Politik Kolonial Belanda Abad Ke-19 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar Belakang Istilah imperialisme mengandung berbagai macam pengertian, lebih-lebih



akhir-akhir ini pengertian-pengertian itu menjadi lebih kabur karena ada interpretasiinterpretasi yang liberalistis, Marxistis, dan interprestasi-interpretasi lainnya. Literatur tentang teori imperalisme pada umumnya bersifat polemistis dan dialektis, sedang istilah “imperialisme” menjadi slogan yang berlebih-lebihan. 1 Dalam tulisan ini “imperialisme” berarti perluasan kontrol politik ke daerah seberang dan sinonim dengan ekspansi kolonial.2 Abad ke-19 merupakan suatu periode baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh politik kolonial yang berbeda sekali dengan politik kolonial yang telah dijalankan sebelumnya. Kalau kepentingan-kepentingan Belanda semula terbatas pada perdagangan, maka dalam periode ini Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik. Belanda merebut supremasi perdagangan dari orang-orang Portugis, teristimewa perdagangan monopoli rempah-rempah. Kepentingan agama dan ekonomi, disingkat “Kristen dan Rempah-rempah”, membawa orang Portugis ke dunia Timur, tetapi tidak lama kemudian kepentingan perdagangan menjadi lebih utama daripada kepentingan agama, dan dengan kedatangan orang-oranga Belanda perdagangan itu menjadi tujuan yang utama.3 Keinginan akan monopoli mendorong VOC melakukan penaklukan-penaklukan untuk merebut perdagangan rempahrempah. Tujuan utama mengkonsentrasi perdagangan rempah-rempah itu lambat laun bergeser menjadi mengembangkan perkebunan-perkebunan besar yang hasilnya sangat laku dipasaran Eropa, seperti kopi, the, gula, lada, dan lain-lainnya. Sistem eksploitasi dan monopoli tetap dipertahankan sewaktu pemerintah Belanda mengambil alih administrasi VOC. Sampai pertengahan abad ke-19 imperialisme



1 Dalam tulisan-tulisan mengenai imperialisme Belanda, penulis-penulis seperti van Kol, Stokvis, Koch, dan Rutgers merupakan wakil-wakil yang paling menonjol dari kaum Marxis sayap kanan, yaitu kaum Revisionis. 2 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: PT Gramedia, 1999. hlm. 3. 3 Baca keterangan masalah perluasan kekuasaan Portugis dari Boxer dan Diffie. Sejarah VOC dapat ditemukan dalam setiap buku pegangan mengenai sejarah Indonesia, lihat: Vlekke.



1



Belanda memang masih menganggap perdagangan sebagai kepentingan fundamental, sedang kepentingan politik dan militer dianggap kurang esensial.4 Harus diakui, bahwa interpretasi ekonomis kerap kali dipergunakan untuk menerangkan ekspansi kolonial sebagai kepentingan kaum kapitalis yang akan menanam kelebihan modalnya atau kepentingan akan pasaran baru dan kepentingan mendapatkan sumber-sumber bahan mentah yang sangat esensial bagi industriindustri di tanah airnya. Eksponen-eksponen interpretasi ekonomis mengatakan, bahwa imperialisme itu adalah akibat mutlak dari bentuk produksi kapitalis. Teori ini berdasarkan pendirian bahwa semua fenomena politis itu bersumber pada sebabsebab ekonomis atau sebab-sebab materiel.5 Dalam hubungan ini ada dua soal yang perlu diterangkan. Pertama, dalam periode sebelum tahun 1850 ekspansi Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam arti marxistis, karena ada akumulasi modal dan kelebihan produksi di Negeri Belanda. Kedua, politik kolonial Belanda sesudah tahun 1850 harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomis saja, tetapi sifat dan sebab-sebabnya harus juga dipelajari dari segi perluasan militer, perluasan pegawai, perluasan politik dan agama, masing-masing sebagai faktor penentu atau faktor pembantu. Motif-motif ekonomis memang menguasai politik colonial Belanda, tetapi ini tidak berarti bahwa faktor-faktor lainnya boleh diabaikan. Bahkan sebaliknya, beberapa contoh menunjukkan bahwa sejarah imperialisme Belanda adalah manifestasi-manifestasi dari idealism politik dan agama.6 Mereka yang berusaha menerangkan imperialisme Belanda biasanya terperosok ke dalam kategori kaum diterminis ekonomis yang berpendapat, bahwa kapitalisme adalah satu-satunya sebab dari imperialisme dan ekspansi kolonial adalah satu manifestasi yang terorganisasi dari rezim kapitalis. 7 Tidak dapat disangkal, bahwa memang ada hubungan fungsional antara kekuatan ekonomis dan politis, dan jelas bahwa perubahan-perubahan dan orientasi-orientasi baru pada politik kolonial Belanda itu sesuai dengan terjadinya tingkatan-tingkatan baru pada 4 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: PT Gramedia, 1999, hlm. 4. 5 Karangan-karangan sebelum perang yang dapat dipercaya mengenai teori-teori sosialistis tentang imperialisme dan faktor-faktor ekonomi dalam sejarah imperium, ditulis oleh Hovde (JPE) dan Pares (EHR). 6 Thorbecke adalah pimpinan besar Partai Liberal, tindakan-tindakan politiknya didasarkan pada prinsip-prinsip liberal yang diperjuangkan dengan gigih. Tokoh idealism-keagamaan yang sering disebut-sebut adalah A. Kuyper atau Groen van Prinsterer, keduanya pimpinan partai-partai agama. 7 Bandingkan: Schmidt, Rutgers, dan Stokvis.



2



perkembangan ekonomi di Negeri Belanda. Tetapi tidak boleh diabaikan, bahwa negarawan-negarawan Belanda yang memegang pimpinan pimpinan pandangannya tidak selalu ditujukan kepada kepentingan-kepentingan ekonomis; mereka itu merupakan suatu mata rantai antara pelaksanaan yang senyatanya dari suatu politik yang sudah tertentu, dan kecenderungan-kecenderungan politik, ekonomi, dan sosial yang umum pada dewasa itu. Dalam mencari faktor-faktor yang menentukan imperialisme Belanda, kecuali faktor-faktor ekonomis, perlu juga diperhatikan faktor-faktor komplementernya, seperti faktor-faktor politik, agama, dan sosial. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa liberalisme, humaniterisme, kristianisme ikut serta dalam membentuk politik kolonial Belanda.8 Sifat-sifat pokok dari politik kolonial Belanda dapat dicari dengan jalan mempergunakan ukuran analisis lain dan dengan jalan diperbandingkan dengan imperialisme negara-negara Eropa lainnya. Belanda membutuhkan hasil-hasil daerah tropis dan mendapatkannya harus secara pemungutan upeti, karena pada bagian pertama dari abad ke-19 mereka tidak mempunyai barang-barang untuk diperjualbelikan. Sebaliknya, orang-orang Inggris, mereka ingin menjual kain-kain tenun. Kain-kain ini sebagai hasil dari Revolusi industry, di Asia dapat diperjualbelikannya dengan harga yang lebih murah daripada kain tenun buatan penduduk pribumi. Perbedaan fungsi-fungsi tanah jajahan itu berakar pada perbedaan kondisi-kondisi ekonomis dari negeri-negeri induknya. Belanda, sesudah didominasi Prancis selama dua puluh tahun, tidak mempunyai industri dan modal. Tanah jajahannya dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan untuk perdagangannya. Pada penghabisan abad ke-19 politik ini diganti dengan politik kesejahteraan, karena kepentingan-kepentingan perdagangan ingin menciptakan suatu pasar di tanah jajahan dengan daya beli yang cukup besar.9 Memorandum tahun 1851 dengan jelas menegaskan politik Belanda, bahwa “daerah-daerah taklukan harus memberi keuntungan materiel bagi Belanda, keuntungan yang memang menjadi tujuan penaklukannya”10 Pendapat umum tentang tanah jajahan memang membenarkan, bahwa negeri induk itu mempunyai hak moral untuk menikmati 8 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: PT Gramedia, 1999, hlm. 5 9 Ibid., hlm. 6 10 A. Van den Bosch, The Dutch East Indies, (Berkeley, 1941), hlm. 49; lihat juga: D.W. van Welderen-Rengers, The Failure of a Liberal Colonial Policy: The Netherlands East Indies, 1816-1830, (The Hague, 1947), hlm. 34



3



segala keuntungan sebagai upah memerintah tanah jajahannya. Orang beranggapan bahwa surplus yang besar bagi pembendaharaan negeri induk adalah sesuai dengan kepentingan yang pokok dan permanen dari tanah-tanah jajahan.11 Ideologi-ideologi politik yang besar di Eropa pada abad ke-19 sangat berpengaruh pada imperialisme dan politik kolonial. Liberalisme mulai berkembang di Negeri Belanda pada periode sesudah Napoleon dan berhasil mengubah struktur politik pada kira-kira pertengahan abad itu.12 Dalam masa empat puluh tahun berikutnya lahirlah politik kolonial yang lazim disebut politik kolonial liberal. Menjelang berakhirnya abad itu, sosialisme tumbuh sebagai kekuatan baru dalam politik Belanda dan segera tampil sebagai pendekar antikolonialisme. 13 Di dalam menyerang imperialisme, kritik mereka berbeda sekali dengan kritik kaum liberal; pada pokoknya kaum sosialis mengutuk semua politik imperialistis sebagai alat kapitalisme,14 sedang kritik-kritik kaum liberal hanya mengenai detail-detail dari politik kolonial.15 Akhirnya, issue ekspansi kolonial pada semua kekuasaan kolonial sebenarnya adalah soal dari partai-partai politik dan taktik-taktik parlementer. Kerap kali persoalan kolonial itu bertautan dengan persoalan-persoalan lain. Sudah jelas, bahwa pada abad ke-19 di Negeri Belanda opini umum dianggap sebagai hal yang benar. Ketidaktahuan rakyat tentang tanah-tanah jajahan bukanlah hal yang aneh dan orang tidak boleh berharap bahwa mereka akan menaruh perhatian kepada negeri-negeri asing yang berada di luar pengetahuannya. Seperti yang telah diuraikan, pada imperialisme Belanda terdapat beberapa unsur atau faktor yang penting, tetapi faktorfaktor manakah yang menjadi faktor penentu, belum dapat dipecahkan dengan pasti. Beberapa interpretasi dilebih-lebihkan atau dipergunakan secara serampangan dan pemikiran secara spekulatif tidak akan membawa kita lebih maju setapak pun di dalam menerangkan aspek kausal dari imperialisme. Akan lebih tepat kalau kita membicarkan kecenderungan dan pola-pola kolonialisme dan imperialisme Belanda daripada membicarakan sebab-sebab dan dorongan-dorongan atau motif-motifnya. 11 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional. op.cit.,hlm. 6 12 Terpengaruh oleh revolusi-revolusi di negeri tetangganya, konstitusi diperbaiki dan monarki konstitusional diubah menjadi monarki demokrasi parlementer, (1884). 13 Dua pemimpin sosialis, yaitu Van Kol dan Domela Nieuwenhuys. Yang pertama lebih dikenal karena tulisan-tulisanny; ia banyak mengetahui kepulauan Hindia Belanda dari kunjungankunjungannya. 14 Lihat E.M. Winslow, dalam JPE, jilid 39, (1931), hlm. 721 15 Sartono Kartodirdjo, Sejaraha Pergerakan Nasional. op.cit.,hlm. 7



4



Istilah “kecenderungan” dan “pola” mencakup kompleksitas faktor-faktor yang menentukan fenomena historis yang disebut imperialisme.16



Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, dapat kami rumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut: B.



1.



Bagaimana politik Kolonial Konservatif pada 1800-1848?



2.



Bagaimana Cultuurstelsel pada 1830-1870?



3.



Bagaimana politik Kolonial Liberal pada 1850-1870?



4.



Bagaimana perubahan dari politik Kolonial Liberal ke politik Ethis pada 1870-1900?



5.



Bagaimana politik Ethis pada 1900?



16 Ibid., hlm. 7-8 5



BAB II PEMBAHASAN



Politik Kolonial Konservatif (1800-1848) Pada akhir abad ke-18 VOC bangkrut dan pada tahun 1800 kekayaan diambil alih kerajaan. Pemerintahan Belanda melanjutkan politik tradisional Kumpeni dengan tujuan memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdagangan, semuanya demi keuntungan kerajaan. Seperti politik dan administrasi Kumpeni dijalankanlah suatu sistem pemerintahan tidak langsung, pembesar-pembesar pribumi tetap mengurusi perkara-perkara pribumi dan agen-agen Belanda dikuasakan mengawasi tanam wajib yang hasilnya untuk pasaran Eropa. Dengan sendirinya penyelewengan-penyelewengan yang terdapat pada sistem ini tidak dapat dihindari, misalnya: permintaan pegawai-pegawai Belanda yang melampaui batas atau pemerasan dari pembesar-pembesar pribumi. Sejak semula politik kolonial konservatif ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan prinsip liberal dan perdagangan serta partikelir. Sistem liberal ini memperoleh kesempatan untuk pertama kalinya pada zaman Raffles, selama Interregnum Inggris (1811-1816). 17 Raffles mengadakan suatu sistem administrasi yang sejajar dengan doktrin-doktrin liberal, yaitu persamaan hukum dan kebebasan ekonomi. Salah satu hal yang khas dari zaman pemerintahannya adalah hal pajak tanah. Apa yang diutamakan oleh Inggris sebenarnya adalah kepentingan perdagangan di tanah-tanah jajahan. Mereka ingin menjual hasil-hasil industri di pasar Asia, dan untuk tujuan itu tanam wajib harus dihapus dan diganti dengan suatu sistem pajak, sehingga ekonomi uang itu dapat menciptakan suatu syarat pokok bagi pemasaran barang-barang produksi Inggris. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa bagi Inggris perdagangan lebih menguntungkan daripada memungut upeti.18 Di samping aspek material ini, politik Raffles juga mempertunjukkan aspek ideal yaitu usaha mempraktekkan beberapa prinsip humaniter. Rakyat harus dibebaskan dari pemerasan para penguasanya dan harus pula dijamin keamanan, keadilan, dan pendidikannya. Ide-ide ini mengharuskan suatu perubahan total terhadap sistem lama, yaitu sistem pemerintahan tidak langsung. Sebagian besar dari perubahan-perubahan di dalam sistem politik colonial yang dibuat oleh Raffles itu, akhirnya kandas atau dihapus oleh Belanda sebelum waktu berlakunya habis. Sebagian besar dari kegagalanA.



17 Belanda takluk kepada Inggris pada tahun 1811. Pulau Jawa dikembalikan Inggris pada tahun 1816. 18 J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice, (Cambridge, 1948), hlm. 220.



6



kegagalan ini terutama disebabkan karena adanya perbedaan yang besar antara idealism liberal dan kondisi-kondisi sosio-kultural dari masyarakat tradisional Jawa. Periode tahun 1800 sampai tahun 1830 memang merupakan suatu periode yang ditandai oleh pertentanga-pertentangan yang tajam dalam melaksanakan politik colonial, baik pada sistem konservatif maupun pada sistem liberal.19 Perlu diperhatikan, bahwa meskipun Raffles menganut ide liberal, tetapi ia tetap mempertahankan tanam wajib, karena hasilnya memang sangat diperlukan untuk mengisi kas negeri. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah tidak mampu mendobrak solidaritas dan komunalisme desa yang kuat itu, sehingga tidak timbul inisiatif dan usaha-usaha perorangan. Untuk menghadapi kondisi-kondisi semacam itu, sistem usaha bebas diganti dengan sistem perusahaan pemerintah. Hal ini berarti kembali lagi kepada sistem Kumpeni. Perlu ditambahkan disini bahwa di dalam masyarakat tradisional, dengan sifat komunalnya dan ekonomi naturanya, tidak dapat dengan mudah dikerahkan buruh upahan untuk perusahaan-perusahaan Barat. Satusatunya jalan untuk mengerahkan tenaga kerja adalah menggunakan sistem tradisional, karena di dalam sistem ini penduduk desa telah terbiasa membayar upeti kepada penguasanya dengan hasil bumi dan tenaga kerja.20 Hal yang sangat menentukan bagi politik kolonial yang harus dijalankan adalah situasi ekonomi di Negeri Belanda sendiri. Setelah mengalami kehancuran sebagai akibat Perang Napoleon yang bertahun-tahun dan isolasi ekonomi yang disebabkan karena Stelsel Kontinental, maka Negeri Belanda kehilangan sebagian besar perdagangannya dan pelayarannya. Peranannya sebagai pasar penimbunan barang mundur, dan dunia perdagangan melahirkan pusat-pusat perdagangan baru. 21 Di tanah-tanah jajahan padagang-padagang Belanda tidak mampu bersaing dengan pedagang-pedagang Inggris, karena pedagang-pedagang Inggris ini dengan mudah dapat menjual kain-kain Lanchashire dengan murah. Selama masa dua puluh tahun yang pertama sesudah Restorasi (1816) perdagangan Inggris menguasai pasaran di tanah jajahan. Dari perdagangan itu Belanda hanya menguasai tidak lebih dari 25%. 22 Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa Negeri Belanda pada bagian pertama dari abad ke-19 masih bersifat agraris dan dapat digolongkan dalam negeri kapitalis muda. Yang ada hanya industri kecil-kecilan, sedang modal perdagangan dan modal industri masih kecil sekali; semangat berusaha yang menjadi ciri dari Revolusi Industri dan kapitalisme tingkat tinggi memang masih kurang. Depresi ekonomi ini 19 D.W. van Welderen-Rengers, op.cit, hlm. 132-152 20 B. Ter Haar, Adatlaw in Indonesia, (New York: 1948), hlm. 74 21 I.I. Brugmans, Paardenkracht en mensenmacht: Sosiaal-economische Geschiedenis van Nederland, 1795-1940, (‘s-Gravenhage, 1961), hlm. 22-41. E Verviers, De Nedelandsche Handelspolitiek tot aan de toepassing der Vrijheidsbeginselen, (Leiden, t.th.), hlm. 169. 22 E. Verviers, op.cit, hlm. 261-262



7



sudah selayaknya mempengaruhi politik Belanda pada umumnya dan politik kolonialisme pada khususnya.23 Untuk melindungi perdagangan dan industri nasionalnya dijalankan politik ekonomi merkantilistis, yang meliputi: bea cukai yang tinggi untuk perdagangan asing, pajak yang berbeda-beda di tanah-tanah jajahan, demi kepentingan hasil-hasil industri dari negeri induk, monopoli pemerintah di dalam perdagangan barangbarang kolonial. Inisiatif dan kepentingan pribadi Raja Willem I memainkan peranan penting di dalam menghidupkan kembali perdagangan dan pelayaran Negeri Belanda yang pada zaman Abad Keemasan (abad ke-17) dahulu memang tidak ada bandingannya di Eropa. Lahirlah segera bank sirkulasi yang pertama dan Nederlandsche Handelsmaatschappij,24 tetapi kekurangan uang tetap masih menjadi ancaman yang konstan bagi perbendaharaan kerajaan, dan pada akhir perang Belgia (1831) kerajaan berada di ambang pintu kebangkrutan.25 Dihadapkan pada situasi ekonomi yang genting itu, maka dari golongan liberal hanya orang-orang tahan ujilah yang akan tetap bertahan pada prinsip-prinsip liberal, seperti kebebasan berusaha dan campur tangan yang minimal dari pihak pemerintah dalam urusan-urusan perseorangan. Ada suatu kelompok dari golongan liberal yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip humaniter, dan menginterpretasikan prinsip memberi keadilan dan perlindungan bagi semua kepentingan. Dalam menghadapi golongan liberal yang terpecah-belah itu, golongan konservatif dapat menunjukkan bahwa sistem Kumpeni terbukti efektif dan bahwa kondisi-kondisi ekonomi lokal di tanah jajahan memang tidak sesuai dengan sistem liberal. Dapat dicatat di sini, bahwa meskipun ada perbedaan ideology yang tajam, golongan-golongan yang bertentangan itu mempunyai titik-titik fundamental yang sama, yaitu dasar ide bahwa tanah jajahan harus disediakan untuk kepentingan negeri induk. Mereka menghadapi problem yang sama, yaitu bagaimanakah caranya menjamin Negeri Belanda akan keuntungan-keuntungan yang “dapat menjaga martabatnya di antara bangsa-bangsa, posisi negerinya, dan pentingnya tanah jajahannya”. 26 Tanah jajahan harus dapat mengisi kas kerajaan, “tanah jajahan adalah gabus yang menjadi tempat mengapungnya kesejahteraan negeri induk”.27 23 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 11 24 “Nederlandsche Bank” didirikan pada tahun 1814, “Nederlandsche Handelsmaatschappij” pada tahun 1824, NHM mendapatkan banyak hak istimewa dan monopoli dari pemerintah, sedikit banyak merupakan lembaga semi pemerintah. 25 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 11 26 E. de Waal, Nederlandsche-Indie in de Staten Generaal sedert de Grondwet van 1814, (‘sGravenhage, 1860-1861), hlm. 104 27 W.F. Wertheim, “Nederlandsche Cultuurinvloeden in Indonesia” dalam J.B. Bartstra & W. Banning (eds.), Nederland tussen de Natien,jilid 2, (Amsterdam, 1948), hlm. 45; D.W. van Welderen Rengers, op.cit., hlm. 765; J.E. Stokvis,. Van Wingewest naar Zelfbestuur in Nederlandsch-Indie, (Amsterdam,



8



Pada titik kritis di dalam perkembangan politik Belanda yang terjadi di Indonesia dan di Negeri Belanda, misalnya pada akhir Perang Diponegoro (18251830) dan Perang Belgia (1831), Belanda terdorong untuk kembali kepada politik Kumpeni, dan mempertahankannya sampai satu generasi, tanpa menghadapi tantangan. Sampai tahun 1830 itu politik Belanda berdasar pada prinsip dan praktek yang satu sama lain bertentangan, tetapi sejak tahun 1830 itu politik colonial memperoleh suatu sistem yang pasti dan konsekuen, yang kemudian dikenal dengan nama Cultuurstelsel. Kenyataannya, pada tahun 1830 kepentingan negeri induknya yang menentukan, maka oleh karenanya timbul problem menentukan suatu politik yang



akan



menjaminkeuntungan-keuntungan



finansial



yang



dibutuhkannya.



Persoalan colonial yang sebenarnya adalah: metode apakah yang menjamin Negeri Belanda akan penghasilan yang cukup? Hasil-hasilnya lah yang diharapkan, sedang cara-caranya adalah sekunder, dan prinsip atau ide-ide adalah soal kecil.28



Cultuurstelsel (1830-1870) Sistem yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan perusahaanperusahaan Barat yang kapitalistis, dan yang dapat memberi keuntungan-keuntungan, disingkirkan, karena sistem tersebut memberi kesempatan kepada Inggris untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, sedang Belanda lah yang harus memikul biaya pemerintahan. Lain daripada itu, sistem pajak tanah mengakibatkan keadaan keuangan mundur dan mengakibatkan kekacauan-kekacauan sosial di dalam masyarakat Indonesia. Setelah memperhatikan penyelewengan-penyelewengan dan kekacauan-kekacauan sosial itu, maka Van den Bosch mengajukan suatu sistem yang dapat mendatangkan keuntungan dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan adat kebiasaan tradisional lokal. Hakikat dari Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah itu. Menurut perkiraan, penduduk harus menyerahkan 2/5 dari hasil panen utamanya atau sebagai penggantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun.29 Dengan jalan ini pemerintah akan terjamin kebutuhan hasil buminya yang akan diekspor ke pasaran Eropa, dan dari ekspor ini pemerintah mengharapkan keuntungan-keuntungan yang nyata. Memang Van den B.



1912), hlm. 81 28 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 12 29 Keterangan lengkap tentang peraturan-peraturan Cultuurstelsel lihat Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java, ( New York, 1904), hlm. 249-250; J.E. Stokvis, op. cit., hlm. 8895



9



Bosch mempunyai harapan besar akan mendapat keuntungan dari sistem itu dan cara membenarkannya sistem tersebut didasarkan pada keuntungan itu.30 Seperti telah diterangkan di atas, sistem tersebut akan lebih disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada. Ini berarti, bahwa kaum bangsawan feodal harus dikembalikan pada posisinya yang lama, sehingga pengaruh mereka dapat pergunakan untuk menggerakkan rakyat, memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh pemerintah. Tentang kekuasaannya dapat dikatakan berbeda dengan yang dahulu, karena sekarang mereka diawasi dan ditempatkan di bawah kekuasaan pegawai-pegawai Belanda. Disinilah kita menjumpai suatu sistem pemerintahan tidak langsung, yaitu sistem pemerintahan melalui kepala-kepala pribumi. Politik ini dapat disamakan dengan prinsip nonakulturasi yang dijalankan sampai berakhirnya rezim Belanda.31 Kalau di satu pihak pemerintah kolonial menganggap perlu menghormati para bangsawan, maka pada lain pihak di dalam Cultuurstelsel mereka itu tidak lebih adalah pelaksana-pelaksana yang diperintahkan dari atas. Mereka menjadi “pengawas-pengawas perkebunan”.32 Cultuurstelsel harus seproduktif mungkin, maka oleh karena itu pengawasan Belanda di perkeras. Untuk mengikat kelas penguasa ini, Belanda tidak hanya mengembalikan kekuasaan mereka, akan tetapi meningkatkan juga prestise mereka dengan gaji berupa tanah yang akan memberi mereka tenaga kerja dan penghasilan lainnya, seperti pada rezim tradisional yang lama. Pada hakikatnya luas tanah yang diusahakan untuk pemerintah tidak ada batasnya; banyak tenaga yang terbuang sia-sia untuk mencoba tanaman-tanaman baru; adanya kerja tambahan di samping menyelenggarakan tanaman-tanaman wajib; pajak-pajak, kerja wajib, dan kewajiban-kewajiban lainnya untuk dihapus. 33 Teranglah bahwa sistem itu mengakibatkan kemerosotan moral dan menunjukkan sutau kontras yang tajam dengan motivasi yang dikemukakan oleh Van den Bosch. Seperti apa yang dikemukakannya, sistem itu bertujuan untuk memajukan dan mendidik rakyat.34 Hasil-hasil finansial Cultuurstelsel ini bagi Negeri Belanda sangat memuaskan. Antara tahun 1831 dan 1877 negara menerima dari daerah-daerah jajahan kekayaan 30 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 13 31 Keterangan mengenai gagasan anti akulturasi, lihat R. Kennedy, “Acculturation and Administration in Indonesia” dalam American Antropologist 45 (1943), hlm. 189-190 32 B.J.O Schrieke, Indonesian Sociological Studies, jilid 1, (The Hague/Bandung, 1955), hlm. 190 33 Gambaran luas tentang kekacauan itu dapat ditemukan dalam Clive Day, op. cit., hlm. 254-278 dan J.E. Stokvis, op. cit, hlm. 82-89 34 Clive Day, op. cit, hlm. 255; suatu pembenaran dari Cultuurstelsel yang diajukan kepada parlemen, lihat D.W van Welderen-Rengers, op. cit, hlm. 769. Dukungan yang bersemangat terhadap sistem ini dipandang sebagai kurnia nasional (sic).



10



sebesar 823 juta gulden.35 Fakta ini mempunyai akibat-akibat yang jauh dalam politik kolonial sesudah tahun 1850. Pemulihan yang pesat di dalam bidak ekonomi itu disertai lahirnya Partai Liberal yang menggerakkan oposisi yang gigih terhadap politik kolonial konservatif pada umumnya dan Cultuurstelsel pada khususnya. Reaksi terhadap Cultuurstelsel yang dimuali sekitar tahun 1848 mendapat tanggapan, baik pada perdebatan-perdebatan di parlemen maupun dalam sejumlah tulisan yang mengutuk habis-habisan sistem itu beserta segala konsekuensinya. Sebelum adanya revisi konstitusi Belanda pada tahun 1848, politik kolonial pemerintah di luar pengawasan parlemen. Revisi ini dianggap sebagai suatu kemenangan dari demokrasi parlementer dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya politik colonial. Partai Liberal, yang pada waktu itu mendominasi politik parlemen, menentang sistem itu, karena dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi menurut pemikiran liberal, akan tetapi untuk beberapa tahun pemerintahan colonial Partai Liberal tetap laten dan persoalan kolonial tetap tidak mendapatkan perhatian.36 Serangan terhadap Cultuurstelsel di luar parlemen dilancarkan oleh sekelompok penulis, pegawai, menteri, sebagian besar kolonialis kawakan. Kekurangankekurangan dan konsekuensi-konsekuensi yang buruk dari sistem itu sudah cukup jelas dan telah dikemukakan oleh berpuluh-puluh penulis. Merekalah yang berjasa menyadarkan massa rakyat di negeri induk yang belum tahu akan perlunya suatu reform dan menjadikan persoalan reform itu sebagai persoalan politik yang sangat penting. Salah seorang pegawai , Douwes Dekker, membentangkan kekejamankekejaman sistem ini dalam bukunya yang terkenal, Max Havelaar.37 Seorang yang gigih melawan penyelewengan-penyelewangan pada sistem itu adalah Van Hovell. Dia membela kepentingan penduduk pribumi tanpa mencela sistem eksploatasi di daerah-daerah jajahan untuk kepentingan negeri induk. Dua orang tokoh ini berjasa sekali di dalam menarik perhatian umum terhadap persoalan-persoalan colonial. Tulisan populer mereka memang meratakan jalan, tetapi kemenangan harus diperjuangkan melalui saluran parlementer. Perjuangan yang terus menerus inilah yang berlangsung selama masa sepuluh tahun berikutnya.38



35 B.H.M. Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia, (The Hague, 1965), hlm. 291; atau Clive Day, op.cit, hlm. 309. 36 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 15-16 37 Douwes Dekker menulis dengan nama samara “Multatuli”. Buku Max Havelaar sering disejajarkan dengan Uncle Tom’s Cabin. 38 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 16



11



Permulaan Politik Kolonial Liberal (1850-1870) Periode antra tahun-tahun 1850 dan 1870 ditandai oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa, dan Negeri Belanda mendapat keuntungan dari perkembangan ini. Masa dua puluh tahun itu bagi Negeri Belanda merupakan periode transisi dari keadaan praindustri ke industry. Kesejahteraan ekonomi dalam pertengahan abad ke19 tercermin dalam keuangan negara. Kesejahteraan didapatnya dari hasil-hasil finansial Cultuursteltel.39 Tahun 1848 memang merupakan titik balik. Tahun ini setidak-tidaknya merupakan permulaan adanya kesempatan untuk mengadakan reform dalam politik colonial melalui saluran parlementer. Pada tahun 1854 Regeerings Reglement (RR) meletakkan dasar bagi pemerintahan colonial. Prinsip liberal tentang kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha di dalam RR itu adalah esensial.40 Dengan adanya RR-konstitusi colonial-mulailah standar baru bagi peemerintahan di Indonesia dan dipaksakanlah politik yang lebih liberal.41 Politik ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang dijalankan oleh Willem I. Prinsip yang dianut sekarang adalah prinsip “tidak campur tangan”; berhubung dengan itu kerajaan harus menarik diri dari segala campur tangan; segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan harus dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta harus dihentikan. Semuanya ini berarti runtuhnya politik merkantilisme dan proteksionisme. Konsekuensinya, banyak undang-undang yang melindungi hak-hak istimewa perusahaan-perusahaan nasional dihapus. Sistem ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industri gula, timah, dan tembakau yang mulai berkembang sejak tahun 1885. Dengan dihapuskannya Cultuurstelsel secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh penguasa-penguasa swasta.42 C.



Dalam periode ini gerakan yang ditujukan terhadap reform menjadi makin kuat. Sesungguhnya politik kolonial golongan liberal harus sesuai dengan politik liberal negeri induk. Jadi mereka menentang proteksi dan eksploatasi pemerintah di tanah jajahan; mereka menuntut liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda, sebab itulah maka sistem seperti hak-hak dan tarif-tarif yang berbeda-beda dan konsignasi (consignation) harus dihapuskan. Sejak Partai Liberal berkuasa dirintislah modernisasi seperti yang terdapat di Negeri Belanda. Bank-bank, jalan-jalan kereta 39 Dari tahun 1840 sampai tahun 1874 laba seluruhnya sekitar 781 juta gulden. Lihat lebih lanjut Clive Day, op.cit, hlm. 310. N.G. Pierson, Koloniale Politiek, (Amsterdam, 1877) hlm. 148 40 Clive Day, op.cit, hlm. 327 41 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 18 42 Ibid.,hlm. 18-19



12



api, dinas-dinas pos, perkebunan-perkebunan swasta timbul. Sesudah tahun 1870 perkembangan ini maju terus dengan pesatnya. “Berakhirnya Cultuurstelsel disebabkan karena pertumbuhan dan vitalitas modal potensial, yang mencari daerah untuk investasi dan ekspansi”.43 Perdebatan-perdebatan di perlemen sampai tahun 1870, dipusatkan pada pro dan kontra sistem kebebasan berusaha, kebebasan bekerja, dan kebebasan berkebun, semuanya sebagai pengganti Cultuurstelsel. Realisasi dari ide liberal di dalam politik colonial terjadi kira-kira pada tahun 1870, yakni saat Partai



Liberal



mencapai



puncaknya



dan



sekaligus



sebagai



permulaan



kemundurannya.44



Dari Politik Kolonial Liberal ke Politik Ethis (1870-1900) Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Liberalisme memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi. Di dalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha swasta mengambil alih perusahaan-perusahaan perkebunan yang dahulunya di urus oleh pemerintah kolonial, dan cara mengurusnya tetap berjalan seperti sedia kala, bedanya kalau dahulu hanya ada pemegang saham tunggal, sekarang jumlah pemegang sahamnya banyak. Pengusaha-pengusaha dan kaum humaniter mengumpulkan kekuatan untuk bersama-sama mematahkan Cultuurstelsel; yang pertama di dorong oleh kepentingan ekonomi, sedang yang akhir oleh kepercayaan bahwa kebebasan berusaha dan kebebasan bekerja merupakan jaminan yang paling utama bagi kemajuan dan kesejahteraan.45 Periode antara tahun-tahun 1850 dan 1870 adalah masa jaya bagi liberalism di Negeri Belanda, sedangkan di Hindia Belanda periode itu merupakan periode transisi dari politik colonial konservatif ke politik colonial liberal. Seperti sudah diterangkan diatas, kapitalisme modern di Negeri Belanda dimulai kira-kira pada tahun 1870, suatu tahun yang biasanya dianggap sebagai permulaan politik colonial liberal. Pada waktu itu perkembangan sudah mencapai tingkatan imperialisme modern dan kapitalisme monopoli.46 Menurut keadaan sistem partai pada tahun-tahun 1870-an dapat dikatakan Nampak adanya perkembangan demokratisasi yang meningkat. Proses ini disertai mundurnya liberalism. Perpecahan di dalam Partai Liberal tidak dapat dielakkan D.



43 J.E. Stokvis, op.cit, hlm. 96 44 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 20-21 45 Ibid., hlm. 22-23 46 Ibid., hlm. 23-24 13



sejak dilancarkannya issue agama. Partai-partai agama tampil kedepan. Politik partai semakin berkembang melalui garis-garis keagamaan, sedang garis pemisah antara liberal dan konservatif menjadi kabur. Dalam tahun-tahun 1890-an terbentuklah partai baru, Partai Sosialis, yang dalam waktu singkat menjadi pejuang yang gigih dalam persoalan colonial. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa timbulnya kelas buruh bersamaan dengan timbulnya industrialism. Doktrin sosialisme mempunyai daya tarik yang kuat kepada kelas buruh. Untuk sementara waktu politik colonial dibentuk melalui tawar menawar antara ide-ide humaniter dan kepentingan ekonomi, kedua-duanya dapat diterima, baik oleh golongan liberal maupun oleh golongan agama. Semua partai yang bersangkutan mempunyai tujuan yang sama, yaitu daerah jajahan harus memberi keuntungan kepada negeri induk dan kesejahteraan penduduk pribumi harus menjadi persoalan yang serius bagi pemerintah kolonial.47 Tahun 1870 pada umumnya dianggap sebagai titik balik di dalam sejarah politik colonial Belanda. Satu-satunya alasan adalah Undang-undang Agraria yang disahkan dan mulai berlaku pada tahun itu. Pengambilalihan tanah penduduk pribumi dilarang. Orang-orang asing diperbolehkan menyewa tanah pertanian dalam jangka waktu 5 tahun.48 Ketentuan yang pertama dimaksudkan sebagai cara mencegah timbulnya kekuasaan yang akan merampas hak milik atas tanah secara tidak semenamena. Di sini ide humaniter tampak jelas sekali. Tetapi ketentuan yang kedua bagaimanapun juga ditujukan untuk perusahaan, yaitu memberi jalan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk memakai tanah penduduk. Kenyataannya, Undang-undang Agraria hanya melindungi modal Eropa yang ditanam di berbagai perkebunan; lain daripada itu menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi perkebunan-perkebunan tersebut, seperti tenaga murah dan hak-hak terjamin. Tidak mengherankan kalau sesudah tahun 1870 modal asing nyata-nyata mengalir ke Jawa, tempat yang paling baik untuk eksploatasi kapitalis secara intensif. Dengan jelas tampak, bahwa sejak tahun 1870 modernisasi dan kemajuan di dalam kehidupan ekonomi merupakan akibat-akibat yang nyata, bukan saja disebabkan sistem baru itu, akan tetapi juga karena perkembangan ekonomi di Barat.49 Batu ujian yang sesungguhnya bagi maksud para pembuat politik colonial adalah issue tentang apa yang disebut Batig Slot (sistem keuntungan bersih). Sejak Cultuurstelsel dijalankan, Hindia Belanda menyetorkan kelebihan uang ke Negeri Belanda sejumlah antara 10 sampai 40 juta gulden tiap tahunnya. Ketika Batig Slog 47 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 24-25 48 Isi sepenuhnya dari peraturan itu, lihat H.T. Colenbrander, Koloniale Geschiedenis, De Oost sinds 1816, (‘s-Gravenhage, 1926), hlm. 49-62 49 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 25-26



14



terakhit diterima pada tahun 1877 negeri induk memperoleh keuntungan sebesar 825 juta gulden.50 Hubungan finansial antara Hindia Belanda dan Negeri Belanda serta Batig Slot selalu menjadi sasaran kritik. Politisi-politisi Belanda menjadi sangat sensitif pada issue-issue tersebut ketika surplus pendapatan berkurang dan akhirnya sama sekali lenyap (1878). Konflik-konflik opini berlangsung bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian praktis yang dapat diharapkan. Kalkulasi yang cermat mengenai setoran kelebihan diajukan guna menetapkan jumlah yang harus dikembalikan ke Hindia Belanda. Sejak dihapuskannya Batig Slot berkembangkah suatu mentalitas baru mengenai kesejahteraan bangsa Indonesia dan berpengaruh diantara para politisi. Bersama dengan itu juga timbul orientasi politik colonial baru yang terarah ke prinsip “Hindia Belanda untuk orang pribumi”. Janji-janji tertuju pada kepentingan penduduk pribumi di Hindia Belanda terus menerus diucapkan, tetapi hampir-hampir tak ada yang dikerjakan untuk meningkatkan penghidupan mereka.51 Mengenai persoalan ekspedisi militer dapat dikatakan bahwa sepanjang abad ke-19 tentara colonial terus menerus melancarkan peperangan-peperangan terhadap penguasa-penguasa lokal, raja-raja kecil, dan sultan-sultan. Beberapa diantaranya hanya merupakan perang kecil-kecilan, tetapi ada juga yang mendatangkan bencana dan memayahkan, misalnya Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (18311839), dan Perang Aceh (1874-1904). Apapun juga yang dapat menjadi sebab langsung dari peperangan-peperangan colonial itu, mereka selalu memakai alasan perang “pembawa perdamaian dan ketertiban”.52



Menjelang Politik Ethis (± 1900) Perlu diingat kembali, bahwa golongan-golongan politik mengeluarkan keluhan dan kritik terhadap politik colonial yang berlaku. Apapun perbedaanperbedaan yang terdapat pada mereka itu, pada prinsipnya mereka bersepakat, bahwa tanah jajahan memang harus memberi keuntungan bagi negara induk, tetapi menjelang penutupan abad ke-19 berangsur-angsur berkumandanglah suara baru yang menunjukkan bahwa perhatian terhadap orang pribumi bertambah besar.53 E.



Gerakan perbaikan dilancarkan juga oleh apa yang disebut kaum ethis, nama yang dipakai untuk menyebut politik colonial yang baru, yaitu politik ethis. Salah seorang juru bicaranya yang terkemuka ialah Van Deventer, penulis artikel yang 50 J.E. Stokvis, op. cit, hlm. 96; C. Th. Van Deventer dalam De Gids, 63, (1899). 51 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 26-28 52 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 28 53 Ibid., hlm. 30 15



berjudul “Hutang Budi.54 Ia menuntut restitusi berjuta-juta uang yang diperoleh Negeri Belanda sejak berlakunya undang-undang Comptabilitiet pada tahun 1867. Daya tarik dari ide restitusi ini diperkuat oleh tumbuhnya kesadaran akan makin berkurangnya kesejahteraan penduduk pribumi. Panggilan orang-orang Barat yang berorientasi humanistis untuk melanjutkan perkembangan Hindia Belanda demi keuntungan penduduk pribumi sendiri dan untuk mengejar politik kesejahteraan, menjadi makin kuat. Lagi pula, ideology ethis ini dapat berkembang ke dalam, menjadi suatu kekuatan sosial yang penting, karena ia bergerak bersama-sama dengan kepentingan-kepentingan yang kongkret dari suatu golongan ekonomi yang mulai tumbuh menjadi besar.55



54 C. Th. Van Deventer, “Een Eereschuld” De Gids 63 (1899) 55 Sartono Kartodirdjo, SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL:op.cit.,hlm. 32 16



BAB III PENUTUP A.



Simpulan Banyak sifat imperialisme terdapat di dalam kegiatan orang Belanda di



Indonesia. Kita melihat suatu surplus modal yang tak dapat ditanam secara menguntungkan di dalam negerinya sendiri; maka modal ini ditanam dalam perusahaan-perusahaan pertanian, pertambangan, dan pengangkutan, baik di Jawa yang tenaga kerjanya sebagai faktor produksi sangat murah harganya, maupun di propinsi-propinsi luar Jawa yang tanahnya masih melimpah. Kaum industri berdaya upaya memperluas pasaran untuk barang produksinya. Alat-alat kekuasaan kolonial lainnya, Negeri Belanda menjalankan politik “pintu terbuka” yang mengijinkan masuknya modal dan barang produksi industry asing dengan syarat-syarat yang sama seperti modal dan produksi Belanda sendiri. Dengan mudah dapat diperlihatkan, bahwa imperialisme itu senapas dengan usaha mencari kesempatan untuk memperoleh keuntungan uang, seperti pasaran atau kesempatan penanaman modal. Mengenai kolonialisme Belanda telah ditunjukkan bahwa yang demikian itu baru terjadi tiga puluh tahunan terakhir dari abad ke-19. Selanjutnya masih perlu dipersoalkan seberapa jauh gunungan yang memonopoli kepentingan ekonomi merampas kekuasaan dan suara rakyat, dan menggunakan sumber-sumber umum untuk memperoleh kepentingan sendiri.



17



DAFTAR PUSTAKA A. Van den Bosch. 1941. The Dutch East Indies. Berkeley. B. Ter Haar. 1948. Adatlaw in Indonesia. New York. B.J.O Schrieke. 1955. Indonesian Sociological Studies. Jilid 1. The Hague/Bandung. C. Th. Van Deventer. 1899. Een Eereschuld De Gids 63. Clive Day. 1904. The Policy and Administration of the Dutch in Java. New York. D.W. van Welderen-Rengers. 1947. The Failure of a Liberal Colonial Policy: The Netherlands East Indies, 1816-1830. The Hague. E Verviers. De Nedelandsche Handelspolitiek tot aan de toepassing der Vrijheidsbeginselen. Leiden. E. de Waal. 1960. Nederlandsche-Indie in de Staten Generaal sedert de Grondwet van 1814. Gravenhage. H.T. Colenbrander. 1926. Koloniale Geschiedenis, De Oost sinds 1816. Gravenhage. I.I. Brugmans. 1961. Paardenkracht en mensenmacht: Sosiaal-economische Geschiedenis van Nederland, 1795-1940. Gravenhage. J.S. Furnivall. 1948. Colonial Policy and Practice. Cambridge. R. Kennedy. 1943. Acculturation and Administration in Indonesia. Dalam American Antropologist 45. New York. Sartono Kartodirdjo. 1999. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jilid ke-2. Jakarta: PT Gramedia. W.F. Wertheim. 1948. Nederlandsche Cultuurinvloeden in Indonesia. Dalam J.B. Bartstra & W. Banning (eds.) 1948. Nederland tussen de Natien. Jilid 2. Amsterdam. 18