Pemeriksaan Kreatinin - Kelompok 1 (Senin) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK I PENENTUAN KADAR KREATININ



Disusun oleh : Nama



:



NIM



:



Kelompok



: 1 (Senin)



………………………………………. FAKULTAS ………….. UNIVERSITAS ………… TAHUN AJARAN …………



BAB I PENDAHULUAN



I.1. JUDUL PRAKTIKUM Penentuan Kadar Kreatinin



I.2. TUJUAN Mengukur kadar kreatinin dalam serum darah.



I.3. DASAR TEORI Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot. Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase dan seiring dengan pemakaian energi, kreatinin dikeluarkan dari sirkulasi ginjal dengan difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan oleh tubulus proksimal dalam bentuk urin (Verdiansah, 2016). Ginjal mengekresikan kreatinin dengan sangat efisien. Apabila kreatinin darah meningkat memperingatkan kemungkinan terjadinya malfungsi ginjal (kinerja ginjal menurun), begitu juga sebaliknya (Syal, 2013). Pada orang yang mengalami kerusakan ginjal, tingkat kreatinin dalam darah akan naik karena pembersihan kratinin oleh ginjal rendah. Sebuah ukuran yang sangat tepat untuk menilai fungsi ginjal dapat diestimasi dengan menghitung berapa banyak kreatinin yang dapat dibersihkan dari tubuh oleh ginjal (kreatinin clearance). Hal ini dapat dijadikan sebagai alasan pentingnya pemeriksaan standar tes darah secara rutin yakni untuk melihat jumlah kreatinin dalam darah (Syal, 2013). Kadar kreatinin dalam tubuh manusia tergantung pada massa otot yang relatif stabil dan konstan sehingga kadar kreatinin setiap orang berbeda-beda, orang yang memiliki massa otot yang besar (kekar) akan memiliki kadar kreatinin yang lebih tinggi daripada orang yang massa ototnya sedikit (Cheesbrough, 2009).



Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin dalam darah selain massa otot, diantaranya adalah kenaikan sekresi tubulus dan destruksi kreatinin internal, aktivitas otot (aktivitas fisik yang berlebihan dapat meningkatkan kadar kreatinin darah), diet (diet kaya daging meningkatkan kadar kreatinin sampai beberapa jam setelah makan), usia dan jenis kelamin (kadar kreatinin pria dewasa umumnya jauh lebih tinggi daripada wanita dewasa atau orang yang sudah tua karena masa otot pria dewasa lebih besar daripada wanita dewasa, orang tua, anak-anak, maupun bayi), dan konsumsi obat-obatan tertentu seperti aldacton, sefalosporin, aspirin dan co – trimexazole (dapat mengganggu sekresi kreatinin sehingga meningkatkan kadar kreatinin darah). Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium, antara lain terjadi gangguan kesehatan seperti pada keadaan glomerulonefritis, nekrosis tubuler akut, polycystic kidney disease, gagal jantung kongestif, syok, dan dehidrasi (Pambela, 1998).



BAB II METODE PRAKTIKUM



II.1.



WAKTU DAN TEMPAT PRAKTIKUM Pemeriksaan Kreatinin ini berlangsung pada hari Senin, 24 September 2018 yang bertempatkan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga Surabaya.



II.2.



ALAT DAN BAHAN a) Alat Pemeriksaan 1) Tabung Venoject 2) Mikropipet dan Blue/Yellow Tip 3) Waterbath 4) Fotometer b) Reagen Pemeriksaan 1) Reagen 1 [NaOH/Sodium Hidroksida] 2) Reagen 2 [Picrid Acid] 3) Reagen Standart c) Bahan Pemeriksaan 1) Sampel Darah 2) Aquadest



II.3.



CARA KERJA



Pembuatan Monoreagen yang Terdiri dari Reagen 1 dan Reagen 2 dengan Perbandingan (4:1)



Reagen 1



Reagen 2



800µL Reagen 1 [NaOH]



200µL Reagen 2 [Picric Acid]



1000µL Monoreagen



Pemeriksaan Sampel



[BLANKO] : 50µL Aquadest + 1000µL Monoreagen



[STANDART]: 50µL Standart + 1000µL Monoreagen



[SAMPEL] : 50µL Sampel + 1000µL Monoreagen



Baca pada Fotometer dengan λ = 492 nm - [A1 : Setelah 60 detik dan A2 : Setelah 120 detik]



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN III.1. HASIL PEMERIKSAAN Sampel



 



Blanko



Standart







Absorbansi Standart [A1] : 0,054 Absorbansi Standart [A2] : 0,063



Absorbansi Sampel [A1] : 0,066 Absorbansi Sampel [A2] : 0,072







∆A Standart : A2 – A1 = 0,009



Perhitungan Kreatinin



Hasil Absorbansi pada Fotometer dg λ = 492 nm



:



:



∆A Sampel : A2 – A1 = 0,006



∆A Sampel ∆A Standart 0,006 0,009



× Conc. Std/Cal



× 2 = 1,3 mg/dL



III.2. PEMBAHASAN Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot (Verdiansah, 2016). Dalam sintesis ADP menjadi ATP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase dan seiring dengan pemakaian energi, kreatinin disintesis di dalam hati dari metionin, glisin, dan arginin serta terdapat hampir dalam semua otot rangka yang berikatan dengan kreatin fosfat. Ginjal mengekresikan kreatinin dengan sangat efisien. Dari sirkulasi



ginjal kreatinin akan melalui proses filtrasi pada glomerulus terlebih dahulu, baru kemudian diekskresikan oleh tubulus proksimal dalam bentuk urin (Syal, 2013).



Penentuan kadar kreatinin pada sampel serum dilakukan dengan metode Jaffe, kreatinin dalam sampel akan bereaksi dengan asam pikrat pada susana alkalis dan kemudian berikatan menjadi kreatinin pikrat dengan menghasilkan kompleks warna merah-oranye. Untuk menciptakan suasana alkali pada larutan, dapat dilakukan penambahan sodium hidroksida (NaOH). Dari reaksi tersebut, warna yang terbentuk akan dibaca pada fotometer dengan panjang gelombang 492 nm dengan program absorbance. Panjang gelombang ini termasuk kedalam daerah visible. Pada dasarnya panjang gelombang dibagi ke dalam dua daerah, yakni daerah UV dengan kisaran panjang gelombang 250-400 nm untuk pembacaan larutan jernih (tanpa ada pembentukan kompleks warna) dan daerah visible dengan kisarannya 400-750 nm untuk membaca larutan berwarna. Digunakannya panjang gelombang 492 nm dikarenakan panjang gelombang tersebut memberikan serapan warna yang maksimal untuk pemeriksaan ini (Cheesbrough, 2009).



Sampel yang dapat digunakan pada metode Jaffe yaitu serum, plasma heparin, dan urin. Penggunaan antikoagulan lain seperti EDTA dan sitrat tidak disarankan untuk pemeriksaan ini dikarena hal tersebut akan memberikan hasil yang rendah palsu (false low) (Mohammed, 2014). Pada pemeriksaan kali ini, sampel yang digunakan adalah serum darah. Pemeriksaan kadar kreatinin dalam serum darah merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di dalam urin dalam 24 jam relatif konstan (Pabela, 1998). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan masing-masing ke dalam tiga tabung; larutan monoreagen dengan aquadest untuk blanko (larutan yang tidak mengandung bahan analit), larutan monoreagen dengan reagen standart untuk standart, dan larutan monoreagen dengan serum darah untuk sampel. Dimana monoreagen tersebut memiliki kandungan 800µL sodium hidroksisa (NaOH) yang terdapat di dalam reagen 1 untuk menciptakan suasana alkali pada larutan yang akan diperiksa dan 200µL asam pikrat yang terdapat didalam reagen 2 untuk membentuk kompleks senyawa berwarna merah-oranye sehingga dari kedua reagen yang telah di homogenkan tersebut akan didapatkan 1000µL (1mL) monoreagen. Penambahan larutan



disarankan untuk selalu menggunakan mikropipet karena alat ini memiliki tingkat ketelitian hingga 1 µl sehingga presisi dan akurasinya sangat baik (Cheesbrough, 2009).



Pengukuran kadar kreatinin pada pemeriksaan ini menggunakan metode Jaffe dengan prosedur kinetik tanpa deproteinisasi yang memiliki arti tanpa penambahan TCA (Trichlor Acetid Acid) 1,2 N, yang berfungsi untuk mengendapkan protein dan senyawa-senyawa kimia sepeti asam askorbat, aseto asetat, guanin, protein, piruvat, cephalosporin, glukosa, metildropa, dan hasil substitusi darah (Pabela, 1998). Terdapat dua macam teknik pemeriksaan pada metode Jaffe yaitu kinetik dan endpoint. Kinetik merupakan suatu teknik pembacaan absorbansi larutan pada saat reaksi sedang berlangsung (mengukur aktivitas enzim), sedangkan endpoint merupakan suatu teknik pembacaan absorbansi larutan pada saat reaksi selesai. Pada pemeriksaan ini digunakan metode kinetik, kelebihan dari metode ini adalah pemeriksaan yang dilakukan lebih cepat, spesifik, dan otomatis. Sedangkan kekurangannya adalah memungkinkan terbentuknya pseudo-kreatinin apabila waktu dalam pemerikaan tidak tepat (Verdiansah, 2016).



Blanko yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah blanko reagen, penggunaan blanko reagen tergantung dengan intensitas dari reagen itu sendiri. Dengan penggunaan blanko reagen, intensitas warna antara blanko dan reagen serasi sehingga dapat dibaca di fotometer. Hal ini dipastikan dengan adanya masa inkubasi ditabung dan dikuvet masing-masing selama 60 detik, masa inkubasi baik di tabung maupun di kuvet berguna untuk pereaksian antara enzim dan substrat dalam membentuk produk sehingga akan didapatkan ∆Absorbansi kreatinin (Mohammed, 2014). Pada pemeriksaan, kuvet yang berbentuk balok dengan sisi buram dan bening, hanya boleh dipegang pada sisi buram. Karena pada sisi bening akan dilewati sinar visible di dalam instrument, sehingga adanya bekas noda atau pengganggu lain dikhawatirkan mengubah serapan zat dan mempengaruhi hasil (Pabela, 1998).



Senyawa lain dalam sampel yang dapat menyebabkan interferen (gangguan) adalah hemoglobin, asam asetat, asam urat dan asam piruvat



(Mohammed, 2014). Durasi waktu pemeriksaan berbanding lurus dengan hasil absorbansi sampel. Semakin lama pemeriksaan yang dilakukan maka hasil absorbansi akan semakin besar, akan tetapi akan terjadi kejenuhan pada titik tertentu (Cheesbrough, 2009). Peningkatan kadar kreatinin hingga dua kali lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50 %, demikian juga peningkatan kadar kreatinin tiga kali lipat mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal sebesar 75 %. Hemodialisa (cuci darah) perlu dilakukan sesegera mungkin pada gangguan fungsi ginjal yang berat yaitu apabila kadar kreatinin lebih dari 7 mg/dL serum (Verdiansah, 2016).



Pada beberapa kondisi akan memberikan hasil tinggi palsu saat dilakukan pemeriksaan kreatinin, antara lain penggunaan streptomycin/aminoglycoside (dalam dosis tinggi akan berperan sebagai nephotoxic dan berpotensial mempengarui fungsi ginjal), penggunaan beberapa antiobiotik seperti cepharin, cefazolin, cefamandole, cephalothin, dan cefoxitin akan menunjukan interferensi terhadap pengukuran kreatinin pada konsentrasi yang bervariasi. Cephalosporin juga dapat menjadi salah satu bahan yang mampu membentuk kromogen bukan kreatinin dengan reagen pikrat sehingga memberikan hasil tinggi palsu (Cheesbrough, 2009).



Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan hasil 1,3 mg/dL berdasarkan perhitungan, seperti dibawah ini : Perhitungan Kreatinin :



∆A Sampel ∆A Standart



× Conc. Std/Cal :



0,006 0,009



× 2 = 1,3 mg/dL



Hasil pemeriksaan ini dapat dikatakan dalam keadaan normal, karena sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini ialah sampel pria sehingga digunakan harga normal 0,7-1,3 mg/dL. Apabila didapatkan hasil tidak dalam interval 0.2 – 1.5 mg/dL maka perlu dilakukan diluasi pada sampel dengan larutan NaCl dengan catatan hasil absorbansi dikalikan 2. Digunakannya NaCl sebagai larutan pengencer dikarenakan larutan tersebut merupakan larutan isotonik, darah akan tetap dalam bentuknya karena larutan ini memiliki komposisi yang kurang lebih sama dengan cairan di dalam tubuh (Cheesbrough, 2009).



BAB IV KESIMPULAN



Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dengan metode Jaffe tanpa deproteinisasi, didapatkan hasil kadar kalsium dalam serum darah berada dalam batas normal untuk pemeriksaan ini yakni 1,3 mg/dL dari harga normal 0,7-1,3 mg/dL.



DAFTAR PUSTAKA Cheesbrough, M. (2009).



District Labolatory Pratice in Tropical Countries. United



States: Cambridge University Press.



Mohammed, I. S. A. dan Nosiba I. A. A. (2014). Comparison Between Kinetic and Endpoint Jaffe Method for Estimation of Creatine.



Pabela, E. S. (1998). Creatine and The Kidney. Yogyakarta: Kanisius.



Syal, K., dkk (2013). Creatine Estimation and Interference. Springer: Indian Journal of Clinical Biochemistry. 28(2), pp. 210-211.



Verdiansah (2016). Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. 43 (2). pp. 148-154.