PD 10 A Perawatan Jalan Rel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Print Tanggal 05-09-2016 Setelah menghadap D3



i



KEPUTUSAN DIREKSI PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) NOMOR:



TENTANG PERATURAN DINAS 10A MENGENAI PERAWATAN JALAN REL DENGAN LEBAR 1.067 MM



DIREKSI PT KERETA API INDONESIA (PERSERO), Menimbang



Mengingat



:



:



a.



bahwa Reglemen 10 Jilid I, Pemeliharaan Jalan dan Bangunan, yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Direksi Perusahaan Negara Kereta Api tanggal 27 Februari 1968 Nomor 5363/SK/68 dan Reglemen 13 Jilid I, Peraturan Teknik dan Tata Cara untuk Dinas Jalan dan Bangunan, sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini khususnya di bidang jalan rel;



b.



bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a di atas, perlu menetapkan Keputusan Direksi tentang Peraturan Dinas 10A mengenai Perawatan Jalan Rel Dengan Lebar 1.067 MM;



1.



Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);



2.



Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);



3.



Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);



4.



Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 129);



1 PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) KANTOR PUSAT - Jl. Perintis Kemerdekaan No. 1 Bandung 40117 Telp. (022) 4230031, 4230039, 4230054 Facs. (022) 4203342 PO Box 1163 Bandung 40000



5.



Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176);



6.



Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan;



7.



Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 30 Tahun Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengujian dan Pemberian Sertifikat Prasarana Perkeretaapian;



8.



Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 31 Tahun 2011 tentang Standar dan Tata Cara Pemeriksaan Prasarana Perkeretaapian;



9.



Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 32 Tahun 2011 tentang Standar dan Tata Cara Perawatan Prasarana Perkeretaapian;



10. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 67 Tahun 2012 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara; 11. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 24 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Perkeretaapian; 12. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP. 219 Tahun 2010 tentang Pelaksana Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum yang Ada Saat Ini oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero); 13. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP. 220 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum PT Kereta Api Indonesia (Persero); 14. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP. 221 Tahun 2010 tentang Izin Operasi Prasarana Perkeretaapian Umum PT Kereta Api Indonesia (Persero); 15. Anggaran Dasar PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang telah diumumkan pada Berita Negara Republik Indonesia dan perubahan terakhirnya sebagaimana dinyatakan dalam Akta Nomor 139 tanggal 31 Desember 2012, yang laporannya telah dicatat dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana suratnya Nomor AHU-AH.01.10-03072 tanggal 4 Februari 2013 dan Perubahan Susunan Pengurus terakhir sebagaimana dinyatakan dalam Akta Nomor 05 tanggal 03 September 2015, yang laporan pemberitahuannya telah diterima dan tercatat dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dinyatakan dalam Suratnya Nomor AHU-AH.01.03-0962367 tanggal 07 September 2015, kedua Akta tersebut dibuat di hadapan Surjadi Jasin S.H. Notaris di Bandung;



2



16. Peraturan Dinas 10, Perencanaan Konstruksi Jalan Rel, yang ditetapkan dengan surat keputusan Kepala Perusahaan Jawatan Kereta Api No. KA/JB/18798/SK/86 Tanggal 2 April 1986; MEMUTUSKAN: Menetapkan



:



KEPUTUSAN DIREKSI PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) TENTANG PERATURAN DINAS 10A MENGENAI PERAWATAN JALAN REL DENGAN LEBAR 1.067 MM. Pasal 1



Menetapkan Peraturan Dinas 10A mengenai Perawatan Jalan Rel Dengan Lebar 1.067 MM sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Pasal 2 Direksi, Executive Vice President, dan Vice President di Kantor Pusat atau di Daerah Operasi/Divisi Regional/Sub Divisi Regional yang tugas pokok dan fungsinya terkait dengan Peraturan Dinas 10A, untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan ini. Pasal 3 (1) Agar para pekerja yang berkaitan dengan perawatan jalan rel lebar 1.067 mm dapat memahami peraturan Dinas 10A, maka dilakukan Sosialisasi selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Keputusan ini ditetapkan. (2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim Sosialisasi Peraturan Dinas yang ditetapkan dengan Keputusan Direksi tersendiri. Pasal 4 Peraturan Dinas 10A mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Keputusan ini ditetapkan. Pasal 5 Dengan berlakunya Peraturan Dinas 10A ini, maka ketentuan mengenai Perawatan Jalan Rel dengan Lebar 1.067 mm mengacu pada Peraturan Dinas 10A sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan ini. Pasal 6 (1) Dengan ditetapkannya Keputusan ini, segala Keputusan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan Keputusan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



3



(2) Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dan dalam pelaksanaannya agar tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Ditetapkan di Pada tanggal



: Bandung :



a.n. DIREKSI PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) DIREKTUR UTAMA,



EDI SUKMORO NIPP. 65359



Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.: 1. Dewan Komisaris PT Kereta Api Indonesia (Persero); 2. Direksi PT Kereta Api Indonesia (Persero); 3. Para Executive Vice President PT Kereta Api Indonesia (Persero); 4. Para Vice President/General Manager/Senior Manager PT Kereta Api Indonesia (Persero).



4



LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKSI PT KERETA API INDONESIA(PERSERO) NOMOR : TANGGAL :



Peraturan Dinas 10A (PD 10A)



Perawatan Jalan Rel dengan Lebar 1.067 mm



Ditetapkan dengan Keputusan Direksi PT Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor Tanggal



KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Peraturan Dinas 10A mengenai Perawatan Jalan Rel dengan Lebar 1.067 mm telah selesai disusun. Peraturan Dinas ini harus dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh jajaran operasi, jajaran jalan rel dan jembatan, jajaran sinyal telekomunikasi dan listrik, serta jajaran keselamatan dan keamanan dalam menjalankan tugasnya guna mewujudkan keselamatan, ketepatan waktu, pelayanan, dan kenyamanan dalam pengoperasian kereta api.



Bandung, PT Kereta Api Indonesia (Persero)



Edi Sukmoro Direktur Utama



M. Kuncoro Wibowo Direktur Komersial



Slamet Suseno Priyanto Direktur Operasi



Bambang Eko Martono Direktur Pengelolaan Prasarana



Azahari Direktur Pengelolaan Sarana



Candra Purnama Direktur Keselamatan dan Keamanan



Apriyono Wedi Chresnanto Direktur SDM, Umum dan Teknologi Informasi



Budi Noviantoro Direktur Logistik dan Pengembangan



Dody Budiawan Direktur Aset Tanah dan Bangunan



Didiek Hartantyo Direktur Keuangan



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................. ii TIM PEMBAHARUAN DAN PERBAIKAN REGLEMEN ................................ iv PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ..................................................................v BAB I KETENTUAN UMUM ................................................................... 1 BAB II SYARAT, LINGKUP PEMERIKSAAN DAN PERAWATAN JALAN REL ................................................................................ 2 Bagian Pertama Syarat Keadaan Jalan Rel ......................................... 2 Bagian Kedua Pemeriksaan Umum Jalan Rel .................................. 2 Bagian Ketiga Tenaga Perawatan Jalan Rel ..................................... 3 Bagian Keempat Pelaksanaan Pekerjaan ............................................. 3 Bagian Kelima Lingkup Pekerjaan Perawatan .................................. 4 Paragraf 1 Umum ...................................................................... 4 Paragraf 2 Kegiatan Perawatan Jalan Rel .................................. 4 Paragraf 3 Perawatan Jalan Rel Milik Pemerintah ..................... 5 Paragraf 4 Perawatan Jalan Rel Milik Perusahaan ..................... 5 Bagian Keenam Pengawasan Jalur Kereta Api ................................... 6 Bagian Ketujuh Batas-Batas dan Jarak Dari Sumbu Jalan Rel ......... 8 Paragraf 1 Batas Ruang Bebas .................................................. 8 Paragraf 2 Penempatan Benda Tetap ......................................... 9 Paragraf 3 Peron dan Tempat Muat Bongkar ........................... 10 Paragraf 4 Jarak Antara Jalan Rel Di Jalan Bebas Dan Di Stasiun................................................................... 11 BAB III GEOMETRI JALAN REL ........................................................... 13 Bagian Pertama Umum .................................................................... 13 Bagian Kedua Kelurusan dan Kerataan Jalan Rel ......................... 14 Paragraf 1 Batasan Kelurusan dan Kerataan ........................... 14 Paragraf 2 Skilu ...................................................................... 16 Bagian Ketiga Lengkung Horizontal .............................................. 17 Paragraf 1 Lengkung Lingkaran dan Lengkung Peralihan ........ 17 Paragraf 2 Anak panah ............................................................ 23 Paragraf 3 Lengkung di Jembatan ........................................... 24 Paragraf 4 Pemeriksaan Lengkung .......................................... 25 Bagian Keempat Lengkung Vertikal .................................................. 26 Bagian Kelima Landai .................................................................... 28 BAB IV SUSUNAN JALAN REL .............................................................. 30 Bagian Pertama Rel .......................................................................... 30 Bagian Kedua Sambungan Rel ...................................................... 38 Bagian Ketiga Alat Penambat ........................................................ 41 Paragraf 1 Jenis Penambat ...................................................... 41 Paragraf 2 Pemeriksaan dan Perawatan Alat Penambat Kaku ...................................................................... 42 Paragraf 3 Pemeriksaan dan Perawatan Alat Penambat Elastik .................................................................... 42 Paragraf 4 Pelat Landas ........................................................... 42 Bagian Keempat Bantalan ................................................................ 42 Bagian Kelima Wesel ...................................................................... 45



ii



Bagian Keenam Bagian Ketujuh Bagian Kedelapan Paragraf 1



Balas dan Alas Balas .............................................. 49 Tubuh Jalan Rel ..................................................... 51 Perawatan Jalan Rel di Area Track Circuit ............... 52 Tindakan yang harus dilakukan di area track circuit ..................................................................... 52 Paragraf 2 Insulated Rail Joint ................................................. 53 Bagian Kesembilan Perawatan Jalan Rel di Jalur Elektrifikasi .............. 53 BAB V DRAINASE ............................................................................... 55 Bagian Pertama Umum .................................................................... 55 Bagian Kedua Drainase Permukaan .............................................. 55 Bagian Ketiga Drainase Bawah Tanah .......................................... 56 Bagian Keempat Drainase Lereng ..................................................... 57 BAB VI FASILITAS PENGAMAN DAN FASILITAS LAIN .......................... 58 Bagian Pertama Rel Paksa dan Rel Pengaman .................................. 58 Paragraf 1 Rel Paksa ............................................................... 58 Paragraf 2 Rel Pengaman ......................................................... 60 Bagian Kedua Perlintasan Sebidang .............................................. 62 Bagian Ketiga Badug..................................................................... 65 Bagian Keempat Tanda dan Marka di Jalur Kereta Api ..................... 66 Paragraf 1 Umum .................................................................... 66 Paragraf 2 Penempatan Tanda dan Marka ............................... 67 Bagian Kelima Semboyan Pembatas Kecepatan ............................. 70



iii



TIM PEMBAHARUAN DAN PERBAIKAN REGLEMEN MENJADI PERATURAN DINAS MENGENAI PERAWATAN JALAN REL DENGAN LEBAR 1.067 MM Slamet Suseno Priyanto Candra Purnama A. Herlianto Rahardi Sulistyo Iwan Eka Putra R. Dadan Rudiansyah Rosyid Budiantoro Yoseph Ibrahim M.N. Fadhila Roni Komar Ahmad Najib Tawangalun Eko Windu Widio Purnomo Setyo Rini Anggoro Triwibowo Yulianto Nursatyo Slamet Riyadi Dwi Utomo Joko Widagdo Sukamto Ramdani Moch. Hasan Safri Endi Sekretariat: Sukamto Yanuar Sudadyo Evi Andriani Iwan Muhamad Ridwan Friska Yulismatun A.T



Arief Mudjono Bambang Sulistio Suryadi Rachmat Bambang Tiarso Hari Koesdarmanto R. Didin Supriadi Agus Wahjuana Agus Sukamto Kadi Supriatna Sukirno E.S



Anwar Jamili Didit Andi Indrayana



iv



PERUBAHAN DAN TAMBAHAN No



Ditetapkan dengan Surat Keputusan Dari



Nomor



Tanggal



Berlaku Mulai Tanggal



Dikerjakan Keterangan oleh



v



Peraturan Dinas 10A



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Dinas ini yang dimaksud dengan: 1.



Perusahaan adalah PT Kereta Api Indonesia (Persero).



2.



Direksi adalah organ Perusahaan yang bertanggung jawab atas pengurusan Perusahaan untuk kepentingan dan tujuan Perusahaan serta mewakili Perusahaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.



3.



Daerah Operasi/Divisi Regional, selanjutnya disebut Daerah.



4.



Pimpinan Daerah adalah Pejabat yang memimpin suatu satuan organisasi Perusahaan di tingkat Daerah.



5.



Pejabat pusat urusan jalan rel dan jembatan, yang selanjutnya disebut JTJ adalah pejabat yang bertanggung jawab atas perawatan dan keandalan jalan rel dan jembatan di pusat.



6.



Pejabat daerah urusan jalan rel dan jembatan, yang selanjutnya disebut JPJD adalah pejabat yang bertanggung jawab atas perawatan dan keandalan jalan rel dan jembatan di daerah.



7.



Pejabat daerah urusan sinyal, telekomunikasi dan listrik, yang selanjutnya disebut JPSD adalah pejabat yang bertanggung jawab atas perawatan dan keandalan peralatan persinyalan, telekomunikasi dan listrik di daerah.



8.



Pejabat daerah urusan operasi, yang selanjutnya disebut JPOD adalah pejabat yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pengendalian operasi kereta api di daerah.



9.



Pekerja adalah seseorang yang mempunyai hubungan kerja dengan Perusahaan yang bersifat tetap dan terikat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), dituangkan ke dalam Surat Keputusan Pengangkatan.



10. Petugas adalah pekerja atau seseorang yang memenuhi kualifikasi kompetensi dan ditugasi oleh Perusahaan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. 11. Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api. 12. Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api. 13. Jalan bebas adalah bagian petak jalan antara sinyal masuk suatu stasiun dengan sinyal masuk stasiun berdekatan. 14. Petak jalan adalah bagian jalur kereta api yang terletak di antara dua stasiun berdekatan. 1



Peraturan Dinas 10A



BAB II SYARAT, LINGKUP PEMERIKSAAN DAN PERAWATAN JALAN REL Bagian Pertama Syarat Keadaan Jalan Rel Pasal 2 (1) Jalan rel berikut segala perlengkapannya harus selalu dirawat, agar dapat dilalui dengan aman oleh sarana kereta api dengan kecepatan maksimum yang diizinkan. (2) Apabila oleh karena suatu keadaan, sehingga persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, meskipun tidak ada kereta api yang akan segera lewat, harus dipasang semboyan dan tindakan yang dibutuhkan untuk keselamatan perjalanan kereta api. (3) Untuk jenis semboyan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan lamanya waktu pemasangan ditetapkan oleh Kupt Jalan Rel. Bagian Kedua Pemeriksaan Umum Jalan Rel Pasal 3 (1) Pemeriksaan jalan rel adalah kegiatan untuk mengetahui kondisi konstruksi jalan rel dalam rangka perencanaan perawatan berkala maupun perbaikan sehingga perawatan dapat dilakukan setepat mungkin sesuai pedoman perawatan jalan rel. (2) Untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kupt Jalan Rel harus selalu memeriksa jalan rel di wilayahnya (termasuk emplasemen balai yasa, depo, dan jalur simpang bila ada) sesuai pedoman pemeriksaan dan hasil pemeriksaannya harus segera dilaporkan secara tertulis kepada JPJD. (3) Dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan kegiatan sebagai berikut: a. perbaikan untuk penanganan kondisi darurat (misal goyangan keras, rel putus, longsor); b. perawatan berkala merupakan tindakan pencegahan (preventif) dan/atau penggantian sesuai umur teknis untuk mempertahankan kelaikan jalan rel; atau c. perawatan yang bersifat penggantian, penambahan dan perbaikan material serta perbaikan geometri yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi.



2



Peraturan Dinas 10A



Bagian Ketiga Tenaga Perawatan Jalan Rel Pasal 4 (1)



Tenaga perawatan jalan rel adalah petugas yang melaksanakan pekerjaan perawatan dan memiliki sertifikat kompetensi tenaga perawatan jalur dan bangunan kereta api bidang jalan rel yang diatur dalam Peraturan Dinas tersendiri.



(2)



Setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh bagian lain atau pihak ketiga, yang berkaitan dengan jalan rel atau berada dalam ruang manfaat dan ruang milik jalur kereta api, hanya boleh dilakukan atas pengawasan Kupt Jalan Rel atau seorang pekerja jalan rel yang ditunjuk olehnya untuk pengawasan pekerjaan tersebut.



(3) Perbaikan untuk penanganan kondisi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dilaksanakan oleh regu satuan kerja. (4) Perawatan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, selain dilaksanakan oleh regu satuan kerja dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan kontrak pekerjaan. (5) Perawatan yang bersifat penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, selain dilaksanakan oleh regu satuan kerja dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan kontrak pekerjaan. (6) Formasi regu satuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Direksi tersendiri. Bagian Keempat Pelaksanaan Pekerjaan Pasal 5 (1)



Pelaksanaan pekerjaan perbaikan untuk menangani kondisi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, berlaku ketentuan bahwa perbaikan yang dilakukan harus sudah bersifat tetap.



(2)



Perbaikan yang bersifat sementara, hanya diperbolehkan jika dengan cara tersebut kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan dan tertib perjalanan kereta api tetap terjamin, tetapi harus segera diikuti dengan tindakan ke arah perbaikan yang bersifat tetap.



(3)



Kegiatan perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan c, harus dilaksanakan sesuai dengan program perawatan yang telah ditetapkan. JPJD bertanggung jawab untuk penyusunan program perawatan tahunan jalan rel sesuai wilayahnya, yang diajukan untuk disetujui oleh Pimpinan Daerah dalam rangka penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, baik untuk perawatan jalan rel milik Negara maupun jalan rel milik Perusahaan. Program perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibuat berdasarkan pada :



(4)



(5)



3



Peraturan Dinas 10A



a. data kerusakan dari hasil pemeriksaan berkala dan pemeriksaan sewaktu-waktu; b. skala prioritas, waktu pelaksanaan, kebutuhan material, alat kerja dan kebutuhan tenaga; dan c. hasil koordinasi bersama Kupt yang bersangkutan apabila program perawatan jalan rel berkaitan dengan unit lain (misal KS, Kupt Sintelis, Kupt Balai Yasa). (6)



Perubahan skala prioritas pada program perawatan apabila terjadi hal mendesak karena ada pekerjaan terkait keselamatan perjalanan kereta api yang harus segera dilaksanakan (misal, untuk mencabut semboyan 3 pada rintang jalan) JPJD harus segera mengajukan persetujuan untuk perubahan program perawatan kepada Pimpinan Daerah untuk selanjutnya diajukan persetujuan Direksi. Bagian Kelima Lingkup Pekerjaan Perawatan Paragraf 1 Umum Pasal 6



(1)



Perawatan jalan rel mencakup jalan rel milik Pemerintah dan milik Perusahaan.



(2)



Jalan rel milik Pemerintah adalah aset milik Negara yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dibangun dengan investasi Perusahaan yang telah diserahkan kepada Negara atau berasal dari perolehan lainya yang pelaksanaan penyelenggaraannya diserahkan kepada Perusahaan.



(3)



Jalan rel milik Perusahaan adalah jalan rel yang tercatat sebagai aset Perusahaan antara lain jalan rel yang berada di emplasemen balai yasa, depo, jalur simpang, dan jalan rel yang dibangun dengan dana investasi Perusahaan yang belum diserahkan kepada Negara. Paragraf 2 Kegiatan Perawatan Jalan Rel Pasal 7



(1)



Kegiatan perawatan jalan rel meliputi : a. pemeriksaan/inspeksi; b. perawatan rel; c. perawatan bantalan; d. perawatan balas; e. perawatan pemecokan; f. perawatan wesel; g. perawatan lingkungan.



(2)



Pemeriksaan/inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kegiatan yang dilakukan secara berkala terhadap seluruh jalan rel untuk mengetahui kondisi dan fungsi jalan rel.



4



Peraturan Dinas 10A



(3)



Perawatan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kegiatan perawatan rel termasuk pengantian rel baru dan cascading rel bukan baru untuk penggantian serta kegiatan perbaikan geometri rel.



(4)



Perawatan bantalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah kegiatan perawatan bantalan dan alat penambat (besi, kayu dan beton) termasuk penggantian bantalan baru (biasa, wesel dan jembatan), cascading bantalan dan penggantian suku cadang perawatan.



(5)



Perawatan balas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah kegiatan perawatan balas termasuk penambahan, penggantian, dan/atau penanganan akibat kecrotan (pumping) dan balas mati.



(6)



Perawatan pemecokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e adalah kegiatan pemecokan/tamping dilakukan dengan Kereta Pemeliharaan Jalan Rel (KPJR), mekanik ringan/manual termasuk perawatan mesin, pengadaan mesin baru atau bukan baru berikut suku cadang untuk perawatan dan alat kerja manual.



(7)



Perawatan wesel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f adalah kegiatan perawatan wesel termasuk penggantian, pengadaan wesel, cascading wesel dan penggantian suku cadang.



(8)



Perawatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g adalah kegiatan perawatan lingkungan meliputi perawatan patokpatok/tanda, perlintasan sebidang dan gardu perlintasan, tubuh ban, pencabutan rumput/babatan dan selokan/drainase. Paragraf 3 Perawatan Jalan Rel Milik Pemerintah Pasal 8



(1)



(2)



(3)



Perawatan jalan rel milik Pemerintah yang pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), tujuanya untuk menjaga/menjamin keselamatan jalan rel agar laik operasi sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan. Jalan rel yang dibangun dengan dana APBN setelah dilakukan pendinasan (switch over), pengawasan, perawatan dan perbaikan menjadi tanggung jawab JPJD. Pendinasan (switch over) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Direksi tersendiri. Paragraf 4 Perawatan Jalan Rel Milik Perusahaan Pasal 9



(1)



Perawatan jalan rel milik Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), pengawasan dan perawatan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan langsir merupakan tanggung jawab Kupt Jalan Rel. 5



Peraturan Dinas 10A



(2)



Jalan rel yang dibangun dengan dana investasi Perusahaan setelah dilakukan pendinasan (switch over), pengawasan, perawatan dan perbaikan menjadi tanggung jawab JPJD.



(3)



Pendinasan (switch over) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Direksi tersendiri. Bagian Keenam Pengawasan Jalur Kereta Api Pasal 10



(1)



Jalur kereta api yang digunakan untuk operasi kereta api, meliputi: a. ruang manfaat jalur kereta api; b. ruang milik jalur kereta api; dan c. ruang pengawasan jalur kereta api.



(2)



Ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri, kanan, atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya dengan batas sebagai berikut: a. sisi terluar di kiri dan kanan tubuh jalan rel, jika terdapat drainase, fasilitas operasi kereta api atau bangunan pelengkap lainnya, maka sisi terluarnya menjadi batas ruang manfaat; b. sisi terluar dari konstruksi terowongan; c. sisi terluar dari konstruksi jembatan bangunan atas atau bangunan bawah jembatan, jika sisi terluar konstruksi jembatan lebih kecil dari sisi terluar tubuh jalan rel, maka yang dipakai sisi terluar tubuh jalan rel.



(3)



Ruang milik jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi bidang tanah di kiri dan di kanan ruang manfaat jalur kereta api yang digunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel.



(4)



Batas ruang milik jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api, yang lebarnya paling sedikit 6 (enam) meter.



(5)



Ruang pengawasan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi bidang tanah atau bidang lain di kiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api yang digunakan untuk pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.



(6)



Batas ruang pengawasan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah diukur dari batas paling luar di kiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api, dengan lebar masing-masing 9 (sembilan) meter.



6



Peraturan Dinas 10A



Gambar 2-1 : Ruang manfaat, ruang milik, ruang pengawasan jalur kereta api pada jalur tunggal lebar jalan rel 1067 mm.



Gambar 2-2 : Ruang manfaat, ruang milik, ruang pengawasan jalur kereta api pada jalur ganda lebar jalan rel 1067 mm. (7)



Dalam hal jalan rel yang terletak pada permukaan tanah berada di jembatan yang melintas sungai dengan bentang lebih besar dari 10 (sepuluh) meter, batas ruang pengawasan jalur kereta api masingmasing sepanjang 50 (lima puluh) meter ke arah hilir dan hulu sungai.



7



Peraturan Dinas 10A (8)



Kupt Jalan Rel melakukan pengawasan jalur kereta api.



(9)



Pada batas ruang manfaat jalur kereta api harus dipasang: a. tanda batas berupa patok yang dapat terlihat dengan jelas; b. jarak antara masing-masing tanda batas berupa patok sebagaimana dimaksud pada huruf a paling jauh 1 (satu) kilometer atau disesuaikan dengan kondisi jalur kereta api; c. tanda larangan berada dalam batas ruang manfaat jalur kereta api berupa papan pengumuman atau media lain yang memuat larangan dan sanksi pelanggarannya.



(10) Pelaksanaan pemasangan tanda batas ruang manfaat jalur kereta api



dan tanda larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) menjadi tanggung jawab JPJD.



(11) Pada



lintas elektrifikasi, tidak diperbolehkan ada bagian dari pepohonan yang berjarak kurang dari 4 (empat) meter dari kawat Listrik Aliran Atas (LAA) terdekat, dan untuk menjaga jarak aman tersebut setiap pohon atau cabang-cabangnya harus dipotong atau dipangkas secara berkala. Bagian Ketujuh Batas-Batas dan Jarak Dari Sumbu Jalan Rel Paragraf 1 Batas Ruang Bebas Pasal 11



(1)



Ruang bebas adalah ruang untuk lalu lintas kereta api yang senantiasa harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang sesuai ketentuan batas ruang bebas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Dinas 10.



(2)



Pada seluruh jalur kereta api, harus terjamin adanya batas ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berlaku untuk setiap jalur, kecuali: a. acuan muatan untuk muatan dan pintu-pintu gudang pada jalur muat/bongkar di emplasemen; b. jalur simpang yang hanya dimasuki gerbong-gerbong, boleh ditempatkan benda-benda tetap dalam batas ruang bebas dengan persetujuan Direksi.



(3)



Untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di belakang wesel di emplasemen harus dipasang tanda batas ruang bebas (semboyan 18), dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanda batas ruang bebas dipasang 600 mm lebih tinggi dari kepala rel, dan dicat warna putih yang pada malam hari dapat memantulkan cahaya sedangkan di bawahnya sampai dengan permukaan tanah dicat warna hitam; b. tanda batas ruang bebas dipasang diantara kedua jalur kereta api, diukur siku terhadap sumbu jalan rel masing-masing dengan jarak paling sedikit 1950 mm.



8



Peraturan Dinas 10A



Gambar 2-3 : Tanda Batas Ruang Bebas



Bebas



Paragraf 2 Penempatan Benda Tetap Pasal 12



(1)



Pada jalur lurus, untuk pembuatan bangunan baru atau perubahan bangunan yang ada atau benda tetap di jalan bebas dan di stasiun, dimana kereta api berjalan langsung, jarak yang diperkenankan dari sumbu jalan rel harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pada ketinggian 1000 mm sampai dengan 3550 mm di atas kepala rel, tidak boleh ada bagian dari bangunan atau benda tetap yang berjarak kurang dari 2350 mm, dan jika keadaan memungkinkan jarak tersebut diperbesar sampai 2530 mm; b. tiang listrik aliran atas di petak jalan rel atau di emplasemen, sampai dengan tinggi 3550 mm, jarak yang diizinkan paling sedikit 2750 mm, sedangkan jarak normal 3000 mm; c. tiang listrik penerangan di emplasemen yang ditempatkan di antara 2 (dua) jalur, jarak yang diizinkan minimal 2350 mm; d. untuk tiang sinyal di emplasemen jarak yang diperkenankan minimal 1950 mm;dan e. untuk bagian konstruksi jembatan, pada ketinggian 1000 mm sampai dengan 3550 mm, jarak yang diizinkan minimal 2150 mm.



(2)



Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dipenuhi, maka pada waktu perluasan atau perubahan di jalan bebas dan emplasemen diusahakan untuk disesuaikan.



(3)



Pada jalur lengkungan dengan jari-jari kurang dari 350 meter, pembuatan bangunan baru atau perubahan bangunan yang ada, jarak yang diperkenankan dari sumbu jalan rel, pada ketinggian 1000 mm sampai dengan 3550 mm, adalah minimal 2530 mm.



(4)



Pada jalur lurus dan lengkungan untuk ketinggian sampai dengan 1000 mm di atas kepala rel mengikuti ketentuan batas ruang bebas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Dinas 10.



9



Peraturan Dinas 10A



Paragraf 3 Peron dan Tempat Muat Bongkar Pasal 13 (1) Peron merupakan bagian dari bangunan stasiun yang dibedakan berdasarkan tinggi konstruksi yaitu: a. peron tinggi; b. peron sedang; dan c. peron rendah. (2) Persyaratan untuk peron tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah sebagai berikut: a. tinggi permukaan lantai 1000 mm diukur dari sisi atas kepala rel; b. jarak tepi atas lantai peron ke sumbu jalan rel 1600 mm pada lurusan, atau 1650 mm pada lengkung; c. lebar minimal 2000 mm jika berada di antara dua jalur atau 1650 mm jika berada di tepi jalur; dan d. dilengkapi dengan garis batas aman peron minimal 350 mm dari sisi tepi luar ke as peron.



Gambar 2-4 : Peron Tinggi (3) Persyaratan untuk peron sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah sebagai berikut: a. tinggi permukaan lantai 430 mm diukur dari sisi atas kepala rel; b. jarak tepi atas lantai peron ke sumbu jalan rel 1400 mm; c. lebar minimal 2400 mm jika berada di antara dua jalur, atau 1900 mm jika berada di tepi jalur; dan d. dilengkapi dengan garis batas aman peron minimal 550 mm dari sisi tepi luar ke as peron.



10



Peraturan Dinas 10A



Gambar 2-5 : Peron Sedang (4) Persyaratan untuk peron rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah sebagai berikut: a. tinggi permukaan lantai 180 mm diukur dari sisi atas kepala rel; b. jarak tepi atas lantai peron ke sumbu jalan rel 1400 mm; c. lebar minimal 2400 mm jika berada di antara dua jalur, atau 1850 mm jika berada di tepi jalur; dan d. dilengkapi dengan garis batas aman peron minimal 550 mm dari sisi tepi luar ke as peron.



Gambar 2-6 : Peron Rendah (5) Ketentuan tempat muat bongkar adalah sebagai berikut: a. tinggi permukaan lantai maksimal 1000 mm diukur dari sisi atas kepala rel; b. jarak tepi tempat muat bongkar ke sumbu jalan rel minimal 1600 mm; dan c. lebar tempat muat bongkar yang dipertinggi tergantung dari keadaan setempat minimal 3000 mm. (6) Di emplasemen stasiun yang terdapat peron, ketinggian kepala rel harus tetap terjaga agar memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) atau (4). Paragraf 4 Jarak Antara Jalan Rel di Jalan Bebas dan di Stasiun Pasal 14 (1)



Pada jalan rel di jalan bebas, jarak antara dua sumbu jalan rel minimal adalah: a. 4,00 meter pada lurusan dan pada lengkung dengan jari-jari ≥ 350 meter; 11



Peraturan Dinas 10A



b. 4,11 meter pada lengkung dengan jari-jari < 350 meter; c. 4,70 meter jika terdapat tiang listrik diantaranya. (2)



Pada jalan rel di emplasemen stasiun, jarak antara dua sumbu jalan rel minimal adalah: a. 4,50 meter jika tidak memakai peron; b. 5,20 meter jika memakai peron; c. 4,70 meter untuk jalur utama dengan jalur langsir/muat bongkar terdekat; d. 5,50 meter jika terdapat tiang listrik diantaranya.



(3)



Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) belum dipenuhi, maka pada waktu perluasan dan perubahan diusahakan untuk disesuaikan.



12



Peraturan Dinas 10A



BAB III GEOMETRI JALAN REL Bagian Pertama Umum Pasal 15 (1)



Geometri jalan rel direncanakan berdasar kepada kecepatan rencana serta ukuran-ukuran sarana yang melewatinya dengan memperhatikan faktor keamanan, kenyamanan, ekonomi dan kesesuaian dengan lingkungan sekitarnya.



(2)



Lebar jalan rel adalah 1067 mm dengan toleransi -2/+5 mm diukur pada -10 sampai dengan -14 mm di bawah permukaan teratas kepala rel sebagaimana pada Gambar 3-1.



Gambar 3-1 : Lebar jalan rel (3)



Pengukuran lebar jalan rel dilakukan dengan memakai mal (template) dan dilakukan secara teratur, sedangkan mal harus dikalibrasi.



(4)



Persamaan matematis antara lebar jalan rel (S), jarak antar bagian dua sisi terdalam roda (C), jarak antar sisi luar flens roda (d), tebal flens roda (f), dan kelonggaran antara rel dan roda (e) adalah:



13



Peraturan Dinas 10A



Gambar 3-2 : Hubungan antara roda dan rel Persamaan : S = d + 2.e dimana: S = lebar jalan rel (mm) d = jarak antar sisi luar flens roda kiri dan kanan (mm) e = kelonggaran antara roda dan rel = 4 mm C = jarak antar bagian dua sisi terdalam roda 1000 mm (pembuatan + 1/ -1, pemeliharaan +3/3). f = tebal flens roda = 29,5 mm sehingga d = C + 2.f = 1000 + 2 x 29,5 = 1059 mm maka S = d + 2.e = 1059 + 2 x 4 = 1067 mm Persamaan di atas berlaku untuk jalan rel lurusan dan/atau lengkung dengan R > 600 meter, lebar jalan rel tetap, tidak tergantung pada besar kecilnya rel dan lebar kepala rel atau tingginya rel, sedangkan pada lengkung dengan R ≤ 600 meter, lebar jalan rel perlu diperbesar (periksa Tabel 3-4). Bagian Kedua Kelurusan dan Kerataan Jalan Rel Paragraf 1 Batasan Kelurusan dan Kerataan Pasal 16 (1)



Pada jalan rel lurusan, tinggi kepala rel kiri dan kepala rel kanan harus sama.



(2)



Pada jalan rel lurusan, apabila terjadi ketidaklurusan sebesar 5 mm pada jarak 10 meter atau kurang sebagaimana pada Gambar 3-3 maka harus segera diperbaiki.



14



Peraturan Dinas 10A



Gambar 3-3: Ketidaklurusan



(3)



Pada jalan rel lurusan, apabila terjadi penurunan tinggi kepala rel pada salah satu rel sebesar 7 mm, rel kiri atau rel kanan (periksa Gambar 3-4a) atau penurunan keduanya sebesar 7 mm sepanjang 10 meter (periksa Gambar 3-4b) maka jalan rel tersebut harus segera diperbaiki.



Gambar 3-4 a: Beda tinggi rel kiri dan kanan (cross level)



Gambar 3-4 b: Penurunan arah memanjang (longitudinal level) (4)



Apabila pada suatu bagian jalan rel diperlukan pengangkatan jalan rel secara menyeluruh maka dalam sekali pengangkatan dibatasi sebesar 30 mm. Sedangkan bila diperlukan pengangkatan lebih dari 30 mm harus dilakukan secara bertahap antara dua kegiatan dengan melalui masa penstabilan.



(5)



Masa penstabilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah waktu yang dibutuhkan balas untuk mencapai perlawanan yang cukup memegang jalan rel pada kedudukannya sebagaimana pada Tabel 3-1. Tabel 3-1 : Masa penstabilan/pemantapan normal : Tonase yang lewat Jalan rel Rel pendek Rel panjang



Bantalan Besi 20.000 ton 12.000 ton



Bantalan Kayu



Bantalan beton



20.000 ton 60.000 ton



20.000 ton 12.000 ton



15



Peraturan Dinas 10A



Paragraf 2 Skilu Pasal 17 (1)



Apabila terjadi penurunan rel yang menumpu salah satu roda, maka roda yang melewati penurunan tersebut tidak akan menyentuh rel karena roda tersebut sebidang dengan 3 (tiga) roda lainnya, dan perbedaan ketinggian yang sebenarnya antara 2 titik sepanjang 3 meter (dalam praktik 6 bantalan) disebut skilu.



Gambar 3-5 : Skilu (2)



Skilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan roda anjlok, terlebih lagi jika kondisi sarana tidak baik (misal kekakuan sumbu bogie, pergerakan mengayun).



(3)



Perbaikan harus segera dilakukan apabila skilu mencapai nilai sebagaimana pada Tabel 3-2. Tabel 3-2 : Nilai skilu V (km/jam) V < 60 60 ≤ V < 90 V ≥ 90



(4)



NILAI SKILU 4 mm/m atau 12 mm pada jarak 3 m 3 mm/m atau 9 mm pada jarak 3 m 2,5 mm/m atau 7 mm pada jarak 3 m



Pada suatu petak jalan, skilu dapat diketahui bila terjadi kejutan dan/atau goyangan pada waktu dilalui kereta api, berdasarkan hal tersebut: a.



Kupt Jalan Rel harus segera mengambil tindakan perbaikan dan melaporkan kepada JPJD. b. JPJD menetapkan bagian jalan mana yang harus diukur kedudukan tinggi relnya setiap 3 meter dengan alat penyipat datar.



16



Peraturan Dinas 10A



Bagian Ketiga Lengkung Horizontal Paragraf 1 Lengkung Lingkaran dan Lengkung Peralihan Pasal 18 (1)



Lengkung pada jalan rel dibentuk oleh lengkung lingkaran yang dihubungkan pada jalur lurus dengan atau tanpa lengkung peralihan (periksa Gambar 3-6 dan 3-7).



Gambar 3-6 : Lengkung pada jalan rel dengan lengkung peralihan.



Gambar 3-7 : Lengkung pada jalan rel tanpa lengkung peralihan. Keterangan: MLA = Mulai lengkung alih ML = Mulai lengkung AL = Akhir lengkung ALA = Akhir lengkung alih 17



Peraturan Dinas 10A (2)



Pada saat sarana kereta api melalui lengkung, akan terjadi gaya sentrifugal yang bekerja pada titik berat sarana, untuk mengimbangi gaya sentrifugal tersebut rel luar harus ditinggikan terhadap rel dalam, dan keadaan tersebut disebut “peninggian”.



(3)



Peninggian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: hnormal



= 5,95 .



𝑉𝑟 2 𝑅



; dengan batasan



a. hmaks = 110 mm b. hmin = 8,8 . Keterangan :



(4)



𝑉𝑟 2 𝑅



Untuk perhitungan peninggian, kecepatan rencana (Vr) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai berikut: Vr = c .



∑ 𝑁𝑖 𝑉𝑖 ∑ 𝑁𝑖



Keterangan :



(5)



– 53,54 h = Peninggian (mm) Vr = Kecepatan rencana (km/jam) R = Jari-jari lengkung (m)



C = 1,25 Ni = Jumlah kereta api yang lewat Vi = Kecepatan operasi



Besarnya jari-jari lengkung terkecil untuk berbagai kecepatan rencana dengan peninggian maksimum (h maks) = 110 mm (periksa Tabel 3-3) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: hnormal



= 5,95 .



𝑉𝑟 2 𝑅



jika hmaks = 110 mm, maka Vr



110xR



= √



5,95



= 4,299 √𝑅 ≈ 4,3 √𝑅 Tabel 3-3 : Jari-jari lengkung terkecil pada berbagai kecepatan rencana dengan hmaks = 110 mm Kecepatan rencana (km/jam) 120 110 100 90 80 70 60 (6)



18



Jari-jari lengkung terkecil (meter) 780 660 550 450 350 270 200



Pada saat kereta api memasuki lengkung, flens roda depan sebelah luar akan selalu menekan rel luar, sedangkan gandar belakang akan menyesuaikan gerakan kearah radial terhadap titik tengah lengkung, dan apabila kelonggaran antara flens roda dengan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) tidak cukup untuk memberi



Peraturan Dinas 10A



kebebasan gandar belakang, flens roda belakang sebelah dalam akan menempel dan menekan rel dalam, sehingga diperlukan penambahan lebar jalan rel yang disebut “pelebaran”. (7)



Pelebaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan dengan cara penggeseran rel dalam, artinya rel luar tetap pada tempatnya sedangkan rel dalam digeser ke arah dalam untuk memberikan tambahan lebar jalan rel, besarnya pelebaran untuk berbagai jari-jari sebagaimana pada Tabel 3-4. Tabel 3-4 : Pelebaran jalan rel Jari-jari (meter) R ≥ 600



Pelebaran (mm) 0



Lebar jalan (mm) 1067



550 ≤ R < 600



5



1072



400 ≤ R < 550



10



1077



350 ≤ R < 400



15



1082



100 ≤ R < 350



20



1087



(8)



Di jalan bebas atau di emplasemen dimana jalur lurus beralih ke lengkung, arah sumbu dan lebar jalan rel serta peninggian rel luar harus berubah secara berangsur, bagian yang merupakan peralihan tersebut disebut “lengkung peralihan”.



(9)



Panjang minimum lengkung peralihan ditetapkan dengan rumus: Lh= 0,01 x Vr x hn dimana: Lh = Panjang minimum lengkung peralihan (meter) Vr = Kecepatan rencana (km/jam) hn = Peninggian normal (milimeter)



(10) Peninggian dan pelebaran pada lengkung peralihan sebagaimana



dimaksud pada ayat (3) dan ayat (7) diatur secara berangsur dari nol pada bagian lurus sampai sebesar peninggian dan pelebaran yang telah ditetapkan untuk lengkung lingkaran. (11) Peninggian dan pelebaran pada lengkung tanpa peralihan diatur



secara berangsur pada bagian lurusan yang panjangnya sama dengan peninggian (h) dikalikan faktor pengali sebagaimana pada Tabel 3-5. Tabel 3-5: Faktor pengali untuk mendapatkan panjang perubahan peninggian rel tanpa lengkung peralihan. Puncak kecepatan yang diizinkan



Faktor pengali



V ≤ 45 km/jam



400



45 < V < 60 km/jam



600



V ≥ 60 km/jam



1000



(12) Jika peninggian jalan rel tidak digunakan (misal di emplasemen),



pelebaran jalan rel dilakukan pada bagian lurus yang menyambung 19



Peraturan Dinas 10A



pada lengkung, dengan panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dan (11), bila panjang jalan rel yang lurus tidak mencukupi untuk melaksanakan pelebaran jalan sesuai ketetapan, maka panjang lengkung peralihan ditetapkan oleh Direksi. (13) Jari-jari



lingkaran pada lengkung peralihan berkurang secara berangsur dari tak terhingga pada bagian lurus sampai sebesar jarijari lengkung pada akhir lengkung peralihan.



(14) Besarnya jari-jari minimum lengkung lingkaran, dimana pada puncak



kecepatan tertentu yang tidak memerlukan lengkung peralihan dapat dilihat pada Tabel 3-6. Tabel 3-6 : Jari-jari minimum lengkung lingkaran. Kecepatan rencana (km/jam) 120 110 100 90 80 70 60



Jari-jari minimum lengkung lingkaran yang tidak memerlukan lengkung peralihan (m) 2370 1990 1650 1330 1050 810 600



(15) Apabila



sudut pusat kecil, jari-jari lengkung peralihan harus ditentukan, sehingga tersedia cukup ruangan untuk menempatkan lengkung peralihan tanpa ada kemungkinan lengkung peralihan akan saling bertumpangan sebagian atau seluruhnya.



(16) Lengkung yang tidak boleh dilalui dengan puncak kecepatan yang



telah ditetapkan pada suatu lintas tertentu, kecepatan kereta api pada saat melalui lengkung tersebut didasarkan pada kecepatan rencana saat menentukan peninggian rel luar lengkung, dan apabila puncak kecepatan yang diizinkan untuk suatu lengkung pada lintas tertentu lebih rendah dari puncak kecepatan yang diizinkan untuk lintas tersebut, pada permulaan lengkung harus dipasang tanda pembatas kecepatan yang menyatakan puncak kecepatan di lengkung tersebut. (17) Di jalan bebas, besar peninggian untuk berbagai kecepatan rencana



tercantum pada Tabel 3-7. (18) Di emplasemen, lengkung pada jalur utama yang terletak di antara



wesel-wesel ujung dimana semua kereta api berhenti, rel luar tidak perlu peninggian.



(19) Pada jalur dimana kereta api berjalan langsung, rel luar perlu



peninggian sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (16). (20) Peninggian rel luar pada lengkung di jalur tunggal dibuat dengan



menempatkan rel dalam pada menempatkan rel luar lebih tinggi.



20



letak



tinggi



semestinya



dan



Peraturan Dinas 10A (21) Peninggian rel luar pada lengkung di jalur ganda dibuat dengan



menempatkan rel paling luar ditinggikan, rel paling dalam direndahkan dan rel-rel ditengah tetap ditempatkan pada tinggi normal.



(22) Untuk besaran nilai peninggian dan pelebaran pada lengkung yang



belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (7) hendaknya segera disesuaikan secara bertahap. (23) Antara dua lengkung yang arahnya saling berlawanan (lengkung S)



atau arahnya bersamaan, harus ada bagian lurus tanpa peninggian sepanjang paling sedikit 20 meter, dan jika dipergunakan lengkung peralihan antara ujung-ujung lengkung peralihan harus ada bagian lurus paling sedikit 20 meter.



(24) Jika tidak terdapat atau hanya ada bagian lurus demikian pendek,



sehingga pada penggunaan lengkung peralihan yang telah ditetapkan tidak ada sisa sepanjang 20 meter yang tanpa peninggian, maka peralihannya ditetapkan atas persetujuan Direksi. (25) Di jalan



bebas dan di emplasemen, lengkung dengan jari-jari maksimal 250 meter, pada rel dalam dari lengkung perlu dipasang rel paksa (rel gonsol) dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.



(26) Di jalan bebas, emplasemen dan jalur lainnya menggunakan lengkung



dengan jari-jari minimal 150 meter, sedangkan apabila menggunakan lengkung dengan jari-jari kurang dari 150 meter ditetapkan atas persetujuan Direksi. (27) Di emplasemen bongkar muat atau pelabuhan, makin kecil jari-jari



lengkung makin kecil pula kecepatan langsir yang diizinkan, dan lengkung dengan jari-jari 80 meter hanya boleh dilalui dengan kecepatan langsir 5 km/jam. (28) Pada lengkung yang terdapat sambungan rel, kedudukan renggang



sambungan rel pada kedua sisi harus siku satu sama lain, dengan batang rel sisi luar berukuran panjang normal, sedangkan rel sisi dalam yang lebih pendek dengan jumlah yang sama.



(29) Untuk menjamin letak sambungan rel yang tepat, maka untuk rel



dalam dari lengkung perlu dipasang rel yang lebih pendek, selisih panjang rel luar dengan rel dalam (f), ditetapkan menurut persamaan: S R



=



L sehingga f



f=



S R



xL



Dimana : S = lebar jalan rel diukur dari sumbu rel kiri ke sumbu rel kanan (mm) L = panjang rel luar/panjang normal (m) f = selisih Panjang rel luar dengan rel dalam (mm) R = jari-jari lengkung (m) L1 = panjang rel dalam (m), didapat dari perhitungan L – f 21



Peraturan Dinas 10A



Tabel 3-7 : Peninggian rel pada lengkungan Jari-jari (m) 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800 850 900 950 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2500 3000 3500 4000



22



Peninggian (mm) pda setiap kecepatan rencana (km/jam) 120



110 105 100 95 90 80 75 70 65 60 55 55 50 50 45 35 30 25 25



110



105 100 90 85 80 80 75 70 60 60 55 50 45 45 40 40 40 30 25 25 20



100



110 100 95 85 80 75 70 70 65 60 55 55 50 45 40 40 35 35 35 30 25 20 20 15



90



110 100 90 85 75 70 65 65 60 55 55 50 45 45 40 35 35 35 30 30 30 25 20 20 15 15



80



110 100 85 80 70 65 60 55 55 50 45 45 45 40 35 35 30 30 30 25 25 25 25 20 20 15 15 10



70



60



100 85 75 65 60 55 50 50 45 40 40 35 35 35 30 30 25 25 25 20 20 20 20 20 15 15 10 10 10



90 75 65 55 50 45 40 40 35 35 30 30 30 25 25 25 20 20 20 20 15 15 15 15 15 15 10 10 10 10



Peraturan Dinas 10A



Paragraf 2 Anak panah Pasal 19 (1)



Untuk menentukan panjang anak panah suatu lengkung, dapat menggunakan alat bantu berupa benang nilon dengan panjang tetap, dengan cara mengukur panjang F dari titik tengah rentangan benang nilon A-B di M ke sisi dalam kepala rel luar (periksa Gambar 3-8). Keterangan: F = MN = panjang anak panah R = jari-jari lengkung AB = benang nilon ANB = rel luar lengkung



Gambar 3-8 : Anak panah (2)



Panjang anak panah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diketahui dari persamaan matematis sebagai berikut: AM x MB = MN x MP ......... (persamaan 1) Apabila : AB = 2C F = MN R = jari-jari lengkung, maka persamaan 1 akan menjadi : C² = F (2R — F) C² = 2R F — F² …………………. (persamaan 2) Karena anak panah F terlalu kecil dibanding jari-jari R, maka F² dapat diabaikan sehingga persamaan 2 dapat disederhanakan menjadi: C² = 2R F ----> F =



C2 2R



Apabila panjang benang nilon ditetapkan 20 meter maka C = 10 meter, sehingga: F=



50 (meter) R



23



Peraturan Dinas 10A



Paragraf 3 Lengkung di Jembatan Pasal 20 (1)



Jembatan (rasuk atau dinding) yang terletak di lengkung, sumbu jembatan terletak sejajar dengan tali busur lengkung.



(2)



Pada jembatan rasuk, jarak sumbu jembatan pada masing-masing ujungnya terhadap tali busur lengkung adalah 5/6 panjang anak panah sesuai panjang jembatan tersebut, sehingga jarak sumbu jalan rel terhadap sumbu jembatan di tengah panjang jembatan adalah 1/6 dari panjang anak panah tersebut (periksa Gambar 3-9).



Gambar 3-9 : Posisi lengkung di jembatan rasuk (3)



24



Pada jembatan dinding, jarak sumbu jembatan pada masing-masing ujungnya terhadap tali busur lengkung adalah 1/2 panjang anak panah sesuai panjang jembatan tersebut, sehingga jarak sumbu jalan rel terhadap sumbu jembatan di tengah panjang jembatan adalah 1/2 dari panjang anak panah tersebut (periksa Gambar 3-10).



Peraturan Dinas 10A



Gambar 3-10 : Posisi lengkung di jembatan dinding Paragraf 4 Pemeriksaan Lengkung Pasal 21 (1)



Di kantor Kupt Jalan Rel harus ada daftar lengkung untuk setiap lengkung dalam wilayahnya, yang berisi:  nomor lengkung;  titik permulaan (ML) dan titik akhir dari lengkung (AL);  besarnya sudut pusat;  jari-jari;  anak panah;  panjangnya lengkung peralihan;  peninggian;  lebar jalan rel;  kecepatan ka;  lebar alur rel paksa/gonsol (bila ada);  lengkung kiri/kanan;  panjang lengkung;  waktu dan hasil pemeriksaan; dan  waktu dan hasil perbaikan.



(2)



Dalam daftar lengkung digambar secara sketsa lengkung yang bersangkutan dan dicantumkan letak km dan hm, bangunan hikmat serta letak patok-patok lengkung.



(3)



Letak titik permulaan dan titik akhir lengkung di lintas, terutama untuk lengkung dengan jari-jari kecil, harus dipertegas dengan patok.



(4)



Pemeriksaan dan pengukuran sebagaimana pada Tabel 3-8.



berkala



lengkung



dilakukan



25



Peraturan Dinas 10A



Tabel 3-8 : Pemeriksaan lengkung Radius lengkung (m) R < 500 500 ≤ R < 1000 R ≥ 1000



Pemeriksaan lengkung setiap 3 bulan sekali 6 bulan sekali 12 bulan sekali



(5)



Pemeriksan dan pengukuran berkala lengkung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. mengukur anak panah dari lengkung pada rel luar dengan tali busur sepanjang 20 meter; b. mengukur peninggian; c. mengukur lebar jalan rel dan lebar alur rel paksa serta memeriksa kekencangan baut kedudukan rel paksa.



(6)



Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kupt Jalan Rel sebagaimana dimaksud pada ayat (5), JPJD menetapkan perlu tidaknya lengkung diperiksa secara rinci untuk mengembalikan ke radius lengkung semula. Bagian Keempat Lengkung Vertikal Pasal 22



(1)



Pada jalan rel dari bagian datar yang beralih ke landai atau dari bagian landai ke landai lainnya, harus dibuat peralihan berangsur dengan memakai lengkung peralihan vertikal berbentuk lingkaran yang dibuat sebelah menyebelah titik potong antara bagian datar dan bagian landai dengan panjang yang sama, serta besarnya jari-jari minimum lengkung peralihan ditentukan berdasar pada kecepatan rencana sebagaimana pada Tabel 3-9. Tabel 3-9 : Jari-jari minimum lengkung vertikal



(2)



26



Kecepatan Rencana (Km/Jam)



Jari-jari minimum lengkung vertikal (meter)



V ≥ 100



8000



60 ≤ V < 100



6000



45≤ V 5 cm harus segera diperbaiki. (14) Setiap kali mengerjakan pekerjaan angkat listring, pengaturan jarak bantalan harus dikembalikan pada jarak yang telah ditentukan. (15) Bantalan kayu, baja dan beton harus duduk pada balas yang dipecok sepanjang bantalan. (16) Pemecokan yang paling keras dilakukan pada balas di bawah bantalan tempat tumpuan rel terutama pada tempat-tempat yang menyambung dengan bangunan hikmat. Bagian Kelima Wesel Pasal 31 (1) Di setiap kantor JPJD dan Kupt Jalan Rel harus tersedia album wesel yang memuat gambar-gambar lengkap dari semua jenis wesel yang terpasang di wilayahnya, serta harus diadakan register yang mencantumkan semua wesel di lintas secara berurutan untuk setiap emplasemen stasiun, depo, balai yasa dan jalur simpang, dan catatan tentang bulan pengukuran dan perawatan wesel. (2) Jenis wesel terdiri atas: a. wesel biasa: 1. wesel kanan (gambar 4-8a); 2. wesel kiri (gambar 4-8b). b. wesel simetris (gambar 4-9). c. wesel inggris (gambar 4-10).



Gambar 4-8a : Wesel kanan



Gambar 4-8b : Wesel kiri



Gambar 4-9 : Wesel simetris



45



Peraturan Dinas 10A



Gambar 4-10 : Wesel inggris



(3) Bagian utama wesel dan titik-titik yang perlu diperhatikan (periksa Gambar 4-11).



Keterangan: a. Lebar jalan rel di ujung lidah, lebar bukaan lidah, lidah menggantung, kondisi material lidah. b. Siku sambungan rel. c. Kelengkapan baut sambungan. d. Lebar jalan rel pada jalur lurus dan belok. e. Point of Protection : jarak antara jarum dengan sisi dalam rel paksa. f. Lebar alur rel paksa. g. Lebar alur dan kedalaman alur vang rel. h. Kelengkapan baut sepatu rel paksa.



Gambar 4-11 : Bagian utama wesel (4) Perawatan wesel harus dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. balas pada wesel harus memenuhi persyaratan; b. pemecokan balas di bawah bantalan harus dilakukan dengan perhatian khusus terutama pada bantalan besi; c. semua penambat harus terpasang baik dan teguh; d. posisi lidah rapat harus merapat tepat pada rel lantak, dengan kerenggangan maksimum 4 mm; e. perlengkapan pengunci lidah harus dapat memegang erat lidah terhadap rel lantak; f. pelat landas di bawah lidah harus berkedudukan teguh dan lidah wesel harus menapak penuh pada pelat landas tersebut; 46



Peraturan Dinas 10A



g. pelat



landas dan bidang gesek dari perlengkapan pengunci lidah wesel terlayan setempat dan terlayan pusat harus dilumasi;



h. pada wesel dengan lidah putar, poros putar harus diputar erat dan dilumasi, pen pengunci dipasang tepat dan dibengkokkan terbuka dan rel yang bersambungan dengan akar lidah sisi dalam keduanya harus membentuk satu garis lurus serta ujung lidah putar pada akar lidah tidak boleh dapat digeser; i. pembalik wesel harus duduk teguh dan bagian-bagian yang bergerak harus dilumasi, bagian-bagian yang bergerak harus bebas dan tidak boleh menyentuh atau bergesekan pada balas atau benda lain, sehingga pembalikan wesel dapat dilakukan dengan mudah; j. tiang tanda wesel jika ada harus tegak lurus, tebeng arah dan bidang-bidang lentera harus sejajar atau siku-siku terhadap jalan rel; k. bantalan di bawah pembalik wesel ke arah memanjang tidak boleh miring dan seluruh balasnya harus dipecok dengan baik; l. nomor wesel harus tampak dengan jelas dan perubahan nomor wesel harus dicegah, kecuali atas persetujuan JPJD dan JPSD; m. jarum wesel harus tertambat kuat dan tidak boleh aus maksimal 10 mm, sehingga terasa goncangan bila dilalui kereta api; n. penambatan yang kokoh dari rel paksa dan kedudukannya yang tepat terhadap jarum wesel harus diperiksa secara teliti; o. keseluruhan wesel harus dilistring dengan baik, dan hal tersebut dapat diketahui pada keadaan wesel ke arah jalur lurus dengan merentangkan benang kemudian diteliti apakah bagian dari rel lantak yang tertekuk, rel penghubung, jarum dan rel belakang jarum merupakan satu garis lurus; p. wesel harus berada pada bidang datar atau jika jalan rel dalam kelandaian, harus berada di bidang landai tersebut dan lidah wesel tidak boleh berada dalam landai peralihan dan lengkung peralihan; q. peninggian jalan rel ditiadakan pada lengkung dalam wesel; r. jika suku-suku wesel harus diperbaharui maka JPJD menetapkan apakah suku-suku lain yang berhubungan juga harus diganti, atau dipandang cukup dengan sedikit perubahan pada suku-suku yang baru untuk menjamin keserasian hubungan; s. pada penggantian lidah, rel lantak yang bersangkutan juga diganti. (5) Untuk memperteguh kedudukan lidah wesel, dapat dipasang berbagai macam pengunci lidah wesel (misal pengunci-kait/claw, pengunci arrow), sehingga terjamin tidak ada perubahan kedudukan lidah wesel terhadap rel lantak. (6) Untuk memperteguh kedudukan rel lantak di ujung lidah wesel, dapat dipasang penahan lebar jalan rel di muka ujung lidah.



47



Peraturan Dinas 10A



(7) Lebar jalan rel, jarak jarum wesel ke rel paksa dan lebar semua alur pada wesel-wesel di jalur yang dilewati kereta api harus dilakukan pemeriksaan/pengukuran secara berkala setiap tiga bulan sekali untuk jalur utama dan enam bulan sekali untuk jalur lainnya, kemudian harus dibuat laporan kepada JPJD menurut bentuk D.145 yang telah ditetapkan oleh JTJ. Terutama harus diperhatikan supaya jarak yang ditetapkan antara jarum dan sisi dalam rel paksa (Point of Protection/PP) selalu terjaga (periksa Gambar 4-12).



Gambar 4-12 : Letak pengukuran Point of Protection (PP) wesel. (8) Perawatan jarum wesel yang sudah aus maksimal dapat dilakukan dengan cara memberikan lapisan las, selanjutnya dilakukan reprofiling. (9) Perawatan jarum wesel dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) hanya boleh dilakukan sebanyak-banyaknya 4 (empat) kali. (10) Jarum wesel yang retak dapat dilakukan penyambungan dengan las jika retakan tidak lebih 25 mm dari permukaan atas jarum wesel. (11) Apabila dalam pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdapat penyimpangan ukuran dari yang diperkenankan harus diperbaiki, dan perbaikan pada lokasi sekitar ujung lidah wesel yang terkait dengan peralatan persinyalan harus bekerjasama dengan pekerja perawatan Sintelis. (12) Wesel yang baru dipasang atau dipindahkan tidak boleh dilalui kereta api sebelum Kupt Jalan Rel melakukan pengukuran sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam bentuk D.145 (untuk wesel yang belum ada bentuk D.145 nya ukuran sesuai dimensi pabrikan), dan hasil pengukuran tersebut harus dilaporkan kepada JPJD. (13) Wesel yang menyambung tepat pada belakang jarum wesel jurusan jalur belok wesel lain, ujung depannya mendapat pelebaran jalur yang sesuai, tergantung dari konstruksi wesel yang berada di depannya.



48



Peraturan Dinas 10A



(14) Pejabat yang mempunyai tugas pengawasan, sewaktu-waktu harus melakukan pemeriksaan/pengukuran ulang terhadap beberapa wesel pada saat melakukan pemeriksaan di lintas. Bagian Keenam Balas dan Alas Balas Pasal 32 (1)



Fungsi balas pada jalan rel adalah sebagai berikut: a. meneruskan dan menyebarkan beban bantalan ke tanah dasar; b. mengokohkan kedudukan bantalan; dan c. meluluskan air.



(2)



Untuk dapat berfungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), balas dibagi dalam dua lapisan yaitu: a. lapisan balas terdiri dari batu pecah yang keras dan bersudut; b. lapisan subbalas dapat berupa pasir kasar, kerikil sedang atau kerikil halus. Untuk tubuh jalan rel yang terletak pada lapisan batu atau cadas keras, tidak perlu memakai lapisan subbalas, dengan persyaratan tebal lapisan balas atas sedikitnya 30 cm.



(3)



(4)



Lapisan balas dan lapisan subbalas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebelum dipakai harus diuji di laboratorium milik Perusahaan, atau laboratorium lain yang sudah disetujui dan hasilnya harus memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan Direksi.



(5)



Bentuk profil balas pada tubuh jalan rel dan ukuran lapisan balas dan lapisan subbalas ditentukan berdasarkan pada kelas jalan dan kecepatan kereta api sebagaimana pada Gambar 4-13 dan Gambar 414 serta Tabel 4-12.



Gambar 4-13 : Profil balas pada lurusan e



49



Peraturan Dinas 10A



Gambar 4-14 : Profil balas pada lengkung Tabel 4-12 : Penampang melintang jalan rel Kelas Jalan



V maks (Km/Jam)



d1 (cm)



b (cm)



c (cm)



k1 (cm)



d2 (cm)



e (cm)



k2 (cm)



a (cm)



I



120



30



150



235



265-315



15-50



25



375



185-237



II



110



30



150



235



265-315



15-50



25



375



185-237



III



100



30



140



225



240-270



15-50



22



325



170-200



IV



90



25



140



215



240-250



15-35



20



300



170-190



V



80



25



135



210



240-250



15-35



20



300



170-190



(6)



Untuk tubuh jalan rel pada timbunan dengan bahu jalan (berm) kurang dari 1,5 m yang memungkinkan balas jatuh/merosot, pada tepi balas harus diberi dinding penahan balas yang dibuat dari susunan batu belah (bangketan batu kosong) atau konstruksi lain dengan fungsi yang sama.



(7)



Lapisan balas harus dirawat secara teratur dengan cara sebagai berikut: a. melakukan penambahan balas (batu pecah) setiap tahun untuk memenuhi kondisi ideal sedikitnya 6 % dari volume balas standar, sehingga tebal balas di bawah bantalan mencapai standar sesuai kelas jalan sebagaimana pada Tabel 4-12; b. melakukan reprofiling pada saat perbaikan geometri maupun sesudah penambahan balas; c. melakukan pemadatan secara berkala maupun sewaktu-waktu.



(8)



Pemadatan balas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c, harus dilakukan dengan memakai alat sebagai berikut: a. MTT (Multiple Tie Temper) atau HTT (Handy Tie Temper) terutama pada lintas yang menggunakan bantalan beton; b. HTT atau ganco pada lintas yang menggunakan bantalan kayu atau besi.



50



Peraturan Dinas 10A



(9)



Pada tempat dimana terjadi kantong balas dan air tergenang, sebelum dilakukan pemadatan balas, harus dilakukan perawatan/pembuatan pematusan melintang dan membuang balas kotor.



(10) Balas yang sudah sangat kotor sehingga daya serapnya sudah hilang, balas harus diganti seluruhnya atau sebagian dengan cara mengeluarkan balas diantara bantalan-bantalan dan diganti dengan balas yang baru. (11) Pada saat akan dilakukan perawatan balas dengan penggantian balas secara keseluruhan, pada tempat yang terdapat kecrotan lumpur dari tubuh jalan rel, maka subbalas juga harus diganti. (12) Balas tidak boleh tergenang air, untuk itu jaringan pematusan bawah tanah (subdrain) yang dilengkapi dengan pipa pelulusan air yang terhubung dengan jaringan pematusan permukaan di emplasemen harus dirawat/dibuat. Bagian Ketujuh Tubuh Jalan Rel Pasal 33 (1) Dalam perawatan tubuh jalan rel, ukuran-ukuran tubuh jalan rel harus berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dinas 10. (2) Permukaan atas tubuh jalan rel harus terletak minimum 0,75 meter di atas elevasi muka air tanah tertinggi. (3) Pada kaki lereng tubuh jalan rel terutama pada daerah yang di kanan atau kirinya adalah persawahan, harus selalu diberi bahu jalan (berm) dengan lebar minimal 1,5 meter. (4) Untuk tubuh jalan rel pada galian, harus selalu dibuat selokan tepi dengan persyaratan sebagai berikut: a. landai minimum dasar selokan 2 ‰ atau maksimum 10 ‰ ke arah pembuangan air; b. apabila panjang selokan lebih dari 200 meter, harus selalu diberi bagian datar dengan panjang dataran 20 meter. (5) Semua selokan tepi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus selalu dirawat sehingga air selalu dapat mengalir. (6) Semua lereng dan tepi tubuh jalan rel harus dirawat, dengan cara: a. dipasang lempengan rumput sebagai pelindung kecuali pada cadas keras atau tanah batu, agar pada waktu hujan lebat tidak tergerus air dan dapat mengurangi terjadinya retakan tanah pada musim kering yang panjang; b. semua unsur yang mungkin mengakibatkan peresapan air ke dalam tanah pada tepi atas lereng tubuh jalan rel pada galian, harus dilakukan pencegahan; c. bilamana terjadi perubahan bentuk pada tubuh jalan rel atau lereng galian atau lereng timbunan, harus segera diselidiki sebabsebabnya dan ditentukan usaha perbaikan berdasarkan hasil penyelidikan tersebut; 51



Peraturan Dinas 10A



d. rumput pada lereng galian atau lereng timbunan harus dipotong pendek dan pohon-pohon serta tumbuh-tumbuhan yang lain yang timbul harus segera dicabut. Bagian Kedelapan Perawatan Jalan Rel di Area Track Circuit Paragraf 1 Tindakan yang harus dilakukan di area track circuit Pasal 34 (1) Track circuit adalah suatu sirkit listrik yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan sarana kereta api pada suatu bagian jalan rel, untuk mengendalikan perangkat sinyal, baik secara langsung maupun tidak langsung. (2) Kupt Jalan Rel harus menginstruksikan kepada petugas perawatan jalan rel untuk tidak menempatkan alat atau benda logam yang menyentuh dua rel pada jalan rel sehingga dapat menyebabkan hubung singkat. (3) Semua peralatan kerja (misal mistar ukur, meteran) yang digunakan sepanjang jalur track circuit harus terisolasi, sedangkan lori harus terdeteksi. (4) Selama waktu perawatan harus menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada kabel track circuit, misal kabel bonding dan/atau kabel penghubung. (5) Pemasangan kabel bonding tidak diperbolehkan dengan cara mengebor pada kaki rel, pengeboran hanya boleh dilakukan di badan rel. (6) Pada saat penggantian bantalan beton harus diyakinkan tidak terjadi hubung singkat (short circuit), penggantian rel dan pengelasan di area track circuit harus berkoordinasi dengan Kupt Sintelis. (7) Drainase harus dapat mengalirkan air dengan baik untuk menghindari terjadinya genangan air pada jalan rel khususnya di emplasemen apabila terjadi hujan. (8) Perhatian khusus harus diambil untuk memastikan tirepon/baut tidak menonjol di bawah bantalan.



bahwa



(9) Pada saat pemasangan baut sindik bantalan jembatan harus dicegah terjadinya baut sindik bersentuhan dengan paku tirepon. (10) Balas harus tetap bersih sepanjang bagian track circuit dan perawatan harus dilakukan agar kaki rel dan penambat terbebas dari balas dengan kelonggaran tidak boleh kurang 10 mm.



52



Peraturan Dinas 10A



(11) Setiap pekerjaan perawatan jalan rel yang mengunakan Kereta Pemeliharaan Jalan Rel (KPJR) harus dikoordinasikan dengan Kupt Sintelis, apabila pekerjaan tersebut dimungkinkan dapat menimbulkan kerusakan peralatan pendeteksi kereta api oleh roda lining yang tidak diangkat pada waktu melewati peralatan pendeteksi kereta api. Paragraf 2 Insulated Rail Joint Pasal 35 (1) Insulated Rail Joint (IRJ) adalah pelat sambung yang tidak dapat menghantarkan arus listrik sehingga dari satu bagian track circuit ke track circuit lainnya terisolasi dengan baik. (2) Kerusakan IRJ dapat menyebabkan gangguan pada track circuit, dengan demikian harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan perawatan. (3) Sambungan rel yang menggunakan IRJ harus berupa sambungan siku. (4) Pemasangan dan Perawatan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemasangan IRJ pada rel kiri dan rel kanan harus satu garis dan tegak lurus terhadap sumbu rel; b. ujung rel yang tersambung dengan IRJ harus dipasang rel isol dengan mempertimbangkan celah untuk pemuaian rel, dan harus selalu bersih dari debu blok rem, pasir, karat, bahan asing lainnya serta permukaan ujung rel harus selalu rata; c. baut pada IRJ dan alat penambat harus dijaga kekencangannya, alat penambat (misal pendrol, tirepon) tidak diperbolehkan menyentuh IRJ; d. kepadatan balas pada bantalan penumpu IRJ harus selalu terjaga; e. untuk menghindari kerusakan rel isol rayapan harus dicegah, minimal dalam satu panjang rel di kedua ujung IRJ harus terpasang perangkat anti rayapan; f. apabila dipasang alat pencegah rayapan rel pada bantalan tidak boleh bersinggungan dengan pelat landas atau dengan IRJ; dan g. apabila terjadi keretakan/kerusakan diajukan permintaan penggantian kepada JPSD. Bagian Kesembilan Perawatan Jalan Rel di Jalur Elektrifikasi Pasal 36 (1) Setiap pekerja perawatan yang bekerja di jalur elektrifikasi harus: a. berdasarkan SOP keselamatan kerja di jalur elektrifikasi yang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah, Kupt Jalan Rel harus memastikan bahwa pekerjannya menaati ketentuan tersebut;



53



Peraturan Dinas 10A



b. berkoordinasi dengan Kupt Listrik Aliran Atas (Kupt LAA) karena jaringan listrik aliran atas dan kabel distribusi daya setiap saat selalu dalam keadaan bertegangan; c. memahami bahwa arus balik pada rel dapat menyebabkan perbedaan potensial antara: 1. rel dan tanah; 2. dua ujung rel patah; 3. dua rel pada IRJ; dan 4. tanah dan setiap massa logam lainnya. (2) Ketentuan khusus bagi petugas perawatan jalan rel di jalur elektrifikasi adalah sebagai berikut: a. pada saat bekerja harus ada pengawasan khusus yang memperhatikan pekerja agar tidak terjadi kontak langsung dengan jaringan LAA; b. tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan pada jarak 1,5 (satu setengah) meter atau kurang dari bagian yang bertegangan pada jaringan LAA; c. apabila pekerjaan yang berjarak 1,5 (satu setengah) meter atau kurang sebagaimana dimaksud pada huruf b terpaksa dilakukan maka harus: 1. diadakan pemadaman tegangan LAA dan pemasangan pentanahan di lokasi pekerjaan; 2. pada waktu kerja perawatan (window time); dan 3. diawasi oleh pekerja LAA yang ditentukan. d. pekerjaan galian yang berdekatan dengan jalan rel, harus dikoordinasikan dengan Kupt LAA dan Kupt Sintelis serta memperhatikan patok tanda kabel tanah; e. setiap pekerjaan angkatan dan listringan jalan rel harus dikoordinasikan dengan Kupt LAA, apabila pekerjaan tersebut dimungkinkan dapat menimbulkan perubahan alinemen sumbu jalan rel dengan kawat kontak maka pekerjaan harus dilaksanakan bersamaan dengan pengukuran deviasi ketinggian kawat kontak berdasar data rencana besaran nilai angkatan dan/atau listringan yang disampaikan pada saat koordinasi; f. apabila pekerjaan perawatan jalan rel menggunakan derek (crane)/KPJR, maka harus dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan g. pada waktu petugas perawatan jalan rel melakukan perawatan dan pemeriksaan bangunan hikmat, tegangan LAA harus dipadamkan. (3) Pemasangan kabel negatif dari gardu traksi ke rel hanya diperbolehkan pada badan rel dengan cara mengebor dengan jumlah lubang maksimum 3 (tiga) lubang, diameter lubang maksimum 20 mm dan jarak antar as lubang 170 mm.



54



Peraturan Dinas 10A



BAB V DRAINASE Bagian Pertama Umum Pasal 37 (1)



Untuk mengalirkan air disuatu daerah jalan rel agar tidak terjadi genangan air, diperlukan sistem pengaliran pembuangan air (drainase).



(2)



Drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ada 3 macam antara lain: a. drainase permukaan; b. drainase bawah tanah; dan c. drainase lereng. Bagian Kedua Drainase Permukaan Pasal 38



(1)



Drainase permukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a terdiri dari drainase melintang (cross-drainage) dan berupa drainase memanjang (selokan, side-ditch).



(2)



Drainase melintang berfungsi mengeringkan permukaan atas tubuh jalan rel (periksa gambar 5-1).



Gambar 5-1 : Drainase melintang. (3)



Drainase memanjang yang berupa selokan berfungsi untuk menampung semua air dari balas, tubuh jalan dan drainase melintang maupun dari tebing apabila jalan rel letaknya dalam galian (periksa Gambar 5-2). 55



Peraturan Dinas 10 A



Gambar 5-2 : Drainase memanjang. (4)



Dasar selokan harus landai, jika dasar dari tanah kelandaian dibuat 1:50 atau 1:100 untuk menghindari penggerusan dinding tanah selokan oleh air, dan apabila harus lebih curam dinding selokan harus terbuat dari pasangan atau beton.



(5)



Drainase memanjang harus dirawat minimal 1 kali dalam setahun dan pada tempat-tempat tertentu dilakukan lebih dari sekali tergantung dari kondisi setempat. Bagian Ketiga Drainase Bawah Tanah Pasal 39



(1)



Drainase bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b dimaksudkan untuk menjaga agar permukaan air tanah tidak mendekati permukaan atas tubuh jalan.



(2)



Permukaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar atau sama dengan 75 cm di bawah permukaan atas tubuh jalan (periksa Gambar 5-3).



Gambar 5-3 : Drainase bawah tanah.



56



Peraturan Dinas 10A



Bagian Keempat Drainase Lereng Pasal 40 Drainase lereng sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c (periksa Gambar 5-4) dimaksudkan untuk: a. mencegah agar air permukaan yang berasal dari punggung lereng tidak mengalir secara deras menggerus permukaan dan kaki lereng; b. mencegah terjadinya aliran rembesan (seepage) di dalam tubuh lereng tanah, di mana ini dapat menyebabkan lereng bisa longsor secara mendadak dan atau memperlemah tubuh jalan rel.



Gambar 5-4 : Drainase lereng.



57



Peraturan Dinas 10 A



BAB VI FASILITAS PENGAMAN DAN FASILITAS LAIN Bagian Pertama Rel Paksa dan Rel Pengaman Paragraf 1 Rel Paksa Pasal 41 (1)



Untuk mencegah terjadinya anjlokan yang disebabkan naiknya roda ke permukaan rel atau untuk mengurangi keausan rel luar pada lengkung dengan radius kecil dapat dilakukan dengan pemasangan konstruksi rel paksa (rel gonsol) yang terbuat dari rel yang lebih kecil dari rel utama atau dari baja profil.



(2)



Rel paksa (rel gonsol) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang secara menerus pada jalan rel di lokasi dimana jari-jari lengkung 250 meter atau kurang (periksa Gambar 6-1).



Gambar 6-1 : Rel paksa pada Lengkung



58



Peraturan Dinas 10 A (3)



Rel paksa untuk lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang sesuai ketentuan sebagai berikut: a. dipasang pada sisi dalam dari rel sebelah dalam; b. sisi atas rel paksa dipasang lebih tinggi dari kepala rel utama dengan ketentuan sebagai berikut: 1. untuk rel utama R 42 ketinggian bagian atas 30 mm diatas kepala rel (periksa Gambar 6-2); 2. untuk rel utama R 50, R 54, dan R 60 ketinggian bagian atas 28 mm diatas kepala rel (periksa Gambar 6-3);



Gambar 6-2 : Rel paksa pada R.42 - bantalan beton menggunakan rel R.25



Gambar 6-3 : Rel paksa pada R.54 - bantalan beton menggunakan rel R.25 c. dipasang dengan jarak 65 mm terhadap rel utama (sisi dalam kepala rel), pada jarak 1500 mm dari ujung rel paksa dibengkokkan ke arah dalam sehingga jarak terhadap rel utama menjadi 180 mm dan dibuat menurun 20 mm; d. rel paksa (gonsol) dipasang sepanjang lengkung mulai dari permulaan lengkung peralihan (MLA) sampai dengan akhir lengkung peralihan (MLA); e. Sambungan rel paksa menggunakan pelat sambung dengan mur baut, posisi mur berada pada sisi atas.



59



Peraturan Dinas 10 A



Paragraf 2 Rel Pengaman Pasal 42 (1) Untuk mengurangi tingkat risiko akibat anjlokan dapat dilakukan dengan menggunakan rel pengaman (guard rail), yang dipasang di sisi dalam jalan rel. (2) Rel pengaman (guard rel) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang di lokasi antara lain: a. lengkung dimana jalan rel berada pada kelandaian yang cukup tinggi atau di atas timbunan tinggi yang dianggap cukup berbahaya dan akan menyebabkan kerusakan yang serius apabila terjadi anjlokan; b. pada jembatan baja tanpa balas untuk antisipasi apabila terjadi anjlokan sebelum memasuki jembatan; c. lokasi lain yang dianggap perlu terkait dengan faktor risiko yang besar jika terjadi anjlokan (misal terowongan). (3) Pemasangan rel pengaman di jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. rel pengaman dipasang pada sisi dalam kedua rel utama dengan jarak 180-220 mm terhadap rel utama, pada kedua ujung rel pengaman dibengkokkan ke arah dalam secara berangsur-angsur dalam panjang 2000 mm sehingga kedua ujung rel pengaman saling ketemu (periksa Gambar 6-4 dan Gambar 6-5); b. apabila rel pengaman dipasang pada lengkung yang menggunakan rel paksa (gonsol), rel pengaman di pasang pada sisi dalam dari rel luar dan pada kedua ujungnya dibengkokkan ke arah dalam secara berangsur-angsur dalam panjang 2000 mm sehingga ujung rel pengaman segaris dengan ujung rel paksa (periksa Gambar 6-6); c. sambungan untuk rel pengaman menggunakan pelat sambung dengan mur sambungan berada di bagian luar, bukan di antara rel utama dengan rel pengaman; dan d. apabila rel pengaman dipasang pada lintas dengan sistem persinyalan elektrik, rel pengaman harus dilengkapi bahan isolasi listrik sehingga tidak akan terjadi hubung singkat antara rel utama dengan rel pengaman.



60



Peraturan Dinas 10 A



Gambar 6-4 : Pemasangan rel pengaman di jembatan > 20 m pada lurusan.



Gambar 6-5 : Pemasangan rel pengaman di jembatan pada lengkung R >250 m.



61



Peraturan Dinas 10 A



Gambar 6-6 :



Pemasangan rel pengaman di jembatan pada lengkung R ≤ 250 m.



(4) Rel pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga berfungsi sebagai pengikat jarak antar bantalan, jika rel pengaman ditambatkan pada setiap bantalan. Bagian Kedua Perlintasan Sebidang (1)



Pasal 43 Lebar perlintasan dalam keadaan pintu terbuka atau tanpa pintu, harus sama dengan lebar perkerasan jalan yang bersangkutan, sedangkan lebar perlintasan untuk pejalan kaki tidak melebihi 0,75 meter.



(2)



Untuk perlintasan yang dapat dilalui kendaraan harus dijamin adanya pandangan bebas sebagaimana diatur dalam Peraturan Dinas 10.



(3)



Sambungan rel pada perlintasan harus dihindarkan.



(4)



Jika digunakan rel lawan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. panjang rel lawan harus lebih panjang 800 mm di kanan dan kirinya dari lebar perkerasan jalan; b. lebar alur sepanjang rel pada bagian lurus adalah 40 mm, ujungujungnya dibengkokkan secara berangsur-angsur dari lebar alur 40 ke 60 mm sepanjang 400 mm, dan jarak antar sisi luar kepala rel lawan tidak melebihi 987 mm (periksa Gambar 6-7);



62



Peraturan Dinas 10 A



Gambar 6-7 : Rel lawan pada perlintasan di lurusan. c. pada perlintasan di lengkung dengan jari-jari 350 meter atau lebih: 1. lebar alur diperlebar menjadi 50 mm dan ujung-ujungnya dibengkokkan secara berangsur-angsur dari lebar alur 50 ke 70 mm sepanjang 400 mm; 2. jarak antar sisi luar kepala rel lawan tidak melebihi 987 mm. d. pada perlintasan di lengkung dengan jari-jari kurang dari 350 meter: 1. lebar alur diperlebar menjadi 70 mm dan ujung-ujungnya dibengkokkan secara berangsur-angsur dari lebar alur 70 ke 90 mm sepanjang 400 mm; 2. Jarak antar sisi luar kepala rel lawan tidak melebihi 977 mm. e. lebar alur yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, c atau d diperoleh dengan menempatkan klos yang terbuat dari besi cor dengan baut pengikat, dan klos tersebut tidak boleh diganti dengan pipa. f. alur antara rel utama dan rel lawan diisi dengan kerikil halus, paling sedikit 40 mm di bawah permukaan kepala rel. g. untuk lengkung dengan jari-jari 200 meter atau kurang, pada rel sebelah dalam dipasang rel paksa (gonsol) dan rel sebelah luar dipasang rel lawan, dengan ketentuan : 1. kaki rel paksa sebelah atas diiris atau digergaji setinggi 15 mm sepanjang lebar perlintasan, dan selanjutnya tinggi irisan dikurangi secara berangsur sepanjang 1.500 mm di kedua belah ujungnya sehingga tinggi rel paksa menjadi normal dengan permukaan irisan yang dibulatkan;



63



Peraturan Dinas 10 A



2. rel lawan dipasang pada sisi dalam rel sebelah luar dengan jarak 70 mm terhadap rel utama (sisi dalam kepala rel), dengan panjang selebar perlintasan ditambah 800 mm di kanan dan kirinya dan dibengkokan ke arah dalam pada kedua ujungnya sedangkan besar dan tingginya rel lawan sama dengan rel utama (periksa gambar 6-8).



Gambar 6-8 : Pemasangan rel lawan dengan rel gonsol di Perlintasan. (5)



(6) (7) (8)



(9)



64



Pada perlintasan yang tidak dijaga dan dapat dilalui kendaraan, sebelah kanan dari arah kedatangan kereta api, harus dipasang tanda memperdengarkan semboyan 35 (semboyan 8K), dengan jarak: a. 500 meter sebelum perlintasan untuk kecepatan kereta api lebih dari 30 km/jam; b. 150 meter sebelum perlintasan untuk kecepatan paling tinggi 30 km/jam. Balas pada perlintasan harus mempunyai ketebalan 40 – 50cm di bawah bidang bantalan dan mudah meluluskan air. Pada petak jalan yang menggunakan bantalan besi, bantalan di perlintasan menggunakan bantalan kayu. Setiap tiga tahun jalan rel pada perlintasan harus diperiksa dengan cara membongkar perkerasan jalan, apabila diperlukan maka balas, bantalan dan alat-alat penambat diperbaharui termasuk fungsi subdrain, selanjutnya rel dan alat penambat dibersihkan kemudian dilapisi dengan bahan anti karat. Pekerjaan perbaikan pada perlintasan harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Dinas Pekerjaan Umum terkait dan Kepolisian setempat, untuk memperkecil gangguan pada lalu lintas umum.



Peraturan Dinas 10 A



(10) Jika perlintasan dibongkar dan bahan-bahan ditimbun di tepi jalan, hingga keamanan lalu lintas umum untuk sementara terganggu, maka pada malam hari harus dipasang penerangan yang cukup dan dijaga. (11) Apabila pada perlintasan menggunakan pengaman perlintasan dari kayu, pelat beton, blok rel, permukaannya harus diatur dalam ketinggian yang sama dengan kepala rel. (12) Pada perlintasan dengan frekuensi lalu lintas yang rendah atau hanya digunakan untuk pejalan kaki dan hewan, pengaman perlintasan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak perlu dipasang. Bagian Ketiga Badug Pasal 44 (1)



Badug (konstruksi penahan) terpasang pada jalur buntu, jalur simpan, jalur tangkap dan jalur luncur.



(2)



Badug sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. timbunan balas; b. konstruksi beton/pasangan batu kali dengan atau tanpa timbunan balas; atau c. konstruksi baja atau rel dengan atau tanpa timbunan balas.



Gambar 6-9 : Badug timbunan balas.



65



Peraturan Dinas 10 A



Gambar 6-10 : Contoh badug konstruksi rel. (3)



Badug sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu dalam kondisi baik, untuk itu KUPT Jalan Rel perlu memeriksa secara berkala setiap 3 (tiga) tahun sekali dan yang mengalami kerusakan segera diperbaiki. Bagian Keempat Tanda dan Marka di Jalur Kereta Api Paragraf 1 Umum Pasal 45



Yang termasuk dalam tanda dan marka di jalur kereta api: a. tanda dan marka yang telah diatur dalam Peraturan Dinas 3 (semboyan), antara lain: Tanda pembatas kecepatan, tanda hati-hati mendekati sinyal masuk, tanda jalur badug, tanda jalur akhir, tanda memperdengarkan semboyan 35, tanda batas ruang bebas, marka kelandaian, marka lokasi, marka lengkung; b. tanda dan marka lainnya, antara lain: Tanda batas ruang manfaat jalur kereta api, tanda batas emplasemen dipo, tanda jalur simpang, tanda batas perawatan, tanda tunggu juru langsir, tanda larangan, tanda peringatan perlintasan untuk lalu lintas jalan raya, marka wesel, marka yang memberi petunjuk adanya benda yang ditanam dalam tanah (misal kabel, pipa).



66



Peraturan Dinas 10 A



Paragraf 2 Penempatan Tanda dan Marka Pasal 46 (1)



Tanda pembatas kecepatan (semboyan No. 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang di sebelah kanan menurut arah jalannya kereta api, dan akhir dari bagian jalan kereta api yang harus dilalui dengan kecepatan terbatas ditentukan oleh tanda penghabisan pembatas kecepatan (semboyan No. 2H).



(2)



Tanda hati-hati mendekati sinyal masuk (semboyan No. 8) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang di sebelah kanan menurut arah jalannya kereta api pada jarak 1000 meter sebelum sinyal masuk atas permintaan JPOD yang bersangkutan. Tanda batas jalur badug (semboyan No. 8F) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang disebelah kanan menurut arah jalannya langsiran dengan jarak 40 meter dari badug. Tanda jalur akhir (semboyan No. 8G) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang di sumbu jalur pada ujung jalur akhir.



(3)



(4) (5)



(6)



(7)



Tanda memperdengarkan semboyan 35 (semboyan No. 8K) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang di sebelah kanan jalan kereta api menurut arah jalannya kereta api pada tempattempat yang harus membunyikan semboyan 35. Tanda batas ruang bebas (semboyan No. 18) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, berupa patok rendah setinggi 600 mm dari kepala rel dicat warna putih pada malam hari dapat memantulkan cahaya sedangkan bagian bawah sampai tanah dicat warna hitam, yang dipasang di antara kedua jalur kereta api pada wesel atau silang (crossing), diukur siku terhadap sumbu jalan rel masing-masing dengan jarak minimal 1950 mm. Marka kelandaian diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. marka kelandaian (semboyan No. 10J) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang di sebelah kanan jalan kereta api menurut arah urutan kilometer, pada titik beralihnya jalan rel dari satu landai ke landai lain; b. pada papan marka kelandaian terbagi dalam dua bidang, yang berwarna hitam untuk menunjukkan lokasi yang sedang dilalui dan yang berwarna putih untuk kelandaian yang akan dihadapi/dilalui oleh kereta api, pada papan warna putih ditulis kelandaian dan panjangnya dari bagian jalan rel yang dihadapi dengan warna hitam, misalnya: 1. 5 ‰ — 520 artinya kelandaian adalah = 5 ‰, dengan panjang kelandaian 520 meter. 2. 8 ‰ — 700 artinya kelandaian adalah = 8 ‰, dengan panjang kelandaian 700 meter. 3. — 400 artinya adalah = mendatar, dengan panjang 400 meter.



67



Peraturan Dinas 10 A



c. pada papan marka kelandaian sisi belakang (untuk arah kereta api sebaliknya), warna cat masing-masing bidang kebalikan dari warna cat sisi muka; d. pada jalur ganda, marka kelandaian dipasang di sebelah luar jalur; e. marka kelandaian harus dipasang untuk kelandaian > 2,5 ‰, dan perbedaan tinggi antara permulaan sampai akhir landai lebih dari 3 meter. (8)



Marka lokasi diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. marka lokasi (semboyan No. 10K) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipergunakan untuk menunjukkan lokasi jalan rel dalam kilometer dan hektometer yang dihitung dari titik nol untuk masing-masing lintas, dipasang di sebelah kanan jalan rel dilihat menurut urutan kilometer; b. Pada jalur ganda, marka lokasi dipasang di sebelah luar jalur.



(9)



Marka lengkung diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. marka lengkung (semboyan No. 10L) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dipasang di sebelah luar arah lengkung pada titik beralihnya bagian yang lurus ke lengkung untuk lengkung tanpa lengkung peralihan dan pada ML dan AL untuk lengkung dengan lengkung peralihan; b. jika dari suatu lengkung ke lengkung lain tidak ada lengkung peralihan (jarang terjadi) maka marka yang kedua dipasang di atas marka yang pertama, dan pada masing-masing marka diberi tanda anak panah yang menunjukkan bagian lengkung yang terkait; c. di emplasemen, marka lengkung dipasang hanya pada jalur lurus atau pada jalur belok yang dapat digunakan untuk kereta api langsung di emplasemen yang tidak memiliki jalur lurus. Pada jalur ganda marka lengkung harus dipasang pada sebelah luar dari lengkung yang bersangkutan.



(10) Tanda batas ruang manfaat jalur kereta api diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanda batas ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b harus dipasang di sepanjang jalur kereta api; b. tanda batas berupa patok atau pagar yang dapat terlihat dengan jelas, dengan Jarak antara masing-masing tanda batas paling jauh setiap 1 (satu) kilometer disesuaikan dengan kondisi jalur kereta api. (11) Tanda batas emplasemen depo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, berupa papan bertuliskan "Batas Emplasemen Depo" berukuran 400 x 600 mm, dipasang di dekat ujung wesel emplasemen depo yang berbatasan dengan emplasemen stasiun, pada tiang setinggi 2000 mm dari kepala rel dengan jarak 2350 mm dari sumbu jalan rel, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Dinas ini.



68



Peraturan Dinas 10 A



(12) Tanda jalur simpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, berupa papan bertuliskan "Jalur Simpang …………………" berukuran 400 x 600 mm, dipasang pada sisi sebelah kanan permulaan masuk jalur simpang, pada tiang setinggi 2000 mm dari kepala rel dengan jarak 2350 mm dari sumbu jalan rel, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Dinas ini. (13) Tanda batas perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, menunjukkan batas antara wilayah Perusahaan dengan wilayah instansi lain yang ditunjukkan pada papan persegi berukuran 400 x 600 mm dan dipasang pada patok setinggi 900 mm di atas tanah yang bertuliskan “Perusahaan/nama instansi yang bertanggung jawab atas wilayah tersebut”, misal: PT KAI/PT BA, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Dinas ini. (14) Tanda tunggu juru langsir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, berupa papan bertuliskan “tunggu juru langsir” berukuran 400 x 600 mm, dipasang di sebelah kanan jalur yang menghubungkan emplasemen depo lokomotif dengan emplasemen stasiun walaupun telah dilengkapi dengan sinyal langsir, pada tiang setinggi 2000 mm dari kepala rel dengan jarak 2350 mm dari sumbu jalan rel, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Dinas ini. (15) Tanda larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, dipasang di tempat yang tidak boleh dimasuki oleh umum, berupa papan pengumuman atau media lain yang memuat larangan dan sanksi pelanggarannya, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Dinas ini. (16) Tanda peringatan perlintasan untuk lalu lintas jalan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, dipasang oleh Dinas Perhubungan setempat, untuk itu Kupt Jalan Rel yang bersangkutan harus berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan dan memastikan tanda peringatan tersebut telah terpasang. (17) Marka wesel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b merupakan informasi tentang wesel berupa papan berukuran 650 x 400 mm bertuliskan “papan informasi wesel” berisi nomor wesel, letak kilometer, sudut wesel, tipe rel, tipe wesel, posisi, di pasang tegak lurus dengan ujung lidah wesel dengan jarak 2350 mm dari sumbu jalan rel, dan pada sisi belakang bertuliskan riwayat pemeriksaan wesel. (18) Marka yang memberi petunjuk adanya benda yang ditanam dalam



tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, yang bertuliskan : "Kabel Listrik", “Pipa Saluran Air" dan sebagainya, dipasang menurut kebutuhan dan khusus ditujukan kepada para petugas perawatan jalan rel.



69



Peraturan Dinas 10 A



Bagian Kelima Semboyan Pembatas Kecepatan Pasal 47 (1)



Apabila ditemukan bagian dari petak jalan dianggap membahayakan perjalanan kereta api dan keadaan tersebut mengharuskan kereta api berjalan dengan kecepatan terbatas atau kereta api harus berhenti, maka masinis kereta api yang akan melalui bagian dari petak jalan tersebut harus diberitahu dengan menggunakan semboyan pembatas kecepatan atau semboyan berhenti sebagaimana diatur dalam Peraturan Dinas 3.



(2)



Semboyan pembatas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan isyarat berjalan hati-hati yang terdiri dari: a. semboyan 2A untuk kecepatan tidak melebihi 40 km/jam; b. semboyan 2B untuk kecepatan tidak melebihi 20 km/jam; c. semboyan 2C untuk kecepatan tidak melebihi 5 km/jam.



(3)



Apabila bagian dari petak jalan tidak boleh dilalui maka kereta api harus diberhentikan dengan memperlihatkan semboyan isyarat berhenti (semboyan No. 3).



(4)



Pada bagian petak jalan yang hanya dapat dilalui dengan kecepatan terbatas, bila pemasangan dan pencabutan pembatas kecepatan dan isyarat berjalan hati-hati (semboyan No. 2A) melebihi masa berlakunya gapeka, maka pembatas kecepatan yang digunakan adalah tanda pembatas kecepatan (semboyan No. 2).



(5)



Pemasangan tanda pembatas kecepatan (semboyan No. 2) harus dicatat dalam laporan kereta api.



(6)



Pemasangan pembatas kecepatan (semboyan No. 2) dan isyarat berjalan hati-hati (semboyan No. 2A, 2B, 2C) serta isyarat berhenti (semboyan No. 3) yang pemasangannya direncanakan, harus diwartakan selambatlambatnya 2 hari sebelum semboyan tersebut diberlakukan. a.n. DIREKSI PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) DIREKTUR UTAMA,



EDI SUKMORO NIPP 65359



70



Lampiran



1



Contoh Tanda Larangan a.n. DIREKSI PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) DIREKTUR UTAMA,



EDI SUKMORO NIPP 65359



2