PBB 5L v3 - Revisi Final - Protect [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan oleh Unit Penerbitan PKN STAN, Tangerang Selatan 2020 Dilarang memperbanyak isi buku ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit (Sesuai Pasal 2 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002) Sanksi Pelanggaran Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



PBB SEKTOR P5L



Adhipradana Prabu Swasito Dhian Adhetiya Safitra



Politeknik Keuangan Negara STAN



PBB SEKTOR P5L



Hak Cipta © Penulis



Editor Hanik Susilawati Muamarah Penulis Adhipradana Prabu Swasito, Dhian Adhetiya Safitra Penata Letak T. Widiasih Asmaningtyas Desain Sampul Irawan



Diterbitkan oleh Politeknik Keuangan Negara STAN Jl. Bintaro Utama Sektor V, Bintaro Jaya Tangerang Selatan, Banten, Indonesia 15222 Telp. 021 7361654-58 Ext.113 Fax. 021 7361653



Cetakan Perdana: Juli 2020



Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) PBB SEKTOR P5L Tangerang Selatan: Politeknik Keuangan Negara STAN, 2020 ISBN: 978-623-93618-5-3



Isi di luar tanggung jawab percetakan



KATA PENGANTAR



Segala puji hanya untuk Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan banyak kenikmatan kepada kita sehingga bahan ajar pendidikan dapat diselesaikan oleh Tim Penyusun di lingkungan Politeknik Keuangan Negara STAN. Bahan ajar pendidikan ini merupakan salah satu media yang dapat digunakan oleh mahasiswa dan dosen dalam kegiatan perkuliahan. Selain itu, bahan ajar ini merupakan hasil kerja keras dari Tim Penyusun yang terdiri atas dosen, praktisi, dan pegawai PKN STAN yang telah memberikan ilmu dan waktunya sehingga tersusunlah sumber belajar yang sangat kaya. Dengan demikian, saya mengimbau kepada seluruh sivitas akademika Politeknik Keuangan Negara STAN, khususnya mahasiswa, untuk memanfaatkan bahan ajar pendidikan ini sebaik mungkin. Selain sebagai sumber belajar yang dapat meningkatkan pengetahuan, inovasi, dan keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan studi di PKN STAN, bahan ajar ini juga menjadi bekal untuk mendukung kinerja pada saat Kalian memasuki lingkungan kerja. Ucapan terima kasih sekali lagi saya sampaikan kepada seluruh Tim Penyusun dan semua pihak yang membantu sehingga bahan ajar pendidikan ini dapat terealisasi penerbitannya. Semoga Allah selalu memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada kita agar kita dapat memberikan hal-hal yang positif dalam meningkatkan pengetahuan terkait pengelolaan keuangan negara.



Tangerang Selatan,



Mei 2020



Direktur,



Rahmadi Murwanto



Pajak Bumi dan Bangunan | iii



SEKAPUR SIRIH Penyusunan bahan ajar ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami ketentuan dan pengadministrasian Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Sektor Lainnya (disebut dengan PBB P5L) dengan menyeluruh. Bahan ajar ini menyajikan penjelasan dan contoh penerapan dari ketentuan yang saat ini berlaku serta contoh penghitungan PBB P5L. Bahan ajar ini juga menyajikan video pembelajaran yang dapat diakses melalui URL dengan cara memindai kode QR (QR Code) yang disediakan di setiap bab. Dengan adanya perubahan ketentuan yang cukup signifikan dalam penatausahaan PBB P5L mulai Tahun Pajak 2020, bahan ajar ini menjadi krusial dalam memperbarui pengetahuan mahasiswa di bidang PBB P5L. Kami berharap bahan ajar ini dapat menjadi pendukung dalam menyiapkan mahasiswa Politeknik Keuangan



Negara



STAN



yang



dapat



langsung



berperan



aktif



dalam



penatausahaan PBB P5L. Tentu saja, bahan ajar ini terbuka untuk kritik dan saran agar tujuan dari bahan ajar dapat tercapai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur, Ketua Jurusan Perpajakan, Ketua Program Diploma III PBB/Penilai, serta pihak-pihak lainnya yang telah berperan dalam penyelesaian bahan ajar ini. Selain itu, secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Hanik Susilawati Muamarah dan Bagus Suyanto atas saran dan masukan yang berharga selama proses penyusunan bahan ajar ini.



Tim Penulis Tangerang Selatan 2020



iv | Pajak Bumi dan Bangunan



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii SEKAPUR SIRIH................................................................................................ iv DAFTAR ISI ........................................................................................................ v BAB 1



PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. B. C. D.



BAB 2



Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan ................................................ 1 Objek Pajak .................................................................................... 3 Objek Pajak yang Dikelola Pemerintah Pusat ................................. 5 Subjek Pajak................................................................................... 5



PENDAFTARAN DAN PEMUTAKHIRAN ........................................... 7 A. Official Assessment System ........................................................... 7 B. Pendataan Objek PBB dan Subjek PBB ......................................... 8 C. Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak....................................................................... 13



BAB 3



PENGHITUNGAN PBB ..................................................................... 18 A. Dasar Pengenaan Pajak dan Dasar Penghitungan Pajak ........................................................... 18 B. Penghitungan PBB ....................................................................... 20 C. Tahun Pajak dan Saat yang Menentukan Terutangnya Pajak ................................................... 21 D. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pengadministrasi Objek Pajak ...................................................... 22



BAB 4



PENILAIAN PBB ............................................................................... 26 A. B. C. D. E.



BAB 5



Penilaian untuk Menentukan NJOP .............................................. 26 Pendekatan Data Pasar ................................................................ 27 Pendekatan Biaya ........................................................................ 29 Pendekatan Pendapatan .............................................................. 31 Penetapan NJOP oleh Direktur Jenderal Pajak ............................ 32



KETETAPAN PAJAK I: SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG DAN SURAT KETETAPAN PAJAK PBB .......................................... 34 A. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ........................................... 34 B. Surat Ketetapan Pajak .................................................................. 36 C. Penelitian PBB dan Pemeriksaan ................................................. 39



BAB 6



KETETAPAN PAJAK II: SURAT TAGIHAN PAJAK PBB DAN PEMBAYARAN ..................... 42



Pajak Bumi dan Bangunan | v



A. Surat Tagihan Pajak PBB ............................................................. 42 B. Pembayaran PBB Terutang .......................................................... 49 BAB 7



HAK WAJIB PAJAK ......................................................................... 52 A. B. C. D.



BAB 8



Pembatalan Penetapan Status Wajib Pajak .................................. 52 Keberatan PBB ............................................................................. 53 Pengurangan PBB ........................................................................ 54 Pengurangan Denda Administrasi ................................................ 56



PBB SEKTOR PERKEBUNAN ......................................................... 59 A. Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan ........................................... 59 B. Penetapan NJOP .......................................................................... 61 C. Penghitungan PBB Sektor Perkebunan ........................................ 62



BAB 9



PBB SEKTOR PERHUTANAN.......................................................... 69 A. Objek Pajak PBB Sektor Perhutanan ............................................ 69 B. Penetapan NJOP .......................................................................... 72 C. Penghitungan PBB Sektor Perhutanan ......................................... 74



BAB 10 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI ................................................................. 80 A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi................................................................... 80 B. Penetapan NJOP .......................................................................... 84 C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas .......................... 86 BAB 11 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI .......................................... 92 A. B. C. D.



Pengusahaan Panas Bumi ........................................................... 92 Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Pabum ........................... 93 Penetapan NJOP .......................................................................... 95 Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Pabum ........................ 97



BAB 12 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL ATAU BATUBARA......................................................... 101 A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara ................................................................ 101 B. Penetapan NJOP ........................................................................ 104 C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba .................... 109 BAB 13 PBB SEKTOR LAINNYA................................................................. 114 A. B. C. D.



Objek Pajak PBB Sektor Lainnya................................................ 114 PBB Sektor Lainnya – Perikanan Tangkap ................................. 115 PBB Sektor Lainnya – Pembudidayaan Ikan .............................. 118 PBB Sektor Lainnya – Jaringan Pipa dan Jaringan Kabel............................................................................ 118



vi | Pajak Bumi dan Bangunan



E. PBB Sektor Lainnya – Ruas Jalan Tol ........................................ 119 F. PBB Sektor Lainnya – Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan ......................................................................... 119 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 122 BIODATA PENULIS ........................................................................................ 125



Pajak Bumi dan Bangunan | vii



BAB 1 PENDAHULUAN



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami sejarah pemungutan PBB 2. Mahasiswa memahami objek PBB 3. Mahasiswa memahami subjek PBB A. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan 1.



Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Dunia



Pajak Bumi dan Bangunan, juga dikenal dengan pajak properti, merupakan salah satu pajak tertua di dunia. Di seluruh negara pada jaman kuno (ancient times) baik di negara Mesir, Cina, Babilonia, maupun Persia, pajak properti sederhana sudah digunakan oleh para penguasa. Pada masa tersebut, pajak properti digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan untuk kepentingan penguasa. Objek pajak properti pada masa tersebut adalah nilai tanah serta hasil dari pengembangan atas tanah. Kemudian sekitar tahun 200 hingga 300 sebelum Masehi, kerajaan Romawi juga sudah melakukan praktik pemungutan pajak properti. Para penduduk dari kerajaan Romawi diharuskan membayar pajak properti atas nilai tanah, baik yang digunakan untuk tempat tinggal, peternakan, pertanian, maupun untuk tujuan yang lain. Pada masa ini, tarif pajak yang berlaku sebesar 1% dari nilai properti. Namun tarif tersebut dapat bertambah tinggi pada masa perang atau ketika kerajaan mengalami krisis keuangan. Pada zaman pertengahan (medieaval age), kerajaan Inggris juga sudah mempraktikkan pajak atas tanah. Pajak atas tanah ini dikenakan bersamaan dengan poll taxes (pajak yang dipungut atas setiap orang dewasa, tanpa memperhatikan penghasilan). Di zaman tersebut, seluruh tanah merupakan milik dari Raja atau Tuan Tanah (landlord), dan “rakyat biasa” membayar pajak sebagai bentuk sewa atas tanah tersebut. Jika tanah yang disewa oleh “rakyat biasa” menghasilkan panen yang lebih banyak, maka pajak yang harus dibayar juga lebih besar.



Pajak Bumi dan Bangunan | 1



William the Conqueror mereformasi sistem pajak atas tanah di Inggris sehingga lebih menyerupai sistem perpajakan yang berlaku saat ini. Dia menginstruksikan para pejabat kota untuk membuat catatan kepemilikan tanah atau rumah di masing-masing kota. Properti di setiap bagian dari kota kemudian dinilai, dan nilai tersebut menjadi dasar untuk pengenaan pajak. Dengan sistem seperti itu, setiap kota memiliki catatan mengenai nilai masing-masing properti yang telah dinilai, dan besarnya pajak yang harus dibayar oleh masing-masing penduduk. Buku tersebut dikenal dengan nama Domesday Book dan kemudian disimpan hingga ratusan tahun. Hingga saat ini, laporan yang dihasilkan oleh para penilai properti di Inggris sering diistilahkan dengan istilah Domesday Book. Sementara itu di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian Boston, pajak atas properti dipungut untuk tujuan tertentu. Hasil dari pajak tersebut digunakan untuk kepentingan pendidikan religius bagi anak-anak. Pajak tersebut bersifat wajib dan praktik tersebut berlangsung hingga sekitar 100 tahun. Pada akhir tahun 1900, negara-negara bagian di Amerika Serikat mulai terjadi reformasi perpajakan properti. Pajak properti mulai dikhususkan hanya pajak atas kepemilikan rumah. Di masa tersebut, tarif pajak properti ditetapkan dengan tarif yang lebih rendah dari sebelumnya dan masing-masing negara bagian lebih menggencarkan pemungutan pajak penghasilan dan pajak penjualan. Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, kondisi perekonomian di Amerika tumbuh dengan cepat seiring dengan bertambahnya penghasilan masyarakat. Sejak saat itu, kontribusi pajak properti terhadap keseluruhan penerimaan pajak di negara Amerika Serikat semakin kecil jika dibandingkan dengan kontribusi penerimaan yang disumbangkan oleh Pajak Penghasilan. 2.



Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia



Di Indonesia, Pajak Bumi dan Bangunan sudah dikenal sejak zaman kerajaan. Pada zaman tersebut, rakyat membayar sebagian dari hasil pertanian kepada para penguasa. Penyerahan tersebut bersifat wajib sebagai bukti pengakuan atas kepemimpinan penguasa atas tanah yang digunakan oleh rakyat. Kerajaan Mataram, sebagai contoh, mengenakan pajak atas tanah yang didasarkan pada luasan tanah yang digunakan. Sedangkan di kerajaan Aceh tercatat sebuah pungutan dengan istilah wase, yang merupakan pungutan atas tanah ladang. Pada zaman penjajahan Belanda dan Inggris, pungutan Pajak Bumi dan Bangunan juga sudah dipraktikkan. Sir Stanford Raffles (berkebangsaan Inggris) memperkenalkan Land Rent, yang harus dibayar oleh para kepala desa kepada kerajaan Inggris karena dianggap sebagai penyewa tanah. Besarnya tarif Land Rent yang berlaku pada saat itu adalah sebesar 20% sampai 50% dari hasil produksi pertanian. Setelah masa kemerdekaan, Pajak Bumi dan Bangunan dikenal dengan nama Pajak Bumi, dan kemudian berganti lagi menjadi Pajak Pendapatan Tanah. Pada



2 | Pajak Bumi dan Bangunan



tahun 1959, nama tersebut berganti lagi menjadi Pajak Hasil Bumi dan dibentuklah Direktorat Pajak Hasil Bumi sebagai Lembaga yang mengelola pajak tersebut. Dengan penetapan ketentuan yang baru di tahun 1965, nama Pajak Hasil Bumi diganti menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) dan dikelola oleh Direktorat IPEDA. Objek IPEDA meliputi tanah pada sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Reformasi perpajakan yang dimulai pada tahun 1983 juga berimbas pada perubahan IPEDA menjadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). UU PBB dilandasi pemikiran bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik kepada orang atau badan yang memiliknya. Atas dasar tersebut, mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pajak. Seiring dengan terus bergulirnya reformasi serta sejalan dengan konsep penguatan otonomi daerah, sebagian dari pengelolaan PBB dialihkan dari Pemerintah Pusat c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Pemerintah Daerah. Dasar hukum yang mengatur pengalihan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pengalihan pengadministrasian tersebut meliputi PBB sektor pedesaan dan perkotaan (PBB P2) saja. Sedangkan, selain sektor pedesaan dan perkotaan masih dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP. Tujuan dari pengalihan PBB P2 ke Pemerintah Daerah antara lain: - Memperluas objek pajak daerah; - Menambah jenis pajak daerah; - Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah; dan - Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah. Menyesuaikan dengan tujuan dari bahan ajar ini, maka yang akan menjadi fokus pembahasan pada bahan ajar ini hanya PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya (PBB P5L) yang masih dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP.



B. Objek Pajak Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan. Kata “dan/atau” menunjukkan bahwa objek PBB dapat berupa bumi saja, bangunan saja, atau kombinasi dari bumi dan bangunan. Yang dimaksud dengan bumi menurut UU PBB adalah permukaan bumi (meliputi tanah, perairan pedalaman, serta laut wilayah Indonesia) dan tubuh Pajak Bumi dan Bangunan | 3



bumi (bagian bumi yang berada di bawah permukaan bumi). Sedangkan definisi bangunan menurut UU PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Definisi tersebut menetapkan bahwa bangunan yang tidak berada di daratan, misalnya kilang minyak lepas pantai, juga merupakan objek PBB. Lebih luas lagi, definisi atas bumi dan bangunan tersebut menyatakan bahwa seluruh permukaan (baik berupa daratan maupun perairan) serta bangunan yang melekat di atasnya, yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan objek PBB. Meskipun seluruh bumi dan bangunan merupakan objek PBB, terdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB tersebut adalah sebagai berikut. 1. Objek pajak yang digunakan hanya untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional. Agar dapat dikategorikan sebagai objek pajak yang tidak dikenakan PBB, objek pajak tersebut secara nyata tidak digunakan untuk mencari keuntungan. 2. Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya. Perlu diperhatikan bahwa objek pajak yang dimaksud pada poin ini tidak mengharuskan objek pajak tersebut tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Sehingga meskipun objek pajak dalam kategori ini diusahakan untuk mencari keuntungan, maka objek pajak tersebut tidak dikenakan PBB. 3. Objek pajak yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 4. Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas timbal balik. Maksud dari asas timbal balik adalah bahwa objek pajak ini tidak dikenakan PBB jika objek pajak serupa milik Indonesia di negara perwakilan diplomatik atau konsulat yang bersangkutan juga tidak dikenakan jenis pajak properti. 5. Objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang termasuk dalam kategori ini termaktub dalam Keputusan Menteri Keuangan No 1004/KMK.04/1985 tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Meskipun sudah cukup lama, peraturan tersebut masih berlaku hingga bahan ajar ini disusun. UU PBB juga mengatur bahwa objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan tidak termasuk objek pajak yang tidak dikenakan PBB. Namun, ketentuan pengenaan pajak untuk objek pajak tersebut berbeda dengan pengenaan pajak untuk objek PBB pada umumnya, dan UU PBB mengamanatkan agar ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan



4 | Pajak Bumi dan Bangunan



Pemerintah. Sejauh pengetahuan penyusun, hingga bahan ajar ini disusun belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hal tersebut.



C. Objek Pajak yang Dikelola Pemerintah Pusat Dengan berlakunya UU PDRD, maka objek PBB di Indonesia diadministrasikan oleh Pemerintah Daerah (PBB P2) dan Pemerintah Pusat c.q. DJP (PBB P5L). UU PDRD mendefinisikan bahwa objek PBB P2 adalah seluruh bumi dan/atau bangunan, kecuali bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan yang digunakan untuk kegiatan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Oleh sebab itu, objek PBB yang masih diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP adalah bumi dan/atau bangunan selain yang ditetapkan menjadi objek PBB Pemerintah Daerah berdasarkan UU PDRD. Objek PBB yang masih diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP yaitu objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, objek pajak PBB Sektor Lainnya. Objekobjek pajak PBB ini, yang sebelumnya lebih dikenal dengan objek PBB P3L, kini menurut para perumus peraturan di DJP disebut dengan objek PBB P5L. Pembahasan lebih detail mengenai objek PBB P5L ini akan mulai dibahas mulai Bab VIII.



D. Subjek Pajak Subjek pajak dalam UU PBB dapat berupa perorangan atau badan hukum. Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam UU PBB adalah pihak yang secara nyata: 1. 2. 3. 4. 5.



mempunyai suatu hak atas bumi; memperoleh manfaat atas bumi; memiliki bangunan; menguasai bangunan; dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.



Maksud dari pengaturan tersebut adalah setiap pihak yang memenuhi salah satu dari kriteria tersebut di atas merupakan subjek pajak. Jika subjek pajak atas suatu objek pajak belum dapat diketahui dengan pasti, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak yang memenuhi salah satu kriteria tersebut di atas. Pihak yang telah memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak yang diwajibkan membayar PBB disebut dengan Wajib Pajak. Maksud dari pengaturan ini adalah bahwa tidak semua subjek pajak merupakan Wajib Pajak. Misalnya jika suatu



Pajak Bumi dan Bangunan | 5



perusahaan yang menguasai tanah yang digunakan untuk pemakaman. Dalam hal ini, perusahaan tersebut adalah subjek pajak atas objek pajak tanah tersebut, namun bukan merupakan wajib pajak. RINGKASAN 1) PBB merupakan salah satu konsep pajak tertua di dunia. 2) Di Indonesia, PBB mengalami beberapa kali perubahan konsep, sebelum terakhir ditetapkan sebagai Pajak Bumi dan Bangunan. 3) Objek PBB P2 dikelola oleh Pemerintah Daerah berdasarkan UU PDRD dan PBB P5L dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. Direktorat Jenderal Pajak. 4) Objek PBB yaitu bumi dan/atau bangunan. 5) Subjek Pajak yaitu pihak yang memenuhi salah satu kriteria yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PBB. LATIHAN/PENUGASAN Latihan 1) Jelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai sejarah pengenaan PBB di Indonesia! 2) Jelaskan mengenai objek PBB, baik yang dikenakan PBB maupun yang tidak dikenakan PBB! 3) Sebutkan kriteria seseorang atau sebuah perusahaan dalam penentuan status subjek pajak PBB! Tugas Diskusi 1) PT A memiliki Izin Usaha Perkebunan seluas 10.000Ha. X, seorang warga di Kawasan tersebut menggunakan 10Ha dari lahan tersebut tanpa izin dari PT A. Siapakah subjek dari lahan seluas 10Ha yang dimanfaatkan oleh X? 2) Apakah Gedung Mari’e Muhammad di Jalan Gatot Subroto Kav 40-42 Jakarta yang merupakan gedung tempat Kantor Pusat DJP merupakan objek pajak? Jelaskan jawaban Anda!



6 | Pajak Bumi dan Bangunan



BAB 2 PENDAFTARAN DAN PEMUTAKHIRAN



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami proses penyampaian dan pengembalian SPOP/LSPOP 2. Mahasiswa memahami proses klarifikasi SPOP/LPSOP 3. Mahasiswa memahami proses pemberian, penyesuaian, dan penghapusan NOP Untuk kemudahan dalam memahami isi dari bahan ajar ini, mulai dari Bab 2 yang dimaksud dengan PBB adalah PBB yang dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP.



A. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang dianut dalam pengelolaan PBB di Indonesia yaitu official assessment system. Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang berada pada fiskus (pemerintah). Wajib pajak bersifat pasif dan tidak perlu melakukan penghitungan atas besarnya pajak yang harus dibayar. Berdasarkan sistem ini, besarnya pajak yang terutang atau utang pajak timbul setelah ada ketetapan dari fiskus. Dalam praktik pengelolaan PBB oleh DJP, maka pihak yang berperan di awal sistem pemungutan yaitu para pegawai pajak di Kantor Pelayanan Pajak yang ditetapkan sebagai pengelola PBB. Para fiskus inilah yang akan mengeluarkan ketetapan besarnya pajak yang terutang, baik dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB). Alur penatausahaan PBB oleh DJP secara garis besar dapat dilihat pada gambar 2.1. Perlu diperhatikan bahwa Gambar 2.1 tidak mewakili seluruh kemungkinan yang bisa terjadi dalam pengelolaan PBB, namun hanya mewakili proses penatausahaan yang umum terjadi. Informasi dalam Gambar 2.1 dapat digunakan untuk memahami proses penatausahaan PBB yang akan dijelaskan hingga Bab 7.



Pajak Bumi dan Bangunan | 7



Gambar 2.1



Siklus Penatausahaan PBB



B. Pendataan Objek PBB dan Subjek PBB Siklus pengelolaan PBB di DJP dimulai dengan kegiatan pendataan. Tujuan dari kegiatan pendataan yaitu untuk memperoleh, mengumpulkan, dan melengkapi data objek pajak dan subjek pajak/wajib pajak. Kegiatan pendataan tersebut terdiri dari kegiatan pendaftaran, pemutakhiran, dan pemetaan. Kegiatan pendaftaran diasosiasikan dengan kegiatan pendataan atas informasi yang belum terdapat dalam administrasi perpajakan di DJP, sedangkan kegiatan pemutakhiran diasosiasikan dengan kegiatan pendataan atas informasi yang sudah terdapat dalam administrasi perpajakan di DJP. Sementara itu, kegiatan pemetaan fokus untuk menghasilkan informasi objek pajak secara geografis. 1.



Penyampaian dan Pengembalian SPOP



Kegiatan pendataan dimulai dengan proses penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) oleh fiskus kepada subjek pajak atau wajib pajak. SPOP merupakan surat yang digunakan oleh subjek pajak atau wajib pajak untuk melaporkan informasi mengenai objek pajak. SPOP yang disampaikan kepada subjek pajak atau wajib pajak dilampiri dengan Lampiran SPOP (LSPOP) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP. LSPOP merupakan formulir untuk melaporkan data objek pajak secara lebih detail. Penyampaian SPOP dapat dilakukan secara langsung atau melalui media pengiriman lainnya. Mulai tahun pajak 2020, SPOP dan LSPOP (selanjutnya hanya akan disebut SPOP) disampaikan kepada subjek pajak atau wajib pajak secara elektronik melalui website DJP atau saluran lain yang akan ditetapkan oleh 8 | Pajak Bumi dan Bangunan



DJP. Dalam proses penyampaian SPOP/LSPOP tersebut, DJP c.q. KPP akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa telah dilakukan penyampaian formulir SPOP melalui surel (email). Kemudian subjek pajak atau wajib pajak dapat mengunduh formulir SPOP melalui saluran sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Gambar 2.2 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KANTOR WILAYAH DJP ….. KANTOR PELAYANAN PAJAK …..



SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN



TAHUN PAJAK



2 0



SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN, PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI, PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI, PERTAMBANGAN MINERAL ATAU BATUBARA, DAN SEKTOR LAINNYA PERHATIAN:



PEMBETULAN KE



1. BACALAH PETUNJUK PENGISIAN SEBELUM MELAKUKAN PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK (SPOP) DAN LAMPIRAN SPOP. 2. ISILAH DENGAN HURUF KAPITAL.



JENIS TRANSAKSI : 1. NOP



:



2. NOP ASAL



:



3. NPWP



:



1. PENDAFTARAN



.



.



.



.



.



.



.



.



.



.



.



.



.



.



-



(yang terdaftar pada KPP tempat Objek Pajak PBB terdaftar)



4. SEKTOR



:



5. JENIS / SUBSEKTOR



:



2. PEMUTAKHIRAN



.



1. PERKEBUNAN



-



2. PERHUTANAN



A. HUTAN ALAM B. HUTAN TANAMAN



3. PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI



A. ONSHORE



4. PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI A. ONSHORE



5. PERTAMBANGAN MINERAL ATAU BATUBARA



6. SEKTOR LAINNYA



A. ONSHORE



A. PERIKANAN TANGKAP



B. OFFSHORE



B. OFFSHORE



B. OFFSHORE



C. TUBUH BUMI



C. TUBUH BUMI



C. TUBUH BUMI



B. PEMBUDIDAYAAN IKAN C. JARINGAN PIPA D. JARINGAN KABEL E. RUAS JALAN TOL F. FASILITAS PENYIMPANAN DAN PENGOLAHAN



6. STATUS KEGIATAN



:



1. EKSPLORASI



2. EKSPLOITASI / OPERASI PRODUKSI



A. DATA LOKASI OBJEK PAJAK 1.



NAMA



:



2.



TITIK KOORDINAT



:



LU/LS*



,



,



,



,



LU/LS



,



,



LU/LS



,



,



,



,



BT



,



,



BT



,



,



BT



,



,



BT



*



*



3.



DESA/KELURAHAN



:



4.



KECAMATAN



:



5.



KABUPATEN/KOTA



:



6.



PROVINSI



:



1.



NAMA



:



2.



JENIS



:



3.



ALAMAT



LU/LS*



B. DATA SUBJEK PAJAK/WAJIB PAJAK



1. BADAN,



BENTUK BADAN HUKUM



2. ORANG PRIBADI a. JALAN



:



b. NOMOR



:



c. DESA/KELURAHAN



:



d. KECAMATAN



:



e. KABUPATEN/KOTA



:



f. PROVINSI



:



g. KODE POS



:



4.



EMAIL



:



5.



NOMOR TELEPON



:



6.



NOMOR FAKSIMILE



:



7.



NOMOR HANDPHONE



:



RT



RW



-



Formulir SPOP halaman 1



Pajak Bumi dan Bangunan | 9



Gambar 2.3 HALAMAN KE-2



C. DATA LUAS BUMI DAN LUAS BANGUNAN No



Luas



Pengisian luas merupakan hasil pembulatan ke bawah tanpa nilai desimal



1. BUMI



C.1



2. BANGUNAN



C.2



m² m²



D. DATA PENDAPATAN Rupiah



Pengisian Rupiah merupakan hasil pembulatan ke bawah tanpa nilai desimal



TOTAL PENDAPATAN



D



E. LAMPIRAN SEKTOR PERKEBUNAN



SEKTOR PERHUTANAN



SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI



FORMULIR L-1



:



lembar



FORMULIR L-2A



:



lembar



FORMULIR L-3A



:



lembar



FORMULIR L-7



:



lembar



FORMULIR L-2B



:



lembar



FORMULIR L-3B



:



lembar



DOKUMEN IUP-B / IUP / ITUBP / HGU



FORMULIR L-7



:



lembar



FORMULIR L-3C



:



lembar



LAPORAN PERKEMBANGAN USAHA



DOKUMEN IUPHHK / IUPHHBK / IUPHHK-RE / HAK PENGUSAHAAN / HAK PEMUNGUTAN / PENUGASAN



FORMULIR L-7



:



lembar



PETA TAHUN TANAM



RENCANA KERJA USAHA



DOKUMEN KONTRAK KERJA SAMA



SURAT PERNYATAAN



RENCANA KERJA TAHUNAN



PETA WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI



PETA KERJA



AUTHORIZATION FOR EXPENDITURE



SURAT PERNYATAAN



FINANCIAL QUARTERLY REPORT TRIWULAN IV DOKUMEN KONTRAK ATAU PERJANJIAN JUAL BELI GAS SURAT PERNYATAAN



SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI



SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL ATAU BATUBARA



SEKTOR LAINNYA



FORMULIR L-4A



:



lembar



FORMULIR L-5A



:



lembar



FORMULIR L-6A



:



lembar



FORMULIR L-4B



:



lembar



FORMULIR L-5B



:



lembar



FORMULIR L-6B



:



lembar



FORMULIR L-4C



:



lembar



FORMULIR L-5C



:



lembar



FORMULIR L-6C



:



lembar



FORMULIR L-7



:



lembar



FORMULIR L-7



:



lembar



FORMULIR L-6D



:



lembar



FORMULIR L-6E



:



lembar



:



lembar



DOKUMEN IZIN / KUASA PENGUSAHAAN / KONTRAK / PENUGASAN



DOKUMEN IUP / IUP-K / IPR / KONTRAK KARYA / PKP2B



PETA WILAYAH KERJA



RENCANA KERJA DAN ANGGARAN BIAYA



FORMULIR L-6F



RENCANA KERJA DAN ANGGARAN BIAYA



SURAT PERNYATAAN



DOKUMEN IZIN



SURAT PERNYATAAN



DOKUMEN PENDUKUNG ISIAN SPOP SURAT PERNYATAAN



(Isi dengan tanda silang pada kotak yang tersedia sesuai dengan dokumen yang dilampirkan disertai dengan jumlah lembar lampiran.)



F. PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa SPOP ini telah diisi dengan jelas, benar, dan lengkap, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.



1.



SUBJEK PAJAK/WAJIB PAJAK



2.



KUASA WAJIB PAJAK



5. TANDA TANGAN DAN CAP



3.



………………………………… (Tempat)



4. (Tanggal)



(Bulan)



(Tahun)



:



6.



NAMA LENGKAP



:



7.



JABATAN



:



-



Dalam hal ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, SPOP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus. Batas waktu pengembalian SPOP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak/Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.



-



Formulir SPOP halaman 2



Setelah diunduh, subjek pajak atau wajib pajak mengisi formulir SPOP tersebut sesuai dengan keadaan objek pajak yang ia kuasai/miliki. Formulir SPOP tersebut harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap. Berdasarkan UU PBB, jelas artinya



10 | Pajak Bumi dan Bangunan



subjek pajak atau wajib pajak mengisi SPOP sedemikian rupa sehingga data dalam SPOP tidak menimbulkan salah penafsiran yang dapat menyebabkan kerugian, baik bagi negara maupun bagi wajib pajak. Benar, berarti subjek pajak atau wajib pajak mengisi SPOP sesuai dengan keadaan objek pajak. Sementara itu, maksud dari lengkap tidak tercantum dalam memori penjelasan UU PBB. Namun, dari aturan turunan yang berlaku, lengkap artinya subjek pajak atau wajib pajak mengisi semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsurunsur lain yang harus diisi. Subjek pajak atau wajib pajak selain mengisi dengan jelas, benar, dan lengkap juga harus menandatangani SPOP dimaksud. Hal ini sangat krusial mengingat formulir SPOP yang tidak ditandatangani dianggap belum disampaikan. Dengan berubahnya cara pengisian SPOP menjadi pengisian secara elektronik, maka penandatangan SPOP juga dilakukan secara elektronik menggunakan kode verifikasi yang diberikan kepada subjek pajak atau wajib pajak melalui saluran yang telah ditetapkan. Setelah melakukan pengisian SPOP elektronik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, subjek pajak atau wajib pajak mengembalikan SPOP tersebut dengan cara mengunggah file SPOP melalui sarana yang telah ditetapkan. Jika subjek pajak atau wajib pajak merasa perlu untuk melakukan pembetulan terhadap file yang telah diunggah, maka subjek pajak atau wajib pajak cukup mengunggah ulang file pembetulan melalui saluran yang sama. Berdasarkan ketentuan, file SPOP (baik SPOP pertama maupun SPOP pembetulan) tersebut harus diunggah paling lama 30 hari setelah formulir SPOP elektronik diterima oleh wajib pajak. Berdasarkan ketentuan, subjek pajak atau wajib pajak dianggap telah menerima SPOP elektronik pada tanggal SPOP elektronik tersebut disampaikan. Terdapat tiga ketentuan mengenai tanggal yang diperlakukan sebagai tanggal SPOP diterima oleh subjek pajak atau wajib pajak. Pertama, tanggal diterimanya SPOP disamakan dengan tanggal saat objek pajak mulai terdaftar jika SPOP elektronik disampaikan dalam rangka kegiatan pendaftaran. Artinya, jika pada tahun sebelumnya objek pajak belum terdaftar dalam basis data perpajakan, maka subjek pajak atau wajib pajak dianggap telah menerima SPOP pada tanggal SPOP elektronik disampaikan melalui laman DJP atau saluran lain. Kedua, jika formulir SPOP elektronik disampaikan dalam rangka pemutakhiran, maka SPOP tersebut dianggap diterima oleh subjek pajak atau wajib pajak pada tanggal: a. 1 Februari tahun pajak (untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi); atau



Pajak Bumi dan Bangunan | 11



b. 31 Maret tahun pajak (untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya). Sehingga, subjek pajak atau wajib pajak harus mengembalikan formulir SPOP elektronik paling lambat pada tanggal: a. 2 atau 3 Maret tahun pajak (untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi); atau b. 30 April tahun pajak (untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya). Jika batas waktu maksimal pengembalian SPOP di atas tidak dapat dipenuhi oleh subjek pajak atau wajib pajak, maka subjek pajak atau wajib pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPP sebelum batas waktu pengembalian SPOP. Dengan penyampaian surat pemberitahuan tersebut, batas waktu maksimal pengembalian SPOP tertunda 14 hari. Meskipun ketentuan yang berlaku saat ini mengatur bahwa sejak tahun pajak 2020 formulir SPOP disampaikan secara elektronik, jika terjadi keadaan dimana penyampaian elektronik tidak dapat dilaksanakan, maka penyampaian formulir SPOP dapat dilakukan secara non elektronik (secara langsung atau melalui pos/jasa pengiriman). 2.



Surat Teguran



Dalam bagian sebelumnya dijelaskan bahwa subjek pajak atau wajib pajak harus mengembalikan SPOP sesuai dengan batas waktu tertentu. Jika subjek pajak atau wajib pajak tidak menepati hal tersebut, maka KPP menerbitkan surat teguran kepada subjek pajak atau wajib pajak paling lambat 5 hari kerja setelah batas waktu pengembalian SPOP. Konsekuensi dari penerbitan dan penyampaian surat teguran tersebut adalah kewajiban subjek pajak atau wajib pajak untuk segera mengembalikan SPOP yang sudah diisi maksimal 15 hari setelah tanggal terima atau tanggal bukti pengiriman surat teguran. Jika batas waktu 15 hari tersebut sudah lewat, dan subjek pajak atau wajib pajak masih belum mengembalikan SPOP, maka atas objek pajak tersebut dapat diusulkan untuk dilakukan Penelitian PBB atau Pemeriksaan PBB. 3.



Klarifikasi



Sesuai dengan Gambar 2.1, KPP melakukan penelitian terhadap SPOP yang disampaikan oleh subjek pajak atau wajib pajak. Jika dalam proses penelitian tersebut ditemukan adanya indikasi bahwa SPOP diisi secara tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, KPP dapat meminta klarifikasi atas hal tersebut kepada subjek pajak atau wajib pajak. Yang dimaksud dengan ketidaksesuaian pengisian SPOP yaitu jika subjek pajak atau wajib pajak tidak mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap. Selain itu, indikasi ketidaksesuaian pengisian SPOP dapat



12 | Pajak Bumi dan Bangunan



juga disebabkan karena KPP memiliki data pendukung yang menyatakan bahwa data objek pajak dalam SPOP tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya. Inti dari kegiatan klarifikasi yaitu KPP meminta tanggapan dari subjek pajak atau wajib pajak mengenai indikasi ketidaksesuaian pengisian SPOP. Dalam prosedur permintaan klarifikasi, KPP menyampaikan surat kepada subjek pajak atau wajib pajak. Namun, jika diperlukan, kegiatan klarifikasi dapat dilanjutkan ke tahap peninjauan ke lokasi objek pajak. Subjek pajak atau wajib pajak memiliki pilihan dalam menyikapi permintaan klarifikasi. Pertama, subjek pajak atau wajib pajak menanggapi surat permintaan klarifikasi kemudian membetulkan SPOP sesuai dengan data pada klarifikasi tersebut. Kedua, subjek pajak atau wajib pajak menanggapi surat permintaan klarifikasi, namun membetulkan SPOP dengan tidak mengikuti data pada surat permintaan klarifikasi. Ketiga, subjek pajak atau wajib pajak menanggapi surat permintaan klarifikasi, namun subjek pajak atau wajib pajak tidak membetulkan SPOP. Keempat, subjek pajak atau wajib pajak tidak menanggapi surat permintaan klarifikasi. Jika subjek pajak atau wajib pajak memilih piihan kedua sampai keempat, maka hasil dari pelaksanaan klarifikasi digunakan sebagai bahan usulan untuk kegiatan penelitian PBB atau sebagai bahan analisis risiko untuk usulan pemeriksaan. Jika wajib pajak memilih untuk melakukan pembetulan SPOP, maka subjek pajak atau wajib pajak harus menyampaikan SPOP pembetulan paling lambat 14 hari setelah batas waktu maksimal pengembalian SPOP. Namun, jika DJP telah menerbitkan surat teguran atas keterlambatan pengembalian SPOP, maka subjek pajak atau wajib pajak harus menyampaikan SPOP pembetulan paling lambat 14 hari setelah tanggal pengembalian SPOP. Wajib pajak yang tidak mematuhi ketentuan mengenai pengembalian SPOP terancam hukuman pidana. Jika wajib pajak karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau menyampaikan SPOP yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga menimbulkan kerugian negara, wajib pajak diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda maksimal sebesar 2 kali pajak yang terutang. Yang dimaksud dengan kealpaan wajib pajak yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, dan kekuranghati-hatian.



C. Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak 1.



Pemberian Nomor Objek Pajak



Nomor Objek Pajak (NOP) digunakan sebagai identitas setiap objek pajak dalam kegiatan administrasi PBB. NOP dicantumkan dalam ketetapan hukum berupa Pajak Bumi dan Bangunan | 13



Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). NOP terdiri atas 18 angka yang disusun sedemikian rupa agar dapat mewakili informasi mengenai objek pajak. Informasi yang tersedia dalam NOP antara lain meliputi lokasi objek pajak (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan), KPP pengadministrasi objek pajak, serta jenis objek pajak (sektor objek pajak). Informasi yang tercantum dalam 18 angka NOP dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Kode lokasi (angka ke-1 sampai dengan angka ke-7) merupakan kode yang ditentukan berdasarkan basis data yang dikelola oleh DJP. Jika suatu objek pajak memiliki luas wilayah lintas provinsi (berada di lebih dari 1 provinsi), maka objek pajak tersebut akan diberikan NOP untuk masing-masing provinsi. Sebagai contoh, jika sebuah objek pajak PBB Sektor Perkebunan berada di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka objek pajak yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara memiliki NOP dengan kode Provinsi Sumatera Utara dan objek pajak yang berada di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki NOP dengan kode Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gambar 2.4



Struktur NOP



Gambar 2.5



Struktur NOP – detail per sektor



14 | Pajak Bumi dan Bangunan



Selain itu, jika suatu objek pajak berada pada lebih dari 1 kabupaten/kota, maka NOP juga diberikan untuk masing-masing objek pajak di kabupaten/kota. Contohnya, jika sebuah objek pajak PBB Sektor Perkebunan berada di Provinsi Sumatera Utara dan terletak di dua kabupaten (misalnya Kabupaten A dan Kabupaten B), maka atas objek pajak tersebut akan diberikan dua NOP. NOP tersebut diberikan untuk objek pajak yang berada di wilayah Kabupaten A dan objek pajak yang berada di wilayah Kabupaten B. Lebih lanjut lagi, ketentuan yang berlaku saat ini juga mengatur bahwa jika luasan suatu objek pajak berada pada lebih dari 1 kecamatan, maka penomoran kode kecamatan pada NOP menggunakan kecamatan yang wilayahnya meliputi areal terluas objek pajak. Angka ke-8 sampai angka ke-10 diisi dengan kode KPP yang mengadministrasikan objek pajak. Sedangkan angka ke-11 sampai angka ke-13 merepresentasikan jenis objek pajak PBB. Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.5, jenis objek pajak PBB pada NOP diisi dengan menggunakan kode subsektor, kode jenis bumi, dan kode rincian. Angka ke-14 sampai angka ke-17 merupakan nomor urut yang dimulai dari “0001” sampai dengan “9999”. Nomor ini diberikan secara urut untuk objek pada subsektor yang sama (angka ke-11) di KPP yang sama (angka ke-8 sampai angka ke-10). NOP diberikan kepada setiap objek pajak dengan memperhatikan jenis bumi yang menjadi objek pajak. Jika kita kembali pada definisi Bumi pada UU PBB, maka Bumi meliputi tanah/permukaan bumi (onshore), perairan (offshore), dan tubuh bumi. Sehingga, untuk masing-masing jenis bumi tersebut diberikan NOP tersendiri. Sebagai contoh, PBB Sektor Perkebunan hanya meliputi satu jenis Bumi saja, yaitu permukaan bumi (onshore). Maka jika objek PBB Sektor Perkebunan tersebut hanya terletak di 1 kabupaten saja, atas objek pajak tersebut hanya diberikan 1 NOP saja. Lain halnya untuk sebuah objek PBB Pertambangan Minerba yang hanya terletak di darat dan di 1 kabupaten saja. Maka, atas objek pajak tersebut diberikan NOP untuk objek pajak di permukaan bumi (onshore), dan tubuh bumi. Terdapat ketentuan khusus yang tidak mengikuti ketentuan mengenai pemberian NOP diatas. Ketentuan khusus tersebut yaitu: a. Pemberian kode wilayah provinsi dan kode kabupaten “00” untuk objek pajak offshore dan tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi b. Pemberian kode wilayah provinsi dan kode kabupaten “00” untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya c. Pemberian kode kecamatan “00” untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, serta PBB Sektor Lainnya



Pajak Bumi dan Bangunan | 15



Contoh: 1) WP A memanfaatkan objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Objek pajak pada permukaan bumi onshore (tanah, kantor manajemen, dan tempat penyimpanan minyak) terletak di Kabupaten Sambas. Selain itu WP A juga juga memiliki kilang lepas pantai untuk mengambil minyak bumi dari tubuh bumi. Maka, atas objek pajak yang dimanfaatkan oleh WP A diberikan 3 NOP, yaitu: - objek di permukaan bumi onshore → 61.01.000.999.110.0001.3 - objek berupa kilang minyak lepas pantai → 00.00.000.081.130.0001.3 - objek berupa tubuh bumi → 00.00.000.081.120.0002.3 2) Terdapat 2 objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral Logam di Kabupaten Sambas. NOP yang diberikan atas 2 objek pajak tersebut yaitu: - objek pertama (permukaan bumi) → 61.01.000.999.111.0001.5 - objek pertama (tubuh bumi) → 61.01.000.999.121.0002.5 - objek kedua (permukaan bumi) → 61.01.000.999.111.0003.5 - objek kedua (tubuh bumi) → 61.01.000.999.121.0004.5 2.



Penyesuaian dan Penghapusan Nomor Objek Pajak



NOP dapat disesuaikan oleh DJP jika terjadi beberapa sebab. Pertama, DJP menyesuaikan NOP jika terdapat mutasi (perpindahan) kepemilikan atau kepenguasaan suatu objek pajak PBB kepada subjek pajak yang baru. Selain itu DJP juga melakukan penyesuaian NOP jika terjadi pembentukan atau penyesuaian daerah pemerintahan. Pembentukan atau penyesuaian daerah pemerintahan dapat berupa pemekaran daerah atau penggabungan daerah dalam satuan wilayah administratif tertentu sehingga menyebabkan perubahan kode wilayah yang terdapat dalam NOP. Yang terakhir, DJP menyesuaikan NOP yang diberikan untuk objek pajak PBB jika terdapat perubahan KPP yang mengadministrasikan objek pajak PBB. Perubahan KPP tersebut dapat berupa pemecahan KPP, penggabungan KPP, perubahan wilayah kerja KPP, atau perubahan kode KPP. Selain itu, DJP juga dapat menghapus NOP atas suatu objek pajak PBB jika objek tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagai objek pajak PBB. Misalnya, sebuah objek pajak PBB Sektor Perkebunan dihapuskan karena atas objek pajak PBB tersebut sudah tidak diberikan Izin Usaha Perkebunan dan objek pajak PBB tersebut sudah beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk. DJP melakukan penghapusan NOP melalui proses penonaktifan NOP dalam basis data PBB. RINGKASAN 1) Sistem pemungutan PBB di Indonesia menggunakan official assessment system.



16 | Pajak Bumi dan Bangunan



2) Siklus penatausahaan PBB diawali dengan kegiatan pendaftaran dan pemutakhiran melalui kegiatan penyampaian SPOP. 3) Sejak tahun pajak 2020, default penyampaian dan pengembalian SPOP dilakukan secara elektronik. 4) Subjek pajak atau wajib pajak harus mengembalikan SPOP sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. 5) Nomor Objek Pajak diberikan kepada setiap objek pajak PBB sebagai sarana dalam mengidentifikasi objek pajak PBB. 6) Dalam beberapa hal tertentu, NOP yang diberikan kepada objek pajak dapat mengalami penyesuaian atau penghapusan.



LATIHAN/PENUGASAN Latihan 1. Gambarkan timeline penyampaian dan pengembalian SPOP secara elektronik dengan lengkap! 2. Suatu objek pajak berupa pertambangan minyak bumi berada di Provinsi A. Izin untuk eksploitasi tubuh bumi di bawahnya berada pada Kabupaten AA, Kabupaten AB, dan Kabupaten AC. Ketiga Kabupaten tersebut berada di Provinsi A. Jika permukaan bumi yang sudah dikuasai dan dimanfaatkan oleh wajib pajak berada di kabupaten AA dan kabupaten AB, berapa jumlah NOP yang diberikan terkait dengan objek pajak berupa pertambangan minyak bumi tersebut? Tugas Diskusi Mengapa tanggal diterimanya SPOP elektronik untuk kegiatan pemutakhiran dibedakan menjadi tanggal 1 Februari dan 31 Maret tahun pajak!



Pajak Bumi dan Bangunan | 17



BAB 3 PENGHITUNGAN PBB



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan pengertian dari NJOP, NJOPTKP, dan NJKP. 2. Mahasiswa memahami pengertian tahun pajak, saat terutangnya pajak, dan tempat terutangnya pajak. 3. Mahasiswa memahami proses penghitungan PBB.



A. Dasar Pengenaan Pajak dan Dasar Penghitungan Pajak Proses pengenaan pajak diawali dengan identifikasi objek pajak. Fiskus harus terlebih dahulu memastikan bahwa yang akan dikenakan pajak secara ketentuan merupakan objek pajak. Baik itu berupa penghasilan (PPh), kegiatan penyerahan barang kena pajak atau pemanfaatan jasa kena pajak (PPN), atau bumi dan/atau bangunan (PBB). Jika objek pajak sudah dapat diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah penentuan besarnya dasar pengenaan pajak (DPP). DPP inilah yang umumnya akan dikalikan dengan tarif untuk menghasilkan besarnya pajak terutang. Dasar pengenaan pajak dalam menghitung PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Definisi NJOP dalam Pasal 1 UU PBB adalah “Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti”. Dari definisi tersebut tersirat bahwa NJOP didapat dari harga rata-rata atau melalui proses penilaian. Perlu kita perhatikan pula bahwa objek PBB terdiri dari bumi dan/atau bangunan. Oleh karena itu, terdapat NJOP untuk bumi (NJOP Bumi) dan/atau NJOP untuk bangunan (NJOP Bangunan). Jika dalam suatu objek pajak PBB terdapat objek pajak berupa bumi dan juga bangunan, maka NJOP dari objek tersebut merupakan jumlah dari NJOP Bumi dan NJOP Bangunan. Dalam proses penghitungan PBB terutang, NJOP tidak serta merta langsung dikalikan dengan tarif. Untuk menjunjung asas keadilan, PBB juga mengenal batas



18 | Pajak Bumi dan Bangunan



bawah pengenaan pajak sebagaimana dalam penghitungan PPh. Dalam proses penghitungan PPh dikenal istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai batas bawah pengenaan pajak, sedangkan dalam proses penghitungan PBB, batas bawah pengenaan pajak tersebut dikenal dengan istilah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). NJOPTKP merupakan batas bawah NJOP yang tidak dikenakan PBB. NJOPTKP diberikan untuk setiap wajib pajak. Artinya, jika wajib pajak memiliki lebih dari satu objek pajak PBB, maka NJOPTKP hanya diberikan kepada salah satu objek pajak saja. Dalam memori penjelasan UU PBB disebutkan bahwa jika wajib pajak memiliki lebih dari satu objek pajak PBB, NJOPTKP digunakan dalam penghitungan PBB terutang untuk objek pajak yang nilainya terbesar. Besar NJOPTKP yang diatur dalam UU PBB yaitu sebesar Rp8.000.000,00 untuk setiap wajb pajak. Namun besaran NJOPTKP tersebut masih dapat disesuaikan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, moneter serta kenaikan harga objek pajak secara umum. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, besarnya NJOPTKP untuk PBB Sektor P5L ditetapkan sebesar Rp12.000.000,00 bagi setiap wajib pajak. Besar NJOP dikurangi dengan NJOPTKP sering dikenal dengan istilah NJOP untuk Penghitungan Pajak. Gambar 3.1



Persentase NJKP



Selain istilah dasar pengenaan pajak, pengadministrasian PBB juga mengenal istilah dasar penghitungan pajak. Dasar penghitungan PBB merupakan persentase tertentu dari NJOP, yang disebut dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). UU PBB mengatur bahwa besarnya persentase NJKP minimal sebesar 20% dan maksimal sebesar 100%. Persentase tersebut masih bisa berubah menggunakan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi perekonomian nasional. Ketentuan mengenai hal tersebut yang berlaku saat ini



Pajak Bumi dan Bangunan | 19



yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan. Pengaturan dalam ketentuan tersebut dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.1. NJKP inilah yang akan kemudian dikalikan dengan tarif. Tarif dalam penghitungan PBB yaitu tarif tunggal, ditetapkan sebesar 0,5%.



B. Penghitungan PBB Dengan menggunakan variabel-variabel yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, maka proses penghitungan PBB dapat diilustrasikan menggunakan Gambar 3.2. Dalam Gambar 3.2, terlihat bahwa proses penghitungan PBB diawali dengan proses penilaian NJOP Bumi dan/atau NJOP Bangunan. Untuk memudahkan, penjumlahan NJOP Bumi dan NJOP Bangunan ini akan kita sebut cukup dengan NJOP. Kemudian NJOP ini dikurangi dengan NJOPTKP untuk mendapatkan NJOP untuk Penghitungan Pajak. Untuk mendapatkan NJKP, kita identifikasi terlebih dahulu besarnya persentase NJKP untuk objek pajak PBB yang kita nilai. Kemudian untuk mendapatkan besarnya PBB terutang, NJKP tersebut dikali dengan tarif tunggal sebesar 0,5%. Gambar 3.2



Alur Proses Penghitungan PBB Terutang



Mengacu pada pembahasan pada Bab 2, NOP diberikan kepada setiap objek pajak dengan memperhatikan jenis bumi yang menjadi objek pajak. Atas setiap NOP, pegawai pajak menghitung besarnya PBB terutang. Sebagai contoh, jika objek PBB Sektor Perkebunan terletak di 2 kabupaten, maka atas objek pajak tersebut diberikan NOP untuk masing-masing kabupaten. PBB terutang atas objek PBB Sektor Perkebunan tersebut dihitung untuk masing-masing NOP. Demikian halnya untuk sebuah objek PBB Sektor Pertambangan Migas yang kawasan pertambangannya meliputi onshore (hanya di 1 kabupaten) dan offshore. PBB



20 | Pajak Bumi dan Bangunan



terutang atas objek PBB Sektor Perkebunan tersebut dihitung untuk masingmasing NOP (onshore, offshore, dan tubuh bumi) Contoh Kasus: PT Sawitaku adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan kebun sawit dan telah diberikan Izin Usaha Perkebunan. Saat ini perusahaan tersebut mengembangkan kebun sawit di salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. PT Sawitaku memiki lahan perkebunan seluas 200Ha, dengan luas bangunan pabrik di dalamnya seluas 1,5Ha. Berdasarkan penilaian oleh penilai DJP, NJOP Bumi dan NJOP Bangunan dari objek PBB PT Sawitaku yaitu sebesar Rp1.600.000/m² dan Rp3.100.000/m². Berapa PBB Terutang atas objek tersebut? Jawab: ① Bumi Bangunan



NJOP per m² Luas (m²) 1.600.000 2.000.000 3.100.000 15.000







NJOP Total NJOPTKP







%NJKP NJKP







NJKP : Rp1.298.595.200.000 % Tarif : 0,5% PBB Terutang : Rp6.492.976.000



NJOP Total (Rp) 3.200.000.000.000 46.500.000.000 + 3.246.500.000.000



: Rp3.246.500.000.000 : Rp12.000.000 Rp3.246.488.000.000



: 40% : Rp1.298.595.200.000



C. Tahun Pajak dan Saat yang Menentukan Terutangnya Pajak Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 s.t.d.d UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) yaitu jangka waktu satu tahun kalender (atau disebut dengan satu tahun takwim) dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Namun, dalam UU KUP, wajib pajak dapat menggunakan konsep “tahun pajak” yang berbeda dengan satu tahun kalender jika wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Misalnya, jika suatu perusahaan tambang pembukuannya dimulai pada tanggal 1 Juli dan berakhir pada tanggal 30 Juni, maka tahun pajaknya adalah sesuai dengan tahun buku. Sementara itu, UU PBB mengatur bahwa konsep “tahun pajak” dalam pengadministrasian PBB adalah jangka waktu satu tahun kalender dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember, tanpa ada klausul pengecualian.



Pajak Bumi dan Bangunan | 21



Sehingga, apabila suatu perusahaan tambang menggunakan tahun pembukuan sebagaimana pada contoh sebelumnya, maka jangka waktu tahun pajak dalam rangka pengadministrasian PBB tetap dimulai dari tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember. Untuk memudahkan pembahasan, maka istilah “Tahun Pajak” dalam bahan ajar ini mengacu pada definisi dalam UU PBB. Selama rentang tahun pajak tersebut, tanggal yang menentukan besarnya PBB yang terutang yaitu pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Artinya, besarnya PBB terutang dihitung menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Sebagai contoh, jika terdapat sebuah objek pajak berupa pabrik pengolahan kelapa sawit yang terbakar habis dan runtuh pada tanggal 10 Januari tahun pajak. Maka, besarnya pajak yang terutang tetap dihitung berdasarkan kondisi pabrik pada tanggal 1 Januari. Sebaliknya, jika terdapat sebuah lahan perkebunan kelapa sawit yang Izin Usaha Perkebunan-nya baru diberikan kepada PT A pada tanggal 5 Januari tahun pajak, maka atas objek pajak tersebut dikenakan PBB kepada PT A pada tahun pajak berikutnya. Gambar 3.3



Saat yang menentukan besarnya PBB terutang



D. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pengadministrasi Objek Pajak Dalam pengadministrasian wajib pajak, objek pajak PBB dikategorikan sebagai tempat kegiatan usaha yang dapat diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang. NPWP Cabang digunakan oleh wajib pajak sebagai identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan atas masing-masing objek pajak PBB. NPWP Cabang tersebut diberikan secara jabatan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat objek pajak PBB diadministrasikan. KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan (KPP Pengadministrasi) umumnya ditentukan berdasarkan lokasi objek pajak PBB berada. Untuk PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan, KPP Pengadministrasi yaitu KPP yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak PBB. Kedua sektor ini relatif mudah untuk ditentukan KPP Pengadministrasi-nya karena jenis bumi (sebagaimana diidentifikasikan dalam NOP) untuk kedua sektor ini hanya berupa permukaan bumi saja (lihat pembahasan pada Bab 2). Jika dalam 22 | Pajak Bumi dan Bangunan



satu kabupaten/kota terdapat dua KPP yang wilayah kerjanya meliputi suatu objek pajak PBB, maka Direktur Jenderal Pajak menentukan salah satu dari dua KPP tersebut untuk menjadi KPP Pengadministrasi. Penentuan KPP Pengadministrasi untuk selain PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan memperhatikan jenis bumi dari suatu objek pajak PBB. Penunjukan KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi onshore pada PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (PBB Sektor Pertambangan Migas) menggunakan ketentuan yang sama dengan ketentuan yang mengatur KPP Pengadministrasi pada PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan, yaitu berdasarkan letak objek pajak. Sedangkan KPP Pengadministrasi objek pajak PBB berupa permukaan bumi offshore dan tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Migas adalah KPP Minyak dan Gas Bumi. KPP Minyak dan Gas Bumi merupakan KPP di lingkungan Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP) Jakarta Khusus, yang khusus menangani wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi. PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi (PBB Sektor Pertambangan Pabum) dan PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara (PBB Sektor Pertambangan Minerba) memiliki ketentuan yang identik mengenai penunjukkan KPP Pengadministrasi. Terdapat 3 jenis bumi dalam 2 sektor ini, permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan tubuh bumi. Ketentuan untuk masing-masing jenis bumi yaitu sebagai berikut: a. KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi onshore serta tubuh bumi yang berada di bawahnya menggunakan ketentuan yang sama dengan ketentuan yang mengatur KPP Pengadministrasi PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan. b. KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi offshore yang terintegrasi dengan permukaan bumi onshore serta tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi offshore juga menggunakan ketentuan yang sama dengan ketentuan yang mengatur KPP Pengadministrasi PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan. c. KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi offshore yang tidak terintegrasi dengan permukaan bumi onshore serta tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi offshore ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan yang mengatur mengenai KPP Pengadministrasi objek pajak PBB Sektor Lainnya agak berbeda dengan pembahasan sebelumnya karena seluruh objek pajak PBB Sektor Lainnya berada di permukaan bumi offshore. KPP Pengadministrasi tidak dapat ditentukan berdasarkan lokasi objek pajak PBB berada. Objek pajak PBB Sektor Lainnya merupakan perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap, pembudidayaan ikan, jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, serta fasilitas penyimpanan dan pengolahan.



Pajak Bumi dan Bangunan | 23



Gambar 3.4



KPP Pengadministrasi Objek Pajak PBB P5L



KPP Pengadministrasi atas perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, serta fasilitas penyimpanan dan pengolahan adalah KPP Minyak dan Gas Bumi. Sementara itu, KPP Pengadministrasi atas perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan adalah KPP tempat terdaftarnya wajib pajak yang menguasai/memanfaatkan objek pajak PBB tersebut. Namun, jika KPP tempat terdaftarnya wajib pajak bukan berstatus KPP Pratama, maka KPP Pengadministrasi-nya adalah KPP Minyak dan Gas Bumi.



RINGKASAN 1) Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak. 2) Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak.



24 | Pajak Bumi dan Bangunan



3) NJOPTKP yang berlaku saat ini sebesar Rp12.000.000, dan diberikan untuk setiap wajib pajak. 4) Tahun Pajak dalam pengadministrasian PBB yaitu mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. 5) KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan umumnya ditentukan berdasarkan lokasi objek pajak PBB berada.



LATIHAN/PENUGASAN Latihan PT King Gas n Oil memanfaatkan suatu objek pajak pertambangan migas di Provinsi Kalimantan Timur. Luas Wilayah Kerja (tubuh bumi) yang dimanfaatkan yaitu 300.000m². Sementara itu, luas permukaan onshore (hanya berada pada 1 kabupaten) yang telah dikuasai seluas 184.900m² dan luas bangunan diatasnya seluas 13.800m². Berdasarkan penilaian oleh Penilai DJP, NJOP Bumi berupa tubuh bumi, NJOP Bumi berupa permukaan bumi onshore dan NJOP bangunan dari objek PBB PT King Gas n Oil secara berturut-turut yaitu sebesar Rp 25.600/m², Rp 7.900/m², dan Rp595.000/m². Berapa PBB terutang atas objek tersebut?



Pajak Bumi dan Bangunan | 25



BAB 4 PENILAIAN PBB



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami pengertian Penilaian PBB 2. Mahasiswa memahami pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam Penilaian PBB 3. Mahasiswa memahami cara penghitungan NJOP menggunakan masingmasing pendekatan



A. Penilaian untuk Menentukan NJOP Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 3, proses penghitungan PBB terutang diawali dengan penentuan besarnya dasar pengenaan pajak, yaitu NJOP. NJOP ditentukan dengan merata-ratakan harga transaksi dari jual beli yang terjadi secara wajar.1 Jika tidak ditemukan adanya transaksi jual beli, maka NJOP dapat ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau dengan menghitung biaya yang dikeluarkan, atau dengan berdasarkan pada hasil produksi objek pajak PBB. Tiga alternatif yang dapat digunakan dalam penentuan NJOP ini merupakan pendekatan yang digunakan dalam Penilaian PBB. Penilaian PBB adalah kegiatan untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan PBB P5L. Penilaian PBB dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan data pasar, pendekatan biaya, maupun pendekatan pendapatan. Penilaian PBB dilakukan oleh pegawai DJP yang menjabat sebagai Fungsional Penilai PBB atau oleh petugas penilai. Petugas penilai yaitu pegawai DJP yang telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan kegiatan Penilaian PBB. Untuk memudahkan pembahasan dalam bahan ajar ini, Fungsional Penilai PBB maupun petugas penilai cukup disebut dengan Penilai. Penilaian PBB dilakukan terhadap objek pajak PBB berdasarkan SPOP/LSPOP yang telah disampaikan oleh subjek pajak atau wajib pajak. SPOP/LSPOP yang disampaikan tersebut harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap, serta telah 1



Untuk mendapatkan pemahaman mengenai istilah “wajar” lihat Supriyanto (2017, hal.14-15)



26 | Pajak Bumi dan Bangunan



ditandatangani. Penilaian PBB, selain dilakukan berdasarkan SPOP/LSPOP dalam rangka penentuan NJOP untuk penetapan PBB, juga dapat dilakukan dalam rangka penyelesaian keberatan, pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar, pemeriksaan PBB, penelitian PBB, atau penggalian potensi pajak. Penilaian PBB dapat dilakukan dengan peninjauan ke objek pajak PBB (disebut juga dengan penilaian lapangan) atau tanpa peninjauan (disebut juga dengan penilaian kantor). Penilaian lapangan dapat dilakukan terhadap objek pajak yang dalam 2 tahun terakhir belum dilakukan penilaian lapangan atau yang diindikasikan memiliki kenaikan nilai atau luas yang signifikan. Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PMK 186 Tahun 2019) pada tanggal 1 Januari 2020 mengubah hasil tahapan-tahapan dalam Penilaian PBB. Sebelum berlakunya PMK 186 Tahun 2019, Penilaian PBB harus melewati tahapan penentuan nilai bumi/m2 dan nilai bangunan/m2. Nilai bumi/m2 dan nilai bangunan/m2 tersebut kemudian dikonversikan ke dalam klasifikasi NJOP untuk dapat ditetapkan menjadi NJOP Bumi/m2 dan NJOP Bangunan/m2. Kemudian, NJOP Bumi dan NJOP Bangunan diperoleh melalui perkalian antara NJOP/m2 dengan luas objek pajak PBB. Untuk menciptakan penghitungan PBB dan regulasi yang lebih sederhana, PMK 186 Tahun 2019 meniadakan tahapan klasifikasi nilai menjadi NJOP. Sehingga, keluaran (output) dari Penilaian PBB langsung berupa NJOP atau NJOP/m2. Perubahan tahapan proses Penilaian PBB dapat dilihat di Gambar 4.1. Gambar 4.1



Penilaian PBB



B. Pendekatan Data Pasar Pendekatan data pasar adalah pendekatan penilaian dengan menggunakan data transaksi atau penawaran atas objek yang sebanding dengan objek pajak PBB yang dinilai. Data tersebut digunakan oleh Penilai untuk melakukan perbandingan



Pajak Bumi dan Bangunan | 27



dan penyesuaian nilai. Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Penilai dalam Penilaian PBB menggunakan pendekatan data pasar yaitu: 1. Penilai mengumpulkan data objek pembanding (baik berupa data transaksi maupun data penawaran. Penilai menggunakan setidak-tidaknya tiga data objek pembanding. Untuk dapat dibandingkan, objek pembanding sebaiknya objek pajak yang: a. terkini (baru saja terjadi transaksi atau penawaran); b. lokasinya berdekatan dengan lokasi objek pajak; c. transaksi atau penawarannya terjadi secara wajar. 2. Penilai melakukan penyesuaian nilai antara objek pembanding dengan objek pajak PBB dengan memperhitungkan faktor-faktor pembanding yang setidaktidaknya meliputi: a. lokasi; b. keadaan fisik; c. jenis penggunaan; dan d. luas 3. Penilai menghitung NJOP dengan menghitung nilai rata-rata dari nilai objek pembanding yang telah disesuaikan. Penilai menggunakan pendekatan data pasar untuk menilai objek pajak PBB berupa permukaan bumi berupa tanah (lihat definisi Bumi pada Bab 1). Objek pajak PBB tersebut meliputi hampir seluruh permukaan bumi berupa tanah yang terdapat pada PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek pajak PBB berupa permukaan tanah dinilai dengan menggunakan pendekatan data pasar. Terdapat pengecualian bagi permukaan tanah pada areal produktif perhutanan dan areal tidak produktif perhutanan. Lihat penjelasan pada Bab 9 untuk pembahasan yang lebih menyeluruh. Contoh: Dalam menentukan NJOP/m² permukaan tanah pada suatu kawasan perkebunan, seorang Penilai menemukan data pembanding sebagai berikut. Harga (Rp/m2) Penyesuaian Lokasi Bentuk Tanah Jenis penggunaan Luas tanah



Pembanding 1 Pembanding 2 Pembanding 3 2.500.000 3.000.000 3.250.000 0 3% 0 2%



-5% 0 -5% 4%



-5% -4% -6% 3,50%



Berapakah NJOP/m² yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan data pasar?



28 | Pajak Bumi dan Bangunan



Harga (Rp/m2) Penyesuaian Lokasi Bentuk Tanah Jenis penggunaan Luas tanah Jml Penyesuaian Indikasi Nilai (Rp/m2) Kesimpulan Nilai



Pembanding 1 Pembanding 2 Pembanding 3 2.500.000 3.000.000 3.250.000 0 3% 0 2% 5%



-5% 0 -5% 4% -6%



-5% -4% -6% 3,50% -11,5%



2.625.000



2.820.000



2.876.250 2.773.750



C. Pendekatan Biaya Terdapat dua jenis objek pajak PBB yang NJOP-nya ditentukan dengan menggunakan pendekatan biaya, pengembangan bumi (tanah) berupa tanaman dan bangunan. Pengembangan bumi (tanah) berupa tanaman merupakan bagian dari objek pajak PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan. NJOP untuk pengembangan bumi berupa tanaman ini ditentukan menggunakan pendekatan biaya berdasarkan penghitungan biaya investasi tanaman. Biaya investasi tanaman yaitu seluruh jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Biaya investasi tanaman ditetapkan setiap tahun oleh DJP dengan mempertimbangkan jenis tanaman, umur tanaman, dan lokasi objek pajak. Gambar 4.2



Pendekatan Biaya



Bangunan merupakan objek pajak PBB yang terdapat hampir di seluruh sektor, kecuali PBB Sektor Lainnya yang digunakan untuk usaha perikanan tangkap dan usaha pembudidayaan ikan. Penilai menentukan NJOP Bangunan berdasarkan estimasi “biaya pembangunan baru” dan “biaya penggantian baru”. Yang dimaksud dengan estimasi “biaya pembangunan baru” yaitu estimasi biaya untuk membangun suatu objek baru yang sama atau identik dengan objek pajak PBB yang dinilai berdasarkan harga pasar setempat pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Sedangkan “biaya penggantian baru” adalah estimasi biaya untuk



Pajak Bumi dan Bangunan | 29



membangun suatu objek baru yang sama fungsinya dengan objek pajak PBB yang dinilai berdasarkan harga pasar setempat pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Dalam proses Penilaian PBB, bangunan dikelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan umum dan bangunan khusus. Bangunan umum merupakan bangunan yang memiliki jenis konstruksi dan material pembentuk yang umum digunakan. Contoh dari bangunan umum yaitu perumahan pegawai, kantor, pabrik, dan gudang. Dalam melakukan penilaian bangunan umum, Penilai mengestimasi biaya (baik biaya pembangunan baru maupun biaya penggantian baru) dengan menggunakan teknik meter persegi. Teknik meter persegi merupakan metode perhitungan estimasi biaya pembangunan baru berdasarkan harga per unit luas atau volume. Penilai menggunakan aplikasi Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) dalam mengestimasi nilai menggunakan teknik meter persegi. Selain bangunan umum, dalam proses penentuan NJOP juga dikenal bangunan khusus. Bangunan khusus yaitu bangunan yang memiliki jenis konstruksi, material pembentuk, dan/atau penggunaan yang khusus. Contohnya antara lain jalan yang diperkeras, konveyor, silo, pipa, tangki, dan kilang. Biaya pembangunan baru atau biaya penggantian baru untuk bangunan khusus diestimasi berdasarkan rincian kuantitas dan harga satuan pekerjaan. Metode ini disebut dengan teknik survei kuantitas. Tabel 4.1



Contoh Tabel Penyusutan Menggunakan Metode Umur Efektif



Pada tahap terakhir, NJOP Bangunan dihitung dari nilai estimasi biaya dikurangi dengan penyusutan. Besarnya penyusutan ditentukan menggunakan metode umur efektif. Secara umum, umur efektif bangunan ditentukan melalui persamaan berikut. 30 | Pajak Bumi dan Bangunan



Persamaan 4.1 Umur Efektif =



(Tahun Pajak − Tahun Dibangun) + 2(Tahun Pajak − Tahun Direnovasi) 3 Penghitungan Umur Efektif



Jika (Tahun Pajak – Tahun Dibangun) ≤ 10 dan Tahun Direnovasi adalah 0 atau kosong, maka umur efektif bangunan = Tahun Pajak - Tahun Dibangun. Sementara itu, jika (Tahun Pajak – Tahun Dibangun) > 10 dan Tahun Direnovasi adalah 0 atau kosong, atau (Tahun Pajak – Tahun Direnovasi) > 10, maka perlu dianggap tahun direnovasi = tahun pajak – 10, dan umur efektif bisa dihitung menggunakan Persamaan 4.1. D. Pendekatan Pendapatan Penentuan NJOP menggunakan pendekatan pendapatan dilakukan dengan mengkapitalisasi pendapatan yang dihasilkan dari objek pajak dalam satu tahun sebelum tahun pajak. Objek pajak PBB yang dihitung menggunakan pendekatan pendapatan yaitu: 1. Objek pajak berupa tanah pada areal produktif perhutanan pada PBB Sektor Perhutanan – Hutan Alam. 2. Objek pajak berupa tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Migas, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan Minerba. 3. Objek pajak berupa perairan yang digunakan untuk usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan pada PBB Sektor Lainnya. Gambar 4.3



Pendekatan Pendapatan



Pajak Bumi dan Bangunan | 31



Dalam menentukan NJOP, Penilai DJP terlebih dahulu menghitung pendapatan yang diperoleh wajib pajak yang berasal dari pemanfaatan objek pajak PBB. Penilai menggunakan pendapatan kotor untuk menghitung NJOP untuk tubuh bumi (NJOP Tubuh Bumi) pada PBB Sektor Pertambangan Migas dan PBB Sektor Pertambangan Pabum. Sedangkan, untuk menghitung NJOP Bumi Areal Produktif Perhutanan pada PBB Sektor Perhutanan – Hutan Alam, NJOP Tubuh Bumi PBB Pertambangan Minerba, dan NJOP Bumi untuk usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan pada PBB Sektor Lainnya, Penilai menggunakan pendapatan bersih. Pembahasan yang lebih detail mengenai penghitungan pendapatan bersih maupun pendapatan kotor untuk masing-masing objek pajak bisa dilihat pada Bab 8 sampai Bab 13. Setelah menghitung pendapatan yang diperoleh wajib pajak yang berasal dari pemanfaatan objek pajak PBB (baik pendapatan bersih maupun pendapatan kotor), Penilai selanjutnya menghitung NJOP melalui perkalian dari pendapatan dengan angka pengali tertentu yang disebut dengan angka kapitalisasi. Angka kapitalisasi ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk masing-masing sektor sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 4.3. Contoh: Pendapatan kotor PT IS982 yang berasal dari lifting minyak bumi selama tahun 2018, 2019, dan 2020 adalah sebesar Rp100 triliun, Rp120 triliun, dan Rp22 triliun. Jika Angka Kapitalisasi untuk menghitung NJOP Tubuh Bumi pada PBB Sektor Pertambangan Migas adalah sebesar 10,04, berapakah NJOP Tubuh Bumi dari objek pajak yang dimanfaatkan oleh PT IS1982 untuk Tahun Pajak 2020? Jawab: NJOP Tubuh Bumi untuk Tahun Pajak 2020 menggunakan pendapatan kotor selama tahun 2019 dikali dengan angka kapitalisasi. NJOP Tubuh Bumi = Rp120.000.000.000.000 x 10,04 = Rp1.204.800.000.000.000



E. Penetapan NJOP oleh Direktur Jenderal Pajak Beberapa objek pajak PBB, NJOP/m2-nya ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Ketika bahan ajar ini disusun, ketentuan yang mengatur mengenai hal ini yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 185/PJ/2020. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka Penilai tidak perlu melakukan Penilaian PBB menggunakan pendekatan-pendekatan yang telah dijelaskan sebelumnya. NJOP/m2 yang telah ditetapkan, langsung dapat digunakan dalam proses penghitungan PBB terutang. Objek pajak PBB yang NJOP/m2-nya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak yaitu:



32 | Pajak Bumi dan Bangunan



1. Objek pajak PBB Sektor Perhutanan – Hutan Alam berupa tanah yang dikategorikan sebagai Areal Tidak Produktif Perhutanan. NJOP Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebagaimana pada Gambar 9.2. 2. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas, Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Minerba yang berupa perairan. NJOP Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp11.458. 3. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas, Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Minerba berupa tubuh bumi yang belum memiliki hasil produksi. NJOP Tubuh Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp140. 4. Objek pajak PBB Sektor Lainnya berupa perairan yang digunakan untuk usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang belum memiliki hasil produksi. NJOP Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp140. 5. Objek pajak PBB Sektor Lainnya berupa perairan yang digunakan selain untuk usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan. NJOP Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp11.458. RINGKASAN 1) Penilaian PBB adalah kegiatan untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan, dan PBB Sektor Lainnya. 2) Pendekatan-pendekatan penilaian yang digunakan dalam Penilaian PBB yaitu pedekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan pendaatan. 3) Masing-masing pendekatan PBB memiliki objek penilaian yang berbeda, tergantung dari karakteristik objek pajak PBB yang dinilai. 4) Beberapa objek pajak PBB, NJOP-nya ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak. LATIHAN/PENUGASAN Latihan Buatlah tabel untuk memudahkan identifikasi mengenai jenis pendekatan yang digunakan untuk menghitung NJOP. Diskusikan! Mengapa beberapa objek pajak PBB nilainya ditentukan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak?



Pajak Bumi dan Bangunan | 33



BAB 5 KETETAPAN PAJAK I: SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG DAN SURAT KETETAPAN PAJAK PBB



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami mengenai penerbitan SPPT, bentuk SPPT, dan jatuh tempo pembayaran SPPT 2. Mahasiswa memahami mengenai SKP PBB, sebab penerbitan SKP PBB, dan jatuh tempo pembayaran SKP PBB 3. Mahasiswa memahami pengertian, jangka waktu dan produk hukum dari Penelitian PBB dan Pemeriksaan PBB



A. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pengenaan PBB dilakukan dengan menindaklanjuti hasil penilaian NJOP dan penghitungan PBB terutang ke proses penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). SPPT digunakan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada wajib pajak. SPPT diterbitkan oleh KPP berdasarkan SPOP yang telah dikembalikan oleh subjek pajak atau wajib pajak. Penerbitan SPPT berdasarkan SPOP dikenal dengan istilah penerbitan pertama kali. KPP juga dapat melakukan penerbitan kembali SPPT. Jika KPP melakukan penerbitan kembali, maka SPPT yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. KPP melakukan penerbitan kembali SPPT jika terdapat: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB Surat Keputusan Pembetulan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak Surat Keputusan Keberatan Putusan Banding Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung



34 | Pajak Bumi dan Bangunan



KPP juga dapat melakukan penerbitan SPPT cetak ulang berdasarkan permohonan tertulis dari wajib pajak atas SPPT yang telah diterbitkan. Permohonan tertulis tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak dengan dilampiri fotokopi SPPT dan bukti pembayaran PBB tahun pajak sebelumnya. Gambar 5.1



Format SPPT



SPPT disampaikan kepada wajib pajak secara langsung atau melalui pos/jasa pengiriman. Jika SPPT disampaikan secara langsung, maka tanggal disampaikannya SPPT adalah tanggal yang tercantum dalam dokumen Tanda Terima Penyampaian SPPT. Sementara itu, jika SPPT disampaikan melalui



Pajak Bumi dan Bangunan | 35



pos/jasa pengiriman, maka tanggal disampaikannya SPPT yaitu tanggal yang tercantum dalam bukti pengiriman SPPT. Tanggal disampaikannya SPPT, baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui pos/jasa pengiriman ditetapkan sebagai tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Bentuk SPPT adalah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.1. Namun, dengan berlakunya ketentuan terbaru pada PMK 186 Tahun 2019, terdapat bagian dalam format tersebut yang perlu diperbaiki untuk pengenaan PBB Tahun Pajak 2020 dan seterusnya, yaitu kolom Klas (diberikan garis merah). Dengan berlakunya ketentuan pada PMK 186 Tahun 2019, tidak lagi dikenal adanya proses klasifikasi nilai. Sehingga kolom tersebut sudah tidak diperlukan lagi sejak Tahun Pajak 2020. PBB terutang yang tercantum dalam SPPT harus dilunasi oleh wajib pajak selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Jika KPP melakukan penerbitan kembali atau penerbitan SPPT cetak ulang, maka PBB terutang dalam SPPT harus dilunasi oleh wajib pajak selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT penerbitan pertama kali. Jika PBB terutang dalam SPPT tidak dibayar sampai dengan saat jatuh tempo, maka PBB Terutang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak PBB (STP PBB) dan wajib pajak dikenakan denda administrasi sebesar 2% per bulan (bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh). Pengenaan denda administrasi dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran. Denda tersebut paling besar dikenakan untuk jangka waktu 24 bulan atau sebesar 48%. Contoh: KPP menerbitkan SPPT pada tanggal 15 Februari 2020. KPP menyampaikan secara langsung SPPT kepada wajib pajak. KPP menyampaikan SPPT tersebut pada tanggal pada tanggal 1 Maret 2020 (sesuai dengan Tanda Terima Penyampaian SPPT). Maka, jatuh tempo pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT yaitu pada tanggal 31 Agustus 2020. Jika wajib pajak membayar pada tanggal 2 September 2020, maka dikenakan denda administrasi sebesar 2% (terlambat 1 bulan).



B. Surat Ketetapan Pajak Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB) adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB yang terutang. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil penelitian PBB atau pemeriksaan. Penelitian PBB yaitu serangkaian kegiatan untuk menguji pemenuhan kewajiban PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/ atau dimiliki Direktur



36 | Pajak Bumi dan Bangunan



Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil penelitian PBB atas: 1. data, keterangan, dan/ atau bukti, terkait dengan wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP dan telah ditegur secara tertulis; 2. data, keterangan, dan/ atau bukti, dalam Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara; 3. data, keterangan, dan/ atau bukti lainnya. Gambar 5.2



Format SKP PBB



Pajak Bumi dan Bangunan | 37



Selain itu, Direktur Jenderal Pajak juga dapat menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil pemeriksaan. Yang dimaksud dengan pemeriksaan yaitu serangkaian kegiatan untuk mencari, menghimpun, dan mengolah data, keterangan, dan bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan suatu standar pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan PBB. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap: 1. SPOP yang terindikasi diisi dengan tidak benar oleh wajib pajak berdasarkan analisis risiko; 2. kewajiban perpajakan wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP dan telah ditegur secara tertulis; 3. data, keterangan, atau bukti yang telah dilakukan penelitian PBB tetapi dihentikan dan diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; atau 4. data baru yang belum atau tidak terungkap dalam pemeriksaan atau penelitian PBB sebelumnya, yang dapat mengakibatkan penambahan jumlah PBB yang terutang. Direktur Jenderal Pajak hanya dapat menerbitkan SKP PBB dalam jangka waktu 5 tahun setelah berakhirnya tahun pajak. Artinya, jika pada tanggal 1 Januari tahun 2020 Direktur Jenderal Pajak menemukan data konkret bahwa terdapat PBB yang seharusnya terutang untuk tahun pajak 2014, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menerbitkan SKP PBB atas PBB terutang tersebut karena telah melebihi jangka waktu 5 tahun. Namun, jika wajib pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP PBB yang terutang untuk tahun pajak 2014, sesuai contoh di atas. Apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB karena wajib pajak tidak mengembalikan SPOP, maka jumlah PBB terutang dalam SKP PBB adalah jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak. Sementara itu, apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB selain karena alasan di atas, maka jumlah PBB terutang dalam SKP PBB adalah selisih pajak yang seharusnya terutang ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dari selish pajak yang seharusnya terutang. Wajib pajak harus melunasi jumlah PBB terutang dalam SKP PBB paling lambat satu bulan sejak tanggal diterimanya SKP PBB secara langsung oleh wajib pajak. Jika SKP PBB dikirim melalui pos/jasa pengiriman, SKP PBB harus dilunasi paling lambat satu bulan sejak tanggal bukti pengiriman SKP PBB. Jika PBB terutang dalam SKP PBB tidak dibayar sampai dengan saat jatuh tempo, maka PBB



38 | Pajak Bumi dan Bangunan



Terutang ditagih dengan STP PBB dan wajib pajak dikenakan denda administrasi sebesar 2% per bulan (maksimal 24 bulan).



C. Penelitian PBB dan Pemeriksaan 1.



Pemicu



Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan wajib pajak. Tujuan dari penelitian PBB yaitu untuk menguji pemenuhan kewajiban PBB. Penelitian PBB dilakukan dalam hal: • SPOP tidak dikembalikan oleh wajib pajak setelah ditegur secara tertulis; • terdapat indikasi bahwa jumlah PBB terutang seharusnya lebih besar; • WP mengajukan permohonan pengembalian PBB Sementara itu Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan juga dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB. Sebagai tambahan, pemeriksaan juga dilakukan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan PBB. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dilakukan apabila: • SPOP tidak dikembalikan oleh wajib pajak setelah ditegur secara tertulis; • terdapat indikasi bahwa jumlah PBB terutang seharusnya lebih besar; • kegiatan penelitian PBB dihentikan dan diusulkan menjadi pemeriksaan; • terdapat data baru yang belum/tidak diungkap dalam pemeriksaan sebelumnya; Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan jika: • WP mengajukan keberatan; • Dilakukan penagihan atas PBB terutang. 2.



Kewenangan penelitian PBB dan pemeriksaan



Dalam menjalankan tugasnya, petugas yang melakukan penelitan PBB berhak untuk melakukan peninjauan, memanggil subjek pajak atau wajib pajak untuk dimintai keterangan, dan melihat/meminjam buku, catatan, serta dokumen (termasuk data yang dikelola secara elektronik). Sementara itu, petugas yang melakukan pemeriksaan memiliki wewenang yang lebih luas. Selain memiliki kewenangan yang dimiliki dalam proses penelitian PBB, petugas pajak yang melakukan pemeriksaan juga berwenang untuk: •



mengakses dan mengunduh data elektronik



Pajak Bumi dan Bangunan | 39







3.



memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku, catatan, dan/atau dokumen, yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan;



Jangka Waktu



Penelitian PBB dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan. Jangka waktu 2 bulan tersebut dimulai sejak pemberitahuan pelaksanaan penelitian PBB disampaikan kepada wajib pajak, sampai dengan tanggal laporan hasil penelitian PBB. Apabila penelitian PBB dilakukan karena wajib pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB, maka jangka waktu penelitian PBB disesuaikan dengan ketentuan yang mengatur mengenai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB. Sementara itu, jangka waktu pemeriksaan tergantung pada tujuan dilakukannya pemeriksaan. Jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dilakukan paling lama 6 bulan. Secara umum, jangka waktu 6 bulan tersebut dialokasikan untuk dua kegiatan. Pertama, kegiatan pengujian yang paling lama dilakukan dalam jangka waktu 4 bulan. Jangka waktu tersebut dimulai sejak disampaikannya surat pemberitahuan akan dilakukan pemeriksaan sampai dengan disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). SPHP adalah surat yang berisi tentang temuan pemeriksaan yang meliputi uraian data objek pajak dan subjek pajak atau wajib pajak, serta perhitungan sementara dari jumlah PBB yang terutang. Jangka waktu untuk kegiatan pengujian dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 bulan jika terdapat konfirmasi atau permintaan data dari pihak ketiga. Perpanjangan jangka waktu pemeriksaan juga dapat diberikan berdasarkan pertimbangan kepala unit pemeriksaan. Khusus untuk pemeriksaan yang terkait dengan objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, jangka waktu kegiatan pengujian dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3 kali. Setelah pengujian dilakukan, kegiatan selanjutnya yaitu pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) yang harus dilakukan paling lama 2 bulan. PAHP adalah pembahasan atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara PAHP yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (pemeriksa dan pihak yang diperiksa). Penyampaian SPHP dan pelaksanaan PAHP merupakan suatu keharusan dalam proses pemeriksaan. Jika dari dua hal ini salah satunya atau kedua-duanya tidak dilakukan, maka Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan atau dapat membatalkan SKP PBB.



40 | Pajak Bumi dan Bangunan



Jika pemeriksaan dilakukan untuk tujuan lain, maka jangka waktu kegiatan pemeriksaan yaitu paling lama 2 bulan sejak disampaikannya surat pemberitahuan akan dilakukan pemeriksaan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang paling lama 1 bulan jika terdapat konfirmasi atau permintaan data dari pihak ketiga atau jika diperlukan berdasarkan pertimbangan kepala unit pemeriksaan. 4.



Ketetapan Hukum



Keluaran dari penelitian PBB dan pemeriksaan yaitu ketetapan hukum berupa SKP PBB. SKP PBB merupakan dasar penagihan PBB, sebagaimana halnya SPPT dan STP PBB. Selain menghasilkan keluaran berupa SKP PBB, penelitian PBB juga dapat menghasilkan keluaran berupa Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran PBB (SKKP PBB). SKKP PBB adalah surat keputusan yang menyatakan jumlah kelebihan pembayaran PBB yang seharusnya tidak terutang. SKKP PBB diterbitkan jika berdasarkan hasil penelitian PBB ditemukan adanya kelebihan pembayaran PBB yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP.



RINGKASAN 1) PBB terutang dituangkan dalam SPPT dan kemudian disampaikan kepada wajib pajak. 2) SKP PBB diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau penelitian PBB. 3) PBB terutang dalam SPPT dan SKP harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu. 4) Pemeriksaan dan penelitian PBB, meskipun sama-sama dapat menghasilkan keluaran berupa SKP PBB, memiliki perbedaan di beberapa hal antara lain trigger pelaksanaan, kewenangan, dan jangka waktu pelaksanaan. LATIHAN/PENUGASAN Diskusikan! 1. Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP, dan Surat Tagihan Pajak. Bandingkan dasar penagihan tersebut dengan dasar penagihan pajak yang diatur dalam UU KUP. Bahaslah perbedaan dan persamaan di antara keduanya! 2. Jelaskan data dan informasi apa saja yang ada dalam SPPT dan sebutkan pasal-pasal dalam UU PBB yang relevan terhadap data/informasi tersebut!



Pajak Bumi dan Bangunan | 41



BAB 6 KETETAPAN PAJAK II: SURAT TAGIHAN PAJAK PBB DAN PEMBAYARAN



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami tata cara penerbitan STP PBB dan bentuk STP PBB. 2. Mahasiswa memahami tata cara penghitungan denda dalam STP PBB dan jatuh tempo pembayaran STP 3. Mahasiswa memahami tata cara pembayaran PBB terutang



A. Surat Tagihan Pajak PBB Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP PBB, dan STP PBB. Serupa dengan ketentuan yang mengatur mengenai penerbitan SKP PBB, Direktur Jenderal Pajak hanya dapat menerbitkan STP PBB dalam jangka waktu 5 tahun setelah berakhirnya tahun pajak, kecuali jika wajib pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB jika wajib pajak belum melunasi PBB terutang sampai dengan jatuh tempo pembayaran. Pajak terutang dalam STP PBB meliputi PBB yang tidak atau kurang dibayar ditambah dengan denda administrasi sebesar 2% per bulan dari pajak yang tidak atau kurang dibayar. Jangka waktu denda dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. Wajib pajak harus melunasi jumlah PBB terutang dalam STP PBB paling lambat satu bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB secara langsung oleh wajib pajak. Jika STP PBB dikirim melalui pos/jasa pengiriman, STP PBB harus dilunasi paling lambat satu bulan sejak tanggal bukti pengiriman STP



42 | Pajak Bumi dan Bangunan



PBB. Apabila PBB terutang dalam STP PBB tidak dibayar sampai dengan saat jatuh tempo, maka PBB Terutang dapat ditagih dengan Surat Paksa. Gambar 6.1



Format STP PBB



Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB dalam beberapa skenario. Skenario Pertama. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB karena wajib pajak membayar lunas PBB terutang setelah lewatnya tanggal jatuh tempo SPPT atau SKP PBB. PBB terutang dalam STP PBB skenario ini memuat denda administrasi sebesar 2% per bulan dari jumlah PBB terutang dalam SPPT atau SKP PBB. Besarnya denda administrasi dihitung dari tanggal setelah tanggal jatuh tempo SPPT atau SKP PBB sampai dengan tanggal pembayaran pelunasan SPPT atau SKP PBB oleh wajib pajak. Contoh: KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Wajib pajak melunasi PBB terutang pada tanggal 5 September 2019. Pelunasan PBB



Pajak Bumi dan Bangunan | 43



terutang yang dilakukan oleh wajib pajak melebihi jatuh tempo pelunasan pada tanggal 31 Agustus 2019. Wajib pajak terlambat 5 hari. Dalam menghitung besarnya denda administrasi, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. Sehingga wajib pajak dikenakan denda atas keterlambatan pembayaran selama 1 bulan. Apabila STP PBB diterbitkan pada tanggal 3 Mei 2020, maka perhitungannya adalah: No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SPPT PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 1 x Rp100.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 100.000.000 2.000.000 2.000.000



Skenario Kedua. STP PBB diterbitkan setelah tanggal jatuh tempo SPPT atau SKP PBB terlampaui dan atas PBB terutang dalam SPPT atau SKP PBB tersebut belum dilakukan pembayaran oleh wajib pajak. STP PBB dalam skenario kedua ini memuat pokok PBB terutang ditambah dengan denda administrasi sebesar 2% per bulan. Denda administrasi dihitung setelah tanggal jatuh tempo SPPT atau SKP PBB sampai dengan tanggal diterbitkannya STP PBB. Contoh: KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Wajib pajak belum melunasi PBB terutang sampai dengan tanggal jatuh tempo SPPT (31 Agustus 2019). Apabila STP PBB diterbitkan pada tanggal 3 September 2019, denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal 3 September 2019 (3 hari). Karena bagian dari bulan dianggap 1 bulan penuh, maka perhitungannya adalah: No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SPPT PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 1 x Rp100.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 100.000.000 2.000.000 102.000.000



Skenario Ketiga. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan kembali STP PBB jika wajib pajak melunasi PBB terutang dalam STP PBB sebagaiman pada skenario kedua setelah jatuh temponya. STP PBB dalam skenario ini memuat denda administrasi sebesar 2% per bulan dari PBB terutang, yang dihitung setelah tanggal jatuh tempo STP PBB sebagaimana pada skenario kedua sampai dengan tanggal wajib pajak melakukan pelunasan PBB terutang. Khusus untuk STP PBB yang diterbitkan pada skenario ini, jika wajib pajak terlambat membayar STP PBB (lebih



44 | Pajak Bumi dan Bangunan



dari jangka waktu 1 bulan), maka wajib pajak tidak dikenakan denda administrasi. Pajak terutang dalam STP PBB akan ditagih dengan Surat Paksa. Contoh: KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Wajib pajak belum melunasi PBB terutang sampai dengan tanggal jatuh tempo SPPT (31 Agustus 2019). STP PBB diterbitkan dan disampaikan secara langsung kepada wajib pajak pada tanggal 3 September 2019 dengan perhitungan sebagai berikut: No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SPPT PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 1 x Rp100.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 100.000.000 2.000.000 102.000.000



STP PBB di atas harus dilunasi pada tanggal 2 Oktober 2019. Jika wajib pajak melunasi PBB terutang dalam STP PBB sebesar Rp102.000.000 pada tanggal 10 November 2019, maka ada keterlambatan selama 1 bulan 8 hari. Atas keterlambatan pelunasan STP PBB di atas, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB untuk menagih keterlambatan pembayaran STP PBB selama 2 bulan (bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan). No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut STP PBB (pokok pajak) PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 2 x Rp100.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 100.000.000 4.000.000 4.000.000



Skenario Keempat. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP PBB berdasarkan: 1. Surat Keputusan Pembetulan SPPT atau SKP PBB, 2. Surat Keputusan Pengurangan PBB, 3. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan PBB Yang Tidak Benar, 4. Surat Keputusan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi PBB, 5. Surat Keputusan Keberatan PBB, 6. Putusan Banding, atau 7. Putusan Peninjauan Kembali, yang menyatakan terdapat PBB yang masih harus dibayar. Jika STP PBB sebagaimana diilustrasikan pada skenario dua belum diterbitkan, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB yang memuat PBB terutang yang baru (berdasarkan 7 keputusan di atas) dan denda administrasi yang harus dibayar. Pajak Bumi dan Bangunan | 45



Tetapi, jika STP PBB pernah diterbitkan, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP PBB secara jabatan. Terdapat banyak variasi kemungkinan yang terjadi pada skenario keempat ini. Sebagai contoh, hasil keputusan Keberatan PBB dapat berupa tidak bertambahnya PBB terutang, menambah besarnya PBB terutang, atau justru mengurangi besarnya PBB terutang Contoh: KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Atas SPPT tersebut, wajib pajak mengajukan keberatan pada tanggal 1 Mei 2019. Pengajuan keberatan oleh wajib pajak, tidak menunda kewajiban membayar wajib pajak. Artinya, jatuh tempo pembayaran atas SPPT tetap di tanggal 31 Agustus 2019. Atas pengajuan keberatan oleh wajib pajak, Surat Keputusan Keberatan PBB terbit pada tanggal 1 April 2020. Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan PBB, Surat Keputusan Keberatan PBB Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB pada tanggal 5 April 2020. Dengan kasus ini terdapat berbagai kemungkinan dalam penerbitan STP PBB. Kemungkinan 1: Wajib pajak belum melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT hingga tanggal 1 April 2020. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan STP PBB hingga tanggal 1 April 2020. Surat Keputusan Keberatan PBB menolak keberatan wajib pajak dan menambah PBB terutang menjadi Rp120.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SK Keberatan PBB PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 8 x Rp120.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 120.000.000 120.000.000 19.200.000 139.200.000



Kemungkinan 2: Wajib pajak telah melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT sebelum tanggal jatuh tempo sebesar Rp50.000.000. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan STP PBB pada tanggal 3 September 2019 dengan penghitungan sebagai berikut:



46 | Pajak Bumi dan Bangunan



No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SPPT PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 1 x Rp50.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 50.000.000 50.000.000 1.000.000 51.000.000



Wajib pajak belum melakukan pelunasan atas PBB terutang dalam STP PBB di atas hingga Surat Keputusan Keberatan PBB diterbitkan. Surat Keputusan Keberatan PBB menolak keberatan wajib pajak dan menambah PBB terutang menjadi Rp120.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan PBB, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP PBB secara jabatan dengan perhitungan sebagai berikut: No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SK Keberatan PBB PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 8 x Rp70.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 120.000.000 50.000.000 70.000.000 11.200.000 81.200.000



Kemungkinan 3: Wajib pajak telah melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT sebelum tanggal jatuh tempo sebesar Rp50.000.000. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan STP PBB pada tanggal 3 September 2019 dengan penghitungan sebagai berikut: No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SPPT PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 1 x Rp50.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 50.000.000 50.000.000 1.000.000 51.000.000



Wajib pajak melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam STP PBB pada tanggal 30 September 2019. Dengan pembayaran tersebut, seluruh pokok pajak dalam SPPT (sebesar Rp100.000.000) telah dilunasi oleh wajib pajak. Surat Keputusan Keberatan PBB menolak keberatan wajib pajak dan menambah PBB terutang menjadi Rp120.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan PBB, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP PBB secara jabatan dengan perhitungan sebagai berikut:



Pajak Bumi dan Bangunan | 47



No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SK Keberatan PBB PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 8 x Rp20.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 120.000.000 100.000.000 20.000.000 3.200.000 23.200.000



Kemungkinan 4: Wajib pajak belum melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT hingga tanggal 1 April 2020. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan STP PBB hingga tanggal 1 April 2020. Surat Keputusan Keberatan PBB menerima keberatan wajib pajak sehingga PBB terutang menjadi Rp80.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SK Keberatan PBB PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 8 x Rp80.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 80.000.000 80.000.000 12.800.000 92.800.000



Kemungkinan 5: Wajib pajak telah melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT sebelum tanggal jatuh tempo sebesar Rp50.000.000. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan STP PBB pada tanggal 3 September 2019 dengan penghitungan sebagai berikut: No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SPPT PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 1 x Rp50.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 100.000.000 50.000.000 50.000.000 1.000.000 51.000.000



Wajib pajak belum melakukan pelunasan atas PBB terutang dalam STP PBB di atas hingga Surat Keputusan Keberatan PBB diterbitkan. Surat Keputusan Keberatan PBB menerima keberatan wajib pajak dan besarnya menjadi Rp80.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan PBB, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP PBB secara jabatan dengan perhitungan sebagai berikut:



48 | Pajak Bumi dan Bangunan



No 1 2 3 4 5



URAIAN PBB terutang menurut SK Keberatan PBB PBB yang telah dibayar PBB yang tidak/kurang dibayar Denda Administrasi (2% x 8 x Rp30.000.000) PBB yang masih harus dibayar



JUMLAH (Rp) 80.000.000 50.000.000 30.000.000 4.800.000 34.800.000



B. Pembayaran PBB Terutang Wajib pajak melakukan pembayaran PBB terutang secara elektronik dengan menggunakan kode billing. Kode billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui Sistem Billing DJP atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak. Kode billing untuk pembayaran SPPT, SKP PBB, dan STP PBB diberikan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kode billing yang diberikan secara jabatan tersebut berlaku sampai dengan 7 bulan sejak tanggal diterbitkannya SPPT atau 2 bulan sejak tanggal diterbitkannya SKP PBB/STP PBB. Jika tanggal tersebut sudah terlewati (kedaluwarsa), wajib pajak dapat membuat kode billing secara mandiri. Pembuatan kode billing secara mandiri dilakukan oleh wajib pajak dengan mengakses Aplikasi Billing DJP atau layanan penerbitan kode billing yang disediakan oleh bank/pos persepsi. Kode billing dapat diperoleh secara mandiri dengan melakukan pengisian data setoran PBB yang akan dibayarkan. Data yang perlu diisi antara lain yaitu data NPWP, NOP, kode akun, kode jenis setoran, masa pajak, tahun pajak dan besarnya pajak yang akan dibayar. Kode akun pajak dibedakan untuk masing-masing sektor sedangkan kode jenis setoran dibedakan untuk masing-masing dasar penagihan pajak. Kode Akun Pajak 411313 411314 411315 411316 411317 411319 Kode Jenis Setoran 100 300 310



Sektor PBB Sektor Perkebunan PBB Sektor Perhutanan PBB Sektor Pertambangan Minerba PBB Sektor Pertambangan Migas PBB Sektor Pertambangan Pabum PBB Sektor Lainnya Jenis Setoran SPPT STP PBB SKP PBB



Wajib pajak dapat melakukan transaksi pembayaran PBB terutang menggunakan kode billing antara lain melalui teller bank/pos persepsi, ATM, internet/mobile banking, dan mesin EDC. Atas pembayaran PBB terutang, wajib pajak berhak



Pajak Bumi dan Bangunan | 49



menerima bukti pembayaran yang disebut dengan bukti penerimaan negara (BPN). BPN dapat berbentuk dokumen bukti pembayaran (jika pembayaran melalui teller bank/pos persepsi), struk ATM, atau dokumen digital. Selain pembayaran secara elektronik, pembayaran PBB terutang juga dapat dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan. Pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan berlaku untuk: • Wajib pajak PBB Sektor Pertambangan Migas yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. • Wajib pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi yang memiliki kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi, dan/atau izin pengusahaan sumber daya panas bumi, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Dalam pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan pembayaran PBB Sektor Pertambangan Migas dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua bulan Juni. Besarnya permintaan pembayaran PBB dihitung berdasarkan PBB Terutang dalam SPPT atau SKP PBB. Namun, denda administrasi tidak dapat diajukan permintaan pembayaran melalui mekanisme pemindahbukuan dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak. Pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan dilunasi paling lambat minggu kedua bulan Desember. Pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan dilakukan dengan 3 cara yaitu: 1. pemindahbukuan dari Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas Bumi ke kas negara pada Bank Persepsi melalui sistem penerimaan negara secara elektronik; 2. pemindahbukuan dari Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas Bumi ke RKUN; atau 3. nontunai melalui reklasifikasi akun pendapatan penerimaan negara bukan pajak menjadi akun pendapatan perpajakan. Jika ketiga cara tersebut tidak dapat dilaksanakan, pembayaran PBB Sektor Pertambangan Migas dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi Panas Bumi dapat dilakukan melalui mekanisme pembayaran tertentu yang disetujui oleh Menteri Keuangan.



50 | Pajak Bumi dan Bangunan



RINGKASAN 1) Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP PBB, dan STP PBB. 2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB jika wajib pajak belum melunasi PBB terutang sampai dengan jatuh tempo pembayaran. 3) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB melalui beberapa skenario. 4) PBB terutang dilunasi menggunakan pembayaran secara elektronik menggunakan kode billing, melalui pemindahbukuan, atau melalui mekanisme pembayaran tertentu yang disetujui oleh Menteri Keuangan LATIHAN/PENUGASAN Tugas Gambarkanlah timeline penerbitan STP PBB untuk skenario 1, skenario 2, dan skenario 3. Diskusikan! Denda administrasi tidak dapat diajukan permintaan pembayaran melalui mekanisme pemindahbukuan dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak. Denda administrasi apakah yang dimaksud oleh pernyataan tersebut? Berapa besarnya?



Pajak Bumi dan Bangunan | 51



BAB 7 HAK WAJIB PAJAK Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami hak wajib pajak yang diatur dalam UU PBB dan peraturan di bawahnya 2. Mahasiswa memahami tata cara mengajukan permohonan terkait hak wajib pajak



Ketentuan formal dalam penatausahaan pajak di Indonesia diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Yang dimaksud dengan ketentuan formal yaitu ketentuan yang mengatur mengenai tata cara menjalankan peraturan yang ada pada hukum materiil. Termasuk dalam ketentuan formal yaitu ketentuan mengenai hak bagi wajib pajak. Hak bagi wajib pajak dalam proses pemenuhan kewajiban PBB yang diatur dalam UU KUP antara lain yaitu pengangsuran dan penundaan pembayaran, pengajuan banding, pengurangan/pembatalan ketetapan yang tidak benar, dan pengembalian kelebihan pembayaran. Selain hak-hak tersebut, terdapat hak bagi wajib pajak dalam proses pemenuhan kewajiban PBB yang diatur dalam UU PBB dan ketentuan peraturan dibawahnya. Penjelasan dalam bab ini hanya membahas mengenai hak dan wajib pajak yang diatur dalam UU PBB dan ketentuan peraturan dibawahnya.



A. Pembatalan Penetapan Status Wajib Pajak Jika atas suatu objek pajak belum diketahui siapa subjek pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan subjek pajak atas objek pajak tersebut secara jabatan. Jika subjek pajak yang telah ditunjuk merasa keberatan, maka subjek pajak tersebut dapat mengajukan keterangan secara tertulis bahwa ia bukanlah subjek pajak. Keterangan tertulis harus diajukan dalam jangka waktu 1 bulan sejak Surat Keterangan (tentang penetapan subjek pajak), diterima oleh subjek pajak. Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan atas keterangan tertulis tersebut maksimal 1 bulan sejak diterima.



52 | Pajak Bumi dan Bangunan



B. Keberatan PBB Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan menggunakan Surat Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP atas suatu ketetapan hukum berupa SPPT atau SKP PBB. Pengajuan keberatan dilakukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB terutang yang terdapat dalam SPPT atau SKP PBB. Jika wajib pajak mempermasalahkan prosedur formal dalam penetapan SPPT atau SKP PBB, wajib pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Wajib pajak mengajukan satu keberatan hanya untuk satu SPPT atau satu SKP PBB. Wajib pajak juga harus tidak sedang mengajukan permohonan pengurangan pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar, permohonan pengurangan PBB, atau permintaan pengurangan denda administrasi. Wajib pajak mengajukan Surat Keberatan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah PBB terutang menurut penghitungan wajib pajak dan disertai dengan alasan yang jelas. Surat Keberatan tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak. Surat Keberatan juga harus dilampiri dengan fotokopi SPPT atau SKP PBB yang diajukan keberatan. Wajib pajak mengajukan keberatan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasaan wajib pajak berupa bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan lain-lain. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB terutang. Jika wajib pajak menerima SPPT pada tanggal 1 Maret tahun pajak dan wajib pajak mengajukan keberatan atas SPPT tersebut, jatuh tempo pembayaran SPPT tetap pada tanggal 31 Agustus meskipun keberatan wajib pajak belum diberikan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak. Gambar 7.1



Skema Keberatan PBB



Pajak Bumi dan Bangunan | 53



Wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara langsung, dikirim melalui pos, atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Direktur Jenderal Pajak berwenang memproses penyelesaian keberatan melalui penelitian. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu maksimal 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, keberatan yang diajukan wajib pajak dianggap diterima dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.



C. Pengurangan PBB 1.



Sebab Pemberian Pengurangan PBB



Pengurangan PBB dapat diberikan karena dua alasan. Pertama, pengurangan PBB diberikan karena kondisi tertentu objek pajak PBB yang ada hubungannya dengan wajib pajak. Alasan ini lebih erat kaitannya dengan kondisi wajib pajak. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu yaitu jika wajib pajak mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB. Penggunaan kata “dan” menunjukkan bahwa kedua kondisi tersebut (kerugian dan kesulitan likuiditas) harus sedang dialami oleh wajib pajak. Wajib pajak menunjukkan bahwa wajib pajak sedang mengalami kerugian komersial menggunakan laporan keuangan/pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh. Sementara itu, wajib pajak membuktikan kesulitan likuiditas dengan menunjukkan kondisi ketidakmampuan dalam membayar utang jangka pendek dengan kas yang diperoleh wajib pajak dari usaha. Selain karena alasan yang pertama, pengurangan PBB dapat diberikan kepada wajib pajak jika objek pajak PBB terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. Bencana alam yang dapat menjadi alasan pemberian pengurangan PBB adalah bencana alam yang diakibatkan oleh serangkaian peristiwa alami antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor. Sementara itu, yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa antara lain kebakaran, wabah penyakit, wabah hama, huru-hara, kerusuhan, atau tindakan anarkis. 2.



Ketetapan Hukum yang Dapat Diberikan Pengurangan PBB



Pengurangan PBB diberikan kepada wajib pajak atas PBB yang terutang dalam SPPT, SKP PBB, dan STP PBB. Jika wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PBB karena mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas, maka STP PBB yang dapat diberikan pengurangan PBB hanya STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB. 3.



Besaran Pengurangan PBB



54 | Pajak Bumi dan Bangunan



Pengurangan PBB diberikan maksimal sebesar 75% dari jumlah PBB terutang dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB jika wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PBB karena wajib pajak sedang mengalami kerugian dan kesulitas likuiditas. Sementara itu, jika wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PBB karena objek pajak PBB terkena bencan alam atau sebab luar biasa maka pengurangan PBB diberikan maksimal sebesar 100% dari jumlah PBB terutang dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB. 4.



Tata Cara Permohonan Pengurangan PBB



Untuk mendapatkan pengurangan PBB, wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PBB kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala KPP. Permohonan pengurangan PBB diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan besarnya persentase pengurangan PBB yang dimohonkan dengan disertai alasan yang jelas. Permohonan tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak. Permohonan pengurangan PBB juga harus dilampiri dengan fotokopi SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan Pengurangan PBB. Wajib pajak mengajukan satu permohonan pengurangan PBB hanya untuk satu SPPT, SKP PBB, atau STP PBB. Selain itu, agar permohoan pengurangan PBB memenuhi persyaratan untuk dapat ditindaklanjuti, wajib pajak tidak boleh memiliki tunggakan PBB atas objek pajak yang dimohonkan pengurangan PBB, kecuali jika objek pajak tersebut terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan PBB secara langsung ke KPP, dikirim melalui pos, atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan berwenang melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan PBB. Kepala Kanwil DJP harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan PBB dalam jangka waktu maksimal 4 bulan sejak tanggal permohonan pengurangan PBB diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Kanwil DJP harus menerbitkan surat keputusan pengurangan PBB sesuai dengan permohonan wajib pajak. 5.



Pengurangan PBB Sektor Pertambangan Migas



Pengurangan PBB diberikan sebesar 100% atas PBB terutang untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas berupa tubuh bumi. Pengurangan PBB tersebut diberikan kepada wajib pajak PBB Sektor Pertambangan Migas yang: -



kegiatan usaha-nya masih dalam tahap eksplorasi



-



menandatangani kontrak kerja sama setelah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Hulu Minyak dan Gas Bumi;



-



menyampaikan SPOP; dan Pajak Bumi dan Bangunan | 55



-



melampirkan surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi yang menyatakan bahwa objek PBB Sektor Pertambangan Migas masih pada tahap eksplorasi.



Pengurangan PBB ini dapat diberikan setiap tahun untuk jangka waktu paling lama 6 tahun sejak tanggal ditandatanganinya kontrak kerja sama minyak dan gas bumi. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 4 tahun sepanjang telah memiliki surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi. 6.



Pengurangan PBB Sektor Pertambangan Pabum



Pengurangan PBB diberikan sebesar 100% atas PBB terutang untuk objek pajak berupa tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Pabum. Pengurangan PBB tersebut diberikan kepada wajib pajak PBB Sektor Pertambangan Pabum yang: -



kegiatan usaha-nya masih dalam tahap eksplorasi;



-



memiliki izin untuk melakukan pengusahaan panas bumi (Izin Panas Bumi) setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi;



-



menyampaikan SPOP; dan



-



melampirkan surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha panas bumi yang menyatakan bahwa pemanfaatan objek masih pada tahap eksplorasi.



Pengurangan PBB ini dapat diberikan setiap tahun untuk jangka waktu paling lama 5 tahun sejak tanggal Izin Panas Bumi diterbitkan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 2 tahun apabila telah memiliki surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha panas bumi.



D. Pengurangan Denda Administrasi 1.



Sebab Pemberian Pengurangan Denda Administrasi



Direktur Jenderal Pajak, atas permintaan dari wajib pajak, dapat memberikan pengurangan denda administrasi jika: - denda dikenakan karena kealpaan wajib pajak - denda dikenakan bukan karena kesalahan wajib pajak - wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi - terjadi bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya yang menyebabkan wajib pajak tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya



56 | Pajak Bumi dan Bangunan



- terjadi hal-hal lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak 2.



Ketetapan Hukum yang Dapat Diberikan Pengurangan Denda Administrasi



Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan pengurangan denda administrasi berupa denda administrasi sebesar 25% yang tercantum dalam SKP PBB atau denda administrasi sebesar 2% per bulan yang tercantum dalam STP PBB. 3.



Tata Cara Permohonan Pengurangan Denda Administrasi



Untuk mendapatkan pengurangan denda administrasi, wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan denda administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP. Selain dalam hal objek pajak sedang terdampak bencana alam atau kejadian yang luar biasa, permohonan pengurangan administrasi dapat diberikan jika ketetapan hukum (baik berupa SPPT maupun SKP PBB) yang terkait dengan timbulnya denda administrasi memenuhi persyaratan berikut: - tidak sedang diajukan keberatan, diajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan, atau diajukan keberatan tetapi dicabut oleh wajib pajak - tidak sedang diajukan permohonan pengurangan PBB - tidak sedang diajukan permohonan pembatalan atau pengurangan yang tidak benar Permintaan pengurangan denda administrasi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan besarnya denda administrasi yang dimintakan pengurangan dengan disertai alasan yang jelas. Permintaan tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak. Wajib pajak mengajukan satu permintaan pengurangan PBB hanya untuk satu SKP PBB atau STP PBB. Agar permintaan pengurangan PBB memenuhi persyaratan untuk dapat ditindaklanjuti, wajib pajak harus telah melunasi PBB yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan denda administrasi. Wajib pajak dapat mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi secara langsung, dikirim melalui pos, atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permintaan pengurangan denda administrasi. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permintaan pengurangan denda administrasi dalam jangka waktu maksimal 6 bulan sejak tanggal permintaan pengurangan denda administrasi diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, permintaan pengurangan denda administrasi oleh wajib pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan pengurangan PBB sesuai dengan permohonan wajib pajak.



Pajak Bumi dan Bangunan | 57



RINGKASAN 1) Hak wajib pajak terkait PBB diatur dalam UU KUP dan juga UU PBB. 2) Hak wajib pajak yang diatur dalam UU PBB yaitu hak untuk mengajukan keberatan, memohon pengurangan PBB, meminta pengurangan denda administrasi, dan memohon pembatalan/pengurangan ketetapan hukum yang tidak benar.



LATIHAN/PENUGASAN Tugas! Sebutkan dan buatlah resume mengenai hak wajib pajak yang diatur dalam UU KUP, yang dapat digunakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban PBB!



58 | Pajak Bumi dan Bangunan



BAB 8 PBB SEKTOR PERKEBUNAN



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Perkebunan 2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP Sektor Perkebunan 3. Mahasiswa mampu menghitung PBB terutang pada PBB Sektor Perkebunan A. Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan Objek pajak PBB Sektor Perkebunan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan. Yang dimaksud dengan kawasan perkebunan yaitu areal perkebunan yang sudah diberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau yang sudah diberikan izin untuk mengelola lahan perkebunan oleh negara. Izin pengelolaan lahan perkebunan tersebut dapat berupa: a. izin melakukan usaha budidaya perkebunan berupa Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) atau Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan (ITUBP), b. izin melakukan usaha budidaya perkebunan yang terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP). Jika terdapat areal yang berada di luar areal yang telah diberikan HGU atau izin, namun areal tersebut secara fisik tidak terpisahkan dengan areal yang telah diberikan HGU atau izin, maka areal tersebut ditetapkan sebagai bagian dari objek pajak PBB Sektor Perkebunan. Yang dimaksud dengan areal yang secara fisik tidak terpisahkan yaitu yaitu areal yang bersinggungan dengan areal yang diberikan HGU atau izin (Gambar 8.1), serta areal yang dihubungkan dengan sungai, parit, jalan atau jembatan (Gambar 8.2). Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Perkebunan berupa bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal sebagaimana disajikan berikut. a. Areal yang dikenakan PBB • Areal Produktif Perkebunan



Pajak Bumi dan Bangunan | 59



Areal ini merupakan areal yang telah ditanami dengan tanaman perkebunan. Tanaman perkebunan tersebut dapat berupa tanaman kelapa sawit, kakao, karet, jagung, dan sebagainya.2 • Areal Belum Produktif Perkebunan Areal ini merupakan areal yang disiapkan untuk ditanami namun belum ditanami tanaman perkebunan. Yang termasuk dalam ini yaitu areal yang belum diolah, areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami, dan areal pembibitan. Gambar 8.1



Lokasi pabrik bersinggungan dengan areal objek pajak



Gambar 8.2



Lokasi pabrik dihubungkan dengan jalan dengan areal objek pajak



• Areal Tidak Produktif Perkebunan



2



Untuk daftar tanaman-tanaman yang diatur oleh DJP dapat melihat Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-185/PJ/2020



60 | Pajak Bumi dan Bangunan



Yaitu areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan. Contoh dari areal ini yaitu jurang, areal dengan curam, rawa, sungai, dan cadas. • Areal Pengaman Perkebunan Areal ini merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perkebunan. Contohnya adalah jalan tanah yang diperkeras, parit, serta tanggul. • Areal Emplasemen Perkebunan Areal ini merupakan areal yang di atasnya digunakan untuk mendirikan bangunan serta fasilitas penunjangnya. Misalnya yaitu areal yang diatasnya berdiri bangunan perkantoran, perumahan, mess/gedung, pabrik, sarana olah raga, dan lainnya. b. Areal yang tidak dikenakan PBB • Areal Lainnya Areal ini adalah areal yang telah disebutkan dalam UU PBB Pasal 3 ayat (1) yang terdapat dalam objek pajak PBB Sektor Perkebunan. Contohnya adalah jika di kawasan pertambangan terdapat tempat ibadah. • Areal yang hak atas areal tersebut dipunyai secara nyata dan sah oleh pihak selain wajib pajak. Contohnya adalah areal di dalam IUP yang hak atas tanahnya masih dimiliki oleh warga. • Areal yang dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh pihak selain wajib pajak.



B. Penetapan NJOP 1.



Areal Produktif Perkebunan



Areal ini adalah areal yang telah ditanami dengan tanaman perkebunan. Oleh karena itu, NJOP dalam areal ini mempertimbangkan NJOP untuk tanah dan NJOP untuk pengembangan tanah berupa tanaman. NJOP berupa tanah ditentukan melalui perbandingan dengan harga jual objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dengan tanah tersebut.3 Sementara itu, NJOP untuk pengembangan tanah berupa tanaman ditentukan dengan menghitung besarnya Biaya Investasi Tanaman (BIT). BIT dihitung dengan menjumlahkan biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Besarnya BIT ini ditetapkan setiap tahun oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan jenis tanaman, umur tanaman, dan lokasi objek pajak. Contoh besarnya BIT adalah sebagaimana terlihat pada gambar 8.3.



3



Lihat Bab 4 mengenai contoh penghitungannya Pajak Bumi dan Bangunan | 61



2.



Areal Belum Produktif Perkebunan, Areal Tidak Produktif Perkebunan, dan Areal Emplasemen Perkebunan



NJOP untuk ketiga areal ini ditentukan dengan pendekatan yang digunakan untuk menentukan NJOP untuk tanah dalam Areal Produktif Perkebunan, yaitu melalui perbandingan dengan harga jual objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama. Gambar 8.3



Biaya Investasi Tanaman per meter persegi untuk tanaman



3.



Areal Pengaman Perkebunan



NJOP untuk Areal Pengaman Perkebunan ditentukan dengan melakukan penyesuaian terhadap NJOP Areal Belum Produktif Perkebunan. 4.



Bangunan



Perlu diperhatikan juga bahwa Areal Emplasemen Perkebunan didefinisikan sebagai areal yang di atasnya digunakan untuk bangunan. Oleh karena itu, dalam PBB Sektor Perkebunan juga memperhitungkan NJOP untuk bangunan yang terdapat dalam Areal Emplasemen Perkebunan. NJOP untuk bangunan tersebut dihitung melalui pendekatan biaya. C. Penghitungan PBB Sektor Perkebunan Contoh Kasus: PT Bio Sawit RX adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara. Perusahaan memperoleh izin berupa IUP pada tanggal 5 Agustus 2013. Objek PBB Sektor Perkebunan terletak di wilayah kerja KPP Pematang Siantar, Kanwil DJP Sumatera Utara II. Berikut ini adalah data terkait bumi dan bangunan yang dimiliki perusahaan per tanggal 14 Februari 2020: 1. Areal yang sudah ditanami seluas 1.770ha. Dari seluruh areal tersebut, areal seluas 300ha berisi tanaman kelapa sawit yang ditanami pada tahun 2015. Kelapa sawit yang ditanami pada tahun 2016 seluas 70ha, pada tahun 2017 seluas 600ha, pada tahun 2018 seluas 300ha, dan pada tahun 2019 seluas 500ha. NJOP untuk tanah pada areal ini yaitu sebesar Rp85.000/m2.



62 | Pajak Bumi dan Bangunan



Gambar 8.4



Alur Proses Penghitungan PBB Sektor Perkebunan



2. Areal yang belum ditanami oleh perusahaan seluas 600ha dengan NJOP sebesar Rp82.000/m2. 3. Areal yang digunakan untuk bangunan perkantoran dan pabrik adalah seluas 1ha dengan NJOP/m2 sebesar Rp354.000. 4. Areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan adalah seluas 858ha dengan NJOP/m2 sebesar Rp1.000. 5. Areal yang digunakan sebagai pengaman kegiatan usaha perkebunan adalah seluas 500ha dengan NJOP/m2 sebesar Rp77.900. 6. Areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU PBB adalah seluas 450ha. 7. Bangunan yang dimiliki perusahaan adalah Perkantoran dan Pabrik dengan NJOP/m2 sebagai berikut: Jenis Bangunan 1 Perkantoran 2 Pabrik



No



Kriteria Bangunan Umum Umum



Luas (m²) 2.500 5.000



NJOP/m² (Rp) 2.500.000 3.500.000



8. Biaya Investasi Tanaman untuk tanaman kelapa sawit sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak adalah sebagai berikut:



Pajak Bumi dan Bangunan | 63



Umur Tanaman 1 2 3 4 5 6 7



BIT/m² (Rp) 4.004 5.161 6.424 7.625 7.567 7.511 7.459



Maka, PBB Terutang untuk Tahun Pajak 2020 atas objek pajak PBB Sektor Perkebunan tersebut adalah: ①



Tahun Tanam 2015 2016 2017 2018 2019 Total







AREAL PRODUKTIF = NJOP untuk tanah + BIT = (17.700.000m² x Rp85.000/m²) + Rp102.085.500.000 = Rp1.504.500.000.000+Rp102.085.500.000 = Rp1.606.585.500.000







AREAL BELUM PRODUKTIF = Luas (m²) x NJOP/per m² = 6.000.000m² x Rp82.000 = Rp492.000.000.000







AREAL EMPLASEMEN = Luas (m²) x NJOP/per m² = 10.000m² x Rp354.000 = Rp3.540.000.000







AREAL PENGAMAN = Luas (m²) x NJOP/per m² = 5.000.000m² x Rp77.900 = Rp389.500.000.000



Luas (ha) 300 70 600 300 500 1.770



Umur Luas (m²) (Tahun) 3.000.000 5 700.000 4 6.000.000 3 3.000.000 2 5.000.000 1 17.700.000



64 | Pajak Bumi dan Bangunan



BIT/m² (Rp) 7.567 7.625 6.424 5.161 4.004



BIT (Rp) 22.701.000.000 5.337.500.000 38.544.000.000 15.483.000.000 20.020.000.000 102.085.500.000







AREAL TIDAK PRODUKTIF = Luas (m²) x NJOP/per m² = 8.580.000m² x Rp1.000 = Rp8.580.000.000







TOTAL NJOP HASIL PENILAIAN AREAL-AREAL = ∑ NJOP Seluruh Areal Permukaan Bumi = Rp2.500.205.500.000







NJOP Bumi/m² = Rp67.040 *) *) Pembulatan ke bawah dalam puluhan rupiah penuh







NJOP BANGUNAN Jenis Kriteria No Bangunan Bangunan 1 Perkantoran Umum 2 Pabrik Umum







Luas (m²) 2.500 5.000 7.500



NJOP/m² (Rp) 2.500.000 3.500.000



NJOP (Rp) 6.250.000.000 17.500.000.000 23.750.000.000



NJOP Bangunan/m² = Rp3.166.660 *) *) Pembulatan ke bawah dalam puluhan rupiah penuh



SPPT berdasarkan penghitungan PBB terutang di atas adalah sebagai berikut:



Pajak Bumi dan Bangunan | 65



RINGKASAN 1) Objek pajak PBB Sektor Perkebunan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan HGU atau izin resmi dari negara. 2) Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Perkebunan dikelompokkan menjadi beberapa areal. 3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Perkebunan memiliki cara penghitungan NJOP masing-masing. 4) NJOP Bumi untuk suatu objek pajak PBB Sektor Perkebunan diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh NJOP dari masing-masing areal ditambah dengan NJOP Bangunan. LATIHAN/PENUGASAN Latihan Sebuah perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki IUP-B sejak tanggal 20 Januari 2016. Anda adalah seorang petugas pajak di KPP Pengadministrasi objek pajak PBB Sektor Perkebunan tersebut. Hitunglah PBB Terutang untuk tahun pajak 2020, jika anda memiliki data pada tanggal 20 Januari 2020 sebagai berikut: 1. Areal yang sudah ditanami seluas 6.210Ha, dengan rincian. Tahun Tanam



Luas (Ha)



2013



1.250



2015



1.200



2016



1.600



2017



980



2019



780



2020



400



2. Areal yang belum ditanami oleh perusahaan seluas 600ha. 3. Areal yang digunakan untuk bangunan seluas 1ha. 4. Areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan adalah seluas 6000m2. 5. Areal yang digunakan sebagai pengaman kegiatan usaha perkebunan adalah seluas 20ha.



66 | Pajak Bumi dan Bangunan



6. Areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU PBB adalah seluas 200m2.



7. Bangunan yang dimiliki perusahaan adalah sebagai berikut: Jenis Penggunaan Bangunan



No 1 2 3 4



Perkantoran Pabrik Perumahan pegawai Gudang Penyimpanan



Kriteria Bangunan



Luas Bangunan (m2)



Umum Umum Umum



2000 3000 2000



Nilai Bangunan/m2 (Rp) Teknik Teknik Meter Survei Persegi kuantitas 850.000 750.000 1.000.000 985.000 996.000 990.000



Khusus



700



2.200.000



2.500.000



8. Biaya Investasi Tanaman untuk tanaman kelapa sawit sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak adalah sebagai berikut Umur Tanaman



BIT/m2 (Rp)



1 2 3 4 5 6 7



4.004 5.161 6.424 7.625 7.567 7.511 7.459



9. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Produktif Perkebunan di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut: No 1 2 3 4



Objek Pembanding Objek 1 Objek 2 Objek 3 Objek 4



Harga Transaksi/m2 Rp600.000 Rp250.000 Rp200.000 Rp580.000



Penyesuaian -4% +5% +2% -1%



10. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Belum Produktif Perkebunan di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut:



Pajak Bumi dan Bangunan | 67



No 1 2 3 4



Objek Pembanding Objek 1 Objek 2 Objek 3 Objek 4



Harga Transaksi/m2 Rp400.000 Rp250.000 Rp220.000 Rp500.000



Penyesuaian -10% -2% -9% -1%



11. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Tidak Produktif Perkebunan di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut: No 1 2 3 4



Objek Pembanding Objek 1 Objek 2 Objek 3 Objek 4



Harga Transaksi/m2 Rp30.000 Rp12.000 Rp29.000 Rp8.000



Penyesuaian -4% +5% -4% +10%



12. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Emplasemen Perkebunan di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut: No 1 2 3 4



Objek Pembanding Objek 1 Objek 2 Objek 3 Objek 4



Harga Transaksi/m2 Rp3.000.000 Rp2.250.000 Rp2.870.000 Rp3.100.000



Besar Penyesuaian -4% +6% -2% -1%



13. Untuk nilai Areal Pengaman Perkebunan, penilai menentukan NJOP/m2nya sebesar 94% dari NJOP/m2 Areal Belum Produktif Perkebunan.



68 | Pajak Bumi dan Bangunan



BAB 9 PBB SEKTOR PERHUTANAN



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Perhutanan 2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Perhutanan 3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Perhutanan



A. Objek Pajak PBB Sektor Perhutanan Objek pajak PBB Sektor Perhutanan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perhutanan. Yang dimaksud dengan kawasan perhutanan yaitu wilayah perhutanan yang telah diberikan izin untuk mengelola Hutan Produksi oleh negara. Hutan Produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Dalam pengenaan PBB Sekor Perhutanan, Hutan Produksi dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu Hutan Alam dan Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri). Yang dimaksud Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Sedangkan, Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Izin pengelolaan Hutan Produksi yang menjadi objek pajak PBB Sektor Perhutanan dapat berupa: •



Izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. Izin ini disebut dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA). Sebelum berlakunya ketentuan mengenai izin pengelolaan perhutanan yang baru, izin ini dikenal dengan nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH).







Izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil. Izin ini dikenal dengan Izin



Pajak Bumi dan Bangunan | 69



Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHBKHA). •



Izin usaha untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Izin ini dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).







Izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Izin ini dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Sebelumnya izin ini disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI).







Izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil. Izin ini dikenal dengan nama Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT).







Penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Jika terdapat areal yang berada di luar areal yang telah diberikan izin, namun areal tersebut secara fisik tidak terpisahkan dengan areal yang telah diberikan izin, maka areal tersebut ditetapkan sebagai bagian dari objek pajak PBB Sektor Perhutanan. Yang dimaksud dengan areal yang secara fisik tidak terpisahkan yaitu yaitu areal yang bersinggungan dengan areal yang diberikan izin, serta areal yang dihubungkan dengan sungai, parit, jalan atau jembatan. Perhatikan ilustrasi pada Gambar 8.1 mengenai hal ini. Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek pajak berupa bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal sebagai berikut: 1.



Areal yang dikenakan PBB • Areal Produktif Perhutanan Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Alam adalah areal blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin IUPHHK-HA dan/atau areal blok pemanenan



70 | Pajak Bumi dan Bangunan



pada Hutan Alam dengan izin IUPHHBK-HA. Sedangkan, Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman adalah areal yang telah ditanami pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perum Perhutani. Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman ini meliputi tanah dan pengembangan tanah berupa tanaman, sebagaimana Areal Produktif Perkebunan.4 • Areal Belum Produktif Perhutanan Areal Belum Produktif Perhutanan pada Hutan Alam merupakan areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan IUPHHK-HA dan/atau areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam dengan IUPHHBK-HA. Sedangkan, Areal Belum Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman merupakan areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau areal yang sudah diolah pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perum Perhutani. • Areal Tidak Produktif Perhutanan Areal Tidak Produktif Perhutanan pada Hutan Alam merupakan areal pada Hutan Alam dengan IUPHHK-RE yang belum tercapai keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan, Areal Tidak Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman merupakan areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perhutanan, yang meliputi areal tidak layak kelola, areal pengelolaan sosial dan tanaman kehidupan, areal yang dimanfaatkan oleh selain subjek pajak atau wajib pajak secara tidak sah, serta areal yang dimanfaatkan tidak sepenuhnya oleh selain subjek pajak atau wajib pajak secara sah. • Areal Pengaman Perhutanan Areal Pengaman Perhutanan merupakan areal yang telah melalui proses rekayasa dan dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perhutanan meliputi areal log ponds atau log yards, tempat pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit, dan tanggul. • Areal Emplasemen Perhutanan Areal Emplasemen Perhutanan merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya. • Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan



4



Telah dibahas di Bab 8



Pajak Bumi dan Bangunan | 71



Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan merupakan areal yang memiliki fungsi dan peruntukan sebagai perlindungan dan konservasi, meliputi sungai, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, zona penyangga (buffer zone). Termasuk pula dalam areal ini yaitu areal hutan yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest). 2.



Areal yang tidak dikenakan PBB • Areal Lainnya Areal ini yaitu areal yang telah disebutkan dalam UU PBB Pasal 3 ayat (1) yang terdapat dalam objek pajak PBB Sektor perhutanan. • Areal yang hak atas areal tersebut dipunyai dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh selain subjek pajak atau wajib pajak.



B. Penetapan NJOP 1.



Areal Produktif Perhutanan



NJOP Bumi untuk Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Alam ditentukan menggunakan pendekatan pendapatan. NJOP Bumi diperoleh dari hasil perkalian antara pendapatan bersih hasil hutan dengan angka kapitalisasi (ditetapkan sebesar 8,5). Berdasarkan data rata-rata biaya produksi selama satu tahun, Direktur Jenderal Pajak menetapkan bahwa biaya produksi untuk kegiatan usaha perhutanan yaitu sebesar 75%. Atau, dengan kata lain, Direktur Jenderal Pajak menetapkan bahwa pendapatan bersih yang digunakan dalam penghitungan NJOP Bumi untuk Areal Produktif Perhutanan adalah sebesar 25% dari pendapatan kotor. Pendapatan kotor merupakan hasil perkalian antara jumlah hasil produksi hasil hutan (berupa kayu maupun bukan kayu) dengan harga jual rata-rata. Harga jual rata-rata merupakan harga jual rata-rata yang terjadi pada tempat penimbunan kayu. Sesuai dengan konsep pendekatan pendapatan yang dibahas pada Bab 4, jumlah hasil produksi dan harga jual rata-rata yang digunakan dalam penghitungan merupakan jumlah produksi dan harga rata-rata dalam satu tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Sementara itu, NJOP Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman meliputi NJOP untuk tanah dan NJOP untuk pengembangan tanah berupa tanaman/pohon. NJOP berupa tanah ditentukan melalui perbandingan dengan harga jual objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dengan tanah tersebut. Sementara itu, NJOP untuk pengembangan tanah berupa



72 | Pajak Bumi dan Bangunan



tanaman ditentukan dengan menghitung besarnya Biaya Investasi Tanaman (BIT). BIT dihitung dengan menjumlahkan biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Besarnya BIT ini ditetapkan setiap tahun oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan jenis tanaman, umur tanaman, dan lokasi objek pajak. Contoh besarnya BIT pada PBB Sektor Perhutanan untuk Provinsi Riau adalah sebagaimana terlihat pada gambar 9.1. Gambar 9.1 Jenis Tanaman



Umur (Tahun)



BIT/m2 (Rp)



I



AKASIA



1 2 3



1.620 1.753 1.872



II



EUKALIPTUS



1 2 3



1.844 1.997 2.132



III



JATI



1 2 3 4 5



1.803 1.953 2.084 2.159 2.197



No



BIT, Provinsi Riau, Kanwil DJP Riau



2.



Areal Belum Produktif Perhutanan dan Areal Emplasemen Perhutanan



NJOP untuk dua areal ini ditentukan melalui perbandingan dengan harga jual objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama. 3.



Areal Tidak Produktif Perhutanan dan Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan



NJOP untuk dua areal ini ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak. NJOP Bumi/m2 untuk Areal Tidak Produktif Perhutanan ditetapkan untuk masingmasing wilayah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9.2. Sementara itu, NJOP Bumi/m2 untuk Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan ditetapkan sebesar Rp58,00. No 1



Pulau Sumatera



Gambar 9.2 Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi,



NJOP/m2 (Rp) 803



Pajak Bumi dan Bangunan | 73



Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung 2



Jawa



DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur



2.950



3



Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara



Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur



1.029



4



Kalimantan



Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara



290



5



Sulawesi



Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Utara



357



6



Kepulauan Maluku dan Papua



Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua



342



NJOP Areal Tidak Produktif Perhutanan



4.



Areal Pengaman Perhutanan



NJOP untuk Areal Pengaman Perhutanan ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi/m2 untuk Areal Belum Produktif Perhutanan. Penyesuaian dilakukan dengan menyesuaikan nilai antara objek pembanding (Areal Belum Produktif Perhutanan) dengan objek yang dinilai (Areal Pengaman Perhutanan) yang meliputi penyesuaian faktor lokasi, fisik (kontur tanah, ketersediaan infrastruktur, dan jenis tanah), jenis penggunaan tanah, dan keluasan. 5.



Bangunan



NJOP untuk bangunan tersebut dihitung melalui pendekatan biaya.



C. Penghitungan PBB Sektor Perhutanan Penghitungan PBB Sektor Perhutanan menggunakan skema yang sama dengan proses penghitungan PBB Sektor Perkebunan yang dapat dilihat pada Gambar 8.5. Yang menjadi perbedaan hanya adanya tambahan areal permukaan bumi berupa Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan. Contoh Kasus:



74 | Pajak Bumi dan Bangunan



Sebuah objek PBB Sektor Perhutanan berada di Kabupaten A (wilayah kerja KPP Pratama Sampit). Objek tersebut dimanfaatkan oleh PT Rimba Nusantara sejak tahun 2015. Areal Produktif Perhutanan dari kawasan perhutanan (Hutan Alam) tersebut memiliki hasil produksi kayu pada tahun 2019 sebanyak 72.300m3. Harga jual rata-rata/m3 pada tahun tersebut adalah Rp312.877. Biaya yang dikeluarkan selama setahun untuk mendapatkan hasil produksi tersebut adalah sebesar Rp17.000.000.000. Jika NJOP masing-masing areal dan NJOP Bangunan (seluas 5.000m2) di berikan pada tabel berikut, berapakah PBB terutang atas objek pajak PBB Sektor Perhutanan tersebut? Jenis Areal Areal Belum Areal Tidak Produktif Areal Emplasemen Areal Pengaman Areal Lainnya



Luas (m²) 1.150.000 300.000 20.000 200.000 15.000



NJOP/m² 40.295 803 93.531 38.280 -



NJOP Bangunan



Nilai Areal 46.339.250.000 240.900.000 1.870.618.000 7.656.050.000 7.854.000.000



Gambar 9.3



Alur Proses Penghitungan PBB Sektor Perhutanan



Jawab: Dengan menggunakan skema pada Gambar 9.3, maka terlebih dahulu dicari NJOP Bumi Areal Produktif Perhutanan. Pajak Bumi dan Bangunan | 75



Hasil Produksi Harga Jual (m³) Rata-Rata (Rp) 72.300 312.877 (25% x Pendapatan Kotor)



Pendapatan Kotor Pendapatan Bersih AK NJOP Areal Produktif Perhutanan



Pendapatan Kotor (Rp) 22.621.007.100 5.655.251.775 8,5 48.069.640.088



Kemudian menghitung jumlah NJOP Bumi: Jenis Areal Areal Prod Areal Belum Areal Tidak Produktif Areal Emplasemen Areal Pengaman Areal Lainnya NJOP Bumi



Luas (m²) 2.000.000 1.150.000 300.000 20.000 200.000 15.000 3.670.000



NJOP/m² (Rp) 40.295 803 93.531 38.280 -



NJOP (Rp) 48.069.640.088 46.339.250.000 240.900.000 1.870.618.000 7.656.050.000 104.176.458.088



Penghitungan PBB terutang tersebut dituangkan dalam format SPPT berikut:



76 | Pajak Bumi dan Bangunan



Perhatikan bahwa terdapat pembulatan NJOP Bumi/m2 pada penghitungan contoh soal di atas! RINGKASAN 1) Objek pajak PBB Sektor Perhutanan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan izin pengelolaan hutan produksi. 2) Dalam pengenaan PBB, Hutan Produksi dibagi menjadi Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Perbedaan antara Hutan Alam dan Hutan Tanaman dalam proses penghitungan PBB terutang, terletak pada cara penghitungan NJOP Bumi untuk Areal Produktif Perhutanan. 3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Perhutanan memiliki cara penghitungan NJOP masing-masing. 4) NJOP Bumi untuk suatu objek pajak PBB Sektor Perhutanan diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh NJOP dari masing-masing areal ditambah dengan NJOP Bangunan.



LATIHAN/PENUGASAN Latihan PT Run Forest Run adalah perusahaan yang mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan alam di wilayah provinsi Bengkulu, sejak tahun 2010. Perusahaan memperoleh IUPHHK-HA nomor 010980 tanggal 1 Februari 2010, dengan luas areal 37.500 ha. Pembagian luasan areal tersebut adalah sebagai berikut: No



Jenis Areal



Luas (Ha)



1



Areal Produktif



20,000



2



Areal Belum Produktif



11,500



3



Areal Tidak Produktif



3,000



4



Areal Emplasemen



5



Areal Pengaman



6



Areal Lainnya Jumlah



2 2,000 998 37.500



Pajak Bumi dan Bangunan | 77



Hasil produksi pada tahun 2019 untuk areal produktif adalah sebagai berikut: No



Bulan



Hasil Produksi (m3)



Harga satuan produksi/m3 (Rp)



1



Januari



60



200.000



2



Februari



70



300.000



3



Maret



60



250.000



4



April



50



325.000



5



Mei



75



325.000



6



Juni



85



300.000



7



Juli



80



335.000



8



Agustus



65



330.000



9



September



87



310.000



10



Oktober



73



325.000



11



November



88



350.000



12



Desember



90



360.000



Rasio biaya produksi adalah sebesar 75% dan angka kapitalisasi sebesar 8,5. NJOP Bumi Areal Tidak Produktif ditetapkan sebesar Rp803/m2. NJOP Bumi/m2 Areal Belum Produktif Perhutanan dan Areal Emplasemen berturut-turut sebesar Rp588.000 dan Rp1.000.000. Untuk nilai areal pengaman, penilai melakukan penyesuaian sebesar 95% dari nilai areal belum produktif. Perusahaan memiliki bangunan sebagai berikut:



No 1 2 3 4



Jenis Penggunaan Bangunan Perkantoran Pabrik Perumahan Conveyor Belt



Kriteria Bangunan



Luas Bangunan (m2)



Umum Umum Umum Khusus



2000 3000 2000 700



78 | Pajak Bumi dan Bangunan



NJOP Bangunan/m2 (Rp) Teknik Teknik Meter Survei Persegi Kuantitas 850.000 750.000 1.000.000 985.000 996.000 990.000 2.200.000 2.500.000



Hitunglah besarnya PBB yang terutang tahun pajak 2020!



Pajak Bumi dan Bangunan | 79



BAB 10 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi



A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Gambar 10.1



Objek Pajak PBB Pertambangan Migas



Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (PBB Sektor Pertambangan Migas) yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi. Objek pajak berupa bumi di kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi terdiri dari permukaan bumi daratan (onshore), permukaan bumi lepas pantai (offshore), dan/atau tubuh



80 | Pajak Bumi dan Bangunan



bumi. Jenis objek pajak bumi ini dapat berbeda-beda antara suatu objek dengan objek yang lainnya. Misalnya, sebagian besar subjek pajak atau wajib pajak hanya menguasai permukaan bumi onshore dan tubuh bumi saja, sementara yang lain menguasai seluruh jenis objek bumi, termasuk objek pajak offshore. Objek pajak PBB berupa bumi untuk PBB Sektor Pertambangan Migas diilustrasikan pada Gambar 10.1. Kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi meliputi Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang tercantum dalam Kontrak Kerja Sama. Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi (WK Migas) merupakan daerah di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan/atau gas bumi. Sementara itu, Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika terdapat areal di luar WK Migas yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan, maka areal tersebut termasuk dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi. Dalam PBB Sektor Pertambangan Migas, yang termasuk areal yang merupakan satu kesatuan yaitu areal yang dihubungkan oleh panjang jaringan pipa atau panjang jembatan. Termasuk dalam pengertian jaringan pipa yaitu jaringan pipa yang dikuasai oleh subjek pajak atau wajib pajak dengan segala jenis bahan dan konstruksi yang digunakan dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Perhatikan ilustrasi berikut: Gambar 10.2



Ilustrasi Kawasan Pertambangan Minyak dan/atau Gas Bumi



Pajak Bumi dan Bangunan | 81



Keterangan: A : B, C, D, dan F :



E



:



WK Migas. Areal di luar WK Migas yang terhubung oleh jalan, jembatan, sungai, atau jaringan pipa. Areal dimaksud dapat berupa areal yang di atasnya dibangun fasilitas penunjang kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi, termasuk kantor operasional, perumahan karyawan, fasilitas pengolahan, fasilitas penyimpanan, atau pelabuhan (jetty). Areal di luar WK Migas yang terhubung oleh satu atau lebih titik koordinat yang sama.



Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek pajak berupa bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal. 1.



Objek Pajak yang Dikenakan PBB a. Permukaan Bumi Onshore Yaitu permukaan bumi berupa tanah (onshore) yang telah dimiliki (berupa hak atas tanah) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak. Selain itu, objek pajak PBB tersebut juga telah digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi, termasuk untuk pendirian fasilitas dan penunjangnya. Sebagai ilustrasi, lihat Gambar 10.3. Jika subjek pajak atau wajib pajak memiliki hak atas tanah seluas daerah yang dibatasi dengan garis putus-putus berwarna biru, maka seluas itulah objek pajak permukaan bumi yang dikenakan PBB Gambar 10.3



Minyak Bumi



Objek Pajak PBB – Permukaan Bumi Onshore



Pengelompokan areal untuk objek pajak PBB permukaan bumi onshore adalah sebagai berikut: 82 | Pajak Bumi dan Bangunan



• Areal Produktif Pertambangan Migas, yaitu areal yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi; • Areal Belum Produktif Pertambangan Migas, yaitu areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi; • Areal Tidak Produktif Pertambangan Migas, yaitu areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi; • Areal Pengaman Pertambangan Migas, yaitu areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi; dan • Areal Emplasemen Pertambangan Migas, yaitu areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjang kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi. b. Permukaan Bumi Offshore Permukaan bumi berupa perairan (offshore) adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, di wilayah perairan NKRI.5 Permukaan bumi Offshore hanya terdiri dari Areal Offshore Pertambangan Migas. Areal ini meliputi areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi, termasuk daerah terlarang yang dikuasai oleh subjek pajak atau wajib pajak, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai landas kontinen. Gambar 10.4



Objek Pajak PBB – Permukaan Bumi Offshore



5



Definisi dari “perairan NKRI” dapat dilihat pada Bab 1



Pajak Bumi dan Bangunan | 83



c. Tubuh Bumi Tubuh bumi yang dikenakan PBB meliputi seluruh tubuh bumi yang berada di bawah WK Migas yang tercantum dalam Kontrak Kerja Sama. Dalam menetapkan NJOP, tubuh bumi dikategorikan menjadi: • Tubuh Bumi Eksplorasi Tubuh Bumi Eksplorasi merupakan tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi pada kegiatan eksplorasi. Yang dimaksud dengan kegiatan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau gas bumi, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam WK Migas. • Tubuh Bumi Eksploitasi Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi pada kegiatan eksploitasi. Yang dimaksud dengan kegiatan eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi dari WK Migas. d. Objek Bangunan Bangunan yang dikenakan PBB Sektor Pertambangan Migas yaitu bangunan yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi. Dalam proses penentuan NJOP Bangunan, bangunan diklasifikasikan menjadi bangunan kelompok I untuk jenis penggunaan bangunan umum dan bangunan kelompok II untuk jenis penggunaan bangunan khusus. 2.



Objek Pajak PBB Yang Tidak Dikenakan PBB



Yang termasuk objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah: a. Permukaan bumi onshore serta permukaan bumi offshore yang merupakan objek pajak yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB. b. Permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak.



B. Penetapan NJOP Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan NJOP bervariasi tergantung jenis objek pajaknya. Selain itu, untuk objek pajak PBB berupa bumi, tata cara penetapan NJOP juga dibedakan berdasarkan jenis areal atau tahapan kegiatan.



84 | Pajak Bumi dan Bangunan



1. Objek Pajak PBB Berupa Bumi a. Permukaan bumi onshore Penentuan NJOP Bumi per areal untuk permukaan bumi onshore disajikan sebagai berikut: 1) NJOP Bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Migas dan Areal Emplasemen Pertambangan Migas ditentukan berdasarkan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis. 2) NJOP Bumi untuk Areal Produktif Pertambangan Migas, Areal Tidak Produktif Pertambangan Migas, dan Areal Pengaman Pertambangan Migas ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Migas. NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore merupakan total penjumlahan NJOP Bumi untuk masing-masing areal di atas. b. Permukaan bumi offshore NJOP Bumi/m2 untuk permukaan bumi offshore berupa Areal Offshore Pertambangan Migas ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp11.458. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi. 2. Tubuh Bumi Penentuan NJOP Tubuh Bumi terbagi ke dalam 3 kategori: a. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp140. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas WK. b. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi ditentukan dengan pendekatan pendapatan, yaitu melalui hasil perkalian pendapatan minyak dan/atau gas bumi dengan angka kapitalisasi (sebesar 10,04). Pendapatan minyak dan/atau gas bumi yang digunakan adalah penjualan kotor (gross sales) minyak dan/atau gas bumi sebagaimana tertuang dalam Financial Quarterly Report (FQR) triwulan IV Wajib Pajak pada tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Apabila penjualan kotor disajikan menggunakan satuan mata uang selain mata uang Rupiah, penjualan kotor harus dikonversi ke dalam satuan mata uang Rupiah berdasarkan Kurs Menteri Keuangan pada tanggal 1 Januari tahun pajak PBB terutang. c. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP Bumi/m2 untuk



Pajak Bumi dan Bangunan | 85



tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas WK Migas. 3. Objek Bangunan NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas ditentukan berdasarkan estimasi nilai perolehan baru. Perlu diperhatikan pula bahwa objek bangunan dalam PBB Sektor Pertambangan Migas juga mungkin terdapat pada Areal Produktif dan Areal Tidak Produktif. Pembahasan mengenai pendekatan ini telah dibahas pada Bab 4.



C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas Dengan menggunakan Gambar 3.2 sebagai model awal, maka proses penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas dapat dikembangkan dari Gambar 3.2 dengan menambahkan proses penghitungan NJOP Bumi untuk masing-masing areal pada PBB Sektor Pertambangan Migas. NJOP Bumi dari masing-masing areal tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan NJOP Bumi secara total untuk suatu objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas. Proses penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas untuk masing-masing jenis objek pajak dapat menggunakan skema pada gambar-gambar berikut. Gambar 10.5



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Permukaan Bumi Onshore



86 | Pajak Bumi dan Bangunan



Gambar 10.6



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Permukaan Bumi Offshore



Gambar 10.7



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Tubuh Bumi Eksploitasi



Pajak Bumi dan Bangunan | 87



Gambar 10.8



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Tubuh Bumi Eksplorasi



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas dihitung untuk masing-masing jenis objek pajak. Sebagai contoh, jika PT A memiliki WK seluas 2.000Ha yang meliputi onshore, offshore, dan tentu saja tubuh bumi. Wilayah permukaan bumi onshore terletak pada satu kabupaten dan digunakan oleh PT A untuk tempat kantor manajemen dan tangki penampungan minyak bumi. PT A juga memiliki kilang minyak lepas pantai yang digunakan untuk mengambil minyak bumi. Dengan contoh kasus seperti ini, PBB terutang akan dihitung untuk setiap jenis bumi objek pajak. Sehingga, PBB terutang yang harus ditetapkan oleh DJP yaitu PBB terutang untuk permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan tubuh bumi. Contoh: PT PERTAMINI menandatangani Kontrak Kerja Sama Minyak Bumi pada awal Desember 2018. Berdasarkan Kontrak Tersebut, PT PERTAMINI memiliki izin untuk mengelola Wilayah Kerja onshore seluas 8km². PT PERTAMINI telah mengembalikan SPOP sesuai dengan waktu dengan melampirkan surat rekomendasi dari Menteri ESDM yang menyatakan bahwa objek PBB masih pada tahap eksplorasi. Berdasarkan SPOP yang telah disampaikan oleh PT PERTAMINI, luas permukaan bumi yang telah dimiliki HGU-nya oleh PT Pertamini adalah seluas 3ha dan didalamnya telah didirikan gedung perkantoran seluas 1.000m2. Selama tahun 2019, PT PERTAMINI mulai melakukan studi kelayakan untuk beberapa titik di Wilayah Kerja tersebut. Jika diketahui NJOP Bumi untuk permukaan bumi sebesar Rp900.000.000 dan NJOP Bangunan sebesar Rp225.000.000. Berapa PBB terutang objek pajak tersebut untuk Tahun Pajak 2020?



88 | Pajak Bumi dan Bangunan



Jawab: 1. Penghitungan PBB terutang untuk permukaan bumi yang dituangkan dalam format SPPT.



2. Penghitungan PBB terutang untuk tubuh bumi.



NJOP/m² Luas WK NJOP NJOPTKP NJKP PBB terutang



Rp140 Rp8.000.000 Rp1.120.000.000 0 Rp1.120.000.000 40% Rp448.000.000 0,5% Rp2.240.000



Pajak Bumi dan Bangunan | 89



Pengurangan PBB sebesar Rp2.2.40.000 (100% dari PBB terutang) diberikan karena kegiatan usaha PT PERTAMINI masih dalam tahap eksplorasi dan PT PERTAMINI telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengurangan PBB sebagaimana telah dibahas pada Bab 7.



RINGKASAN 1) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan HGU atau izin resmi dari negara. 2) Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Pertambangan Migas dikelompokkan menjadi beberapa areal. 3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas memiliki cara penghitungan NJOP masing-masing.



90 | Pajak Bumi dan Bangunan



LATIHAN/PENUGASAN Latihan 1. JO Qatar Oil Tajirun merupakan sebuah perusahaan pertambangan minyak bumi. Sejak tahun 2005, perusahaan sudah memiliki izin usaha pertambangan. Wilayah Kerja perusahaan berada di pedalaman Papua dengan Luas Wilayah Kerja 30 ha. Berikut adalah data perusahaan per 1 Januari 2020 dengan rincian sebagai berikut: NJOP/m2 Jenis Areal Luas (Bumi/bangunan) Onshore : 4 ha Rp.7.000 Produktif 10 ha Rp.5.000 Belum Produktif 3 ha Rp.2.000 Tidak Produktif Emplasemen : 1. Kantor JO Qatar Oil Tajirun Bumi/Tanah 400 m2 Rp.40.000 Bangunan 800 m2 Rp. 350.000 2. Perumahan Bumi/Tanah 6.000 m2 Rp.40.000 Bangunan



5.000 m2



Rp. 370.000



1.500 m2



Rp.40.000



m2



Rp. 800.000



7.000 m2 6.500 m2 500 m2



Rp.40.000 Rp. 700.000 Rp 1.500.000



3. Tangki (tank) Bumi/Tanah Bangunan



-



4. Oil Processing Plant Bumi/Tanah Bangunan Bangunan Khusus berupa sumur minyak



1.000



Hasil penjualan minyak bumi pada FQR IV tahun 2019 sebesar US$78,000. Angka Kapitalisasi = 10,04 Kurs yang ditetapkan: US$ 1 = Rp 15.000 Instruksi: Hitunglah PBB terutang untuk Tahun Pajak 2020!



Pajak Bumi dan Bangunan | 91



BAB 11 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi 2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi 3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi A. Pengusahaan Panas Bumi Praktik kegiatan usaha panas bumi (geothermal) offshore sudah mulai dikembangkan di dunia. Para ahli telah mengidentifikasi sejumlah situs panas bumi offshore di dunia yang berpotensi untuk diusahakan, salah satunya hasil kajian Italiano, et. al. (2014) yang menarasikan sejumlah situs panas bumi offshore potensial, antara lain: Gulf of California (Meksiko), the Juan the Fuca Ridge (USA), Okhotsk Sea (Rusia), Tyrrhenian Sea (Italia). Studi terkini atas pemanfaatan panas bumi offshore setidaknya telah dilakukan di dua tempat, yaitu Marsili Project (Tyrrhenian Sea, Italia) dan Reykjanes Peninsula (Islandia). Riset Marsili Project bahkan telah dimulai sejak 2006. Izin untuk mengusahakan offshore geothermal diterbitkan tahun 2009, dan menjadi proyek offshore geothermal pertama di dunia. Berdasarkan hasil kajian Bank Dunia, Indonesia mempunyai cadangan panas bumi terbesar di dunia, yaitu 29 gigawatts (GW) dari 80 GW (World Bank, 2017). Cadangan yang besar ini tak lain karena Indonesia berada di cincin api Pasifik, dengan sejumlah gunung api yang masih aktif baik di daratan maupun di bawah laut. Bank Dunia memberikan perhatian besar terhadap pemanfaatan energi panas bumi, karena ini merupakan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan. Peningkatan utilisasi panas bumi dalam bauran energi



92 | Pajak Bumi dan Bangunan



global akan turut mempengaruhi penurunan emisi karbon yang selama ini dihasilkan energi fosil. Target tersebut sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan target penggunaaan EBT sebesar 23% pada 2025. Pemerintah menargetkan peningkatan produksi listrik dari pemanfaatan energi panas bumi dengan total kapasitas terpasang menjadi 7,1 GW pada tahun 2025 (PGE, 2015). Saat ini panas bumi menjadi sumber EBT terbesar kedua di Indonesia. Dalam konteks potensi panas bumi offshore, perairan Indonesia juga memiliki potensi yang cukup besar. Sedikitnya tercatat ada 6 gunung berapi bawah laut di perairan Sulawesi Utara, antara lain Gunung Hobal, Gunung Emperor Of China, Gunung Niuwewerker, Gunung Banua Wuhu, Gunung Submarin 1922, dan Gunung Kawio Barat (Prabowo, et. al., 2017). Berdasarkan hasil analisis pendahuluan terhadap aspek teknologi, ekonomi, dan potensi geologi, terdapat potensi panas bumi yang dapat dimanfaatkan pembangkit listrik di masa mendatang di kawasan gunung api bawah laut Kawio Barat, Banua Wuhu, dan Submarin 1922 (Prasojo, et. al, 2014).



B. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Pabum Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi (PBB Sektor Pertambangan Pabum) yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi. Adapun objek bumi di kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi terdiri dari permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan/atau tubuh bumi. Jenis objek pajak bumi ini dapat berbeda-beda antara suatu objek dengan objek yang lainnya. Misalnya, sebagian besar subjek pajak atau wajib pajak hanya menguasai permukaan bumi onshore dan tubuh bumi saja. Untuk saat ini, belum ada subjek pajak atau wajib pajak di Indonesia yang melakukan pengusahaan panas bumi di area lepas pantai (offshore), namun demikian, payung hukum pemajakan PBB di Indonesia telah disiapkan terlebih dahulu. Kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi meliputi Wilayah Kerja Panas Bumi (WK Pabum) sebagaimana tercantum dalam Izin Panas Bumi, Kuasa Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, atau penugasan pengusahaan panas bumi. Jika terdapat areal di luar WK Pabum yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan panas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan, maka areal tersebut termasuk dalam kawasan pertambangan panas bumi. Lihat lagi Gambar 10.2 yang telah mengilustrasikan mengenai hal ini. Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal sebagai berikut:



Pajak Bumi dan Bangunan | 93



Areal yang dikenakan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi berbeda, tergantung jenis objek buminya. Untuk Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore, areal yang dikenakan PBB meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan untuk pengusahaan panas bumi termasuk fasilitas dan penunjangnya. Sedangkan, untuk Tubuh bumi, areal yang dikenakan PBB meliputi Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Sama. Untuk menetapkan NJOP bumi, masing-masing jenis objek pajak bumi dikelompokkan sebagai berikut: 1. Objek Pajak yang Dikenakan PBB a. Permukaan bumi onshore Permukaan bumi onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi. Permukaan bumi onshore yang dikenakan PBB yaitu tanah yang telah dimiliki (berupa hak atas tanah) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak, serta telah digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan panas bumi, termasuk untuk pendirian fasilitas dan penunjangnya. Ilustrasi mengenai permukaan bumi onshore dapat dilihat pada Gambar 10.3. Pengelompokan areal untuk objek pajak PBB permukaan bumi onshore adalah sebagai berikut: • Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu areal yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi; • Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi; • Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi; • Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan pengusahaan panas bumi; dan • Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjang kegiatan pengusahaan panas bumi. b. Permukaan bumi offshore



94 | Pajak Bumi dan Bangunan



Permukaan bumi offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, di wilayah perairan NKRI. Permukaan bumi offshore, disebut juga dengan Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, adalah areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan untuk pengusahaan panas bumi. Luas Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi adalah seluas wilayah perairan yang telah dimiliki (berupa izin atas wilayah perairan) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak, serta telah digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan panas bumi. Ilustrasi mengenai hal ini juga telah diilustrasikan pada Gambar 10.4. c. Tubuh Bumi Tubuh bumi yang dikenakan PBB meliputi seluruh tubuh bumi yang berada di bawah WK Pabum. Dalam menetapkan NJOP, tubuh bumi dikategorikan menjadi tubuh bumi dalam tahap eksplorasi dan tubuh bumi dalam tahap eksploitasi. Tubuh bumi dalam tahap eksplorasi merupakan tubuh bumi yang dimanfaatkan dalam tahap pencarian informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan panas bumi. Yang termasuk dalam tahapan eksplorasi yaitu kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan. Sementara itu, tubuh bumi dalam tahap eksploitasi adalah tubuh bumi yang dimanfaatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan panas bumi (dapat berupa uap dan/atau listrik). 2. Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB Objek Pajak PBB yang tidak dikenakan PBB terdiri dari permukaan bumi onshore serta permukaan bumi offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, serta permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak.



C. Penetapan NJOP Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan NJOP bervariasi tergantung jenis objek pajaknya. Selain itu, untuk objek pajak PBB berupa bumi, tata cara penetapan NJOP juga dibedakan berdasarkan jenis areal atau tahapan kegiatan. 1. Objek Pajak PBB Berupa Permukaan Bumi a. Permukaan bumi onshore Penentuan NJOP Bumi per areal untuk permukaan bumi onshore disajikan sebagai berikut:



Pajak Bumi dan Bangunan | 95



1) NJOP Bumi Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi dan Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis. Lihat kembali pembahasan pada Bab 4 mengenai cara penghitungan menggunakan pendekatan ini. 2) NJOP Bumi Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, serta Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi. NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore dihitung dari total penjumlahan NJOP Bumi untuk masing-masing areal di atas. b. Permukaan bumi offshore NJOP Bumi/m2 untuk permukaan bumi offshore berupa Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp11.458. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan panas bumi. 2. Objek Pajak PBB Berupa Tubuh Bumi Penentuan NJOP Tubuh Bumi terbagi ke dalam 3 kategori: a. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp140. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas WK. b. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi ditentukan dengan pendekatan pendapatan, yaitu melalui hasil perkalian antara pendapatan uap dan/atau listrik dengan angka kapitalisasi (sebesar 10,04). Yang dimaksud dengan pendapatan uap dan/atau listrik adalah hasil perkalian antara: (1) hasil produksi uap yang terjual dalam tahun terakhir sebelum tahun pajak PBB terutang dengan harga uap (ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp852/kWh); dan/atau (2) hasil produksi listrik yang terjual dalam tahun terakhir sebelum tahun pajak PBB terutang dengan harga listrik (ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp1.187/kWh). c. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP Bumi/m2 untuk



96 | Pajak Bumi dan Bangunan



tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas WK. 3. Objek Pajak PBB berupa Bangunan NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan estimasi nilai perolehan baru. Pembahasan mengenai pendekatan ini telah dibahas pada Bab 4.



D. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Pabum Penghitungan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sangat identik dengan penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas. Satusatunya cara penghitungan yang berbeda yaitu penghitungan NJOP untuk objek pajak berupa tubuh bumi dalam tahap eksploitasi. Gambar 11.1



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi – Tubuh Bumi Eksploitasi



Jika sebuah objek hanya memiliki hasil produksi uap saja atau hasil listrik saja, maka NJOP Bumi dihitung hanya dengan menggunakan salah satu dari hasil tersebut.



Pajak Bumi dan Bangunan | 97



Contoh: PT Inti Geothermal memiliki izin pengusahaan panas bumi sejak tahun 2016. Luas Wilayah Kerja yang dimanfaatkan seluas 20Ha. Selama tahun 2019, perusahaan berhasil menjual 88.000kWh listrik kepada Perusahaan Listrik Negara. Berapakah PBB terutang untuk Tahun Pajak 2020 jika NJOP Bumi dari masing-masing areal dan NJOP Bangunan adalah sebagaimana berikut: Areal Produktif Areal Belum Produktif Areal Tidak Produktif Areal Pengaman Areal Emplasemen Areal Lainnya Areal Kena PBB Bangunan



Luas (m²) 23.000 12.000 1.000 10.000 46.000 9.000



Jawab: PBB terutang untuk permukaan bumi:



98 | Pajak Bumi dan Bangunan



NJOP (Rp) 74.750.000 18.000.000 1.000.000 458.250.000 552.000.000 8.712.000.000



PBB terutang untuk tubuh bumi: Hasil Listrik Terjual (kWh) Harga Listrik/kWh Pendapatan Kotor Angka Kapitalisasi NJOP Bumi



88.000 Rp1.187 Rp104.456.000 10,04 Rp1.048.738.240



RINGKASAN 1) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan HGU atau izin resmi dari negara. 2) Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal. 3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi memiliki cara penghitungan NJOP masingmasing.



Pajak Bumi dan Bangunan | 99



4) Tata cara penghitungan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi identik dengan tata cara penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas, kecuali penghitungan PBB terutang untuk objek pajak berupa tubuh bumi dalam tahap eksploitasi.



LATIHAN/PENUGASAN Latihan PT PNL memiliki Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi dengan WK seluas 200Ha. Jika Pada tahun 2019, PT PNL berhasil menghasilkan uap 2.000 ton per jam, menjual uap 170.000kWh, dan menjual listrik 300.000kWh. Berapa PBB terutang untuk objek pajak berupa tubuh bumi pada WK tersebut?



Diskusi Mengapa PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi tidak disebut dengan istilah “PBB Sektor Pertambangan Panas Bumi” saja?



100 | Pajak Bumi dan Bangunan



BAB 12 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL ATAU BATUBARA



Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara 2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara 3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara (PBB Sektor Pertambangan Minerba) yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara. Objek pajak PBB berupa bumi di kawasan pertambangan mineral atau batubara terdiri dari permukaan bumi daratan (onshore), permukaan lepas pantai (offshore), dan tubuh bumi. Setiap kawasan pertambangan dapat memiliki jenis objek pajak bumi yang berbeda. Misalnya, objek pajak pertambangan batubara di Berau (Kalimantan Timur), hanya memiliki jenis objek pajak PBB berupa permukaan bumi onshore dan tubuh bumi. Sementara itu, PT Timah memiliki Izin Usaha Pertambangan di daratan dan lepas pantai Kepulauan Bangka, Belitung, dan Kundur. Perbedaan antara pertambangan mineral atau batubara dengan pertambangan minyak dan gas bumi adalah letak sumber daya yang akan diekstraksi. Sumber daya mineral atau batubara umumnya berada di lapisan yang dekat dengan permukaan bumi. Ilustrasi dari kawasan pertambangan mineral atau batubara dapat dilihat pada gambar 12.1. Kawasan pertambangan mineral atau batubara meliputi wilayah yang tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Jika terdapat wilayah di luar wilayah tersebut yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral



Pajak Bumi dan Bangunan | 101



atau batubara, dan secara fisik tidak terpisahkan, maka areal tersebut termasuk dalam kawasan pertambangan mineral dan batubara. Lihat kembali Gambar 10.2 yang telah mengilustrasikan mengenai hal ini. Yang dimaksud dengan satu kesatuan usaha adalah areal di luar areal izin, kontrak, atau perjanjian yang dimiliki dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak yang sama. Sedangkan, yang dimaksud dengan secara fisik tidak terpisahkan dapat dijelaskan lebih detail sebagai berikut: •







areal berupa emplasemen atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama dengan titik koordinat areal izin, kontrak, atau perjanjian dengan atau tanpa pembatas; atau areal yang terhubung dengan areal izin, kontrak, atau perjanjian melalui sungai, jalan, jaringan pipa, konveyor, atau jembatan. Gambar 12.1



Kawasan Pertambangan Batubara



Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal sebagai berikut: 1. Objek Pajak PBB yang Dikenakan PBB a. Permukaan Bumi Onshore Yaitu permukaan bumi berupa tanah (onshore) yang telah dimiliki (berupa hak atas tanah) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak. Selain itu, objek pajak PBB tersebut juga telah digunakan untuk



102 | Pajak Bumi dan Bangunan



kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara, termasuk untuk pendirian fasilitas dan penunjangnya. Sebagai ilustrasi, objek pajak permukaan bumi onshore adalah wilayah yang dibatasi dengan garis merah pada Gambar 12.1. Pengelompokkan areal untuk objek pajak PBB permukaan bumi onshore adalah sebagai berikut: • Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu areal yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan mineral atau batubara atau yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan/atau studi kelayakan; • Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu areal yang belum dilakukan pengambilan mineral atau batubara; • Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang tidak dapat diusahakan penambangan mineral atau batubara, atau yang telah selesai diusahakan penambangan mineral atau batubara; • Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara; dan • Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjang kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara. b. Permukaan Bumi Offshore Permukaan bumi berupa perairan (offshore) adalah perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara, di wilayah perairan NKRI. Permukaan bumi offshore hanya terdiri dari Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara. Areal ini meliputi areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara. c. Tubuh Bumi Tubuh bumi yang dikenakan PBB meliputi tubuh bumi yang berada di bawah wilayah yang tercantum dalam dokumen Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Dalam proses penetapan NJOP, tubuh bumi dikategorikan menjadi: • Tubuh Bumi Eksplorasi Tubuh bumi eksplorasi merupakan tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara pada tahapan kegiatan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan



Pajak Bumi dan Bangunan | 103



memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan mineral atau batubara, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam wilayah yang tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. • Tubuh Bumi Operasi Produksi Tubuh bumi operasi produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara pada tahapan kegiatan operasi produksi. Kegiatan operasi produksi pada dasarnya sama dengan kegiatan ekspoitasi pada PBB Sektor Pertambangan Migas, yaitu kegiatan usaha untuk mengekstraksi sumber daya alam. Definisi dari kegiatan operasi produksi dalam peraturan yaitu kegiatan pertambangan mineral atau batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. d. Objek Bangunan Bangunan yang dikenakan PBB Sektor Pertambangan Minerba yaitu bangunan yang berada dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara. Dalam proses penentuan NJOP Bangunan, bangunan diklasifikasikan menjadi bangunan kelompok I untuk jenis penggunaan bangunan umum dan bangunan kelompok II untuk jenis penggunaan bangunan khusus. 2. Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB a. Permukaan bumi onshore serta permukaan bumi offshore yang merupakan objek pajak yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB. b. Permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak.



B. Penetapan NJOP Serupa dengan penetapan NJOP pada PBB Sektor Pertambangan Migas, tata cara penetapan NJOP untuk objek pajak PBB berupa bumi bervariasi tergantung dari jenis objek pajak, jenis areal, dan tahapan kegiatan. 1. Objek Pajak PBB Berupa Permukaan Bumi



104 | Pajak Bumi dan Bangunan



a. Permukaan bumi onshore Penentuan NJOP Bumi per areal untuk permukaan bumi onshore disajikan sebagai berikut: 1) NJOP Bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara dan NJOP Bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis. Lihat pembahasan pada Bab 4 untuk mendapatkan gambaran mengenai penghitungannya. 2) NJOP Bumi untuk Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi/m2 untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara. NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore merupakan total penjumlahan NJOP Bumi untuk masing-masing areal di atas. Yang membedakan antara PBB Sektor Pertambangan Minerba dengan PBB Sektor Pertambangan Migas serta PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, adalah tidak adanya kategori Areal Produktif Pertambangan pada permukaan bumi onshore. Hal ini menyesuaikan dengan karakter kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara, yang pada umumnya melakukan kegiatan penggalian atau pengupasan tanah di permukaan bumi onshore yang mengandung cadangan mineral atau batubara, untuk kemudian dilakukan pengolahan. Kegiatan pengupasan ini meninggalkan lubang pada permukaan bumi, sehingga areal produktif pada permukaan bumi seolah-olah sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya, NJOP permukaan ini dianggap telah tercermin dari NJOP tubuh bumi di bawahnya. b. Permukaan Bumi Offshore NJOP Bumi/m2 untuk permukaan bumi offshore berupa Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp11.458. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. 2. Objek Pajak PBB Berupa Tubuh Bumi Penentuan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi terbagi ke dalam 4 kategori: a. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp140.



Pajak Bumi dan Bangunan | 105



b. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap operasi produksi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksplorasi. c. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap operasi produksi yang telah mempunyai hasil produksi ditentukan dengan pendekatan pendapatan, yaitu melalui hasil perkalian pendapatan bersih (pendapatan kotor dikurangi biaya produksi) dengan angka kapitalisasi. Angka kapitalisasi yang digunakan yaitu sebesar 8,20 jika yang ditambang adalah sumber daya alam berupa mineral. Sementara itu, jika yang ditambang adalah batubara, maka angka kapitalisasinya sebesar 10,25. Pendapatan kotor merupakan hasil perkalian antara hasil produksi dengan harga jual rata-rata. Harga jual rata-rata dihitung dengan cara membagi jumlah total penjualan dengan volume penjualan. Sesuai dengan konsep pendekatan pendapatan yang dibahas pada Bab 4, seluruh angka (hasil produksi, jumlah penjualan, dan volume penjualan) merupakan jumlah agregat dalam satu tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Gambar 12.2



Penghitungan Pendapatan Bersih



Ketentuan mengenai harga jual rata-rata diatur sebagai berikut: 1) Jika harga jual rata-rata disajikan menggunakan satuan mata uang selain mata uang Rupiah, maka harus dikonversi ke dalam satuan mata uang Rupiah berdasarkan Kurs Menteri Keuangan pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang. 2) Jika harga jual rata-rata tidak didapatkan, maka harga jual rata-rata menggunakan harga patokan rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang yang telah ditentukan oleh kementerian yang berwenang. Ketika bahan ajar ini disusun, kementerian yang berwenang yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Harga patokan tersebut tergantung pada jenis sumber daya alam. Harga patokan yang dimaksud terdiri dari Harga Patokan Mineral Logam, Harga Patokan Mineral Bukan Logam, Harga Patokan Batuan, dan Harga Patokan Batubara. Harga patokan digunakan untuk komoditas galian tambang yang sejenis dan setara. Sebagai contoh, penjualan ingot timah harus disandingkan pula dengan Harga Patokan Mineral Logam berupa ingot timah. Begitu juga dengan penjualan



106 | Pajak Bumi dan Bangunan



batubara 4.200kcal/kg, harus dibandingkan dengan Harga Patokan Batubara dengan kalori yang sejenis. Definisi dari masing harga patokan tersebut adalah: • Harga Patokan Mineral Logam: Harga mineral logam yang ditentukan pada suatu titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board. • Harga Patokan Mineral Bukan Logam: harga patokan mineral bukan logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota. • Harga Patokan Batuan: harga patokan batuan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota. • Harga Patokan Batubara (HPB): Harga batubara yang ditentukan pada suatu titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board. 3) Jika harga jual rata-rata lebih rendah dari harga patokan rata-rata yang telah ditentukan oleh kementerian yang berwenang, maka harga jual rata-rata ditetapkan menggunakan harga patokan rata-rata yang telah ditentukan oleh kementerian yang berwenang dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Untuk mengilustrasikan hal ini, perhatikan tabel berikut: Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember



HPB (USD/ton) 92.41 91.80 90.57 88.85 81.86 81.48 71.92 72.67 65.79 64.80 66.27 66.30



Jika selama tahun 2019 diketahui bahwa wajib pajak berhasil menjual 40 juta ton batubara senilai Rp41.338.000.000.000 dan HPB sebagaimana pada tabel, maka untuk menentukan harga jual rata-rata yang akan digunakan dalam menghitung pendapatan kotor adalah



Pajak Bumi dan Bangunan | 107



dengan membandingkan rata-rata harga penjualan batubara oleh wajib pajak dan rata-rata HPB. ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 =



𝑅𝑝41.338.000.000.000 = 𝑅𝑝1.033.450/𝑡𝑜𝑛 40.000.000 𝑡𝑜𝑛



Sementra itu, HPB rata-rata berdasarkan tabel adalah sebesar 77.89 USD/ton ≈ Rp1.087.422/ton (dikonversi menggunakan Kurs Menteri Keuangan tanggal 1 Januari 2020). Karena rata-rata harga jual perusahaan lebih rendah dari HPB rata-rata, maka yang akan digunakan dalam menghitung pendapatan kotor adalah HPB rata-rata. 4) Jika harga jual rata-rata dan harga patokan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang tidak berhasil didapatkan, harga jual rata-rata dihitung oleh Penilai. Yang dimaksud dengan biaya produksi adalah biaya untuk memperoleh hasil produksi mineral atau batubara dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Biaya produksi harus memenuhi syarat kumulatif sebagai di bawah ini. 1) Pengakuan biaya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan. 2) Pengakuan biaya harus sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sehubungan dengan syarat kewajaran dan kelaziman usaha, Penilai berwenang melakukan penilaian atas kewajaran biaya produksi. 3) Biaya produksi merupakan biaya yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan pada tahap operasi produksi berupa: (a) pengupasan lapisan tanah; (b) pengambilan hasil produksi mineral atau batubara; (c) pengolahan dan/atau pemurnian hasil produksi mineral atau batubara; dan/atau (d) pengangkutan hasil produksi mineral atau batubara. d. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi ditetapkan sebesar Rp0,00 (nol Rupiah), dalam hal pendapatan bersih mineral atau batubara kurang dari Rp0,00 (nol Rupiah). 3. Objek Pajak PBB Berupa Bangunan NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas ditentukan berdasarkan estimasi nilai perolehan baru. Pembahasan mengenai pendekatan ini telah dibahas pada Bab 4.



108 | Pajak Bumi dan Bangunan



C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba secara garis besar serupa dengan penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas, setidaknya dalam hal penggunaan pendekatan pendapatan dalam menghitung NJOP Bumi berupa Tubuh Bumi. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa dalam penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba ada dua perbedaan yang perlu diperhatikan: • •



Tidak ada Areal Produktif Pertambangan Minerba Pendekatan pendapatan menggunakan pendapatan bersih



Proses penghitungan PBB terutang pada PBB Sektor Pertambangan Minerba untuk objek pajak berupa permukaan bumi onshore dapat dilihat pada Gambar 12.3 berikut. Sementara itu, penghitungan untuk objek pajak berupa permukaan bumi offshore dapat menggunakan ilustrasi penghitungan PBB terutang pada Gambar 10.6 (Bab 10). Gambar 12.3



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba – Permukaan Bumi Onshore



Pajak Bumi dan Bangunan | 109



Gambar 12.4



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba – Tubuh Bumi Operasi Produksi



Ilustrasi penghitungan PBB terutang untuk bumi berupa tubuh bumi dalam tahap operasi produksi dapat dilihat pada Gambar 12.4. Sedangkan ilustrasi penghitungan PBB terutang untuk bumi berupa tubuh bumi dalam tahap eksplorasi tidak terlalu berbeda dengan ilustrasi pada Gambar 10.8 (Bab 10). Satu hal yang berbeda yaitu, alih-alih menggunakan luasan WK Migas, penghitungan pada PBB Sektor Pertambangan Minerba disesuaikan menjadi luasan yang tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Gambar 12.5



Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba – Tubuh Bumi Eksplorasi



110 | Pajak Bumi dan Bangunan



Contoh: Sebuah objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba masih dalam tahap eskplorasi. Obek pajak tersebut meliuputi permukaan bumi berupa daratan (onshore). Luas wilayah Izin Usaha Pertambangan yang diperoleh oleh wajib pajak adalah seluas 800.000m2, dan luas permukaan bumi yang telah dikuasai oleh wajib pajak pada awal tahun pajak adalah seluas 50.000m2. Jika NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore dan NJOP Bangunan atas objek pajak tersebut berturut-turut sebesar Rp216.000.000 dan Rp192.000.000, berapakah PBB terutang atas objek pajak tersebut? Jawab: Penghitungan PBB terutang untuk permukaan bumi: 1 2 3 4 5 6 7 8 9



NJOP sebagai dasar pengenaan PBB NJOPTKP NJOP untuk penghitungan PBB Persentase NJKP NJKP sebagai dasar penghitungan PBB PBB terutang Pengurangan PBB yang telah dibayar PBB yang masih harus dibayar



Rp408.000.000 Rp12.000.000 Rp396.000.000 40% Rp158.400.000 Rp792.000 Rp792.000



Sementara itu, NJOP Bumi untuk tubuh bumi yaitu sebesar: Rp140/m2 x 800.000m2 = Rp112.000.000 Dengan demikian PBB terutang untuk tubuh bumi adalah: 1 2 3 4 5 6 7 8 9



NJOP sebagai dasar pengenaan PBB NJOPTKP NJOP untuk penghitungan PBB Persentase NJKP NJKP sebagai dasar penghitungan PBB PBB terutang Pengurangan PBB yang telah dibayar PBB yang masih harus dibayar



Rp112.000.000 Rp112.000.000 40% Rp44.800.000 Rp224.000 Rp224.000



RINGKASAN 1) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan yang telah diberikan Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan



Pajak Bumi dan Bangunan | 111



2) 3) 4)



5)



Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Pertambangan Minerba dikelompokkan menjadi beberapa areal. Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba memiliki cara penghitungan NJOP masing-masing. NJOP atas bumi untuk suatu objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh NJOP dari masingmasing areal ditambah dengan NJOP Bangunan. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap produksi dihitung dengan menggunakan pendapatan bersih.



LATIHAN/PENUGASAN Latihan PT ROR adalah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan batubara onshore untuk wilayah kerja seluas 50 ha sejak tahun 2010. Perusahaan melakukan eksplorasi selama 5 tahun dan setelah itu perusahaan masuk pada tahap operasi produksi. Data terkait perusahaan adalah sebagai berikut. a. Data Bumi 1) Areal yang sedang dilakukan pengambilan hasil tambang seluas 6 ha 2) Areal yang belum dilakukan pengambilan hasil tambang seluas 25 ha (NJOP Rp 2.000/m2) 3) Areal yang tidak terdapat cadangan produksi seluas 3 ha (NJOP Rp1.950/ m2) 4) Areal untuk jalur keselamatan lingkungan seluas 2 ha (NJOP Rp2.250/ m2) 5) Sisa luasan izin merupakan areal yang tidak dipunyai haknya atau diperoleh manfaatnya. b. Data bangunan Bangunan



Mess Gudang Bangunan Parkir Tempat Ibadah Dermaga Konveyor



Luas Tanah (m2)



Luas Bangunan (m2)



Biaya Pembangunan Baru (Rp/ m2)



Penyusutan



800 600 400



NJOP Tanah (Rp/ m2) 75.000 75.000 75.000



1.000 700 500



375.000 350.000 250.000



15% 15% 15%



400



700



75.000



300.000



15%



2.500 4.000



2.000 3.000



75.000 75.000



800.000 1.350.000



10% 10%



112 | Pajak Bumi dan Bangunan



c. Sebagian Data Biaya tahun 2019 dalam laporan keuangan: 1) Biaya gaji bagian personalia Rp800.000.000 2) Biaya pengupasan tanah Rp2.000.000.000 3) Biaya pengambilan hasil tambang Rp3.500.000.000 4) Biaya pemurnian hasil tambang Rp2.750.000.000 5) Biaya pengangkutan ke kapal Rp950.000.000 6) Biaya Pemeliharaan pelabuhan Rp500.000.000 Berdasarkan hasil analisis DJP, biaya produksi galian tambang rata-rata untuk tahun 2019 adalah sebesar 75% dari peredaran usaha. d. Hasil produksi tertambang pada tahun 2019 adalah sebanyak 8.000 ton dan hasil produksi terjual adalah sebanyak 6.300 ton. Harga jual ratarata batubara perusahaan pada tahun 2019 adalah Rp900.000/ton. Harga patokan batubara adalah USD86/ton. Kurs Menteri Keuangan per 1 Januari 2019 adalah Rp 13.000/USD dan per 1 Januari 2020 adalah sebesar Rp15.400/USD. Kurs Rupiah terhadap Dolar sesuai APBN-P 2019 adalah Rp13.400/USD dan sesuai APBN 2020 Rp15.500/USD. e. Angka kapitalisasi tambang batubara adalah 10,25. Hitunglah PBB terutang atas objek PT ROR untuk Tahun Pajak 2020.



Pajak Bumi dan Bangunan | 113



BAB 13 PBB SEKTOR LAINNYA Tujuan Pembelajaran: 1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Lainnya 2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Lainnya 3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Lainnya A. Objek Pajak PBB Sektor Lainnya PBB Sektor Lainnya memiliki keunikan karena seluruh objek pajak PBB-nya berada di perairan. Tentu saja, yang menjadi objek pajak PBB Sektor Lainnya hanyalah bumi dan bangunan yang berada di perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk dapat ditetapkan sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya, bumi dan bangunan yang berada di perairan NKRI juga harus memenuhi dua kriteria, yaitu: a. bukan merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, atau objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara; dan b. bukan merupakan objek pajak yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota (PBB P2). Untuk memudahkan, pembahasan mengenai tata cara penetapan NJOP dan penghitungan PBB dalam bab ini akan disampaikan satu persatu untuk masingmasing jenis penggunaan bumi berupa perairan. Penggunaan perairan yang ditetapkan sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu perairan yang digunakan untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Perikanan Tangkap Pembudidayaan Ikan Jaringan Pipa Jaringan Kabel Ruas Jalan Tol Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan



Persamaan dari seluruh jenis penggunaan objek pajak berupa perairan tersebut yaitu adanya keharusan bagi pihak pengguna untuk memiliki izin. Izin tersebut



114 | Pajak Bumi dan Bangunan



memberikan hak kepada seseorang atau badan untuk menggunakan suatu wilayah dalam perairan NKRI secara eksklusif. Dengan adanya dokumen perizinan, DJP memiliki data dalam mengukur besar manfaat yang diperoleh dari objek pajak serta dalam menentukan subjek pajak atau wajib pajak atas objek pajak PBB Sektor Lainnya. B. PBB Sektor Lainnya – Perikanan Tangkap Kawasan perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap ditetapkan menjadi objek pajak PBB Sektor Lainnya jika usaha perikanan tangkap tersebut telah diberikan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) oleh kementerian yang berwenang. Besarnya NJOP Bumi berupa perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap ditentukan berdasarkan hasil produksi dari objek pajak PBB. NJOP Bumi tersebut diperoleh dari hasil perkalian pendapatan bersih objek pajak PBB dengan angka kapitalisasi. Pendapatan bersih objek PBB ditentukan sebesar 30% dari pendapatan kotor. Sementara itu, angka kapitalisasi yang ditetapkan oleh DJP sebesar 10 (sepuluh). Gambar 13.1



Penghitungan NJOP – Terdapat Hasil Produksi



Apabila objek pajak PBB belum memiliki hasil produksi (tidak ada ikan yang ditangkap), maka besarnya NJOP Bumi/m2 ditetapkan oleh DJP sebesar Rp140. Sehingga, NJOP Bumi diketahui sebesar Rp140 dikali dengan luas areal penangkapan ikan. Dalam menghitung PBB terutang, luas areal penangkapan ikan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu jumlah kapal yang dimiliki oleh wajib pajak dan luas areal penangkapan ikan per kapal. Jumlah kapal yang dimiliki oleh wajib pajak tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP. Gambar 13.2



Peta WPP-NRI



Pajak Bumi dan Bangunan | 115



Setiap kapal penangkapan ikan memiliki izin untuk menangkap ikan paling banyak di dua Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Peta sebaran WPP-NRI dapat dilihat pada Gambar 13.2. Sementara itu, luas areal penangkapan ikan per kapal ditetapkan oleh DJP untuk masing-masing WPP-NRI sebagaimana ditampilkan pada Gambar 13.3. Gambar 13.3



Luas Areal Penangkapan Ikan Untuk per WPP-NRI



Gambar 13.4



Penghitungan NJOP Bumi – Tidak Terdapat Hasil Produksi



Perlu diperhatikan pula bahwa tidak terdapat objek pajak PBB berupa bangunan pada objek pajak PBB ini. Sehingga proses penghitungan PBB terutang, mengacu pada pembahasan pada Bab 3 dapat diilustrasikan pada Gambar 13.5. Gambar 13.5



Penghitungan PBB Terutang



116 | Pajak Bumi dan Bangunan



Contoh: PT Ikan Bersemi dan PT Ikan Indah Megah masing-masing memiliki izin berupa SIUP untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Kedua perusahaan tersebut masing-masing memiliki 6 buah kapal penangkap ikan, 2 kapal berlayar di WPPNRI 711 dan 4 kapal lainnya berlayar di WPP-NRI 712. Kapal-kapal milik PT Ikan Bersemi belum sempat berlayar untuk menangkap ikan sepanjang tahun 2019. Sementara itu, pendapatan kotor yang dihasilkan oleh seluruh kapal PT Indah Megah selama tahun 2019 mencapai Rp1.000.000.000. Berapakah PBB Sektor Lainnya yang harus dibayar oleh masing-masing perusahaan? Jawab: PBB terutang PT Ikan Bersemi WPP-NRI 711 NJOP Bumi/m² Luas Areal Penangkapan per kapal (m²) Jumlah Kapal NJOP Bumi



Rp140 1.577.321 2 Rp441.649.880



WPP-NRI 712 NJOP Bumi/m² Luas Areal Penangkapan per kapal (m²) Jumlah Kapal NJOP Bumi



Rp140 285.058 4 Rp159.632.480



NJOP Total NJOPTKP NJOP dasar penghitungan PBB NJKP PBB Terutang



Rp601.282.360 Rp12.000.000 Rp589.282.360 20% Rp117.856.472 0,5% Rp589.282



PBB terutang PT Ikan Indah Megah Pendapatan Kotor Rp1.000.000.000 Rasio Biaya 70% Pendapatan Bersih Rp300.000.000 Angka Kapitalisasi 10 NJOP Bumi Rp3.000.000.000 Luas Areal Penangkapan Ikan (m²) 4.294.874 NJOP Bumi/m² *) 690 NJOP Bumi Rp2.963.463.060 NJOPTKP Rp12.000.000 NJOP dasar penghitungan PBB Rp2.951.463.060 NJKP 40% Rp1.180.585.224 PBB Terutang 0,5% Rp5.902.926 *) Pembulatan ke bawah dalam puluhan rupiah penuh Pajak Bumi dan Bangunan | 117



C. PBB Sektor Lainnya – Pembudidayaan Ikan Ketentuan mengenai tata cara penetapan dan penghitungan PBB terutang untuk perairan yang digunakan untuk usaha pembudidayaan ikan sangat identik dengan ketentuan ada subbab sebelumnya. Penghitungan NJOP Bumi, dalam hal terdapat hasil produksi, menggunakan skema pada Gambar 13.1. Penghitungan PBB terutang menggunakan skema pada Gambar 13.5. Satu hal yang berbeda yaitu dalam proses penghitungan NJOP Bumi usaha pembudidayaan ikan yang tidak memiliki hasil produksi. Luas wilayah perairan yang menjadi objek pajak PBB ditentukan seluas wilayah yang telah diberikan izin budidaya ikan (juga berupa SIUP) oleh kementerian yang berwenang. Sehingga, skema penghitungan NJOP Bumi adalah sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13.6. Gambar 13.6



Penghitungan NJOP Bumi – Tidak Terdapat Hasil Produksi



D. PBB Sektor Lainnya – Jaringan Pipa dan Jaringan Kabel Yang dimaksud dengan jaringan pipa yaitu struktur bangunan yang digunakan untuk mengangkut sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Sementara jaringan kabel yaitu sistem transmisi telekomunikasi yang menggunakan media kabel. Tentu saja, sesuai dengan ketentuan mengenai objek pajak PBB Sektor Lainnya, jaringan yang dimaksud yaitu jaringan yang dibentangkan atau diletakkan di perairan. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 (ditentukan oleh DJP sebesar Rp11.458) dengan luas perairan yang digunakan. Gambar 13.7



Penghitungan NJOP Bumi



Luas perairan yang digunakan merupakan hasil perkalian panjang pipa atau kabel dengan dua kali dari diameter pipa atau kabel. Sementara itu, bangunan berupa jaringan pipa atau jaringan kabel dihitung NJOP-nya dengan menjumlahkan



118 | Pajak Bumi dan Bangunan



seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh bangunan tersebut dikurangi dengan penyusutan. Gambar 13.8



Penghitungan PBB Terutang



E. PBB Sektor Lainnya – Ruas Jalan Tol Ruas jalan tol yang menjadi objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu ruas jalan tol yang berada di atas perairan NKRI. Saat ini yang menjadi objek PBB Sektor Lainnya adalah Jalan Tol Bali Mandara. Sesuai dengan definisi objek pajak PBB Sektor Lainnya, ruas jalan tol yang tidak berada di atas perairan bukan objek pajak PBB Sektor Lainnya. Besarnya NJOP Bumi/m2 ditetapkan oleh DJP sebesar Rp11.458 (sama dengan NJOP Bumi/m2 untuk jaringan pipa dan jaringan kabel). Sementara itu, luas bumi dihitung dari hasil perkalian antara jumlah tapak yang berada di perairan dengan luas pondasi tapak yang berada di perairan. Kemudian, NJOP Bangunan untuk objek pajak PBB ini dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mendirikan objek pajak PBB dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak.



F.



PBB Sektor Lainnya – Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan



Objek pajak PBB Sektor Lainnya ini merupakan objek pajak PBB yang baru dikenakan sejak 1 Januari 2020. Fasiltas penyimpanan yang menjadi objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu fasilitas penyimpanan dan pengolahan yang terdapat di perairan NKRI. Fasilitas penyimpanan dan pengolahan tersebut antara lain berbentuk: 1) Floating Storang and Offloading (FSO) 2) Floating Production System (FPS)



Pajak Bumi dan Bangunan | 119



3) Floating Processing Unit (FPU) 4) Floating Production Storage and Offloading (FPSO) 5) Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Gambar 13.9



FSRU yang dikelola oleh PT Nusantara Regas sumber: https://nusantararegas.com/rantai-bisnis



NJOP Bumi dari objek pajak PBB ini dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 (ditetapkan oleh DJP sebesar Rp11.458) dengan luas perairan yang diberikan izin oleh kementerian yang berwenang. Sementara itu, NJOP untuk bangunan dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mendirikan objek pajak PBB dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak. Penghitungan PBB terutang dihitung dengan menggunakan skema yang ditunjukan pada Gambar 13.8.



RINGKASAN 1) Seluruh objek pajak PBB Sektor Lainnya berada di perairan Indonesia. 2) Yang termasuk objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu perairan NKRI yang digunakan untuk: a. Perikanan tangkap b. Pembudidayaan ikan c. Jaringan Pipa d. Jaringan Kabel e. Ruas Jalan Tol f. Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan 3) Tata cara penetapan NJOP untuk masing-masing jenis penggunaan objek pajak PBB berbeda-beda.



120 | Pajak Bumi dan Bangunan



LATIHAN/PENUGASAN Latihan PT KKKKS memiliki jaringan pipa minyak bumi yang terbentang di bawah permukaan laut sepanjang 500km. Pipa berdiameter 0,5m tersebut dibangun pada tahun 2017 dengan nilai Rp1Trilyun (tidak ada tambahan biaya untuk bangunan tersebut hingga 31 Desember 2019). Berapakah PBB terutang dari objek pajak PBB tersebut untuk tahun pajak 2020, jika penyusutan yang diakui untuk bangunan tersebut adalah sebesar 50%?



Diskusi! Apakah NJOP/m2 yang digunakan dalam menghitung NJOP Bumi PBB Sektor Lainnya untuk Jaringan Pipa dan Kabel (lihat gambar 13.7) perlu untuk dibulatkan ke bawah puluhan rupiah penuh?



Pajak Bumi dan Bangunan | 121



DAFTAR PUSTAKA Carlson, R. H. (2005). A brief history of property tax. Fair and Equitable, 2. http://maritimnews.com/2017/04/mengulas-penegakan-hukum-pada-illegalfishing-di-perairan-indonesia/ http://nusantararegas.com/rantai-bisnis http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan Italiano, F., De Santis, A., Favali, P., Rainone, M. L., Rusi, S., & Signanini, P. (2014). The Marsili volcanic seamount (southern Tyrrhenian Sea): a potential offshore geothermal resource. Energies, 7(7), 4068-4086. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-185/PJ/2020 tentang Penetapan Biaya Investasi Tanaman, Rasio Biaya Produksi, Angka Kapitalisasi, Nilai Jual Objek Pajak Bumi Per Meter Persegi, Harga Uap dan Harga Listrik, dan Luas Areal Penangkapan Ikan Per Kapal, untuk Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2015 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan untuk Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan, dan Sektor Lainnya __________ Nomor PER-24/PJ/2016 tentang Tata Cara Penilaian untuk Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara Elektronik __________ Nomor PER-08/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor PER-10/PJ/2019 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Pemberitahuan, serta Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor PER-19/PJ/2019 tentang Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.03/2014 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak PBB



122 | Pajak Bumi dan Bangunan



__________ Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tat Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 255/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan dan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 267/PMK.011/2014 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi __________ Nomor 78/PMK.013/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 172/PMK.010/2016 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi pada Tahap Eksplorasi __________ Nomor 81/PMK.03/2017 tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang Tidak Benar __________ Nomor 82/PMK.03/2017 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 131/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi __________ Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 3/PERMEN-KP/2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan __________ Nomor 98 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan



Pajak Bumi dan Bangunan | 123



PGE. (2015). Laporan Tahunan Terintegrasi: Integrating Geothermal Performance for Sustainable Energy. Jakarta: PT Pertamina Geothermal Energy Prabowo, T. R., Fauziyyah, F., & Bronto, S. (2017). A new idea: The possibilities of offshore geothermal system in Indonesia marine volcanoes. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 103, No. 1, p. 012012). IOP Publishing. Prasojo, et. al. (2014). Potensi Panas Bumi Lepas Pantai di Kawasan Gunung Api Bawah Laut Kawio Barat, Banua Wuhu, dan Submarin 1922 di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara: Energi Masa Depan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Supriyanto, H. (2017). Cara Menghitung PBB Sektor P3, BPHTB, dan Bea Materai. PT Index. Jakarta. Surat Edaran Nomor SE-45/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran atau Pemutakhiran Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor SE-51/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor SE-54/PJ/2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Properti, Penilaian Bisnis, dan Penilaian Aset Takberwujud untuk Tujuan Perpajakan __________ Nomor SE-43/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang Tidak Benar __________ Nomor SE-44/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor SE-33/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor SE-17/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan __________ Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi __________ Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah World Bank. (2017). Geothermal. Washington DC: World Bank. Sumber: https://www.worldbank.org/en/results/2017/12/01/geothermal



124 | Pajak Bumi dan Bangunan



BIODATA PENULIS Nama Jabatan/Kedudukan Unit Kantor



: : :



Alamat E-mail



:



Adhipradana Prabu Swasito Dosen Prodi D3 PBB/Penilai, Jurusan Pajak, PKN STAN [email protected]



Riwayat pendidikan: Tahun PerguruanTinggi Lulus 2010 Universitas Indonesia 2015 Universitas Indonesia – Australian National University



Fakultas/Jurusan/Prodi Akuntansi Ilmu Ekonomi – International and Development Economics



Mata kuliah yang diasuh: No 1 2 3



Nama Mata Kuliah Pajak Bumi dan Bangunan Lab. Pajak Penghasilan Pengantar Perpajakan



Karya ilmiah: Nama Penulis Adhipradana P. Swasito



Adhipradana P. Swasito, Aang Aribawa



Judul artikel/buku Desentralisasi Pajak di Indonesia – Esai Keuangan Negara Kontribusi Pemikiran Untuk Indonesia Diferensiasi Tarif Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Dan Pertambangan



Keterangan Penerbitan Mirra Buana Media/ Diandra Kreatif, 2019



Jurnal Pajak Indonesia Vol 2, No 1, 2018



Pajak Bumi dan Bangunan | 125



BIODATA PENULIS



Nama Jabatan/Kedudukan Unit Kantor



: : :



Alamat E-mail



:



Dhian Adhetiya Safitra Dosen Prodi D3 PBB/Penilai, Jurusan Pajak, PKN STAN [email protected]



Riwayat pendidikan: Jenjang PerguruanTinggi D-3 Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) D-4 Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) S-2 Univeristas Indonesia



Fakultas/Jurusan/Prodi Pajak Akuntansi Pemerintah Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik



Mata kuliah peminatan: No Nama Mata Kuliah 1 Pengantar Perpajakan 2 PPN 3 Perpajakan II (PPN dan KUP) 4 Pengantar Ekonomi



126 | Pajak Bumi dan Bangunan