Pembagian Jasa Pelayanan RS Era JKN [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pembagian Jasa Pelayanan Di Rumah Sakit Pada Era JKN : Fee For Services Atau Konversi ? Diskusi tentang layanan kesehatan JKN selalu menjadi sebuah perdebatan hangat jika sudah merambah ke ranah reward atau salary. Pro dan kontra selalu terjadi, perbedaan cara pandang dan konsep kerap mewarnai diskusi. Sebenarnya bagaimanakah sistem pembagian jasa pelayanan yang ideal di RS pada era JKN ini ? Bagaimana nasib dan masa depan sistem remunerasi jika dikaitkan dengan sistem layanan ala JKN di Indonesia saat ini ? Prinsip dasarnya sebenarnya adalah sistem pembagian jasa pelayanan itu hanya ada 2 yaitu dihitung berdasarkan pendapatan (bukan penerimaan) atau dihitung berdasarkan penerimaan. Apakah bedanya PENDAPATAN dan PENERIMAAN ? PENDAPATAN dari sisi akuntansi adalah pendapatan Rumah Sakit secara Accrual yang dihitung berdasarkan tarif rumah sakit yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (Perda, Pergub, Perwalkot atau Perbup). Berbicara pendapatan maka kita mengesampingkan besarnya klaim atau pembayaran klaim kepada BPJSK. Pendapatan akan diakui sebagai PENERIMAAN ketika nilai atau nominal rupiah sudah diterima oleh RS dari pembayaran klaim oleh BPJSK berdasarkan nilai klaim yang tercantum dalam berita acara klaim. Jadi apabila pendapatan berdasarkan accrual, maka penerimaan berdasarkan cash based. Dari dua terminologi keuangan ini muncul istilah TAGIHAN dan JAMINAN. Tagihan adalah jumlah nominal tagihan yang dihitung berdasarkan tarif rumah sakit sebagaimana tercantum dalam billing pasien, sedangkan Jaminan adalah jumlah nominal jaminan yang dihitung berdasarkan hasil grouping menggunakan aplikasi INA CBGs. Nilai jaminan akan menjadi dasar nilai klaim RS kepada BPJS Kesehatan. Mudah-mudahan tidak membingungkan, secara sederhana adalah PENDAPATAN itu berdasarkan nilai TAGIHAN sementara PENERIMAAN adalah berdasarkan nilai JAMINAN.



Karena ada perbedaan antara tarif rumah sakit dan tarif paket INA CBGs maka akan muncul satu istilah lagi yaitu SELISIH JAMINAN. Selisih Jaminan adalah perbedaan (deviasi) antara tarif rumah sakit dengan tarif paket INA CBGs atau secara gampangnya adalah selisih antara TAGIHAN dan JAMINAN atau selisih antara PENDAPATAN dengan PENERIMAAN. Nah selisih jaminan ini ada dua kemungkinan, yaitu SELISIH JAMINAN POSITIF (SJP) dan SELISIH JAMINAN NEGATIF (SJN). Selisih Jaminan Positif akan terjadi manakala tarif paket INA CBGs LEBIH BESAR dibandingkan dengan TOTAL BILLING pasien berdasarkan tarif Rumah Sakit. Sedangkan Selisih Jaminan Negatif akan terjadi ketika tarif paket INA CBGs LEBIH KECIL dibandingkan dengan TOTAL BILLING pasien berdasarkan tarif Rumah Sakit. Mengapa Total Billing ? Karena membandingkannya memang seperti itu. Tarif INA CBGs adalah tarif PAKET yang terdiri dari akomodasi, obat dan BHP, jasa sarana dan jasa pelayanan. Sedangkan tarif rumah sakit berdasarkan per jenis layanan, sehingga tidak bisa membandingkan tarif INA CBGs dengan per item jenis layanan, akan tetapi yang bisa dilakukan adalah menyandingkan tarif INA CBGs dengan Total Tagihan (Billing) pasien berdasarkan tarif rumah sakit. Pada titik ini banyak yang masih keliru memahami tarif INA CBGs yang dikira masih seperti tarif RS berdasarkan per jenis layanan. Muncullah istilah Fee For Services dan Package System. Fee For Services pada hakikatnya adalah berbasis pada tarif per jenis layanan dan ini lazim digunakan oleh seluruh rumah sakit dalam penetapan tarif mereka. Coba kita buka buku tarif sebuah Rumah Sakit, pasti akan muncul tarif pemeriksaan dokter, tarif visite dokter, tarif operasi besar, tarif pemeriksaan laboratorium, radiologi dan lain sebagainya. Itu artinya bahwa tarif rumah sakit berdasarkan per jenis layanan atau tindakan. Sedangkan Package System yang digunakan dalam sistem JKN adalah berdasarkan penggabungan antara jenis-jenis layanan tersebut ditambah biaya obat-obatan dan BHP menjadi SATU TARIF (Single Price) dalam sistem paket INA CBGs.



Adanya perbedaan sistem dan nilai tarif antara INA CBGs dengan tarif rumah sakit diatas memunculkan istilah KONVERSI. Menjelaskan konversi agak sulit dan berbelit, akan lebih baik menjelaskan konversi dengan contoh kasus. Nah sekarang kita melangkah pada sistem pembagian jasa pelayanan yang selalu menimbulkan polemik dan debat panjang juga seru. Sampai pada poin diatas, maka RS sudah memiliki dua nilai, yaitu nilai PENDAPATAN dan nilai PENERIMAAN. Tergantung kebijakan internal RS yang tentu saja harus merupakan kesepakatan dan persetujuan para pemberi layanan langsung (dokter, paramedis dan sebagainya), apakah mau membagi jasa pelayanan berdasarkan nilai PENDAPATAN atau berdasarkan nilai PENERIMAAN. Jika membagi jasa pelayanan berdasarkan jumlah pendapatan maka artinya berdasarkan tarif rumah sakit dengan mengesampingkan jumlah pembayaran klaim BPJSK. Namun apabila mau membagi berdasarkan jumlah penerimaan maka artinya berdasarkan jumlah pembayaran klaim dari BPJSK yang menggunakan tarif paket INA CBGs. Lha mana bisa membagi jasa pelayanan dari tarif INA CBGs ? Khan tarif INA CBGs itu sudah paket sementara tarif RS per jenis layanan ?? Nah disitulah perlunya proses konversi dari tarif paket INA CBGs menjadi tarif rumah sakit per jenis layanan. Artinya ada proses MEMECAH-MECAH tarif INA CBGs dari bentuk PAKET (gelondongan) menjadi per jenis layanan sebagaimana tarif rumah sakit lalu menghitung PROPORSI tiap-tiap jenis layanan tersebut. Kesimpulannya, tarif rumah sakit adalah berbasis pada per jenis item layanan atau tindakan sehingga menganut paham fee for services sehingga mekanisme distribusi jasa pelayanan nya pun menggunakan sistem fee for services juga dengan nilai yang tetap (fixed) berdasarkan ketentuan yang berlaku di rumah sakit. Sedangkan tarif CBGs adalah paket sehingga TIDAK BISA langsung dipergunakan untuk dasar membagi jasa pelayanan secara fee for services. Jika ingin membagi jasa pelayanan berdasarkan tarif paket CBGs maka pilihannya hanyalah dengan metode KONVERSI dari tarif PAKET CBGs menjadi tarif per item layanan rumah sakit. Belakangan mulai berkembang metode yang lebih fleksibel yaitu metode campuran (MIXED) antara metode fee for services dengan metode konversi. Secara singkat metode campuran ini yaitu metode fee for services dengan menghitung selisih jaminan positif (setelah konversi) dan besar selisih



jaminan ini akan didistribusikan lagi kepada para pemberi layanan langsung terutama dokter. Metode MIXED mulai berkembang dan dianggap sebagai sistem pembagian jasa yang paling ideal dan adil. A. METODE FEE FOR SERVICES Pembagian jasa pelayanan secara Fee For Services artinya adalah berdasarkan pada pendapatan rumah sakit yang dihitung dari tarif rumah sakit. Karena tarif rumah sakit memang sudah berbasis pada per jenis layanan, maka sangat mudah menggunakan sistem ini. Besaran jasa pelayanan bersifat tetap (fixed) untuk tiap jenis layanan berdasarkan ketentuan yang berlaku di rumah sakit tersebut. Sifat tetap (fixed) ini berlaku mutlak dan tanpa melihat besaran nilai jaminan atau pembayaran klaim dari BPJSK ke rumah sakit. Kemungkinan nilai jaminan lebih tinggi atau lebih rendah dari total tagihan berdasar tarif rumah sakit dikesampingkan. Intinya adalah para pemberi layanan mendapat jasa pelayanan tanpa melihat jenis pembayaran pasien, apakah pasien umum atau pasien jaminan asuransi semuanya diberlakukan sama yaitu menggunakan tarif rumah sakit. Artinya para pemberi layanan tidak perlu tahu apakah manajemen keuangan rumah sakit mendapat selisih jaminan positif atau negatif dari pembayaran klaim BPJSK. Apabila ternyata penerimaan total rumah sakit dari nilai jaminan dari pembayaran klaim BPJSK masih lebih rendah dibanding dengan pendapatan jika dihitung berdasar tarif rumah sakit, maka itu menjadi resiko internal manajemen rumah sakit karena akan menjadi subsidi rumah sakit. Kemampuan dan kecerdikan pimpinan rumah sakit sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi ini, perlu dilakukan analisa penyebabnya. Apakah terjadi over billing atau karena belum optimal nya koding yang menjadi penyebab dari timbulnya selisih jaminan negatif ini. Kondisi sebaliknya adalah jika ternyata penerimaan total rumah sakit lebih tinggi dari nilai jaminan dari pembayaran klaim oleh BPJSK, maka selisih jaminan positif tersebut akan menjadi pendapatan fungsional rumah sakit dan dimasukkan dalam pos jasa sarana untuk operasional dan maintenance serta untuk pengembangan rumah sakit. B. METODE KONVERSI (DIRECT PROPORSIONAL)



Metode Konversi atau proporsional langsung (direct proprotional) digunakan apabila rumah sakit akan menjadikan penerimaan jaminan dari pembayaran klaim oleh BPJSK sebagai sumber pembagian atau distribusi jasa pelayanan. Mengapa harus dilakukan konversi ? Karena pembayaran klaim dari BPJSK berdasarkan PAKET atau gelondongan. Sesuai dengan Permenkes nomor 28 tahun 2014, maka tarif CBGs adalah tarif paket yang terdiri dari komponen akomodasi, sarana, obat dan BHP serta jasa pelayanan. Besar proporsi jasa pelayanan setinggi-tingginya adalah sebesar 44 % (PMK 28 / 2014). Ada dua tahap pada metode ini yaitu : 1. Tahap pertama adalah SPLIT PRICE yaitu melakukan PEMECAHAN tarif CBGs yang paket (gelondongan) tersebut menjadi per jenis layanan. Darimana kita mengetahui komponen-komponen jenis layanan yang ikut ber-kontribusi ? tentu saja dari tarif rumah sakit. Nah inilah yang disebut dengan proses melakukan KONVERSI tersebut. Jadi tujuan melakukan KONVERSI adalah untuk melakukan SPLIT PRICE. 2. Tahap kedua adalah setelah dilakukan pemecahan per jenis layanan maka kita melakukan penghitungan proporsi untuk tiap jenis layanan. Proporsi dilakukan dengan menghitung prosentase kontribusi per jenis layanan dari tarif rumah sakit. Jumlah total prosentase per jenis layanan tersebut harus 100 %. Setelah mendapatkan proporsi masing-masing jenis layanan, maka selanjutnya kita menggunakan proporsi tersebut untuk menghitung nominal rupiah tarif paket CBGs yang sudah dipecah-pecah sebelumnya (split price). Setelah mendapatkan nominal rupiah per jenis layanan dari tarif paket CBGs tersebut, maka langkah selanjutnya adalah sama dengan fee for services yaitu melihat ketentuan distribusi jasa pelayanan nya. Berapakah untuk jasa sarana dan berapakah untuk jasa pelayanan nya sehingga diperolah besar nominal jasa pelayanan yang bisa didistribusikan kepada para pemberi jasa layanan. Dapat dilihat bahwa metode ini memberikan peluang dinamika perolehan jasa pelayanan yang diterima untuk setiap bulan nya. Bisa lebih tinggi atau lebih rendah jika dibandingkan



dengan perolehan jasa pelayanan yang dihitung berdasarkan tarif rumah sakit. Karena berubah-ubah maka tidak bisa disebut dengan fixed salary seperti hal nya metode fee for services. Pertanyaannya, apakah yang berubah-ubah hanya jasa pelayanan ? Jawabannya adalah tentu saja TIDAK. Karena semua item jenis layanan diproporsi, maka ketika nilai jaminan lebih rendah akan terjadi penurunan pada semua komponen termasuk akomodasi, sarana bahkan porsi obat dan BHP pun tentu akan lebih rendah daripada biaya rumah sakit untuk membeli obat dan BHP tersebut. Hal ini yang sering disalah artikan oleh para pemberi layanan yang mengira bahwa hanya jasa pelayanan saja yang turun padahal kenyataanya semua akan terkena imbas nya. Pun demikian jika nilai jaminan lebih tinggi daripada tarif rumah sakit, maka tidak hanya nominal jasa pelayanan yang meningkat namun semua komponen mendapatkan manfaat peningkatan nominal termasuk untuk sarana, akomodasi, obat dan BHP. Disinilah peluang rumah sakit untuk melakukan subsidi silang tergantung pada kepandaian dan kecerdasan pimpinan rumah sakit. Memang cukup rumit dan agak panjang penjelasannya tentang metode ini karena selama berpuluh-puluh tahun kita terbiasa dengan metode fee for services. Sebagian dokter menyukai metode ini, tapi sangat banyak juga yang tidak menginginkan metode ini. C. METODE CAMPURAN (MIXED) Secara prinsip dasar metode campuran atau mixed ini tetap menggunakan pendapatan (berdasar tarif rumah sakit) sebagai sumber untuk melakukan pembagian jasa pelayanan yang artinya menggunakan metode fee for services dan bersifat tetap atau fixed. Namun jika pada metode fee for services tidak memperhatikan jumlah penerimaan jaminan dari pembayaran klaim BPJSK apakah lebih besar atau lebih tinggi, maka pada metode campuran ini tetap memperhatikan besar penerimaan jaminan tersebut. Artinya bahwa harus dilakukan penghitungan terhadap besaran nilai SELISIH JAMINAN dari total pendapatan rumah sakit dan total penerimaan rumah sakit. Sekali lagi kita menekankan pada kata kunci TOTAL atau SELURUH (BRUTO) dan BUKAN pada per pasien. Nah menghitung selisih jaminan tersebut harus menggunakan metode konversi, makanya metode ini disebut dengan metode campuran atau mixed.



Untuk apa menghitung selisih jaminan ? Yaitu untuk menghitung jika terdapat SELISIH JAMINAN POSITIF (nilai jaminan lebih besar dari pada pendapatan), maka jumlah selisih jaminan tersebut khususnya untuk KOMPONEN JASA PELAYANAN akan dilakukan distribusi lagi kepada para pemberi layanan langsung (dokter) sebagai JASA PELAYANAN TAMBAHAN setelah dikurangi proporsi untuk jasa sarana berdasarkan ketentuan yang berlaku di rumah sakit tersebut. Jasa Pelayanan Tambahan tersebut diserahkan kepada Komite Profesi (Komite Medik) atau tim yang dibentuk oleh Komite Medik tersebut dengan mekanisme yang diatur dan disepakati secara internal oleh para dokter tersebut. Pemberian jasa pelayanan tambahan ini dilakukan setelah pembagian jasa pelayanan utama (fee for services) karena tentu memerlukan waktu untuk menghitung selisih jaminan tersebut. Jika biasanya di sebuah RS pembagian jasa pelayanan utama pada tanggal 15 atau tanggal 20 tiap bulan nya, maka pembagian jasa pelayanan tambahan bisa dilakukan pada akhir bulan (tanggal 30 atau 31). Andaikan terdapat kesepakatan di seluruh pegawai rumah sakit, bahwa selisih jaminan positif tersebut khususnya pada komponen jasa pelayanan TIDAK dibagikan menjadi jasa pelayanan tambahan namun akan dikumpulkan setiap bulannya dan akan dibagikan pada akhir tahun sebagai Bonus Akhir Tahun atau Jasa Produksi (meminjam istilah perusahaan swasta atau BUMN) dan sebagian dipergunakan untuk biaya kesejahteraan pegawai seperti family gathering, piknik dan sebagainya sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh pegawai. Termasuk juga jika ada sistem reward bagi pegawai terbaik tiap bulan bisa diambilkan dari alokasi dana ini. Bagi para dokter, adanya peluang mendapatkan jasa pelayanan tambahan yang bersumber dari selisih jaminan positif tersebut akan secara tidak langsung memotivasi mereka melakukan efisiensi dan cost containment terhadap biaya layanan rumah sakit. Tanpa ada paksaan atau instruksi dari pimpinan rumah sakit, maka secara sadar dan sukarela para dokter akan melakukan penghematan penggunan obat-obatan, BHP dan utiliasi penunjang rumah sakit seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi menjadi sangat efisien yang dilakukan hanya berdasar pada indikasi medis. Mengapa mau



dengan sukarela ? Ya…tentu saja karena para dokter sadar bahwa jika pelayanan mereka efektif maka akan menekan biaya rumah sakit sehingga terdapat selisih jaminan positif dan pada akhirnya akan mendapat manfaat yaitu memperoleh jasa pelayanan tambahan. Metode ini akan menjawab pertanyaan dokter selama ini, jika para dokter dituntut oleh manajemen rumah sakit untuk menghemat obat dan BHP, untuk efisien dalam pemeriksaan laboratorium, radilogi dan lain sebagainya….sebetulnya manfaat atau benefit apa yang diterima oleh para dokter tersebut andaikan mereka mengikuti instruksi pimpinan rumah sakit tersebut ? Ternyata inilah jawabannya, bahwa ketika mereka efisien dan hemat tanpa meninggalkan SOP atau Protap Medis maka benefit langsung nya adalah akan mendapatkan jasa pelayanan tambahan selain jasa pelayanan utama. Akan tercipta kondisi saling mengingatkan, para dokter spesialis akan mengingatkan para junior nya dokter jaga di IGD agar melakukan efisiensi utilisasi layanan rumah sakit. Budaya saling mengingatkan yang pada awalnya tercipta karena motivasi benefit tambahan maka akan secara tidak sadar akan menciptakan kendali biaya yang sangat efektif tanpa meninggalkan mutu layanan rumah sakit, artinya tercipta pelayanan standar (bukan sub standar) dengan tetap melakukan kendali biaya. Inilah mengapa metode mixed atau campuran ini dianggap metode paling ideal dan paling adil (fair). Bagaimana jika terjadi selisih jaminan negatif ? Ya…itu menjadi resiko beban subsidi karena jasa pelayanan utama diberikan berdasarkan tarif rumah sakit. Namun, secara pribadi saya punya keyakinan bahwa potensi untuk terjadi selisih jaminan negatif akan dapat ditekan semaksimal mungkin karena bagaimanapun secara manusiawi tentu saja para dokter ingin mendapatkan jasa pelayanan tambahan diluar jasa pelayanan utama. Tuntutan situasi ini akan mendorong seluruh komponen di rumah sakit untuk bahu membahu mencegah terjadinya selisih jaminan negatif dan malah akan memiliki motivasi mehasilkan selisih jaminn positif dengan cara memperbaiki kualitas diagnosa, diagnosa tindakan, catatan medik, resume medik dan laporan operasi disamping terus berupaya menekan biaya rumah sakit dengan melakukan efisiensi penggunaan obat, BHP dan utilisasi pemeriksaan penunjang. Semua komponen rumah sakit memiliki tujuan yang



sama yaitu akan secara sinergi berupaya semaksimal mungkin menciptaka selisih jaminan positif karena manfaat dari timbulnya selisih jaminan positif itu akan dirasakan secara bersama-sama. Demikian tiga metode pembagian jasa pelayanan di RS pada era JKN ini. Semua metode ada sisi kelebihan dan kekurangannya. Jika dianggap metode ketiga adalah yang paling ideal dan adil, maka silahkan memilih metode itu. Terkait sisi kelebihan dan kekurangan metode fee for service dan metode konversi dapat dibaca pada tulisan saya terdahulu di “Remunerasi RS Pemerintah di Era JKN“. Akhirul kata, pada akhir tulisan ini saya tetap berpendapat bahwa JKN ini tetap harus kita dukung, kita kawal dan kita kritisi secara cerdas dengan niat yang baik. Masih banyak sisi lemah dari program JKN ini, perihal yang terkait dengan tulisan ini tentu saja adalah persoalan besaran tarif CBGs yang masih belum ideal dan perlu dilakukan evaluasi juga revisi secepatnya. Saya tetap berharap bahwa perbaikan tarif CBGs bisa terlaksana bersamaan dengan naiknya versi CBGs (biasanya pada bulan April – Juni). Banyak sekali kelemahan-kelemahan tarif CBGs sebagaimana yang sudah pernah saya sampaikan pada tulisan-tulisan terdahulu. Kelemahan tarif CBGs ini secara tidak disadari akan mendorong layanan yang tidak sesuai standar, mungkin kendali biaya tercapai namun kendali mutu tidak akan tercapai. Ada persoalan yang juga harus mendesak dan harus secepatnya diselesaikan, yaitu terkait dengan obat-obatan dan BHP dengan terbitnya ketentuan baru tentang Fornas yang semakin banyak restriksi-restriksi nya. Persoalan obat dan BHP adalah lintas sektoral, tidak mungkin bisa diselesaikan oleh Kemenkes dan BPJSK saja namun ada sektor-sektor lain yang berperan dominan seperti LKPP terkait penetapan E-KATALOG yang sampai hari ini belum terbit E-KATALOG Tahun 2016 untuk obat-obatan dan BHP. InsyaAllah akan saya coba paparkan pada tulisan selanjutnya. Sekian. Salam Tri Muhammad Hani RSUD Bayu Asih Purwakarta Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta – Jawa Barat



Remunerasi Dan Jasa Pelayanan RS Pemerintah Di Era JKN Sebelum terbitnya UU 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, seringkali kita mendengar nada-nada “sumbang” dari pegawai yang bekerja di luar RS terhadap pegawai RS. Suara-suara minor tersebut menyatakan bahwa seharusnya pegawai RS tidak boleh mendapat apa-apa lagi selain gaji pegawai dikarenakan statusnya sama-sama PNS. Kenapa pegawai di SKPD/OPD lain hanya mendapat gaji PNS, tapi pegawai di RS selain mendapat gaji memperoleh juga Jasa Pelayanan? Namun sejak terbitnya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan jelas tertulis di Pasal 30 Ayat (1) tentang Hak Rumah Sakit pada huruf b yang berbunyi : “menerima imbalanJASA



PELAYANAN serta



menentukan REMUNERASI,



insentif,



dan



penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal inilah yang kemudian menjadi payung hukum legalitas pemberian jasa pelayanan. Sebelum terbitnya UU ini sebenarnya Mendagri sudah menerbitkan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentag PPK-BLUD yang pada Pasal 50 Ayat (1) menyebutkan bahwa : “Pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan REMUNERASI sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.” Begitupula dengan KMK Nomor 625 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Sistem Remunerai



pegawai



BLU



Rumah



Sait



disebutkan



bahwa



:



BLU



Rumah



Sakit WAJIBmenyusun dan menetapkan sistem REMUNERASI berdasarkan kerangka berpikir, prinsip-prinsip dan ketentuan dasar sebagaimana dalam pedoman ini, dengan menyesuaikan kondisi dan kemampuan keuangan masing-masing rumah sakit. Sehingga sudah sangat jelas bahwa pegawai di RS berhak untuk mendapatkan jasa pelayanan. Pengertian Remunerasi Banyak pihak berpendapat bahwa remunerasi itu identik dengan jasa pelayanan atau insentif, ini tentu suatu pendapat yang kurang tepat karena insentif yang berasal dari Jasa Pelayanan (JP) ini hanya merupakan salah satu komponen dalam sistem remunerasi yang jauh lebih luas dari sekedar insentif tersebut. Dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang PPK-BLUD Pasal 50 Ayat (2) : Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan imbalan kerja yang dapat



berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun. Pun demikian menurut KMK Nomor 625 Tahun 2010, pengertian Remunerasi adalah pengeluaran biaya oleh BLU Rumah Sakit, sebagai imbal jasa kepada pegawai, yang manfaatnya diterima pegawai dalam bentuk dan jenis komponen-komponen perhargaan dan perlindungan. Sehingga insentif hanya merupakan sebagian kecil dari sistem remunerasi yan luas. Berdasarkan pedoman pada KMK tersebut, maka komponen Remunerasi terbagi menjadi 3 yaitu : 1. Pay for Position (P1). Biasanya berupa gaji PNS, honorarium, tunjangan jabatan atau tunjangan fungsionalnya sesuai dengan ketentuan. Komponen P1 ini bersift tetap atau flat dalam setiap bulannya berdasarkan Job Grade. 2. Pay for Performance (P2). Komponen ini berupa insentif, bersifat tunai berupa pendapatan langsung bersumber dari Jasa Pelayanan yang diberikan rutin secara periodik dan besarannya tergantung pada pendapatan rumah sakit pada bulan tersebut. 3. Pay for People (P3). Diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan yang sifatnya individu, INSIDENTIL, berupa tunjangan lainnya seperti merit, bonus, THR, asuransi, santuan pensiun, santuan kematian dan mungkin (jika ada) remunerasi ke-13. Dari ketiga komponen diatas, maka yang sering ramai diperbincangkan adalah komponen ke-2 yaitu Pay for Performance (P2). Karena pada poin inilah diskursus tentang



nomenklatur



INSENTIF



atau



JASA



PELAYANAN



terjadi.



Insentif



menggambarkan sebuah kinerja individu atau dalam bahasa sederhananya adalah kontribusi pemberi pelayanan terhadap pendapatan rumah sakit. Karena P1 sudah jelas dan baku aturan pemberiannya serta P3 merupakan pendapatan tambahan yang bersifat insidentil dan individual, maka yang akan dibahas disini adalah kompone Pay for Performance (P2 ) saja. Insentif Dalam KMK Nomor 625 Tahun 2010, insentif ini termasuk dalam kategori Pay for Performance (P2) yang bersumber dari Jasa Pelayanan. Terdapat perbedaan mendasar mekanisme pembagian insentif antara RS vertikal milik Kemenkes yang



berdasarkan KMK Nomor 625 Tahun 2010 tersebut dengan RSUD milik pemerintah propinsi atau kabupaten/kota yang menggunakan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 sebagai acuan. Perbedaannya terletak pada : 1. Penyusunan indek performance yang dalam KMK tersebut membagi menjadi Indek Kinerja Individu (IKI) dan Indek Kinerja Unit (IKU), namun bagi RSUD berdasarkan ketentuan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 yang mengatur indikator penilaian berdasarkan indek dasar, indek kompetensi, indek resiko, indek emergensi, indek posisi dan indek kinerja. 2. Sesuai Kepmenkes diatas, maka tidak dikenal insentif langsung dan tidak langsung. Namun sebagian besar RSUD, meskipun tidak diatur dalam Permendagri tersebut menerapkan mekanisme pembagian insentif menjadi insentif langsung dan insentif tidak langsung. Dalam tulisan ini akan dikupas mekanisme pembagian insentif pada RSUD (milik Pemprov atau Pemkab/Pemkot) yang sudah menerapkan PPK-BLUD. Secara garis besar, terdapat 3 sistem pembagian insentif di RSUD yang sudah menerapkan PPKBLUD di era program JKN sekarang ini, yaitu : 1). Sistem Fee For Services; 2) Sistem Proporsional (Metode Konversi); dan 3). Sistem Flat. B.1. Fee For Services Sistem pembagian insentif secara fee for services bisa dijalankan jika pendapatan keseluruhan (Gross Income) rumah sakit terdapat selisih positif (surplus) antara pendapatan jika dihitung menggunakan tarif rumah sakit dengan jumlah pembayaran klaim dari BPJS. Metode pembagian secara fee for services ini menggunakan ketentuan pembagian jasa pelayanan berdasarkan tarif rumah sakit. Akan tetapi harus dilakukan perhitungan terlebih dahulu proporsi jasa pelayanan berdasarkan tarif RS secara keseluruhan. Jika proporsi jasa pelayanan tidak kurang dari 30% dan tidak melebihi dari 50% dari total pendapatan maka masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Menkes yaitu proporsi jasa pelayanan ditetapkan antara 30% – 50% dari jumlah keseluruhan pembayaran klaim dari BPJS. Dengan menggunakan metode ini maka akan sangat dirasakan subsidi silang insentif terhadap seorang pemberi jasa layanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit (Revenue Centre). Seorang Dokter X melakukan sebuah layanan dan ternyata memberi



kontribusi selisih negatif (defisit) terhadap rumah sakit antara pembayaran klaim BPJS dengan tarif RS, namun Dokter X tersebut juga berhasil menyumbang selisih positif (surplus) untuk jenis pelayanan yang lainnya. Maka terjadi subsidi silang menuju titik kesetimbangan (balance) yaitu jumlah insentif yang diterima dengan berdasarkan pada tarif rumah sakit, BUKAN berdasarkan jumlah pembayaran klaim BPJS. Metode ini tentu saja memiliki sisi kelebihan dan kekurangannya, yaitu : Kelebihan : 1. Dokter atau penyumbang pendapatan lainnya tidak merasakan adanya penurunan penerimaan jasa pelayanannya dengan adanya BPJS, sehingga tidak terjadi penolakan (resistensi) terhadap program JKN ini. 2. Prinsip fee for servicesdan no services no pay membuat kinerja dokter tidak menurun. 3. RS mendapat peningkatan pendapatan dari Jasa Sarana (JS) yang akan dialokasikan untuk biaya operasional dan pemeliharaan. 4. RS dapat mengembangkan pelayanan-pelayanan atau menambah jumlah TT dengan adanya “Surplus” Jasa Sarana tadi. Kekurangan : 1. Dokter yang memberikan kontribusi terhadap “selisih negatif (defisit)” tidak akan merasakan dampaknya karena tetap akan tersubsidi silang oleh dirinya sendiri pada pelayanan lainnya atau dari dokter lain yang memberikan kontribusi berupa “selisih positif (surplus)”. 2. Timbul “kecemburuan” sosial antara dokter yang sudah efisien melayani pasien dengan dokter yang masih “jor-joran” atau relatif “boros” dalam memberikan pelayanan karena tidak berpengaruh terhadap besaran insentif yang diterima sehingga seolah-olah tidak ada “sanksi” terhadap dokter yang “boros” tersebut. 3. RS tidak mampu menaikkan posisi tawar (bergaining position)kepada dokter / penghasil pendapatan lain yang cenderung in-efisien terhadap penggunaan sumber daya. 4. Prinsip kendali mutu dan kendali biaya tidak akan tercapai. Ilustrasi :



Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-. Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-. Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa Pelayanan adalah 47 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :



Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan pembayaran klaim BPJS seharusnya dokter X tersebut “hanya” menghasilkan JP sebesar Rp 560.000,-, namun RS tetap membagikan JP sebesar Rp 700.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS. Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi pendapatan kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun jumlah pembayaran dari BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi “surplus” sebesar Rp 250.000,-, dengan ketentuan yang sama maka dokter X tersebut



menghasilkan



Jasa



Pelayanan



(JP)



sebesar



:



Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa “seharusnya” JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut adalah Rp 1.292.500,-, (lebih besar dari JP yang dihitung dengan tarif RS), akan



tetapi RS tetap membagikan JP sebesar Rp 1.175.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS. Inilah yang disebut sistem Fee-For-Services, karena JP dihitung berdasarkan tarif RS dan “tidak peduli” berapapun nilai pembayaran klaim dari BPJS.



B.2. Proporsional (Konversi) Metode Proporsional atau Konversi bisa menjadi alternatif bagi RS yang pendapatan keseluruhannya terdapat selisih positif (surplus) ataupun bagi RS yang yang pendapatan keseluruhannya bervariasi setiap bulan, kadang terdapat selisih positif (surplus) dan kadang juga terjadi selisih negatif (defisit). RS yang pendapatan bruto-nya selalu “surplus”, tujuan menggunakan metode ini adalah untuk menghilangkan “kecemburuan” sosial dari dokter/penyumbang pendapatan yang sudah efisien menggunakan sumber daya dengan yang “boros” terhadap penggunaan sumber daya (obat-obatan, BHP, pemeriksaan penunjang dan sebagainya). Bagi RS yang pendapatan keseluruhannya bervariasi antar bulannya, maka tujuan penggunaan metode ini adalah menaikkan posisi tawar manajemen kepada dokter atau penyumbang pendapatan lainnya agar lebih efisien dalam menggunakan sumber daya, karena jika “boros” maka akan terkena “sanksi” yaitu insentif nya akan ikut turun juga sesuai dengan konversi yang dilakukan. Metode Proporsional dilakukan dengan cara mengkonversi komponen-komponen tarif berdasarkan proporsi yang sudah ditetapkan dalam tarif RS terhadap jumlah pembayaran klaim BPJS, sehingga akan terjadi KONVERSI POSITIF atau KONVERSI NEGATIF. Konversi Positif akan terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih besar dari total tarif RS untuk pelayanan yang diberikan. Sebaliknya, Konversi Negatif terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih kecil daripada total tarif RS. Metode ini juga memiliki sisi positif dan sisi negatif dalam pelaksanaannya, yaitu : Kelebihan : 1. Prinsip “untung dinikmati bersama, rugi ditanggung bersama” berlaku. 2. Dokter atau penyumbang pendapatan dituntut untuk berperan aktif dalam mengendalikan biaya terkait dengan penyerapan sumber daya yang ada di RS.



3. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan “bonus” Jasa Pelayanan (JP) lebih tinggi jika klaim yang dihasilkan lebih besar daripada tarif RS. 4. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan “hukuman” Jasa Pelayanan (JP) lebih rendah jika klaim yang dihasilkan lebih kecil daripada tarif RS. 5. Manajemen dapat “memaksa” dokter untuk melakukan cost containmentdan memberikan pelayanan secara efisien. 6. Sanksi secara “sistem” terjadi jika terdapat pemberi pelayanan yang menyerap sumber daya secara tidak efisien. Kekurangan : 1. Dokter atau penyumbang pendapatan akan protes kepada manajemen jika merasa penerimaan jasa pelayanannya turun meskipun harus diakui bahwa itu adalah akibat ke-tidak-efisiennya dalam memberikan pelayanan. 2. Prinsip adanya subsidi silang pribadikurang begitu dirasakan oleh Dokter atau penyumbang pendapatan. 3. Seluruh pegawai akan menanggung semua beban “penurunan” jasa pelayanan akibat dari perilaku satu atau dua orang dokter penyumbang pendapatan yang “boros”. 4. Manajemen mengalami kesulitan dalam hal kecukupan dana untuk operasional dan pemeliharaan. 5. Resiko adanya Obat dan BHP yang tidak “terbayarkan” secara penuh karena adanya konversi negatif sehingga RS akan “nombok” untuk belanja obat dan BHP. Ilustrasi : Menggunakan ilustrasi yang sama dengan metode fee for services agar mudah diperbandingkan. Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-. Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-. Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa Pelayanan adalah 47 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :



Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan tarif RS seharusnya dokter X tersebut bisa menghasilkan JP sebesar Rp 700.000,-, namun karena pembayaran dari klaim BPJS yang lebih rendah, maka terjadilan “hukuman” dimana JP yang dibagikan hanya sebesar Rp 560.000,- berdasarkan hasil konversi tarif RS ke jumlah pembayaran dari BPJS. Dan “sanksi” inipun tidak hanya menimpa dokter atau penyumbang pendapatan lainnya, namun juga berdampak “sistemik” kepada manajemen dan seluruh pegawai RS. Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi pendapatan kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun jumlah pembayaran dari BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi “surplus” sebesar Rp 250.000,- dengan ketentuan yang sama, maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan (JP) sebesar :



Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa “seharusnya” JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut berdaarkan tarif RS adalah “hanya” sebesar Rp 1.175.000,-, akan tetapi RS memberikan “hadiah” atau “bonus” kepada dokter dan seluruh pegawai RS berupa besaran JP yang dibagikan adalah Rp 1.292.000,- karena keberhasilan melakukan efisiensi sehingga nilai pembayaran klaim dari BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan tarif RS.



Inilah yang disebut sistem proporsional dengan metode konversi, karena JP dihitung berdasarkan konversi positif atau konversi negatif tarif RS terhadap nilai pembayaran klaim dari BPJS. Terlihat bahwa prinsip “susah senang tetap bersama, untung dinikmati bersama dan rugi ditanggung bersama”. B.3. Flat (Fixed Proportional) Bagi RS yang pendapatan bruto-nya dari pembayaran klaim oleh BPJS selalu lebih rendahdibandingkan dengan potensi pendapatan RS jika dihitung menggunakan tarif RS, maka sangat direkomendasikan untuk menggunakan sistem flat ini sambil terus melakukan upaya efisiensi dan mengoptimalkan koding tanpa melanggar batas-batas aturan yang menjurus ke arah tindakan FRAUD. Penyebab rendahnya pendapatan total RS ini diakibatkan dari faktor internal dan faktor eksternal. Secara umum, persoalan besaran tarif INA CBGs yang “relatif” masih rendah dibandingkan dengan tarif RS menjadi faktor penyebab eksternal yang sangat dominan. Faktor penyebab internal ada dua, yaitu : 1). Tingginya hospital bill dikarenakan penggunaan sumber daya (obat, BHP, Pemeriksaan Penunjang dan sebagainya) yang tidak efisien; dan 2). Belum optimalnya coding dan grouping yang dilakukan dikarenakan rendahnya kualitas penulisan medical record (resume medis dan laporan operasi), kurang cermat dalam memilih diagnosa dan prosedur tindakan serta ketidaktelitian dalam menulis tindakan atau prosedur yang dilakukan di dalam catatan medik (RM). Persoalan eksternal yaitu masih belum “real price” nya INA CBGs merupakan “keluhan nasional” dan terus diupayakan untuk mengusulkan evaluasi serta revisi terhadap besaran tarif INA CBGs. Sehingga yang bisa dilakukan oleh manajemen adalah memecahkan persoalan internal dengan cara melakukan Utilisasi Review (UR) untuk mengetahui kasus-kasus yang “merugikan” RS secara besar, melakukan cost containment, efisiensi penggunaan sumber daya serta perbaikan mutu rekam medis. Metode flat adalah metode penetapan prosentase tetap (Fixed Proprotional) oleh Direktur RS terhadap 3 komponen tarif yang utama, yaitu : Biaya Obat dan BHP, Jasa Sarana dan Jasa Pelayanan. Langkah pertama adalah dengan menghitung rata-rata biaya obatobatan dan BHP dalam tarif RS (Hospital Bill). Kenapa harus obat dan BHP ? Karena obat dan BHP merupakan komponen yang sudah terukur dengan jelas dan menjadi beban RS harus “membayar” tagihan obat dan BHP kepada penyedia (distributor).



Sehingga pemenuhan alokasi dana untuk membayar “hutang obat dan BHP” RS harus menjadi prioritas pertama selain Jasa Sarana yang menjadi prioritas kedua dan baru kemudian Jasa Pelayanan (JP) sebagai prioritas terakhir. Langkah ini memang berat dan sangat tidak nyaman karena sangat berpotensi menimbulkan “protes” dari dokter atau penyumbang pendapatan lainnya yang berujung pada penurunan kinerja mereka dan pada akhirnya akan makin menurunkan pendapatan total RS. Direktur mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang porsentase (proporsi) pembagian dana dari pembayaran klaim BPJS. Sebagai contoh, misalkan direktur berdasarkan hasil olah data rata-rata proporsi penggunaan obat dan BHP terhadap tarif total RS adalah sebesar 25 %, maka 75 % sisanya harus ditetapkan berapa porsi untuk Jasa Sarana (JS) dan untuk Jasa Pelayanan (JP). Dikarenakan ada ketentuan dari Menkes bahwa proporsi JP adalah tidak boleh kurang dari 30 % dan tidak boleh lebih dari 50 %, maka direktur RS bisa menetapkan terlebih dahulu proporsi untuk JP misal ditetapkan sebesar 35 % sebagai JP (diambil prosentasi mendekati batas minimal) sehingga sisanya sebesar 40 % adalah merupakan Jasa Sarana. Perlu dipahami bahwa resiko “ketidakcukupan” alokasi dana untuk membayar hutang obat dan BHP ke penyedia sangat mungkin terjadi karena angka yang didapat adalah angka rata-rata (average) sehingga direktur harus melakukan evaluasi minimal setiap 3 bulan dan sangat mungkin akan ada perubahan proporsi untuk Obat dan BHP dengan menggunakan kaidah statistik misalkan error margin sebesar 5 %. Jadi proporsi obat dan BHP bisa berubah menjadi 30 % dan berdampak ada penurunan proporsi JS dan JP yang masing-masing diturunkan sebesar 2,5 % (JS menjadi 37,5 % dan JP menjadi 32,5 %). Ilustrasi : Direktur RS B menetapkan melalui SK Direktur, prosentase tetap (Fixed Proportion) untuk pembagian dana dari pembayaran klaim BPJS adalah sebagai berikut : Jasa Sarana 40 %, Jasa Pelayanan 35 % dan Biaya Obat dan BHP sebesar 25 %. Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-. Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif



(defisit) sebesar Rp 300.000,-. Berdasarkan SK Direktur RS Y, proporsi Jasa Sarana (JS) adalah 40 %, Jasa Pelayanan (JP) adalah 35 % dan biaya obat dan BHP adalah 25 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :



Dari ilustrasi tabel diatas kita dapat melihat begitu signifikan-nya penurunan Jasa Pelayanan (JP) dari seharusnya RP 712.500,- (Proporsi 35 % + 12,5 % dari alokasi Obat dan BHP yang belum terproporsi pada tarif RS) menjadi “hanya” Rp 420.000,- (Proposri JP tinggal 35 % sesuai SK Direktur RS Y). Akan timbul pertanyaan, mengapa pada tarif RS tidak ada proporsi obat dan BHP secara jelas ? Kita bisa melihat dalam 2 metode sebelumnya memang selalu tidak muncul proporsi obat dan BHP karena alokasi biaya untuk pembayaran obat dan BHP dimasukkan ke dalam komponen Jasa Sarana (JS). Namun didalam metode flat ini, komponen proporsi obat dan BHP dituliskan secara jelas karena merupakan komponen prioritas, sehingga pada metode ini ketika dihitung dengan tarif RS, obat dan BHP “seolah-olah” menjadi satu ke dalam JS (Rp 787.500,-), namun ketika dihitung berdasarkan jumlah pembayaran klaim dari BPJS, maka komponen obat dan BHP ini dipisah sehingga memiliki proporsi yang jelas dan tetap. Kesimpulan Sebagai penutup dari tulisan ini, sebuah pertanyaan menarik adalah “Benarkah RS yang kerjasama dengan BPJS rugi ?”. Saya mencoba mengangkat data pada medio 2014 ketika JKN baru berjalan sekitar 4 bulan dan BELUM ada perubahan tarif INA CBGs. Pada 1 April 2014, Kemenkes merilis data bahwa sejak diberlakukannya Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga saat ini berjalan selama tiga bulan, hanya 11



Rumah Sakit (RS) atau sekitar 3 % yang mengalami kerugian dalam melayani peserta JKN. Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional V Jawa Barat menyampaikan data pada awal Maret bahwa 8 dari 9 RS yang bekerjasama dengan BPJS mendapatkan keuntungan sekitar 30 % sisa revenue. RS yang merugi itu sangat mungkin adalah RS Privat atau Swasta, sedangkan untuk RS Pemerintah belum ditemukan laporan adanya RS Pemerintah yang merugi dalam melayani peserta BPJS. Memang seringkali yang selalu diangkat adalah case by case dan biasanya yang di “blow up” adalah kasus yang merugi. Namun ketika membuka neraca keuangan RS dan melihat pendapatan total RS secara keseluruhan ternyata RS tidak mengalami kerugian karena adanya mekanisme subsidi silang. Beberapa RS malah berhasil membukukan “laba” yang cukup signifikan. Bagaimana dengan RS Privat ? Saya kurang tahu pasti, namun jika membaca paparan direktur RSIA Annisa Tangerang, RS Al Islam Bandung, RS Islam Samarinda dan RS Nur Hidayah Bantul maka kemungkinan RS Privat mendapatkan “profit margin” dalam melayani peserta BPJS masih terbuka lebar. Tarif INA CBGs wajib dievaluasi dan harus direvisi, saya selalu mengatakan bahwa ada beberapa komponen pelayanan RS yang belum “matching” dengan tarif INA CBGs seperti pelayanan-pelayanan di ruang rawat “critical care” seperti ICU, CICU, PICU dan NICU yang menyerap “resources” tinggi namun diberlakukan sebagai 1 episode perawatan dengan ruang rawatan biasa. Hal ini tentu akan menimbulkan persoalan “imbalance” antara penggunaan sumber daya dengan penggantian biaya oleh BPJS. Namun, tidak bijakssana juga selalu menganggap bahwa melayani peserta BPJS maka RS pasti merugi. Memang ada RS yang merugi namun data berbicara bahwa masih banyak juga RS yang mendapatkan “laba”. Nah ketika RS sudah berhasil mendapatkan keuntungan berdasarkan pendapatan total RS, maka pilihan untuk membagi insentif dari Jasa Pelayanan ada beberapa alternatif yang bisa diambil. Semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perlu pertimbangan jajaran direksi RS dalam memilih metode yang akan dipergunakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi serta kearifan budaya lokal. Tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah cuplikan tulisan seorang dokter orthopedi yang luar biasa dalam sebuah tulisannya : “…………. tapi saya bisa melakukan subsidi



silang sendiri, karena beberapa operasi yang tidak membutuhkan pemasangan implan mahal bisa menghasilkan klaim yang lumayan besar”. Luar biasa makna tulisan ini, semoga kita menjadi mahluk Allah yang pandai syukur nikmat dan bukan selalu kuffur nikmat. Amien YRA. Sekian, Tri Muhammad Hani RSUD Bayu Asih Purwakarta Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta – Jawa Barat