Pemberian Kompensasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEADILAN DALAM PEMBERIAN KOMPENSASI Pada dasarnya sistem kompensasi tidak dapat ditetapkan secara absolute, oleh karenanya sistem kompensasi untuk masing-masing individu harus dibuat “relatif” terhadap kompensasi yang diterima oleh orang lain. Hal ini, agar mudah dalam mengendalikan dan juga karena karyawan seringkali membandingkan kompensasi yang diterimanya dengan kompensasi yang diterima karyawan lain (Noe, et al., 2000). Pada umumnya karyawan ingin diperlakukan secara adil dalam pemberian kompensasi. Dalam hal ini ada beberapa teori berkaitan dengan keadilan, yaitu teori keadilan, teori pengharapan, dan teori penguatan (Anthony, Kacmar, dan Perrewe, 2002). 1. Teori Keadilan (Equity Theory) Keadilan adalah keseimbangan antara inputs yang diberikan seorang ke dalam pekerjaannya dengan outcomes yang diterima oleh karyawan yang bersangkutan dari hasil melaksanakan pekerjaannya tersebut (Fisher, et al., 1990). Yang termasuk dalam inputs adalah pengalaman, pendidikan, keahlian khusus, usaha, dan waktu yang digunakan dalam bekerja. Sedangkan outcomes meliputi upah, tunjangan, keberhasilan, pengakuan/penghargaan, dan berbagai bentuk penghargaan lain. Teori keadilan menyatakan bahwa karyawan akan menilai hubungan antara outcomes yang diperoleh dari melaksanakan pekerjaan dengan inputs yang mereka berikan kepada perusahaan. Rasio antara outcomes dan inputs tersebut kemudian dibandingkan dengan rasio yang sama pada orang lain. Jika dari pembandingan tersebut karyawan merasa ada ketidakadilan, maka akan menghasilkan ketidakpuasan. Ketidakpuasan tersebut memotivasi karyawan untuk menurunkan ketidakadilan dengan:  menaikkan outcome, atau  menurunkan input (secara kognitif atau secara fisik), atau  mengubah perbandingan dengan cara tertentu sehingga rasionya lebih seimbang. Karyawan yang ingin outcomes nya naik, maka dapat mengajukan kenaikan kompensasi atau promosi, atau mengajukan pengakuan yang lebih baik. Atau cara lain adalah dengan menurunkan inputs dengan menggunakan mekanisme kognitif, seperti penurunan grade level keahlian atau jumlah pengalaman, atau tidak bekerja keras. Berbagai studi menunjukkan karyawan yang percaya bahwa mereka dibayar relatif terlalu rendah dibanding yang diterima oleh orang lain atau yang seharusnya mereka terima maka dapat menjadi tidak puas. Ketidakpuasan tersebut dapat menyebabkan mereka mencari majikan baru, atau menjadi kurang produktif, atau menjadi sering tidak hadir. Sebagai gambaran, seorang polisi yang merasa bahwa dirinya mengeluarkan usaha lebih banyak pada kegiatan-kegiatan yang mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan yang dikeluarkan oleh petugas pemadam kebakaran pada suatu komunitas yang sama tetapi memperoleh tingkat pendapatan yang sama, maka dia akan menebus persepsi ketidakadilan tersebut dengan kemungkinan tindakan, yaitu (1) dia mungkin akan mengurangi input/usaha nya (misal, tidak bekerja keras); (2) atau mungkin dia berusaha meningkatkan pendapatannya (misal, melalui korupsi); atau (3) dia akan meninggalkan kondisi yang menyebabkan ketidakadilan (misal, keluar dari organisasi atau tidak mau bekerja sama dengan karyawan yang dinilai memperoleh penghasilan yang berlebihan). Keadilan dibedakan dalam tiga jenis: keadilan internal, eksternal, dan individual (Fisher et al., 1990). Keadilan internal mengacu pada hubungan antarjabatan/pekerjaan dalam suatu organisasi. Contoh, pada umumnya karyawan memiliki persepsi bahwa direktur perusahaan



mendapat penghasilan lebih besar daripada wakil direktur. Wakil direktur memperoleh gaji lebih besar dibanding manajer pabrik, dan seterusnya. Dalam keadilan internal ini diasumsikan bahwa, kompensasi berhubungan dengan level pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar ketika seseorang yang berada pada suatu struktur jabatan yang tinggi dalam organisasi memperoleh penghasilan lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang berada pada level di bawahnya, karena mereka dituntut untuk memiliki pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang lebih tinggi. Dikatakan terdapat keadilan internal apabila perbedaan upah di antara jabatan di dalam organisasi dianggap fair. Karyawan, pada umumnya akan membuat pembandingan kompensasi dengan level jabatan yang lebih rendah, sama, dan lebih tinggi. Hasil pembandingan tersebut akan mempengaruhi sikap umum karyawan, seperti kesediaan dipindah ke jabatan lain di dalam organisasi, kesediaan menerima promosi, kesediaan bekerja sama lintas jabatan, dan komitmen terhadap organisasi. Keadilan eksternal mengacu pada pembandingan antar jabatan/pekerjaan yang serupa/mirip pada organisasi yang berbeda. Fokusnya pada apakah karyawan pada organisasi lain tersebut diberi kompensasi yang sama untuk melakukan pekerjaan yang umumnya relatif sama. Hasil dari pembandingan ini akan mempengaruhi keputusan pelamar untuk menerima pekerjaan yang ditawarkan organisasi, atau akan mempengaruhi sikap dan keputusan karyawan tentang apakah akan tetap bekerja dalam organisasi yang bersangkutan atau pindah ke tempat lain. Keadilan individu mengacu pada pembandingan di antara individu dalam jabatan/pekerjaan yang sama pada organisasi yang sama. Contoh, gaji untuk jabatan sekretaris pada satu perusahaan. Setelah mengadakan pembandingan baik secara internal maupun eksternal, ditentukan (misal) gaji untuk semua sekretaris dalam suatu perusahaan antara Rp12.000.000,- dan Rp16.000.000,- per bulan. Pada umumnya, yang menjadi masalah pada keadilan internal adalah menentukan tingkat upah masing-masing sekretaris. Apakah didasarkan pada senioritas atau pada kinerja. Kalau didasarkan pada senioritas, nilai apa saja yang menjadi dasar pertimbangan pada setiap penambahan tahun pengabdian. Sebaliknya, kalau didasarkan pada kinerja bagaimana mengukur kinerja sekretaris tersebut. Bagaimana menerjemahkan perbedaan kinerja ke dalam perbedaan kompensasi. Dengan demikian, persepsi keadilan karyawan merupakan pertimbangan penting baik dalam merancang maupun mengadministrasikan sistem penghargaan. 2. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) Teori ini menyatakan bahwa perilaku karyawan merupakan fungsi dari outcome yang diterima dari pelaksanaan pekerjaan tertentu dan nilai dari outcome tersebut bagi individu yang bersangkutan. Secara prinsip teori pengharapan ini memiliki tiga konsep kunci, yaitu: (a) pengharapan outcome-kinerja, (2) nilai/attractiveness, dan (3) pengharapan kinerja-usaha. Pertama, pengharapan outcome-kinerja secara sederhana berarti seseorang percaya bahwa setiap perilaku dikaitkan dengan outcome dan level perilaku yang berbeda-beda dikaitkan dengan level outcome yang berbeda-beda juga. Kedua, nilai outcome adalah berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Untuk outcome tertentu mungkin dinilai sebagai penghargaan yang sangat tinggi oleh sesorang tetapi dipandang rendah oleh orang lain, bahkan dipandang sebagai hukuman. Terakhir, pengharapan kinerja-usaha adalah seseorang bertanya mampukah dia berkinerja dengan baik sesuai dengan level yang ditentukan sehingga dapat mecapai penghargaan yang dijanjikan. Kalau dia merasa mampu, maka akan memilih berperilaku yang memiliki kemungkinan tertinggi untuk berhasil agar mendapatkan pengharagaan yang bernilai baginya tersebut.



Menurut Anthony, Kacmar, dan Perrewe (2002), ketika perusahaan mendesain sistem kompensasi dengan menggunakan teori pengharapan maka harus mengikuti beberapa paduan berikut: a. Buatlah hubungan yang jelas antara kinerja dengan outcome. b. Kembangkan sistem penghargaan yang fleksibel yang menyediakan berbagai variasi outcome yang memiliki potensi menarik. c. Tentukan penghargaan apa yang dinilai oleh karyawan. d. Pastikan bahwa karyawan telah dilatih dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan/jabatan dengan sukses. 3. Teori Penguatan (Reinforcement Theory) Teori ini menjelaskan perilaku individu sebagai respon terhadap stimulus di suatu lingkungan. Prinsipnya teori ini menyatakan bahwa perilaku yang diberi penguatan positif (diberi penghargaan) cenderung untuk diulang pada situasi yang sama dan perilaku yang diberi hukuman cenderung tidak akan diulang dalam situasi yang serupa. Penghargaan merupakan penguat positif yang memperkuat hubungan antara situasi dengan perilaku. Penghargaan tersebut dapat mulai dari yang halus, sehalus tepukan di punggung bawahan atau seulas senyuman atasan hingga yang nyata kelihatan seperti bonus atas mobil pejabat. Sekali lagi yang perlu diperhatikan dalam penerapan teori pengharapan dan penguatan ini adalah penghargaan dikaitkan dengan dorongan berperilaku karyawan, yaitu dengan diberi penghargaan maka perilaku tersebut akan diulang kembali oleh karyawan. Sebagaimana dalam teori pengharapan, manajer harus yakin bahwa penghargaan diberikan tepat pada waktunya ketika perilaku muncul sehingga karyawan tersebut akan (1) mengaitkan antara perilaku dengan outcome, (2) mengulang perilaku yang diharapkan perusahaan tersebut pada waktu mendatang.



D. KOMPENSASI DASAR Kompensasi dasar adalah pendapatan yang diterima karyawan sebagai imbalan atas pekerjaannya yang dapat didasarkan atas jam kerja, mingguan, atau bulanan. Pada umumnya, kompensasi dasar ini digunakan karyawan sebagai landasan untuk menilai terhadap kelayakan dan keadilan sistem kompensasi suatu organisasi. Jika karyawan menilai bahwa mereka diberi kompensasi secara tidak adil dan tidak wajar maka berbagai kemungkinan negatif akan muncul, seperti kemalasan bekerja, kemangkiran, pemogokan, keluar perusahaan atau pindah ke perusahaan lain. Sistem kompensasi dasar juga seringkali mencerminkan iklim keseluruhan organisasi. Jika sistem kompensasi dasar telah dipandang adil dan wajar maka organisasi secara keseluruhan juga demikian dianggapnya. Tujuan utama dari sistem kompensasi dasar adalah untuk mengadakan suatu struktur kompensasi yang adil dan wajar didasarkan pada pekerjaan dan tingkat kinerja pekerjaan yang bersangkutan. Namun demikian, untuk mencapai tujuan ini tidaklah mudah. Oleh karena itu, Byars dan Rue (1997) memberi panduan kepada para manajer bahwa sebelum membuat sistem kompensasi dasar perlu dijawab beberapa pertanyaan kebijaksanaan sebagai berikut. 1. Berapa tarif upah terendah yang bisa ditawarkan untuk suatu jabatan yang dapat memikat karyawan berkualitas berhasrat menjadi anggota organisasi? 2. Berapa tarif upah yang harus ditawarkan kepada karyawan untuk memastikan bahwa mereka akan tetap tinggal bersama organisasi?



3. Apakah organisasi berkeinginan untuk mengakui senioritas dan kinerja pengabdian melalui pengaturan upah dasar? 4. Apakah itu kebijakan ataukah keperluan menawarkan lebih dari satu tarif upah kepada karyawan yang melaksanakan pekerjaan yang identik atau serupa? 5. Apa yang dipertimbangkan agar ada perbedaan yang layak pada tarif upah dasar diantara jabatan yang mensyaratkan berbagai level pengetahuan, keahlian, dan tanggung jawab? 6. Apakah organisasi berkeinginan untuk memberikan pengakuan terhadap kondisi kerja yang berbahaya dan penuh stres dalam pengaturan upah dasar? 7. Haruskah ada perbedaan dalam peluang pertumbuhan upah dasar diantara pekerjaan dari berbagai harga? 8. Apakah karyawan memiliki peluang yang signifikan ke level jabatan yang lebih tinggi? Jika ya, harus seperti apa hubungan antara promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan perubahan dalam upah dasarnya? 9. Apakah kebijakan dan regulasi akan mengijinkan karyawan untuk memperoleh tarif upah yang lebih tinggi dari tarif maksimum yang ada atau memperoleh yang lebih rendah dari tarif minimum yang ada? Seperti apakah alasan untuk mengijinkan penyimpangan semacam itu? l0. Bagaimanakah struktur upah akan mengakomodasi semua orang, biaya hidup, atau penyesuaian lainnya yang tidak ada kaitannya dengan masa jabatan, kinerja, atau tanggung jawab dan perubahan-perubahan tugas? Sistem kompensasi dasar adalah membuat tingkat upah untuk pekerjaan/jabatan tertentu didasarkan pada nilai relatif pekerjaan/jabatan tersebut terhadap seluruh jabatan dalam organisasi. Dalam pembuatan rentang upah tersebut mencakup: pertama, menentukan nilai relatif antara jabatan yang satu dengan jabatan yang lain dalam satu organisasi (keadilan internal). Kedua, menentukan nilai relatif antara jabatan yang sama/serupa dalam organisasi yang berbeda (keadilan eksternal). Dan ketiga, menentukan nilai relatif antara individu yang satu dengan lainnya dalam jabatan yang sama (keadilan individu). 1. Mengadakan Keadilan Internal melalui Evaluasi Jabatan Evaluasi jabatan merupakan cara sistematis menentukan nilai setiap jabatan dalam kaitannya dengan jabatan lain dalam suatu organisasi. Menurut Ivancevich (1992), evaluasi jabatan adalah proses formal yang dengan proses tersebut nilai relatif dari berbagai macam jabatan ditentukan untuk tujuan pengupahan. Pada prinsipnya, evaluasi jabatan berusaha untuk menghubungkan jumlah pendapatan karyawan dengan tingkat sejauhmana jabatannya itu berkontribusi terhadap keefektifan organisasi. Proses tersebut digunakan untuk merancang struktur pengupahan bukan untuk menilai kinerja karyawan yang memegang jabatan. Ide dasar evaluasi jabatan adalah menghitung persyaratan suatu jabatan dan kontribusi jabatan tersebut terhadap organisasi. Kemudian, mengklasifikasi sesuai dengan pentingnya jabatan tersebut. Contoh, sebuah desain jabatan ahli rancang bangun akan mencakup persyaratan yang lebih komplek dan potensi kontribusi yang lebih besar daripada jabatan assembling produk. Walaupun kedua-duanya penting suatu determinasi harus dibuat berkaitan dengan nilai relatif dari setiap jabatan tersebut. Bagaimana caranya? Untuk itu, diperlukan suatu proxies (pendekatan pengukuran). Proxies tersebut mencakup keahlian (skilll) yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, jumlah dan signifikansi tanggung jawab yang terlibat, usaha yang diperlukan, dan kondisi kerja (Ivancevich, 1992). Secara umum, proses evaluasi jabatan dimulai, dengan mengumpulkan informasi dari jabatan yang sedang dievaluasi. Biasanya, informasi diperoleh dari deskripsi jabatan yang ada pada saat ini. Jika deskripsi tersebut tidak ada, perlu dilakukan analisis jabatan dan



menciptakan deskripsi jabatan yang terbaru. Proses berikutnya, adalah mengidentifikasi faktor atau faktor-faktor yang akan digunakan dalam penentuan nilai dari jabatan yang berbeda-beda bagi organisasi. Beberapa faktor yang sering digunakan adalah pengetahuan, keahlian, usaha, tanggung jawab, dan kondisi kerja. Proses evaluasi jabatan juga melibatkan pengembangan dan pengimplementasian program yang digunakan untuk memilih faktor-faktor untuk mengevaluasi nilai relatif dari jabatan yang berbeda-beda bagi organisasi. Program tersebut secara konsisten harus menempatkan jabatan-jabatan yang memerlukan faktor-faktor yang lebih banyak pada tingkatan yang lebih tinggi dalam hierarki jabatan dibanding dengan jabatan-jabatan yang memerlukan faktor yang lebih sedikit. Pada umumnya, program evaluasi jabatan konvensional merupakan variasi atau kombinasi dari empat metode dasar, yaitu ranking jabatan, klasifikasi jabatan, poin (point), dan perbandingan faktor. a. Metode Meranking Jabatan Ini merupakan teknik evaluasi yang sederhana, tertua, dan kurang sering digunakan oleh organisasi (kecuali organisasi kecil dan sederhana). Dalam metode ini, petugas evaluasi meranking jabatan dari yang paling sederhana kepada yang paling sulit. Kadang-kadang proses ini dijalankan dengan menyediakan kartu informasi mengenai pekerjaan kepada petugas evaluasi. Selanjutnya petugas evaluasi mengurutkan kartu tersebut menurut pentingnya suatu posisi. Metode ini hanya menghasilkan urutan jabatan dan tidak menunjukkan derajat perbedaan relatif antar jabatan. Contoh, suatu jabatan yang memperoleh ranking empat tidak mesti dua kali lebih sulit daripada jabatan yang memperoleh ranking dua. b. Metode Klasifikasi Jabatan Metode ini mengelompokkan seperangkat (satu set) jabatan bersama-sama dalam satu kelas atau klasifikasi. Selanjutnya satu set jabatan tersebut diranking menurut tingkat kesulitan atau kerumitannya. Dapat juga satu kelas jabatan tersebut didefinisikan pada basis perbedaan tugas, tanggung jawab, keahlian, kondisi kerja dan faktor lain yang berkaitan dengan jabatan tersebut. Selanjutnya, ditentukan nilai relatif dari suatu jabatan dengan membandingkan deskripsinya dengan deskripsi tiap-tiap kelas dan memasukkan jabatan tersebut ke dalam kelas yang sesuai. Tabel 6.1.2 merupakan contoh sistem klasifikasi jabatan. Kelas I



Pekerjaan sederhana, tidak ada tanggung jawab pengawasan, tidak ada kontak dengan publik



Kelas II



Pekerjaan sederhana, tidak ada tanggung jawab pengawasan, ada kontak dengan publik



Kelas III



Pekerjaan dengan kompleksitas sedang, tidak ada tanggung jawab pengawasan, ada kontak dengan publik



Kelas IV



Pekerjaan dengan kompleksitas sedang, ada tanggung jawab pengawasan, dan ada kontak dengan publik



Kelas V



Pekerjaan kompleks, ada tanggung jawab pengawasan, dan ada kontak dengan publik



Metode ini memberi standar spesifik bagi kompensasi dan mengakomodasi adanya suatu perubahan dalam nilai jabatan secara individu. Sistem klasifikasi ini dapat dibentuk secara cepat, sederhana dan murah. Juga mudah dipahami dan mudah dikomunikasikan kepada



karyawan. Metode ini lebih rinci dibanding dengan metode ranking dan ada hubungan yang kaku (rigid) antara faktor jabatan dan nilai. Masalahnya adalah, khusus pada perusahaan besar, suatu jabatan sering dipaksa masuk dalam suatu kelas yang sebenarnya tidak sesuai. Sehingga memunculkan rasa ketidakadilan. Masalah lainnya adalah, memutuskan tentang berapa banyak klasifikasi harus dibuat. Terlalu sedikit, akan menimbulkan kesulitan dalam membuat perbedaan nilai jabatan dan kesulitan dalam menghasilkan level upah. Sedangkan terlalu banyak kelas menyulitkan dalam penulisan definisi kelas. c. Metode Poin (Point Method) Metode ini paling sering digunakan karena lebih rinci dibanding dengan metode ranking dan metode klasifikasi, disamping itu metode ini relatif mudah digunakan. Pada dasarnya, metode ini memerlukan petugas evaluasi yang mengkalkulasi nilai elemen jabatan. Atas dasar deskripsi jabatan atau wawancara dengan pemegang jabatan, poin ditetapkan pada suatu derajat tertentu terhadap berbagai faktor yang dapat diberi kompensasi yang merupakan persyaratan untuk melaksanakan jabatan. Contoh, poin yang diberikan didasarkan pada: keahlian yang dipersyaratkan, usaha fisik dan mental yang dibutuhkan, derajat kondisi kerja yang membahayakan dan kurang nyaman, dan jumlah tanggung jawab yang tercakup dalam jabatan. Artinya, jika semua faktor tersebut dijumlah, maka akan memperoleh hasil evaluasi jabatan. Sistem poin mengevaluasi banyak aspek atau sub aspek dari setiap jabatan. Beberapa persyaratan terhadap aspek yang dipilih untuk dievaluasi adalah sebagai berikut (Ivancevich, l992). 1) aspek-aspek tersebut harus tidak tumpang tindih; 2) harus membedakan perbedaan yang nyata diantara jabatan; 3) harus didefinisikan seobjektif mungkin; 4) harus dipahami dan diterima baik oleh manajemen maupun oleh karyawan; Selanjutnya, oleh karena seluruh aspek tidak sama pentingnya pada semua jabatan, maka perbedaan bobot mencerminkan bobot pentingnya masing-masing aspek secara relatif terhadap jabatan yang harus disusun. Bobot aspek tersebut ditetapkan melalui pertimbangan (judgments) petugas evaluasi yang berpengetahuan secara independen. Tabel 6.1.3 adalah contoh, pembobotan untuk jabatan klerikal dimana bobot pada aspek pendidikan adalah 50%; pengalaman 25%; kompleksitas pekerjaan 12%; tanggung jawab untuk berhubungan dengan pihak lain 8%; dan kondisi kerja serta persyaratan fisik 5%.



FAKTOR 1. 2. 3. 4.



Pendidikan Pengalaman Kompleksitas jabatan Hubungan dengan pihak lain 5. Kondisi kerja



BOBOT % 50 25 12 8



Pertama 50 25 12 8



5



10



DERAJAT Kedua Ketiga Keempat 100 150 200 50 75 100 24 36 48 24 40 15



20



25



Tabel 6.1.3 Evaluasi Butir untuk Jabatan Klerikal (Sistem Poin-500) Ivancevich, J. M. (1992). Human Resource Management: Foundations of Personnel. Fifth Edition. Boston: Richard D. Irwin. P.374.



Kelima 250 125 60



Pada Tabel 6.1.3 dapat dilihat pada aspek pengalaman dapat didefinisikan dengan cara sebagai berikut: 1) Derajat pertama, yaitu sampai dengan tiga bulan adalah 25 poin 2) Derajat kedua, lebih dari tiga bulan dan kurang dari enam bulan 50 poin 3) Derajat ketiga, lebih dari enam bulan sampai dengan satu tahun 75 poin 4) Derajat keempat, lebih dari satu tahun sampai dengan tiga tahun 100 poin 5) Derajat kelima, lebih dari tiga tahun 125 poin Definisi tersebut harus didefinisikan dan diukur secara jelas untuk memastikan konsistensi dalam penilaian persyaratan mulai dari deskripsi hingga ke evaluasi jabatan. Pada tabel 6.1.3 juga menunjukkan bahwa faktor 1, pendidikan, memiliki lima derajat. Faktor kedua dan ketiga juga memiliki lima derajat. Sedangkan faktor keempat memiliki tiga derajat, dan faktor kelima memiliki empat derajat. Jumlah poin maksimum dihitung dengan mengalikan poin-poin di dalam sistem dengan bobot yang telah ditetapkan. Contoh, poin maksimum untuk faktor pendidikan adalah 250 (derajat kelima), merupakan hasil dari 50 persen (sebagai ketetapan bobot) dikalikan dengan 500 (sebagai sistem poin). d. Metode Perbandingan Faktor Sebagaimana pada metode poin, metode perbandingan faktor ini termasuk teknik kuantitatif yang melaksanakan proses evaluasi atas dasar faktor dengan faktor. Dalam metode ini jabatan-jabatan dievaluasi atau dibandingkan dengan faktor kunci. Untuk ini, digunakan skala pembandingan faktor. Menurut Ivancevich (1992), ada lima faktor jabatan yang digunakan untuk membandingkan jabatan-jabatan yang sedang dievaluasi, yaitu: 1) Faktor tanggung jawab. Meliputi tanggung jawab terhadap uang, sumber daya manusia, catatan-catatan, dan pengawasan jabatan; 2) Faktor keahlian. Meliputi kecakapan koordinasi otot-otot dan latihan dalam interpretasi yang berkaitan dengan persyaratan pancaindera. 3) Usaha fisik. Meliputi duduk, berdiri, berjalan, mengangkat, bergerak, dan sebagainya; 4) Usaha mental. Meliputi kepandaian, pemecahan masalah, pemberian alasan, dan imajinasi; 5) Kondisi kerja. Meliputi faktor lingkungan, seperti kebisingan, ventilasi, jam kerja, panas, bahaya, asap, dan kebersihan; Selanjutnya, menurut Ivancevich (1992) dan Fisher (1990), untuk dapat menilai jabatan dengan metode pembandingan faktor perlu mengikuti langkah-langkah berikut: 1) Memilih dan mendefinisikan faktor-faktor pembanding. Faktor-faktor tersebut dapat berbeda antara eksekutif, pengawas, dan jabatan karyawan operasional; 2) Memilih patok duga atau jabatan kunci; 3) Meranking jabatan kunci pada masing-masing faktor kompensasi (seperti, keahlian, usaha, tanggung jawab, dan kondisi kerja). Ranking tersebut didasarkan pada deskripsi dan spesifikasi jabatan; 4) Mengalokasikan bagian dari masing-masing tarif upah jabatan kunci ke setiap faktor jabatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6.1.4 tentang skala pembandingan faktor. Cara ini dapat diterapkan ke jabatan lain dengan membandingkan apa yang ada pada setiap faktor dengan yang ada pada jabatan kunci dan menjumlahkan rupiah yang terkait dengan nilai hingga mencapai tarif per jam. Contoh, sebuah jabatan baru (misal jabatan X) sedang dievaluasi. Jabatan X tersebut memiliki level keahlian yang dipersyaratkan sama seperti



jabatan 3 (1250); level tanggung jawabnya sama seperti jabatan 4 (1100); memiliki kondisi kerja yang sedikit lebih berisiko dibanding kondisi kerja pada jabatan 2 (700); dan persyaratan usaha yang agak lebih besar daripada jabatan 4 (900). Hal ini berarti upah per jam yang layak untuk jabatan X adalah Rp3.950,-.



Faktor



Tarif 500 550 600 650 700 750 800 850 900 950 1.000 1.050 1.100 1.150 1.200 1.250



Keahlian Jabatan 1



Jabatan 2



Usaha



Jabatan 1 Jabatan 3 Jabatan 2 Jabatan 4



Tanggung jawab Jabatan 1



Kondisi Jabatan Jabatan 3 Jabatan 4 Jabatan 2 Jabatan X



Jabatan 3



Jabatan X



Jabatan 1 Jabatan 2



Jabatan 4



Jabatan 4; Jabatan X



Jabatan 3; Jabatan X



1.300 1.350 1.400



Tabel 6.1.4 Skala Pembandingan Faktor Sumber: Fisher, C.D., Schoenfeldt, L.F. dan Shaw, J.B. (1990). Human Resource Management. Boston: Houghton Mifflin Company.



Tarif per jam: Jabatan 1 Jabatan 2 Jabatan 3 Jabatan 4 Jabatan X



: 2.550 (500+650+500+900) : 3.050 (700+750+950+650) : 3.200 (1.250+700+750+500) : 3.550 (1.100+800+1.100+550) : 3.950 (1.250+900+1.100+700)



Metode ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihannya terletak pada penggunaan metode evaluasi formal secara tahap demi tahap, sehingga memungkinkan kita untuk melihat bagaimana perbedaan dalam ranking faktor diterjemahkan ke dalam rupiah. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah agak rumit. Artinya, walaupun metode ini dapat dengan mudah dijelaskan kepada bawahan, namun sulit untuk menunjukkan bagaimana sistem seperti itu dapat dibangun. Di samping itu masih adanya unsur subjektif yang dilakukan oleh petugas dalam tahap-tahap evaluasi.



2. Mengadakan Keadilan Eksternal Untuk dapat mengadakan keadilan eksternal, manajer harus membandingkan upah seorang karyawan yang bekerja di dalam organisasi dengan seorang karyawan lain yang bekerja di luar organisasi. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, keputusan untuk mengkaji upah relatif dengan karyawan lain yang bekerja di luar organisasi disebut dengan keputusan level upah (pay-level decision). Sasaran keputusan level upah adalah untuk mempertahankan kebersaingan organisasi dalam pasar tenaga kerja. Alat utama yang digunakan dalam keputusan ini adalah survei upah. Survei ini dilakukan untk menjamin bahwa faktor-faktor eksternal, seperti kondisi pasar tenaga kerja, tarif upah umum, dan biaya hidup diakui dalam penetapan skala upah organisasi (Byars dan Rue, 1997). Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keputusan level upah. Gambar 6.1.2 menunjukkan berbagai faktor tersebut dalam interaksi antara satu karyawan dengan karyawan lain yang mempengaruhi level upah ke atas, ke bawah, atau lateral.



Gambar 6.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Level Upah Sumber: Ivancevich, J.M. 1992. Human Resource Management: Foundations of Personal. 5 th Edition. Boston: Richard D Irwin, Inc.



Jika terjadi perubahan-perubahan pada faktor-faktor, seperti sikap karyawan, pasar tenaga kerja, kondisi ekonomi, atau perubahan persaingan, maka perubahan faktor tersebut akan menekan level upah bergeser. Contoh, pasokan tenaga kerja Indonesia pada sekitar tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an yang sangat banyak dan dengan kualitas tenaga kerja rendah, telah menekan level upah tenaga kerja Indonesia ke bawah, sehingga menjadi demikian murahnya. Survei Gaji dan Upah



Digunakan untuk mengumpulkan informasi komparatif pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan, praktik, dan metode pembayaran upah/gaji dari organisasi secara selektif dalam daerah geografi tertentu atau tipe industri tertentu. Survei gaji/upah ini juga bermanfaat untuk memberikan pengetahuan kepada karyawan tentang kondisi pasar tenaga kerja dan terutama untuk menjamin keadilan eksternal. Survei juga dapat digunakan untuk meluruskan berbagai miskonsepsi karyawan tentang jabatan tertentu dan memberikan dampak pada motivasi kerja karyawan. Berbagai sumber data dapat digunakan dalam survei gaji/upah. Sumber-sumber tersebut antara lain, Biro Pusat Statistik, Departemen Tenaga Kerja, Asosiasi Dagang dan Industri (KADIN), Asosiasi Profesi (HIPMI), Asosiasi Pengerah Tenaga Kerja (APJATI), dan sebagainya. Mereka itu sering mempublikasikan berbagai informasi tentang ketenagakerjaan. Di samping itu, data juga dapat diperoleh dari berbagai terbitan, seperti jurnal dan majalah yang memuat tentang masalah ketenagakerjaan Indonesia. Ada beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan dalam survei gaji dan upah. Beberapa metode tersebut adalah, wawancara personal, wawancara melalui telpon, dan kuesioner yang dikirim. Metode wawancara personal merupakan metode yang paling reliabel dan mahal. Sedangkan kuesioner yang dikirim merupakan metode yang paling banyak digunakan, karena relatif murah dan dapat dilakukan secara massal. Menurut Byars dan Rue (1997), metode kuesioner yang dikirim hanya dapat digunakan untuk survei jabatan yang memiliki pengertian/definisi seragam di seluruh industri, karena jika terdapat keraguan berkaitan dengan definisi jabatan, maka jawaban terhadap kuesioner dapat menjadi kurang reliabel. Potensi masalah lain akibat penggunaan kuesioner yang dikirim adalah jawaban terhadap kuesioner dapat diberikan oleh seseorang yang tidak familier terhadap masalah pengupahan. Selanjutnya, penggunaan telepon untuk tujuan pengumpulan data survei, memang diakui dapat lebih cepat. Namun masalahnya adalah seringkali diperoleh hasil yang kurang lengkap, sehingga masih diperlukan klarifikasi jawaban melalui kuesioner yang dikirim.