Paradigma Ilmu Pengetahuan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Ibu Dr. Niswatin, S.Pd., SE., M.SA OLEH KELOMPOK IX Syarafina Dewiyana Taha 921419030 Anggelina Tambuwun 921419045 Eriskawati Datau 921419010 Nita Y Adju 921419022



JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2019



i



KATA PENGANTAR



Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahuwataala. Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Sallallahualaihiwassalam, karena atas hidayah-Nyalah, makalah yang berjudul Paradigma Ilmu Pengetahuan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi salah satu tugas Filsafat Ilmu, dan lebih dari itu sesungguhnya makalah ini merupakan dari proses pembelajaran selama berada di semester 1. Makalah ini berisi tentang gambaran mengenai paradigma ilmu pengetahuan yang nantinya akan sangat bermanfaat bagi kita semua. Pada dasarnya setiap usaha dalam mencapai suatu keberhasilan pasti akan mengalami hambatan dan rintangan, demikian pula yang telah dialami oleh penulis dalam menyusun makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penulis dan pembaca.



Gorontalo, November 2019 Penyusun



Kelompok IX



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL



i



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI



ii



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang



1



1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan



1



1



1



BAB II PEMBAHASAN



2



2.1 Definisi Paradigma



2



2.2 Perkembangan Paradigma Ilmu Pengetahuan



3



2.3 Jenis Pemetaan Paradigma Ilmu Pengetahuan



5



2.4 Akuntansi Dalam Pandangan Paradigma Religius (Islam) BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran



5



10 10



10



DAFTAR PUSTAKA



iv



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Berbicara tentang paradigma ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nama-nama para



tokoh yang sudah bersusah payah dalam memberontak filsafat ilmu pengetahuan positivistik yang dipelopori oleh Thomas S. Khun, Paul Feyerabend, N.R Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, serta Imre Lakatos. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh sangat besar bagi kemajuan di dunia, bahkan banyak penemuan yang terjadi di dunia timur yang baru dikembangkan pada dunia barat. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari sekelompok ilmuan yang menjadi komunitasnya. Pengaruh komunitas keilmuan muncul dari aktivitas diskusi, seminar, workshop, penulisan karya ilmiah, penelitian dan berbagai kegiatan ilmiah yang lain. Mereka sering berpikir dengan acuan pemikiran yang sama, sehingga melahirkan pemikiran paradigmatik. Dengan demikian, paradigma dapat dinyatakan sebagai intellectual commitment, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam penafsiran atas jawaban yang diperoleh. 1.2



Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan paradigma ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana perkembangan paradigma ilmu pengetahuan? 3. Apa saja jenis pemetaan paradigma ilmu pengetahuan? 4. Bagaimana Pandangan paradigma religius (islam) dalam akuntansi?



1.3



Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi paradigma ilmu pengetahuan 2. Untuk mengetahui perkembangan paradigma ilmu pengetahuan dan 3. Untuk mengetahui jenis pemetaan paradigma ilmu pengetahuan 4. Untuk mengetahui pandangan paradigma religius (islam) dalam akuntansi



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1



Definsi Paradigma Ilmu Pengetahuan Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut pandang



yang menggunakannya. Menurut (Erlina Diamastuti:2012) paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar yang menuntun seseorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari hari. Istilah paradigma (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Ravolution (1962) paradigma adalah gabungan hasil kajian yang terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dan lain-lain yang digunakan secara bersama dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah beserta solusinya. Konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Kuhn ini kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Karya Friedrichs ini kemudian diikuti oleh Lodahl dan Cordon (1972), Philips (1973), Effrat (1972), Friedrichs kembali (1972) dan Baary Barnes (1982). Inti tesis Kuhn adalah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Istilah paradigma merupakan terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan ini. Menurut George Rotzer, Kuhn menggunakan istilah paradigma ini tak kurang dari dua puluh satu cara yang berbedabeda, dan karenanya Kuhn tidak merumuskan dengan jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan paradigma. Masterman mencoba meredusir ke dua puluh satu konsep paradigma yang berbedabeda itu menjadi tiga tipe, yaitu paradigma metafisik, paradigma bersifat sosiologi dan paradigma konstruk. Yang dimaksud dengan paradigma metafisik adalah konsensus yang luas dalam suatu disiplin ilmu, yang membantu membatasi bidang (scope) dari suatu ilmu sehingga dengan demikian membantu mengarahkan ilmuan dalam melakukan penyelidikan. Adapun rumusan Robert Friedrichs tentang paradigma adalah sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Dari pengertian paradigma yang telah dikemukakan oleh Kuhn, Masterman, Friedrichs di atas, Ritzer mencoba merumuskan pengertian paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya 2



dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterprestasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalanpersoalan tersebut. 2.2



Perkembangan Paradigma Ilmu Pengetahuan Setelah membahas definisi dari “paradigma” maka yang menjadi pertanyaan saat ini



adalah bagaimana seorang dapat mengembangkan suatu paradigma ilmu. Burrell & Morgan (1979) mengembangkan aspek paradigma tersebut dalam asumsi meta teoritikal yang mendasari kerangka referensi, model teori dan modus operasi dari ilmuan yang berada dalam paradigma tersebut. Sehingga Burrell & Morgan (1979) membagi paradigma tersebut sebagai a) paradigma fungsional (The Functionalist Paradigm), b) paradigma interpretif (The Intrepretive Paradigm), c) paradigma radikal structuralis (The Radical Structuralist Paradigm) dan d) paradigma radikal humanis (The Radical Humanist Paradigm). Sedangkan Chua (1986) membagi paradigma dalam ilmu sosial menjadi 3 paradigma yaitu a) The Functionalist (Mainstream) Paradigm, b) The Interpretive Paradigm dan c) The Critical Paradigm. Menurut Chua, pernyataan yang diuangkapkan oleh Burrell & Morgan untuk paradigma radikal humanis dengan paradigma radikal strukturalis dapat digabungkan menjadi satu paradigma yaitu paradigma kritis (The Critical Paradigm). Sarantakos (1993) dalam Triyuwono (2006) membagi paradigma yang hampir sama dengan Chua (1986) yaitu a) The Functionalist (Positivist) Paradigm, b) The Interpretive Paradigm, c) The Critical Paradigm. Eichelberger (1989) dalam Miarso (2005) selanjutnya membedakan tiga paradigma filsafat yang melandasi metodologi pengetahuan, yaitu: positivistik, fenomenologik, dan hermeneutik. Sedangkan Bhaskar (1989) mengelompokkan paradigma dalam 3 kelompok yang didasarkan pada pengaruh individu dan masyarakat. Pengelompokkan tersebut meliputi paradigma positivisme (Emile Durkheim), paradigma conventionalisme (Max Weber), paradigma realisme (Karl Marx). Sedangkan Guba (1990) seperti yang dikutip oleh Salim (2006) membagi paradigma menjadi empat kelompok yaitu positivism, post-positivism, critical theory dan konstruktivisme. Dari beberapa ilmuwan yang telah dijabarkan di atas, dalam mengembangkan paradigmanya, penulis melihat pada dasarnya adalah sama karena didasarkan dari 4 3



dimensi yang ada dalam filsafat ilmu pengetahuan yaitu dimensi ontologis, dimensi epistemologis, dimensi aksiologis, dan dimensi metodologis. Burrell & Morgan mengembangkan dimensi tersebut dan digambarkan sebagai berikut: Pendekatan subjectivist



Pendekatan Objektivist



dalam social science



dalam social science



Nominalism



Ontology



Realism



Anti Positivism



Epistemology



Positivism



Voluntarism



Aksiology



Determinism



Ideaographic



Methodology



Nomothetic



Dari gambar di atas, paradigma baik menurut Burrell & Morgan (1979), Chua (1986), maupun Eichelberger (1989), Bhaskar (1989), Guba (1990) dalam dimensi tersebut dapat dijabarkan dalam penjelasan berikut ini: Dimensi Ontologis Pada tataran dimensi ontologis, peneliti berada dalam pendekatan objektif dan akan melihat kenyataan sebagai objek. Artinya, objek adalah sesuatu yang berada di luar peneliti dan yang bebas dari penelitinya (value free) dan dapat diukur secara objektif dengan menggunakan instrument. Sedangkan dalam pendekatan subjektif, kenyataan adalah sesuatu yang ada dan dilibatkan oleh peneliti dalam penelitiannya dan peneliti juga ikut andil dalam penelitian tersebut (not value free). Dimensi Epistemologi Peneliti dalam dimensi ini memberikan jarak yang cukup jauh dengan objek penelitiannya untuk pendekatan objektif sehingga lebih bersifat independent. Pendekatan objektif atau positivistic lebih menuntut penyusunan kerangka teori. Sebaliknya untuk pendekatan subjektif atau paradigma alternatif, peneliti justru berinteraksi dengan objek yang diteliti. Interaksi tersebut bisa berbentuk tinggal bersama atau mengamati perilaku subjek penelitian dalam jangka waktu tertentu dan tidak menuntut penyusunan kerangka teori sebagai persiapan awal penelitian. Dimensi Aksiologi Dalam pendekatan objektif nilai-nilai yang dianut peneliti tidak boleh mempengaruihi penelitian dengan menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai dalam hasil dengan menggunakan bahasa yang impersonal, sedangkan dalam pendekatan 4



subjektif justru sebaliknya, bahasa digunakan sebagai hubungan untuk mendekatkan antara peneliti dengan objek yang diteliti sehingga lebih bersifat personal. Dimensi Metodologis Pendekatan objektif lebih menekankan pada logika deduktif dan teoritis dan pengembangan hipotesis dilakukan untuk menguji hubungan sebab-akibat dan hasilnya cenderung statis. Sedangkan pendekatan subjektif lebih mengarah pada logika induktif dengan mengandalkan interaksi dari peneliti dengan aktor yang ditunjuk dalam penelitian tersebut, sehingga lebih kaya informasi, lebih kontekstual dalam menjelaskan teori yang ada. 2.3



Jenis Pemetaan Paradigma Ilmu Pengetahuan Dari paradigma yang diajukan oleh beberapa ilmuan, ada baiknya kita mempelajari



masing-masing paradigma: 1. Paradigma Positif Paradigma positif atau the functionalist paradigm yang muncul paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Kepercayaan dalam pandangan ini berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam. Paradigma positif menurut Chua (1986), didasarkan common set asumsi filosofis tentang pengetahuan, dunia empiris dan hubungan antara teori dan praktek. Pandangan dunia terutama menekankan pada hypothetico-deductivism dan technical control. Secara ontologis, ditegaskan Chua (1986) dipengaruhi realitas fisik yang menganggap dunia sebagai realitas obyektif yang berada di luar (independent) manusia, dan alam yang penuh kepastian (determinate nature) atau secara esensi dapat diketahui (knowable). Dengan demikian terdapat garis pembatas tegas antara obyek dan subyek, pengetahuan dapat diperoleh ketika subyek dapat menemukan dengan benar dan mendiscovers realitas obyektif tersebut. Karena itu, penelitian-penelitian dalam paradigma ini selalu menekankan obyektifitas yang tinggi. Ini tidak lain obyek yang diketahui (knowable) terpisah dengan subyek yang mengetahui. Peneliti dalam paradigma ini selalu mencoba melakukan pengukuran-pengukuran yang akurat melalui suatu instrumen yang dinamakan questionaire- terhadap realitas sosial yang ditelitinya. Melihat realitas sebagai materi yang dapat diukur dan diinterprestasikan secara rasional, atau satu-satunya untuk membangun ilmu memakai metode ilmiah (Triyuwono:2000). Bentuk metodologi yang sesuai dan banyak dipakai pada paradigma ini adalah metodologi kuantitatif dengan teknik statistiknya dan telah 5



mendominasi sejak abad ke-18 sampai saat ini (Muhadjir 2000:11) yang berakar pada ilmu-ilmu alam (Hardiman 2003:57; Burrell & Morgan 1979). 2. Paradigma Interpretif Paradigma interpretif dibentuk berdasarkan asumsi bahwa realitas sosial itu keberadaannya tidak konkret, melainkan keberadaannya dibentuk dari pengalaman subyektif-obyektif masing-masing individu. Jadi realitas sosial itu diciptakan dari hasil interprestasi dan konsep-konsep individu serta bagaimana ia membentuk makna (meaning) atas interprestasi tersebut sehingga realitas sosial itu majemuk, bisa bertahan atau berubah tergantung pada pemaknaan individu. Paradigma interpretif, menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya functionalism paradigma, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektifisme dalam analisis sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling mendasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamatinya (Fakih:2002). 3. Paradigma Kritis Paradigma kritis, berlawanan dengan positivism, dalam melihat realitas. Bila dalam paradigma positif, Fakih (2002) yang mensitir pemikiran Jurgen Habermas, bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada ruh atau gagasan, ilmu sosial lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan, tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. Paradigma kritis, di sisi lain memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis memakai baik pendekatan obyektif maupun subyektif untuk menjelaskan tentang perubahan yang selalu terjadi dalam setiap hubungan sosial. Menurut Sarantakos (1993) makna-makna subyektif adalah relevan dan penting, namun hubungan-hubungan obyektif juga tidak bisa ditolak. Perhatian utama dari paradigma ini adalah membuka mitos dan ilusi, mengekspos struktur yang nyata dan mempresentasikan realitas sebagaimana adanya. Burell & Morgan (1979) memisahkan paradigma ini dalam dua paradigma, yaitu Radical Humanism dan Radical Structuralism. Radical Humanism memandang perubahan dilakukan lewat consciousness/kesadaran, sedangkan Radical Structuralism memandang 6



bahwa perubahan bisa dilakukan lewat perubahan structure atau sistem. Radical Structuralism berdasar dari hasil kritik radikal Karl Marx dan Frederick Engels dari German Idealism dalam bukunya yang berjudul The German Ideology (1846), setelah melakukan reinterpretasi Sistem Filsafat Hegelian. Fokus analisis dari Marx adalah political economy dari capitalism. Menggantikan konsep consciousness, alienation dan critique menjadi structures, contradictions dan crisis. 4. Paradigma Postmodernisme Postmodernisme muncul akibat kekecewaan terhadap segala atribut yang melekat pada modernitas. Di satu pihak, postmodernisme melihat modernisme selalu diikuti dengan hal-hal seperti penyebaran (jika bukan hegemoni) peradaban Barat, industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, konsumerisme, dan lain-lain. Namun di pihak lain, postmodernisme juga melihat rasisme, perbedaan kaya-miskin, diskriminasi, pengangguran, dan stagflasi tumbuh bersama-sama dengan modernisme. Karakter utama postmodernisme, menurut Triyuwono (2000), terletak pada usaha dekonstruksi yang dilakukan terhadap semua bentuk logosentrisme yang dibuat oleh modernisme. Logosentrisme, adalah system pola berpikir yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran universal dan eksternal. Sebagaimana dijelaskan, postmodernisme merupakan antitesis dari modernisme yang cenderung menolak disposisi subyek dan obyek. Postmodernisme melihat realitas tidak hanya obyektif, realitas juga memiliki padanannya yaitu realitas subyektif. Berbeda dengan interpretivism yang hanya memandang realitas itu subyektif, berbeda pula dengan aliran kritis awal yang membedakan perubahan sosial bisa dilakukan terpisah melalui subyektifitas (radical humanist) atau melalui obyektifitas (radical structuralist). Postmodernisme melihat realitas itu majemuk, baik itu subyektif maupun obyektif, bahkan melampaui keduanya. Realitas adalah hasil dari pengalaman obyektif, subyektif, intuitif, bahkan spiritual, semuanya terjadi dalam satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan ditera mana yang berpengaruh dan mana yang dipengaruhi. Mudahnya, tidak ada pemisahan antara realitas (object) dan pencipta realitas (subject). Perkembangan terbaru saat ini muncul apa yang disebut dengan paradigma spiritual. Paradigma ini sebenarnya merupakan rentetan yang dihasilkan dari perkembangan paradigmatik Barat, terutama sebagai hasil turunan paradigma postmodernisme afirmatif. 5. Paradigma Religius Berbeda dengan pembagian paradigmatik Barat, tradisi Islam kontemporer memiliki perbedaan definisi yang berbeda. Beberapa definisi paradigma atau worldview yang 7



menonjol seperti dijelaskan Zarkasyi (2005) setidaknya terdapat empat definisi paradigma atau worldview dalam khasanah Islam kontemporer, yaitu definisi dari Maulana Al-Maududi, Syaikh Atif al-Zain, Sayyid Qutb, dan Seyyed Naquib Al-Attas. Berikut akan dijelaskan masing-masing. Pertama, definisi dari Maulana Al-Maududi. Beliau mengistilahkan paradigma Islam sebagai Islami Nazariyat (Islamic Vision), yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh. Kedua, definisi dari Syaikh Atif al-Zain. Paradigma dalam istilah Syaikh Atif al-Zain disebut al-Mabda’ al-Islami (Islamic Principle) yang cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ai mengartikan mabda’sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal. Ketiga, paradigma menurut Sayyid Qutb. Menurutnya paradigma disebut sebagai altasawwur al-Islami (Islamic Vision), yang berarti akumulasi keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu. Keempat, definisi paradigma menurut Seyyed Naquib Al-Attas. Al-Attas mengartikan paradigma sebagai Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview), yaitu pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan tentang hakikat wujud. Bila kita lihat penjelasan-penjelasan mengenai makna paradigma di atas, dapat kita lihat terdapat perbedaan pemahaman mengenai paradigma. Dalam tradisi Barat, paradigma lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang memiliki tiga penekanan, yaitu moto bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman realitas, dan dasar bagi aktifitas ilmiah. Namun dalam Islam makna paradigma menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta dan selalu berujung pada Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) yaitu Allah. 2.4



Akuntansi Dalam Pandangan Paradigma Religius (Islam) Bagaimana penerapan Paradigma Religius misalnya dalam memandang akuntansi?



Dapat diberikan contoh disini mengenai Paradigma Islam. Akuntansi dalam paradigma Islam, akuntansi jelas tidak bisa bebas nilai, tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang sangat akut. Akutnya nilai-nilai yang berpengaruh terhadap akuntansi dapat dilihat dari artikel 8



Watts (1992) yang menegaskan bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik. Menurutnya teori akuntansi dan realitas empiris memberikan penegasan bahwa akuntansi merupakan realitas yang sangat politis dan penuh kepentingan pasar yang jelas-jelas tidak dapat digagas dari teori normatif yang unsienctific. Teori yang dibangun dari gagasan normatif bukanlah sebuah kebenaran yang dapat menjadi “main guidance” bagi realitas empiris akuntansi. Main guidance dalam pikiran Watts (1992) adalah realitas empiris yang harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya, tidak tetap (tetapi relatif), sebagai hasil interaksi dan keinginan dan egoisme individu (self-interest) yang rasional, baik berbentuk hubungan agensi di dalam market process maupun political process. Singkatnya, bangunan teori dan realitas akuntansi yang seperti itu berujung pada tiga substansi, yaitu self-interest, kekuasaan dan relativitas, yang mirip dengan apa yang biasa disebut sekularisme. Sekularisme bukanlah konsep yang berhubungan dengan aspek religi saja. Ditegaskan Glasner (1992) bahwa sekularisme di era modern telah berubah menjadi konsep yang lebih sosiologis. Sekularisme menurut Al-Attas (1981) adalah bentuk 3 penegasian, yaitu: 1. Disenchantment Alam (penegasian kekuatan di luar manusia), 2. Desakralisasi Kekuasaan (penegasian kekuasaan) dan 3. Dekonsekrasi Nilai (penegasian nilai-nilai non-materi/materialism



9



BAB III PENUTUP 3.1



Kesimpulan 1. paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar yang menuntun seseorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari hari. 2. Burrell & Morgan (1979) mengembangkan aspek paradigma tersebut dalam asumsi meta teoritikal yang mendasari kerangka referensi, model teori dan modus operasi dari ilmuan yang berada dalam paradigma tersebut. Sehingga Burrell & Morgan (1979) membagi paradigma tersebut sebagai a) paradigma fungsional (The Functionalist Paradigm), b) paradigma interpretif (The Intrepretive Paradigm), c) paradigma radikal structuralis (The Radical Structuralist Paradigm) dan d) paradigma radikal humanis (The Radical Humanist Paradigm). 3. Jenis pemetaan paradigma ilmu pengetahuan terdiri atas: paradigma positif, paradigma interpretif, paradigma kritis, paradigma postmodernisme, paradigma religius. 4. Akuntansi dalam paradigma Islam, akuntansi jelas tidak bisa bebas nilai, tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang sangat akut. Bangunan teori dan realitas akuntansi berujung pada tiga substansi, yaitu self-interest, kekuasaan dan relativitas, yang mirip dengan apa yang biasa disebut sekularisme.



3.2



Saran Pada pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dan



jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber penulis akan memperbaiki makalah tersebut. Oleh sebab itu kami harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dan kesimpulan diatas.



10



DAFTAR PUSTAKA Mulawarman, D,A. 2010. Integrasi Paradigma Akuntansi: Refleksi Atas Pendekatan Sosiologi Dalam Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1 No. 2. Universitas Brawijaya Abdussalam, A. 2011. Paradigma Tauhid: Kajian Paradigma Alternatif Dalam Pengembangan Ilmu dan Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, Vol. 9, No. 2 Diamastuti, E. 2015. Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis. Jurnal Akuntansi Universitas Jember. DOI: 10.19184/jauj.v10i1.1246



iv