Pembagian Harta Warisan Di Suku Yang Ada Di Sumatera Utara [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI SUKU YANG ADA DI SUMATERA UTARA BATAK KARO Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan. Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan. Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya. Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan. Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan). Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.



BATAK KARO Masyarakat adat karo ini sendiri menganut sistem kekerabatan Patrilineal yang mana lebih menganut kepada sistem kebapakan atau lebih menekankan kepada kedudukan anak lakilaki. Jadi sang anak laki-laki itu mewariskan marga dari sang bapak ini disebabkan juga karena masyarakat karo menganut sistem perkawinan jujur yaitu suatu bentuk perkawinan yang mana pihak laki-laki memberikan suatu benda atau membayar uang kepada pihak perempuan sehingga dapat dikatakan secara kasar bahwa sang perempuan itu dibeli oleh laki laki tetapi dibeli secara



adat yang mana tujuannya ialah agar pihak perempuan itu dapat dilepaskan marga atau clan sang pihak perempuan sehingga masuk kedalam marga sang suami, sehingga nanti anak anak yang lahir nanti akan menganut marga atau clan dari ayahnya terutama pada pihak laki-laki, oleh karena itu anak laki-laki itu lebih menonjol perannya dari pada anak perempuan, jadi dapat disimpulkan yang akan menjadi ahli waris nanti adalah anak laki-laki karena dialah yang menurunkan garis keturunan dari bapaknya bukan dari sang ibunya, karena itu semua bermula pada perkawinan jujur ini yang dianut oleh masyarakat patrilineal. Pada adat masyarakat batak karo yang menerima warisan ialah anak laki-laki, kalau anak laki-laki ada 5 orang maka kepada semua anak laki-laki tersebut diberikan pembagian yang sama. Anak perempuan tidak berhak menerima warisan, dia hanya diberi bagian oleh saudarasaudaranya berdasarkan “kekelengen” (cinta kasih). Jadi dapat dikatakan bahwa yang menjadi ahli waris dalam masyarakat hukum adat Batak karo ialah dari pihak laki-laki dan anak perempuan tidak mendapat warisan dari peninggalan sang ayah. Bukan hanya anak perempuan saja yang tidak dapat harta warisan peninggalan sang ayah tetapi janda yang ditinggalkan oleh sang suaminya juga tidak dapat. Itu disebabkan karena pihak perempuan sama sekali tidak berhak mendapat harta warisan dari ayah atau suaminya. Oleh karena itu dalam masyarakat hukum adat batak karo ini laki-laki sangatlah dimuliakan dan perempuan tidak dianggap sama sekali, terutama istri karena mereka telah dibelikan dengan perkawinan jujur sehingga sang istri dibawah kekuasaan kerabat pihak suami. Dalam hukum waris Batak Karo dikenal istilah pewaris pengganti, yaitu bila seorang anak yang menjadi ahli waris meninggal dunia sebelum orangtuanya, maka tempatnya diganti oleh keturunannya, hingga cucu mendapat sebagian dari warisan neneknya atau kakeknya, yang sebenarnya menjadi hak dari orangtuanya yang telah meninggal itu. Tetapi lama kelamaan hukum adat masyarakat batak karo dalam hal pewarisan ini sedikit mengalami pergesaran karena ini dianggap tidak adil dan hanya berpihak kepada kaum laki-laki saja sedangkan pihak perempuan tidak, karena pihak perempuan itu hanya berperan sebagai sekedar menjadi ibu yang berfungsi sebagai wadah benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak untuk dilahirkan. Oleh karena itu anak yang dilahirkan tersebut bukan miliknya tetapi menjadi anak suaminya serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ikatan kekerabatan suami secara genealogis. BATAK MANDAILING Dalam hukum waris adat Mandailing akan dijelaskan hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta kekayaan materill dan non-materill dari generasi kegenerasi. Asas ahli waris utama dan pertama dari Batak Mandailing bahwasanya seperti masyarakat batak lainnya yang menganut paterineal hanya benar terhadap anak laki-laki (meskipun harta benda telah dibawakan kepada anak perempuan tidak boleh diabaikan). Dalam pewarisan dalam suku adat Mandailing bahwa hukum waris yang dipakai mencangkup 3 (tiga) yang diutamakan dalam adat Mandailing, yaitu (Imam Sudiyat. 1978): 1. Memakai hukum adat sebagai tombak pertama dalam menentukan waris. 2. Memakai hukum Islam, sebab dalam suku Mandailing sudah memeluk agama Islam, maka mereka memakai hukum Islam dalam pewarisan. 3. Memakai hukum konvensional/hukum nasional, sebab bila hukum adat dan hukum Islam tidak ingin dipakai maka mereka memakai hukum nasional. Dalam suku Mandailing mengenai waris cepat-lambatnya orang memakai kata sepakat dalam pembagian harta itu tergantung dari faktor ekonomis dan religio-magis. Seperti: · Putra-putra Mandailing yang ayahnya mencapai sukses didalam hidupnya, ingin secepat mungkin memiliki pembagian di dalam harta pencarian almarhum; dengan pemilikan itu mereka akan turut menikmati sukses yang terkandung di dalam harta tersebut sebagai kekuatan gaib; sebaliknya, lading-ladang warisan kakek leluhur mereka misalnya akan mereka biarkan tetap tak terbagi seumur hidup. Waris utama pada kekerabatan Paterilineal khususnya suku Mandailing maka dalam hal ini terasakah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan keluarga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut yang ingin mewarisi harta kepada keluarga.



Dalam pembagian warisan dalam suku mandailing yang memiliki waris di bagi atas 3 (tiga), yaitu (Imam Sudiyat. 1978): 1. Anak laki-laki tertua 2. Anak laki-laki termuda 3. Anak laki-laki sulung dan bungsu Hambatan dalam waris adat Mandailing adalah anak tidak mewarisi sari salah seorang di antara orang tertuanya yang instusional tetap tinggal dalam kerabatnya, sedangkan anak-anak tidak masuk di dalamnya. Dan suatu hambatan lain bagi anak di dalam terlaksana bersegi satu untuk mewarisi dari kedua orangtua, ialah bentuk perkawinan yang berakibat bahwa anak yang kawin dibebaskan dari panguyuban hidup kekerabatan. Contoh dimana anak perempuan dengan perkawinan keluar dari kerabat ayahnya, sehingga ia tidak dapat menuntut hak mawaris tanpa wasiat. Dan dalam Adat Mandailing yang sudah mengalami perubahan dikarenakan dalam adat tersebut sudah berbaur dengan agama. Sehingga dalam adat Mandailing hukum yang menetapkan dalam waris adalah memakai hukum Islam. Walaupun lebih banyak laki-laki yang mendapat waris seperti halnya hukum adat, namun dari pihak perempuan pun mendapat bagian dalam waris yang telah ditentukan dalam hukum Islam. Itulah sebabnya hukum adat mulai banyak dilupakan yang menyebabkan pergantian dalam adat Mandailing. BATAK NIAS Hukum Waris Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia dan diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Pada masyarakat Nias ketiga hukum tersebut berlaku. Secara hukum waris adat Nias, yang berhak memperoleh harta peninggalan yakni lakilaki karena suku Nias menganut sistem patrilineal. Masyarakat Nias mengenal beberapa jenis warisan yakni ; rumah pertapakan, alat-alat rumah tangga yang berharga, harta emas, kebun, tanah kosong atau lahan kosong yang belum ditanami, kedudukan dalam hukum adat dan hutangpiutang. Sedangkan, hukum waris Islam yang berlaku pada masyarakat Nias sama dengan hukum waris yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia yakni perolehan hak waris lebih diutamakan terhadap pihak laki-laki. Sedangkan Hukum waris perdata dalam hal ini diperoleh dari selesainya sengketa atau permasalahan hak waris di pengadilan, jadi pihak yang menang akan berhak atas warisan yang di persengketakan. 3.3.1.1. Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Nias dalam Memperoleh Harta Waris 1. Kedudukan sebagai anak kandung Kedudukan sebagai anak kandung pembagian warisan masih berpatok pada sistem patrilineal yakni anak laki-laki yang berhak mendapat warisan, namun sekarang sudah adanya perubahan pola pikir dari pemberi warisan bahwasanya perempuan juga memiliki hak yang sama. Hanya saja dalam perolehan hak waris tidak sebanding dengan pemberian terhadap lakilaki karena pemberian warisan terhadap pihak perempuan dalam hal ini merupakan pembagian warisan yang disebut masi-masi atau pemberian karena rasa sayang, pemberian tersebut biasanya sebidang tanah untuk membangun rumah maupun berupa perhiasan-perhiasan dengan syarat turut serta membantu orangtuanya mencari nafkah keluarga dengan bekerja di ladang, kebun dan melaksanakan pekerjaan rumah dengan baik. 2. Kedudukan sebagai Anak Angkat Pada masyarakat Nias anak angkat dibagi dua yakni ono yomo atau menantu laki-laki. Pengambilan anak angkat karena dalam keluarga tersebut hanya memiliki anak kandung yang perempuan sehingga jika anak perempuannya tersebut menikah, maka suami dari anak perempuannya akan dijadikan ono yomo yang memiliki hak atas warisan orangtua kandung si perempuan. Untuk menjadi ono yomo maka harus mengikuti persyaratan yakni marga orangtua si perempuan menjadi marganya.



Selain ono yomo istilah lain yakni ono nisou. Ono nisou biasanya ada karena suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka keluarga tersebut mengambil anak saudaranya. Dalam hal ini anak saudara yang diambil berasal dari pihak laki-laki bukan dari pihak perempuan dengan alasan sebagai penerus marga. Biasanya dalam pengangkatan ono nisou diadakan acara peneguhan secara adat dengan menyediakan babi, membayar emas sebesar 3 fanuloatau 30 gram untuk diberikan kepada pengetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu si anak) serta mengundang seluruh kerabat dan masyarakat yang berada di desanya



BATAK PAKPAK Secara keseluruhan, orang Pakpak menganut prinsip Patrilineal dalam memperhitungkan garis keturunan dan pembentukan klan (kelompok kekerabatan) yang disebut marga. Hal ini berimplikasi terhadap sistem pewarisan yang dominan diperuntukkan pada anak laki-laki saja. Sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tua. Alasannya karena saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut, harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Konsep atau pola yang digunakan sebagai acuan adat sopan santun dalam budaya Pakpak adalah : 1. Ego, yaitu seorang individu yang dijadikan sebagai pusat orientasi atau perhatian dalam melihat istilah kekerabatan. Ego biasanya adalah seseorang yang berkedudukan sebagai anak, ayah atau kakek. Dalam konteks kekerabatan Pakpak ego adalah seorang laki-laki. 2. Keluarga inti adalah kelompok kekerabatan terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. 3. Sinina adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari saudara sepupu, paman dan bibi pararel baik yang semarga (sebeltek) maupun yang tidak semarga (pemerre maupun sebe;tek inang) 4. Berru adalah kelompok kerabat pihak penerima gadis atau kelompok kerabat dari pihak saudara perempuan ego, atau kelompok kerabat dari anak perempuan ego. 5. Puang adalah kelompok kerabat pemberi gadis, atau kelompok kerabat dari pihak nenek, ibu atau istri dan istri anak laki-laki ego. Pemakaian istilah kekerabatan dapat dikategorikan menjadi sebutan dan sapaan. Sebutan artinya bagaimana seseorang menyebut kerabatnya bila dipertanyakan pada pihak ketiga. Sedang sapaan adalah bagaimana seseorang menyapa anggota kerabatnya bila bertemu atau memanggil saat bertatap muka.