Patronase Politik Di Kraton Jogja Abad 19 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



PATRONASE POLITIK DI KERATON YOGYAKARTA ABAD XIX Ahmad Athoillah Prodi S3 Sejarah Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada [email protected] Abstrak Kehadiran orang-orang Arab di Jawa dalam beberapa kajian disebutkan mulai terlihat pada abad XVIII sampai awal abad XIX. Sejak berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun 1755, beberapa orang Arab dari kalangan sayid Hadrami telah menjadi bagian dari keluarga Sultan Yogyakarta sebagai bukti hadirnya peran mereka di Keraton Yogyakarta pada abad XIX. Kajian ini membahas tentang proses dan bentuk patronase politik yang terjadi di antara kalangan Arab dengan keluarga bangsawan Jawa di Keraton Yogyakarta, khususnya pada paruh pertama abad ke-19. Ditemukan beberapa hal penting bahwa pertukaran jasa dan aliansi pernikahan antara para sayid dengan putri bangsawan Yogyakarta telah menempatkan posisi sayid sebagai elit politik dan kuatnya legitimasi keagamaan pada bangsawan Keraton Yogyakarta.Selain itu, juga ditemukan beberapa kasus bahwa para kalangan Arab juga membangun patronase politik yang justru menjadi lawan bagi Keraton Yogyakarta.



Kata kunci: patronase politik, Arab dan Jawa, Keraton Yogyakarta



POLITICAL PATRONAGE IN KERATON OF YOGYAKARTA IN THE EARLY 19TH CENTURY Abstract In several studies it was mentioned that the presence of Arabs in Java began to appear in the 18th century until the beginning of the 19th century. Since the founding Keraton of Yogyakarta in 1755, some Arabs, especially from the sayyid Hadrami community, have become part of the Sultan’s family in Yogyakarta. This proved that the Arabs have important status and role in the Keraton of Yogyakarta in the 19th century. This study discussed the processes and forms of political patronage that took place among Arabs with Javanese noble families in the Keraton of Yogyakarta, especially in the first half of the 19th century. It was found some important things that the exchange of services and marriage alliances between Arab men and Yogyakarta noble daughters had placed the position of the Arabs as a political elite and the strengthening of religious legitimacy Keraton of Yogyakarta’s nobility. In addition, several cases were also found that the Arabs also succeeded in building political patronage which became an opponent of Keraton of Yogyakarta.



Keywords: political patronage, Arab and Java, Keraton of Yogyakarta.



Naskah masuk: 07 - 01 - 2019; Revisi akhir: 29 -01 - 2019; Disetujui terbit: 15 - 03 - 2019



1



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



I. PENDAHULUAN Kehadiran orang Arab di Jawa menurut beberapa penelitian disebutkan telah hadir pada abad ke-15, khususnya dalam peran Islamisasi dan pembentukan kekuasaan Islam. Beberapa nama antara lain adalah Pandita Giri dan Raden Rahmat beserta keturunan dan muridnya yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Walisanga’. Pada masa berikutnya, banyak imigran dari Arab dan Persia yang juga datang ke Jawa untuk kepentingan perdagangan dan pengajaran praktik keagamaan pada masa kekuasaan politik dan perdagangan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sampai abad ke-18. Pendatang dari Arab ke Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 pada umumnya adalah para sayid keturunan Nabi —ahl al-bait— dari Hadramaut. Mereka adalah keturunan Imam Aḥmad al-Muhājir —pendatang dari Basrah, Irak— yang telah tinggal di Hadramaut pada tahun 952 M. Para sayid juga dikenal sebagai kaum ‘Alawiyyin atau Bā’Alawī karena merujuk nama pendiri keluarga mereka di Hadramaut yaitu —cucu Aḥmad al-Muhājir— Imam ‘Alawī bin ‘Ubaidillāh (Azra 2001:21,22; Alatas 1997:31). Dalam prakteknya, sayyid atau syarīf merupakan gelar istimewa sebagai identitas personal jika mereka keturunan Nabi.Para sayid tersebut di atas merupakan kelompok sosial pemegang hakhak istimewa keagamaan dan otoritas politik-keagamaan tertinggi di Hadramaut di atas kelompok sosial lainnya, seperti mashāyikh (keturunan agamawan), qabā’il (para anggota suku), masākīn (kalangan miskin) atau ḍu’afā’ (orang-orang lemah), serta akhdām dan ṣubyān (para pembantu) (Jonge 2004:376; Camelin 1997:148). Mereka bermigrasi ke luar wilayah Hadramaut dikarenakan permasalahan perekonomian, semangat penyiaran agama, dan kondisi politik —perang suku— yang memburuk di Hadramaut terutama menjelang abad ke-19. Dengan bekal ilmu keagamaan dan status sebagai keturunan Nabi, Kathirithamby-Wells (2009:573) menyebutkan bahwa para sayid kemudian berasimilasi dengan penduduk Jawa dengan berbagai peran, seperti pedagang, usaha pelayaran, pertabiban, peramal, pengajar keagamaan, dan lain sebagainya. Pada perempat akhir abad ke-18, para sayid keturunan Hadrami baik dari lembah dan pantai Hadramaut dan beberapa tempat penting lainnya di Pantai Selatan Arab dan India, seperti Aden, Jeddah, Kalkuta, dan Malabar mulai berdatangan ke Jawa. Dengan menggunakan kapal layar, mereka singgah ke Aceh dan meneruskan pelayarannya ke Pontianak dan Palembang serta sebagian menuju ke kota-kota di Pantai Utara Pulau Jawa. Kebanyakan mereka menetap di Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Gresik dan Surabaya sampai awal abad ke-19. Dalam catatan Berg (1989:145-147) Sayid ‘Abd ar-Raḥmān bin Muḥammad Bāsy-Syaibān telah tinggal di Cirebon pada awal abad ke-18 yang keturunannya tinggal di Semarang dan Pekalongan.Kazim (2013:17) yang mengutip pendapat Ricklefs (1997) juga mencantumkan nama Sayid ‘Alwī yang pada akhir abad ke-18 telah tinggal di Surakarta. Pada awal abad ke-19, disebutkan oleh Berg (1989) bahwa dua orang dari klan al-bin Yaḥyā, yaitu Sayid ‘Awad dan Sayid Ṭāhir juga telah menetap di Semarang, serta dari klan Bā’abūd yaitu Sayid Aḥmad bin Muḥsin juga telah bermukim di Pekalongan. Pada paruh pertama abad ke-19, para sayid dan beberapa orang Arab lainnya tersebut kemudian menjadi bagian dari kerabat para bangsawan di Jawa, khususnya melalui hubungan perkawinan. Banyak dari kalangan para sayid dan beberapa generasi setelahnya kemudian menjadi menantu sultan, patih, ataupun pejabat istana dan pejabat lokal di daerah kekuasaan Keraton



2



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



Yogyakarta pasca Perjanjian Giyanti (1755). Mereka kemudian tampil sebagai elit sosial-politik dan keagamaan dan berhasil membangun ruang patronase politik bagi keturunannya —dinasti ningrat Arab-Jawa— di Yogyakarta sepanjang abad ke-19. Beberapa karya penelitian Berg (1989), Mandal (1994), Amal (2005), Fatiyah (2009, 2011), Kathirithamby-Wells (2009), dan Alatas (2016), telah membahas hubungan perkawinan, identitas keagamaan, status dan peran yang berhubungan dengan politik, agama, dan budaya pada ArabJawa, walaupun secara spesifik belum membahas patronase politik antara Arab dan Jawa di Keraton Yogyakarta pada abad ke-19. Berdasarkan uraian di atas, kajian ini difokuskan melihat bagaimana patronase politik antara Arab dan Jawa terjadi di Keraton Yogyakarta pada abad ke19. Tujuan utama kajian ini adalah menjelaskan proses patronase politik, seperti relasi yang terjadi antara Arab dengan bangsawan Keraton Yogyakarta dan bentuk patronase politik, seperti perubahan status dan peran Arab di Yogyakarta pada abad ke-19. Patronase politik menurut Scott (1972:92) diartikan sebagai hubungan patron-klien -pertukaran antarperan dalam ‘ikatan diadik vertikal’ (dua orang)- yang salah satu individu dengan status sosial lebih tinggi (patron) menggunakan sumber dayanya untuk melindungi rekannya yang berstatus lebih rendah (klien) dengan imbalan dukungan kepada pelindungnya. Lande (1997:xxx) juga mengartikan patronase politik sebagai aliansi antara dua orang dengan status, kekuatan, atau sumber daya yang tidak sama yaitu superior dan inferior. Dengan definisi di atas, maka dipilihlah pendekatan relasi patron-klien yang menurut Ahimsa Putra (2007:22) digunakan untuk melihat upaya manusia bertahan hidup dalam keadaaan tertentu. Pendekatan ini lebih menekankan pada sudut pandang dari pihak klien (Arab) terutama pada situasi lingkungan yang dihadapinya, walaupun sudut pandang dari pihak patron (bangsawan Jawa) tetap diperhatikan untuk melihat terjalinnya sebuah bentuk relasi. Kajian ini dikerjakan dengan menggunakan metodologi historis dan sumber data koleksi milik keluarga, karya sastra Jawa, informasi lisan, dan penelitian ilmiah, dengan batasan spasial penelitian wilayah Kasultanan Yogyakarta dan batasan temporalnya dari berdirinya Keraton Yogyakarta (1755) sampai sekitar tahun 1870-an. II. ‘SUCI, KERAMAT DAN CAKAP’: INTERAKSI ARAB DI PEDALAMAN JAWA TENGAH PADA AKHIR ABAD KE-18 Beberapa situs dan peninggalan berupa makam tua dan petilasan tokoh agamawan dengan nama dan gelar Arab terdapat di berbagai wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Makam-makam tersebut antara lain makam Seh Mulana Amat Jumadil Kubra di Puncak Gunung Turgo, Seh Mulana Sayit Ali Mudakir (Maulana al-Magrabi) di Bukit Mancingan dan Maulana al-Magrabi di Gunung Wangi, Syaikh Majaagung di Kintelan, Sayid Kalkum di Wotgaleh, dan petilasan Syaikh Subakir di Gunung Tidar (Sejarah Ratu, t.t:156; Tashadi et al., 1993:26; Tim Peneliti Sejarah UGM, 1993:18, al-Gadri, 1984:63;Graff, 1987:43). Terlepas dari permasalahan inskripsi dan keterangan historis yang lengkap, keberadaan makam dan petilasan di atas sampai sekarang masih dipertahankan dan menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Hal tersebut menjadi bukti kuat bahwa eksistensi kalangan Arab pernah hadir dalam mentalitas masyarakat Mataram jauh sebelum abad ke-19.



3



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



Dalam keterangan Kathirithamby-Wells (2009:567) disebutkan bahwa sayid merupakan ‘pria yang cakap’ yang dimaknai memiliki mode personal yang interaktif. Walaupun mereka orang asing, namun dalam pandangan Jawa dapat diterima sebagai sosok dan figur yang suci dan keramat. Hal itu digambarkan dalam Serat Darmogandhul, seperti: “Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam kabeh, dene panggonane ana ing Benang bawah Tuban. Sayid Kramat iku Maulana saka ing Arab tedhake kanjeng Nabi Rasulullah, mula bisa dadi gurune wong Islam” (Kalamwadi 1991:10). Artinya: Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah masuk Islam, tempatnya di Bonang, Tuban. Sayid Kramat itu Maulana dari Arab turunannya RasūlAllāh, sehingga dapat menjadi gurunya orang Islam.



Selain istilah keramat, orang Jawa juga menggelari agamawan Arab sebagai ‘Pandhita’ atau ‘pangeran’ untuk lelaki, sedangkan untuk perempuan Arab dengan gelar ‘dewi’. Hal itu terlihat dalam gelar dan nama, seperti Pandhita ing Giri, Molana Rumi, Pangeran Atas Angin, dan Dewi Fatimah. Selain itu juga disebutkan nama-nama kota penting Islam di Arabia yang identik dengan asal-usul mereka, seperti Ngarabia, Mekah, Juldah, Balsorah, Bagdad, dan lainnya. Nama dan gelar serta kota yang identik dengan Arab di atas banyak direkam dalam berbagai karya sastra Jawa, seperti Serat Marzuki, Serat Ambiya, Serat Kalimosodo, dan Serat Johar Manik (Serat Jamus Kalimosodo t.t:23; Graff,1985:170; Steenbrink, 1984:170; Olthof, 2017:32; Behrend dan Pudjiastuti,1997: 141, 151, 154, 166). Kota-kota Islam di Timur Tengah, seperti ‘Mekah’ dalam pandangan orang Jawa memiliki makna penting untuk legitimasi keagamaan maupun politik. Oleh karena itulah, maka tokoh besar Mataram yaitu Sultan Agung (bertahta 1613-1646) pada tahun 1630-an berusaha mendapatkan legitimasi kekuasaan Islam dari ‘Syarif Besar’ di Mekah. Kota atau wilayah Ngerum —Kesultanan Rūm atau Negara Seljuk Anatolia (1077-1307)— juga dianggap oleh orang Jawa sebagai pusat kekuasaan dan keagamaan Islam (Bruinessen, 1997: 122-123). Selain Mekah dan Ngerum, Magribi (al-Magribi al-‘Arabī) atau Maroko juga menjadi perhatian utama masyarakat Jawa, sehingga banyak tokoh keramat yang memiliki nama tersebut di Pulau Jawa (Syihāb ad-Dīn, 1944:73). Selain suci dan keramat sebagai identitas yang bersifat kapabilitas personal, beberapa tokoh Arab juga sering dipandang sebagai ‘utusan’ atau ‘duta’ dari Mekah atau Ngerum. Persepsi Arab sebagai utusan ini juga dipandang oleh kebanyakan masyarakat umum di Nusantara dan terus diperankan oleh orang-orang Arab sampai abad ke-19. Hal itu dapat diartikan bahwa orang Arab, khususnya para sayid memiliki jiwa interaktif yang luar biasa. Identitas diri dan kolektif sebagai asing, dengan kesulitan bahasa, dan perbedaan budaya telah diselesaikan mereka secara keras agar - diri mereka - dapat bertahan di negeri barunya, khususnya Jawa. Dalam rekaman kolektif masyarakat Jawa, warisan pola penyiaran agama Islam oleh Walisanga kemudian digunakan sebaik-baiknya oleh imigran Arab di Jawa pada pasca Walisanga seperti istilah ‘utusan dari Mekah’. Dengan model pria suci, keramat, dan kecakapan yang diartikan sebagai ‘diri yang interaktif’, maka banyak dari kalangan Arab yang kemudian dapat berinteraksi dengan berbagai kalangan, baik masyarakat umum maupun para bangsawan di Jawa tengah selatan. Pada periode abad ke17 dan ke-18, disebutkan dalam catatan inskripsi makam di Pekuburan Saripan, Surakarta yang



4



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



menerangkan keberadaan tiga orang sayid Hadrami dari klan al-Ḥaddād yang telah tinggal di Kartasura, yaitu: “K.P.S. Sjarief Husjin bin Ibrahim al’Chaddad, K.T. Sjarief Hasjim bin Ibrahim al’Chaddad, K.T. Sjarief Alwi bin Ibrahim al’Chaddad gurunja jang mulia Sinuhun Kangdjeng Susuhunan Prabu Mangkurat. Jang bertahta di Kartasura. Putera Tegalharum”. (Haẓā Turbah al-Ḥabīb asy-Syarīf Ḥusain bin Ibrāhim alḤadād, 1851 J/1921 M).



Kutipan di atas memperlihatkan bahwa para sayid telah memiliki peran penting di Keraton Mataram, khususnya pada awal pemerintahan yang dipusatkan di Kartasura pasca pemberontakan Trunajaya (1667-1680). Berbeda dari inskripsi di atas, Kazhim (2013:17) menyebutkan bahwa kedatangan Sayid ‘Alwī di Kartasura karena diundang oleh Sunan Pakubuwana II (1711-1749) pada tahun 1737 karena kehadirannya kurang disukai oleh VOC. Senada dengan keterangan Kazhim (2013), masyarakat Kartasura di Pajang Saripan juga memandang bahwa ‘Eyang Sarip’ istilah bagi Sayid ‘Alwi - yang dimakamkan di Makam Saripan adalah pendiri Masjid Syarif dan Kampung Saripan - bekas situs Kesultanan Pajang - yang hidup pada masa Sunan Pakubuwana (Ambary 1983:80). Rekaman tentang interaksi antara sayid dan bangsawan Mataram pada abad ke-18 tersebut tentu tidak dilakukan oleh satu orang sayid saja, melainkan dengan beberapa orang sayid atau ‘rombongan sayid’. Mereka hadir dengan rekannya atau saudaranya yang datang dari Hadramaut maupun dari ‘negeri diasporanya’ di Pantai Arab dan India. Asumsi tersebut diperkuat dengan rekaman yang tersaji dalam Babad Mangkubumi ketika para perwira Mataram bertemu dengan para sayid yang merupakan utusan dari VOC, seperti: Sesampunipun dumugi, nunten bibaran. Pangeran ing sawedalipun saking kamar, para prawira bang wetan sami amanggihi utawi para sayid pambektanipun tuwan admiral (Purwadiningrat, 1981:95). Artinya: Sesudah sampai, kemudian selesai. Pangeran keluar dari kamar, para perwira ‘bang Wetan’ bersama-sama menemui atau para sayid yang diutus oleh tuan Admiral.



Secara jelas dapat diterangkan bahwa para sayid secara kolektif pada abad ke-18 telah berperan penting sebagai utusan dari VOC dan hadir untuk menemui penguasa pribumi di Jawa. Mereka hadir dalam penyelesaian berbagai permasalahan penting antara VOC dan penguasa Mataram terutama dalam permasalahan perdagangan dan politik. Hubungan VOC dan Mataram pada abad ke-17 telah memposisikan Semarang pada tahun 1678 menjadi tempat penting bagi wilayah pedalaman Jawa Tengah Selatan, khususnya Kartasura (Niel, 2005:4). Pusat perdagangan VOC di Jawa Tengah tersebut kemudian juga dipenuhi oleh lalu-lalang pedagang asing termasuk Arab yang juga ikut menggunakan jalur Semarang-Kartasura untuk kepentingan interaksi perdagangan. Munculnya klan al-Ḥaddād di Kartasura dan keterangan Carey (2012:85, 2017:30,83) tentang adanya pusat studi Islam yang dipelopori oleh beberapa sayid dengan gelar ‘Pandhita Arab’ di Majasta - dekat Sukoharjo - dan Tembayat menjadi bukti kuat bahwa kalangan Arab telah membangun interaksi dan sosialisasi keagamaan di pedalaman Jawa tengah-selatan, Sejak perang Mangkubumen (1746-1754), Pangeran Mangkubumi - pasca perjanjian Giyanti (1755) menjadi Sultan Hamengkubuwana I - secara tidak langsung telah terkontak dengan pedagang Arab, Cina dan Moor di pusat-pusat perdagangan pesisir utara Jawa Tengah, terutama Semarang dan Jepara. Hampir delapan tahun, kalangan Arab di pesisir utara Jawa dimungkinkan



5



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



telah berinteraksi dengan Pangeran Mangkubumi dan para pendukungnya. Oleh karena itulah, wajar jika seorang seperti Pangeran Mangkubumi kemudian dapat menerima seorang utusan Arab yang diutus VOC untuk merumuskan perjanjian perdamaian menjelang tahun 1755. Peristiwa di atas disebutkan oleh Ricklefs (2002:79) terjadi sekitar tahun 1754 di Gamping ketika Pangeran Mangkubumi menemui utusan Nicolas Hartingh - Gubernur Pantai Utara Timur Jawa— bernama ‘Syarif Besar Syeh Ibrahim’. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa Syarif Besar bukan dari Arab, melainkan dari Turki yang juga dikenal sebagai utusan Sultan Ngerum Abdullah Chotbisat. Syarif Besar juga disebut dengan Pendeta Tinggi Turki Said Ibrahim, Sarif Bazar, Pendeta Turki atau Bapa Sarif Besar (Santosa et al., 2008:52; Nitinegoro, 1981:58-65; Tirtakoesoema, 2003:92). Berbeda dengan pendapat di atas, Graaf (1979) dan al-Gadri (1984) berpendapat bahwa tokoh Arab tersebut adalah Kiai Bustam (Sayid ‘Abd Allāh Muḥammad Bustām) yaitu penerjemah bahasa Jawa dari Semarang yang bergelar Kiai Ngabehi Kertabasa. III. ‘NEGARA KERATON YOGYAKARTA’, DUKUNGAN, DAN PERTUKARAN JASA Sejak Pangeran Mangkubumi membangun pesanggarahan Ambarketawang, dekat Gamping sampai selesainya pembangunan Alas Beringan untuk kompleks kawasan Keraton Yogyakarta pada tahun 1775, maka perkampungan di Yogyakarta juga mulai berkembang. Dalam rangka pembangunan itu, maka Sultan Hamengkubuwana I (bertahta 1717-1792) membutuhkan berbagai bahan bangunan seperti batu bata, dan perlengkapan istana lainnya, terutama bahan kayu dari pesisir utara dan daerah mancanegara yang sangat sulit didapatkan sampai tahun 1787. Pada periode pembangunan tersebut, VOC juga membantu berbagai hal, seperti uang, senjata api, terompet, gajah, kuda Persia dan kereta untuk berdirinya Keraton Yogyakarta (Ricklefs, 2002:116,124,181, 242). Pada masa awal pembangunan tersebut, dapat dipastikan orang Arab yang telah berinteraksi dengan sultan, sejak perang Mangkubumen, ataupun yang berkepentingan untuk tinggal dan berdagang di wilayah baru kekuasaannya mendukung dengan berbagai cara dan peran. Mereka berusaha menghubungkan kepentingan sultan dengan kekuasaan kolonial, maupun jaringan perdagangan di pesisir utara Jawa. Dengan kekuatan interaksi dalam jaringan politik dan perdagangan, mereka kemudian mulai masuk ke Yogyakarta melalui Semarang. Dari kota gerbang pedalaman tersebut, kalangan Arab melewati titik-titik penting, seperti Kartasura, Majasta, dan Tembayat sampai ke Yogyakarta. Dari keterangan Fatiyah (2009) dan Alaidrus (2017) disebutkan bahwa kalangan sayid dari klan al-‘Aidrūs dan al-bin Qiṭbān direkam oleh keturunannya hadir sebagai tokoh yang berjasa atas suksesnya Perjanjian Giyanti dan pembukaan pesanggrahan di wilayah Gamping. Dari keterangan tersebut, terlihat bahwa mereka adalah bagian dari Syarif Besar yang diutus oleh VOC untuk menemui Pangeran Mangkubumi demi terciptanya perjanjian bersama untuk menghentikan perang. Begitu pula Sayid ‘Alwī Bā’abūd (1724-1815) yang datang dari Hadramaut melalui jalur perdagangan Jepara dan Semarang ke Yogyakarta yang berjasa dalam menyediakan kebutuhan kuda bagi Keraton Yogyakarta. Pedagang Arab terkenal di Yogyakarta yang berjasa dalam membangkitkan geliat perekonomian pada masa awal pembangunan Keraton Yogyakarta lainnya



6



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



adalah Sayid ‘Abd ar-Raḥmān al-bin Qiṭbān beserta istrinya bernama Syarifāh Faḍlun yang datang dari Hadramaut pasca tahun 1750-an (Amal, 2005:164; Fatiya, 2009:84). Selain itu, para sayid juga memiliki peran dalam bidang kesehatan yang mendukung kehidupan harian para bangsawan Yogyakarta dengan ilmu pertabiban dan pengajaran agama serta menjadi penasihat spiritual bagi sultan, pejabat keraton dan masyarakat umum. Keahlian itu hampir dimiliki oleh para sayid yang datang ke Yogyakarta sampai perempat pertama abad ke-19. Salah satu yang paling terkenal adalah Sayid ‘Alwī Ba’abūd yang berjasa besar terhadap Sultan Hamengkubuwana II (bertahta 1792-1810, 1811-1812, 1826-1828) karena berhasil menyembuhkan penyakit putri sultan bernama Bendoro Raden Ayu (BRA) Samparwadi dari istri selir (garwa ampeyan) bernama Bendoro Mas Ajeng (BMA) Citrosari (Amal, 2005:164-165). Beberapa agamawan kalangan Arab yang berperan penting dalam perkembangan sosialkeagamaan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya sampai paruh pertama abad ke-19 adalah Syaikh ‘Abd Aḥmad al-Anṣāri - dianggap keturunan Nabi - dari Jeddah yang berdagang antara Semarang dan Yogyakarta pada Januari 1824. Sayid Hasān al-Ḥabsyī juga merupakan ahli dalam bahasa Arab dan Melayu serta menjadi pengajar bahasa Arab dan hukum Islam untuk Sultan Hamengkubuwana IV dan V. Ia dikenal sebagai diplomat ulung di Kantor Perdagangan Belanda di Surat, India yang berperan penting bagi kolonial (Carey, 2012:911, 938; Louw, 1904:570-571). Dengan bergabungnya para sayid di atas, lingkaran kekuasaan Keraton Yogyakarta kemudian dipenuhi oleh para sayid yang membantu sultan dalam membangun simbolisme kekuasaan Islam-Jawa sampai ketingkatan yang paling bawah. Pada periode awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta, legitimasi dari para sayid sangat mendukung legitimasi sultan sebagai Raja Jawa. Usaha itu dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwana I dalam mengirim utusan ke Banten melalui Semarang pada tahun 1777 yang dipimpin oleh Bupati Banyumas (Ricklefs, 2002:345, 353). Usaha-usaha itu dapat dilakukan oleh para sayid karena mereka memiliki kontak dalam jaringan diaspora politik-keagamaan di pusat-pusat kota di Pulau Jawa, maupun dengan Mekah. Kesalehan para sayid dan identitasnya sebagai keturunan Nabi maupun asal-usulnya dari Mekah telah membantu cepatnya proses kebesaran simbolisme politik-Islam Sultan Hamengkubuwana I pada akhir abad ke-19. Hal itu terlihat dalam pernyataan Van den Burgh jika setelah perjanjian Giyanti, maka kekuasaan dan kewibawaan Sultan Yogyakarta kemudian menjadi lebih besar dibandingkan Sunan Surakarta (Ricklefs, 2002:354). Identitas kesalehan personal para sayid juga dibutuhkan oleh Sultan Yogyakarta untuk membentuk legitimasi kesalehan dirinya setelah dilantik menjadi Raja Yogyakarta ketika berumur 40-an tahun. Ricklefs (2002:161,344) menyebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwana I dikenal sebagai seorang muslim yang saleh pada akhir hayatnya. Dalam keterangan Ricklefs lebih lanjut juga dijelaskan bahwa Sultan Hamengkubuwana I tidak memiliki kebiasaan buruk misalnya mengkonsumsi candu. Hal tersebut telah memberikan ruang yang terbuka kepada para sayid yang disebutkan oleh beberapa peneliti bahwa mereka tidak suka berbagai kemaksiatan, seperti keributan, mengkonsumsi opium, menginang, merokok, dan sangat melindungi perempuannya (Jonge and Kaptein, 2002:1; Kathirithamby-Wells, 2009:573, 580; Alatas, 1997:25). Berbagai kemudahan kedatangan Arab di atas, tidak berarti bahwa semua orang Arab dapat masuk secara leluasa karena pemerintah kolonial mulai tahun 1823 mulai membatasi kehadiran orang Arab dan timur asing lainnya yang masuk ke wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.



7



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



Sultan Hamengkubuwana II pada tahun 1810 sempat mengeluh karena hadirnya orang Arab di wilayahnya sering mengaku sebagai keturunan Nabi yang melakukan perjalanan di Yogyakarta sebagai pengemis, berkhotbah dan berjualan. Sultan meminta agar ada izin yang kuat ketika masuk ke Yogyakarta sesuai kepentingan dan pengaruh yang baik. Untuk itu kemudian pemerintah kolonial mengeluarkan surat izin bagi para imam dan memberlakukan sistem kuartal agar kalangan Arab tidak bebas keluar masuk dan tinggal di pedesaan maupun campur dengan berbagai masyarakat di pusat Kota Yogyakarta dan Surakarta (Mandal, 1994:60). Hal tersebut memperlihatkan bahwa jumlah kehadiran orang Arab yang masuk melalui jalur Semarang-Surakarta ke Yogyakarta meningkat pada dekade awal abad ke-19. IV. PERKAWINAN ARAB DENGAN JAWA: PERUBAHAN STATUS DAN PERAN ARAB DI YOGYAKARTA PADA PARUH PERTAMA ABAD KE-19 Telah disebutkan sebelumnya, jika para sayid memiliki model sebagai pria yang suci, keramat dan cakap. Dalam pendapat Kathirithamby-Wells (2009:568) disebutkan bahwa pria sayid adalah model pria yang cakap, unggulan dan raja unggulan di Asia Tenggara jauh sebelum awal abad ke-19. Dengan model tersebut, maka menurut al-Haddad (1975:75) terdapat empat orang tokoh Tarim pada abad ke-18 yang menjadi Raja di Nusantara karena hubungan pernikahan dengan putri penguasa lokal yang menciptakan aliansi politik.Mereka adalah Sayid ‘Uṡman bin Syihāb ad-Dīn (bin Syihāb) pendiri Kesultanan Siak, Ḥusain al-Qadrī leluhur Kesultanan Pontianak, ‘Abd Allāh al-Qudsī, dan Muḥammad bin Aḥmad al-‘Aidrūs. Di Mataram, pola perkawinan antara sayid dengan perempuan bangsawan Jawa juga telah terjadi jauh sebelum abad ke-19. Graaf (1979:253) menjelaskan bahwa Sayid Ḥusain Wangsanaya atau Kiai Jongke - ayah dari Kiai Bustam - yang dimakamkan di Gendingan, Semarang pernah menikahi putri dari garis perempuan Panembahan Seda Krapyak. Ia sangat berjasa penting pada masa pemerintahan Amangkurat II (1677-1703) ketika bertugas sebagai ‘penjelajah’ ketika saudara lelaki Amangkurat II mengangkat diri sebagai raja (Graaf, 1979:253). Kasus di atas menunjukkan bahwa pertukaran peran atau jasa serta atribut identitas sayid telah menjadi sebuah mode dan mekanisme tersendiri dalam terciptanya hubungan pernikahan antara para sayid dengan perempuan bangsawan Jawa. Walaupun terjadi hubungan pernikahan dan aliansi politik di Mataram sebelum tahun 1680-an, para sayid tidak ada yang sampai menjadi raja di Jawa. Hal itu berbeda dengan kasus yang disampaikan oleh Kathirithamby-Wells (2009) seperti yang terjadi di luar Jawa. Di Jawa, tradisi seorang raja diangkat karena mengikuti pola patrilineal yang sulit digantikan oleh para sayid yang menggunakan mode strategi aliansi matrimonial. Selain itu, kontrol politik kolonial yang sangat kuat telah membayangi kekuasaan bekas wilayah Mataram Islam yang cenderung melemah pasca abad ke-17. Permasalahan tersebut kiranya telah dipahami oleh para sayid di pedalaman Jawa tengah, sehingga mereka lebih memilih hanya menjadi bagian yang dilindungi —klien— oleh raja untuk dapat bertahan hidup di Jawa. Beberapa contoh hubungan pernikahan antara sayid dan perempuan bangsawan Jawa di Keraton Yogyakarta serta perubahan status dan perannya terjadi pada kedua putra Sultan Hamengkubuwana I yaitu Pangeran Ngabéhi (wafat 1822) dan Pangeran Blitar I (wafat 1828). Berdasarkan Layang Kekancingan No.1037 tanggal 17 September 1984 diterangkan bahwa



8



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



Pangeran Ngabehi memiliki menantu bernama Sayid Luqmān yang kemudian menurunkan keluarga pengulu di Siwalan, Sentolo. Makam Sayid Luqmān sekarang berada di pinggir Sungai Bogowonto, tepatnya di Tanggung, Purworejo1. Pangeran Blitar I juga memiliki menantu yang berasal dari Jeddah yaitu Syaikh ‘Abd Aḥmad al- Anṣāri yang menjadi pengajar agama di Tegalrejo menjelang tahun 1825 (Carey, 2012:938). Sultan Hamengkubuwana II merupakan raja yang memiliki menantu Arab terbanyak, salah satunya adalah agamawan dari Tembayat bernama Sayid Abdāni (Carey, 2012:86). Selain itu juga Sayid Ṭahir bin Yaḥyā yang datang dari ‘Ināt, Hadramaut yang diambil menantu oleh Sultan Hamengkubuwono II sejak awal interaksi keduanya di Pulau Penang (Berg, 1989:147; Alatas, 2016:372). Putra Sayid ‘Alwī Ba’abūd yang bernama Ḥasan Munādī (1764-1830) - juga bernama Tuan Ḥusain - menggantikan posisi ayahnya menikahi BRA. Samparwadi. Hal itu tercatat dalam Serat Raja Putera Keraton Yogyakarta,seperti: “Bendara Raden Ayu Samparwadi katrimakaken Kanjeng Radén Tumenggung Samparwadi” (Mandoyokusumo, 1977:23). Artinya: Bendara Raden Ayu Samparwadi dinikahkan dengan Kanjeng Raden Tumenggung Samparwadi (Kasan Munādī).



Pada saat itu, usia Sayid ‘Alwī Bā’abūd telah mencapai 65 tahun dan mendapat hadiah untuk menikahi putri sultan yang berumur 14 tahun, namun karena alasan umur tersebut maka jatah hadiahnya diberikan kepada putranya yaitu Ḥasan Munādī (Amal, 2005:164-165, Layang Kekancingan No. 1195 27 Maret 2000). Perkawinan keduanya terlihat meriah karena pada waktu itu menjadi hajat besar Keraton Yogyakarta pada bulan Juni 1813. Terjemahan dari Carey (2017:206) yang mengutip pendapat Pangeran Panular (wafat 1826) pada Sêrat Babad Ngèngrèng pupuh XLIV Asmaradana disebutkan seperti: “Bulan Juni 1813, bahwa dua putri ditunangkan, yang tua dengan Tuwan Husén (Kiai Tumenggung Samparwedi), yang muda dengan Raden Panji Prawirokusumo (putra Pangeran Adikusumo)”.



Dengan pernikahan di atas, maka Sayid Ḥasan Munādī mendapat nama dan gelar bangsawan Jawa yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Samparwadi atau sering dipanggil dengan ‘Kiai Haji Samparwadi’ atau ‘Tuwan Sarip Samparwadi’ (De Klerck,1908: 527). Sayid ‘Abd ar- Raḥmānal-bin Qiṭbān pada awalnya akan pulang ke Hadramaut, namun dilarang oleh Sultan Hamengkubuwana I. Ia kemudian menikah dengan keponakan sultan. Begitu pula Sayid ‘Abd ar- Raḥmān bin ‘Alī al-‘Aidrūs yang juga menikahi keponakan Sultan Yogyakarta karena berjasa terhadap Keraton Yogyakarta. Sebagai pengajar keagamaan, abdi dalem pamethakan, dan penasihat raja, maka Sayid ‘Abd ar-Raḥmān bin ‘Alī al-‘Aidrūs juga diberi gelar dari sultan yaitu ‘Pangeran Besar Syarief Sayid Abdurahman bin Ali Alaydrus Panotogomo’ (Alaidrus, 2017:3,10; Fatiyah, 2009:84).2 Selain keluarga sultan, terdapat kalangan Arab yang menikah dengan putri pejabat Keraton Yogyakarta. Hal itu dilakukan oleh Sayid ‘Abd ar-Raḥīm —atau Aḥmad— Bāsy-Syaibān yang menikahi putri Danureja I (Patih Yogyakarta, 1755-1799) (Carey, 2012:911; Buku Silsilah 1 2



Ḥasan Bā’abūd, wawancara, 21 Maret 2018. Ḥusain al-‘Aidrūs, wawancara, 11 April 2018.



9



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



Nasab Keluarga Besar Assadah al-Alawiyin, no. 49.61.12.259000.NA, tanggal 26 Desember 2007; Daftar Silsilah Nasab al-Bāsy-Syaibān, No.74/15/13:11). Berbeda dengan Carey, Berg (1989:146) menyebutkan bahwa yang menikahi putri Danureja I adalah Sayid Sa’īd (putra Sayid ‘Abd ar-Raḥīm Bāsy-Syaibān). Pernikahan Sa’īd dan putri Danureja I melahirkan Hasyim (Raden Wongsorejo) dan Raden ‘Abd Allāh —keturunan keduanya menjadi wedana jaksa di Keraton Yogyakarta— serta ‘Alwī (Kiai Ngabehi Danukromo) yang menjadi Bupati Magelang pertama kali dengan gelar Raden Adipati Danuningrat I (menjabat 1813-1825) (Carey 2012:911). V. ALIANSI POLITIK ARAB-JAWA SAMPAI PERIODE SULTAN HAMENGKUBUWANA V Dengan menjadi bagian dari keluarga Keraton Yogyakarta, maka kalangan Arab kemudian menjalankan status dan peran mereka, khususnya menjadi abdi dalem pamethakan (urusan keagamaan), tabib, penasihat spiritual raja, pengajar keagamaan, pedagang dan lainnya. Sultan Yogyakarta juga memberikan berbagai fasilitas kehidupan3, seperti penganugerahan istri (triman), tanah, rumah, dan gaji kepada mereka. Beberapa contohnya adalah Sayid ‘Abd ar-Raḥīm bin ‘Alī Bāsy-Syaibān yang diberi tanah gaduhan (pinjaman) untuk rumah di Suronatan (Fatiyah, 2009:153). Dukungan para sayid tersebut secara mikro diberikan kepada mertua dan keluarganya— pangeran atau pejabat keraton— dan secara makro diberikan untuk pemerintahan Keraton Yogyakarta. Dukungan mikro pada keluarganya itulah yang kemudian membuat kalangan Arab terlibat dalam aliansi-aliansi politik baru di Keraton Yogyakarta, terutama ketika munculnya kubu kasepuhan (pendukung Sultan Hamengkubuwana II) dan kubu karajan (pendukung penobatan Sultan Hamengkubuwana III) pada Juni 1810. Dalam lingkaran konflik tersebut, kalangan Arab secara emosional mendukung mertua dan keluarganya sesuai kubu-kubu politik di Keraton Yogyakarta. Menurut Carey (2012:264-265) bahwa keluarga Pangeran Ngabehi (mertua Sayid Luqmān) merupakan tokoh kasepuhan, sedangkan Danurejo II (keluarga ‘Alwi Bāsy-Syaibān) adalah tokoh dari kubu karajan. Sejak akhir abad ke-18, penguasa kolonial sebenarnya telah mencurigai keterlibatan kalangan Arab dalam gerakan aliansi politik di Yogyakarta. Hal itu terlihat ketika tahun 1787, terdapat pengajaran paham Islam oleh orang Arab yang mengancam kekuasaan Belanda (Mandal, 1994:87). Oleh karena hal itulah, maka otoritas kolonial Belanda kemudian mencurigai orang-orang Arab sebagai elemen penting penyebar ide keagaman di masyarakat dalam melawan kekuasaan Belanda. Dengan hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kalangan Arab baik di dalam dan di luar wilayah kekuasaan Keraton Yogyakarta memiliki keterlibatan aliansi politik dan ekonomi dengan para bangsawan Yogyakarta, walaupun dalam intensitas yang kecil. Hal di atas terlihat seperti pada kasus pejabat Keraton Yogyakarta bernama Kanjeng Raden Tumenggung Somadiningrat (wafat 1812) —tokoh kubu kasepuhan— yang diberitakan telah memesan mesiu, senjata, kuda dari orang Arab yang mengelola produksi mesiu di Gresik untuk menghadapi invansi Inggris di Keraton Yogyakarta tahun 1811 (Carey, 2012:316). Begitu pula 3



10



Faisal Bāraqbah, wawancara, 27 Juli 2018.



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



dengan Danureja II (wafat 1811) juga memiliki persahabatan dekat dengan seorang sayid — saudagar di Semarang yang meramal putra Pangeran Notodiningrat akan jadi Raja Mataram— pada tahun 1807. Pada November 1814 juga terjadi gerakan perlawanan oleh Sayid Muḥammad (Sayid Kramat) yang dicurigai didukung oleh tokoh kasepuhan yaitu Pangeran Mangkudiningrat I (wafat 1824) terhadap pejabat Kesultanan di Madiun. Sebelum kerusuhan terjadi, Sayid Muḥammad telah bertemu dengan Sultan Hamengkubuwan II dan putranya yaitu Pangeran Mangkudiningrat I dan Pangeran Mertasana (wafat 1826) di Pulau Penang (Margana dkk 2018:101). Pada tahun 1812, hubungan kedekatan yang membentuk aliansi politik juga dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwana III (bertahta 1812-1814), Sunan Pakubuwana IV (bertahta 1788-1720) dan pedagang Arab dari Palembang bernama Syaikh Abū Bakar (Carey, 2012:523). Aliansi politik antara kalangan Arab di luar wilayah Keraton Yogyakarta dengan bangsawan Yogyakarta dan kalangan Arab yang menjadi keluarga bangsawan Yogyakarta kemudian berkembang sampai pecahnya perang Jawa (1825-1830). Carey mengutip pandangan Nahuys van Burgst bahwa aliansi-aliansi politik - seperti kubu kasepuhan dan karajan - juga semakin jelas bentuknya ketika terjadi perang Jawa. Kubu karajan disebutkan oleh Nahuys sebagai yang terbanyak dalam mendukung Pangeran Diponegoro (wafat 1855). Aliansi politik Keraton Yogyakarta antara kasepuhan dengan karajan ini bahkan masih terlihat sampai masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (bertahta 1822-1826, 1828-1855) (Carey, 2012:408). Dalam perang Jawa, dilaporkan oleh Carey (2014:317) bahwa sejumlah 17 sayid dan Arab telah mendukung Pangeran Diponegoro melawan Keraton Yogyakarta dan pemerintah kolonial Belanda. Para sayid tersebut juga beraliansi dengan 5 haji di Yogyakarta yang baru pulang dari Mekah. Tokoh Arab keluarga Keraton Yogyakarta yang terpenting mendukung Pangeran Diponegoro adalah Sayid Ḥasan MunādīBā’abūd,Syaikh ‘Abd Aḥmad al-Anṣāri - penasehat Diponegoro - dan Sayid Abdāni (Carey, 2012:86, 2014:289). Alatas (2016:374) juga menyebutkan bahwa anak dari Sayid Ṭahir (Ṭāha) bin Yaḥyā bernama Sayid Ḥasan juga terlibat dalam mendukung Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa.4 Dukungan kalangan Arab terhadap Pangeran Diponegoro ini juga didukung oleh jaringan keagamaan Arab di luar wilayah Keraton Yogyakarta, seperti Sayid Mas Lurah dari Majasta (Carey 2012:85). Selain kubu pendukung Diponegoro, juga terdapat keturunan Arab yang dalam status dan perannya berada dalam posisi pendukung pemerintah kolonial. Ia adalah Bupati Magelang yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Danuningrat I (‘Alwī Bāsy-Syaibān). Dalam perannya, ‘Alwī Bāsy-Syaibān bertanggung jawab penuh atas wilayah Magelang ketika terjadi awal perpecahan perang Jawa.Ia meninggal pada pertempuran di Kalijengking, Salam, Magelang5 pada 30 September 1825 (Carey, 2012:911). Aliansi politik tidak selalu juga muncul secara sepihak dalam sebuah kubu, namun juga di antara keduanya. Walaupun bersifat ambigu, namun kehadiran orang Arab seperti Sayid Ḥasan al-Ḥabsyī tidak dapat dikatakan hanya mendukung pihak keraton saja karena posisinya mengajar agama bagi Sultan Hamengkubuwana V sebelum perang Jawa. Statusnya sebagai pengajar keagamaan tersebut dikatakan oleh Carey juga karena inisiatif Pangeran Diponegoro dan Sayid Ḥasan juga dikenal memiliki hubungan dekat dengan tokoh pendukung Diponegoro yaitu Haji Ngisa dan Haji Badarudin (Carey, 2017:97). 4 5



Luṭfī bin Yaḥya, wawancara, Juli 2014. Aḥmad Bāsy-Syaibān, wawancara, 18 dan 22 Maret 2018.



11



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



Aliansi-aliansi politik antara Arab dan keturunannya dengan bangsawan Yogyakarta tersebut berakhir, seiring dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830. Syaikh Aḥmad al-Anṣāri, putra atau menantu Syaikh ‘Abd Aḥmad al-Anṣāri, meninggal dalam pertempuran di Selarong pada 25 Oktober 1825. Syaikh ‘Abd Aḥmadal, Anṣāri juga menyerah kepada Belanda pada 31 Januari 1828 dan mendapatkan uang pensiun f 600 untuk hidup di Surakarta dengan ketiga istrinya, antara lain adalah putri Pangeran Blitar I dan putri Sultan Hamengkubuwana III (saudari Pangeran Diponegoro). Sayid Ḥasan Munādī Bā’abūd juga digunakan oleh De Kock untuk memfasilitasi perundingan dengan Pangeran Diponegoro pada tahun 1829-1830 yang akhirnya wafat dan dimakamkan di Tanggung, Purworejo6 pada tahun 1830 (De Klerck V, 1908:527). Begitu juga Sayid Ḥasan al-Ḥabsyī pada akhirnya diperbantukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membatu perundingan dengan Kiai Mojo pada September 1827 di Salatiga. Ia mendapat pensiun f 100 perbulan dari Keraton Yogyakarta dan tanah 25 cacah dengan hasil f 300 pertahun dan tanah lainnya untuk lima pengikutnya yang diduga juga orang Arab (Louw, 1904:572; Carey, 2012: 601, 799). Pasca perang Jawa, tepatnya tahun 1886 orang-orang Arab di Yogyakarta telah ditempatkan dalam kampung tersendiri sesuai peraturan pemerintah tahun 1854. Mandal (1994:87) menyebutkan bahwa dengan penempatan tersebut, kemudian sangat sulit bagi kalangan Arab di Yogyakarta pada tahun 1870 untuk menjalin pernikahan dengan keluarga bangsawan Yogyakarta. Banyak dari mereka kemudian menikah dengan perempuan keturunan Arab campuran (Arab-Jawa) ataupun keturunan jauh dari Sultan Yogyakarta. Hal itu terlihat dalam pernikahan Sayid Mūhsin Bā’abūd (patih Brebes) dengan Khafīfah yang merupakan cucu dari Pangeran Mangkudiningrat7 maupun pernikahan ‘cikal bakal’ penghuni kampung Arab ‘Sayidan’ di Yogyakarta8 yaitu Sayid ‘Abd Allāh Bāfāqih —datang dari Surabaya— dengan perempuan keturunan ke-5 dari Sultan Hamengkubuwana II (Layang kekancingan No. 522 tanggal 6 Desember 1983; Buku Silsilah Nasab Keluarga Besar As Sadah al-Alawiyyin No.11587 tgl. 11 September 2013; No. 12495 tgl. 24 September 2014:11-10). Pasca pemerintahan Sultan Hamengkubuwana V, keturunan Arab dan bangsawan Jawa tetap tinggal di tanah-tanah yang diberikan oleh sultan, seperti di Suronatan, Danurejan dan beberapa kampung lainnya. Pada paruh kedua abad ke-19, kalangan Arab yang baru dari Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya juga mulai berdatangan ke Yogyakarta. Mereka berasal dari klan al-Jufrī, Bā’abūd, Bāfaqīh, dan lainnya yang kemudian menjadi bagian penting dari komunitas Arab di Kampung Sayidan. Pada umumnya mereka beaktifitas dalam perdagangan, walaupun sebagian kecil masih ada yang beraktifitas di lingkungan Keraton Yogyakarta, seperti menjadi perawat kuda (gamel), urusan keagamaan (abdi dalem pamethakan) dan lain-lainnya. Banyak dari keturunan Arab yang kemudian bergeser dari kampung Sayidan, Suronatan dan lainnya ke beberapa daerah di Yogyakarta, seperti Bantul dan Sleman pada awal abad ke-20.



6 7 8



12



Siti Hidayati Amal, wawancara, 21 Maret 2018. Adhiyana Putra, wawancara, 27 Maret; R. Sucipto, wawancara, 7 April 2018; R. Sucahyo Slamet, wawancara, 27 Maret 2018. Ḥusain Bafaqīh, Wawancara, 2 Maret 2019; Maryam Bafaqīh, Wawancara, 13 November 2014.



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



VI. PENUTUP A. Kesimpulan Proses terjadinya patronase politik antara Arab dan bangsawan Jawa di Keraton Yogyakarta sepanjang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 diawali dengan interaksi antara orang Arab, sebagai utusan VOC dan pedagang dengan bangsawan Jawa baik di pantai utara Jawa maupun di Keraton Yogyakarta. Berbagai hal, seperti mode personal Arab yang religius dan interaktif, munculnya jaringan politik-ekonomi antara Semarang dengan wilayah pedalaman Kartasura dan Yogyakarta, dan pendirian pemerintahan Keraton Yogyakarta telah memberikan ruang penting bagi terciptanya proses interaksi dan sosialisasi Arab dengan bangsawan Yogyakarta pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dengan interaksi di atas, maka terciptalah hubungan pertukaran jasa, dukungan politik, perekonomian dan spiritual keagamaan dari kalangan Arab kepada sultan dan bangsawan Yogyakarta. Kalangan Arab kemudian dapat menikah dengan putri bangsawan Yogyakarta, mendapatkan tanah dan rumah, nama dan gelar keningratan Jawa, jabatan politis-keagamaan dan jaminan kehidupan dari penguasa Yogyakarta. Walaupun bentuk hubungan patronase politik di atas terjadi kurang seimbang, namun hubungan diadik di antara keduanya telah merubah status dan peran kalangan Arab menjadi ‘bangsawan Arab-Jawa’. Mereka kemudian terlibat dalam aliansi politik internal Keraton Yogyakarta —seperti konflik antara kubu kasepuhan dan karajan maupun perang Jawa (1825-1830)—pada paruh pertama abad ke-19. Walaupun patronase politik antara Arab dengan bangsawan Yogyakarta secara perlahan mulai memudar pasca perang Jawa dan menguatnya kebijakan rasial kolonial pada pertengahan abad ke-19, namun proses dan bentuk patronase politik yang terjadi telah membuktikan adanya relasi politik dan keagamaan pada diaspora Arab di pedalaman Jawa pada abad ke-19. B. Saran Penelitian tentang komunitas Arab di Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 pada umumnya sering dilakukan dengan kekuatan sumber arsip kolonial. Walaupun hal itu tidak mengurangi hasil dari penyajian karya historiografi, namun perlu dicoba dengan menggunakan sumber sejarah keluarga milik keturunan Arab. Hal tersebut berpengaruh penting dalam analisis sejarah yang lebih melihat dari ‘sisi mereka’ sebagai pelaku sejarah pada masanya. Dengan metodologi sejarah di atas, maka diharapkan lahir karya-karya historiografi yang baru pada sejarah komunitas Arab di Nusantara pada abad ke-19. UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A.dan Dr. Abdul Wahid M.A, M. Phil sebagai Promotor dan Ko-Promotor di Program S3 Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Gadjah Mada. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada keluarga keturunan Arab di Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Purworejo, Yogyakarta, dan Magelang atas pemberian data koleksi keluarga dan data lisan kepada penulis.



13



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



DAFTAR PUSTAKA Arsip yang tidak dipublikasi Alaydrus, H bin Abubakar. (2017). Manakib Al Habib Abdurahman bin Ali Alaydrus, Yogyakarta: Majlis Rotib Alaydrus. Buku Silsilah Nasab Keluarga Besar as-Sadah al-Alawiyyin, no. 11587, tanggal 11 September 2013, Jakarta: Maktab Addaimi Kantor Pemeliharaan Nasab dan Statistik Alawiyyin Rabithah Alawiyah (Koleksi Ḥusain Bafaqīh). ___, no. 12495, tanggal 24 September 2014, Jakarta: Maktab Addaimi Kantor Pemeliharaan Nasab dan Statistik Alawiyyin Rabithah Alawiyah (Koleksi Adhiyana Putra). Buku Silsilah Nasab Keluarga Besar Assadah al-Alawiyin, no. 49.61.12.259000.NA, tanggal 26 Desember 2007. Jakarta: Kantor Naqabatul Asryrof al-Kubro Lembaga Pemeliharaan Penelitian Sejarah & Silsilah Alawyin (Koleksi Aḥmad Bāsy-Syaibān). Daftar Silsilah Nasab al-Bāsy-Syaibān, no.74/15/13. Haẓā Turbah al-Ḥabīb asy-Syarīf Ḥusain bin Ibrāhim al-Ḥadād, Rabu Pahing Tg. 8 Sjawal Alip ‘Siti Pagulingan Budjangganing Nata’, 1851. Tjandra Suwignja. (atau 15 Juni 1921). (Inskripsi makam di Pajang Saripan, Surakarta) Jamus Kalimosodo. (2018). Manuskrip Koleksi Ki Darmogati Sentolo (Versi terjemahannya berjudul Naskah Lontar ‘Jamus Kalimasada Koleksi Ki Darmogati oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo, 2018). Mandoyokusumo, KPH. (1997), Serat Raja Putera Keraton Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Keraton Yogyakarta cap-capan III. Layang Kekancingan.no.1037, tanggal 17 September 1984 (Koleksi alm.Koesbari). ____, no. 1195, tanggal 27 Maret 2000 (Koleksi Siti Hidayati Amal Jakarta). Sejarah Ratu, t.t. Syihāb ad-Dīn, Sayyid Abū Bakar bin ‘Alī bin Abū Bakar. (2000). Riḥlat al- Aṣfar, 1944, a.b. Ali Yahya. Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. (1993). “Hari Jadi Purworejo”, Laporan Penelitian, Kerjasama Pemerintah Kabupaten Tk-II Purworejo dengan Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Karya Ilmiah terpublikasi Ahimsa-Putra, H.S. (2007). Patron Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian FunsionalStruktural, Yogyakarta: Kepel Press. al-Haddad, S.A.b. Tahir. (1975). Sedjarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, Jakarta: Maktab Addaimi.



14



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



Alatas, S.F. (1997). “Hadhramaut and Hadhrami Diaspora: Problems in Theoretical History”, dalam U. Freitag & W.G. Clarence-Smith (ed.) Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750a-1960-s, Leiden-New York-Köln: Brill, p. 19-34. Alatas, I.F. (2016). “Aligning the Sunna and the Jamā’a: Religious Authority and Islamic Social Formation in Contemporary Central Java, Indonesia, Doctor of Philosopy Dissertation, University of Michigan. Algadri, H. (1984). C.Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Amal, S.H. (2005). “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta”, Antropologi Indonesia 29 (2), p. 159-181. Ambary, H.M. (1983). “Laporan Penelitian Kepurbakalaan di Pajang (Jawa Tengah), Archipel 26 (1), p. 75-84. Azra, A. (2010). “Tarekat ‘Alawiyyah dan Neo-Sufisme: Jaringan Ulama Hadhrami dalam Diaspora”, dalam Umar Ibrahim, Tharīqah ‘Alawiyyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah Sayyid ‘Abdullāh al-Ḥaddād Tokoh Sufi Abad ke-17, Bandung: Penerbit Mizan, p. xxi-xxii. Behrend, T.E. dan Pudjiastuti, Titik. (1997). Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara 3-A Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Ecole Francaise d’Exstreme Orient. Bruinessen, (1997). “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci Orang Nusantara Naik Haji”, (eds) Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS. Camelin, S. (1997). “Reflection on the System of Social Stratification in Hadhramaut”, dalam U. Freitag & W.G. Clarence-Smith (ed.) Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750a-1960-s, Leiden-New York-Köln: Brill, p. 147-156. Carey, P (2012). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 17851855, Jakarta: KPG & KITLV. ____.(2014). Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, Jakarta: Kompas. ____. (2017). Inggris di Jawa 1811-1816, Jakarta: Kompas. Fatiyah. (2009). “Menelusuri Jejak Kaum Hadrami: (Hilangnya) Komunitas Keturunan Arab Yogyakarta Pada Abad ke-20”, M.A. Tesis, Yogyakarta: Program Studi Sejarah Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Graaf, H.J. De. (1979). “Het Semarangse Geslacht Bustam in de 18e en 19e Eeuw: Afkomst en Jeugd van Radén Saléh”, Bijdragen totde Taal-, Land- en Volkenkunde 135 (2/3), p.252-281. _____, (1985). Awal Kebangkitan Mataram Masa Penembahan Senapati, Jakarta: PT Grafiti Press. ____, (1987). Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Grafitipers.



15



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



Graaf DR. H.J. De & Pigeaud, DR. TH.G.TH. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafiti Pers. Jonge, H. de and Kaptein, Nico. (2002). “The Arab presence in Southeast Asia Some introductory remarks”, Huub de Jonge and Nico Kaptein (ed.), Trancending Borders; Arab, Politics Trade and Islam in South East Asia, Leiden: KITLV Press, p.1-10. Jonge, H. de.(2004). “Abdul Rahman Baswedan and the Emancipation of the Hadramis in Indonesia”, Asian Journal of Social Science 32 (3), p. 373-400. Kalamwadi, Ki. (1991). Serat Darmogandhul, Semarang: Dahara Prize. Kathirithamby-Wells, Jeyamalar. (2009). “Strangers and Stanger Kings: The Sayyid in EighteenthCentury Maritime Southeast Asia”, Journal of Southeast Asian Studies 40 (3), p. 567-591. Kazhim, M. (2013). “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya dalam Dakwah Damai di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan” dalam Marzuki Alie, et al. Peran Dakwah Damai Habaib/Alawiyin di Nusantara, Yogyakarta: Rausyan Fikr. Klerck, E.S. De. (1908). De Java-Oorlog van 1825-’30, V, ‘s Hage: M. Nijhoff. Lande, C.H. (1977). Introduction: The Dyadic Basic of Clientalism. Dlm. Steffen W. Schmidt & James C. Scott (eds.). Friends, followers and factions a reader in political clientalism, xiiixxxvii. Berkeley: University of California Press, p.xiii-xxxvii. Louw, P.J.F. (1904). De Java-Oorlog, 1825-30, III, Batavia: Landsdrukkerij. Mandal, S.K, Ph.D. (1994). “Finding their place; A history of Arabs in Java under Dutch rule, 1800-1924”, Doctor of Philosophy Tesis, Graduates School of Arts and Sciences Colombia University. Margana, S, dkk. (2018). Madiun: Sejarah Politik & Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI, Madiun: Pemerintah Kabupaten Madiun bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM. Niel, R van. (2005). Java’s Norteast Coast 1740-1840: A Study in Colonial Encroachment and Dominance, Leiden: CNWS Publications. Nitinegoro, R.M. Soemardjo SH. (1980). Berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat: Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaan Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: t.p. Olthof, W.L. (2017). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya, Yogyakarta: Narasi. Purwadiningrat, R.M.A. (1981). “Kagungan dalem Serat Cariyos Lampahanipun Kanjeng Pangeran Arya Mangkubumi, Ingkang Lajeng Jumeneng Kanjeng Sultan Amengkubuwana Ingkang-Sapisan ing Nagari Ngayogyakarta”, a.b. Moelyono Sastronaryatmo, Babad Mangkubumi, Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Balai Pustaka. Ricklefs, M.C. (2002). Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa.



16



Patronase Politik di Keraton Yogyakarta Abad XIX (Ahmad Athoillah)



Santosa, R.B, dkk. (2008). Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta: Sejarah Hari Jadi Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Scott, J.C. (1972). “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. American Political Science Review 66(1), p. 91-113. Steenbrink, K.A. (1984). Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: PT Bulan Bintang. Tashadi, etal. (1993). Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Yogyakarta, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. Tirtakoesoema, R.S. (2003). “The procession with Kanjeng Kyai Tunggul Wulung at Yogyakarta Thursday/Friday 21/22 January 1932 (Jumuah-Kliwon 13 Pasa, Jé 1862)” dalam Stuart Robson (ed.) The Kraton; Selected essays on Javanese courts, Leiden : KITLV Press, p.107130. Wawancara Adhiyana Putra, 27 Maret 2018. Aḥmad Bāsy-Syaibān, 18 dan 22 Maret 2018. Faisal Bāraqbah, 27 Juli 2018. Ḥasan Bā’abūd, 21 Maret 2018. Ḥusain al-‘Aidrūs, 11 April 2018. Ḥusain Bāfaqīh, 2 Maret 2019. Luṭfī bin Yaḥya, Juli 2014. Maryam Bāfaqīh, 13 November 2014. Siti Hidayati Amal, 21 Maret 2018. Sucahyo Slamet, R., 27 Maret 2018. Sucipto, R., 7 April 2018.



17



Patrawidya, Vol. 20, No. 1, April 2019



18