Pedoman Pelayanan Radiologi [PDF]

  • Author / Uploaded
  • irwan
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit merupakan Unit yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Semakin pesat laju pembangunan, semakin besar pula tuntutan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dengan demikian, pelayanan Rumah Sakit yang memadai, baik di bidang diagnostik maupun pengobatan semakin dibutuhkan. Sejalan dengan itu maka pelayanan diagnostik yang diselenggarakan oleh Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih sangat perlu untuk diadakan. Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih adalah sebuah Instalasi



yang



melaksanakan pelayanan pemeriksaan di bidang pencitraan diagnostik yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan perorangan terutama untuk menunjang upaya diagnosis penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Kedudukan Instalasi Radiologi di RSU Panti Baktiningsih adalah sangat penting karena sesuai dengan fungsinya sangat membantu dalam pengelolaan pasien rumah sakit. Dalam melaksanakan kegiatannya, Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih harus berlandaskan kepada Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1014/Menkes/SK/XII/2008 merupakan salah satu Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang semua aspek Instalasi Radiologi dan dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam menyelenggarakan pelayanan Radiologi. Untuk dapat melakukan fungsinya, Instalasi Radiologi membutuhkan banyak jenis tenaga dengan kompetensi khusus, berbagai teknologi pemeriksaan dan alat-alat mulai dari yang paling sederhana sampai yang tercanggih. Instalasi Radiologi mempunyai dua pelanggan utama yaitu pasien sebagai pelanggan eksternal dan dokter sebagai pelanggan internal. Merupakan kewajiban bagi setiap Instalasi Radiologi untuk memberikan pelayanan yang bermutu, adekuat, teratur, baik dan terus menerus kepada setiap pelanggannya. Untuk meningkatkan mutu pelayanan, Instalasi Radiologi yang terdapat di RSU Panti Baktiningsih perlu dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang tepat. Dipimpin dan diarahkan oleh orang orang yang sesuai kualifikasinya, kompeten dan profesional. 1



Upaya peningkatan mutu pelayanan Instalasi Radiologi merupakan serangkaian kegiatan yang komprehensif dan integral yang menyangkut struktur, proses dan outcome secara obyektif, sistematik dan berlanjut, memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan masalah-masalah yang terjadi sehingga pelayanan radiologi yang diberikan berdaya guna dan berhasil guna. Sasaran upaya peningkatan mutu pelayanan Instalasi Radiologi di RSU Panti Baktiningsih adalah : meningkatkan kepuasan pelanggan (pasien, dokter dan pemakai jasa radiologi lainnya), meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan radiologi, dan efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Cakupan kegiatan peningkatan mutu meliputi seluruh kegiatan teknis radiologi dan kegiatan-kegiatan yang bersifat administrasi, serta manajemen radiologi. Kegiatan teknis radiologi meliputi seluruh kegiatan radiologi, USG. Kegiatan yang berkaitan dengan administrasi meliputi pendaftaran pasien, pelayanan administrasi, dan pelayanan hasil pemeriksaan. Sedangkan kegiatan yang bersifat manajerial meliputi pemberdayaan sumber daya yang ada, termasuk di dalamnya adalah penatalaksanaan logistik dan pemberdayaan SDM. Instalasi Radiologi



juga harus menerapkan prinsip prinsip keselamatan dalam



memberikan pelayanannya. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Instalasi Radiologi sangat berkepentingan dengan kelima isu keselamatan ini karena Instalasi Radiologi di RSU Panti Baktiningsih bekerja menggunakan bahan dan alat yang dapat menyebabkan kecelakaan baik terhadap pasien maupun petugas. Dengan melihat kompleksitas kerja Instalasi Radiologi sehingga sarat dengan kejadian kesalahan disatu sisi sementara harus memberikan pelayanan yang baik kepada pengguna jasa radiologi disisi lainnya, maka perlu disusun pedoman dalam pemberian pelayanan radiologi yang sesuai dengan standar nasional, undang-undang dan peraturan yang berlaku yang menjadi rambu rambu bagi semua yang terlibat dalam pelayanan radiologi secara langsung maupun tidak langsung sehingga tujuan yang diinginkan tercapai.



2



B. TUJUAN 1. Tujuan Umum : Sebagai Pedoman bagi pimpinan dan semua petugas dalam memberikan pelayanan Radiologi 2. Tujuan Khusus a. Sebagai acuan bagi semua petugas Instalasi Radiologi



dalam memberikan



pelayanan radiologi yang baik dan benar. b. Sebagai acuan bagi pimpinan Instalasi Radiologi khususnya atau pimpinan rumah sakit dalam mengelola radiologi. c. Terlaksananya pemberian pelayanan radiologi secara sistematis dan terarah. d. Untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman bagi semua petugas Instalasi Radiologi. C. MANFAAT Manfaat dari pembuatan Pedoman Pelayanan Instalasi Radiologi Rumah ini antara lain : 1. Terbentuknya Instalasi Radiologi yang sesuai dengan undang undang dan peraturan yang berlaku 2. Terciptanya pelayanan radiologi yang efektif dan efisien 3. Dapat meningkatkan mutu pelayananan radiologi 4. Dapat meningkatkan kepercayaan dokter dan pasien terhadap hasil pemeriksaan radiologi di Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih 5. Melindungi pasien dan semua petugas Instalasi Radiologi dari kecelakaan kerja 6. Melindungi semua petugas Instalasi Radiologi dari tuntutan malpraktek. D. RUANG LINGKUP 1. Pelayanan Radiologi Pasien IGD Pelayanan Radiologi Pasien IGD adalah pelayanan radiologi dimana pasien yang akan dilakukan tindakan radiologi berasal dari Instalasi Gawat Darurat yang sifatnya emergency. 2. Pelayanan Radiologi Pasien Unit Rawat Inap Pelayanan Radiologi Pasien Unit Rawat Inap adalah pelayanan radiologi dimana pasien yang akan dilakukan tindakan radiologi berasal dari Unit Rawat Inap.



3



3. Pelayanan Radiologi Pasien Unit Rawat Jalan Pelayanan Radiologi Pasien Unit Rawat Jalan adalah pelayanan radiologi dimana pasien yang akan dilakukan tindakan radiologi berasal dari Poli Umum, Poli Spesialis, , maupun pasien dari dokter di luar RSU Panti Baktiningsih. E. BATASAN OPERASIONAL Batasan Operasional dari Pedoman Pelayanan Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih antara lain : 1. Pedoman di susun menurut undang – undang, peraturan, pedoman dan kebijakan yang berlaku 2. Isi pedoman disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan rumah sakit 3. Pedoman diberlakukan dilingkungan RSU Panti Baktiningsih 4. Semua petugas yang memberikan pelayanan radiologi secara langsung maupun tidak langsung harus berpedoman kepada buku pedoman ini 5. Dapat dilakukan perubahan pada buku pedoman apabila diperlukan dikemudian hari Batasan operasional dari Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih, adalah sebagai berikut : 1



Instalasi Radiologi Instalasi Radiologi adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan radiologi, baik dengan peralatan radiasi pengion maupun bukan radiasi pengion.



2



Radiologi Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan semua modalitas yang menggunakan radiasi untuk diagnosis dan prosedur terapi dengan menggunakan panduan Radiologi termasuk teknik pencitraan dan penggunaan radiasi dengan sinar-x



3



Radiografer Radiografer adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dengan diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab secara penuh untuk melakukan kegiatan radiologi diagnostic



4



Dokter Spesialis Radiologi Dokter Spesialis Radiologi adalah dokter dengan spesialisasi di bidang radiologi, yang menggunakan radiasi pengion dan non pengion untuk membuat diagnosis



4



5



Formulir Permintaan Rontgen Formulir Permintaan Rontgen adalah permintaan tertulis untuk dilakukan tindakan radiologi dari dokter, dokter spesialis, yang dilengkapi dengan keterangan klinis yang jelas.



6



Proteksi Radiasi Proteksi Radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi pengaruh radiasi yang merusak akibat paparan radiasi



7



Pesawat Sinar-x Pesawat Sinar-x adalah sumber radiasi yang di desain untuk tujuan diagnostik yang terdiri dari sistem sinar-x dan subsistem sinar-x atau komponen



8



Alat USG Alat USG atau Ultrasonografi adalah suatu alat yang menggunakan gelombang suara ( Ultra Sound ) dengan frekuensi tinggi yang dipancarkan melalui Transducer pada organ yang diperiksa.



F. LANDASAN HUKUM Landasan Hukum dari Pedoman Pelayanan Instalasi Radiologi Instalasi RSU Panti Baktiningsih ini antara lain : 1. Undang – Undang No.36 tahun 2014 tentang Kesehatan 2. Undang – Undang Republik Indonesia No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 3. Undang







Undang



Republik



Indonesia



No



10



Tahun



1997



Tentang



KETENAGANUKLIRAN 4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 375/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Radiografer 5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 780 / Menkes / Per / VIII / 2008 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Radiologi. 6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1014/Menkes/SK/XI/2008 Tentang Standar Pelayanan Radiologi Diagnostik Di Sarana Pelayanan Kesehatan 7. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatna Radiasi Pengion 8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 432/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit 9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No 9 Tahun 2011 Tentang Uji Kesesuaian Pesawat Radiologi Diagnostik Dan Intervensional 5



10. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No 8 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Radiasi Dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik Dan Intervensional 11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No 6 Tahun 2010 Tentang Pemantauan Kesehatan Untuk Pekerja Radiasi 12. Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 01-P /Ka-BAPETEN / I-03 Tentang Pedoman Dosis Radiodiagnostik



6



BAB II STANDAR KETENAGAAN



A. KUALIFIKASI SDM Seiring dengan semakin banyaknya jumlah pasien di RSU Panti Baktiningsih khususnya Instalasi Radiologi, maka jumlah ketenagaan karyawan radiologi harus disesuaikan dengan meningkatnya kebutuhan pasien akan pelayanan Radiologi. Hal ini berguna agar pelaksanaan pelayanan radiologi dapat terlaksana dengan cepat, tepat dan hasilnya sangat memuaskan. Kualifikasi tenaga yang harus tersedia untuk menjamin terlaksananya pelayanan di Instalasi Radiologi meliputi : 1. Tenaga Medis : Dokter Spesialis Radiologi yang diakui oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Kesehatan. 2. Tenaga Paramedis : Tenaga Para Medis non Keperawatan (Lulusan D3 Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Terapi). Pola ketenagaan di Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih adalah seperti yang terdapat pada Tabel di bawah ini : Tabel 2.1 Kualifikasi Sumber Daya Manusia Instalasi Radiologi No



1



KUALIFIKASI PENDIDIKAN



JABATAN



FORMAL



NON FORMAL Kepala Instalasi  Pendidikan minimal S1STR, SIP, BLS Kedokteran + spesialis + Radiologi konsulen  Memiliki Surat Tanda Register (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP)  Dapat bekerja dalam tim



 Sehat



jasmani



JUMLAH 1 orang



TUFOKSI Mengelola pelaksanaan kegiatan pelayanan,



fasilitas



dan kebutuhan pada Instalasi Radiologi & Diagnostik Imajing



dan



rohani



2



Pj. Instalasi Radiologi



 Pendidikan minimal STR, SIKR, BLS 1 orang DIII ATRO  Memiliki STR  Pengalaman minimal 3 tahun  Dapat bekerja dalam tim



Melaksanakan, mengatur dan memantau kegiatan pelayanan, penyediaan fasilitas, pendidikan, 7



 Sehat jasmani rohani



penelitian dan



dan



administrasi Radiologi &



3



Radiografer



 Pendidikan



minimalSTR, SIKR, BLS



2 orang



mengatur proses



DIII ATRO  Memiliki STR



pelayanan



 Dapat bekerja dalam



pemeriksaan di Instalasi Radiologi



tim  Sehat



jasmani



dan Diagnostik



dan



Imajing.



rohani 4



Diagnostik Imajing. Mengelola dan



Petugas Proteksi PPR Medik Tingkat II Radiasi (PPR)  Memiliki SIB Medik  Sehat jasmani rohani



STR, SIB PPR medik 2



dan



1 orang



Membuat dan memutakhirkan program proteksi dan keselamatan radiasi serta memantau aspek oprasional program proteksi dan keselamatan radiasi.



8



B. DISTRIBUSI KETENAGAAN Distribusi ketenagaan di Instalasi Radiologi diatur sebagai berikut : JADWAL DINAS JENIS TENAGA Selasa, Jumat Dokter Sp. RAD Pk:



06.00—8.00



JML 1



WIB Pagi : Radiografer 06.30- 13.30 WIB Siang : 13.30 – 20.30 WIB



KETERANGAN Melakukan pemeriksaan USG dan memberikan



ekspertise



pada



pemeriksaan USG dan rontgen Melakukan pemeriksaan radiologi/ 2



rontgen.



C. PENGATURAN DINAS Pengaturan jaga atau jadwal dinas di Instalasi Radiologi Rumah Sakit RSU Panti Baktiningsih terdiri dari : NO 1 2 3



JADWAL DINAS PAGI SIANG MALAM & HARI LIBUR



WAKTU Pk: 06.00 – 13.30 WIB Pk: 13.30 – 20.30 WIB CITO ON CALL



BAB III STANDAR FASILITAS A. DENAH RUANG



9



10



B. FASILITAS 1. Sarana Fisik Standar fasilitas berdasarkan Rumah Sakit Type D NO



JENIS FASILITAS



1



Mobile x-ray unit 100 mA



2



Bucky stand Peralatan proteksi



JUMLAH STANDAR REALISASI Tidak (Ada pesawat xAda ray stasioner) Ada Ada



Lead apron, tebal 0.25,0.5mm pb Sarung tangan 0.25-0,5 mm pb 3



Kaca mata pb 1 mm pb



Ada



Pelindung tyroid pb 1 mmpb



Tidak (Ada hanya lead apron, 0.5 mmpb)



Pelindung gonad pb 0.25-0.5 mmpb Tabir mobile minimal 200 x100 cm Perlengkapan proteksi radiasi 4



5 6



Survei meter Digital pocket dosimeter Film badge/ TLD Film viewer Casset x-ray Film x-ray



Ada



Tidak (Adanya film badge)



Ada Ada



Ada Ada



Ada



Ada



18 x 24 cm 7



24 x 30 cm 30 x 40 cm 35 x 35 cm



Tidak ( Adanya manual



8



x-ray automatic processing film



Ada



9 10



Film marker Film dryer X ray protection screen with lead glass



Ada Ada



processing film) Ada Ada



Ada



Ada



11



(untuk operator)



Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih dilengkapi dengan fasilitas sarana dan prasarana untuk terselenggaranya pelayanan radiologi yang aman, efektif, efisien sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta dimungkinkannya petugas radiologi bekerja dengan nyaman dan aman. Letak Instalasi Radiologi memenuhi persyaratan seperti :



11



1. Instalasi Radiologi mudah dicapai dari semua ruang perawatan, sehingga pelayanan Radiologi dapat diselenggarakan dengan baik untuk semua pasien 2. Instalasi Radiologi mendapat penerangan yang cukup 3. Semua kabel dan pipa berada dalam keadaan terbungkus atau tertanam dalam lantai atau dinding 4. Instalasi Radiologi mempunyai ventilasi udara yang cukup untuk pertukaran udara yang masuk dan keluar 5. Instalasi Radiologi dilengkapi dengan AC, aliran listrik dan air yang tersedia dengan baik, kecuali pada kamar gelap belum tersedia AC dan tidak ada Wastafel. Ruangan yang ada di Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih antara lain : 1. Satu ruangan radiografi dengan stasionary x-ray dan panel kontrol Ruangan ini berfungsi untuk melakukan tindakan radiologi rutin dan kontras media. 2. Satu ruangan USG yang jadi satu dengan ruang konsultasi dokter/ ekpertise hasil radiologi 3. Satu ruangan pendaftaran pasien Ruangan ini berfungsi sebagai tempat pendaftaran dan penyerahan hasil rontgen kepada pasien 4. Satu ruang tunggu pasien Ruangan ini berfungsi sebagai ruang tunggu pasien yang belum dan sudah dilakukan pemeriksaan radiologi Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih dilengkapi dengan ruangan radiodiagnostik yang terproteksi, antara lain : 1. Dinding ruangan yang dilapisi dengan timah hitam yang setara dengan 2 mmPb 2. Pintu kayu ( pintu utama & ruang operator) dilapisi dengan timah hitam setara dengan 2 mmPb 3. Mempunyai lampu merah (lampu peringatan yang menandakan pemeriksaan dengan radiasi sedang berlangsung) diatas pintu masuk ruang pemeriksaan 4. Pintu ruang pemeriksaan dilengkapi dengan atribut atau poster tanda bahaya radiasi 2. Alat Proteksi Radiasi Instalasi Radiologi RSU Panti Baktinigsih dilengkapi dengan alat proteksi radiasi untuk menjamin berjalannya program proteksi radiasi terhadap petugas radiasi,



12



pasien, dan keluarga pasien serta staf rumah sakit yang lain. Alat proteksi itu antara lain : 1. Film Badge ( personal monitoring ) 2. Apron 3. Kaca Pb 4. Lampu merah tanda bahaya radiasi C. PERALATAN 1. X-RAY UNIT Toshiba DR-1824 2. USG Mindray



BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN



A. PENDAFTARAN PASIEN 13



Untuk menjaga kelancaran proses pelayanan kesehatan, khususnya di Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih, diperlukan suatu alur pendaftaran yang meliputi pasien rawat jalan, rawat inap, IGD agar pelayanan di Instalasi Radiologi dapat berjalan dengan lancar. 1. Tatalaksana Pendaftaran Pasien Rawat Jalan Pasien Unit Rawat Jalan adalah pasien yang berasal dari poliklinik atau rujukan dari luar RSU Panti Baktiningsih, adapun alurnya adalah sebagai berikut : 1) Pasien datang menyerahkan surat permintaan pemeriksaan radiologi dari dokter pengirim 2) Untuk pemeriksaan radiologi tanpa persiapan khusus, petugas administrasi radiologi akan mengarahkan pasien ke kasir untuk pembayaran administrasi 3) Bila pemeriksaan yang diminta adalah pemeriksaan khusus yang memerlukan persiapan puasa, maka pasien di beri penjelasan tentang persiapan pemeriksaan oleh Radiografer/ Perawat Poli rawat jalan, kemudian di daftar / di catat untuk dijadwalkan kapan bisa dilakukan pemeriksaannya. 4) Dari kasir dengan membawa bukti pembayaran pasien kembali ke radiologi, 5) Petugas Instalasi Radiologi mengarahkan pasien untuk menunggu di ruang tunggu pasien untuk menunggu giliran diperiksan. 2. Tatalaksana Pendaftaran Pasien Unit Rawat Inap Pasien Unit Rawat Inap adalah pasien yang berasal dari ruang perawatan RSU Panti Baktiningsih, adapun alurnya adalah sebagai berikut : 1) Pasien rawat inap yang akan dilakukan pemeriksaan radiologi didaftarkan oleh perawat ruangan ke Instalasi Radiologi, pendaftaran dapat melalui telepon atau datang langsung ke Instalasi Radiologi 2) Untuk pemeriksaan radiologi tanpa persiapan khusus, pasien diantar ke Instalasi radiologi oleh perawat dengan membawa surat permintaan pemeriksaan dari dokter di ruang perawatan 3) Petugas Administrasi Instalasi Radiologi mencatat pendaftaran pasien . 4) Petugas Radiologi Radiologi mengarahkan perawat Unit Rawat Inap untuk membawa pasien menunggu di ruang tunggu pasien untuk menunggu giliran diperiksa. Untuk pasien Unit Rawat Inap dengan pemeriksaan khusus alurnya adalah sebagai berikut : a. Pasien didaftarkan oleh perawat ke Instalasi Radiologi bisa melalui telepon atau datang langsung b. Petugas Radiologi akan menjadwalkan pemeriksaan khusus tersebut c. Petugas Radiologi memberikan penjelasan tentang persiapan-persiapan pemeriksaan khusus kepada perawat. d. Perawat Unit Rawat Inap akan mempersiapkan pasien tersebut sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan e. Pada waktu yang telah ditentukan pasien diantar oleh perawat dengan membawa surat permintaan pemeriksaan khusus ke Instalasi Radiologi (Pasien telah dipersiapkan) 14



f. Petugas Administrasi Instalasi Radiologi mencatat pendaftaran pasien. g. Petugas Instalasi Radiologi mengarahkan perawat Rawat Inap untuk membawa pasien menunggu di ruang tunggu untuk menunggu giliran pemeriksaan. 3. Tatalaksana Pendaftaran Pasien Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) Pasien IGD adalah pasien yang berasal dari Instalasi Gawat Darurat, adapun alurnya adalah sebagai berikut : 1) Pasien diantar oleh perawat IGD ke Radiologi dengan membawa surat permintaan rontgen 2) Pasien membawa surat permintaan rontgen dari IGD dan diserahkan serta di daftar pada Administrasi Radiologi 3) Petugas Administrasi Instalasi Radiologi mencatat pendaftaran pasien. 4) Petugas Instalasi Radiologi mengarahkan pasien untuk menunggu di ruang tunggu pasien untuk menunggu giliran diperiksa B. PERSIAPAN PEMERIKSAAN RADIOLOGI 1. Tatalaksana Persiapan Pemeriksaan Radiologi Umum a) Persiapan Pemeriksaan Radiologi Non Media Kontras Untuk persiapan pemeriksaan radiologi konvensional non kontras tidak ada persiapan khusus, hanya saja benda – benda yang akan menyebabkan gambaran radio opaque harus di lepaskan dari objek yang akan diperiksa. b) Persiapan Pemeriksaan USG Untuk persiapan pemeriksaan USG tidak ada persiapan khusus, hanya saja benda – benda yang akan menyebabkan gangguan pada gambaran harus di lepaskan dari objek yang akan diperiksa 2. Tatalaksana Persiapan Pemeriksaan Radiologi Khusus a) Persiapan Pemeriksaan Radiologi dengan Media Kontras 1) Appendicografi Untuk pemeriksaan Appendicografi, 12 jam sebelum pemeriksaan pasien minum Media Kontras yaitu Barium Sulfate yang dilarutkan dengan air putih satu gelas. 2) Cystografi Untuk pemeriksaan cystografi, sebelumnya pasien sudah terpasang chateter terlebih dahulu.



C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI Semua pemeriksaan radiologi dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi pasien melalui formulir pemeriksaan nama, tanggal lahir/ umur, alamat dan gelang identitas pada pasien Unit Rawat Inap. 1. Tatalaksana Pemeriksaan Radiologi pada Keadaan Gawat Darurat A. Trauma Cervico Thoraco Lumbal 1) Tujuan 15



Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma serviko-torako-lumbal adalah sebagai berikut: a. Memperlihatkan fraktur, fragmen fraktur, dan memperlihatkan komplikasi yang ditimbulkan oleh trauma di daerah tersebut. b. Memperihatkan adanya korpus alienum, seperti proyektil pada luka tembak. 2) Teknik Pemeriksaan Teknik-teknik pemeriksaan radiologi standar yang dilakukan terhadap pasien trauma serviko-torako-lumbal, adalah sebagai berikut: Foto polos Dalam prakteknya, foto polos cukup dibuat 2 posisi saja (AP dan lateral) B. Trauma Kepala 1) Tujuan Tujuan pemeriksaan radiologi standar terhadap trauma kepala adalah untuk menemukan fraktur, serta komplikasi lain akibat trauma. 2) Teknik Pemeriksaan Foto polos kepala dibuat AP dan lateral saja. Sebaiknya pada foto lateral digunakan sinar horisontal sehingga daerah servikal masuk lapangan radiografi. Dilarang memanipulasi gerak pasien, terutama bila diduga adanya fraktur servikal. C. Trauma Dada 1) Tujuan Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma dada adalah berikut: a. Mencari adanya fraktur tulang-tulang dinding dada b. Mencari adanya benda asing (luka tembak) c. Mencari adanya kelainan pada mediastinum d. Mencari adanya hematotoraks, pneumotoraks dan efusi pleura.



sebagai



2) Teknik Pemeriksaan Pada trauma dada, pemeriksaan radiologi standar dilakukan dengan foto polos thoraks AP /PA sebagai data standar untuk mencari , pneumotoraks, hematotoraks, benda asing, dan melihat kelainan diafragma/sinus bisa ditambah posisi thorak lateral.



D. Trauma pada Traktus Urinarius 1) Tujuan Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma traktus urinarius adalah untuk melihat kemungkinan adanya kontusio, laserasi atau ruptur ginjal, dan buli-buli. 2) Teknik Pemeriksaan 16



Teknis pemeriksaan radiologi dasar pada trauma traktus urinarius dilakukan dengan foto polos abdomen untuk melihat adanya fraktur pada tulangtulang, melihat perubahan udara usus dan garis psoas, serta peritoneal fat line. E. Akut Abdomen 1) Tujuan Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada akut abdomen sebagai berikut: a. Memperlihatkan perforasi usus b. Mencari adanya tanda sumbatan traktus gastrointestinal (ileus obstruksi) atau ileus paralitik. c. Menilai adanya distensi usus besar dan usus kecil. d. Mencari adanya udara bebas, asites, kalsifikasi intra dan ektra peritoneal serta dinding abdomen. 2) Teknik Pemeriksaan a. Foto Abdomen 3 posisi: 1 Terlentang 2 Setengah duduk 3 Lateral Dekubitus. b. Pemeriksaan Abdomen 2 posisi pada penderita yang payah: 1. Posisi AP terlentang 2. Lateral Dekubitus F. Deteksi Benda Asing Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan tujuan untuk menemukan benda asing radio opak dan non radiopaque atau menemukan akibat dari benda asing tersebut. Benda-benda asing yang dimaksud adalah: 1 Benda asing radiopaque, misalnya uang logam. Apabila benda asing tersebut adalah logam, maka dapat dilakukan pemeriksaan foto thoraks dan abdomen . 2 Benda non radio opak, misalnya kacang. Untuk kasus seperti ini, pemeriksaan dilakukan dengan membuat foto thoraks dalam kondisi inspirasi dan ekspirasi, untuk menemukan adanya atelektasis atau fokal emfisema distal dari daerah sumbatan. 3 Duri ikan atau jarum yang tertelan. Untuk kasus seperti ini, pemeriksaan dilakukan dengan membuat foto daerah servikal kondisi jaringan lunak untuk menemukan benda asing tersebut. 2. Tatalaksana Pemeriksaan Radiologi Tanpa Kontras A. FOTO THORAX Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperlihatkan struktur morfologi organ-organ dalam rongga toraks seperti jantung dan pembuluh darah besar, paruparu, rongga pleura, serta struktur organ lain dalam rongga mediastinum dan paru. Foto thorax dibuat dalam posisi PA/ AP 17



B. TRACTUS RESPIRATORIUS UNIT ATAS Yang paling sering diperlukan adalah pemeriksaan sinus paranasal. Tujuan pemeriksaan ini adalah memperlihatkan struktur sinus paranasal, septum nasi, Concha nasalis dan adenoid. Untuk jenis pemeriksaan ini dibutuhkan foto Waters, PA dan foto lateral. Kalau perlu dibuat foto kepala AP. C. PEMERIKSAAN TULANG KEPALA Pemeriksaan foto kepala bertujuan untuk memperlihatkan adanya fraktur; peningkatan tekanan intrakranial dengan terbukanya sutura dan fontanel serta sella tursika yang melebar. Pemeriksaan foto kepala juga memperlihatkan struktur tulang-tulang kepala, misalnya lesi-lesi osteolitik, osteoblastik, pelebaran diploe, serta ada atau tidaknya kalsifikasi patologis. Cara pemeriksaan a. Foto Cranium Proyeksi LATERAL 1)   



2)



Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi lateral dari tulang-tulang cranium dengan memperlihatkan detail dari tulang yang dekat dengan film, sella turcica, processus clinoideus anterior, dorsum sellae, dan processus clinoideus posterior



3) Prosedur : a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Pasien dibaringkan dalam posisi semiprone dan mintalah pasien menyangga tubuh dengan lengan bawah. b. Flexikan lutut yang berada di sisi badan yang miring. c. Atur posisi tubuh sehingga sella turcica tepat digaris tengah meja. d. Atur kemiringan tubuh sedemikian sehingga bidang median kepala horizontal. e. Letakkan bantal di bawah pergelangan kaki dan di bawah lutut yang flexi. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Mintalah pasien untuk melemaskan otot-otot leher. b. Posisikan sella turcica tepat digaris tengah meja. c. Posisikan kepala sehingga bidang median horizontal. d. Aturlah posisi dagu sehingga garis dasar kepala (OMBL) sejajar dan garis tranversal meja. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: Arahkan titik pusat sinar tegak lurus titik tengah film



18



b. Foto Cranium Proyeksi LATERAL 1) Pengertian: Foto cranium lateral untuk pasien yang berada di atas usungan pada kasus gawat darurat. 2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi lateral dari tulang-tulang cranium dengan memperlihatkan detail dari tulang yang dekat dengan film, sella turcica, processus clinoideus anterior, dorsum sellae, dan processus clinoideus posterior 3) Prosedur: a) posisi pasien: Dengan pasien pada posisi supine, aturlah posisi bahu sehingga sama tinggi. b) Mengatur posisi obyek: a. Ganjallah kepala dengan bantal kecil sehingga kepada dapat posisikan di tengah kaset, kaset diletakkan vertical. b. Aturlah posisi kepala sedemikian sehingga bidang median vertical. c) Mengatur arah sinar X : Arahkan titik pusat sinar tegak lurus bidang film melalui sella turcica c.



 1)      2)     3)  a) 



Aturlah posisi pasien dalam posisi semiprone atau duduk ½ miring sehingga kepala dengan mudah dapat diatur dalam posisi lateral b) Mengatur posisi objek sebagai berikut : a. Posisikan titik pusat kaset tepat pada canthus yang dekat dengan film b. Letakkan kepala bertumpu pada eminentia parietalis dalam posisi true lateral. c. Immobilisasi kepala dengan head clamp atau band. d. Tahan napas saat exposure. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: Arahkan titik pusat sinar X tegak lurus di titik pusta film, sinar masuk kepala melalui canthus yang jauh dari film (dekat dengan tube)



19



d.



 1)      2)                            3)  a) 



a. Posisikan pasien dalam posisi postero-anterior, lebih disukai posisi duduk b. Posisikan bidang tengah tubuh melalui garis tengah kaset atau meja. c. Letakkan lengan bawah pada posisi yang enak d. Aturlah bahu supaya sama tinggi. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: Extensikan dagu sampai pada posisi yang benar (hingga antara OM line dengan bidang film membentuk sudut 37 derajat atau jarak ujung hidung dan bidang film 0.5-1.5 cm tergantung dari muka cekung atau cembung) Letakkan kepala pada kaset/kaset stand bertumpu pada dagu dan bidang median vertical. Immobilisasi kepala dengan head clamp atau band. Tahan napas saat exposure. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: Arahkan titik pusat sinar X tegak lurus pada titik pusat film, sinar masuk melalui puncak kepala dan keluar melalui anterior nasal spine. e.



 1)                      2)    3) 



a. Mengatur posisi pasien sebagai berikut : a) Baringkan pasien dalam posisi supine b) Posisikan bidang median tubuh melalui garis tengah meja. c) Letakkan lengan lurus disamping tubuh d) Aturlah bahu supaya sama tinggi. b. Mengatur posisi objek sebagai berikut : a) Jika menggunakan cara non Bucky, letakkanlah kaset di bawah kepala sedemikian sehingga titik pusat kaset berada 2 Inchi diatas protuberantia occipitalis externa. 20



b) Aturlah supaya bidang median kepala tegak lurus kaset atau bidang meja melalui garis tengah kaset atau meja. c) Aturlah flexi dagu sehingga OM line vertical. d) Immobilisasi kepala dengan meletakkan bantal pasir di atas puncak kepala. e) Jika menggunakan Potter-Bucky aturlah supaya titik pusat kaset tepat dengan titik pusat sinar X ; kira-kira 3 inchi diatas protuberantia occipitalis externa. c. Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut : Arahkan titik pusat sinar X ke suatu titik 2 inchi diatas protuberantia occipitalis externa dengan sudut 30 derajat ke arah kepala, sinar itu masuk melalui muka kira-kira sedikit dibawah bibir. f.



 1)    2)   3)  a) 



a. b. c. d.



Baringkan pasien dalam posisi semiprone Aturlah kemiringan tubuh sehingga bidang median kepala horizontal Letakkan lengan pada posisi yang enak Aturlah bahu supaya sama tinggi.



b) Mengatur posisi objek sebagai berikut : a. Aturlah posisi kepala sehingga bidang median kepala sejajar dengan bidang meja dan garis antar pupil tegak lurus terhadap bidang meja. b. Aturlah flexi dagu sehingga OM line sejajar dengan sumbu melintang kaset. c. Ganjalah dagu dengan bantal pasir supaya tidak goyang d. Tahan napas saat exposure c)



g.



Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut : Arahkan titik pusat sinar X ke punggung hidung pada titik ¾ inchi di distal nasion.



 1)                       2)                   



21



3) 



a)



Mengatur posisi pasien sebagai berikut : Posisi pasien supine b) Mengatur posisi objek sebagai berikut : a. Ganjallah punggung dengan bantal padat atau bantal pasir b. Flexikan lutut sehingga dagu dapat extensi maximal c. Letakkan lengan pada posisi yang enak d. Aturlah posisi bahu sehingga sama tinggi e. Extensikan dagu semaximal mungkin dan letakkan kepala pada vertex dan bidang median kepala vertical. f. Immobilisasi kepala dengan head clamp atau bantal pasir yang diletakkan di sisi kepala (regio parientalis) c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut : Arahkan titik pusat sinar X tegak lurus bidang film di perpotongan bidang median dan bidang coronal yang melalui M 2. h.



 1)    2)                  3) 



a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien semiprone, lateral berbaring atau duduk. b. Extensikan pipi pada sisi yang diperiksa di atas balok bersudut 15 derajat dan atur posisi tubuh pada posisi yang enak. c. Rendahkan bahu pada sisi yang terangkat serendah mungkin supaya bahu atau baju tidak terproyeksi pada film. d. Setelah meletakkan kaset di bawah pipi, plesterlah kaset dan lekatkan plester di pinggir balok untuk mencegah tergelincirnya kaset sewaktu mengatur posisi kepala. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Letakkan kaset memanjang dan titik pusatnya ½ inchi anterior dan 1 inchi inferior dari meatus acusticus externus. b. Aturlah posisi kepala sehingga permukaan terlebar dari ramus mandibula sejajar dengan sumbu film. c. Extensikan dagu secukupnya sehingga garis acanthiomeatal sejajar dengan sumbu melintang film. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut:  



22



D.



PEMERIKSAAN TULANG BELAKANG a.



 1)                                       2)                                                                                    3)  a)  a.                                  b.   b)  a.                   b.                      c.   d.                                                                       e.  f.    c)                       



b.



 1)                 



23



2)                    3)  a)  a.                                     b)  a.  b.                     c.                                 d.    e.                   f.                                g.   h.  c)  a.  b.   c.



 1)                      2)                                                              3)  a)  a.  b.   b) 



24



a.   b.                   c.    d.                                                                        e.                   f.                 c)  a.  b.  



d. Foto Vertebrae Thoracal Proyeksi Antero-Posterior 1)                  2)    3)  a)  a.  b.                  c.  d.                     e.    f.                 g.  



25



h.  



i. Letakkan sebuah bantal pasir panjang yang lain di bawah pergelangan kaki, putarlah kaki (ke dalam) sedikit dan immobilisasi dengan bantalbantal pasir. j. Jika pemeriksaan dilakukan dengan posisi tegak, mintalah pasien berdiri sehingga berat badannya terbagi rata pada kaki untuk mencegah rotasi vertebrae. k. Jika extremitas bawah pasien tak sama panjang, letakkanlah pengganjal yang tingginya sesuai di bawah kaki yang pendek. l. Pasien diperkenankan bernapas biasa selama exposure kecuali jika pernapasannya terlalu cepat. Pada kasus ini, napas ditahan pada akhir expirasi supaya mendapat densitas yang lebih homogen. m. Jika dilakukan kompressi, sabuk penekan sebaiknya dipasang di setinggi diaphragma. n. Posisikan titik tengah film pada vertebra thoracal 6. Lokalisasi di anterior terletak 3-4 inchi distal dari incisura jugularis sterni tergantung dari tinggi pasien. b) 



a. Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah film. b. Untuk mendapatkan densitas vertebrae thoracal yang homogen dilakukan dengan cara mengatur posisi tabung sehingga sumbu panjangnya tepat pada bidang tengah tubuh dimana anode ke arah kepala dan katode ke arah caudal. Dengan tabung pada posisi ini, konsentrasi sinar yang terbesar akan diproyeksikan ke arah vertebrae thoracal di daerah diaphragma (Mr. Fuchs) e. Foto Vertebrae Thoracal Proyeksi Lateral 1)    2)                                                    3)  a) 



a. Posisi pasien lateral berbaring atau tegak. Jika mungkin, pakailah posisi lateral ki, untuk memperkecil proyeksi jantung. b. Pasien sebaiknya memakai pakaian yang terbuka di Unit belakang sehingga vertebrae dapat dilihat untuk pengaturan posisi. b) 



a. Pada posisi berbaring: Letakkan bantal-bantal pasir atau bantal kecil yang padat di bawah kepala untuk mengangkat bidang tengahnya setinggi sumbu panjang vertebrae. b. Flexikan pinggul dan lutut pada posisi yang enak. 26



c. Posisikan bidang axillar tengah tubuh pada garis tengah meja. d. Tinggikan lutut setinggi pinggul, ganjallah dengan bantal-bantal pasir, dan taruhlah sebuah bantal pasir kecil di antara lutut. e. Letakkan bantal-bantal pasir di bawah dan di antara pergelangan kaki. f. Aturlah lengan atas tegak lurus pada sumbu panjang tubuh untuk menggeser iga-iga secukupnya untuk memperjelas foramina intervertebrale. g. Letakkan tangan di bawah kepala atau di atas sebuah bantal pasir di sebelah kepala. h. Mintalah pasien memegang sisi meja dengan tangan sebelah atas dan aturlah posisinya sehingga scapula berada dalam bidang tegak lurus yang sama. i. Letakkan sprei yang dilipat atau spons di bawah vertebrae thoracal bawah dan aturlah posisinya sehingga sumbu panjang vertebrae sejajar dengan permukaan meja. j. Aturlah tubuh pada posisi true lateral. k. Pakaialah sabuk penekan melintang daerah trochanter pada pelvis. Cara ini biasanya menjamin immobilisasi yang memadai, dan tidak mempengaruhi alignment vertebrae meskipun sabuk penekan diletakkan lebih tinggi. l. Napas ditahan pada akhir expirasi kecuali jika exposure dilakukan dalam keadaan bernapas pelan-pelan untuk mengaburkan vascular paru-paru. m. Pada posisi berdiri : Pasien berdiri tegak lurus, dan kemudian aturlah tingginya Potter-Bucky sehingga titik tengah kaset setinggi vertebrae thoracal 6. n. Posisikan bidang axillar tengah pada garis tengah cassette stand, dan dekatkan pasien ke casette stand dan biarkanlah pasien menyandarkan bahunya. Berat badan harus terbagi rata pada kaki. o. Jika extremitas tidak sama panjang, taruhlah ganjal dengan tinggi yang sesuai pada extemitas yang pendek. p. Aturlah tubuh sehingga sumbu panjang vertebrae sejajar dengan bidang film. q. Supaya iga-iga terangkat, angkatlah lengan atas sampai tegak lurus dengan sumbu panjang tubuh dan pertahankan pada posisi ini. Tiang untuk enema sangat berguna untuk membantu pekerjaan ini ; letakkanlah di depan pasien, mintalah pasien memegang tiang tadi pada tinggi yang sesuai. r. Penyanggaan extremitas atas biasanya cukup memberikan immobilisasi yang cukup. s. Napas ditahan pada akhir expirasi untuk mendapatkan densitas yang lebih homogen, jika exposure tidak dilaksanakan dengan cara bernapas pelan-pelan. c) 



a. Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah film. 27



b. Tabung di sudutkan sehingga sinar sentral tegak lurus dengan sumbu panjang vertebrae thoracalis dan kemudian arahkan pada vertebra thoracal 6. f. Foto Vertebrae Lumbales Proyeksi Antero-Posterior Posisi Supine 1)                  2)                                                     3)  a) 



a. Posisi pasien berbaring terlentang. b. Tinggikan kepala dengan bantal yang padat, jika perlu juga bahu, untuk mengurangi kelengkungan lumbal. b) 



a. Posisikan bidang tengah tubuh pada garis tengah meja b. Flexikan siku dan letakkan tangan pada dada atas agar tidak terjadi tumpang tindih lengan bawah dengan lapangan exposure. c. Aturlah bahu kanan kiri supaya sama tinggi. d. Untuk mengindari ketidakjelasan celah antar vertebrae, perlu mengurangi lengkungan lumbal. Hal ini dilakukan dengan memflexikan pinggul dan lutut sehingga permukaan punggung menempel pada meja. e. Aturlah paha pada posisi vertikal, lutut saling menempel dan immobilisasi kaki dengan bantal-bantal pasir. f. Jika lutut tidak dapat diflexikan, letakkan sebuah bantal pasir atau sprei yang dilipat di bawahnya untuk mengurangi ketegangan. g. Letakkan sebuah bantal pasir yang panjang di bawah pergelangan kaki, putarlah kaki (ke dalam) 15 derajat dan immobilisasi dengan bantal-bantal pasir. h. Aturlah tubuh dalam posisi true antero-posterior i. Ukurlah jarak dari trochanter mayor ke meja, atau dari spina iliaca anterior superior ke meja, jika kedua sisi tidak sama tinggi, tinggikan sisi yang rendah dengan sprei yang dilipat atau pengganjal lainnya. j. Kontras dan detail gambar dapat ditingkatkan dengan menggunakan kantong karet yang diisi udara di atas perut dengan sabuk penekan. k. Napas tidak perlu ditahan saat exposure jika pasien mengalami kesulitan bernapas. 28



l. Jika menggunakan film 10” x 12”, posisikan titik tengahnya pada vertebra L3 yang terletak setinggi pinggir iga di garis mid-axillar bawah. Jika menggunakan film 14” x 17”, posisikan titik tengahnya setinggi crista iliaca yang terletak sejajar dengan celah antar vertebra L4 dan L5. c) 



Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah film. g. Foto Vertebrae Lumbales Proyeksi Lateral 1)                     2) 



Melihat dan mengevaluasi proyeksi lateral dari corpus vertebrae lumbal dan celah antar vertebrae, foramina intervertebralis dan sacrum. 3)  a) 



a. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang terbuka di Unit belakang sehingga vertebrae dapat dilihat untuk pengaturan posisi. b. Posisi pasien berbaring lateral dengan kepala ditinggikan dengan bantal-bantal pasir atau bantal yang padat. c. Flexikan lutut dan pinggul pada posisi yang enak. d. Jika pasien kurus, letakkan handuk yang dilipat di bawah pinggul untuk mengurangi tekanan. b) 



a. Posisikan garis axillar tengah tubuh pada garis tengah meja. b. Untuk mencegah rotasi tubuh ke depan, tinggikan lutut sebelah bawah sampai setinggi pinggul dan ganjallah dengan bantal-bantal pasir. c. Letakkan extremitas satu di atas yang lain, letakkan sebuah bantal pasir kecil di antara lutut, dan bantal-bantal pasir yang lain di bawah dan antara pergelangan kaki. d. Aturlah posisi lengan atas yang ada di sebelah bawah tegak lurus dengan sumbu panjang tubuh. Flexikan siku dan letakkan pada posisi yang enak. e. Mintalah pasien memegang pinggiran meja dengan tangan yang lainnya, dan kemudian aturlah posisinya supaya scapula berada dalam bidang vertikal yang sama. f. Letakkan sebuah sprei yang dilipat atau spons di bawah thorax bawah dan aturlah ganjal sehingga sumbu panjang vertebrae sejajar dengan permukaan meja. g. Aturlah tingginya kepala sehingga bidang tengahnya berada satu bidang dengan bidang tengah tubuh. 29



h. Aturlah posisi tubuh dalam keadaan true lateral. i. Jika menggunakan sabuk penekan, pasanglah menyilang pinggul, hatihati jangan sampai merotasi tubuh. j. Jika pasien mengalami kesulitan bernapas, pada saat exposure tidak perlu menahan napas. c) 



a. Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah nampan Potter-Bucky dan di tengah daerah yang diperiksa. b. Jika vertebrae tidak di atur hingga horizontal, sinar sentral di arahkan tegak lurus pada sumbu panjang vertebrae lumbal. c. Besarnya angulasi sinar sentral tergantung dari besarnya pelvis, yaitu dari angulasi vertebrae. d. Jika menggunakan film 14” x 17”, posisikan titik tengahnya setinggi crista ilicia. Jika menggunakan film 10” x 12”, posisikan titik tengahnya pada vertebrae Lumbal 3 untuk exposure pertama, dan untuk exposure kedua geser film ke belakang kira-kira 3 inchi dan posisikan titik tengahnya setinggi spina ilicia anterior superior. Sinar sentral tidak di geser dari garis axillar tengah untuk exposure kedua. h. Foto Vertebrae Lumbo-Sacral Proyeksi Antero-Posterior Posisi Supine 1)    2)  3)                  4)  a) 



a.



Dr. Furguson menyarankan posisi berbaring untuk pemeriksaan ini karena pasien dengan lesi yang menyebabkan nyeri pada regio lumbosacral cenderung mengambil sikap protektif yang bisa mengurangi sudut jika dalam posisi berdiri.



b) 



a. Posisi berbaring terlentang, posisikan bidang tengah tubuh pada garis tengah meja. b. Tinggikan kepala di atas bantal yang padat, dan ganjallah lutut dengan bantal-bantal pasir untuk mengurangi ketegangan. c. Letakkan bantal pasir yang panjang di bawah pergelangan kaki, putar kaki sedikit (ke dalam), dan immobilisasi dengan sebuah bantal pasir menyilang pergelangan kaki. d. Letakkan lengan atas di sisi tubuh dan aturlah bahu sama tinggi. e. Aturlah tubuh dalam posisi true antero-posterior



30



f. Ukurlah jarak dari trochanter mayor atau spina iliaca anterior superior ke permukaan meja, dan jika perlu, letakkan ganjal yang tembus sinar di bawah satu pinggul untuk menjaga keseimbangan kedua sisi. g. Aturlah kepala sehingga bidang tengahnya satu bidang dengan bidang tengah tubuh. h. Karena sabuk kompresi menyebabkan pergeseran posisi yang sudah diatur dan pergeseran tulang-tulang, maka sabuk kompresi tidak digunakan pada pemeriksaan regio lumbo-sacral posisi anteroposterior. i. Jika pasien tidak mengalami kesulitan bernapas, napas ditahan pada saat exposure. Jika pasien mengalami kesulitan bernapas, tidak perlu menahan napas saat exposur. j. Dengan kaset di dalam nampan Potter-Bucky, posisikan titik tengahnya pada lumbosacral junction, atau sedemikian sehingga titik tengah film akan pertepatan dengan sinar sentral. k. Lumbosacral juction berada 1.5 inchi posterior dari bidang axillar tengah. c) 



a.



Jika celah sendi tidak menjadi sasaran penting, sinar sentral diarahkan tegak lurus regio lumbosacral. b. Penyudutan sinar sentral 15 derajat kearah kepala biasanya diperlukan pada pemeriksaan celah sendi; penyudutan ini tidak memuaskan untuk semua kasus karena kemiringan sendi lubosacral sangat bervariasi. c. Sudut harus diperkirakan dengan setepat mungkin, dan tabung dimiringkan sehingga sinar sentral sejajar dengan celah sendi. d. Cara satu-satunya untuk menentukan besar penyudutan yang diperlukan untuk setiap kasus adalah membuat foto lateral dengan pasien dalam posisi berbaring dan sinar sentral horizontal, dan ukurlah kemiringan sudut lumbosacral . i. Foto Vertebrae Lumbo-Sacral Proyeksi Lateral Posisi Berbaring 1)    2) 



Melihat dan mengevaluasi proyeksi lateral dari lumbosacral juction, dua atau tiga vertebrae lumbal bawah, separoh Unit atas sacrum. 3)  a) 



a. Dr. Ferguson menyarankan bahwa regio ini diperiksa pada posisi berbaring karena pasien-pasien yang mempunyai lesi yang menyakitkan pada sendi lumbosacral cenderung untuk mengambil sikap protektif yang mengurangi sudut jika mereka berdiri. 31



b) 



a. Dengan pasien pada posisi lateral berbaring, ganjallah kepala dengan bantal yang keras atau bantal pasir sehingga kepala sama tinggi dengan vertebrae. b. Aturlah tubuh sehingga bidang coronal yang berada 1.5. inchi di posterior garis axillar tengah tepat dengan garis tengah meja. c. Aturlah posisi lengan atas yang ada di bawah tegak lurus dengan tubuh dan letakkan tangan di bawah kepala. d. Mintalah pasien memegang pinggir meja dengan tangan yang lain supaya posisinya mantap. e. Extensikan pinggul dan lutut sehingga mereka segaris dengan bahu. f. Ganjallah lutut di sebelah bawah dengan bantal-bantal pasir sehingga sama tinggi dengan pinggul. g. Letakkan bantal-bantal pasir di bawah dan di antara pergelangan kaki dan antar lutut. h. Letakkan sprei yang dilipat atau spons di bawah thorax bawah dan aturlah posisi sehingga sumbu panjang vertebrae sejajar dengan permukaan meja. i. Aturlah posisi tubuh dalam posisi true lateral. j. Sabuk penekan dapat dipergunakan menyilang pinggul, tetapi harus hati-hati jangan sampai merotasi tubuh. k. Napas tidak perlu ditahan pada saat exposure jika pasien mengalami kesulitan bernapas. Jika tidak ada kesulitan bernapas tahan napas saat exposure. l. Dengan kaset di dalam nampan Potter-Bucky, posisikan titik tengahnya pada lumbosacral junction. m. Sendi ini terletak di pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan crista iliaca jika tungkai atas dalam keadaan extensi, setinggi spina iliaca anterior superior jika pinggul dalam keadaan flexi. c) 



Arahkan sinar sentral tegak lurus tiitk tengah film. j. Foto Sacrum Proyeksi Antero-Posterior Posisi Supine 1)                       2)                                   3)  a) 



32



a. Pasien sebaiknya mengosongkan buli-buli sebelum pemeriksaan ini, untuk mencegah radiasi sekunder dari cairan, dan juga untuk mengurangi bayangan buli-buli yang penuh. b. Posisi pasien berbaring terlentang dengan kepala di atas bantal. b) 



a. b. c. d. e.



f. g. h.



Posisikan bidang tengah tubuh pada garis tengah meja. Letakkan lengan atas pada posisi yang enak dan aturlah bahu kanan dan kiri sama tinggi. Ganjallah pergelangan kaki dan lutut dengan bantal-bantal pasir atau sprei yang dilipat untuk mencegah ketegangan. Aturlah tubuh pada posisi true antero-posterior. Aturlah jarak dari trochanter mayor atau spina iliaca anterior superior ke permukaan meja, dan jika perlu diletakkanlah ganjal yang tembus sinar di bawah pantat supaya sama tinggi kanan dan kiri. Sabuk kompressi dapat digunakan menyilang pelvis, tetapi harus hati-hati jangan sampai merotasi tubuh. Napas tidak perlu ditahan pada saat exposure jika tidak ada kesulitan pernapasan Dengan kaset di dalam nampan Potter-Bucky, aturlah titik tengah film supaya tepat dengan sinar sentral.



c) 



a.



b.



Arahkan sinar sentral pada bidang tengah pada titik tengah antara symphysis pubis dan bidang transversal yang melalui spina ilicia anterior superior dengan sudut 15 derajat ke arah kepala. Jika pasien mempunyai lordosis lumbalis yang menyolok, naikkan sudut sinar sentral 5-10 derajat.



k. Foto Sacrum Proyeksi Lateral Posisi Berbaring 1)    2)                3)  a) 



a.



Posisikan pasien berbaring lateral dengan kepala di atas bantal yang padat. Flexikan pinggul dan lutut pada posisi yang enak.



b) 



a. b.



Aturlah tubuh sehingga bidang coronal yang berada 3 inchi di posterior bidang axillar tengah tepat dengan garis tengah meja. Aturlah posisi lengan atas tegak lurus tubuh, dan mintalah pasien memegang pinggir meja dengan tangan yang berada di sisi atas untuk memantapkan posisi. 33



c. d. e.



f. g. h. i.



Tinggikan lutut di sisi bawah setinggi pinggul dan ganjallah dengan bantal-bantal pasir. Letakkan bantal-bantal pasir di bawah dan di antara pergelangan kaki, dan di antara lutut. Letakkan sprei yang dilipat atau spons di bawah thorax sebelah bawah dan aturlah posisinya sehingga sumbu panjang vertebrae horizontal. Aturlah tubuh dalam posisi true lateral. Jika digunakan sabuk penekan, perhatikan jangan sampai merotasi tubuh. Napas tak perlu ditahan pada saat exposure jika tidak terdapat kesulitan bernapas. Dengan kaset di dalam nampan Potter-Bucky, posisikan titik tengahnya setinggi spina iliaca anterior-superior.



c) 



Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah film. a. Foto Os Coccygeus Proyeksi Antero-Posterior Posisi Supine 1) Pengertian: Pemotretan os coccygeus dengan posisi pasien berbaring terlentang dan arah sinar-X pada titik tengah film dengan sudut 10 derajat ke arah kaki. 2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi antero-posterior dari os coccygeus yang bebas dari superimposisi 3) Prosedur: a) 



a.



b. b)



Pasien diminta mengosongkan buli-buli sebelum pemeriksaan ini, untuk menghindari radiasi sekunder dari cairan, dan juga untuk mengurangi bayangan buli-buli yang penuh. Posisi pasien berbaring terlentang. 



a. Posisikan bidang median tubuh pada garis tengah meja. b. Letakkan lengan atas di sisi tubuh dan aturlah bahu kanan dan kiri sama tinggi. c. Ganjallah lutut dan pergelangan kaki di atas bantal-bantal pasir untuk mengurangi ketegangan. d. Aturlah tubuh dalam posisi true antero-posterior e. Ukurlah jarak dari trochanter mayor atau spina iliaca anterior superior ke permukaan meja, dan jika perlu, letakkan pengganjal radiololucent dibawah pantat supaya sama tinggi. f. Sabuk penekan dapat digunakan menyilang pelvis. g. Napas tidak perlu ditahan pada saat exposure jika tidak ada kesukaran bernapas.



34



h. Dengan kaset di dalam nampan Potter-Bucky, posisikan titik tengahnya setinggi lekukan jaringan lunak sedikit di atas trochanter mayor. c)



  



E. PEMERIKSAAN TULANG-TULANG EXTREMTAS SUPERIOR a. Foto Manus Proyeksi Postero-Anterior 1)   



2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi postero-anterior tulang-tulang carpal, metacarpal, dan ruas jari-jari (kecuali ibu jari), persendian tangan dan ujung bawah radius dan ulna. Posisi ini memperlihatkan proyeksi oblique dari ibu jari. 3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut : a. Dengan meletakkan lengan bawah pada meja, mintalah pasien meletakkan tangannya di atas kaset film dengan telapak tangan menghadap ke bawah. b. Posisikan sendi metacarpophalangeal di tengah film, dan aturlah sedemikian sehingga sumbu panjang film sejajar dengan sumbu panjang lengan bawah. c. Jari tangan direnggangkan sekedarnya. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut : a. Arahkan titik pusat sinar X tegak lurus pada sendi metacarpophalangeal ke tiga. b. Foto Manus Poryeksi Oblique 1)



                                         



2)



Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi oblique tulang-tulang tangan. Posisi ini dipakai secara luas pada keadaan-keadaan patologis, atau sebagai proyeksi tambahan dalam mencari fracture.



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: 35



a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Dengan lengan bawah terletak di atas meja, mintalah pasien meletakkan tangannya di atas kaset film pada posisi lateral, sisi ulnar di bawah. Dari posisi lateral, putar tangan ke arah medial dengan jari-jari sedikit flexi sehingga ujung-ujung jari menyentuh kaset film. b. Posisikan titik tengah kaset film pada sendi metacarpophalangeal dan atur supaya garis tengah sejajar dengan sumbu panjang tangan dan lengan bawah. c. Atur kemiringan tangan sehingga sendi metacarpophalangeal membentuk sudut 45 derajat dengan bidang film. d. Jika tidak mungkin mendapat posisi yang benar, dengan semua ujung-ujung jari menyentuh kaset film, ganjal jari telunjuk dan ibu jari dengan kayu gabus, spons atau bahan-bahan radiolucent yang lain. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus sendi metacarpo-phalangeal III c. Foto Wrist Joint Proyeksi Postero-Anterior 1) Pengertian: Pemotretan pergelangan tangan dengan posisi telapak tangan di bawah, arah sinar tegak lurus dari posterior ke anterior. 2) Tujuan:             



3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Dengan lengan bawah terletak pada meja, letakan kaset film dengan titik tengahnya di bawah pergelangan tangan. b. Aturlah tangan dan lengan bawah sehingga mereka terletak sejajar dengan sumbu panjang film. c. Lengkungkan tangan sedikit pada sendi metacarpo-phalangeal supaya pergelangan tangan terletak dekat dengan film. d. Lakukan immobilisasi dengan bantal pasir melintang lengan bawah. 36



e. Jika perlu, letakkan satu bantal pasir di bawah jari-jari dan bantal pasir lainnya di atas jari-jari f. Lakukan immobilisasi dengan bantal pasir melintang lengan bawah. g. Jika perlu letakkan satu bantal pasir dibawah jari-jari dan bantal pasit lainnya di atas jari-jari. h. Jika sulit menentukan lokasi pergelangan tangan dengan tepat karena pasien gemuk atau ada pembengkakan, mintalah pasien melakukan flexi pergelangan tangan sedikit, dan kemudian arahkan sinar central pada titik flexi. i. Jika pergelangan tangan dalam gips atau pembalut, titik sasaran dapat ditentukan dengan perbandingan sisi yang lain. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah tulang-tulang pergelangan tangan. d. Foto Wrist Joint Proyeksi Antero-posterior 1) Pengertian: Pemotretan pergelangan tangan dengan posisi telapak tangan di atas dan arah sinar X tegak lurus dari anterior ke posterior. 2)



Tujuan:     



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Dengan lengan bawah terletak di atas meja pada posisi antero posterior, letakkan kaset film dengan titik tengahnya di bawah tulang-tulang pergelangan tangan. b. Ganjallah jari-jari dengan bantal pasir supaya pergelangan tangan dekat dengan film. c. Mintalah pasien memiringkan badannya ke lateral untuk mencegah rotasi pergelangan tangan. d. Letakkan satu bantal pasir di sebelah atas jari-jari dan satu bantal pasir lain di sebelah atas lengan bawah. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik sentral tegak lurus pada Unit tengah tulang-tulang pergelangan tangan.



37



e. Foto Wrist Joint Proyeksi Lateral 1) Pengertian: Pemotretan pergelangan tangan dengan posisi tangan lateral, sisi ulnar di bawah dan arah sinar X tegak lurus pergelangan tangan. 2)



Tujuan:                                                                    



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut : a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut : a. Dengan lengan bawah terletak di meja, letakkan pergelangan tangan di atas kaset dengan sisi ulnar di bawah. b. Posisikan titik tengah film di bawah tulang-tulang pergelangan tangan dan aturlah lengan bawah dan tangan sedemikian sehingga pergelangan tangan dalam posisi lateral yang benar. c. Lakukan immobilisasi dengan sebuah bantal pasir menyilang lengan bawah, dan jika perlu, letakkanlah sebuah bantal pasir di depan telapak tangan dan sebuah bantal pasir lain sebelah belakangnya. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik sentral tegak lurus pergelangan tangan.



f. Foto Antebrachii Proyeksi Antero-Posterior 1)



  



2)



                      



3)







a)



Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai.



b)



Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Lakukan supinasi tangan, extensikan siku, dan tempatkan titik tengah kaset film di bawah lengan bawah. b. Mintalah pasien untuk memiringkan badannya ke lateral sampai lengan bawah benar-benar dalam posisi antero-posterior. 38



c. Aturlah kaset film sehingga sumbu panjanganya sejajar dengan sumbu panjang lengan bawah. d. Tangan harus dalam keadaan supinasi. (Pronasi tangan akan menyebabkan radius menyilang ulna di 1/3 atas dan rotasi humerus ke medial, menghasilkan proyeksi oblique dari lengan bawah). e. Lakukan immobilisasi dengan bantal pasir di atas telapak tangan, jika perlu, letakkan bantal pasir lain pada lengan atas sedikit di atas siku. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik pusat sinar tegak lurus titik tengah film. g. Foto Antebrachii Proyeksi Lateral 1)                     



2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi tulang-tulang lengan bawah, sendi siku, dan barisan atas tulang-tulang pergelangan tangan yang terproyeksi lateral. 3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien duduk pada salah satu sisi meja atau ujung meja sedemikian sehingga posisinya santai. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Flexikan siku 90 derajat, letakkan tititk tengah film di bawah lengan bawah, sejajar dengan sumbu panjangnya. b. Aturlah extremintas supaya mencapai posisi lateral yang benar. Tangan harus tegak. c. Lakukan immobilisasi dengan meletakkan satu bantal pasir pada telapak tangan dan satu bantal pasir lain di punggung tangan. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus pada titik tengah film. h. Foto Cubiti Proyeksi Antero-Posterior 1)                  



2)



Tujuan:  



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut:



39



a.



Dudukkan pasien cukup rendah supaya sendi bahu dan sendi siku terletak dalam satu bidang yang sama. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Extensikan sendi siku, supinasikan tangan, dan letakkan titik tengah film di bawah sendi siku. b. Miringkan badan pasien ke lateral sampai permukaan anterior sendi siku sejajar dengan film. c. Aturlah kaset film supaya sejajar dengan sumbu panjang objek. d. Letakkan sebuah bantal pasir pada telapak tangan, dan kalau perlu, letakkan satu bantal pasir lain menyilang pertengahan lengan bawah. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik pusat sinar tegak lurus sendi siku.



i. Foto Cubiti Proyeksi Lateral 1)                        2)                  



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Dudukkan pasien cukup rendah supaya sendi bahu dan siku terletak dalam satu bidang yang sama. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Dengan siku dalam keadaan flexi 90 derajat dan sisi radial lengan bawah dan tangan menghadap ke atas, letakkan titik tengah kaset film di bawah sendi siku. b. Jika dikehendaki untuk memasukkan lengan atas dan lengan bawah lebih banyak, aturlah kaset film sedemikian sehingga sendi terletak di quadrant atas luar. c. Aturlah kaset film sehingga sumbu panjangnya sejajar dengan sumbu panjang lengan bawah. d. Lakukan immobilisasi dengan meletakkan sebuah bantal pasir di telapak tangan dan satu bantal pasir lain di punggung tangan. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik posat sinar tegak lurus pada sendi siku dimanapun lokasinya pada film.



j. Foto Humerus Distal Proyeksi Antero-Posterior Cubiti Dalam Flexi Maximal 1)



40



                                     



2)



Tujuan:   



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Dudukkan pasien di ujung meja. b. Rendahkan badan supaya humerus terletak horizontal pada kaset. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Posisikan epicondylus humeri di titik tengah film. b. Aturlah lengan atas, tabung roentgen dan film sedemikian sehingga tidak terjadi rotasi. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Titik pusat sinar diarahkan tegak lurus humerus atau radius dan ulna tergantung lokasi fracture.



k. Foto Humerus Proyeksi Antero-Posterior 1) Pengertian: Pemotretan os humerus dengan posisi pasien terlentang, posisi humerus antero-posterior dan arah sinar tegak lurus titik tengah film. 2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi os humerus dalam proyeksi antero-posterior. 3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Jika mungkin, proyeksi ini dibuat dengan pasien dalam posisi terlentang sehingga bisa diperoleh proyeksi antero-posterior humerus yang absolut. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Dengan pasien pada posisi terlentang, letakkan lengan atas pada titik tengah film sejajar dengan sumbu panjangnya. b. Ganjallah bahu yang lain dengan bantal pasir supaya humerus yang diperiksa lebih dekat ke film. c. Tangan dalam keadaan supinasi dan aturlah extremitas dalam posisi abtero-posterior yang benar. d. Letakkanlah bantal pasir di atas dan menyilang telapak tangan. e. Tahan napas pada saat exposure, untuk mencegah pergerakan ujung proximal humerus. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: 41



a.



Arahkan sinar sentral tegak lurus pada titik tengah film.



l. Foto Humerus Proyeksi Lateral 1)                      



2)



Tujuan: 



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Letakkan pasien dalam posisi terlentang dan ganjallah bahu yang lain supaya humerus yang diperiksa dekat dengan film. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Abduksikan lengan atas sedikit, flexikan siku, rotasikan tangan ke medial dan letakkan tangan pada tungkai atas. b. Aturlah kaset film sehingga garis tengahnya sejajar dengan sumbu panjang humerus. c. Aturlah extremitas sehingga humerus dalam posisi lateral yang benar ; hal ini dapat diketahui dari superimposisi epicondylus. d. Tahan napas pada saat exposure. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus pada titik tengah film.



F. PEMERIKSAAN EXTREMITAS INFERIOR m. Foto Pedis Proyeksi Antero-Posterior 1) Pengertian: Pemotretan pedis dengan posisi antero-posterior dan arah sinar tegak lurus basis os metatarsal III. 2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi antero-posterior tulang-tulang tarsal anterior sampai astragalus (talus), tulang-tulang metatarsal, dan jari-jari kaki. Proyeksi ini digunakan untuk lokalisasi benda asing, untuk menentukan posisi fragmen fracture metatarsal dan tarsal anterior, dan untuk melihat secara umum tulang-tulang kaki. 3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Pasien dalam posisi terlentang. b. Flexikan lutut pada sisi kaki yang akan diperiksa supaya telapak kaki rata dengan meja. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut:



42



a.



Letakkan kaset film di bawah telapak kaki, atur supaya titik tengahnya berada di bawah os metatarsal III, dan garis tengah kaset film sejajar dengan sumbu panjang kaki. b. Tungkai bawah dapat dipertahankan supaya tetap pada posisi tegak lurus dengan cara memflexikan tungkai yang lain dan menyandarkannya pada tungkai yang diperiksa. c. Pada posisi pedis antero-posterior dengan lutut flexi, kemungkinan kaset bisa tergelincir. Untuk mencegahnya dapat diletakkan satu lembaran karet di bawah kaset. Jika perlu, kaki dapat juga di letakkan di atas kaset di atas balok bersudut yang diganjal bantal pasir. Dalam hal ini, tabung roentgen perlu dimiringkan dan mengarahkan titik pusat sinar tegak lurus bidang film. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik pusat sinar tegak lurus basis os metatarsal III.



n.



Foto Pedis Proyeksi Lateral 1)



2)



   



Melihat dan mengevaluasi proyeksi true lateral dari tulang-tulang kaki dan pergelangan kaki. Karena superposisi yang luas dari tulang-tulang di depan tulang-tulang calcis (calcaneus) dan astragalus (talus), posisi ini sangat banyak dipakai untuk lokalisasi corpus alienum, dan menentukan fragmen fracture. 3)







a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien berbaring miring, pada sisi yang akan diperiksa, lutut flexi supaya lebih enak. b) Mengatur posisi objek sebagai berikut: a. Extensikan sedikit extremitas yang diperiksa. b. Letakkan sebuah bantal pasir di bawah lutut dan atur sehingga kaki (plantar pedis) tegak lurus pada bidang meja. c. Posisikan titik tengah kaset film di bawah tulang metatarsal V dan atur sehingga garis tengah kaset film sejajar dengan sumbu panjang kaki. d. Lakukan immobilisasi dengan bantal pasir menyilang tungkai bawah. e. Untuk melokalisasi corpus alienum, posisi di lakukan sebaliknya, jika lukanya di sisi medial kaki, pasien berbaring pada sisi yang sehat sehingga sisi medial kaki dapat diletakkan pada film. c) Mengatur titik pusat sinar X sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus ke titik tengah film. o.



Foto Calcaneus (calcis) Proyeksi Lateral 1) Pengertian: 43



Pemotretan os calcaneus dengan posisi lateral dan arah sinar X tegak lurus titik tengah film. 2) Tujuan:                             



3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien berbaring miring pada sisi yang diperiksa, dengan lutut flexi. b) Mengatur posisi obyek sebagai berikut: a. Extensikan sedikit tungkai bawah yang diperiksa. b. Tinggikan lutut di atas bantal pasir dan atur sehingga tumit pada posisi true lateral. c. Letakkan kaset film di bawah tumit dan posisikan titik tengahnya di titik tengah tulang calcaneus (calcis), kira-kira 1 s/d 1.5 inchi di bawah malleolus medialis. d. Aturlah kaset film sehingga sumbu panjangnya sejajar dengan permukaan plantar tumit. e. Immobilisasi dengan meletakkan bantal pasir menyilang (di cranial) pergelangan kaki. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik pusat sinar tegak lurus titik tengah film. p.



Foto Ankle Proyeksi Antero-Posterior 1)      2)                                      3)  a) 



a. Posisi pasien trelentang dan letakkan bantal pasir kecil di bawah lutut untuk mengurangi ketegangan. b) 



a. Posisikan titik tengah kaset film pada sendi pergelangan kaki dan atur sehingga garis tengahnya sejajar dengan sumbu panjang tungkai. b. Putar kaki sedikit ke medial (jangan lebih dari 5 derajat), flexikan pergelangan kaki dan letakkan bantal-bantal pasir di depan telapak kaki untuk immobilisasi. c. Letakkan bantal pasir lain menyilang pertengahan tungkai bawah. 44



d. Jika dikehendaki tungkai bawah tercakup lebih banyak, gunakan film yang lebih panjang dan posisikan tumit di pinggir bawah kaset film, tetapi jika sendi yang bermasalah, selalu arahkan sinar sentral ke sendi. 



c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus sendi pergelangan kaki. q.







1) Pengertian: Pemotretan pergelangan kaki dengan posisi lateral dan arah sinar X tegak lurus sendi pergelangan kaki. 2) Tujuan: Melihat dan mengevaluasi proyeksi true lateral dari 1/3 distal tibia dan fibula, sendi pergelangan kaki dan tulang-tulang tarsal. 3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien terbaring miring pada sisi yang akan diperiksa, dan flexikan lutut yang lain sampai pada posisi yang enak. b) Mengatur posisi obyek sebagai berikut: a. Tungkai yang diperiksa sedikit diextensikan, atur posisi tungkai bawah sehingga tungkai bawah dan kaki dalam posisi true lateral. Jika perlu ganjallah lutut dengan bantal pasir. b. Posisikan garis tengah kaset film pada sendi pergelangan kaki dan atur sehingga sejajar dengan sumbu panjang tungkai bawah. c. Immobilisasi dengan sebuah bantal pasir menyilang tungkai bawah. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan titik pusat sinar tegak lurus sendi pergelangan kaki. b. Arahkan titik pusat sinar pada sendi pergelangan kaki. r.



Foto Cruris Proyeksi Antero-Posterior 1)                     



2) Tujuan:  



3) Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien terbaring terlentang dan aturlah tubuh sehingga tidak ada rotasi pelvis b) Mengatur posisi obyek sebagai berikut:



45



a. Letakkan kaset film di bawah tungkai bawah, sejajar dengan sumbu panjangnya dan posisikan titik tengahnya pada pertengahan tungkai bawah, biasanya film akan mencakup melebihi sendi lutut dan pergelangan kaki sehingga tidak terjadi proyeksi diluar film karena divergensi sinar X, kecuali kalau tungkai bawah terlalu panjang. Film harus lebih panjang 1-1.5 inchi dari ujung-ujung sendi, tergantung dari focal film distance. b. Jika tungkai bawah terlalu panjang melebihi batas-batas film, dan lokalisasi lesi tidak diketahui maka diperlukan 2 (dua) film untuk pemeriksaan ini. c. Letakkanlah film yang lebih panjang lebih ke atas sehingga mencakup sendi lutut, dan film yang lebih kecil untuk ujung distal tungkai bawah. Jika lokalisasi lesi diketahui, aturlah film srhingga mencakup sendi yang lebih dekat dengan lesi. d. Aturlah extremitas sehingga tungkai bawah benar-benar dalam posisi anteroposterior; putarlah sedikit kaki tetapi jangan merotasi tungkai bawah. e. Letakkan bantal pasir di depan telapak kaki untuk mengganjal supaya posisi tidak berubah. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah kaset film. s.



Foto Cruris Proyeksi Lateral 1) Pengertian:                      



2)



Tujuan:  



3)



Prosedur: a) Mengatur posisi pasien sebagai berikut: a. Posisi pasien berbaring miring pada sisi yang diperiksa. Flexikan lutut yang lain dan ganjal extremitas dengan bantal-bantal pasir. b) Mengatur posisi obyek sebagai berikut: a. Extensikan sedikit extremitas yang diperiksa. b. Kaset film diletakkan sejajar dengan sumbu panjang tungkai bawah, posisikan titik tengah kaset film pada pertengahan tungkai bawah, atau diatur sedemikian sehingga dapat mencakup lutut dan pergelangan kaki. c. Sesuaikan rotasi tubuh sehingga tungkai bawah dalam keadaan true lateral dan letakkan bantal-bantal pasir di bawah tungkai bawah dan di bawah kaki menurut keperluan. d. Immobilisasi dengan bantal-bantal pasir yang diletakkan menyilang tungkai bawah dan di depan telapak kaki. 46



e.



Jika pasien tidak dapat merubah posisi selain terlentang, angkatlah extremitas beberapa inchi dan ganjallah dengan bantal-bantal pasir atau pengganjal lain yang cocok. f. Letakkan kaset film dalam posisi tegak lurus di sisi medial tungkai bawah, arahkan sinar sentral horizontal. c) Mengatur titik pusat sinar sebagai berikut: a. Arahkan sinar sentral tegak lurus titik tengah film. t.



 1)                       2)           3)  a) 



a.



Posisi pasien berbaring terlentang dan aturlah posisi tubuh sehingga tidak ada rotasi pelvis.



b)  a.                   b.   c.   d.                                   c)  a.                 u.



 1)                          2)



                           



3)







47



a)  a.  b.                                    c.   b)  a.                   b.                  c.               d.  e.                                      f.  c)  a. 



v.



Foto Femur Proyeksi Antero-Posterior 1) Pengertian:   



2) Tujuan:   3)  a)  a.   b)  a.    b.                                       c.                     c)  a. 



w.



 1)    



48



2)   3)  a)  a.                     b.           c.                     b)  a.    b.   c.            d.                       c)  a.  2. G. a.



  1)    2)                                 3)  a)  a.                                  b)  a.                 b.                            c.    d.  



49



c)



b.



e.                   f.   g.    a. 



 1)                 2)



  



3)



 a)  a.                                   b)  a.                  b.    c.   d.   c)  a. 



c.



 1)     2)                   3)  a)  a.  b)  a.  



50



b.                        c.                                         d.  c)  a.  A.



 a.                b.   c.  a)  b)  c)  d)  e)  f)  g)  d.   e.  a)                      b)  c)    d) 



3.



Tatalaksana Pemeriksaan Radiologi Ultrasonografi (USG) Abdomen A. Pemeriksaan USG Abdomen Pemeriksaan USG abdomen adalah pemeriksaan organ-organ abdomen; misalnya: hati, kandung empedu, pankreas, limpa dan lain-lain. a. Tujuan Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperlihatkan struktur morfologi organ-organ, seperti hati, kandung empedu, pankreas, limpa, kedua ginjal, buli-buli, prostat atau adneksa, struktur vaskuler, termasuk arteri dan vena,



51



serta kelenjar di sekitarnya , keadaan usus-usus, adanya asites, hipertensi portal dan lain-lain. b. Teknik Berikut ini beberapa teknik yang harus diperhatikan berkaitan dengan pemeriksaan USG abdomen: a. Pada keadaan akut, seperti trauma, tidak perlu dilakukan persiapan, seperti puasa. Pemeriksaan terutama ditujukan untuk melihat keadaan organ-organ serta kemungkinan adanya cairan bebas intra abdominal. b. Pada keadaan elektif, diperlukan puasa untuk mendapatkan hasil yang optimal. Puasa diperlukan sekitar 5-6 jam sebelumnya atau sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG pagi-pagi sebelum makan pagi. c. Untuk neonatus puasa cukup sekitar 2-3 jam saja. Puasa terutama ditujukan bila kita ingin melihat kandung empedu dan saluran-salurannya. Untuk pemeriksaan lain, misalnya ginjal, tidak diperlukan puasa sebelumnya; bahkan harus minum 20-30 menit sebelumnya untuk melihat buli-buli. d. Untuk menilai pankreas dengan optimal, pasien harus minum air terlebih dahulu sebanyak kira-kira 500 cc untuk dewasa, agar lambung terisi air sehingga pankreas mudah dilihat, terutama Unit caudanya. e. Pemeriksaan USG abdomen menggunakan transducer linier atau convex dengan frekwensi antara 2,5 sampai 5 MHz. Untuk orang-orang gemuk digunakan transducer 2,5 MHz, dan untuk neonatus atau orang-orang yang kurus, dapat digunakan transducer 5 MHz. Bila ada peralatan tambahan seperti Color Doppler, nilai diagnostik akan lebih baik, terutama pada penilaian struktur pembuluh darah. c. Penilaian Pemeriksaan yang dilakukan terhadap struktur masing-masing organ abdomen, struktur vaskuler dan sistem bilier, digunakan untuk menilai apakah ada batu, SOL, atau kista; untuk mengukur besarnya SOL, mengecek ada atau tidaknya hematom, pembesaran kelenjar atau bendungan pada traktus urinarius, mengecek ada atau tidaknya cairan bebas atau asites. Pemeriksaan ini dilakukan dengan seteliti mungkin dengan mengacu pada keterangan klinis serta pemeriksaan fisik sebelum pemeriksaan. B. Pemeriksaan USG Pelvis Pemeriksaan USG daerah pelvis dilakukan terutama pada penilaiaan kehamilan. Misalnya apakah apakah ada kehamilan, adakah fetus, atau janin dalam kantung kehamilan? Selain itu untuk mengetahui apakah kehamilan tersebut hidup atau intra uterine fetal death? Untuk penilaian kehamilan normal pemeriksaan meliputi posisi janin, letak placenta, dan inersinya, cairan amnion, kelainan mayor janin, serta jumlah janin dalam uterus. Di samping itu, penilaian tentang usia kehamilan, taksiran partus serta berat janin juga dilakukan. Bila diperlukan, dapat dilihat jenis kelamin janin serta ada atau tidaknya lilitan tali pusat. Pemeriksaan USG pelvis juga 52



digunakan pada dugaan adanya kehamilan di luar uterus atau kehamilan ektopik terganggu (KET). Pemeriksaan ditujukan terutama untuk melihat cairan bebas di dalam Cavum Douglasi atau dalam rongga abdomen, kadang-kadang dapat di lihat janin. Untuk kasus-kasus dengan infeksi pelvis, diperlukan pemeriksaan USG untuk melihat daerah adnexa dan untuk mengetahui apakah ada focal absces seperti tubo ovarial absces dan sebagainya. a. Persiapan Persiapan tidak dilakukan pada kehamilan lanjut. Pada awal kehamilan atau keadaan patologis seperti KET dan infeksi pelvis, kadang-kadang pasien diminta minum terlebih dahulu agar buli-buli terisi urine dan dapat digunakan sebagai jendela untuk melihat struktur uterus dan adnexa. b. Transducer Dalam pemeriksaan pelvis digunakan transducer seperti USG abdomen. Apabila diperlukan dapat digunakan transducer transvaginal.



C. Pemeriksaan USG Payudara a. Indikasi e) Terutama pada wanita di bawah usia 30 tahun f) Keluhan di payudara (benjolan, nyeri, nipple discharge, dan lain-lain) g) Kontrol pasca terapi h) Sebagai konfirmasi setelah pemeriksaan mammografi pada hasil mammografi yang meragukan i) Untuk penuntun biopsi atau penuntun pre operatif b. Peralatan j) Digunakan transduser superficial minimal 7,5 MHz. Makin tinggi makin baik resolusinya k) Digunakan jelly antara kulit dengan transduser. c. Cara pemeriksaan Pemeriksaan dilakukan terhadap kedua payudara dan aksila pada pasien dengan posisi supine oblique dan ekstensi ipsilateral melewati kepalanya. Gerakan tranducer dilakukan secara radiair dimulai dari papilla mammae kesegala arah secara berurutan sampai gerakanmya 360º. d. Penilaian Penilaian hasil pemeriksaan yang dilakukan berkaitan dengan struktur fibroglandular, duktus lactiferus, ada atau tidaknya SOL, lokasinya, tepi lesinya, kistik atau solid, ukurannya , jumlah lesi dan sebagainya.



53



54



ALUR PENDAFTARAN DAN PENERIMAAN HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI UNTUK PASIEN UNIT RAWAT JALAN Pasien menerima formulir tindakan radiologi dari dokter pengirim



Pasien kembali ke dokter pengirim



Pendaftaran Radiologi



Pasien menerima hasil Rontgen dengan menunjukan bukti pembayaran



Bagian Kasir



Pasien dilakukan tindakan radiologi/ USG



Foto di experise, dan diarsipkan



Pasien menunggu hasil radiologi/ USG



ALUR PENDAFTARAN DAN PENERIMAAN HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI UNTUK PASIEN UNIT RAWAT INAP Perawat membawa formulir tindakan radiologi dari dokter pengirim



Perawat mengabil hasil expertise sesudah selesai di baca.



Pendaftaran radiologi



Perawat membawa pasien kembali keruangan haspemeriksaan



Pasien dilakukan tindakan radiologi/ USG



Hasil langsung dibawa perawat



Foto di experise, dan diarsipkan 55



ALUR PENDAFTARAN DAN PENERIMAAN HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI UNTUK PASIEN IGD



Perawat membawa formulir tindakan radiologi dari dokter IGD



Perawat/ keluarga pasien membawa hasil pemeriksaan ke IGD



Pendaftaran radiologi



Foto di experise, dan diarsipkan



Pasien dilakukan tindakan radiologi



Pasien kembali ke IGD, hasil langsung dibawa perawat/keluarga pasien



Pasien kembali ke IGD



56



BAB V LOGISTIK A



PENGERTIAN Segala sesuatu yang berhubungan dengan pengadaan barang baik medis maupun non medis yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit .



B



TUJUAN Agar barang- barang medis maupun non medis tersedia dengan jumlah yang tepat dan mutunya memadahi, sesuai standar rumah sakit.



C



TATALAKSANA PELAYANAN LOGISTIK Agar selalu tersedia bahan kontras dan alat kesehatan di Instalasi Radiologi yang sesuai dengan kebutuhan perlu perencanaan barang yang cermat dan penyimpanan yang aman dan akurat. a. Perencanaan dan Permintaan 1 Petugas logistik radiologi melakukan kompilasi penggunaan reagen/bahan dan alat 2



habis pakai setiap bulan. Petugas logistik radiologi



menetapkan prioritas dan jumlah sediaan film, obat



kontras dan alkes dan alat habis pakai yang akan diadakan berkoordinasi dengan 3



bagian Farmasi. Petugas logistik radiologi melakukan monitoring distributor sediaan film, obat kontras dan alkes dan alat habis pakai untuk menjamin keabsahan distributor dan menjamin bahwa sediaan bahan radiologi dan alat habis pakai yang diadakan



4



5



memenuhi persyaratan mutu. Sediaan bahan kontras dan alat kesehatan radiologi yang diadakan harus:  Telah memiliki izin edar atau nomor registrasi.  Sensitifitas tinggi  Akurasi bahan/alat tersebut tinggi Setelah perencanaan pengadaan film, obat kontras dan alkes alat habis pakai dilakukan dilanjutkan dengan permintaan reagen/bahan dan alat habis pakai ke Unit logistik / Farmasi untuk dilakukan pemesanan sesuai dengan prosedur permintaan



6



reagen/bahan dan alat habis pakai. Petugas logistik radiologi membuat permintaan barang dengan menulis pada buku permintaan logistik/ farmasi



b.



Permintaan 1 Petugas logistik radiologi cek Sediaan film, obat kontras dan alkes dan alat habis 2



pakai. Jika stok sudah menipis maka petugas logistik akan melakukan permintaan ke



bagian logistik/ farmasi dengan menulis pada buku permintaan barang. c. Penerimaan



57



Setelah buku permintaan barang diserahkan ke logistik/ farmasi maka petugas logistik/ farmasi akan mengambilkan barang yang diminta, kemudian petugas logistik radiologi menerima barang tersebut dengan bukti tanda tangan penerima pada formulir permintaan d.



barang. Penyimpanan 1 Petugas logistik radiologi menyimpan sediaan Film, reagen/ bahan radiologi dan alat kesehatan yang diterima pada lemari, rak yang sesuai berdasarkan suhu 2



penyimpanan. Petugas logistik menyimpan bahan radiologi pada kondisi yang sesuai, layak dan mampu menjamin mutu.



BAB VI KESELAMATAN PASIEN



A. PENGERTIAN Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal 58



yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD, adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC, adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC, adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC, adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Kejadian Sentinel, adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran.



B. TUJUAN Tujuan dari program keselamatan pasien adalah : 1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit. 2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. 3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit. 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan. Dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit, maka diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit dapat meningkat. Selain itu keselamatan pasien juga dapat mengurangi KTD, selain berdampak terhadap peningkatan biaya pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, menimbulkan konflik antara dokter/petugas 59



kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktek, blow-up ke media massa yang akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit. Selain itu rumah sakit dan dokter bersusah payah melindungi dirinya dengan asuransi, pengacara dsb, tetapi pada akhirnya tidak ada pihak yang menang, bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. C. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN SECARA UMUM 1. Standar Keselamatan Pasien Setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien yaitu:



a. Hak pasien. b. Mendidik pasien dan keluarga. c. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan. d. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien. e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien. f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien. g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.



2. Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit Setiap rumah sakit/Instalasi Radiologi wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut: a. Ketepatan identifikasi pasien. b. Peningkatan komunikasi yang efektif. c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai. d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi. e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. f. Pengurangan risiko pasien jatuh. 3. Penyelenggaraan Keselamatan Pasien Rumah Sakit 60



Dalam



rangka



menerapkan



Standar



Keselamatan



Pasien,



Rumah



Sakit



melaksanakan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Uraian Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut: a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. Langkah penerapan: 1) Tingkat Rumah Sakit : RSU Panti Baktiningsih telah memiliki kebijakan yang menjabarkan apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden., Bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga. RSU Panti Baktiningsih telah memiliki kebijakan dan prosedur yang menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden. RSU Panti Baktiningsih telah berupaya menumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit. Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien. 2) Tingkat Unit Kerja/Tim : Pastikan semua rekan sekerja merasa mampu untuk berbicara mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden. Sosialisasikan kepada seluruh personil ukuran-ukuran yang dipakai di RSU Panti Baktiningsih untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.



b. Pimpin dan Dukung Staf Anda Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di seluruh jajaran RSU Panti Baktiningsih. Langkah penerapan : 1) Tingkat Rumah Sakit : a) Direksi bertanggung jawab atas keselamatan pasien. b) Telah dibentuk Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien yang ditugaskan untuk menjadi “penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien. c) Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat jajaran Direksi maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit. 61



d) Keselamatan Pasien menjadi materi dalam semua program orientasi dan pelatihan di RSU Panti Baktiningsih dan dilaksanakan evaluai dengan pre dan post test. 2) Tingkat Unit Kerja/Tim : a) Semua pimpinan unit kerja wajib memimpin gerakan Keselamatan Pasien. b) Selalu jelaskan kepada seluruh personil relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien. c) Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden. c. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Resiko Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. Langkah penerapan: 1) Tingkat Rumah Sakit : a) Telaah kembali input dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan non klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan Pasien dan staf. b) Kembangkan indikator-indikator kinerja mutu dan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh Direksi/Manajer RSU Panti Baktiningsih. Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap pasien.



2) Tingkat Unit Kerja/Tim : a) Dalam setiap rapat koordinasi selalu melaksanakan diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik kepada Manajer terkait. b) Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah sakit. c) Lakukan



proses



asesmen



risiko



secara



teratur,



untuk



menentukan



akseptabilitas setiap risiko, dan ambilah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko tersebut. 62



d) Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit. d. Kembangkan Sistem Pelaporan Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Langkah penerapan : 1) Tingkat Rumah Sakit : Sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar rumah sakit mengacu pada Pedoman Keselamatan Pasien Rumah Sakit Panti Baktiningsih. 2) Tingkat Unit Kerja/Tim : Berikan semangat kepada seluruh personil untuk secara aktif melaporkan setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung bahan pelajaran yang penting. e. Libatkan dan Berkomunikasi Dengan Pasien Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien Langkah penerapan : 1) Tingkat Rumah Sakit : a) RSU Panti Baktiningsih memiliki kebijakan dan pedoman yang jelas tentang cara-cara komunikasi terbuka selama proses asuhan tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya. b) Seluruh staf RSU Panti Baktiningsih yang terkait harus mampu memastikan bahwa pasien dan keluarga mendapat informasi benar dan jelas bilamana terjadi insiden. c) Seluruh jajaran manajerial harus mampu memberi dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya. 2) Tingkat Unit Kerja/Tim : a) Pastikan seluruh personil menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden. b) Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat.



63



c) Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan keluarganya. f. Belajar dan Berbagi Pengalaman tentang Keselamatan Pasien Seluruh staf harus mampu untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa KTD itu timbul. Langkah penerapan: 1) Tingkat Rumah Sakit: a) Pastikan staf yang tekait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab. b) Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) yang mencakup insiden yang terjadi . 2) Tingkat Unit Kerja/Tim: a) Diskusikan dalam jajaran unit/tim pengalaman dari hasil analisis insiden. b) Identifikasi unit atau Unit lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan berbagi pengalaman tersebut secara lebih luas. g. Cegah Cedera melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien Gunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan. Langkah Penerapan:



1) Tingkat Rumah Sakit : a) Gunakan informasi benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi. b) Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (input dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang menjamin keselamatan pasien. c) Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan. d) Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS-PERSI. 64



e) Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden yang dilaporkan. 2) Tingkat Unit Kerja/Tim : a) Libatkan seluruh personil dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman. b) Telaah kembali perubahan-perubahan yang telah dibuat dan pastikan pelaksanaannya. c) Pastikan seluruh personil menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan. Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Dapat dipilih langkahlangkah yang paling strategis dan paling mudah dilaksanakan. Bila langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan.



Bila



tujuh



langkah ini telah dilaksanakan dengan baik maka dapat menambah penggunaan metodametoda lainnya. 4. Sembilan Solusi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit WHO Collaborating Centre for Patient Safety, dimotori oleh Joint Commission International, Suatu badan akreditasi dari Amerika Serikat, mulai tahun 2005 mengumpulkan pakar keselamatan pasien dari lebih 100 Negara, dengan kegiatan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamtan pasien, dan mencari solusi berupa sistem atau intervensi sehingga mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien dan meningkatkan keselamatan pasien. Pada tgl 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre for Patient Safety resmi menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sbb: a. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names). b. Pastikan Identifikasi pasien. c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien. d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar. e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated). f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan. 65



g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube) . h. Gunakan alat injeksi sekali pakai. i. Tingkatkan kebersihan tangan (Hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial. 5. Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit : a. Rumah sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan insiden yang meliputi kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera dan kejadian sentinel. b. Pencatatan dan pelaporan insiden Keselamatan Pasien (IKP) mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Persi. c. Pelaporan insiden terdiri dari : 1) Pelaporan internal yaitu mekanisme/alur pelaporan KPRS di internal RSU Panti Baktiningsih. 2) Pelaporan eksternal yaitu pelaporan dari RSU Panti Baktiningsih ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit. d. Panitia Mutu dan Kerja Keselamatan Pasien RSU Panti Baktiningsih melakukan pencatatan kegiatan yang telah dilakukan dan membuat laporan kegiatan kepada Direktur Rumah Sakit secara berkala. 6. Monitoring dan Evaluasi Seluruh jajaran manajemen RSU Panti Baktinigsih secara berkala melakukan monitoring dan evaluasi program keselamatan pasien yang dilaksanakan oleh Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien RSU Panti Baktiningsih. Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien RSU Panti Baktiningsih secara berkala (paling lama 2 tahun) melakukan evaluasi pedoman, kebijakan dan prosedur keselamatan pasien yang dipergunakan di RSU Panti Baktiningsih. Panitia Mutu dan Keselamatan Rumah Sakit Pantui Baktiningsih melakukan evaluasi kegiatan setiap triwulan dan membuat tindak lanjutnya. D. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN DI UNIT RADIOLOGI 1. Pengantar Instalasi Radiologi merupakan salah satu Unit pelayanan rumah sakit, oleh sebab itu pelayanan radiologi tidak hanya terfokus pada tujuan pelayanan radiologi dalam memanfaatkan radiasi tetapi juga tetap mempertimbangkan dan memperhatikan pada tujuan sistem keselamatan pasen. Selama ini, instalasi radiologi dalam melaksanakan pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan radiasi pengion dan non pengion, sangat terarah pada keselamatan terhadap radiasi karena diketahui pemakaian radiasi pengion 66



mengandung resiko bila digunakan tanpa mengkuti dan taat pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kini saatnya semua individu yang terkait dalam pelayanan radiologi mulai memikirkan, membuat, menerapkan dan melaksanakan system keselamatan pasien, sehingga pelayanan Radiologi ( Radiodiagnostik) tidak hanya mampu memberikan layanan dan hasil layanan yang bermutu tinggi tetapi juga memberikan kepastian terwujudnya Keselamatan Pasien ( pasien safety ). Pelayanan Radiologi merupakan pelayanan kesehatan yang menggunakan sinar pengion ataupun bahan radioaktif sehingga penggunaan bahan tersebut mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu dapat sangat berguna bagi penegakan diagnosa dan terapi penyakit dan di sisi lain akan sangat berbahaya bila penggunaannya tidak tepat dan tidak terkontrol, terlebih lagi bila di lakukan oleh tenaga yang tidak kompeten atau bukan radiographer. Untuk itu setiap pengguna ataupun pelaksana pelayanan Radiologi harus senantiasa merjamin mutu pelayanannya, yaitu harus tepat dan aman baik bagi pasien, pekerja maupun lingkungan atau masyarakat sekitarnya. Kebijakan dan upaya peningkatan mutu pelayanan Radiologi pada dasarnya juga sama seperti kebijakan pelayanan kesehatan umumnya yang mengutamakan kesehatan dan keselamatan pasien, antara lain : 1) Regulasi perizinan penyelenggaraan radiologi. 2) Standar Pelayanan Radiologi. 3) Pemantapan jejaring pelayanan radiologi. 4) Penyelenggaraan quality assurance. 5) Penetapan dan penerapan berbagai stándar pelayanan radiologi. 6) Pemenuhan persyaratan dalam standar. 7) Pelaksanaan akreditasi pelayanan radiologi (radiodiagnostik dan radioterapi). 8) Peningkatan pengawasan pelaksanaan pelayanan radiologi baik oleh pusat yang dilakukan oleh Depkes dan Bapeten maupun oleh daerah. 9) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 10) Pengembangan Teknik Pemeriksaan Radiologi. Upaya peningkatan mutu di bidang pelayanan Radiologi harus dilakukan baik untuk kepentingan diagnostik maupun untuk pengobatan, agar dengan demikian selain dapat memberikan mutu pelayanan yang tepat dan teliti, serta dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap keselamatan pasien, petugas dan lingkungan, walaupun tidak secara tegas tersurat. 67



2. Jenis Fasilitas Pelayanan Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih Pemeriksaan Radiologi biasanya dilakukan dengan teknik-teknik yang berbeda sesuai dengan klinis pasien, secara garis besar pemeriksaan radiologi diagnostik terdiri dari: 1. Pemeriksaan dengan sinar-X 2. Pemeriksaan dengan Gelombang Suara/ USG Dengan dilakukannya berbagai teknik pemeriksaan Radiologi mulai dari yang konvensional sampai dengan teknik intervensional baik dengan menggunakan bahan kontras maupun tanpa bahan kontras, maka setiap pekerja radiasi perlu melakukan dengan cermat karena kemungkinan timbulnya KTD pada setiap pemeriksaan.. Jenis Fasilitas Pelayanan Istalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih menurut Energi yang digunakan di bagi menjadi : 1. Sinar-x ( Radiografi ) Pesawat x-ray Konvensional Stationary x-ray unit 2. Ultra Sound/ USG Dengan meningkatnya jumlah modality dan fasilitas pelayanan Radiologi maka memungkinkan untuk



semakin meningkatnya jumlah pasien yang dilakukan



pemeriksaan, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak jumlah pasien yang menerima radiasi dan kemungkinan semakin besar peluang terjadinya KTD. Oleh sebab itu diharapkan radiografer harus semakin hati-hati untuk tidak menambah penderitaan pasien dengan terjadinya KTD. 3. Insiden di Instalasi Radiologi Kejadian Tidak Diharapkan yang mungkin timbul pada proses pelayanan Radiologi diagnostik antara lain dapat disebabkan oleh : 1. Pada saat menerima surat permintaan pemeriksaan radiologi 1) Kurang/tidak teliti dalam mengidentifikasi pasen. 2) Kurang paham klinis yang membuat kesalahan pembuatan foto. 3) Tidak bertanya apakah pasien hamil atau tidak ( wanita subur ). 2. Pada saat dilakukan pemeriksaan 1) Saat memindahkan pasen ke meja pemeriksaan. 2) Terlalu banyak memanipulasi obyek. 3) Memakai peralatan kurang steril. 4) Tidak menggunakan peralatan disposable. 5) Terjadinya kontra indikasi bahan kontras. 68



6) Pengulangan pemeriksaan. a) Salah penyudutan arah sinar b) Salah sentrasi c) Under dan upper eksposure d) Tidak ada marker atau salah marker e) Kesalahan tindakan medik oleh dokter spesialis Radiologi f) Salah positioning g) Kesalahan pesawat yang disebabkan tidak dikalibrasi secara rutin dan tidak adanya QC peralatan Radiologi. 3. Sesudah dilakukan pemeriksaan 1) Salah ekspertise atau interpretasi. 2) Pemberian hasil tanpa di validasi terlebih dahulu. a) Salah identitas pasien b) Hasil tertukar antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya 3) Efek penyuntikan bahan kontras. 4) Efek radiasi ( bila paparan yang diberikan tinggi ).



4. Implementasi Keselamatan Pasien di Instalasi Radiologi Implementasi Keselamatan pasien pada tiap modalitas imajing di Instalasi Radiologi antara lain : a. Modalitas dengan sumber radiasi sinar-x 1) Hindari manipulasi pasien pada saat posisioning Terutama pada pasien dengan klinis trauma capitis, Fraktur Columna Vertebralis, trauma tumpul abdomen dan thoraks. Begitu pula pasien dengan fraktur ekstrimitas dengan pemakaian peralatan traksi. 2) Pemakaian bahan kontras radiografi a) Gunakan bahan kontras yang relatif aman. b) Harus dilakukan oleh dokter atau di dalam pengawasan dokter. c) Ada standar kedaruratan medik Radiologi. 3) Minimalisasi dosis radiasi a) Pengaturan luas lapangan penyinaran yang diatur sedemikian rupa sehingga cukup seluas obyek yang diperiksa. 69



b) Pengaturan faktor eksposi yang tepat. c) Pada setiap pasien wanita usia subur sebelum dilakukan pemeriksaan harus ditanya apakah sedang hamil atau tidak, bila hamil diminta pertimbangan dokter spesialis radiologi apakah perlu atau tidak dilakukan d) Semua pemeriksaan atau tindakan radiologi harus dilakukan apabila ada permintaan dari dokter yang mengirim dan dilengkapi dengan klinis yang jelas dan dikerjakan sesuai dengan Standar



Prosedur Operasional dan



dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. b. Ultrasonografi Sampai saat ini pemeriksaan USG masih dikategorikan sebagai pemeriksaan yang paling aman bagi pasien. Belum ditemukan gejala- gejala KTD selama pemeriksaan maupun sesudah pemeriksaan.



BAB VII KEAMANAN KESEHATAN DAN KESEHATAN KERJA A. PENGERTIAN Pedoman kesehatan dan keselamatan kerja di Instalasi radiologi diagnostik dan imajing terintegrasi adalah upayan-upaya untuk mencegah terjadinya dampak negatif dan merugikan bagi kesehatan pekerja, baik fisik atau psiskis akibat lingkungan kerja. Pedoman kesehatan dan keselamatan kerja antara lain meliputi K3 (Kesehatan Keselamatan Kerja) nosokomial, K3 cairan limbah kimia dan K3 penanggulangan kebakaran. 70



B. TUJUAN 1.



Melindungi kesehatan, keamanan dan keselamatan tenaga kerja



2.



Meningkatkan efisiensi kerja



3.



Mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja



C. FASILITAS Pemanfaatan pesawat sinar-x untuk diagnostik secara tepat meliputi disain ruangan, pemasangan, dan pengoperasian sesuai dengan norma keselamatan radiasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam instalasi ruangan pesawat sinar-x diagnostik sebelum bangunan didirikan, antara lain lokasi bangunan, letak ruangan dan tebal dinding maupun perisai pintu. Ruangan sinar-x harus dibangun dengan cukup kuat untuk menahan beban peralatan yang ada di dalamnya dan dibangun sedemikian, sehingga memberikan proteksi yang cukup terhadap operator dan orang lain yang berada di sekitar ruangan pesawat sinar-x. Dasar



penentuan



persyaratan



ruangan



pesawat



sinar-x



diagnostik



dengan



mempertimbangkan potensi bahaya radiasi yang mungkin terjadi. Agar resiko bahaya yang diterima pekerja radiasi, staf lain dan masyarakat harus dapat ditekan sekecil kecilnya jika mungkin dapat ditiadakan. Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih terdiri dari beberapa ruang pemeriksaan Radiodiagnostik yang terproteksi dengan baik, antara lain : 5. Dinding ruangan yang dilapisi dengan timah hitam yang setara dengan 2 mmPb 6. Semua pintu kayu dilapisi dengan timah hitam setara dengan 2 mmPb 7. Mempunyai lampu merah ( lampu peringatan yang menandakan pemeriksaan dengan radiasi sedang berlangsung ) diatas pintu masuk ruang pemeriksaan 8. Pintu ruang pemeriksaan dilengkapi dengan atribut atau poster tanda bahaya radiasi.



D. PERLENGKAPAN PROTEKSI RADIASI Persyaratan sebelum melakukan pemeriksaan radiologi adalah keselamatan terhadap radiasi sehingga perlu diperhatikan oleh semua pekerja radiasi. Keselamatan terhadap radiasi memerlukan perlengkapan peralatan radiasi yang memadai dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Peralatan proteksi Radiasi yang tersedia antara lain : 5. Film Badge ( personal monitoring ) 6. Apron 7. Google 8. Kaca Pb 9. Lampu merah tanda bahaya radiasi 71



E. KESELAMATAN OPERASIONAL Untuk menjamin terciptanya suatu pelayanan radiasi diagnostik yang aman untuk petugas radiasi, pasien, keluarga pasien dan staf yang lain, maka kegiatan keselamatan operasional perlu diperhatikan. Kegiatan itu antara lain : 1. Komisioning Untuk memastikan pesawat sinar-x bekerja dengan andal, baik untuk kegiatan radiologi diagnostik, dan memenuhi peraturan perundang undangan maka pesawat sinar-x harus dilakukan uji kesesuaian. 2. Inspeksi periodik Inspeksi secara periodik terhadap peralatan sinar –x, perlengkapan proteksi radiasi dan hal yang menyangkut keselamatan atau penahan radiasi ruangan pesawat sinar-x harus dilakukan untuk perbaikan dalam hal adanya komponen yang rusak atau hal yang berhubungan dengan keselamatan radiasi. 3. Pembatasan arah sinar Arah berkas utama dari pesawat sinar-x tidak boleh diarahkan ke panel kontrol atau daerah lain yang tidak cukup penahan radiasi atau yang hanya dipersiapkan untuk radiasi hambur F. KESELAMATAN PETUGAS Semua usaha harus dilakukan dalam melaksanakan penyinaran sinar-x, sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil yang baik dengan paparan minimum pada petugas radiasi. Kegiatan itu antara lain :



1. Bekerja di Ruang Operator Ruang operator biasanya terpisah dengan ruang penyinaran atau jika berada dalam ruangan penyinaran harus disediakan tabir Pb dan dilengkapi dengan kaca Pb. 2. Pemakaian Alat Proteksi Radiasi Keselamatan terhadap radiasi memerlukan perlengkapan peralatan radiasi yang memadai dan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dan digunakan dengan baik dan benar. 3. Pemakaian Monitor Perorangan Untuk mencatat dosis radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi maka diperlukan adanya personal monitoring. Di Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih personal monitoringnya adalah film badge. 72



4. Pengawasan Kesehatan Pekerja Radiasi Pengawasan kesehatan di Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih bagi pekerja radiasi dilakukan sekurang-kurangnya sekali setahun dan apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan kesehatan tambahan jika pekerja radiasi mengalami penyinaran radiasi berlebihan.Serta mendapatkan extra makanan yang tinggi protein/ extra fooding. G. PROTEKSI RADIASI KEPADA PASIEN Selain menjamin amannya bahaya radiasi untuk pekerja radiasi, proteksi terhadap pasien juga perlu diperhatikan. Kegiatan ini antara lain : 1. Persyaratan pemeriksaan Pemeriksaan terhadap pasien hanya dilakukan bila ada permintaan tindakan radiologi dari dokter pengirim. Dalam hal terjadi keraguan akan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan ahli radiologi atau dokter pengirim 2. Pengurangan Dosis Radiasi Pasien Penggunaan faktor eksposi yang sesuai tanpa mengurangi tegaknya diagnosa Pembatasan daerah penyinaran dengan pengaturan kolimasi sesuai dengan objek yang akan dilakukan penyinaran. Jarak fokus dengan kulit untuk dental x-ray paling tidak 20 cm. Jarak fokus dengan film untuk chest x-ray sekurang kurangnya 120 cm. H. PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT DAN PELAPORAN Keadaan darurat adalah keadaan bahaya sedemikian yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatan manusia, kerugian harta benda atau kerusakan lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya kecelakaan nuklir dan atau kecelakaan radiasi yang terjadi diwilayah tertentu. Prosedur kerja : Penanggulangan Keadaan Darurat a) Hentikan operasi instalasi, keluarkan penderita dari medan radiasi b) Amankan daerah di sekitar kecelakaan dan tidak seorangpun boleh memasuki daerah tersebut apabila dikawatirkan adanya ledakan yang dapat segera timbul atau keadaan darurat lainnya. c) Perkirakan dosis radiasi dan tentukan tingkat kecelakaan. d) Segera meminta bantuan ke Unit terkait bila diperlukan e) Ukur tingkat / besarnya radioaktivitas yang mungkin melekat pada tubuh penderita f) Kelompokkan penderita menurut dosis yang diterima. g) Lakukan dekontaminasi apabila perlu 73



h) Susun rencana pengamanan sumber radiasi sesuai prosedur, dengan memperhatikan keselamatan manusia harus diutamakan. i) Laporkan ke Unit Manajemen Fasilitas dan Keselamatan Kerja, organisasi kawasan Nasional (BAPETEN) I. PENANGANAN DAN PEMBUANGAN LIMBAH BAHAN INFEKSIUS BERBAHAYA Prosedur penanganan dan pembuangan limbah bahan infeksius berbahaya adalah sebagai berikut : 1. Sampah Non Medis a) Sampah non medis di buang pada tempat sampah yang telah di sediakan b) Setiap pagi sampah diangkut oleh cleaning service RS ke tempat pembuangan 2. Bahan Infeksius a) Sampah medis ( jarum, wing nedlle, botol obat-obatan dan kontras, handscoen, dll ) di buang pada Tempat Sampah Medis b) Setiap pagi sampah medis akan diangkut oleh cleaning service rumas sakit ke tempat pembuangan 3. Limbah Cairan Obat Prosesing Film Limbah cairan developer, fixer, diambil oleh pihak ke 3 dan air pembilas di buang dan disalurkan melalui saluran limbah RS.



J. ALUR PENANGANAN DAN PELAPORAN KECELAKAAN KERJA Karyawan Bersangkutan 1. Alur Penanganan Kecelakaan Kerja Karyawan RSU Panti Baktiningsih



IGD RSPB (dokter umum)



Karyawan diistirahatkan Karyawan bekerja biasa



Konsul dokter spesialis



karyawan diistirahatkan karyawan bekerja biasa 74



Dirawat



Gambar 1. Alur penanganan kecelakaan kerja karyawan



2. Alur Pelaporan Kecelakaan Kerja Karyawan RSU Panti Baktiningsih



Karyawan Bersangkutan Kepala Bagian/Unit Karyawan Bersangkutan



Kepala Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja K3RS



Kepala K3RS Gambar 2. Alur pelaporan kecelakaan kerja karyawan K. FORMAT LAPORAN KASUS KECELAKAAN KERJA / PENYAKIT AKIBAT KERJA



WADIR YANMED



LAPORAN KASUS KECELAKAAN KERJA/PENYAKIT AKIBAT KERJA ( diisi oleh karyawan) 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Nama Karyawan : ______________________________________ Unit Kerja : ______________________________________ Atasan Karyawan : ______________________________________ Tempat, Tanggal dan waktu kejadian : ___________________________ Jabatan pekerjaan/lama bekerja : ___________________________ Uraian kejadian kecelakaan a. Bagaimana terjadinya kecelakaan : b. c.



7.



_______________________________________________________  Jenis pekerjaan waktu kecelakaan : ____________________________ Saksi yang melihat kecelakaan : ____________________________



Sebutkan : a.



Mesin, pesawat, instalasi, alat proses, cara kerja, bahan atau lingkungan yang menyebabkan kecelakaan 75



____________________________________________________________ b. Bahan, proses, lingkungan, cara kerja atau sifat pekerjaan yang menyebabkan penyakit akibat kerja ____________________________________________________________ (diisi oleh dokter) 8. Akibat Kecelakaan a. Akibat yang diderita korban : ___________________________________________ b. Sebutkan Unit tubuh yang sakit : ______________________________________ c. Sebutkan jenis penyakit akibat kerja : ____________________________________ d. Keadaan penderita setelah pemeriksaan pertama :  Berobat jalan :  Dirawat di : Sleman, _____ Karyawan bersangkutan



Atasan Karyawan



_________________



__________________ Mengetahui Ka. Manajemen fasilitas dan keselamatan



L. FORMAT LAPORAN KECELAKAAN KERJA, PAK DAN PAHK FORMAT LAPORAN KECELAKAAN KERJA, PAK DAN PAHK UNIT/UNIT ...................................................................... Kepada Yth, Ketua Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja RSU Panti Baktiningsih Di Sleman Yogyakarta Lokasi : No



Nama Petugas 1



Jenis Kecelakaan/PAK/PAHK 2



Sumber Bahaya 3



Tindakan Awal 4



Ket 5



1 2 3 4 5 Sleman , 2015 Ka. Unit (_____________)



76



M. STRUKTUR ORGANISASI TIM MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN KERJA STRUKTUR ORGANISASI TIM MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN KERJA DIREKTUR



WAKIL DIREKTUR



UNIT TERKAIT -



UNIT PENDUKUNG



Polisi Pemadam Kebakaran PLN BAPEDALDA Dinas Kesehatan BAPETEN Dinas Tenaga Kerja



-



Ka. Bagian Ka. Bidang Ka. Ruangan



KETUA



SEKRETARIS



PENANGGUNGJAWAB KESELAMATAN & KESEHATAN KERJA



PENANGGUNGJAWAB KESIAPAN MENGHADAPI WABAH DAN BENCANA



PENANGGUNGJAWAB PENANGANAN B3 DAN LIMBAH



PENANGGUNGJAWAB KESIAPAN MENGHADAPI KEBAKARAN



PENANGGUNGJAWAB PEMELIHARAAN PERALATAN MEDIS



PENANGGUNGJAWAB PEMELIHARAAN FASILITAS FISIK&KESEHATAN LINGKUNGAN



PENANGGUNGJAWAB PEMELIHARAAN SISTEM UTILITAS



77



BAB VIII PENINGKATAN MUTU A.



PENGERTIAN Pengendalian mutu Instalasi Radiologi dan Diagnostik Imajing terintgrasi merupakan suatu upaya untuk mengentahui kualitas pelayanan yang diberikan serta mengukur kepuasan pelanggan berdasarkan masukan melalui kuisoner, evaluasi dan analis langsung secara teknis maupun adminusrasi.



B.



TUJUAN Bertujuan untuk mempertahankan, meningkatkan dan bahkan mengevaluasi kelemahankelemahan mutu pelyanan yang ada sehingga peningkatan mutu di Instalasi Radiologi dan Diagnostik Imajing terintgrasi senantiasa dinamis mengikuti tuntutan, kemauan dan kebutuhan konsumen yang senantiasa berkembang dan berkembang.



C.



TATALAKSANA PENINGKATAN MUTU a. Pelaksanaan Pengendalian Mutu Pelaksanaan pengendalian mutu di Instalasi Radiologi dan Diagnostik Imajing terintgrasi dilaksanakan dalam wujud pelaksaan program sebagai berikut: Program pengontrolan mutu, diluar Instalasi radiologi Rumah Sakit. 1. Rumah Sakit menentukan frekuensi dan jenis data kontrol mutu dari Instalasi kerja radiologi diluar RSU Panti Baktiningsih. 2. Ada penanggung jawab yang kompeten atas kontrol mutu dan ditunjuk melakukan tindakan berdasarkan hasil kontrol mutu. 3. Ada penanggung jawab yang kompeten dan ditunjukmelakukan tindakan berdasarkan hasil kontrol mutu. 4. Data kontrol mutu dari Instalasi radiologi diluar Rumah Sakit digunakan untuk membuat perjanjian kerja b. Managemen Peralatan Instalasi Radiologi dan Diagnostik Imajing terintegrasi Untuk menjamin kasiapan peralatan Instalasi Radiologi dan Diagnostik Imajing terintegrasi.



78



c. Evaluasi Reject Analisis Film Untuk mengevaluasi kualitas film rontgen di Instalasi radiologi mengadakan program evaluasi reject analisis film, dengan langkah-langkah berikut: 1. Mencatat film x-ray yang tidak layak di ekspertise didalam buku laporan reject analisis film 2. Mengelompokkan data reject film berdasarkan ukuran film, jenis pemeriksaan dan penyebab kegagalan 3. Membuat laporan reject setiap tiga bulan dan dilaporkan bersama laporan triwulan. 4. Melakukan upaya peningkatan mutu dengan menurunkan angka film reject. d. Evaluasi Kualitas Bacaan Foto Rontgen Untuk mengevaluasi kualitas hasil ekspertise radiologi, dokter spesialis radiologi mengadakan program angket ke dokter pengirim atau dokter klinik, dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Memberi angket kepada dokter pengirim dan memintanya untuk mengisi pertanyaan seputar kualitas pembacaan foto 2. Meminta saran dan masukan dari dokter pengirim 3. Melakukan analisa dan evaluasi dari hasil angket tersebut 4. Melakukan upaya peningkatan mutu kualitas bacaan foto rontgen. e. Waktu Tunggu Hasil Radiologi Untuk mengevaluasi kecepatan pelayanan secara menyeluruh maka Instalasi radiologi RSU Panti Baktiningsih menggunakan KPI (key performance indikator) sebagai alat kontrol mutu dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menetapkan KPI (key performance indikator) yang berfungsi mengukur kecepatan pelayanan pada prioritas jenis pemeriksaan. 2. Mengukur dan mencatat waktu awal pemeriksaan, lama pemeriksaan sampai selesai, hasil bacaan dengan standar waktu tertentu. 3. Melakukan evaluasi sesuai kebutuhan Instalasi termasuk evaluasi kecepatan f. Evaluasi Kualitas Pelayanan Untuk mengevaluasi kualitas pelayanan secara menyeluruh maka Instalasi radiologi mengadakan program analisa dan evaluasi komplain serta cara-cara penyelesaiannya dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mencatat dan mengevaluasi tingkat komplain terhadap pelayanan radiologi 79



2. Membuat laporan angket kepuasan pelanggan tersebut setiap 3 bulan dan melakukan upaya peningkatan kualitas pelayanan g. Analisa Insiden Setiap insiden, terutama yang berhubungan dengan pelayanan pasien di Instalasi radiologi, baik yang terkait dengan profesi medik maupun keperawatan, kepuasan pelanggan, maupun keselamatan pasien / staff dikumpulkan dan dicatat oleh komite mutu dan keselamatan rumah sakit. h. Masukkan sasaran mutu Radiologi 1. Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto Judul Dimensi mutu Tujuan Definisi operasional



Frekuensi pengumpulan data Periode analisis Numerator Denominator Sumber data Standar Penanggung jawab 2. Pelaksana ekspertisi hasil pemeriksaan Judul Dimensi mutu Tujuan



Definisi operasional



Frekuensi pengumpulan data Periode analisis Numerator Denominator



Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto Efektifitas, kesinambungan pelayanan, efisiensi Tergambarnya kecepatan pelayanan radiologi Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto adalah tenggang waktu mulai pasien di foto sampai dengan menerima hasil yang sudah diekspertisi 1 bulan 3 bulan Jumlah kumulatif waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto dalam satu bulan. Jumlah pasien yang difoto thorax dalam bulan tersebut. rekam medis < 3% Kepala instalasi radiologI Pelaksana ekspertisi hasil pemeriksaan Kompetensi tehnis Pembacaan dan verifikasi hasil pemeriksaan rontgen dilakukan oleh tenaga ahli untuk memastikan ketepatan diagnosis Pelaksana ekspertisi rontgen adalah dokter spesialis Radiologi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembacaan foto rontgen/ hasil pemeriksaan radiologi. Bukti pembacaan dan verifikasi adalah dicantumkannya tanda tangan dokter spesialis radiologi pada lembar hasil pemeriksaan yang dikirimkan kepada dokter yang meminta. 1 bulan 3 bulan Jumlah foto rontgen yang dibaca dan diverifikasi oleh dokter spesialis radiologi dalam 1 bulan. Jumlah seluruh pemeriksaan foto rontgen dalam 1



80



Sumber data Standar Penanggung jawab



bulan. Register di Instalasi Radiologi 100 % Kepala instalasi radiologI



3. Kejadian kegagalan pelayanan rontgen Judul Kejadian kegagalan pelayanan rontgen Dimensi mutu Efektifitas dan efisiensi Tujuan Tergambarnya efektifitas dan efisiensi pelayanan rontgen Definisi operasional Kegagalan pelayanan rontgen adalah kerusakan foto yang tidak dapat dibaca Frekuensi pengumpulan data 1 bulan Periode analisis 3 bulan Numerator Jumlah foto rusak yang tidak dapat dibaca dalam 1 bulan Denominator Jumlah seluruh pemeriksaan foto dalam 1 bulan Sumber data Register radiology Standar 80 % Ketua komite mutu/tim mutu



BAB IX PENUTUP



Telah diuraikan secara lengkap Pedoman Pelayanan Instalasi Radiologi RSU Panti Baktiningsih yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan radiologi. 81



Pedoman ini sangat penting artinya karena memuat semua standar dari aspek yang ada di radiologi yaitu aspek sarana dan prasarana serta standar mutu. Dengan demikian Instalasi Radiologi akan dapat memberikan pelayanan yang lebih efisien, terarah, sistematis dan benar dan sehingga kualitas fungsinya yaitu fungsi pelayanan, pendidikan dan pelatihan menjadi optimal Optimalisasi fungsi radiologi sangat erat hubungannya dengan kepuasan pengguna jasa, kesejahteraan karyawan, pengembangan rumah sakit sehingga tercapai apa yang dicitacitakan.



82