011. Ecosystem services analysis for the design of regenerative built environments. Journal of Architectural Science Review. Volume 53 Issue 2 2010. Taylor & Francis. Mohammad Taleghani, Hamid R. Ansari & Philip Jennings. 2010. Renewable energy education for architects: lessons from developed and developing countries. International Journal of Sustainable



Energy Volume 29 Issue 2 2010. Taylor & Francis. Prasasto Satwiko. 2004. Fisika Bangunan 1 Edisi 1. Yogyakarta: Penerbit Andi. Simon Guy. 2011. Pragmatic Ecologies: Situating Sustainable Building. Journal of Architectural Science Review. Volume 53 Issue 1 2010. Taylor & Francis. Sri Yuliani, 2011, The Application of Ecological Concepts on The Flats’ Roof in Humid Tropical Region, The 12th International Conference on Sustainable Environment and Architecture (SENVAR) ISBN 978-602-203-055-3 tanggal 10-11 November di Malang, Penerbit University of Brawijaya. Sri Yuliani, 2011. Model of Flats at Surakarta Suburban Settlement as an Alternative Form of Land Limitation in The Humid Tropical Climate Region, Jurnal Region Vol 4 No.1 Januari 2011 ISSN 1858-4837. Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) UNS. Hal 27-36. Stuart Wilson and Gavin Scott. 2011. Architecture And An Ecology Of Man. Journal of Architectural Science Review, Volume 53 2010. Taylor & Francis. Sue Roaf, David Crichton, Fergus Nicol. 2005. Adapting Building and Cities for Climate Change,Burlington: Elsevier. Sue Roaf, Manuel Fuentes, Stephanies Thomas. 2007. Ecohouse: A Design Guide, Third Edition. Burlington: Elseveir. Sue Roaf, Rychard Hyde, Colin Champen, Martin Seigert. 2012. Transforming Markets in The Built Environment and Adapting to Climate Change: An Introduction. Journal of Architectural Science Review. Taylor & Francis. Ulla Myhr, Rolf Johannson. 2008. Ecoeffect for outdoor environments: the process of tool development. Environmental Impact Assesment Review. Elseveir, available online at www.sciencedirect.com. hal 445.